Anda di halaman 1dari 60

NILAI pendidikan dan sosial budaya hindu dalam

MENGUSIR KOLONIAL BELANDA


PADA PUPUTAN KLUNGKUNG
TAHUN 1908

Oleh
Dra. Ni Ketut Sudiarsih, M.Si
PENGAWAS SEKOLAH DASAR

DINAS PENDIDIKAN KEPEMUDAAN DAN OLAH RAGA


KABUPATEN KARANGASEM
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah adalah kejadian atau peristiwa yang terjadi dimasa lampau, dan tidak akan

pernah dialami lagi oleh manusia yang hidup dewasa ini, walaupun demikian harus diakui bahwa

kejadian itu pada hakekatnya memiliki nilai nilai pendidikan yang sangat penting.

Sejarah Indonesia pada abad ke 18 dan 19 ditandai oleh hubungan yang makin itensif

antara kekuasaan-kekuasaan tradisional dan kekuasaan asing dalam hal ini kekuasaan Belanda.

Intensitas hubungan tersebut ditiap-tiap daerah di Indonesia tidak sama. Hal ini terutama

disebabkan karena proses historis masuknya pengaruh dan meluasnya kekuasaan Belanda di

daerah satu dengan yang lainnya tidak bersamaan. Dapat pula dikatakan bahwa tiap-tiap daerah

mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri, kadang-kadang tidak nampak sama sekali hubungannya

dengan daerah lainnya.

Siapapun tidak akan membantah adanya fakta bahwa negara Indonesia pernah

mengalami masa penjajahan dalam masa yang relative panjang, tetapi sejarah pula telah

melukiskan bahwa penjajahan di Indonesia tidak berlalu begitu saja tanpa reaksi, melainkan

selalu diwarnai berbagai bentuk pergolakan yang menandakan bahwa bangsa Indonesia pada

hakekatnya tidak menghendaki adanya segala bentuk penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan

terjadinya perlawanan seperti perang Diponogoro, perang Padri, perang Lombok dan beberapa

peristiwa perang yang pernah terjadi di Bali. Kerajaan-kerajaan di Bali dalam rangka

mempertahankan wilayahnyajuga mengadakan perlawanan sehingga terjadilah perang seperti

perang Kusamba, Puputan Klungkung, Puputan Badung, perang Banjar dan perang Jagaraga.
Sehubungan dengan hal ini penulis akan mengungkap jalannya Puputan Klungkung

yang pernah terjadi pada tahun 1908. Judul tulisan ini adalah Nilai- Nilai Pendidikan Perlawanan

Rakyat Klungkung Dalam Usaha Mengusir Kolonial Belanda Pada Puputan Klungkung Tahun

1908.

1. Kedudukan Kerajaan Klungkung Diantara Kerajaan –Kerajaan di Bali

Berdirinya kerajaan Klungkung karena mempertahankan suatu legitimasi yang

berhubungan dengan masalah status dan peranan suatu dinasti. Dilihat dari dinasti

raja klungkung adalah keturunan langsung dari dinasti Kresna Kepakisan yang

menjadi raja pertama di Keraton Smarapura. Berdirinya kerajaan Samprangan

berkaitan erat dengan expedisi Gajah Mada ke Bali. Selain itu Klungkung dipilih

sebagai ibukota kerajaan karena diyakini bahwa karisma Keraton Gelgel sudah tidak

ada lagi di Sweca Pura, kewibawaan keraton Gelgel sudah punah. Karena tercemar

oleh peristiwa berdarah akibat pemberontakan I Gusti Agung Maruti. Keraton Gelgel

mengalami kerusakan fisik karena pemberontakan tahun 1651 oleh I Gusti Agung

Maruti.

Klungkung dipilih sebagai pusat pemerintahan karena latar belakang agraris atau

persawahan menjadi semakin luas, apabila dibandingkan dengan persawahan

disekitar Keraton Gelgel. Dasar lain dipakai alasan terpilihnya Klungkung sebagai

ibukota kerajaan seperti ; Desa Klungkung secara geografis dianggap lebih aman dari

bahaya luapan banjir kali Unda . Jarak dengan dengan Bandar Jumpai dan Klotok

tidak begitu jauh ( Proyek Sejarah Bali tahun 1984/1985). Klungkung jauh lebih

menguntungkan dari segi ekonomi, strategis dan kepentingan politik dari Gelgel.
Setelah berdirinya kerajaan Klungkung maka Dewa Agung Jambe dinobatkan

menjadi Raja Klungkung yang pertama dengan gelar Ida Idewa Agung Putra

(Sidemen, 1983 : 36). Gelar-gelar raja Klungkung berbeda dengan gelar di masa

Samprangan dan gelgel, yang memakai gelar Dewa Agung. Hal ini jelas

menampakkan pengaruh kuat dari kedaerahan (Bali). Masuknya unsur Bali dalam

sistim politik kerajaan Gelgel di mulai dari jaman Waturenggong, karena dalam masa

pemerintahannya ikatan Bali dengan Majapahit boleh dikatakan telah putus, karena

runtuhnya egonomi Majapahit pada tahun 1478. Dalam masa berikutnya terlihat

adanya proses yang lebih banyakuntuk memasukkan unsur-unsur Bali seperti sebutan

bagi keturunan Bali, yakni: “I Dewa atau Ida Idewa Agung” yang mulai mulai terlihat

jelas pada jaman Klungkung, gelar ini telah dipakai oleh raja-raja Klungkung.

Dewa Agung Jambe sebagai pewaris Gelgel, beliau berminat mengembalikan

kebebasan Gelgel dibawah naungan panji-panji Klungkung. Namun usaha Dewa

Agung Jambe untuk mempersatukan seluruh bekas kekuasaan Gelgel dibawah

kekuasaan Klungkung tidak tercapai seluruhnnya. Karena jatuhnya kerajaan Gelgel

telah memberikan benih-benih timbulnya kerajaan kecil-kecil di Bali. Sehingga

sampai abad 16 Klungkung belum berhasil menempati peranannya untuk menyatukan

daerah Bali. Bahkan Klungkung sendiri kedudukannya sangat terancam, Buleleng

hamper saja dapat merebut Klungkung. Dilain pihat antara satu kerajaan dengan

kerajaan lainnya di Bali tidak ada kecocokan sehingga sering terjadi perebutan

kekuasaan. Setelah Buleleng menunjukkan hegemoninya yang memiliki kekuasaan

sampai ke Pasuruhan dan berikutnya dapat diambil alih oleh kerajaan Karangasem,

setelah cucu dari Panji Sakti memegang tapuk pemerintahan sesudah terjadinya
perang saudara yang dapat melumpuhkan kekuasaan Buleleng (Babad Buleleng 1a-

12a). Pada periode berikutnya tampak Mengwi muncul dengan menguasai Badung,

Tabanan, Gianyar, sampai Bangli, bahkan sampai keluar Bali yang mengambil alih

kekuasaan Buleleng di Pasuruan (Babad Mengwi, 15a)

Dengan Situasi yang demikian ternyata Klungkung tiada pernah dikusik oleh

penguasa-penguasa di Bali lainnya. Ini dapat disimpulkan bahwa adanya rasa hormat

raja-raja yang berkembang di Bali kepada raja Klungkung. Kerajaan Klungkung

adalah pewaris Majapahit maka sangat wajar untuk dihormati, selain itu sudah

diketahui bahwa Klungkung adalah pusat Kebudayaan dan Klungkung merupakan

pusat Geneologis penguasa-penguasa di Bali.

Dengan datangnya Kresna Kepakisan yakni leluhur raja Klungkung itu pula,

raja-raja di Bali lainnya sebagai pembantu Kresna Kepakisan. Dapat juga dikatakan

bahwa Klungkung “ Pusat pengayom Agama Hindu dan tempat penyimpanan

beberapa keris pusaka Majapahit” (Sidemen,1983:29). Status Raja Klungkung

sebagai pimpinan tertinggi diketemukan dalam perjanjian tiga kerajaan yakni;

Kerajaan Gianya, Badung dan Tabanan. Mereka menyatakan takluk dibawah raja

Klungkung, hal ini dinyatakan pada pasobayan yang disyahkan pada hari Rabu

Kliwon Pahang tahun caka 1751 (1829 M). Sejalan dengan itu pula bahwa

Klungkung benar-benar sudah memperlihatkan diri sebagai kekuasaan yang tertinggi,

ketika diadakannya suatu perjanjian persekutuan antara kerajaan-kerajaan di Bali.

Bahwa semua kerajaan tersebut sehidup semati selama hayat didikandung badan.

Adapun keenam kerajaan tersebut membubuhkan tandatangannya pada paswara

tersebut yakni; Klungkung, Gianyar, Bangli, Payangan, Badung dan Mengwi. Mereka
berjanji diatas sumpah bahwa menyatakan kerajaan Gianyar, Bangli, Payangan,

Badung dan Mengwi dibawah pimpinan Raja Klungkung. Mereka berjanji diatas

sumpah tidak akan berani melawan kekuasaan Klungkung untuk selama-lamanya.

Kalau berani melawan agar tuhan mengutuk negara mereka menjadi hancur ( yan

ulun sinalihtunggal ngaryanin rusak palinggih Batara Cokorda Ida Idewa Agung,

Jahtasemat wastu ulun sinalihtunggal amanggehsengkale agung). Mereka berjanji

diatas sumpah setia berada dibawah kerajaan Dewa Agung, dan berjanji diatas

sumpah menganggap musuh terhadap musuh Dewa Agung ( Majati sturing satrun

Batara Cokorde Ida Idewa Agung)

Semua paswara atau Pasobayan diatas menunjukkan usaha dan hasil yang telah

tercapai oleh kerajaan Klungkung untuk memulihkan kembali hubungan antara

kerajaan Klungkung dengan kerajaan yang lainnya di Bali. Hubungan dengan raja –

raja di Bali dan kesepakatan yang telah dicapai mencerminkan pula hasil usaha raja

Klungkung yang terkait dengan titel Dewa Agung sering ditambah dengan titel

penghormatan dengan bentuk yang lain, sehingga sebutan menjadi Ide Idewa Agung,

bahkan raja Klungkung mendapat sebutan: Betarane Cokorde Ida I Dewa Agung.

Semua titel yang diberikan kepada Dewa Agungraja Klungkung dengan jelas

menunjukkan status Dewa Agungsebagai raja yang tertinggi.

2. Hubungan Kerajaan Klungkung Dengan Pemerintah Kolonial Belanda.

Pertama kali bangsa Eropa mengenal pulau Bali pada tahun 1586, ketika itu sebuah kapal

Inggris yang dipimpin oleh Thomas Candish singgah di Pulau Bali dalam pelayarannya

menyeberangi selat Magelhains menuju Philipina. Kedatangan kapal inggris ini hanya untuk

berhenti sebentar sambil mengisi persediaan air minum. Perkenalan dengan Bangsa Belanda
terjadi pada jaman kerajaan Gelgel dalam masa pemerintahan Dalem Bekung yang dibantu oleh

Adiknya yang bernama Dalem Segening. Eskandar Belanda pertama kali yang dipimpin oleh

Cornelis De Houtman, setelah mengunjungi Banten kemudian mengunjungi Bali. Eskandar

Belanda ini berada di Bali hampir satu bulan lamanya (25 Januari sampai 26 Pebruari 1597)

Di tempat-tempat lain yang pernah dikunjungi oleh Cornelis De Houtman selalu

menimbulkan suasana buruk , tetapi kedatangan Belanda di Bali diterima dengan persahabatan.

Hinsgenz bersama ManuelRodenborch diutus oleh Cornelis De Houtman menghadap Keraton

Gelgel, tujuannya adalah menyampaikan salam dan rasa hormat Belanda kepada Raja yang

disertai dengan persembahan hadiah persahabatan. Duta Belanda yang pertama ini tinggal di

Gelgel selama seminggu dan diterima dengan ramah ( Sidemen, 1983 : 65). Perkenalan yang

pertama ini hampir sepenuhnya bersifat persahabatan. Hal ini terbukti bahwa salah seorang

utusan tersebut yaitu Manuel Rodenborch bersama dengan Yakob Claess menetap di Bali sampai

tahun 1601.

Pada jaman VOC Belanda mengirim dua kali utusan ke Bali (Gelgel). Duta yang pertama

adalah : Jan Costerwijek yang dikirim pada tahun 1633 0leh Gubernur Jendral Hendrik Brouwer.

Duta ini membawa pesan permintaan agar Bali mau mambantu berperang melawan Mataram

(Jawa) dalam persoalan Blangbangan. Duta ini gagal menjalankan misinya, karena raja Bali

menolak membantu Belanda. Duta yang ke dua dikirim ke Bali pada tahun 1651,dengan maksud

yang sama utusan yang ke dua ini juga gagal karena di Gelgel sedang terjadi kekacauan politik.

Pada masa itu VOC belum perhatikan pulau Bali sebagai suatu daerah yang harus dikuasai.

Hubungan lainnya terjadi dalam soal jual beli budak dan mencari calon-calon prajurit bagi

Kompeni. Permintaan kompeni dan Daendels tidak dapat melupakan keberanian pasukan yang

terdiri atas orang-orang Bali yang derektutnya oleh Hisnet,Moser dan Van de Wahl pada tahun
1808-1809. Hal ini telah menimbulkan suatu tradisi membebaskan budak – budak Bali dengan

jalan membelinya dan dijadikan serdadu Belanda. Ketika Daendels diangkat menjadi Gubernur

Jendral dengan tugas mempertahankan pulau jawa dari serangan Inggris. Belanda mulai

memprhatikan pulau Bali.Belanda menganggap pulau Bali dapat dipakai sebagai benteng di

timur untuk membendung ekspansiInggris, terdapat satu kemungkinan pula bahwa usaha Inggris

untuk menduduki pilau Bali, juga bertujuan mempergunakan pulau Bali sebagai tangga untuk

meloncat menguasai pulau Jawa dan daerah-daerah di sebelah timur pulau Bali. Inggris

memancing peperangan dengan kerajaan Buleleng dan kerajaan Karangasem dengan

mempertajam sengketa perbudakan orang dan perdagangan budak (Slavenhandel) . Kedua

kerajaan tersebut menolak pengumuman tersebut dan menyerang kedudukan Inggris pada bulan

Pebruari 1814. Serangan ini dapat digagalkan oleh tentara Spoy Inggris pada tanggal 14 Mei

1814. Inggris mengirim ekpedisi militer dipimpin oleh Jendral Neghtigale menyerang

Buleleng.Laskar Buleleng kalah dan raja terpaksa tunduk pada kekuasaan asing itu ( Z.Ultracht,

1962 : 150 )

Hubungan Bali dengan Belanda dalam bentuk ikatan kontrak ( perjanjian ) baru terjadi

pada masa pulau Bali telah terpecah menjadi Sembilan atau delapan kerajaan.Timbulnya

kerajaan-kerajaan kecil di Bali telah menyebabkan situasi politik dalam negeri menjadi lemah

dibandingkan dengan masa sebelumnya. Situasi ini memberikan kemudahan bagi Belanda untuk

menerapkan kekuasaannya melalui kontrak, Belanda mengambil manfaat dari peperangan antara

Inggris melawan Buleleng. Buleleng tidak berdiri sendiri dalam menghadapi intervensi Inggris,

raja Klungkung, Karangasem, Bangli membantu Buleleng menghadapi Inggris dan agen-

agennya yang menetap di pulau Bali. Belanda mengetahui bahwa Klungkung tetap diakui dan

dihormati sebagai pimpinan federasi Bali walaupun antara kerajaan-kerajaan di Bali sering
timbul perang saudara, tetapi pandangan dan anggapan mereka terhadap perang raja Klungkung

tidak berubah terutama menghadapi musuh dari luar. Terhadap raja Klungkung dan raja-raja lain

di Bali lebih banyak bersifat diplomatis dengan mengakui Klungkung tetap sebagai sesuhunan

Bali Lombok.

