Anda di halaman 1dari 21

Sumber: http://adekrawie.wordpress.

com/2008/01/05/puisi-anak-kahlil-gibran/ dari
begalor.com

Begalor.com Abad ke 7, Belitung masih belum ditandai adanya kekuasaan dari kerajaan
mana pun. Kerajaan Sriwijaya pada masa itu hanya menanamkan kekuasaannya di Pulau
Bangka dengan menancapkan sebuah Prasasti Kota Kapur, di pantai Bangka barat.
Prasasti itu merupakan prasasti persumpahan hanya untuk menundukkan Bangka.

Tahun 899, nama “Belitung” di kenal erat sekali dengan nama raja Mataram kuno,
Maharaja Rakai Watukara Dyah Balitung dari dinasti sanjaya yang berkuasa di Jawa
Tengah dan Timur antara tahun 899 hingga 910. Nama Dyah Balitung terpahat dalam 14
prasasti Jawa Kuno pada batu dan tembaga.

Tahun 1293, Majapahit menguasai Bangka dan Belitung maka nama Belitung tertulis
dalam Syair Nagara Kartagama tahun 1365, ditulis oleh Mpu Prapanca. Pada tahun 1413
kedatangan Laksamana Cheng Ho dari China menyebutkan Belitung dalam catatan
perjalanannya. Tahun 1436, Fei Hsin ahli sejarah China juga mencatat tentang Belitung.

Pada masa Majapahit, Belitung dipimpin oleh seorang panglima kerajaan yang disebut
Rangga Yuda oleh penduduk disebut Rangga Uda atau Ronggo Udo berkuasa di Badau.
Raja ini memerintah sampai beberapa generasi dan tiap generasi rajanya tetap saja
bergelar dengan sebutan Rangga Uda atau Ronggo Udo sampai turunan ke tiga atau raja
terakhir tak memiliki keturunan laki-laki sebagai pewaris. Pada masa ini penduduknya
masih memeluk Hindu dan menyembah berhala. Nampaknya riwayat “raja berekor” yang
sekarang jadi legenda hidup di zaman ini.

Masa pemerintahan Rangga Yuda atau Ronggo Udo, dikenal ada empat wilayah
kekuasaan antara lain, wilayah Badau disebut Tanah Yuda atau Singa Yuda yang berarti
negeri panglima atau tempat pemerintahan raja, wilayah Buding disebut Istana Yuda
yang berarti tempat pesanggrahan raja, wilayah Sijuk disebut Wangsa Yuda atau Krama
Yuda yang berarti tempat keluarga serta abdi raja. dan terakhir adalah Sura Yuda yang
berarti tempat suci raja atau daerah yang dikeramatkan.
Tahun 1520, mundurnya kerajaan Majapahit yang seiring dengan masuknya Islam di
Jawa, Belitung pun kedatangan seorang ulama dari Gresik, yaitu Datuk Mayang Gresik,
menandai masuknya Agama Islam pertama di Belitung, beliau masuk dari sungai Brang
dan berdiam di Pelulusan kemudian berhasil menarik banyak pengikut hingga beliau
mengusai tahta kerajaan Badau dari tangan raja Ronggo Udo yang terakhir. Setelah
Datuk Mayang Gresik menduduki tahta, beliau juga diberi gelar Ronggo Udo, namun
karena Beliau Islam maka disebut Kiai Ronggo Udo atau Ki Ronggo Udo. Setelah
menguasai Badau beliau tetap berkedudukan di Pelulusan.

Kepercayaan dan agama penduduk terpecah menjadi dua, yang beragama Islam menjadi
kukuh di Pelulusan sedangkan sebagian pemeluk Hindu tetap bertahan di Badau dan
sekitarnya juga di tiga wilayah Yuda lainnya.

Tahun 1590-an, Ki Ronggo Udo atau Datuk Mayang Gresik bersama pengikutnya yang
sudah Islam, memindahkan pusat pemerintahan ke hulu tepi sungai Balok atau wilayah
Dendang dengan alasan lebih memudahkan pelayaran ke Jawa karena teluk Balok
menghadap langsung ke laut Jawa. Perpindahan pusat pemerintahan ini memunculkan
ketidak-senangan dari penduduk lama yang tetap mau bertahan di Badau terhadap
penduduk yang ikut dengan raja mereka hingga muncul “Persumpahan Perenggu” dan
sumpah itu mengutuk pernikahan antara turunan orang Badau dengan orang Dendang
yang menjadi pengikut Ki RonggoUdo atau Datuk Mayang Gresik. Kepercayaan
terhadap sumpah itu berlangsung hingga beberapa abad.

Sekitar tahun 1600, masuklah seorang bangsawan dari Mataram, Kiai Masud atau Kiahi
Gegedeh Yakob alias Ki Gede Yakob. Ki Gede Yakob adalah putra Pangeran Kaap
seorang mangkub atau bendahara. Ki Gede Yakob juga adalah ponakan Ki Gede
Pamanahan. Sebagai seorang ulama Ki Gede Yakob diterima baik oleh raja Balok Ki
Ronggo Udo atau Datuk Mayang Gresik karena misi dari ulama Gresik ini belumlah
maksimal mengIslamkan penduduk Belitung apalagi praktek perdukunan dan mistik
masih begitu kental merasuki penduduknya.
Ki Ronggo Udo atau Datuk Mayang Gresik tak memiliki putra mahkota hingga ketika
putri tunggalnya Nyi Ayu Kusuma menikah dengan Ki Gede Yakob Tahta kerajaan
Balok diserahkan Ki Ronggo Udo kepada Ki Gede Yakob. Penyerahan kekuasaan ini
bukan semata karena Ki Ronggo Udo tidak memiliki putra mahkota tapi Ki Gede Yakob
adalah putra keluarga Negara Mataram yang hampir menguasai seluruh pulau Jawa
kecuali Banten, Cirebon, dan Batavia.

Tahun 1618-1661, Depati Cakraninggrat I Ki Gede Yakob. Penyerahan kekuasaan dari


Ki Ronggo Udo kepada mantunya Ki Gede Yakob lagi-lagi menimbulkan ketidakpuasan
dari empat daerah kecil yang masih dikuasai oleh turunan keluarga Rangga Yuda atau
sisa dari kekuasaan Majapahit yang dulu berkuasa di Badau, kini masih menguasai tiga
wilayah lainnya yaitu Buding, Sijuk, dan Belantu. Belantu sendiri diam-diam sudah
mengirimkan upeti takluk ke Palembang tidak ke Balok.