Untuk menjaga agar jangan terjadi kesalah pahaman diantara raja-raja di Bali dengan

pemerintah Kolonial Belanda maka timbullah perjanjian persahabatan pada tahun 1817,

Gubernamen Belanda mengirim duta ke Bali disertai oleh rombongan kecil , rombongan tersebut

dipimpin oleh H.A Van De Broek dengan ajudan bernama Roas dan 20 orang militer dibawah

pimpinan Letnan Lotse. Rombongan duta ini bertujuan mempererat persahabatan antara Bali

dengan Gubernamen, menghindarkan agar raja-raja Bali tidak mengadakan hubungan dengan

bangsa Eropa lainnya terutama Inggris. Dan berusaha mendapat ijin mendirikan satu pangkalan

di Bali, sebenarnya Belanda telah berhasil sebuah Loji di Bali pada tahun 1620. Tetapi tanpa

diketahui sebabnya tahun berikutnya loji itu sudah dibongkar kenbali. Keberhasilan ini harus

diulang kembali oleh misi Van De Broek, dimana-mana Van De Broek mendapat kesan bahwa

raja-raja Bali sangat mencurigai kedatangan misi tersebut. Misi Van De Broek gagal, kegagalan

ini disebabkan oleh kecurigaan raja-raja Bali atas keinginan Van De Broek untuk mendirikan

kantor dagang di Bali, dengan syarat mau membantu dalam suatu sengketa dengan Lombok.

Gagalnya misi Van De Broek tidak mengubah politik Gubernamenterhadap Bali. Gubernamen

tetap meneruskan usahanya untuk memperoleh pengaruh itu di Bali. Ada empat factor yang

mendorong Gurbernamen Belanda kebijaksanaan politiknya terhadap pulau Bali yaitu :

1. Ancaman dari Raffles yang berkedudukan di Bengkulu, setiap saat akan berusaha

menanamkan usahanya di Bali


2. Gubernamen memerlukan rekrut serdadu yang terdiri atas orang-orang Bali, kebutuhan

ini menjadi sangat mendesak setelah meletusnya perang Diponogoro.

3. Belanda berkepentingan Tawan Karang agar terhapus, karena hal itu merupakan

penghalang bagi kelancaran perniagaan.

4. Belanda cendrung untuk menguasai monopoli perdagangan candu di Bali.

Untuk maksud tersebut di atas Belanda mengirim agen-agen rahasia untuk menyelidiki pulau

Bali, salah seorang diantaranya bernama Abdullah Bin Mohamad. Seorang lagi bernama Said

Hassan, mereka banyak memberi informasi tentang keadaan di Bali.

Pada tanggal 30 Desember 1826 Wettera sebagai komisaris Belanda yang bertugas

sebagai utusan merkrut calon serdadu di Bali berhasil mengadakan perjanjian dengan raja

Badung. Kontrak ini ditandatangani di istana Pemecutan dan Wetters sebagai wakil Belanda.

Kontrak ditulis dalam bahasa Bali kemudian diterjemahkan kedalam bahasa melayu oleh Said

Hassan Habashy. Pasal satu, dua, tiga dan empat dari perjanjian ini dijelaskan tentang kesediaan

kedua belah pihak untuk bersahabat erat selama-lamanya. Pada pasal lima, enam dan tujuh

memuat tentang kesediaan raja Badung memberikan calon serdadu kepada Gubernamen dengan

jangka waktu kontrak selama lima tahun, dalam masa kontrak serdadu Bali sepenuhnya dijamin

oleh pemerintah Gubernamen Belanda. Tetapi tidak disebutkan apa imbalannyayang diberikan

oleh Belanda kepada Badung sebagai balas atas kesediaan memberikan calon serdadu, selain itu

dalam perjanjiann pertama sedikitpun tidak ada kelihatan keterlibatan raja Klungkung dalam

proses penyelesaian kontrak ini. Pada tahun 1814 Belanda mengirim komisaris Huskus

Koopman ke Bali, dengan tugas mendapatkan pengakuan atas perjanjian yang disodorkan pada

raja-raja Bali pada tanggal 20 Juli 1814, Huskus Koopman berhasil mengadakan suatu kontrak

dengan raja Badung. Untuk memulihkan kembali hubungan timbal balik antara Bali dan
Gubernamen bagi kepentingan kedudukan politik Belanda, ia juga diberi kuasa penuh untuk

membuat kontrak-kontrak sementara dengan raj-raja Bali. Perjanjian yang pertama tidak

berhasil, Dewa Agung Klungkung tidak mau mengadakan hubungan dengan Gubernamen, raja-

raja Bali lainnya terutama yang masih menghormati kekuasaan tinggi Dewa Agung yang telah

menandatangani perjanjian persahabatan antara kerajaan-kerajaan Bali.

Perjanjian yang pertama kali ditandatangani oleh Klungkung dengan Belanda yaitu

tanggal 6 Desember 1814 di Istana Klungkung, sebagai wakil Klungkung telah membubuhkan

tanda tangan antara lain : Ratu Dewa Agung Putra ( Raja ), Ratu Dewa Agung Gede, Anak

Agung Ketut Rai ( keduanya bahudande), Pedande Wayahan Pidada ( Bhagawanta ) dan Ida

Wayahan Sidemen ( Walaka ) dan pihak Belanda diwakili oleh H.J. Huskus Koopman.

Kekalahan Klungkung dalam menghadapi Belanda dalam perang Kusamba ( 24 Mei

1849). Mengharuskan Raja Klungkung menanda tangani di Kuta pada tanggal 13 JUli 1849 dan

di syakkan di Batavia pada tanggal 25 Agustus 1849. Pada perjanjian ini pihak Klungkung

diwakili oleh Dewa Agung Ketut Agung mengatasnamakan Dewa Agung Putra Raja Klungkung,

sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Van Swieten Vander Capelan. Pengerahan kedaulatan

pollitik ini dapat dilihat pada pasal 1 antara lain : …bahwa kita Ratu Dewa Agung Putra

Sesuhunan di atas pulau Bali dan Lombok mengaku yang kita punya kerajaan Klungkung, ini

adalah sebagian dari tanah India Nederland dan sebab itu ada dipemerintahan tanah Olanda yaitu

: Tanah Nederlan baik di darat seperti juga di atas kapal-kapal bendera dari negeri Klungkung

( Sidemen, 1938 : 71 ).

Belanda tidak puas dengan pengakuan dan penyerahan kedaulatan politik ke tangan

Belanda. Belanda ingin berkuasa penuh atas kerajaan Klungkung. Tanpa meletuskan peluru,

seperti yang dilakukannya terhadap Gianyar pada tanggal 23 Setember 1904. Belanda
Menyodorkan perjanjian yang telah melanggar kehormatan dan kedaulatan politik dalam Negeri

Kerajaan Klungkung.

Kontrak politik yang benar-benar telah membuat para pembesar kerajaan Klungkung menahan

amarahnya adalah kontrak politik yang disodorkan Belanda pada tanggal 19 Oktober 1906 yang

dilengkapi dengan perjanjian tambahan, pada tanggal 19 Januari 1908. Kedua perjanjian ini telah

menempatkan Kerajaan Klungkung dibawah pemerintahan Belanda sepenuhnya. Baik politik,

ekonomi, social Budaya.kedua perjanjian ini di tandatangani di Gianyar, Klungkung Hanya

mengirim utusan saja yang terdiri atas Cokorde Gede Raka dan Perbekel Ketut Lebah. Karena

itu penandatanganannya menjadi tertunda. Raja Klungkung baru menandatanganinya pada

tanggal 5 Januari1907 untuk perjanjian pertama dan tanggal 1 April 1908 untuk perjanjian ke

dua.

Perjanjian yang bersifat Ekonomin yaitu hubungan Bali dengan Belanda dalam bidang Ekonomi

terutama dalam hal perdagangan Budak dan Candu.

Raja-raja Bali telah melakukan penjualan Budak Bali sampai jauh ke luar wilayah Hindia

Belanda. Budak-budak Bali dijual sampai jauh ke pulau Mauritus jajahan Perancis, perdagangan

Budak merupakan pendapatan utama bagi para raja Bali, juga perjanjian yang bersifat social

budaya dalam masa kontrak dengan kerajaan Klungkung atau dengan kerajaan-kerajaan lain di

Bali. Walaupun Belanda ikut campur dalam bidang social budaya terbatas pada hal-hal yang

dianggap berada di luar batas kemanusiaan (yang dimaksud adalah mesatya padem ).

Oleh karena Gubernamen berhasil menghentikan tentang berbagai cara “ Mati Satya” di daerah

wilayah Klungkung sampai ke wilayah para raja-raja Bali se Nusa. Itulah sebabnya diadakan

suatu perjanjian oleh mereka berdua ( kedua belah pihak), Dewa Agung menyetujui permintaan

Belanda, persetujuan ini dimuat pada alenia tiga dan empat antara lain sebagai berikut : …Ida I
Dewa Agung sesuhunan ring Klungkung masobaya tiba ring ragan Ida, mekadi ring

sapranantika turun tumurun Ida, ngusanan salwiring solah karma mesatya satyaan

padem ring jagat Klungkung sakuhubnya. Pedagingan Ida I Dewa Agung tan wenten

pisan ngenakang ngicenin malih wawalun I Dewa Agung. Yadiapin wewalun sesemeton

Ida, Yadiapin wewalun isapesire ugi, kebasmi sareng ring sawan lanang nia, cendeka Ida I

Dewa Agung, tan wenten pisan ngenakangnglugrahang malih jadma isapesira ugi, padem

nyatyain sawan isapesire jua ( Sidemen, 1938: 76 ).

Yang artinya : Ida I Dewa Gede Agung sesuhunan di Klungkung berjanji pada dirinya sendiri

tentang kematian sampai dengan turun temurunnya menghentikan segala perbuatan “ Mati

Satya” di dalam wilayah Klungkung dan wilayahnya, bahwasanya Ida I Dewa Agung sama

sekali tidak berkenan mengijinka lagi para janda Ida I Dewa Agung seklaipun janda sanak

keluarga Beliau, walaupun janda siapa saja dibakar bersama-sama jenasah suaminya. Pendeknya

Ida I Dewa Agung sama sekali tidak berkenan untuk mengijinkan lagi rakyat, barang siapa saja

mati karena “Nyatyain” siapapun juga.

BAB II
PERLAWANAN RAKYAT KLUNGKUNG DALAM MENGHADAPI KOLONIAL
BELANDA
1. Perlawanan Rakyat Klungkung Dalam Mengusir Bangsa Asing.

Dalam perlawanan rakyat terhadap kekuasaan asing terjadi dari abad ke 17 sampai 19

dapat dilihat dari adanya para pemimpin dan para pengikut yang sering kali berasal dari

golongan yang berbeda. Sesuai dengan lingkungannya maka perlawanan yang terjadi di

lingkungan kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan atau rajanya sendiri. Bangsa

Indonesia pernah dijajah oleh Belanda, bangsa Portugis, bangsa Spanyol dan Bangsa

Inggris. Bangsa Indonesia karena sebagai daerah penghasil rempah-rempah terutama

Indonesia bagian timur, maka bangsa-bangsa Eropah berlomba-lomba untuk

menemuinya.

Setelah Malaka jatuh ketangan Portugis, ekspedisi seterusnya ke Indonesia, Maluku

dansekitarnya yang merupakan penghasil rempah-rempah yang terutama menjadi

sasarannya. Dengan ditemukannya Indonesia sebagai daerah penghasil rempah-rempah

menyebabkan timbulnya usaha-usaha dikalangan pedagang-pedagang bangsa Barat

Bangsa Eropah melakukan pencarian sendiri-sendiri untuk mendapatkan daerah-daerah

di Indonesia yang menghasilkan rempah-rempah. Keinginan ini timbul dikalangan

pedagang-pedagang bangsa Belanda yang pada waktu itu mempunyai peranan yang

cukup penting yaitu sebagai pedagang perantara. Sebelum Belanda pergi ke Asia tahun

1596 bangsa Belanda di Eropa merupakan pedagang-pedagang yang mengambil rempah-

rempah dari Indonesia di bawa ke Lissabon ( Portugal ) dan menyebarkan ke seluruh

Eropah.Tetapi pada tahun 1594, Belanda dilarang mengambil rempah-rempah lagi d

Lissabon karena ketika itu Portugal menjadi daerah Spanyol yang baru berperang
melawan Belanda . “Belanda ingin mengambil sendiri rempah-rempah dari

Indonesia.”( Soebantrdjo:80).

Ekspedisi Belanda yang pertama kali dipimpin oleh Cornelis De Houtman yang

berhasil mendarat di Banten, dalam perjalanannya ke daerah bagian timur kepulauan

Indonesia, rombongan Cornelis De Houtman singgah di Pulau Bali, bertemu dengan raja

Gelgel pada pemerintahan Dalem Segening. Ketika datangnya rombongan cornelis De

Houtman, Gelgel sedang merebut Kerajaan Pasuruan. Hal ini disebutkan oleh I Made

Subaga dalam bukunya : Riwayat Pulau Bali dari Jaman ke Jaman dinyatakan sebagai

berikut :

Baginda Sri Sagening ikut pula mengantarkan keberangkatan pasukan yang akan

mengadakan penyerbuan ke Pasuruan di iringkan oleh Kyai Lir dan beberapa pemuka-

pemuka masyarakat lainnya. Kebetulan pada waktu itu terdapat sebuah kapal dagang

bangsa Belanda (VOC) berlabuh di pelabuhan Kuta. Kapal pelabuhan tersebut di pimpin

oleh nachoda Cornelis De Houtman yang ingin berkunjung ke Bali. Untuk menghadap

Baginda Raja di Gelgel, tetapi maksudnya itu terpaksa diurungkannya berhubung

pemerintah di kerajaan Gelgel sedang sibuk dan akhirnya Cornelis De Houtman terpaksa

meninggalkan pelabuhan Kuta pada tanggal 27 Pebruari 1597. Setelah lebih kurang

sebulan lamanya mereka berlabuh disitu ( Subaga,- : 97)

Ketika Daendels diangkat menjadi Gubernur Jendral dengan tugas

memepertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris dengan demikian Belanda mulai

memperhatikan pulau Bali. Belanda menganggap pulau Bali dapat dipakai sebagi

benteng di timur untuk membendung ekspansi Inggris dan untuk memperkuat pasukan
perangnya. Daendels mencari calon-calon prajurit guna dilatih kemiliterannya yang akan

dipakai menghadapi Inggris.

Dalam hal ini pemerintah colonial menganggap orang Bali memiliki keberanian

cukup tinggi, ini terbukti dari sebuah kutipan : “ Gubernur jendral Daendels mengirim

Vander Wahl untuk mendapatkan calon-calon prajurit di Bali. Pada tangal 28 Nopembe

1808, Wander Wahl berhasil membuat suatu kontrak dengan raja Badung yang

menempatkan kerajaan dibawah perlindungan Daendels. Tetapi usaha itu tentu tidak

semata-mata karena melihat keuntungan ekonomi melainkan yang menjadi pula usaha

mencegah adanya pengaruh bangsa asing seperti Inggris di Bali (Pemerintah Daerah Tk.

I Bali, 1985:11).

Sehubungan dengan uraian-uraian tersebut diatas, semenjak pemerintahan

Daendels di Jawa kontak-kontak mulai berlangsung yang menyangkut dalam bidang

politik yang ditujukan Belanda terhadap raja-raja di Bali. Pemerintah colonial telah

banyak membuat kontrak-kontrak perjanjian dengan raja Klungkung, dimana dalam

kontrak tersebut telah banyak merugikan kerajaaan Klungkung kalau dilihat seluruh isi

surat-surat perjanjian yang disodorkan Belanda menunjukan tindakan Belanda yang

sangat licik.

Belanda berhasil membuat suatu kontrak yang bersifat detensif kepada pihak

Klungkung dalam arti bahwa dalam kontrak hanya dicantumkan kewajiban-kewajiban

yang harus dipenuhi oleh pihak Klungkung. Di dalam kontrak tersebut tidak ada suatu

kalimat yang menyatakan kesanggupan Belanda membantu atau menolong pihak

Klungkung, jika Klungkung mendapat hambatan atau rintangan-rintangan. Isi kontrak

tersebut berat sebelah hanya memberi tugas kepada Klungkung dan tidak ada timbal
balik. Konsep perjanjian yang disodorkan Belanda itu sudah tentu menyinggung perasaan

rakyat Klungkung yang mencintai tanah kelahirannya.

Hal ini menimbulkan reaksi rakyat yang rupa-rupanya tidak dihiraukan oleh

Belanda. Sikap Belanda yang demikian itu terpaksa harus dijawab dengan senjata oleh

pihak Klungkung. Sebagai akibat kontrak yang diadakan dengan pihak Belanda maka

sedikit demi sedikit telah menyebabkan raja Klungkung kehilangan kemerdekaannya

unutk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri. Sementara pihak Belanda tidak mau

tahu kepentingan-kepentingan wilayah yang menandatangani kontrak-kontrak tersebut.

Bagaimanapun sudah nyata para raja-raja yang menandatangani kontrak itu mengakui

kekuasaan Belanda di wilayahnya. Perjanjian tersebut ditandatangani pada tahun 1841.

Karena muncul rasa takut dari pihak Belanda, Gubernur Jendral Huskus

Koopman menuntut dengan sangat agar hak Tawan Karang dihapuskan, hal yang selama

itu masih dilaksanakan oleh rakyat Klungkung. Hal ini terbukti dengan dirampasnya dua

buah kapal Belanda yang terdampar di pantai Kusamba. “ Terdamparnya dua buah

perahu (sekoner) dimuara pelabuhan Batulahak, yang kemudian dirampas oleh penduduk

Pesinggan dan Dawan “ (Geguritan Rusak Buleleng : 25b).

Kedua desa diatas termasuk wilayah kerajaan Klungkung. Dalam perjanjian raja-

raja maupun raja lainya di Bali dengan pihak Belanda, dalam penghapusan hak Tawan

Karang rupanya hanya diketahui oleh raja dan aparat pemerintaj kerajaan. Rakyat sendiri

kiranya tidak mengetahui dengan baik atau jikapun tahu rakyat tidak menyetujuinya

sehingga terjadi perampasan Kapal di pelabuhan Batulahak.

Sehubungan dengan itu pula semua perjanjian-perjanjian yang telah

ditandatangani oleh kerajaan Klungkung dengan Belanda tidak mau dijalani dengan
sesungguhnya dan tetap membangkang terhadap ketentuan-ketentuan yang disepakati

oleh pihak Klungkung. Klungkung nyata-nyata melanggar perjanjian yang telah

disepakati ketika Klungkung mengirim pasukan perangnya ke Buleleng, dalam rangka

membantu kerajaan Buleleng yang sedang perang menghadapi pasukan Belanda. “ Hal

ini dilakukan ketika terjadi serangan Belanda terhadap Buleleng pada tahun 1846 dimana

bantuan Klungkung terlambat datang “. (Geguritan Rusak Buleleng: 16a).

Keterlibatan Klungkung membantu raja Buleleng melawan Belanda, bukanlah

sesuatu yang kebetulan terjadi tetapi telah dipersiapkan sebelumnya. Hal ini Nampak

jelas dalam surat raja Klungkung yang dikirim kepada Raja Karangasem tentang rencana

menghadapi Belanda di Buleleng. Dalam surat itu antara lain menyebutkan:

Kau Gde Ngurah, ayahnda memberitahu engkau ada pemberitahuan rakyatmu I


Lange kepada ayahnda agar ayahnda menjaga pulau Bali ini, sebabnya ia
mendengar berita pasti bahwa Belanda akan memerangi, menyerbu pulau Bali
yang akan diserbu Karangasem dan Den Bukit (Buleleng). Kalau benar apa yang
dikatakan oleh I Lange terhadap ayahnda dua yang kau hadapi bersama-sama
ayahnda. Seandainya kau setuju pendapat bapak lebih baik Bangli kita
selesaikan dahulu, mudah-mudahan ada perkenaan Tuhan terhadapmu dan
Bapak. Sebabnya bapak begitu terhadapmu, pada saat Belanda benar menyerang
Bali jelas sudah bapak bersamamu siap menghadapi perbuatan si Belanda.
Sekarang permintaan ayah terhadapmu agar kau mengutus seperti apa yang
dikatakan oleh I lange terhadap bapak juga ke Singaraja, ke Gianyar, ke
Mengwi, sama-sama sudah ada surat yang isinya sama dengan surat bapak
kepadamu.

Ayahnda Gede Putra

(Sidemen, 1983:86)

Pada masa peperangan di Jagaraga, laskar Jagaraga mempertahankan daerahnya dengan

suatu system perbentangan yang disebut dengan istilah Supit Urang. “ Dua tahun lamanya Patih
Jelantik membuat perbentangan yang terkenal dengan perbentangan : Supit Urang” ( Team

Penyusun Naskah dan Pengadaan Buku Sejarah Bali Daerah Tk I Bali, 1980:80)

Benteng ini dapat mempertahankan Jagaraga dalam waktu cukup lama. Disini dapat ditemukan

adanya system perbentangan yang cukup efektif untuk menahan serangan Belanda dari muka,

dari pengalaman pertama Belanda dapat mempelajari system perbentangan jagaraga dan rupa-

rupanya Belanda mengetahui posisi laskar Jagaraga sehingga dasar Urang dari belakang. Sebagai

dari akibat hal itu, benteng Supit Urang Jagaraga hancur berantakan di tahun 1849. “ Jendral

Michiels memutuskan dalam serangannya terhadap Jagaraga nanti akan dilakukan serangan

lintas berputar” (Proyek Penyusunan Sejarah Bali tahun 1984/1985 Pemda Tk I Bali, : 22)

Dari pengalaman pertempuran yang dialami laskar Klungkung di Jagaraga, terutama

pada waktu memperoleh kemenangan atas serdadu Belanda di tahun1848. Sesuai dengan uraian

didepan terdahulu bahwa Klungkung mau menandatangani perjanjian-perjanjian yang diajukan

oleh Huskus Koopman, hanyalah suatu siasat untuk dapat mengembalikan legetamasinya seperti

masa pemerintahan leluhurnya di Gelgel. Bagi kerajaan Klungkung titel sesuhunan yang

diberikan Belanda dalam beberapa kontraknay digunakan sebaik-baiknya untuk mendapatkan

kembali status ini yang dapat digunakan untuk menggalang persatuan melawan intervensi

Belanda. Sehubungan dengan itulah sebagai solidaritas terhadap raja-raja yang anti penjajah

sehingga Klungkung membantu Buleleng. Dalam perjanjian Klungkung dengan Belnda

sebenarnya Klungkung tidak boleh ikut campur urusan Buleleng dalam peperangan melawan

Belanda.

Hal ini sebenarnya yang menjadi titik tolak Belanda mengirimkan ekspansinya ke

Klungkung yang dipimpin oleh Jendral Michiels. Disamping itu kemarahan Belanda bertambah-

tambah karena ternyata Klungkung melanggar perjanjian tertanggal 24 Mei tahun 1843, yang
banyak menyangkut perkara penghapusan hak Tawan Karang. Dengan terdamparnya dua buah

perahu Belanda diikuti dengan perampasan dipelabuhan Batulahak oleh penduduk Pesinggahan

dan Dawan. Sikap ini memperlihatkan bahwa raja Klungkung betul-betul mengkhianati

perjanjian yang disepakati. Maka secara tidak langsung menyatakan permusuhan dengan

Belanda. Permusuhan itu nyata-nyata diwujudkan ketika terjadi perang Jagaraga pada tahun

1848. Klungkung dengan terang-terangan mengirim pasukannya ke Jagaraga dalam membantu

rakyat Buleleng untuk menghadapai intervensi Belanda di Buleleng. “ Laskar Klungkung

bergabung dengan laskar Gianyar dan laskar Mengwi berperang bahu menbahu dengan laskar

Karangasem dan Buleleng melawan Belanda. Pimpinan Klungkung dibawah pimpinan Dewa

Agung Ketut Agung”. (Sidemen, 1983:87). Ancaman Belanda terhadap Buleleng rupa-rupanya

memperkokoh persatuan raja-raja di Bali dalam rangka menghadapi musuh dari luar secara

bersama-sama. “ Keterlibatan Klungkung ini menyebabkan Belanda mengambil keputusan

melanjutkan serangan terhadap Klungkung setelah berhasil menaklukan Buleleng”. (Sidemen,

1983:87). Sehingga berkobarlah perang antara pasukan Belanda dengan laskar Klungkung di

kusamba tahun 1849.

Walaupun benteng Kusamba sangat strategis, perlindungan laskar Kusamba dan

Klungkung, nsmun Belanda dapat menguasai daerah perbentengan Kusmab dan tempat ini

dihancurkan dengan meriam Belanda, yang dibawa oleh angkatan perang Belanda. Hancurnya

tempat ini mengakibatkan rakyat menjadi kacau dan mundur kearah barat. Dalam perang

Kusamba, laskar Klungkung yang telah berhasil membunuh Jendral Michiels pimpinan tertinggi

pasukan ekspedisi Belanda. Dengan penandatanganan perjanjian 19 Januari 1908, rakyat

menjadi marah. Rakyat muak terhadap beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh patrol

Belanda. Walaupun raja menerima kenyataan ini karena ingin menyelamatkan rakyat dan
kerajaannya lewat diplomasi tetapi rakyat (panjak) tidak bisa menerimanya. Panjak (terutama

pengikut raja yang fanatik) mendorong raja dan para pembesar kerajaan mengadakan

perlawanan terhadap Belanda. Dorongan semangat perang rakyat inilah yang menyebabkan raja

Klungkung mampu mengerahkan pengikutnya untuk melakukan perang Puputan melawan

Belanda. Klungkung berhasil menahan serangan Belanda selama hampir 12 hari pertempuran.

2. Pengerahan Laskar

Dalam Puputan Klungkung ketika menghadapi intyervensi militer Belanda, pimpinan

tertinggi laskar kerajaan adalah Dewa Agung Putra (Dewa Agung Jambe) raja Klungkung.

Dewa Agung Jambe mengangkat panglima perang seperti Cokorda Gelgel (Bupati dan

paman raja), Dewa Agung Gde Semarabawa (Bupati wakil raja dan saudara raja, Dewa

Agung Rai (Bupati di Satria), Cokorda Gede Oka (Manca Agung/punggawa di

Banjarangkan). Para panglima ini dibantu oleh para pimpinan sikep (bala/laskar) yang

terdiri atas pemekel yang ahli perang berwibawa dan banyak memiliki pengikut (bala).

Berapa jumlah laskar kerajaan yang digerakan oleh raja Klungkung untuk menghadapi

intervensi Belanda belum diketahui secara pasti. Begitu pula belum dapat dipastikan berapa

jumlah prajurit yang dimiliki oleh kerajaan Klungkung yang pasti dapat dikerahkan dalam

perang puputan tahun 1908 itu. Ketika pecah perang terbuka antara kerajaan Buleleng (Den

Bukit) melawan Belanda dalam perang Jagaraga dari tahun 1848-1849. “Klungkung telah

mengirimkan bantuan laskar lengkap dengan persenjataan berjumlah 1650 orang (sepehe

skeet)”. (Sidemen, 1983:125)

Seorang penulis Belanda yang bernama Lants yang menerbitkan bukunya dalam tahun

1820-1827, Klungkung memiliki 15.000 orang prajurit. Jumlah prajurit ini dilaporkan oleh

seorang mata-mata Belanda bernama Abdulla El Marzil, denagn perhitungan bahwa satu
orang prajurit mewakili empat penduduk. Dapat dipastiakn bahwa perhitungan ini tepat

sekali tetapi dapat dipakai sebagai petunjuk memperoleh gambaran sejumlah laskar yang

telah dikerahkan raja Klungkung. Sumber Belanda memberitakan jumlah laskar Klungkung

yang berperang puputan adalah :

Laskar Gelgel yang gugur 100 orang, yang mundur 400 orang laskar, yang
mempertahankan istana 1000 orang. Dengan membandingkan semua keterangan
diatas dapat diperkirakan bahwa laskar kerajaan yang dikerahkan digaris depan
dalam perang puputan berjumlah lebih kurang 2000 sampai 3000 orang
(Sidemen, 1983:126)

Dalam organisasi kelaskaran Bali terdapat pembagian kelompok dengan nama dan tugas

sendiri-sendiri, Laskar secara keseluruhan disebut sikep atau bala, kelompok laskar yang

pertama disebut Laskar pemating yaitu prajurit pilihan yang betul-betul diandalkan bertempur di

garis depan atau melakukan serangan grilya. Pemating merupakan laskar berani mati, bertempur

dengan penuh keyakinan, mahir dalam tata perang dan teknik persenjataan serta pada umumnya

dianggap mempunyai jimat kekebalan. (Sidemen, 1983:126)

Peranan penting pemating sangat menentukan kalah atau menang dalam pertempuran.