Setelah naik tahta tahun 1618, Ki Gede Yakob meminta restu serta perlindungan kepada
Cakrakusuma Agung atau Sultan agung di Mataram atas kekuasaannya di Balok. Tapi
oleh Sultan menganjurkan untuk segera minta pengakuan serta perlindungan pada raja
Palembang karena Palembang masih dibawahi Mataram ( Palembang dirongrong oleh
Banten, sementara Banten dibayangi oleh Mataram. Tunduknya Palembang pada
Mataram hingga tahun 1677 dan Sultan Palembang masih mengirim 10 armada kapal
untuk membantu Mataram dalam pemberontakan Trunojoyo)

Perintah Sultan Mataram untuk minta perlindungan raja Palembang dipenuhi oleh Ki
Gede Yakob kemudian oleh mertuanya yaitu Ki Ronggo Udo mengutus seorang
kepercayaannya yang berasal dari Badau. Utusan ini dikhususkan guna meminta
pengakuan dan perlindungan Palembang atas kekuasaan seorang putra Mataram. Konon,
utusan ini hanya seorang diri dan menyelesaikan tugasnya hanya beberapa hari saja. Dan
utusan itu menjadi terkenal hingga penduduk melekatkan sebuah senandung yang dikenal
sampai kini “Unggang-Unggit Perau Badau, Sape Kecit Debawak Ngayau” dengan
demikian seluruh sisa dari kekuasaan Majapahit yang tersisa di Belitung takluk kepada
raja Balok keluarga Mataram Islam ini.
Tahun 1661 Ki Gede Yakob menguasai seluruh Belitung atas restu Mataram dan
memerintah Kerajaan Balok dengan pangkat depati dan bergelar Cakraninggrat dan
keturunannya bergelar Kiahi Agus atau Ki Agus untuk laki-laki, dan Nyi Ayu atau Nyayu
untuk turunan perempuan.

Pada masa ini sudah dikenal adanya rumah balai atau rumah adat yang disebut dengan
Ruma Gede. Balai atau rumah adat ini didirikan karena untuk mengikat penduduk yang
terpisah dari empat wilayah serta beragam etnis yang sudah bermukim di Belitung.
Hukum Adat mulai dilakukan dengan tegas di masa ini, baik perdata atau pidana; misal
jika ada yang membunuh maka si pembunuh harus dihukum gantung, jika ada yang tak
sanggup membayar hutang maka harus menjadi budak dari piutang hingga hutangnya
lunas, jika mengambil istri orang hukumannya dibunuh di gelanggang umum, jika laki-
laki dan perempuan bermuat mesum atau berzina maka hukumannya dibuang ke laut, dan
lain sebagainya.
Pada masa Cakraningrat I seorang ulama Islam, Syech Abdul Jabar Syamsudin, dari
Pasai, menyiarkan agama Islam di Balok dan memperkenalkan awal kesenian hadra atau
rudat. Makam beliau berdekatan dengan makam Ki Gede Yakob di Balok Lama.

Tahun 1661-1696, Depati Cakraninggrat II atau Ki Agus Abdullah atau KA Mending


alias Ki Mending. Beliau memindahkan pusat pemerintahan ke Tebing Tinggi atau Balok
Baru. Tak diketemukan alasan mengapa beliau memindahkan pusat pemerintahannya
Pada Manukrip yang ditulis oleh KA Abdul Hamid tahun 1934; Raja Balok ini
mengendalikan pemerintahannya dari tempat pertapaannya. Namun Beliau sesungguhnya
tak sepenuhnya meninggalkan Balok Lama karena Balok Baru hanya berjarak beberapa
kilometer saja.
Tahun 1668, kedatangan kapal Belanda “De Zandloper”, dipimpin oleh Jan de Harde,
nampaknya naik ke Balok Lama, dalam risetnya ia menggambarkan tentang situasi dan
kondisi kerajaan Balok termasuk adanya rumah balai atau rumah adat.

Beliau seorang pertapa, menganut mistis terkenal dengan julukan raja dukun yang
memberikan wewenang kepada para dukun di tiap-tiap kampung atau kubok. Jadi
penduduk tidak lagi perlu meminta izin raja jika mau menguasai tanah ladang tapi cukup
ke dukun. Beliau mencanangkan Tanah Pusake yang tak boleh diganggu antara lain
Tanjung Kelumpang, Hulu Sungai Lenggang, Hulu sungai Kembiri.
Cakraninggrat II, KA Abdullah atau Ki Mending di makamkan di Balok Baru.

Tahun 1696-1700, Depati Cakraninggrat III, KA Ganding atau Ki Gending, menjadi raja
Balok ke 3 menggantikan Ki Mending. Sebelum beliau meduduki tahta menggantikan
ramondanya, beliau selalu ke Kataram, belajar ilmu pemerintahan kepada sunan
Tegalwangi hingga ketika sudah memerintah, beliau membagi kekuasaan kepada 4
wilayah yang pada masa Cakraninggrat I dikuasai langsung oleh raja atau depati Ki Gede
Yakob. Ke 4 wilayah ini dinamakan ngabehi (4 wilayah yang namanya berbau hindu
seperti Tanah Yuda, Istana Yuda, Krama Yuda, Sura Yuda sudah tidak dipakai lagi)

Pemerintahan wilayah di ngabehi dipimpin oleh orang dekat dengan keluarga raja, ia
disebut ngabe atau ngabei yang artinya orang keraton. Ngabehi adalah wilayah setingkat
kecamatan antara lain, Ngabehi Buding, Ngabehi Badau, Ngabehi Sijuk, dan Ngabehi
Belantu.

Pada masa ini mengikisan ajaran yang berbau Hindu terus gencar dilakukan bersama
masuknya ulama-ulama dari Pasai dan seorang anak raja menjadi ulama yang sangat taat
keIslamannya yaitu KA Siasip, beliau sudah meninggalkan ajaran kaula gusti yang masih
melekat dalam ajaran keluarga di keraton. Sebagai Penghulu Islam, beliau mengajar
berbagai sistem dan tatacara adat-istiadat yang disesuaikan dengan ajaran Islam, seperti
tatacara pernikahan dan perayaan pernikahannya. Sampai KA Siasip meninggal, beliau
tetap dihormati bahkan ada orang mengeramatkan makamnya yang disebut dengan
Keramat Sisil, Konon, ada pohon sisil di makamnya, jika dipotong dahannya maka akan
tumbuh lagi dalam sekejab. Cakraninggrat III, KA Ganding atau Ki Gending meninggal
sewaktu bekunjung ke Jawa dan di makamkan di Pamanukan Jawa Barat.