Dalam sumber-sumber tradisional Bali yang memuat tentang sejarah perang baik perang saudara

maupun perang melawan intevensi Belanda banyakl dimuat tentang peranan yang sangat

menentukan dan laskar pemating antara lain:

Jatuhnya benteng Gualawah dan Kusamba ketangan Belanda didahului oleh hancurnya

laskar pemating Klungkung yang dipimpin oleh Dewa Ketut Agung, sebaliknya Klungkung

berhasil membunuh Jendral Michiels pada waktu dilakukan serangan balasan yang bersifat

grilya adalah berkat berhasilnya laskar pemating yang dipimpin oleh Anak Agung Made

Sangging. (Sidemen, 1983:130).


Ketika pecah perang antara Klungkung melawan Belanda menjadi perang Puputan, raja

Klungkung dan para panglima perang mengutamakan pengerahan laskar pemating yang

dipimpin oleh para pemekel masing-masing. Kebijakan ini diambil karena berdasarkan

pengalaman bertempur melawan Belanda, mereka memiliki kekuasaan dalam persenjataan yang

lengkap. Hal ini tampak jelas pada setiap tahapan perlawanan Klungkung hampir selama 12 hari.

Cokorda Gelgel berhasil gemilang menyergap pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Van

Nens. Karena keberhasilannya Cokorda mengerahkan laskar pemating andalannya sebaliknya

pertahanan Klungkung di desa Tojan, Galiran, Mergan menjadi berantakan karena laskar

pemating Klungkung dapat dihancurkan oleh serdadu Belanda.

Laskar kedua adalah Telik Tanem, merupakan laskar penyelidik yang bertugas

melakukan gerakan spionase untuk mengetahui kekuatan musuh antara lain: jumlah laskar,

persenjataannya, dan pesediaan logistiknya. Laskar ini sering melakukan provokasi, intimidasi

dan sabotase terhadap gerakan musuh. Sering kali telik tanem sudah lebih dulu melakukan

operasi di daerah musuh. Laskar ini memberikan petunjuk yang jelas tentang kedudukan musuh

yang harus dijadikan sasaran utama dalam penyerangan oleh laskar pemating. Sebagai contoh:

“ketika pasukan Belanda berhasil mendarat di Kusamba, telik tanem Klungkung menyebarkan

berita bahwa raja Klungkung telah mengirimkan utusan kepada raja-raja Bali-Lombok agar

mereka berontak pada saat Belanda menyerang Klungkung” (Sidemen, 1983:127).

Kelompok laskar lain disebut Pecalang merupakan Bayangkara Istana yang bertugas

melindungi dan mempertahankan istana dari serangan musuh, laskar ini juga disebut tabeng

dada (laskar perisai istana). Mereka mempertahankan hidupnya untuk raja atau para pembesar

kerajaan dengan mengorbankan jiwa. Musuh baru berhasil membunuh raja apa bila laskar
pecalang sudah gugur semuanya. Dalam sumber-sumber Belanda, laskar ini disebut sebagai

pengikut raja yang fanatik.

Dalam perang puputan Klungkung sebagian besar laskar Pecalang gugur bersama-sama

raja dan pembesar kerajaan Klungkung lainnya. Dalam kelompok terakhir adalah Endehan

(laskar rakyat) terdiri atas seluruh penduduk laki-laki yang sudah siap memanggul senjata.

Endehan merupakan laskar cadangan dengan jumlah paling besar, laskar ini yang setiap saat

dapat dikerahkan bisa diperlukan. Tugas utama endehan adalah menjaga desa-desa perbatasan

dari serbuan musuh. Apabila endehan menyerah kepada musuh maka berarti musuh sudah

berhasil memasuki kota dan kekalahan tidak dapat dielakkan lagi. Ketika pecah perang puputan

di ibukota Klungkung, laskar endehan ini hampir tidak sempat berperang, serdadu Belanda mulai

menyusup, menyerang desa Gelgel, Tojan, Jelantik, Galiran dan Mergan sambil menembaki dan

membongkar tembok-tembok rumah penduduk sepanjang jalan. Laskar endehan yang

seharusnya mempertahankan desa justru melarikan diri. Buyarlah perlawanan rakyat ini yang

memudahkan serdadu Belanda masuk ke ibu kota kerajaan Klungkung.

Didalam peperangan ini laskar Bali mengikat kepalanya dengan secarik atau sehelai kain

(bulet, udeng, sawen), mereka memakai rompi (baju tanpa lengan dan leher) berwarna merah

atau biru. Pada baju ini sering diselipkan jimat-jimat kekebalan. “ Apabila dalam suatu

pertempuran laskar Bali memakai pakaian terdiri atas kain panjang dan destar serba putih, maka

itu berarti mereka melakukan perang puputan”. ( Sidemen, 1983:128)

3. Sistem Perlawanan Rakyat Klungkung

Ditinjau dari jumlah dan system pertahanan kekuatan militer kerajaan Klungkung

tidaklah terlalu rendah apabila dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Bali.


Menurut ukuran militer pada waktu itu kekuatan militer Klungkung secara keseluruhan

cukup mampu untuk mempertahankan wilayah dan kemerdekaan negaranya. Jenis

senjata yang digunakan Laskar Klungkung terdiri atas: keris, tombak bertangkai panjang

atau pendek dan juga menggunakan bedil-bedil buatan Bali sendiri dan sebagian jenis

bedil diimpor dari Singapura yaitu meriam dan bila dipergunakan tidak di lapangan

terbuka tetapi dipakai untuk memperkuat benteng. Pada umumnya bengkel pembuatan

senjata tajam dan senapan ada di dalam istana. Persenjataan rakyat Klungkung pada

waktu itu diperkirakan oleh Belanda sebagai berikut: Belanda memperkirakan bahwa

laskar Klungkung memiliki kekuatan persenjataan terdiri atas 200 pucuk bedil,4 pucuk

senapan tembak ulang (repetier), 4 buah meriam perunggu dan lebih dari 1000 batang

tombak bertangkai panjang dan pendek. (Sidemen, 1983:129)

Klungkung dalam menghadapi serangan Belanda memakai system perbentengan.

System perbentengan masih bersifat tradisional, hanya mampu bertahan dalam perang

yang tidak menggunakan meriam kaliber besar. Benteng kerajaan Klungkung tidak

mampu menahan serangan Belanda yang dibantu oleh tembakan-tembakan meriam dari

laut. Pada umumnya system perbentengan terdiri atas dinding pelindung yang terbuat

dari tanah liat, kayu anyaman bambu atau tumpukan batu-batu. Pada dinding tebal

dibuat lubang meriam (lila) dan lubang-lubang dari tabung bambu bagi penembak

dengan senapan kecil, di belakang dinding pelindung dibuat serambi yang kuat dan

lubang-lubang yang diisi penuh dengan air sehingga ledakannya tidak banyak merugikan.

Pada setiap pintu utama yang memungkinkan musuh dapat menerobos masuk menuju

wilayah Klungkung ditutup dengan gebyog (semacam perangkap yang dibuat dari

bambu) di belakang dan di depan gebyog dipasang sungga poleng yaitu ranjau berkait
yang dibuat dari bambu, diberi tangkai yang ditutupi dengan perdu berduri. Tiap-tiap

benteng dan gebyog dipertahankan oleh laskar rakyat dengan sekuat tenaga agar musuh

tidak berhasil menerobos. Disamping itu keadaan geografis juga dipakai sebagai benteng

pertahanan seperti sungai, bukit, semak-semak atau hutan-hutan kecil. Sungai Melangit

yang terletak pada tepi tapal batas bagian barat kerajaan Klungkung, dipakai sebagai

benteng terdepan membendung serangan Belanda dari arah Gianyar. Sungai Unda

sebagai benteng penghambat gerakan serdadu Belanda yang menyerang dari arah

Kusamba.

Dalam perang puputan Klungkung system perbentengan seperti ini berhasil

menahan serbuan serdadu Belanda di benteng Banjarangkan. Pasukan Belanda yang

bergerak dari Gianyar, tidak berhasil menerobos Banjarangkan. Tetapi pada

perbentengan daerah timur dan selatan seperti Satria, Kusamba, Gelgel, Jelantik dan

Mergan benteng-benteng Klungkung dengan mudah diterobos pasukan Belanda,

Klungkung mengatur pertahanannya menjadi tiga jalur yaitu: Benteng timur berpusat di

Satria benteng timur harus mampu menahan serangan Belanda yang bergerak dari Lebu

(Karangasem) dan Kusamba benteng selatan berpusat di Gelgel, Jelantik, Galiran dan

Mergan. Benteng selatan harus mampu menahan serangan serdadu Belanda yang

menyerang dari arah Jumpai. Benteng barat berpusat di Banjarangkan dan diharuskan

dapat menahan serangan Belanda yang akan bergerak dari Tulikup-Gianyar (Sidemen,

1983:130)

Pembagian pertahanan menjadi tiga jalur ini juga dimaksudkan untuk memancing

agar kekuatan Belanda pecah menjadi tiga sehingga menjadi lemah. Ternyata Belanda

lebih pandai mengatur penyerbuannya terhadap system pertahanan seperti ini. Von
Schauroth sebagai pimpinan ekspedisi telah menetapkan kekuatan serangan Belanda

pada pasukan gabungan yang akan bergerak dari Kusumba dan Lebu. Pasukan ini akan

dapat diharapkan dan dapat bergabung dengan pasukan yang didaratkan di Jumpai.

Pasukan ini akan menyerang dengan tenaga terpusat menyerbu Klungkung setelah

melalui benteng selatan. Setelah pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Capenteer

Alting yang bergerak dari lebu berhasil menduduki benteng Satria , pasukan induk

bergerak keselatan menyusuri sungai Unda ditimur desa Gelgel.

Pasukan Belanda menyebrangi sungai memasuki desa Gelgel. Di Gelgel pasukan

induk bergabung dengan pasukan mariner yang mendarat di Jumpai yang dipimpin oleh

H. Missofer. Walaupun pasukan Belanda di Tulikup yang dipimpin oleh Kapten Van

NUes dapat ditahan oleh laskar Banjarangkan, tetapi pasukan induk Belanda dengan

kekuatan penuh menerobos benteng selatan memasuki kota Klungkung. Perhitungan ahli

perang Klungkung meleset, system pertahanan Klungkung menjadi berantakan pada

tengah hari dan kota Klungkung terkepung pada jam 15.00. Terjadilah puputan dan

kerajaan Klungkung jatuh ke tangan Belanda.

Belanda yang berpandangan moderat menganggap atau memasukan candu ke

Bali telah meracuni rakyat, orang-orang Bali telah kehilangan daya energinya karena

keracunan candu, candu sebagai kenikmatan telah menimbulkan mala petaka bagi rakyat.

Monopoli perdagangan candu yang diatur oleh Gubernemen di Bali dikhawatirkan

mengalirkan darah.

Raja-raja Bali sendiri menghendaki agar pemakaian candu terbatas pada golongan

atas saja sedangkan rakyat di dibebaskan dari pemakaian candu, tetapi kenyataannya

pemakaian candu tidak terbatas hanya pada masyarakat Bali lapisan atas saja tetapi juag
pejabat lapisan bawah dan rakyat. Karena itu candu merupakan masalah yang dapat

melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat Bali. Ini terbukti dengan:

Monopoli candu diterapkan dengan paksa oleh Belanda di Bali dengan dalih

menyelamatkan rakyat Bali dari bahaya buruk yang diakibatkan oleh pemakaian candu.

Tetapi dalam prakteknya monopoli candu oleh Gubernemen merupakan pajak yang

menyiksa penduduk dan menekan penghasilan para pembesar kerajaan. Menyakiti

penduduk dengan mengenakan pajak tinggi terhadap barang-barang kenikmatan sama

dengan mengambil keuntungan belaka sambil meracuni rakyat. Hal ini merupakan bukti

terjelek perbuatan Gubernemen di Bali. Merupakan aksi militer terselubung yang

akhirnya menimbulkan kebencian dalam hati penduduk. (Sidemen, 1983:131)

Ketidakpuasan para pembesar kerajaan dan kalangan atas, kebencian rakyat

karena system perpajakan baru yang terselubung dalam monopoli candu, keluhan

syahbandar cina yang telah dirugikan oleh Gubernemen lalu dipadukan oleh Cokorde

Gelgel menjadi suatu kebencian mengusir Belanda keluar dari wilayah kerajaan

Klungkung. Berturut-turut mulai tanggal 13, 14 dan 15 April 1908, Belanda

mengirimkann sebuah patrol bersenjata ke Klungkung dengan alas an mengadakan

pemeriksaan dan pengamanan terhadap tempat-tempat penjualan candu. Sebenarnya raja

Klungkung sudah menolak patroli Belanda masuk ke wilayah kerajaan Klungkung,

penolakan itu sudah diajukan sejak perundingan-perundingan tahun 1906. Dalam surat

raja Klungkung kepada Gubernemen Belanda tertanggal 7 Oktober 1906, dengan jelas

dinyatakan penolakan tersebut sebagai berikut :

Maksud Sri Paduka sahabat kita hendak menjalankan bala tentara Sri

Gubernemen berkeliling di dalam jajahan Klungkung, maka dari itu


haraplah kita minta maaf supaya Sri paduka sahabat kita jangan

meneruskan maksud itu, yakni menjalankan bala tentara itu (Sidemen,

1983:133)

4. Persiapan Perang

Persiapan menghadapi perang terbuka Melawan Belanda segera diatur. Benteng

timur yang dipusatkan di Desa Satria diperkuat oleh ratusan Laskar yang bersenjata bedil

tombak dan beberapa buah meriem. Laskar Benteng Timur harus mampu membendung

serangan Belanda dari Karangasem yang bergerak dari Desa Lebu. Laskar ini juga harus

mampu menghadang serbuan serdadu Belanda yang bergerak dari Kusamba. Laskar

Benteng Berada dibawah pimpinan Dewa Agung Raid an Para Kesatria lainnya.

Benteng selatan membentang sepanjang garis perbatasan dengan Gelgel, yang

dipusatkan di desa Kamasan, Jelantik, Galiranyang dipertahankan oleh laskar gabungan

yang dipimpin oleh Cokorde Gelgel, Dewa Agung Gede Semara bawa (saudara raja

beserta para pemimpin lainnya). Lebih dari 200 pucuk senjata atau bedil berada ditangan

laskar ini dan dilengkapi pula dengan dua buah meriem, laskar ini harus mampu

membendung serangan Belanda, juga harus mampu melakukan serangan balasan.

Benteng ini merupakan titik tumpu pertahanan Klungkung untuk menghadapi serangan

gabungan pasukan Belanda yang bergerak dari Kusamba, Stria, Jumpai, dan laskar

Belanda di Gianya yang bergerak dari pantai Lebih.

Benteng barat dipusatkan di desa Banjarangkan yang dipertahankan oleh

laskar gabungan dari desa-desa Banjarangkan, Tusan, Bakas, Nyalian, dan Tohpati.

Laskar ini dipimpin oleh Cokorde Gede Oka dan Cokorde Gede Raka. Laskar ini

sebagian besar bersenjata tombakbertangkai panjang atau pendek dan keris. Laskar
benteng barat harus mampu membendung dan menggagalkan serangan Belanda dari

Gianyar yang bergerak dari Tulikup. Jembatan sungai Melangit yang menggabungkan

Klungkung dan Gianyar harus dipertahankan, semua jalur yang dianggap sebagai pintu

masuk ke wilayah kerajaan Klungkung dan yang mungkin akan dilalui musuh, baik

Belanda maupun dari pihak raja-raja Bali yang bersekutu atau telah dikalahkan oleh

Belanda ditutup dengan gebiog (penghalang yang dibuat dari batang-batang bambu atau

kayu yang diberi ranjau berkait dan berduri-duri). Di depan gebiog digali lubang yang

ditepi luarnya dipasang sungga poleng ( ranjau berkait dari bambu diberi tangkai ). Di

belakang gebiog dengan jarak rata-rata 150 meter dibuat gelar (benteng) berbentuk

tembok yang terbuat dari tumpukan batu dan tanah liat, lengkap dengan lubang-lubang

pengintai dan tempat menembak.

Setiap gelar atau benteng dipertahankan oleh laskar, dan laskar endehan antara 50

sampai 150 orang dengan bersenjatakan tombak, keris, dan beberapa pucuk bedil, pada di

setiap gelar ditempatkan kulkul ( kentongan ) yang tebuat dari kayu sebagai alat

komonikasi yang paling cepat untuk memberitahukan jika kedatangan musuh. Laskar

disusun berlapi-lapis mengikuti struktur dan system perbentengan, garis pertahanan yang

paling banyak memerlukan system perbentengan seperti di atas adalah benteng barat ,

karena Banjarangkan paling jauh jaraknya dari ibukota lebih kurang 6 km, benteng timur

hanya 2 km, dan benteng selatan hanya 1,5 km dari kota.

Di dalam istana Semarapura dibuat benteng-bentengperlindungan ( blumbang )

untuk menghindari pecahan-pecahan peluru meriam. Pengalaman pada waktu perang

puputan di Denpasar, mendorong raja membuat system pertahanan seperti itu. Persiapan

militer seperti ini diharapkan dapat memberikan perlawanan berat bagi Belanda. Setelah
mengetahui bahwa Dewa Agung Jambe tetap pada pendiriannya, maka Belanda

memutuskan pemboman dengan meriam terhadap ibu kota Klungkung pada tanggal 21

April 1908, sepanjang hari kota Klungkung ditembaki oleh pasukan mariner Belanda

dengan tembakan meriam diarahkan ke istana Semarapura, Gelgel dan Satria. Tembakan

meriam ini bertujuan untuk merobohkan tembok-tembok tebal yang melindungi istana,

selain itu juga sebagai alat intimidasi untuk menurunkan semangat rakyat untuk

berperang melawan Belanda. Hampir selama 6 hari secara terus menerus Klungkung

ditembaki dari laut oleh pasukan mariner Belanda. Tembakan yang dilakukan Belanda

dari atas kapal laut ini juga sebagai taktik mengulur waktu sambil menunggu bantuan

ekspedisi yang ke enam dari Batavia. Ternyata tembakan-tembakan meriam di atas

ibukota Klungkung benar-benar telah mempengaruhi semangat tempur laskar rakyat

sehingga menjadi menurun, hanya prajurit kerajaan (pecalang) yang tetap bertahan

dengan setia bertempur membela kerajaan.

Ketika kota Klungkung sedang dihujani peluru meriam, laskar Banjarangkan

berusaha menghancurkan jembatan melangit yang merupakan satu-satunya penghubung

kerajaan Gianyar dengan kerajaan Klungkung. Maksudnya adalah mencegah agar

pasukan Belanda dari Gianyar tidak dapat menyeberang ke Klungkung melalui jalan

utama. Tetapi usaha laskar Banjarangkan tidak berhasil dan mereka kembali mundur ke

garis pertahanan mereka.

Pada tanggal 27 April 1908 malam pasukan Belanda yang dikirim dengan kapal

perang yang dipimpin oleh Van De Bosch tiba di perairan pelabuhan Jumpai. Dari atas

kapal lagi dikirim ultimatum kepada Dewa Agung, agar menyerah tanpa syarat dengan

seluruh pembesar kerajaan yang memberontak terhadap Gubernemen Belanda. Mereka


diberi waktu sampai jam 12.00 (tengah hari) apabila ultimatum tersebut tidak tidak

dijawab sampai dengan jam tersebut, maka pelabuhan Jumpai akan diduduki dan

keesokan harinya (selasa 28 April 1908) Belanda akan bergerakmenyerang Klungkung.

Dewa Agung Klungkung mengirim Jawaban atas ultimatum Belanda itu yang

isinya antara lain “ Minta penundaan waktu selama 5 hari untuk mengadakan

perundingan dengan para pejabat tinggi kerajaan mengenai persyaratan terssbut”

(Sidemen,1983:139). Permintaan penundaan waktu yang diminta oleh Dewa Agung

ternyata ditolak oleh Belanda. Klungkung kembali ditembaki dengan meriam dari laut.

Setelah Belanda tahu bahwa desa Jumpai telah dikosongkan oleh penduduk karena

ketakutan, lalu kapal Belanda mulai mendarat di Jumpai dengan menggunakan sekoci,

pendaratan mengalami kesulitan karena gelombang yang besar dan pantai terjal. Belanda

mendaratkan pasukan marinirnya yang dipimpin oleh De Brabant, De Tromp dan Hertog

Hendrik, pasukan mariner Belanda berhasil menduduki Desa Jumpai dengan amat mudah

kemudian memperkuat kedudukan mereka untuk melindungi pasukan yang akan

bergerak dari Kusamba. Selain itu pasukan ini juga harus memberikan dukungan dalam

penyerangan terhadap ibukota Klungkung, Belanda berhasil mendaratkan 450 serdadu

yang terdiri atas pasukan alteleri Geni Kavaleri dan kuli pengangkut.

Kapal Van De Boch dan Reiger melanjutkan pelayarannya ke Kusamba.

Pendaratan pasukan di Jumpai dimaksudkan sebagai tipuan agar dapat memberi

keuntungan kepada pihak Belanda. Belanda mengharap bahwa laskar Klungkung hanya

memusatkan perhatiannya terhadap pendaratan serdadu Belanda di Jumpai. Pasukan yang

akan didaratkan di Kusamba adalah inti kekuatan Belanda, karena itu harus diselamatkan

dari perhatian laskar Klungkung. Belanda tidak menyadari bahwa semua gerak-gerik
pasukan Belanda diamati terus menerus oleh laskar pengintai (Telik Tanem) kerajaan

Klungkung. Pasukan didaratkan di Kusamba sebagian besar terdiri dari pasukan batalion

ke 20 dan ekspedisi Belanda ke 6. Anggota pasukan terdiri atas serdadu sewaan orang

Indonesia terutama yang berpengalaman dalam perang Aceh.

Ternyata pendaratan pasukan Belanda di Kusamba mendapat perlawanan laskar

rakyat, tetapi perlawanan ini tidak berarti bagi pasukan Belanda yang bersenjatakan

lengkap. Perlawanan laskar rakyat Kusamba dengan mudah dapat dihalau oleh Belanda.

Namun serangan ini dapat memperlambat pendaratan serdadu Belanda. Pendaratan yang

telah mulai berlangsung pada pukul 06.30 dan baru dapat dirampungkan pada pukul

11.30. Kapal perang De Regentes mendaratkan pasukan mariner di pelabuhan Ujung

(Karangasem) pasukan ini adalah pasukan pengganti yang akan menempati dan

mempertahankan Belanda di Karangasem, yang ditinggalkan oleh pasukan darat yang

telah berangkat ke Desa Lebu.

5. Meletusnya Puputan Klungkung

5.1 Jalannya Pertempuran.

Untuk menaklukkan kerajaan Klungkung Gubernemen Jendral Van Hentz di

Batavia mengirimkan ekspedisi Belanda yang ke enam, kekuatan ekspedisi terdiri

dari gabungan kekuatan pasukan darat dan mariner yang diangkut oleh kapal-

kapal perang seperti ; De Brabant, Reiger, Mataram, Vanswoll, De Tromp dan

Hertog Hendrik. ( Sidemen,1983:140). Pimpinan ekspedisi dipercayakan kepada

Overstc Van Schavroth, yang juga menjabat sebagai pimpinan tertinggi pasukan

Belanda di Bali. Dalam Puputan Klungkung pemimpin pasukan sangat

diperlukan dalam menghadapi musuh, seorang pemimpin akan mempunyai


pengikut yang disegani. Hubungan antara pemimpin dan pengikut dalam perang

melawan colonial Belanda yang terjadi di Bali dan khususnya di Klungkung.

Bentuk hubungan ini sangat erat kaitannya dengan struktur pemerintahan dan

beberapa ketetapan pemerintah dalan pembentukan lembaga kerajaan. Golongan

yang menempati status pemimpin dalam peperangan atau kelaskaran adalah

mereka yang duduk sebagai aparat pemerintah dan orang-orang yang paling

berpengaruh serta ditaati oleh masyarakatnya (panjak tatadan) . Golongan ini

terutama adalah golongan yang memiliki peranan dan pengaruh dalam bidang-

bidang tertentu, dan dalam hal ini adalah dalam bidang kelaskaran (militer).

Sebagai pemimpin tertinggi adalah Raja, kepala Raja, kepala pemerintahan

kerajaan dan sepenuhnya bertanggungjawab menyelamatkan dan

mempertahankan kemerdekaan negara. Apabila timbul perang maka raja

memanggil seluruh rakyat (penduduk) yang dapat bertempur mengangkat senjata

mempertahankan kerajaan, semua golongan dalam masyarakat harus ikut

berperang.

Raja dapat menunjuk panglima perang yang langsung terlibat dalam

pelaksanaan perang, seperti strategi, taktik-taktik dan logistic. Jabatan ini

biasanya dipegang oleh para Manca Agung, Bupati atau Punggawa yang memiliki

keahlian militer dan memiliki pengaruh besar terhadap laskar. Para pendeta

kerajaan ( Bhagawanta) dan para Brahmana Ulaka (calon Pendeta) sering pula

dipercayakan oleh raja untuk memegang pimpinan dalam peperangan, pada

umumnya para pendeta dan brahmana ulaka diberi tugas sebagai utusan baik

dalam masa damai maupun masa perang.


Peranan Pedanda Gede Wayan Pidada dan Pedanda Ketut Pidada sebagai

Bagawanta di kerajaan Klungkung tampak sangat jelas, tetapi sumber-sumber

tidak menyebutkan peranan mereka didalam Puputan Klungkung. Walaupun

peranan Brahmana didalam puputan Klungkung tidak begitu menonjol

dibandingkan dengan peranan para ksatria, namun petunjuk-petunjuk bahwa para

brahmana juga memegang peranan dalam pimpinan sebagai laskar Klungkung,

sebagai contoh adalah “Seorang brahmana Gelgel yang bernama Ida Bagus

Jumpung”. (Rai Mirsha,1986:120). Sejumlah laskar KLungkung dibawah

pimpinan Brahmana ini menyerang pasukan Belanda, tetapi oleh karena Ida

Bagus Jumpung tertembak maka perlawanan ini seketika berhenti. Berdasarkan

mata-mata Belanda mengetahui bahwa benteng kerajaan Klungkung

dipertahankan dengan kuat oleh laskar yang dipersiapkan dengan baik. Kompi

angkatan darat Belanda di Karangasem dibawah pimpinan Corpentier Alting akan

bermarkas di Desa Lebu dengan kekuatan 110 orang serdadu. Pasukan ini

bertugas menyerang benteng desa Satria dan harus berhasil membuka pintu

pertahanan Klungkungdari timur, untuk memberi kesempatan bagi pasukan

bantuan yang bergerak dari Kusamba. Pasukan Carpentier Alting akan

berhadapan dengan laskar Dewa Agung Rai yang diperkuat oleh dua buah

meriem. Sementara itu Bevak Belanda di Karangasem akan ditempati oleh

pasukan Marinir Belanda yang didaratkan di pelabuhan Ujung.

Pasukan Belanda yang mendarat di Kusamba dipimpin oleh Mayor

Sepvanger akan bergabung dengan angkatan darat yang dipimpin oleh Letnan

Kolonel Van Schauroth dengan kekuatan 470 serdadu. Pasukan ini akan
menyerang benteng timur Kerajaan Klungkung, bersama-sama dengan pasukan

Carpentier Alting. Apabila benteng Satria sudah dapat dikuasai pasukan Belanda,

maka pasukan Belanda dipecah menjadi dua, sebagian menyerbu Klungkung

dengan menyeberangi sungai Unda menyerbu desa Lebah, terus ke Ibukota

Klungkung. Sebagian lagi bergerak ke selatan dan menyeberangi sungai Unda

bagian selatan melalui desa Tangkas, Kamasan, lalu Gelgel.Di Gelgel pasukan ini

akan bergabung dengan pasukan yang didaratkan di Jumpai yang dipimpin oleh

Mayor H.Missoper. Pasukan gabungan Belanda dibawah pimpinan Letnan

Kolonel Van Schauroth akan menyerang Klungkung dari arah selatan dengan

menerobos benteng Galiran dan Mergan. Pasukan Belanda akan berhadapan

dengan Laskar Klungkung dipimpin oleh Cokorde Gelgel dan Dewa Agung

Smarabawa. Laskar Klungkung yang mempertahankan benteng selatan ini

berkekuatan lebih dari seribu prajurit dengan bersenjatan bedil, tombak, keris dan

diperkuat dengan dua buah meriam.

Pasukan daratBelanda di Gianyar dipimpin oleh Kapten Van Neus akan

bermarkas di Tulikup. Pasukan ini akan memasuki Klungkung dengan lebih dulu

menyerang benteng barat. Pasukan ini mengharapkan minimal dapat

membendung musuh agar tidak dapat melarikan diri masuk ke wilayah kerajaan

Gianyar dan mencegah bantuan lascar dari kerajaan lain yang dikirim dengan

gelap ke wilayah Klungkung. Pasukan Van Neus yang bergerak dari Tulikup ini

akan berhadapan dengan lascar Banjarangkan (Laskar gabungan dari beberapa

desa di Banjarangkan) yang dipimpin oleh Cokorde Gede Raka dan Cokorda

Gede Oka.
Sementara pasukan darat Belanda berada di Tulikup maka bivak Belanda

di Gianyar ditempati dan dipertahankan oleh pasukan mariner Belanda yang

dpimpin oleh Letnan Laut Wissman. Penempatan ini dimaksudkan untuk

mencegah kemungkinan direbutnya bivak (markas) tersebut oleh Laskar

Klungkung yang berada di Gianyar secara rahasia. Telah banyak diuraikan diatas

bahwa sebelum Belanda menggempur kota Kerajaan Klungkung maka terlebih

dahulu diserang adalah Gelgel yang letaknya sebelah selatan Klungkung .

Pasukan pendaratan ini berkekuatan 144 orang serdadu dengan senapan dan dua

buah merian 3,7cm di bawah pimpinan Letnan laut J.J Heilbron. Sementara itu

pasukan yang ada di Karangasem dibawah pimpinan kapten Carpentier Alting

harus bergerak ke sebelah barat menduduki pos di Lebu dan dari sana bergerak ke

Klungkung. “Pada tanggal 17 April yaitu sehari setelah mendapat perlawanan di

Gelgel, Letnan Kolonel J.A.M.M Van Schauroth memutuskan untukmenyerang

Gelgel”. (Rai Mirsha, 1986:129). Untuk ini pada tanggal 16April jam 11.00

pasukan dari Gianyar telah berangkat ke Klungkung tetapi jembatan sungai

Melangit dirusak oleh laskar Klungkung.