Tahun 1700-1740. Depati Cakraninggrat IV, KA Bustam atau Ki Galong. Beliau adalah
adik dari KA Ganding, beliau menjadi raja karena putra mahkota yaitu KA Siasip tidak
berkenan jadi raja, beliau lebih suka menjadi penghulu. Dan KA Siasip adalah kepala
penghulu Agama Islam pertama di Belitung.
Pada masa pemerintahan KA Bustam, Beliau mengusir seorang seorang ulama atau
seorang guru dari KA Siasip yang bertekad mengIslamkan semua dukun-dukun yang
masih menganut ajaran nenek moyangnya. KA Bustam adalah penganut kental ajaran
mistis yang diturunkan oleh kakeknya Ki Mending. Pengaruh Ulama Islam begitu
mengusik pikiran KA Bustam, ia Khawatir itu akan menjadi ancaman bagi
kedudukannya, karena ia menyadari jika tahtanya bukanlah haknya meski sudah
diserahkan KA Siasip sepenuhnya.

Tahun 1705 KA Bustam mengangkat seorang ulama dari Mempawah, Datuk Ahmad
yang dikenal dengan sebutan Datuk Mempawah untuk menjadi ngabehi di Belantu.
Ulama Mempawah ini masih toleran dengan ajaran mistis atau adat perdukunan juga
masih menghormati adat kematian seperti acara bilangari.
KA Siasip terus bertekad dengan cara untuk meluruskan ajaran islam sejatinya meski
dapat tantangan dari pamannya sendiri. Dan pada waktu itu masuk lagi seorang ulama
dari Pasai bernama Syech Abubakar Abdullah, beliau masuk lewat sungai Buding dan
berdiam di Ngabehi Buding, di sini beliau mengIslamkan seorang sakti bernama Tuk
Kundo.

Namun kemudian Syech Abubakar Abdullah berhasil dibunuh oleh KA Bustam, setelah
beradu kesaktian masing-masing. Syech Abubakar Abdullah dimakamkan di Gunung
Tajam yang terkenal dengan sebutan Keramat Datuk Gunong Tajam. Mendengar
kejadian itu, Datuk Ahmad atau Datuk Mempawah jadi kurang simpati lagi kepada raja
yang membunuh ulama hingga beliau khawatir dengan keselamatannya dan kemudian
minta perlindungan kepada Sultan Pontianak. Tahun 1641 ketika menuju Pontinak,
meninggal di sana dan di makamkan di Mempawah.

Seorang anak laki-laki Datuk Ahmad bernama Tining menikahi perempuan keluarga raja
dan Tining diberi gelar Ki Agus. Dan nampaknya KA Tining adalah orang luar pertama
yang mendapatkan gelar Ki Agus. Tahun-tahun berikutnya laki-laki yang mengawini
perempuan keluarga raja selalu diberi gelar. Misalnya anak KA Munti yang bernama NA
Kumal menikahi Saidin. Dan Saidin diberi gelar hingga menjadi KA Saidin. Keturunan
mereka kemudian menggunakan gelar KA untuk laki-laki dan perempuan tidak NA tapi
sebutan Dayang. Tradisi pemberian gelar dimaksudkan agar kedekatan anggota keluarga
menjadi tidak merasa asing. Cakraninggrat IV KA Bustam dimakamkan di Balok Baru,
satu kompleks dengan KA Mending dan KA Siasip.

Tahun 1740-1755, Depati Cakraninggrat V, KA Abudin menggantikan ramondanya KA


Bustam. Pada masa pemerintahan KA Abudin Balok mengalami kemunduran.
Pemerintahannya kurang mendapat simpati wataknya yang otoriter seperti ramondanya
KA Bustam yang keras hingga banyak tak di sukai oleh penduduk juga para pedagang
dan pendatang.

Sikap itu membuat adiknya yaitu KA Usman menjauhi istana dan mendirikan
pemukiman baru di sungai Cerucuk. Sikap itu pula yang membuat Ngabehi Belantu mesti
mengantarkan upeti dan tunduk ke Palembang tidak ke Balok, namun di masa berikutnya
sudah menjadi tradisi maka Ngabehi Belantu mengantar upeti ke Mentok karena
Palembang oleh Sultan Badarrudin menyerahkan Mentok pada Wan Abduljabar dari
Johor sejak tahun 1724.

Sikap masyarakat di kerajaan Balok terpecah menjadi dua hingga mereka yang tidak puas
dengan pemerintahan KA Abudin mengadu kepada KA Usman. Karenanya, KA Usman
meminta bantuan pada Sultan Palembang, pengaduan ini membuat KA Abudin marah
hingga pertentangan tak terhindarkan. Perkelahian tak dapat ditawar, peristiwa ini dikenal
dengan sebutan “begaris tanah” tak ada yang kalah dalam peristiwa di tepi sungai
Berutak ini. Namun utusan Palembang telah datang menjemput KA Abudin. KA Abudin
tidak diperkenankan pulang ke Belitung, ia menikah lagi di Palembang. Keturunan KA
Abubin hingga kini tetap menyandang gelar KA atau Ki Agus. Raja ke V ini meninggal
di Palembang dan dimakamkan di Pelayang.

Konsekwensi atas bantuan Sultan Palembang kepada KA Usman ini, menyebabkan KA


Usman mesti mengirimkan 1000 (seribu) keping besi ke Palembang pada setiap
tahunnya.

KA Usman kemudian membagi wilayah kekuasaan kepada anak-anak KA Abudin yang


ditinggalkan. Yang tertua KA Rantie tetap mendiami Balok, KA Gunong Kurung
berdiam di gunung labu tempat asal neneknya Putri Gunong Labu. KA Munti di beri
wilayah di sekitar Gunung Petebu sekarang Parit Tebu (cikal bakal distrik Lenggang,
wilayah ini kaya oleh tambang besi di gunung Selumar), dan Nyi Ayu Muncar ikut
tinggal ke salah seorang abangnya.

Oleh KA Usman, KA Munti yang kemudian dinikahkan dengan Nyi Ayu Busu yaitu anak
dari KA Usman sendiri. Perkawinan antar sepupu ini dimaksudkan agar kedua keluarga
yang dulu berseteru kini kembali dekat. Perkawinan itu melahirkan KA Luso, NA Tenga,
NA Kumal. KA Luso kemudian menurunkan KA Jalil. Keluarga ini dikenal dengan
sebutan bangsawan Gunong Petebu.