Pasukan Belanda menembak dengan gencar sehingga jembatan bisa

dilalui tetapi sampai di Banjarangkan, pasukan Belanda mendapat serangan 50

orang laskar Klungkung yang bersenjatakan tombak. Kulkul bulus dipukul

diseluruh Banjarangkan kemudian diikuti desa-desa yang ada di sebelah timur

sampai ke Klungkung. Mendengar hal ini utusan Klungkung memerintahkan

menghentikan memukul kentongan dan laskar diperintahkan mundur. Laskar

Klungkung mundur tanpa meninggalkan korban. Pasukan belanda meneruskan


perjalanan dan pada jam 13.30 tiba di depan puri Semarapura, tetapi tidakmau

diterimaoleh Dewe Agung Jambe yang pada waktu itu Kapten Van Neus

melaporkan kejadian yang dialaminya di Gelgel dan menyusun siasat untuk

menyerang Gelgel.

5.2 Serangan Belanda di Gelgel

Insiden yang terjadi di gelgel pada tanggal 16 April 1908 seperti ditunggu-tunggu

oleh kedua belah pihak yang bersengketa, baik oleh Belanda maupun dari pihak

Klungkung. Tampaknya mereka ingin dengan cepat menyelesaikan sengketa politik

tersebut melalui penyelesaian dalam bentuk perang. Tanda-tanda yang semakin

mencurigakan pemerintah Belanda seperti penjagaan laskar Klungkung di jalan-jalan

sekitar Gelgel, sikap mementang Cokorda Gelgel terlebih-lebih dengan terbunuhnya

Letna Horemaker pada tanggal 16 April 1908, menambah kecurigaan Belanda

terhadap kemungkinan adanya perdaganganan candu gelap di Gelgel. Oleh karena itu

Letnan Kolonel Van Schauroth memutuskan menyerang Gelgel.

Peristiwa terbunuhnya Letnan Horemaker telah diberitahukan kepada residen Bali

dan Lombok yang pada waktu itu sedang ada di Ampenan Lombok sedangkan

bantuan pasukan akan di datangkan dari Denpasar. “Untuk menyerang Gelgel, Letnan

Kolonel Van Schauroth memerintahkan pasukan yang ada di Tampak Siring dibawah

pimpinan Letnan H.M Savale menduduki Gianyar dibawah pimpinan Letnan

Slijboom di perintahkan untuk ikut menyerang Gelgel”. (Rai Mirsha, 1986:129)

Pasukan pendaratan yang dikirim dari Denpasar diangkut dengan kapal Hr. Ms.

Mataram melalui pelabuhan Sanur menuju pelabuhan Lebih. Sementaraitu pasukan

Karangasem dibawah pimpinan Kapten Carpentier Alting yang tiba di Klungkung


pada jam 4 pagi menggabungkan diri dengan pasukan Kapten Van Neus. Pasukan ini

berkekuatan 47 orang serdadu dengan bersenjatakan klewang. Dengan demikian pada

waktu itu kekuatan Belanda terdiri dari 61 orang serdadu yang berasal dari detasemen

Denpasar dibawah pimpinan Kapten Van Hoogstraten. Detasemen Karangasem

berkekuatan 47 orang serdadu dibawah pimpinan Kapten Van Neus. Pasukan ini

ditambah lagi pasukan dengan 2 buah meriam 3,7 cm dibawah pimpinan Letnan

Heibron dan ambulan dibawah pimpinan Opsir Cosch.

Van Schauroth yang memegang pimpinan penyerangan terhadap Gelgel

memutuskan untuk berangkat pada jam 07.00. Penyerangan tidak langsung dari

Klungkung tetapi pasukan akan bergerak dahulu ke timur menuju Satria dan dari sana

memutar ke kanan menuju arah selatan. Dari sini pasukan akan bergerak ke baratdaya

menyerang Gelgel. Pada jam 07.00 pasukan Belanda baru diketahui oleh penduduk di

penduduk keluar membawa senjata tombak, keris dan senapan. Mendengar suara

kulkul bulus banjar-banjar yang lain yangada disekitarnya ikut memukul kentongan

sehingga seluruh banjar di desa Gelgel hiruk pikuk dengan suara kentongan. Pasukan

Belanda mulai menembak dengan gencar kesegala jurusan sehingga laskar Klungkug

yang baru keluar melalui angkul-angkul (pintu gerbang) masing-masing rumah

mereka terlambat melakukan perlawanan. Pada waktu itu lebih kurang 100 orang

laskar Gelgel gugur.

Pada jam 12.30 pertempuran agak reda dan ternyata hanya 5 orang serdadu

Belanda yang luka-luka. Mereka yang luka-luka adalah Snoek, Roest, Contuta,

Kypers dan Languer. Pasukan Belanda yang kekurangan persediaan senjata dan

makanan mulai bergerak mengundurkan diri kesebelah utara menuju kota


Klungkung. Kesempatan yang baik ini digunakan oleh laskar Klungkung untuk

melakukan serangan balasan yang ditujukan terhadap gudang candu seperti gudang

candu dirusak dan kemudian dibakar, sedangkan persediaan candu seharga f.6000

dirampas. Mas sastromidjojo yang menjabat sebagai pengawas penjualan candu

(mantra candu) dan ayahnyaMas Muhamad Tirtongulomo dianiaya kemudian

dibunuh. (Rai Mirsha, 1986:131).

Disamping Mas Sastromidjojo, Ali Mustapa yang menjabat sebagai pembantunya

juga dibunuh, sedangkan istri Mas Sastroamidjojo yaitu Raden Ngateng

Sastroamidjojo dapat menyelamatkan diri kemudian dengan kapal Reiger mengungsi

ke Singaraja.

Melihat pasukan Belanda mudur kesebelah utara kea rah Semarapura, Cokorda

Gelgel mengira bahwa pasukan Belanda akan menyerang Puri Semarapura. Oleh

karena itu dengan 400 orang laskar, melalui PuraDasar mereka bergerak kearah

sebelah utara dan disetiap banjar jumlah pengikut bertambah banyak sehingga hampir

seluruh kaula Gelgel mengikuti jejak pemimpin mereka. Sampai di Klungkung

jumlah pengikut Cokorda Gelgel hampir 1000 orang dan ternyata bahwa pasukan

Belanda belum sampai di puri. Sementara itu gerakan pasukan Belanda dihadang

ditengah jalan. Persediaan makanan dan amunisi yang diletakan didepan puri

Semarapura dirampas.

Melihat keadaan ini Letnan Kolonel Van Schauroth memutuskan untuk

mengundurkan diri. Pasukan yang sedang kekurangan makanan dan amunisi menuju

Pantai Lebih disebelah barat laut Semarapura, wilayah kerajaan Gianyar. Apabila

diperhatikan kembali aktivitas Puputan maka tampak bahwa perlawanan yang


dilakukan oleh laskar Klungkung telah menyeluruh tetapi tampaknya antara

perlawanan-perlawanan yang satu dengan perlawanan yang lain tidak saling

koordinasi. Perlawanan di Banjarangkan tidak diikuti oleh perlawanan di daerah-

daerah lain secara serentak tetapi berhenti seketika apabila pasukan Belanda telah

menghilang dari daerah mereka sendiri. Demikian juga perlawanan yang di Gelgel,

Satria, Klungkung tidakdilakukan serentak tapi sporadis.

Pada waktu sampai di pantai Lebih, barulah serdadu yang telah kelaparan

memperoleh makanan yang diangkut oleh kapal Mataram. Pada malam itu juga

Residen Bali dan Lombok tiba dengan kapal perang Reiger dari Ampenan bersama-

sama empat buah kapal perang lainnya yang memuat angkatan laut dibawah

pimpinan Kolonel Koster.

Pada malam itu diadakan rapat untuk menyusun siasat menggempur Puri

Semarapura. Rapat itu dihadiri oleh Residen Bali selatan Schwaartz. Rapat

memutuskan untuk menyerang Klungkung secara langsung tetapi menunggu bantuan

pasukan dari Jawa. Untuk ini pada tanggal 18 April, Residen Bali dan Lombok

mengirim telegram permintaan pasukan dari Jawa. Sementara itu pasukan Jawa

belum datang diputuskan juga mengirim ultimatum kepada Dewa Agung Jambe agar

dalam waktu 24 jam menyerah kepada Belanda. Untuk memperkuat ultimatum itu

pasukan angkatan laut secara terus menerus menembak Satria, Klungkung dan Gelgel

dengan meriam 13,7 cm dan 15 cm. Dalam penyerangan ini pasukan Gianyar,

Denpasar dan Karangasem akan bergabung bersama menyerang Klungkung.

Selanjutnya diputuskan bahwa pasukan penjaga perbatasan harus kembali

ketempatnya masing-masing. Kapten Van Neus menduduki perbatasan Gianyar dan


Klungkung dan harus memusatkan pasukannya di Tulikup.Pasukan Carpentier Alting

menduduki perbatasan Klungkung dan Karangasem sedangkan pasukan Denpasar

tetap sebagai cadangan.

Terhadap ultimatum yang dikeluarkan pemerintah Belanda, Dewa Agung jambe

menolak dengan tegas. Hal ini berarti belum ada tanda-tanda dari kedua belah pihak

mengusahakan perdamaian dan ini berarti pertemuan lebih lanjut tidak dapat

dihindarkan lagi. “ Keadaan ini mendorong kerajaan Klungkung untuk

mempersiapkan diri menghadapi serangan Belanda”. (Rai Mirsha, 1986:135).

Laskar Klungkug telah mempersiapkan lubang-lubang perlindungan yang ditutup

dengan pohon-pohon kelapa dan tanah liat. Disepanjang jalan menuju Semarapura

disebarkan ranjau bamboo dan untuk menahan gerakan pasukan Belanda di bangun

tembok-tembok pertahanan dari batu dan tanah liat. Untuk menjaga kemungkinan

serangan pasukan Belanda dari Gianyar maka pada tanggal 22 April, laskar

Klungkung merusak jembatan yang ada disebelah barat kerajaan Klungkung.

Jembatan ini adalah jembatan Sungai melangit yang menghubungkan jalan dari

Gianyar menuju Klungkung. Kapten Van Neus cepat mengambil tindakaan

menembak laskar Klungkung dengan senjata 3,5cm sehingga jembatan itu masih bisa

menghubungkan jalan menuju Klungkung.

Tampaknya laskar Klungkung memusatkan kekuatan di sekitar Puri Semarapura.

Untuk menghadapi kemungkinan serangan pasukan Belanda yang datang dari sebelah

timur yaitu dari Karangasem. Laskar Klungkung memperkuat pertahanan di Satria

dibawah pimpinan Cokorde Rai. Klungkung menduga bahwa serangan pasukan

Belanda yang paling benar mungkin akan datang dari sebelah timur Puri
Semarapura.Dua buah meriam dipasang lagi disebelah selatan puri untuk menghadapi

kemungkinan serangan pasukan yang datang dari sebelah selatan dan barat.

Sementara itu pada tanggal 20 April bantuan pasukan yang diminta oleh Residen

Bali dan Lombok telah berangkat dari Batavia. Pasukan ini terdiri dari satu seksi

pasukan zeni yang terdiri dari tugas-tugas kesehatan ditambah sejumlah tahanan

kerajaan. Kapal Van Swooll yang mengangkut pasukan bantuan ini singgah di

Surabaya dan dinaikkan lagi sejumlah pasukan yang terdiri dari dua seksi penembak

mariner caliber 3,7 cm, dua seksi alteleri pegunungan. Pasukan ini diangkut dengan

kapal De Boch dan diambil dari batalyon ke 20 dibawah pimpinan Mayor Snepvangrs

dengan staffnya Kapten Van Hulsteijn P.E Spaan, W Beiyerink, dan W.H Chey

ditambah Letnan H. Hebb, G.W Candri, J. Blumer, J Debus. L Doebel, L.J Yoachens.

Van Swooll bertolak dari Surabaya pada tanggal 25 April jam 17.30 dan sampai di

pelabuhan Lebih pada tanggal 26 April, Jumpai dan akhirnya Kusamba.

Di pelabuhan Kusamba bertambah juga kapal-kapal seperti De Tromp, De

Brabant, De Mataram, De Hendrik Reiger Argus. Kapal-kapal ini sibuk melayani

pasukan Belanda pulang pergi antara Lebih-Jumpai dan Kusamba. Kesibukan juga

nampak pada kapal-kapal meriam 15 cm karena bertugas menembaki Gelgel,

Klungkung dan Satria. Tembakan-tembakan meriam dari atas kapal terus dilakukan

karena Dewa Agung Jambe tidak mau menyerah. Kapal Hertog Hendrik, Prisn

Hendrik mulai menembak Gelgel dengan sepuluh kali. Tembakan diikuti Klungkung

dan Satria oleh De Noord Brabant dan DeTromp sehingga selama 11 hari Klungkug,

Gelgel dan Satria dihujani oleh tembakan-tembakan meriam. Diantara tembakan-


tembakan meriam itu ada yang jatuh di raja dani yaitu tepat di Puri Semarapura

dimana para wanita bertempat tinggal tetapi menurutlaporan tidak ada korban jatuh.

5.3 Jatuhnya Kerajaan Klungkung ke tangan Belanda

Dengan insiden yang terjadi di Gelgel itu maka kedua belah pihak ingin

menyelesaikan sengketa tersebut dengan cepat, baik dari pihak Belanda maupun

pihak Klugkung. Bagi kerajaan Klungkung penyelesaian ini adalah hak untuk

mempertahankan diri dan membela kemerdekaan tanah air dari ancaman penjajahan

Belanda. Klungkung bertekad menyelesaikan sengketa ini sampai Belanda keluar dari

Klungkung dan dari Bali pada umumnya. Sedangkan bagi Belanda penyelesaian ini

adalah untuk mempercepat proses penguasannya terhadap kerajaan-kerajaan di pulau

Bali.

Dewa Agung telah lebih dahulu menyadari bahwa berperang menghadapi

serdadu Belanda yang memiliki kekuatan militer lebih besar dengan persenjataan

lengkap serba mesin kemungkinan memperoleh kemenangan amat tipis. Kekuatan

Badung dalam pertempuran terbuka melawan Belanda pada bulan September 1906

banyak mempengaruhi rasa pesimis raja Klungkung. Karena itu Dewa Agung

berusaha mengulur-ulur waktu sepanjang panjangnya agar dapat mempersiapkan diri

lebih mantap. Dewa Agung tetap berharap agar serdadu Belanda membatalkan

serangannya terhadap Klungkung. Pembatalan ini berarti Klungkung tetap dapat

menikmati kemerdekaannya.

Pecahnya perang terbuak di Gelgel antara laskar Gelgel melawan serdadu

Belanda menyebabkan DewaAgung memilih sikap menghadapi Belanda dengan jiwa

ksatria. Raja menyerahkan seluruh laskar kerajaan agar bertempur habis-habisan.


Rakyat mendorong raja dan para pembesar kerajaan agar mengadakan perlawanan

terhadap Gubernemen Belanda. Rakyat merasakan bahwa kebijakan sistem pajak

baru melalui penjualan candu yang diterapkan Belanda telah menekan hidup rakyat.

Rasa hormat dan kesetiaan rakyat terhadap rajanya merupakan


pencerminan hubungan erat kawula gusti dalam struktur masyarakat
Bali. Hubungan ini banyak mempengaruhi dan mendorong raja
Klungkung menghadapi Belanda dengan gagah berani. Dengan penuh
keyakinan dan jiwa ksatria Dewa Agung memutuskan berperang sampai
titik darah penghabisan untuk mempertahankan kehormatan dan
kemerdekaan. (Sidemen, 1983:142)

Hari Selasa 28 April 1908, seluruh pasukan ekspedisi Belanda ke VI mulai

bergerak menyerang ibu kota Klungkung. Serangan ini dilindungi oleh tembakan-

tembakan meriam dari atas kapal perang yang berlabuh di pantai pelabuhan Jumpai.

Pasukan pelopor Belanda yang dipimpin oleh Mayor Snepvanger bergerak menuju

benteng Satria. Pada saat yang sama bergerak pula angkatan darat yang dipimpin oleh

Kapten Carpentier Alting dari Lebu (Karangasem) menuju Satria. Adapun tanda-

tanda sebelum runtuhnya kerajaan Klungkung adalah sebagai berikut:

Raja Klungkung merasa pesimis untuk memperoleh kemenangan


dalam perang terbuka berupa kejadian-kejadian baik alam maupun
dalam masyarakat. Kejadian ini dianggap sebagai petunjuk akan
runtuhnya kerajaan. Misalnya bintang berasap (bintang kukus), amuk
(seseorang tiba-tiba mengamuk dalam istana pada saat siding kerajaan
berlangsung). Sidemen, 1983:142

Pertempuran meletus di seluruh desa Satria. Laskar Klungkung menahan serangan

pasukan Belanda dan pasukan Belanda berhasil menghancurkan pertahanan tersebut.

Dua buah meriam yang diharapkan ikut membantu pertahanan benteng Satria

ternyata tidak berfungsi. Dalam pertempuran ini puluhan prajurit Klungkung gugur,

sisanya mengundurkan diri dengan menyebrangi sungai Unda lalu bergabung dengan
laskar yang mempertahankan kota Klungkung. Kompi pasukan Belanda di Tulikup

(Gianyar) yang dipimpin oleh kapten Van Neus, menyerang benteng Banjarangkan.

Serangan Belanda tidak berhasil menembus benteng yang dipertahanakan dengan

kuat. Laskar Banjarangkan yang dipimpin oleh Cokorda Gede Oka dan Cokorda

Gede Raka berhasil menahan serangan pasukan Belanda yang bersenjata lengkap.

Sistem perbentengan yang berlapis-lapis yang dibangun dari mulai tepi timur sungai

Melangit berhasil membendung Belanda sehingga tidak berhasil memasuki wilayah

Kerajaan Klungkung. Pasukan Belanda bertahan di tepi timur desa Tulikup. Pasukan

bantuan Belanda yang didatangkan dari Denpasar memasuki wilayah kerajaan

Klungkung dengan menyusuri pantai melewati Lebih, Tegalbesar dan tiba di Klotok.

Setelah pasukan Belanda berhasil menduduki benteng Satria, lalu pasukan memecah

diri. Pasukan pelapor dan seluruh kompi Van Schauroth bergerak ke selatan lalu

menyebrangi sungai Unda mencapai desa Tangkas. Pasukan Belanda berhasil

mencapai Gelgel dengan menghadapi perlawanan yang tidak berarti. Di Gelgel

pasukan ini bergabung dengan pasukan pendarat yang dipimpin H. Missofor. Pasukan

Belanda dengan mudah menerobos rintangan-rintangan yang dipasang sepanjang

jalan desa Gelgel.

Pasukan Belanda ditahan didepan desa Galiran oleh serangan mendadak dari

Laskar Klungkung. Laskar Klungkung melakukan serangan lambung dengan

tembakan-tembakan bedil dan tikusan (donderbus, sejenis alat peledak yang bersuara

keras). Kompi pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Carpentier Alting

melanjutkan serangannya dari desa Satria menuju ibukota Klungkung. Pasukan ini

dengan mudah melewati pertahanan desa Lebah karena hamper tidak ada perlawanan
yang berarti. Belanda sudah memasuki kota dari pintu timur, Carpentier Alting

menahan serangannya karean menunggu pasukan induk dapat memasuki pintu kota

bagian selatan. “Ibu kota Klungkung akan diserang secara serentak dari dua arah

timur dan selatan. Sistem penyerangan ini akan membagi daya tahan laskar

Klungkung menjadi dua sehingga akan melemahkan pertahanan kota”. (Sidemen,

1983:143)

Ketika pasukan Belanda di selatan dapat dibendung oleh laskar Klungkung, maka

pasukan Carpentier Alting segera menyerang ibukota dari timur. Laskar Klungkung

yang mempertahankan tepian timur ternyata tidak mampu menahan serangan

Belanda, yang dipelopori serdadu Islam, dengan mudah melanda laskar Klungkung

mulai dari banjar Lebah. Pasukan induk Belanda yang menyerbu dari selatan dengan

bantuan pasukan geni mulai merobohkan tembok rumah penduduk untuk mencegah

serangan gerilya yang dengan tiba-tiba dapat menyerang pasukan dari arah lambung.

Sebelum menyebrangi Sungai ayung (sungai kecil atau telabah) pasukan belanda

memecah diri menjadi dua pasukan. Sebagian bertolak kebarat dengan tujuan

menyerang istana Klungkung dari lambung barat. Sebagian lagi bertolak ke timur

memasuki Lekok, membantu pasukan Belanda yang dipimpin Carpentier Alting.

Pasukan induk yang dipimpin Von Schauroth tetap bergerak dari selatan . Semua

pintu kota (timur, selatan, dan barat) sudah dikuasai Belanda dan ibu kota dikepung

pasukan Belanda. Istana Semarapura terkepung. “Jatuhnya benteng tepian kota

ketangan Belanda berarti istana raja telah terkepung. Lebih dari 1000 orang prajurit

mempertahankan istana raja, tanda-tanda akan terjadi perang Puputan menjadi jelas”.

(Sidemen, 1983:144).
Sebagian laskar pemating dan pecalang (Bayangkara istana) memakai pakaian

perang yang terbuat dari kain putih yang dikenakan sebatas lutut. Mereka memakai

ikat kepala berwarna putih, kuranglebih ada 200 prajurit bersenjata bedil, sedang

bagian terbesar memakai tombak bertangkai pendek. Terdapat 4 meriam yang

diharapkan ikut mempertahankan istana. Para pemimpin laskar juga memakai

pakaian putih sebatas lutut dengan ikat kepala putih, bersenjatakan keris terhunus.

Apabila sebagian besar laskar dan para pemimpin sudah memakai pakaian dan

peralatan perang seperti ini, berarti mereka akan berperang habis-habisan (Puputan)

mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan. Sebenarnya pemerintah Hindia

Belanda maupun pemerintah di Netherland tidak menghendaki tragedi Puputan

Badung terulang kembali. Pemerintah Belanda amat terkejut menerima berita perang

puputan di Badung. Mereka mengisyaratkan kepada pemerintah colonial Belanda

agar mencegah terjadinya perang puputan di Klungkung. Gubernemen Hindia

Belanda harus memakai jalan yang paling baik dalam menyelesaikan perang terhadap

Klungkung.

Pasukan Belanda yang mengurung istana dan pusat ibu kota tidak mengindahkan

isyarat yang pernah diterimanya dari negerinya sendiri. Belanda yakin bahwa raja

Klungkung akan menyerah bersama-sama para pembesar dan prajurit kerajaan.

Lebih dari 1000 orang prajurit sudah bertekad


menghadapi Belanda dengan perang puputan. Bagi laskar
Klungkung bertahan atau menyerang akibatnya sama saja.
Harapan untuk memperoleh kemenangan dalam situasi
pertempuran yang tidak berimbang (terutama dalam persenjataan)
adalah hal kecil sekali. Sebaliknya kekalahan sudah nampaknya
tidak dapat di tolak lagi. Tosning satria mautama, satya salulung
sabyantaka, mewarnai keputusan sikap perang puputan yang
diambil oleh sebagian besar laskar yang mempertahankan istana.
(Sidemen, 1983:145)
Cokorda Gelgel dan Dewa Agug Gede Semarabawa memutuskan untuk

menyerang kedudukan Belanda dan menghancurkan blockade musuh. Dengan

menghunus keris, kedua pemimpin keluar istana diikuti oleh ratusan laskar pemating

dan pecalang, mereka mengamuk dan menyerbu kedudukan pasukan Belanda di

benteng selatan. Belanda dengan mudah menembaki prajurit Klungkung yang sedang

kalap. Laskar Gelgel berguguran seperti laron yang menyerbu nyala lampu.

Walaupun Belanda dengan mudah menembaki prajurit Klungkung, tetapi serangan

heroic ini cukup mengejutkan serdadu Belanda.

Belanda sadar bahwa pengalamannya di Badung akan terulang kembali. Pasukan

Belanda melipatgandakan kewaspadaannya dan kepungan terhadap istana Klungkung

lebih diperkuat Kapten Carpentier Alting menggerakan pasukannya perlahan-lahan

mendekati istana. Begitu pula pasukan Von Schauroth, pasukan H. Missofer mulai

menyebrangi sungai kecil Ayung dan bergerak perlahan mendekati istana dari arah

barat daya. Gerakan lambat bertujuan untuk mencegah agar peristiwa tragis di

Denpasar tidak terulang lagi di Klungkung. Kepungan dalam jarak dekat

dimaksudkan sebagai intimidasi total agar Dewa Agung dan para pembesar kerajaan

mau menyerah tanpa meneteskan darah, ternyata pasukan Belanda tidak berhasil

mencegah peristiwa puputan tersebut.

Gugurnya Cokorde Gelgel dan Dewa Gede Semarabawa serta para prajurit

Klungkung segera disampaikan kepada Dewa Agung. Sang putra mahkota Dewa

Agug Gede Agung yang walaupun usianya masih 12 tahun turun ke medan perang

mengikuti ibu suri Dewa Agung Muter. Sisa prajurit pemating yang masih berada

dalam istana keluar mengikuti putra mahkota. Semuanya berpakaian perang warna
putih pertanda mereka akan bertempur sampai mati di swargan (surga) bagi kesatria

yang gugur di medan perang membela kebenaran dan kemerdekaan, telah menyusup

semangat puputan ke dalam semangat tempur prajurit dan pemimpinnya. Mereka

turut serta mengajak anak serta istrinya dengan tujuan bersama-sama menuju surga.

Laskar yang dipimpin oleh putra mahkota dan ibunda suri dengan mudah di tembak

oleh serdadu Belanda yang mengepung istana dari selatan. Putra mahkota, ibu suri

dan puluhan prajurit gugur dalam perang puputan. Laskar Klungkung menyerbu silih

berganti mencoba menerobos kepungan Belanda, tetapi mereka gagal dan gugur satu

persatu. Mengetahui putra mahkota dan permaisuri telah gugur di medan perang

maka Dewa Agung Jambe memutuskan maju berperang sampai titik darah

penghabisan. Kekalahan sudah tidak dapat dihindari lagi tetapi kekalahan itu harus

dihadapi dengan sikap kesatria sejati. Dewa Agung Jambe keluar dari istana diikuti

para abdi yang masih hidup dan setia. Laki-laki, perempuan dan anak-anak pembesar

kerajaan, laskar pecalang dan pemating semuanya berpakaian serba putih dengan

keris terhunus dan tombak bertangkai pendek.

Para pemimpin dan serdadu belanda menyaksikan iring-iringan tersebut keluar

melalui pintu gerbang utama istana. Pasukan Belanda sadar bahwa perang puptan

sudah mencapai puncaknya. Dewa Agung Jambe menyerbu disertai oleh para

pengikutnya, pasukan Belanda menembak dengan gencar Dewa Agung Jambe. Raja

Klungkung roboh dan gugur mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaannya.

Hampir seluruh keluarga istana dan para pembesar kerajaan gugur sebagai pahlawan.

Para kepala bawahan, para pemimpin laskar dengan dukungan sisa-sisa laskar yang

lain menyerbu kepungan Belanda dan semuanya gugur satu persatu.


……suatu peristiwa yang sangat mengerikan dan menyayat hati
serta menegangkan syaraf telah terjadi hanya berjarak 100 meter di
depan serdadu.
…..seorang raja yang mulia dan terpuji tergeletak disana dengan
tengkorak hancur dan otaknya keluar berhamburan. Sedikit agak ke
depan terlihat para istrinya gugur dengan luka parah terkena peluru.
….puputan bukan suatu taktik perang putus asa. Puputan adalah
suatu penyelesaian perang membela kemerdekaan dan kebenaran dari
ancaman asing. Kekalahan tidak dijemput dengan penyerahan tetapi
oleh semangat perang dan ajaran suci yang diajarkan agama Hindu
(metelasan nindihin dharma). (Sidemen, 1983:146)

Klungkung jatuh ke tangan Belanda dengan gugurnya raja Klungkung bersama-

sama dengan seluruh anggota keluarga istana, para pembesar kerajaan dan lebih dari

1000 orang prajurit yang setia maka perangpun berhenti. Tembak menembak yang

tidak seimbang yang telah berlangsung hampir selama 4 jam disekitar istana telah

berakhir menjelang sore hari dengan kemenangan berada pada pihak Belanda. Sore

hari sekitar pukul 15.00 kota Klungkung jatuh ke tangan Belanda.

Desingan peluru dan teriakan laskar yang meregang nyawa kemudian berubah

menjadi alunan tangis dan rintihan kesakitan yang memilukan. Mayat prajurit

bergelimpangan, bertumpuk dan darah mengalir di sela-sela tumpukan jenasah.

Sampai larut malam rakyat Klungkung dibantu oleh serdadu Belanda sibuk

menyelenggarakan jenasah laskar Klungkung. Belanda juga memerintahkan

menyelenggarakan jenasah raja dan keluarganya serta para pembesar kerajaan

dengan sebagaimana mestinya. Pada pagi harinya raja Klungkung adalah musuh

Belanda yang disegani tetapi pada sore hari jenasah raja adalah jenasah pahlawan

yang di upacarakan sebagaimana lazimnya seorang raja menurut kepercayaan agama

Hindu. Jenasah raja, keluarga raja dan para pembesar kerajaan dibakar ditempat

pembakaran Tegallinggah Klungkung.


5.4 Arti dan Makna Puputan Klungkung

Puputan Klungkung yang terjadi pada tanggal 28 April 1908 puputan bukan suatu

taktik perang putus asa. Puputan adalah suatu penyelesaian perang membela

kemerdekaan dan kebenaran dari ancaman asing. Kekalahan tidak dijemput dengan

penyerahan tetapi oleh semangat perang dan ajaran suci yang diajarkan agama Hindu

(metelasan nindihin dharma).