Tahun 1755-1785, Depati Cakraninggart VI, KA Usman, pada masa beliau pusat
pemerintahan dipindahkan dari hulu sungai Balok ke hulu sungai Cerucuk yang di kenal
dengan sebutan Kota Karang . Di saat membuka lahan dan membangun Cerucuk maka
mesti membuat dermaga dengan kade-kade di tepian sungai agar kapal dan perahu bisa
ditambatkan dengan baik. Pembuatan dermaga ditepian sungai ini memerlukan banyak
sekali kayu yang digunakan untuk cerucuk atau penahan pinggiran. Dengan banyaknya
kayu cerucuk ini maka sungai ini pun kemudian oleh para pelayar yang berlabuh di situ
menyebutnya dengan nama sungai Cerucuk.

Pada masa pengurukan tanah untuk dermaga, bijih timah tanpa sengaja diketemukan di
sini. Berita ditemukannya bijih timah ini sampai pula kepada residen Palembang De
Herre hingga pada tahun 1759 mendarat dekat Tanjungpandan untuk beberapa jam
meneliti tanahnya. Tapi ia kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada bijih timah di sana
(koppong erts) timah kopong adalah pasir yang mirip pasir timah tapi tak memiliki
kandungan timah. Konon, pengkopongan pasir timah bisa dilakukan oleh para dukun
tanah di Belitung.
Pada masa KA Usman bijih timah digali secara tradisional dengan teknologi yang
dipelajari dari penduduk Bangka (penduduk Bangka yang sudah dewasa mesti
memberikan pajak timah kepada Sultan Palembang yang disebut timah tiban) penggalian
bijih timah itu dikenal dengan sebutan sumur palembang.
Meskipun begitu bijih timah ini belum bisa dilebur di Belitung maka mesti dilebur di
Singkep dulu baru kemudian diperdagangkan ke Johor dan Malaka. Namun nampaknya
bijih timah belum menjadi komoditi utama pada masa ini dibandingkan dengan
penggalian bijih besi yang sudah digali sejak lama.
Pada tahun 1784, di muara dekat pulau Kalamoa, berlabuhlah armada perahu delegasi
dari Palembang dipimpin oleh Syarbudin hendak menuju Kota Karang. Rombangan
armada perahu KA Usman datang menjemput tapi sekonyong muncul pula armada bajak
laut dari arah lain yang dipimpin oleh Syaid Ali dari Siak*) maka pertempuran tak
terhindarkan, KA Usman tewas dan mayatnya tak diketemukan hingga beliau dikenal
dengan sebutan Depati Hilang dilaut. Perairan laut menjadi tidak aman oleh bajak laut.

Sejak kematian KA Usman pengiriman upeti berupa bijih besi ditiadakan hubungan
Belitung dengan Palembang terputus, Bangka mengalami hal yang sama apalapi para
bajak laut selalu merampok tambang-tambang timah di Bangka, terutama bajak laut dari
Lingga yang dipimpin oleh Panglima Raman.

Tahun1785-1815, Depati Cakraninggrat VII KA Hatam memerintah. menggantikan


ramondanya KA Usman yang tewas di laut . KA Hatam, mendatangkan para penggali
timah dari China di Johor lewat Tumasik. Hubungan dengan orang China ini,
menyebabkan KA Hatam mengambil istri kedua seorang China yang kemudian menjadi
mukhalaf dengan gelar Dayang Kuning.

Perdagangan timah terus berlanjut secara diam-diam setelah dilebur di Singkep kemudian
dibawa ke Johor dan Malaka lewat Tumasik. Seorang akhli pertimahan bernama Tuk
Munir dari Singkep didatangkan.

Tahun1786, setelah Inggris menguasai Pulau Pinang dan sekitarnya, perdagangan timah
dari Belitung dihentikan oleh Depati sendiri. Palembang mulai dipengaruhi Inggris untuk
mengusir Belanda, Inggris memberikan bantuan persenjataan hingga pada 14 September
1811 terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap orang Belanda. Pada tahun 1812 Inggris
menguasai Palembang.

Tahun 1813, Inggris oleh Sir Thomas Stamford Raffles memerintahkan Jendral Gillespie
menguasai Palembang, terus Mayor W. Robinson meduduki Bangka kemudian mengutus
Tengku Akil dari Siak guna menguasai Belitung. Tengku Akil mendapat perlawanan,
dalam peretempuran itu Depati KA Hatam tewas dengan kepala terpotong atau terkerat.
Anaknya yang masih berusia muda, KA Rahad dan beberapa saudaranya yang lain
berhasil diselamatkan sepupunya KA Luso. KA luso dan orang-orang berhasil mengusir
Tengku Akil hingga tengku Akil lari ke bersembunyi di Pulau Lepar dan kemudian tahun
1820 Tengku Akil menjadi kaki tangan Belanda di Bangka tapi mendapat perlawanan
pula oleh Demang Singa yuda dan Juragan Selan hingga perahu dan pasukannya
ditenggelamkan.

*) Berdasarkan Verhandelingen Van Het Bataviaasch Genootschap; Raja yang bertahta


pada sekitar tahun 1780 adalah raja Ismail, ia merupakan salah seorang bajak laut
terbesar. Sejak dulu Siak adalah kerajaan maritim yang kuat. Satuan-satuan angkatan
Siak sering menyerang Johor, Malaka, dan berbagai tempat di pantai barat dan timur
semenanjung. Sebagian besar daerah-daerah timur Sumatra dari Langkat sampai Jambi,
konon takluk pada Siak. – William Marsen “Sejarah Sumatra” .hal.211. Terjemahan A.S
Nasution dan Mahyudin Mendim. PT.Remaja Rodakarya, Bandung, Th. 1999.

Tahun 1821-1854, masa perjuangan dan pemrintahan Depati Cakraninggrat VIII, KA


Rahad. Upaya Hindia Belanda untuk menguasi Belitung dan mencari bijih timah.
Setelah KA Hatam meninggal, terjadi ketidak lancaran pemerintahan karena KA Rahad
yang masih muda untuk menjadi raja. Para pekerja parit timah di cerucuk mengungsi
dengan membuka pemukiman baru di tepi Sungai Seburik.
Pada 20 pebruari 1817 Palembang diserahkan kembali oleh Inggris ke Belanda.
Kemudian pada 21 Oktober 1821, datanglah Syarif Mohamad dari Palembang guna
membuka jalan bagi masuknya Belanda ke Belitung dan mengibarkan untuk pertama kali
bendera Belanda di Tanjung Simba. Syarif Mohamad mencoba untuk menguasai
kedudukan Depati KA Rahad yang masih berusia muda, tapi upaya itu tak berhasil.

Tahun 1822, Kapten bangsa Belgia, J.P. de la Motte datang dengan pasukannya,
mendarat di Tanjung Gunung, namun ia dapat diusir oleh KA Rahad hingga bergabung
dengan Syarif Muhamad di Tanjung Simba.
KA Rahad dan orang-orang mendirikan benteng di Tanjung Gunung karena benteng Kute
di Cerucuk terlalu jauh untuk berhadapan dengan orang asing yang masuk ke Belitung
lewat muara sungai cerucuk.

Kekhawatiran J,P. De la Motte cukup beralasan untuk menghadapi KA Rahad di Tanjung


Gunung maka dengan bantuan orang-orang China di Seburik, ia membangun Benteng di
Tanjung Simba (Belakang Museum Tanjungpandan)
Tahun 1823, J.P. de la Motte meninggalkan Belitung karena usahanya untuk menemukan
bijih timah gagal dan ia digantikan oleh J.W. Bierschel yang dikawal oleh Kapten Kuehn.

J.W. Bierschel menjadi asisten resident pertama dari resident yang ada di Mentok
Bangka. J.W. Bierschel dalam kepentingannya mencari bijih timah. Pegawai Hindia
Belanda ini cukup lunak dan bijaksana dalam menghadapi KA Rahad dan orang-
orangnya. Ia bahkan mengusulkan agar hak-hak KA Rahad diakui oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Sikap Lunak ini membuat KA Rahad memberikan kesempatan untuk
tinggal di Benteng Tanjung Gunung. Dan KA Rahad kemudian membangun rumah
kediaman barunya (menurut manuskrip KA Abdul Hamid tahun 1934, istana KA Rahad
antara Palmenlaan dan Heerenstraat) di situlah Depati KA Rahad mulai mengendalikan
pemerintahannya, nampaknya ini awal berdirinya kota Tanjungpandan.

Sikap akomodatif dari asisten resident J.W. Bierschel terhadap KA Rahad, membuat
Syarif Muhamad merasa tidak senang karena seolah mengacuhkan dirinya yang
sebelumnya telah dipercayakan untuk menguasai Belitung dan Syarif Muhamad pun
pulang pada tahun 1824 dan mengadukan tindak-tanduk J.W. Bierscel kepada resident di
Mentok hingga tahun 1826, J.W. Biercshel ditarik pulang. Sebenarnya bukan alasan itu ia
ditarik pulang tapi karena untuk penghematan anggaran saja karena pencarian timah oleh
J.W. Bierschel gagal disebabkan Depati Rahad menolak untuk melakukan penggalian-
penggalian. KA Rahad takkan memberikan kesempatan penggalian timah sebelum hak-
hak kekuasaannya diakui oleh Belanda.

Resident menerima laporan jika tidak ada timah di Belitung, tapi Syarif Muhamad
mengetahui jika Depati KA Rahad tak memberikan kesempatan penggalian. Maka pada
tahun itu juga 1826, Syarif Muhamad dengan pasukannya datang lagi ke Belitung, tapi ia
dapat di halau hingga kembali ke Bangka tapi kemudian ia berhasil dibunuh hingga tewas
di Mentok

Belitung kembali kosong dari kaki tangan Belanda tapi bendera Belanda di Tanjung
Simba mesti tetap tegak. Karena itu, untuk menggantikan kekosongan maka Belitung
diserahkan oleh Belanda kepada Syarif Hassim dari Lingga. Namun Syarif Hassim tak
berumur panjang, ia tewas pula dan dimakamkam di sebelah penjara TanjungPandan.

Tahun 1830, Belanda di Palembang melihat ketidakmampuan resident Mentok untuk


mengendalikan Belitung dibawah Depati KA Rahad. Maka Belanda mengutus Syarif
Hasan, tapi pada tahun 1835. Syarif Hasan melarikan diri dan melaporkan semua
kegagalan upayanya untuk menundukkan Depati KA Rahad. Untuk keberapa kalinya
resident Belanda di Mentok kewalahan tapi Belitung tetap dibawah tangungjawabnya,
karenanya tahun 1837 oleh Belanda, Belitung dipercayakan kepada Mas Agus Mohamad
Asik dari Pulau Lepar. Tapi ia juga hanya bisa bertahan sampai awal tahun 1838.

Mas Agus Mohamad Asik, sesungguhnya tidak mengadakan perlawanan terhadap Depati
KA Rahad. Tapi ia tidak disukai di Belitung karena ia adalah keturunan bajak laut,
rupanya dendam terbunuhnya Deptai KA Usman oleh para bajak laut masih diingat oleh
kelurga depati. Bukan saja itu pada masa itu juga, pemerintah pusat Belanda di Batavia,
memberikan tugas khusus kepada J.J Roy seorang Prancis, guna membasmi bajak laut
yang berada di perairan Belitung. J.J. Roy kemudian mengetahui jika Palembang lewat
Adipati atau menteri utamanya terang-terangan melindungi para bajak laut. Atas jasa
inilah J.J Roy menjadi resident sementara di Pelembang.

Pada tahun itu juga sebelum bulan Juli. Belanda mengirim tim ekspedisi yang dipimpin
oleh Kolonel P.C. Riedel, guna menyelidiki dan mencari tahu tentang sikap Depati yang
tak dapat ditundukkan oleh sekian orang pemimpin baik Belanda atau pun pribumi
sendiri. Namun KA Rahad tidak mau bertemu dengan Kolonel P.C. Riedel. Namun ia
nampaknya sudah cukup mendapat keterangan dari beberapa pihak atas keinginan KA
Rahad. Maka P.C. Riedel juga mendengar anjuran Residen Bangka de Haase serta
mantan asistent residen Belitung J.W. Bierschel, agar mengakui hak-hak KA Rahad
sebagai Depati Belitung maka 1 Juli 1838, KA Rahad diakui Belanda sebagai Depati
Belitung.

Setelah KA Rahad diberi keleluasaan memegang pemerintahan, beliau membagi wilayah


Belitung menjadi 6 distrik yang sebelumnya baru ada 4 ngabehi. Agaknya KA Rahad
mulai menggunakan istilah distrik untuk mengganti istilah ngabehi karena Belanda mulai
mendata wilayah itu dengan menulis dan menyebutkan kata distrik untuk wilayah
Ngabehi. 2 distrik baru itu adalah Tanjungpandan dan Lenggang. Kedua distrik ini tidak
dipimpin oleh ngabei tapi langsung oleh keluarga raja, Disrik Tanjungpandan dipimpin
oleh KA Mohamad Saleh, sedangkan Distrik Lenggang oleh KA Luso karena wilayah
Lenggang sudah diwariskan oleh Depati Cakraninggrat VI KA Usman kepada KA Munti,
ramonda KA Luso.

Tahun 1850 Dr. J.H. Croockewit diutus oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
mengadakan lagi penyelidikan adanya kemungkinan bijih timah di Belitung, namun
sekali lagi ia gagal dan tidak mendapat bantuan dari Depati Rahad ataupun dari rakyat.
Pada 28 juni 1851. Para eksplorer timah berangkat dari Mentok dengan membawa surat
resmi kepada Depati KA Rahad. Mereka adalah, J.F. Loudon, Van Tuyll, Corns de Groot,
dan Den Dekker. Nampaknya Depati KA Rahad masih tetap mengatakan jika bijih timah
tidak ada di Belitung, namun tentu saja para ekplorer ini tidak puas dan mengatakan jika
misi mereka tidak berhasil maka akan ada misi berikutnya yang akan datang sampai
timah ditemukan.

Den Dekker terus mencari tahu dari penduduk dan ia mendapat keterangan jika ada
seorang melayu yang akan menunjukkan adanya timah di Beltiung, orang itu dulunya
pekerja parit timah pada KA Hatam di Cerucuk, Tuk Munir dari Singkep. Tuk Munir lah
yang menunjukkan adanya timah di dekat sungai Seburik.
Maka terbukalah rahasia yang selama ini dijaga oleh Depati KA Rahad. Dan KA Rahad
tak dapat menghindar lagi kemudian memerintahkah kepada orang-orangnya untuk
menunjukkan di mana saja ada terdapat bijih timah. Sejak itu terjadilah kerjasama
pencarian bijih timah ke seluruh penjuru pulau Belitung dilakukan dengan didampingi
oleh KA Luso dan KA Jalil sebagai mewakili Depati.
Para Pencari bijih timah yang dapat bekerjasama dengan baik pada keluarga depati, dan
penggalian-penggalian mulai dilakukan. Kandungan timah di Belitung begitu banyak
sehingga resident Bangka mulai menunjukkan gelagat untuk mengatur Belitung.

Tahun 1852 Atas desakan J.F. Loudon, Belitung memisahkan diri dari keresidenan
Bangka dan bertanggungjawab langsung ke Batavia. Ini merupakan satu-satunya asistent
residen di Hindia Belanda yang tidak menjadi bawahan resident.
Tahun 1854 Depati KA Rahad meninggal dunia, di makamkan di Air Labu Kembiri.

Tahun 1856-1873, Depati Cakraninggrat IX, KA Mohamad Saleh alias KA Saleh,


menggantikan abangnya KA Rahad karena tidak menurunkan putra mahkota. Naiknya
KA Saleh maka posisi kepala distrik Tanjungpandan dipegang oleh KA Jalil.

Tahun 1856, orang-orang China mulai didatangkan secara berkala untuk menjadi pekerja
parit timah di Belitung.

Tahun 1860, 15 November, perusahaan penambangan timah berdiri dengan nama Billiton
Maatschappy. Depati KA Mohamad memiliki saham atas parit timah di Bengkuang. Parit
Bengkuang ini merupakan cikalbakal lahirnya Kota Manggar.
Tahun 1864, ekploitasi timah mulai diusahakan hampir di seluruh Belitung, pada masa ini
jalan raya yang menghubungkan ke semua distrik dibangun dibawah pengawasan KA
Jalil. Pembangunan jalan ini menghabiskan waktu 8 tahun dengan janji oleh Belanda
bahwa usai pembangunan jalan, penduduk Belitung akan disejahterakan.

Tahun 1866, Billiton Maatschappy masih terus mendatang pekerja dari China hingga
berjumlah 2724 orang. Banyaknya orang China ini maka oleh Belanda perlu pengawasan
oleh komunitas mereka sendiri. Di Wilayah Tanjungpandan dipimpin oleh Kapten Ho A
Jun dan di Manggar di pimpin oleh seorang Letnan China serta di beberapa wilayah
penambangan yang disebut dengan “wijkmeester” . J.F Loudon juga mempekerjakan
seorang jurutulis China Phang Tjong Tjun.

Tahun 1870, di tepi Sungai Seburik dibangun dermaga tempat tambat kapal, juga
dibukanya sekolah untuk orang Tionghoa.
Tahun 1870-1875, penduduk diharuskan menanam pohon kelapa.

Tahun 1870, mesjid Jami’ Tanjungpandan dibangun. Tahun 1871, didirikan gedung
sositet di Tanjungpandan
Tahun 1872, 12 Oktober, jalan raya di seluruh Belitung selesai dibangun dibawah
pengawasan KA Jalil.

Tahun 1873, KA Saleh sudah uzur, mengundurkan diri jadi depati. Pada tahun ini juga
Pangkat Depati dihapuskan oleh Belanda. Dan semua tugas pemerintahan dialihkan
kepada KA Jalil.

Tahun 1874, KA Jalil menagih janji pada Belanda tentang kesejahteraan rakyat Belitung
maka sekolah rakyat pertama dibangun, dengan dua kelas di Tanjungpandan.

Tahun 1876, KA Saleh meninggal dunia dan tak menurunkan putra mahkota, beliua
dimakamkan dekat makam ramondanya KA Rahad di Cerucuk
Tahun 1879, sekolah rakyat dibangun di Manggar sebanyak dua kelas.

Tahun 1879-1890, Depati Kepala Distrik Belitong, KA Endek.


Setelah KA Saleh meninggal dan pemerintahan digantikan oleh KA Jalil, tapi kemudian
Pemerintah Hindia Belanda sekonyong-konyong mengeluarkan surat keputusan dengan
Belsuit GG tgl 17 Januari 1879 No. 9, untuk mengangkat KA Endek menjadi Depati
Kepala Distrik Belitong. Keputusan ini membuat ketidak senangan dari KA Jalil karena
setelah Depati KA Saleh berhenti dari jabatan depati, Belanda telah menyerahkan
pemerintahan kepada dirinya.

Alasan pengangkatan KA Endek jelas sekali karena karir KA Endek seorang


administratur jika dibandingkan dengan KA Jalil yang menurut Belanda hanya cakap
secara adat untuk menguasai rakyatnya. Karena itu, secara adat para ngabehi di tiap
distrik hanya setia pada KA Jalil hingga beliau meninggal tahun 1887, dan dimakamkan
di pekuburan Nunuk Tanjungpandan.
Karir KA Endek yang bekerja pada instansi Belanda dimulai menjadi kepala polisi
dengan Belsuit GG tgl 19 Agustus 1854 No.2. kemudian menjadi Hoofd Jaksa dengan
Belsuit GG tgl 26 Agustus 1867 No 5. Dengan memakai kekuasaan KA Endek yang
menjadi depati kepala kepala distrik, Belanda menerapkan pajak kepada rakyat Belitung
yaitu, Pajak kepala, Heerendienst dan Gardoedienst. Pajak itu mulai berlaku tahun 1881.
Dengan bertambahnya pendapatan rakyat maka dikenakan pula macam-macam cukai
seperti Pachter, Candu, Arak, Babi, Perjudian, dan lain-lainnya.

Pada tahun 1890, KA Endek diberhentikan dengan Belsuit GG 5 April 1890 No.6 dan
atas jasanya ia diberi lencana emas kecil yang bertuliskan “Ngabehi KA Endek” setahun
kemudian beliau berangkat ke Tanah Suci Mekkah dan meninggal dunia di sana.

Karena kedudukan dan pangkat depati dihapuskan Belanda maka untuk menjaga
hubungan baik antara pemerintahan Belanda dengan keluarga raja maka semua kepala
distrik diangkat dari keluarga Depati Cakraninggrat, akibatnya beberapa distrik yang
sebelumnya dipimpin oleh turunan ngabehi dihapus kekuasaannya oleh Belanda.

Pada Tahun 1890, distrik Sijuk dan Belantu dihapuskan menjadi kelurahan. Namun
Distrik baru pun dimunculkan oleh Belanda yaitu Manggar dan Dendang. Distrik yang
dipertahankan adalah Buding, Badau, Lenggang, dan Tanjungpandan, semua kepala
distrik ini digaji oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pada Tahun 1892, Sebutan “Ngabehi” sebagai kepala distrik dihapuskan oleh Belanda
maka mulai saat itu hanya dikenal kepala distrik saja meski pun begitu, sebutan untuk
Ngabehi kepada kepala distrik secara adat tetap dipakai oleh rakyat, namun kemudian
redup ditelan zaman.

Tahun 1896, di Manggar dibangun gereja katolik kecil di Samak.


Tahun 1898, moderninasi alat-alat perusahaan timah, adanya lokomobil, serta hubungan
telpon.Tahun 1903, adanya pesawat telegram untuk berhubungan dengan Pulau Jawa.

Tahun 1905, Distrik Kelapakampit muncul dan penduduk pribumi Belitung menjadi
39.483 sedangkan peduduk China berjumlah 22.670 karena itu dibutuhkan sekali untuk
menempatkan seorang “Civil Gezaghebber” di Manggar sebagai pembantu asisten
resident.

Tahun 1908, didatangkan mobil pertama ke Belitung.


Tahun 1909, pembangkit listrik dibangun di Manggar (EC).

Tahun 1914-1918 pembukaan sekolah rakyat di Sijuk, Dendang, Lenggang, serta di


Tanjungpandan dibuka H.I.S (Hollandsch Indonesische School)
Tahun 1915, pencanangan hutan cadangan, adanya pelarangan penebangan kayu di hutan
lindung. Tahun 1915, pasar Manggar terbakar seluruhnya.

Tahun 1917, pembangunan gedung sandiwara di Tanjungpandan, gedung ini kemudian


menjadi bioskop Garuda, kini pasar swalayan Puncak.
Tahun 1921, harga timah merosot setelah berakhirnya perang Dunia I, maka Hindia
Belanda mengadakan penghematan besar-besaran terhadap anggarannya

Tahun 1921, Demang pertama KA Abdul Adjis. Tepatnya tanggal 28 Juni 1921 asistent
resident ALM Clignett, menjadikan Belitung Rechte Gemeencshap Billiton,
berkedudukan di Tanjungpandan dan dipimpin oleh seorang Demang, serta asistent
demang yang berkedudukan di Manggar dan Dendang. Ini bagian dari penghematan
anggaran pemerintah Hindia Belanda sesudah perang dunia I.

Tahun 1924, tanggal 9 September. Billiton Maatschappy diubah menjadi NV GMB atau
NV. Gemeenscha Pelyke Mynbouw Maatschappy Billiton.

Tahun 1926, Raad Van Beheer NV GMB mendirikan Dana Kesejahteraan Rakyat
Belitung (Bevolkingsfonds Billiton) guna mengenang 75 tahun berdirinya Maatschappy
Billiton. Dana tersebut digunakan untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi
rakyat Belitung maka didirikan Jawatan kesehatan Rakyat, kemudian Sekolah
pertukangan (Ambaschtscursus) di Manggar.

Tahun 1927, asistent resident mengadakan sekolah desa pertama.


Tahun 1929, diusahakan untuk membuat perkebunan lada.
Tahun 1930-an Belitung tekena juga dampak krisis dunia, pertambangan timah banyak
ditutup dan para pekerja diberhentikan, termasuk pertambangan bijih besi dan tembaga di
Gunung Selumar.

Tahun 1933, 1 Maret, Belitung menjadi Onderafdeling dari dari Keresidenan Bangka,
sejak terpisah tahun 1852 karena tahun 1852 asistent resident Belitung langsung
bertanggungjawab ke Batavia. Tahun itu juga kedudukan dan pangkat “Civil
Gezaghebber” di Manggar ditiadakan.

Tahun 1935, Belitung dibagi menjadi dua distrik, Belitung Barat dan Belitung Timur
masing-masing dikepalai seorang Demang. Tahun 1935, Demang membuat kebijakan
membuka percobaan perkebunan, singkong, kacang, jagung, dan pepaya yang bibitnya
didatangkan dari jawa.

Tahun 1936, Demang pula membuat kebijakan pembukaan sawah di Perpat, Mentigi, tapi
mengalami kegagalan.

Belitung menerima dampak perang dunia II dan harga timah melonjak


Tahun 1940, Jerman menduduki negeri Belanda maka Hindia Belanda mesti membuat
kebijakan sendiri.

Tahun 1941, Hindia Belanda menyatakan perang kepada Jepang.


Tahun 1942, 28 Februari, Jepang melakukan serangan udara terhadap Belitung. Ini
menimbulkan kepanikan luar biasa, sekolah ditutup, orang-orang kota bersembunyi ke
hutan dan kampung-kampung. Orang Eropa dievakusi ke Jawa, dua buah kapal yang
membawa mereka ditenggelamkan.

Tahun 1942, 10 April, Jepang masuk ke Belitung, pegawai NV GMB di internir. Demang
KA. Moh.Yusup ditunjuk Jepang sebagai Pengganti asistent residen untuk waktu tiga
bulan dan bertanggung jawab kepada komandan militer.
Tahun 1943, Januari, sekolah-sekolah dibuka lagi, upaya mendatang bahan makanan
untuk rakyat. Perbaikan besar-besaran terjadi termasuk pembukaan tambang-tambang
timah. NV GMB dirubah menjadi MKK yaitu “Mitsubishi Kogyoka Kaisha”. Tambang
terowongan di Gunung Selumar dibuka lagi khusus untuk menggali bijih besi dan
tembaga.

Tahun 1943, peladangan padi dibangun Jepang di Perpat selama 6 bulan dan
menghasilkan 800 ton padi ladang.

Tahun 1943, Jepang membuka pelabuhan bebas, Belitung berkembang pesat dan ramai,
dibuka sekolah pertukangan perahu di Manggar. Dan perahu-perahu 50 ton ke atas
dibangun.

Tahun 1943, Pelabuhan udara di Buluh Tumbang dibangun untuk kepentingan militer,
sampai akhir perang dunia II sarana itu belum selesai.

Tahun 1945, Jepang membentuk Badan Kebhaktian Rakyat yang bertugas membantu
pemerintahan jepang, badan ini dibubarkan usai perang.

Tahun 1945, 6 September, pejabat kepala daerah mendapat surat kawat dari resident
Bangka, berisi tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan perintah untuk
membentuk Komite Nasional Indonesia yang bertugas mengambil alih kekuasaan dari
tangan Jepang, namun Jepang meninggalkan Belitung sudah pada bulan Agustus. Komite
belum terbentuk. …………………………………………………………………………..

Tahun 1945, KA Moh. Yusup pulang dari Bangka bersama dengan R.M Joedono,
mengambil alih pimpinan pemerintahan dan segera mengadakan rapat-rapat dengan
pemuka rakyat, juga tiga orang utusan Resident Bangka untuk segera membentuk Komite
Nasional Indonesia.

Tahun 1954, 18 Oktober, dengan pesawat terbang, 3 orang mantan pegawai GMB
mendarat di Tanjungpandan dan langsung menuju kantor pemerintahan daerah yang saat
itu sedang diadakan pembentukan Komite Nasinal Indonesia, pada hari itu komite
terbentuk.

Tahun 1954, 21 Oktober, Belitung diduduki tentara Belanda yang membonceng tentara
sekutu. Perintah resident Bangka untuk menyambut mereka dengan baik, tapi masyarakat
melakukan perlawan pasif. Ada rencana melakukan perlawanan aktif yang diatur oleh R
Margono, dia mantan polisi. ………………………………………………………………

Tahun 1945, 24-25 Nopember pasukan rakyat dari Sijok, Aik Selumar, Aik seruk,
bergerak ke pusat kota TanjungPandan untuk menyerbu tentara Belanda, perlawanan tak
seimbang menghadapi senjata moderen Belanda hingga ada yang gugur dan penyerbuan
itu pun mundur. Atas perlawan ini beberapa pemimpin rakyak ditangkapi oleh Belanda.

Tahun 1945, 14-19 Desember, perlawanan terhadap tentara Belanda yang dipimpin oleh
FFJ. Manusama terjadi di Pulau Mendanau, guna menghadang pendaratan tentara
Belanda yang menggunakan kapal perang “Admiraal Trom”
Tahun 1946, Belanda membentuk “Dewan Belitung Sementara” diketuai kepala
pemerintahan Belanda.

Tahun 1947, Desember, Dewan Belitung Sementara menjadi Dewan Belitung yang
beranggotan 18 orang, diketuai oleh KA Moh.Yusup. Sejak itu Belitung menjadi otonom
yang langsung berada dibawah pemerintah pusat Jakarta.
Tahun 1947, selama 4 bulan pegawai GMB mengadakan pemogokan untuk memprotes
pendudukan tentara Belanda di Belitung. Karena aksi ini maka GMB mengadakan
perubahan kebijakan terhadap pegawainya dengan memberikan berbagai insentif.
Selanjutnya melakukan modernisasi terhadap alat-alat produksinya.

Tahun 1948, Januari, Dewan Belitung bergabung dengan Dewan Bangka dan Dewan
Riau, menjadi satu Negara Federasi BABERI (Bangka Belitung Riau) yang disyahkan
pada 23 Januari 1948. Sebagai Negara Federal Bangka Belitung dan Republik Inonesia
Serikat (RIS) mengirim utusan dalam KMB (Konprensi Meja Bundar di Den haag
Belanda, tahun 1949) mewakili Bangka oleh Saleh Acmad dan Dr, Liem Chai Lie dan
mewakili Belitung KA Moh. Yusup.
Tahun 1950, 4 April, Dewan Belitung dibubarkan bersamaan bubarnya Negara Federal
dan Belitung bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tahun 1950, 21 April, Perdana Menteri Dr. Halim bersama dengan Gubernur sumatera
Selatan Dr. M. Isa berkunjung ke Bangka. Dan Bangka Belitung diserahkan kepada
gubernur Sumatera Selatan untuk menjadi bagian Provinsi Sumatera Selatan. Keputusan
itu baru tertuang dalam Undang-Undang Darurat No. 3. Tahun 1956.

Tahun 1950, 27 April, Presiden Soekarno mengunjungi Belitung.


Tahun 1968, 29 September, di Hotel Tanjung Kelayang diadakan rapat, dihadiri utusan
Kabupaten Bangka, Kodya Pangkalpinang, Kabupaten Belitung, guna persiapan
Pembentukan Provinsi Bangka Belitung, memisahkankan diri dari Provinsi Sumatera
Selatan, munculnya Deklarasi Tanjung Kelayang.

Ian Sancin Direktur Bidang Lintas Sosial Budaya Sapir Institute

Anda mungkin juga menyukai