Melakukan perang puputan bagi pelaku-pelakunya di kerajaan klungkung berarti

salah satu jalan menuju kesempurnaan hidup di dunia lain. Mati dalam perang dan

puputan akan mendapatkan surga. Dengan demikian berarti bahwa ada factor yang

mendorong orang-orang Klungkung melakukan perang dan puputan yang dianggap suci

tersebut.

Adapun makna dari puputan Klungkung tersebut ada dua. Makna pertama yaitu

menitik beratkan pada dimensi waktu lampau untuk memetik nilai-nilai historis dalam

konteks sejarah Indonesia. Sedangkan yang kedua adalah lebih menekankan dimensi

waktu sekarang dan yang akan datang yaitu untuk memaknai nilai-nilai didalam sejarah

Klungkung terutama nilai Puputan sebagai suatu bentuk kepribadian bangsa Indonesia

yang bermanfaat dalam mengisi kemerdekaan dengan segala aktivitas yang dilancarkan

seperti pembangunan dan modernisasi itu sendiri.


BAB III

NILAI PENDIDIKAN DAN SOSIAL BUDAYA HINDU YANG

TERKANDUNG DALAM PERLAWANAN RAKYAT KLUNGKUNG PADA

PUPUTAN KLUNGKUNG.TAHUN 1908

A. Nilai Pendidikan

Perlawanan rakyat Klungkung dalam mengusir penjajahan di wilayah kerajaan Klungkung

akan membawa pengaruh besar diantara kerajaan-kerajaan di Bali. Perlawanan ini timbul

karena pemerintah Kolonial Belanda telah banyak membuat kontrak-kontrak perjanjian


dengan raja Klungkung yang telah banyak dihianati. Kalau dilihat seluruh isi surat-surat

perjanjian yang disodorkan Belanda menunjukkan tindakan Belanda yang sangat licik.

Belanda berhasil membuat suatu kontrak yang bersifat intervensi kepada pihak Klungkung,

dalam artian kontrak hanya dicantumkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh

pihak Klungkung. Nilai pendidikan yang perlu dicatat dalam sejarah Puputan Klungkung

adalah nilai Patriotisme, nilai Nasionalisme, nilai Gotong-royong.

1. Nilai Patriotisme

Jatuhnya Kerajaan Klungkung ketangan Belanda pada tanggal 28 April 1908, dengan

ditandai adanya Puputan Klungkung oleh segenap keluarga Puri serta pengikut-

pengikutnya yang melambangkan kesatria utama. Gugurnya Cokorde Gelgel dan Dewa

Gede Semarabawa serta para Prajurit Klungkung segera disampaikan kepada Dewa Agung.

Dewa Agung Gede Agung ( putra mahkota) walaupun umurnya masih muda yaitu 12 tahun

juga turun ke medan perang mengikuti Ibu Suri Dewa Agung Muter. Sisa prajurit Pemating

yang masih berada dalam istana keluar mengikuti putra mahkota, semuanya berpakaian

perangberwarna putih bertanda mereka bertempur sampai gugur. Dengan gugurnya Raja

Klungkung bersama-sama dengan seluruh anggota istana, para pembesar kerajaan dan lebih

dari 1000 orang prajurit yang setia, maka peperanganpun berhenti tembak menembak yang

tidak seimbang yang telah berlangsung selama 4 jam disekitar keraton telah berakhir sore

hari dengan kemenangan berada di pihak Belanda. Pada sore hari sekitar pukul 15.00 wita

kota Klungkung jatuh ke tangan Belanda.

Sejarah yang mengandung nilai-nilai kepahlawanan dan patriotism perlu diajarkan kepada

generasi muda sebagai suatu pedoman didalam membina kepribadian bangsa . Dengan

pengenalan, penghayatan serta pengamalan didalam kehidupan sehari-hari akan


membentuk kepribadian nasional berdasarkan jiwa Pancasila. Berdasarkan perlawanan

yang dilakukan oleh masyarakat Klungkung pada waktu mempertahankan tanah

kelahirannya perlu dipakai suatu pedoman untuk mengembangkan sikap patriotism di

kalangan generasi penerus. Dengan melakukan puputan yang berarti tidak mau menyerah ,

lebih baik mati di medan pertempuran dari pada tunduk kepada colonial

2. Nilai Nasioalisme

Di dalam perang Puputan laskar Klungkung mengikat kepalanya dengan secarik atau

sehelai kain putih, mereka juga memakai rompi berwarna merah atau biru, pada baju ini

sering diselipkan jimat-jimat kekebalan apabila suatu pertempuran laskar Klungkung harus

memakai pakaian terdiri dari kain panjang dan destar (ikat kepala) serba putih, maka itu

berarti mereka akan melakukan suatu Puputan.

3. Nilai Gotong Royong

Dalam rangka menghadapi serangan Belanda kerajaan Klungkung memakai system

perbentengan, system perbentengan masih bersifat tradisional hanya mampu bertahan

dalam perang yang tidak menggunakan meriam caliber besar. Benteng kerajaan Klungkung

tidak mampu menahan serangan Belanda yang dibantu oleh tembakan-tembakan meriam

dari laut. Pada umumnya sistim perbentengan terdiri atas dinding pelindung yang terbuat

dari tanah liat, kayu, anyaman, bambu atau tumpukan batu-batu.

Untuk persiapan menghadapi perang terbuka melawan Belanda maka raja Klungkung

mengatur sistim pertahanannya. Benteng timur yang dipusatkan di Desa Satria diperkuat

oleh ratusan laskar yang bersenjatakan bedil, tombak, dan beberapa buah meriam. Laskar

benteng timur harus mampu membendung serangan Belanda dari Karangasem yang

bergerak dari Desa Lebu. Laskar ini juga mampu menghadang serangan serdadu Belanda
yang bergerak dari Kusamba. Diharapkan dengan pembagian laskar-laskar tersebut

kerajaan Klungkung dapat dipertahankan dari kolonial Belanda..

B. Nilai Budaya Hindu yang memberi semangat Masyarakat Klungkung Dalam

Melakukan Puputan.

Dalam peristiwa Puputan Klungkung yang terjadi tahun 1908 merupakan bukti sejarah

yang tidak bisa diabaikan karena pada waktu itu pelaku-pelaku puputan secara spontan

melakukan tindakan untuk mempertahankan kemerdekaan kerajaan Klungkung agar

tidak dijamaholeh colonial Belanda. Ada beberapa nilai budaya Hindu yang menjiwai

sehingga mereka bangkit untuk berperang sampai titik darah penghabisan. Nilai-nilai

budaya tersebut antara lain ; nilai keagamaan dan nilai social kemasyarakatan.

Agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali menjiwai semua segi kehidupannya.

Semua aktivitas masyarakat Bali meliputi pikiran, perkataan dan perbuatan senantiasa

berakibat kepada keyakinan agama yang disebut Panca Sradha dan Trikaya Parisudha.

Panca Sradha adalah lima keyakinan agama Hindu dan inilah yang diyakini oleh pelaku

puputan sehingga dalam berjuang mempertahankan wilayahnya tidak kenal menyerah.

Begitu pula Trikaya Parisudha mengajarkan umatnya tidak hanya bisa memikirkan

(berpikir) saja namun lebih dari itu bisa mengucapkan dan bisa berbuat yang benar.

Dalam hai ini pelaku puputan tidak hanya bisa memikirkan strategi perang namun

mereka bisa melaksanakan atau bergerak melawan Kolonial Belanda.

Ajaran-ajaran Hindu yang bersifat Wahya dan Adhyatmika meresapi kehidupan

umat agama Hindu di Bali secara sekala dan niskala atau lahiriah dan batiniah. Maka

nilai-nilai keagamaan menjadi konsepsi kehidupan dalam berinteraksi social dan penata
tindakan berpola pada masyarakat Bali. Adapun nilai-nilai budaya Hindu yang menjiwai

pelaku puputan Klungkung antara lain :

1. Bakti (subakti) berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha

Esa) adalah suatu keharusan didalam keyakinan agama Hindu. Landasan Bakti

adalah Dewa Rna yaitu hutang hidup kepada Ida Sang Hyang Hidhi Wasa, karena

beliau memberikan kehidupan kepada semua manusia dan beliau juga menjadi tujuan

akhir dari pada kehidupan manusia. Dari Dewa Rna inilah muncul ajaran Bakti

Marga, dalam agama Hindu dengan menempuh jalan berbakti yang setulus-tulusnya

kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa tidak membedakan orang yang pintar, dengan

orang bodoh, melainkan beliau membedakan orang yang berbakti kepadaNya dengan

yang tidak berbakti. Begitu pula orang yang akan berperang selalu berdoa terlebih

dahulu sebelum mereka berangkat ke medan pertempuran.

2. Yasa - kerti adalah tindakan atau aktivitas yang mewujudkan rasa bakti itu ke dalam

perbuatan nyata, jadi dapat dikatakan bakti itu adalah ide. Yasa-kerti mutlak

diperlukan untuk mencapai kesucian batin dan ketenangan jiwa. Demikian pula

halnya dengan melakukan tapa dan brata . Menurut keterangan dalam kekawin

Arjuna Wiwaha, bahwa orang yang tidak pernah melaksanakan yasa, tapa dan brata,

namun tetap menghendaki agar Hyang Widhi Wasa menganugrahkan kesejahteraan

dan kesentosaan hidup baginya, akibatnya Hyang Widhi Wasa membalikkan

perbuatannyaitu, maka ia menemui kesengsaraan besar, hidupnya selalu dipenuhi

oleh rajah dan tamah serta senantiasa menderita.

3. Karmaphala, merupakan hukum sebab akibat yang sangat diyakini kebenarannya

oleh umat Hindu. Nilai Karmaphala itu meresapi jiwa umat Hindu sehingga aktivitas
pikiran, perkataan dan perbuatan yang dilakukan senantiasa berorientasi kepada

karmaphala itu. Hukum sebab akibat ini seringn dinyatakan dalam kata-kata

sederhana seperti ; Jagung pula jagung puponin, jele gawe Jele tupuk, mekecuh

marep menek ( dia yang berbuat dia yang mendapat hasilnya ). Dengan demikian

maka karmaplhala itu menjadi pengendali pikiran, perkataan dan perbuatan dalam

menempuh kehidupan , sehingga terciptalah ketertiban dan ketentraman dalam

masyarakat. Bagi pelaku-pelaku puputan dia mau melakukan yang terbaik dalam

mempertahankan negerinya, sebab dia percaya bahwa berjuang atau berperang adalah

perbuatan yang mulia, mati di medan perang adalah sorga.

4. Dharmapatut, Dharmapatut berarti kebenaran, kebenaran mutlak diperlukan dalam

kehidupan di masyarakat, karena kebenaran itulah yang menjadi tulang

punggungkokohnya masyarakat. Swami Wekananda mengatakan bahwa apabila

kebenaran ditinggalkan maka akan rusaklah masyarakat. Kebenaran harus dipegang

teguh, karena kebenaran ini memberikan sinar terang dalam kehudupan. Masyarakat

Bali sangat mendabakan kebenaran dan iklas berkorban jiwa dan raga demi membela

kebenaran. Dari sisilah moncul nilai budaya yang sangat tinggi di Bali yaitu ;

Nindihin Kepatutan (membela kebenaran).

5. Sadu-budi, artinya berpendirian jujur dan berpegangan pada kebenaran. Dasar dari

pada Sadu-budi adalah suddhacita yaitu pikiran yang bersih dan tidak dinodai oleh

sifat-sifat negatif. Dengan demikian hatinya lapang sehingga tidak ada keruwetan

yang meliputi pikirannya.

6. Mekardi ane patut, membuat sesuatu yang benar merupakan suatu orientasi dalam

kehidupan masyarakat Bali. Disini kebenaranlah yang menjadi focus perhatian. Ada
beberapa ungkapan yang yang sering berlaku dalam kehidupan masyarakat Bali

seperti ; yen sampun patut, nunas pematut, sapunapi patutne, sire patutne dan lain

sebagainya. Ungkapan ini memancarkan suatu nilai kehidupan masyarakat Bali,

bahwa mereka menolak berbuat sesuatu yang tidak benar. Berhubungan dengan hal

itu pemerintah Belanda dianggap berbuat tidak benar terhadap kerajaan Klungkung,

maka masyarakat Klungkung minta keadilan dengan melakukan perang terhadap

colonial Belanda.

7. Pageh, pageh atau puguh berarti kuat pada pendirian terhadap prinsip kebenaran

dalam menempuh kehidupanini. Puguh berarti tekun dan ulet bekerja dalam mencari

penghidupanyang benar. Masyarakat Bali bukanlah masyarakat yang mudah membeo

atau membebek, karena mereka mempunyai prinsip dalam hidupnya.

Ada seperangkat nilai kemasyarakatan pada kehidupan masyarakat Bali yang menjadi

orientasi dan arahan serta pola tindakan dalam kehidupan bersama. Secara inplisit

nilai-nilai kemasyarakatan itu juga dipancari oleh ajaran agama Hindu yang menjiwai

semua fase kehidupan masyarakat Bali yang bercorak sosio-relegius. Nilai-nilai

budaya inilah yang menjiwai pelaku-pelaku puputan Klungkung yang terjadi tahun

1908

8. Selunglung-sebayantaka, ungkapan ini berasal dari kata seluhung-luhung dan

sebaya-antaka. Artinya bersama-sama baik dalam keadaan senang maupun dalam

menghadapi bahaya maut. Semboyan seperti ini amat penting artinya bagi suatu

perjuangan guna mewujudkan kesejahteraan hidup bersama di masyarakat. Prinsip

hidup seperti ini memberikan gambaran mengenai adanya loyalitas yang tinggi pada

kelompok serta fanatisme tinggi dalam arti positif.


9. Segilik-seguluk, artinya bersatu padu secara bulat dan utuh. Ungkapan ini memberi

dorongan bahwa pekerjaan apapun atau dalam situasi apapun kesatuan dan persatuan

akan memberikan hasil yang positif bagi komponen-komponen yang bersangkutan.

10. Jengah, jengah atau wiring adalah suatu perasaan atau sikap memberi dorongan

kepada seseorang untuk bertindak atau berusaha. Dalam pengertian yang positif ,

konsep ini dapat diarahkan untuk menggerakkan atau memotifasi sejumlah

oranguntuk berbuat atau menyelesaikan pekerjaannya atau suatu usahanya.

11. Nindihin Patut, artinya ; membela kebenaran atau yang benarlah yang dibela, bukan

yang salah dibela. Masyarakat Klungkung melakukan perjuangan dengan berperang

adalah demi membela kebenaran dan keadilan. Pada waktu pengikut raja ( prajurit

panjak satia ) melakukan puputan, mereka tidak pantang menyerah walaupun

kemenangan sudah tidak mungkin didapat karena persenjataan lawan jauh lebih

modern daripada persenjataan yang dimiliki oleh rakyatKlungkung, tetapi semangat

membela kebenaran tetap terlintas dihati mereka sehingga tetap berjuang demi

membela kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai