Anda di halaman 1dari 27

LABORATORIUM FARMAKOGNOSI-FITOKIMIA

PROGRAM STUDI FARMASI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI

PERCOBAAN VI
PENENTUAN KADAR ABU

Disusun oleh:

Shofa Amelya
2211015220036

KELOMPOK IV
SHIFT I

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
NOVEMBER 2023
PERCOBAAN VI

PENENTUAN KADAR ABU

KELOMPOK IV
SHIFT I

Mengetahui, Nilai Laporan Awal Nilai Laporan Akhir


Asisten

Tanggal : Tanggal :
(Rizka Aulia Ramadani) 20 November 2023 04 Desember 2023

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
NOVEMBER 2023
PERCOBAAN VI
PENENTUAN KADAR ABU

I. LATAR BELAKANG
Ekstrak adalah campuran yang sangat kompleks dan didalamnya
mengandung puluhan bahkan ratusan komponen senyawa organik yang
tergantung oleh karakteristik bahan. Ekstraksi dilakukan untuk mengambil
sebanyak-banyaknya komponen secara kualitatif dan kuantitatif. Ekstraksi
dilakukan untuk pengambilan komponen dari suatu tanaman (buah, daun, ranting,
akar, batang) dengan menggunakan suatu pelarut dengan cara perendaman dan
pelarutan. Dalam tahapan reaksi penting untuk memperhatikan sifat fisika dan
kimia suatu komponen yang akan diekstraksi. Simplisia berasal dari kata simpleks
atau simpel yang berarti sederhana. Istilah simplisia digunakan untuk menjelaskan
bahan baku obat yang berasal dari alam dan bentuknya masih belum berubah atau
masih asli. Sementara itu, kementerian kesehatan menerangkan definisi simplisia
ialah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan
melalui proses apapun kecuali dinyatakan lain misalnya berupa bahan yang telah
dikeringkan (Widaryanto & Azizah, 2018).
Kandungan senyawa aktif dan mutu bahan dari tanaman obat tidak dapat
dijamin akan selalu berada dalam jumlah yang konstan karena adanya variabel
bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, proses pasca panen
dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa aktif dalam bahan tanaman obat
dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti genetik (bibit), lingkungan atau
tempat tumbuh, iklim, rekayasa agronomi (fertilizer atau perlakuan selama masa
tumbuh), waktu panen, dan pasca panen. Berdasarkan hal ini, proses standarisasi
sangat diperlukan guna menghasilkan ekstrak atau produk yang berkualitas baik
sebelum diproduksi dalam skala industri (Moektiwardoyo, 2018). Salah satu
pengujian untuk mengetahui kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan,
kemurnian, serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan adalah dengan
penentuan kadar abu (Zahro, 2013).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat
dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan.
Bahan makanan dibakar dalam suhu yang tinggi dan menjadi abu. Pengukuran
kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat
dalam makanan atau pangan (Persagi, 2009). Kadar abu tersebut dapat
menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan-bahan organik dalam
proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena
itulah disebut sebagai kadar abu (Nurhidayah et al., 2019).
Berdasarkan uraian diatas penentuan kadar abu merupakan salah satu
persyaratan mutu yang diperlukan pada pembuatan simplisia. Penentuan kadar
abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu
bahan. Oleh karena itu dilakukan percobaan penentuan kadar abu untuk
mengetahui bagaimana cara untuk mengetahui kadar abu pada suatu simplisia dan
untuk mengetahui senyawa apa saja yang terkandung dalam simplisia yang akan
diidentifikasi.

II. TUJUAN PRAKTIKUM


Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui cara
memberi batasan maksimal atau rentang tentang besarnya kandungan senyawa
anorganik di dalam bahan.

III. TINJAUAN PUSTAKA


3.1 Tanaman Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
3.1.1 Klasifikasi tanaman daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Salah satu tanaman yang dijadikan sebagai olahan simplisia adalah daun
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Klasifikasi tanaman daun belimbing
wuluh adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Roidae
Ordo : Geraiales
Famili : Oxalidaceae
Genus : Averrhoa
Spesies : Averrhoa bilimbi L.
(Dillasamola et al., 2023).
3.1.2 Morfologi tanaman belimbimg wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Morfologi tanaman belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) memiliki
bagian-bagian tanaman meliputi pohon, daun, batang, akar, dan buah. Pertama
pada pohon, pohon belimbing berkayu keras, tetapi mempunyai nilai ekonomis
yang tidak besar. Kayu pohon belimbing tidak dapat digunakan sebagai bahan
bangunan dan hanya untuk kayu bakar. Tinggi pohon dapat mencapai 12 meter
dengan penampilan yang ramping dan tidak terlalu besar. Tanaman bercabang
banyak dan cenderung tumbuh ke samping (horizontal). Kedua pada daun, daun
belimbing wuluh berbentuk memanjang dan kecil, daun berupa daun majemuk
yang menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun, anak daun berwarna hijau,
bertangkai pendek, berbentuk lonjong dan ada yang bulat, tepi daunnya memiliki
panjang sekitar 2-10 cm dan lebar 1-3 cm (Dillasamola et al., 2023).
Morfologi ketiga pada batang tanaman belimbing wuluh belimbing wuluh
memiliki batang yang kasar dan berbenjol, sedikit bercabang arahnya agak
condong ke atas tinggi batang mencapai 10 m dengan batang yang tidak begitu
besar dan mempunyai diameter sekitar 30 cm. Cabang batang muda tampak halus
seperti beludru yang berwarna hijau muda-warna coklat muda. Percabangan
belimbing terletak tidak terlalu tinggi dan jumlahnya sedikit. Sementara
permukaan batang beralur dan tidak rata, cabangnya cenderung condong ke atas
dan pada cabang muda ditumbuhi rambut dan teksturnya seperti beludru. Keempat
pada akar, tanaman belimbing mempunyai akar tunggang dan memiliki akar
samping yang banyak. Akar tanaman belimbing cukup kuat, tetapi-letanya tidak
terlalu dalam, yaitu sekitar 1,5-2 meter. Terakhir morfologi pada buah belimbing
wuluh buah belimbing berbentuk lonjong. Ketika masih muda warnanya hijau,
tetapi ketika sudah matang belimbing akan berubah warna yang semula hijau
menjadi agak kekuning-kuningan. Belimbing tersebut asam rasanya, berair dan
agak kesat. Penyerbukan dan pembuahan belimbing lebih sering terjadi dengan
cara silang, meskipun benang sari dan putik terletak pada satu bunga.
Penyerbukan silang berlangsung antartanaman belimbing dengan bantuan
serangga. Pelaku penyerbukan biasanya adalah lebah madu dan lalat hijau pencari
madu. Peluang teriadinya penyerbukan sendiri hanya berkisar 10-30 %
(Dillasamola et al., 2023). Bagian lingir akan berbentuk lekukan berjumlah lima
rusuk. Buah belimbing wuluh yang muda akan berwarna hijau, sedangkan buah
yang sudah matang akan berubah menjadi warna kuning, merah ataupun orange,
serta memiliki perpaduan rasa manis, kelat, dan berair. Tanaman belimbing
memiliki akar tunggang dan akar samping yang cukup banyak dan cukup kuat
meskipun tidak terlalu dalam, yakni kisaran 1,5-2 meter (Lubis, 2023).

Gambar 1. Tanaman daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) (Dokumentasi


pribadi, 2023).
3.1.3 Kandungan dan khasiat tanaman beelimbing wuluh (Averrhoa bilimbi
L.)
Daun belimbing wuluh memiliki potensi yang besar digunakan sebagai obat
tradisional diantaranya sebagai anti radang, anti batuk, anthipertensi, mengobati
lambung dan antinfeksi. Daun belimbing wuluh ini memiliki kandungan
flavonoid, saponin, tanin, sulfur, asam furmat, kalsium oksalat, dan kalsiun sitrat.
Percobaan farmokologi juga menunjukkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh
memberi efek penurun panas (antipiretik) dan penurunan gula darah (hipoglikeik).
Belimbing wuluh efektif sebagai anti mikroba terhadap bakteri salmonella in-vitro
yang merupakan penyebab terjadinya demam tifoid. Hasil penelitian tersebut
menghasilkan bahwa makin tinggi kosentrasi dekok bunga belimbing wuluh maka
semakin rendah pula pertumbuhan bakteri salmonella invitro (Dillasamola et al.,
2023).

3.2 Pengertian Abu dan Kadar Abu


Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat
dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan.
Bahan makanan dibakar dalam suhu yang tinggi dan menjadi abu. Pengukuran
kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat
dalam makanan atau pangan. Kadar abu merupakan campuran dari komponen
anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan (Persagi, 2009).
Penetapan kadar abu juga dimaksudkan untuk mengontrol jumlah pencemar
benda-benda organik seperti tanah dan pasir yang seringkali terbawa dalam
sediaan nabati (Nihayati, 2016). Kadar abu ditentukan berdasarkan kehilangan
berat setelah pembakaran dengan syarat titik akhir pembakaran dihentikan
sebelum terjadi dekomposisi dari abu tersebut (Sudarmadji, 2003). Pengarangan
merupakan salah satu tahapan dalam analisis kadar abu. Pengarangan dilakukan
sebelum bahan uji diabukan. Pengarangan dilakukan dengan cara memanaskan
bahan uji dalam cawan porselen di atas api. Hal ini dilakukan untuk menguapkan
zat organik dalam bahan pangan (Khopkar, 2003).
Kadar abu yang diperoleh pada bahan pangan menggambarkan kandungan
mineral dari sampel bahan. Kadar abu ialah material yang tertinggal apabila bahan
makanan dipijarkan dan dibakar pada suhu sekitar 500-800°C. Metode pengabuan
dengan metode tanur adalah dengan cara membakar bahan hingga mencapai suhu
600-750°C hingga bahan berwarna abu-abu. Semua bahan organik akan terbakar
sempurna menjadi air dan CO2 serta NH3, sedangkan elemen-elemen tertinggal
sebagai oksidannya. Berat abu yang telah diperoleh dapat dihitung dengan
mengetahui berat cawan ketika mula-mula kosong. Bila berat dinyatakan dalam
persen berat asal sampel pada permulaan pengabuan, terdapatlah kadar berat abu
dalam persen. Pengerjaan penimbangan harus dilakukan dengan cepat, karena abu
yang kering ini umumnya bersifat higroskopik atau menyerap air dari udara,
sehingga bila pengerjaan dilakukan dengan lambat, abu akan bertambah berat
karena mengisap uap air dari udara (Sediaoetomo, 2000). Kadar abu tersebut
dapat menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan-bahan organik
dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak,
karena itulah disebut sebagai kadar abu (Nurhidayah et al., 2019).
3.3 Definisi Pengabuan
Pengabuan adalah tahapan utama dalam proses analisis kadar abu suatu
bahan menggunakan tanur. Terdapat 3 jenis pengabuan yaitu pembakaran dalam
tanur, pembakaran api terbuka, dan wet combustion. Jenis pengabuan dalam tanur
biasanya digunakan pada analisis kadar abu dan serat. Pengabuan sering
memerlukan waktu yang lama. Proses pengabuan dapat dipercepat dengan
beberapa cara yaitu menambah bahan dengan kwarsa murni sebelum pengabuan
untuk memperluas permukaan dan menambah porositas, menambahkan gliserol
alkohol sehingga akan terbentuk kerak yang porosus dan proses oksidasi semakin
cepat, serta menambahkan hidrogen peroksida untuk mempercepat oksidasi
(Khopkar, 2003).
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral
yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam
organik dan garam anorganik. Garam organik terdiri dari garam-garam asam
malat, oksalat, asetat, dan pektat, sedangkan garam anorganik antara lain dalam
bentuk garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, dan nitrat. Mineral juga biasanya
berbentuk sebagai senyawa kompleks yang bersifat organik (Sediaoetomo, 2000).

3.4 Metode Kadar Abu


Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengabuan cara
langsung (cara kering) dan pengabuan cara tidak langsung (cara basah). Prinsip
pengabuan cara langsung yaitu semua zat organik dioksidasi pada suhu tinggi
yaitu sekitar 500-600°C, kemudian zat yang tertinggal setelah proses pembakaran
ditimbang. Mekanisme pengabuan cara langsung yaitu cawan porselen dioven
terlebih dahulu selama 1 jam, kemudian diangkat dan didinginkan selama 30
menit dalam desikator. Cawan kosong ditimbang sebagai berat a gram. Bahan uji
dimasukkan sebanyak 5 gram ke dalam cawan, ditimbang dan dicatat sebagai
berat b gram. Pengabuan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pemanasan pada suhu
300°C agar kandungan bahan volatil dan lemak terlindungi hingga kandungan
asam hilang. Pemanasan dilakukan hingga asam habis. Selanjutnya, pemanasan
pada suhu bertahap hingga 600°C agar perubahan suhu secara tiba-tiba tidak
menyebabkan cawan pecah (Apriantono & Fardian, 1989).
Prinsip pengabuan cara tidak langsung yaitu bahan ditambahkan reagen
kimia tertentu sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan
adalah gliserol alkohol atau pasir bebas anorganik yang selanjutnya dipanaskan
dalam suhu tinggi. Pemanasan menyebabkan gliserol alkohol membentuk kerak
sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan
memperbesar oksidasi. Pemanasan pada pasir bebas dapat membuat permukaan
vang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar porositas
sehingga proses pengabuan semakin cepat (Apriantono & Fardian, 1989).
Mekanisme pengabuan cara tidak langsung yaitu cawan porselen dioven
terlebih dahulu selama 1 jam kemudian diangkat dan didinginkan selama 30 menit
dalam desikator. Cawan kosong ditimbang sebagai berat gram. Bahan uji
dimasukan sebanyak 5 g ke dalam cawan, ditimbang dan dicatat sebagai berat b
gram. Gliserol alkohol ditambahkan dalam cawan sebanyak 5 mL dan dimasukan
dalam tanur pengabuan hingga putih keabu-abuan. Abu yang terbentuk dibiarkan
dalam muffle selama 1 hari. Cawan porselen dipanaskan dalam oven terlebih
dahulu untuk mengeringkan air yang mungkin terserap saat disimpan dalam
muffle lalu dimasukan ke desikator. Penimbangan cawan setelah pengabuan
dicatat sebagai berat c gram. Suhu yang tinggi menyebabkan elemen abu yang
volatil, seperti Na, S, Cl, K dan P menguap. Pengabuan juga menyebabkan
dekomposisi tertentu, seperti K2CO3 dan CaCO3. Pengeringan dengan metode ini
bertujuan mendapatkan berat konstan (Apriantono & Fardian, 1989). Pembakaran
bahan pada temperatur tinggi mengakibatkan senyawa organik dan turunannya
terdestruksi dan menguap, sehingga yang tertinggal hanya unsur mineral dan
anorganik. Tujuan pembakaran adalah untuk memberikan gambaran kandungan
mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya
ekstrak (Nihayati, 2016).

3.5 Parameter Standarisasi


Parameter standarisasi simplisia ada dua yaitu parameter non spesifik dan
parameter spesifik. Standarisasi dalam bidang kefarmasian adalah parameter,
prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait
paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian syarat standar, termasuk jaminan
stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya, dengan kata lain, pengertian
standarisasi juga berati proses menjamin nilai parameter tertentu yang konstan dan
ditetapkan dahulu. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak yaitu
faktor biologi dari bahan asal tumbuhan obat dan faktor kandungan kimia bahan
obat tersebut. Standarisasi ekstrak terdiri dari parameter standar spesifik dan
standar non spesifik (Depkes RI, 2000).
Parameter non spesifik dari persyaratan mutu simplisia dan esktrak
diantaranya adalah susut pengeringan, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam,
kadar air, kadar sari larut air, dan kadar sari larut alkohol. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Susut pengeringan, adalah persentase senyawa yang menghilang selama
proses pengeringan. Tidak hanya menggambarkan air yang hilang, tetapi
juga senyawa yang menguap yang hilang. Simplisia harus dalam bentuk
serbuk dengan derajat halus nomor 8 dengan suhu pengeringan 105℃.
2. Kadar abu total, adalah parameter yang memberikan gambaran kandungan
mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai
diperoleh simplisia dan esktrak baik yang berasal dari tanaman secara alami
maupun kontaminan selama proses. Cara pengerjaannya adalah timbang
saksama 2 sampai 3 gram bahan uji yang telah dihaluskan dan dimasukkan
ke dalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara. Pijarkan secara
perlahanlahan hingga arang habis dan dinginkan kemudian timbang.
3. Kadar abu tidak larut asam, adalah dengan cara mendidihkan abu yang
didapat dari kadar abu total dengan 25 mL asam klorida encer selama 5
menit. Kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam, kemudian saring
yang tidak larut dalam asam dengan menggunakan kertas saring bebas abu,
cuci dengan air panas, pijarkan dalam krus hiingga bobot tetap.
4. Kadar air, merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui batasan
maksimal atau rentang besarnya kandungan air di dalam bahan.
Penghilangan kadar air hingga jumlah tertentu berguna untuk
memperpanjang daya tahan bahan selama penyimpanan. Simplisia dinilai
cukup aman jika memiliki kadar air kurang dari 10%.
5. Kadar sari larut air dilakukan dengan cara menimbang saksama kurang lebih
5 gram serbuk yang telah dikeringkan di udara. Masukkan ke dalam labu
bersumbat, kemudian tambahkan 100 mL air jenuh kloroform, kocok
berkalikali selama 8 jam pertama, biarkan selama 18 jam. Saring, uapkan
sebanyak 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar
yang telah dipanaskan pada suhu 105℃ dan ditara, kemudian sisa filtrat juga
dipanaskan hingga bobot tetap.
6. Kadar sari larut etanol, dilakukan dengan cara menimbang saksama kurang
lebih 5 gram serbuk yang telah dikeringkan di udara. Masukkan ke dalam
labu bersumbat, kemudian tambahkan 100 mL etanol 95%, kocok berkali-
kali selama 8 jam pertama, biarkan selama 18 jam. Saring cepat untuk
menghindari penguapan etanol, uapkan sebanyak 20 mL filtrat hingga
kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan pada suhu
105℃ dan ditara, kemudian sisa filtrat juga dipanaskan hingga bobot tetap.
Penentuan parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan
aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggung jawab langsung terhadap
aktivitas farmakologis tertentu parameter spesifik meliputi:
1. Identitas parameter (identitas ekstrak) meliputi deskripsi tata nama-nama
ekstrak (generik, dagang dan paten), nama lain tumbuhan (sistematika
botani), bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dan sebagainya)
dan nama Indonesia tumbuhan.
2. Organoleptis, parameter organoleptis ekstrak meliputi penggunaan panca
indera medeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa, guna pengenalan awal yang
sederhana secara objektif mungkin.
3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, melarutkan ekstrak dengan pelarut
(alkohol atau air) untuk dintentukan secara gravimetri. Senyawa terlarut
dapat diukur untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.
4. Uji kandungan kimia ekstrak yaitu pengujian yang berdasarkan pola
kromotogram. Pola kromotogram dilakukan sebagai analisis kromotografi
sehingga memberikan pola kromotogram yang khas. Uji kandungan kimia
ekstrak bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan
kimia berdasarkan pola kromotogram (KLT dan KCKT).
(Depkes RI, 2000).

3.6 Faktor-Faktor yang Mempengerahui Kadar Abu


Kadar abu dipengaruhi oleh kandungan mineral dari makanan. Makanan
mengandung dua jenis mineral, diantaranya garam organik dan garam anorganik.
Garam organik terdiri dari garam malat dan oksalat, sedangkan garam anorganik
terdiri dari fosfat dan karbonat. Faktor lainnya yaitu cara pengabuan, suhu, dan
waktu pengeringan (Sudarmadji et al., 2010)

IV. METODE PRAKTIKUM


4.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini antara lain:
1. Batang pengaduk
2. Botol kaca hitam
3. Cawan porselen
4. Corong kaca
5. Gelas beker
6. Hotplate
7. Krus silikat
8. Muffle furnace
9. Oven
10. Penjepit kayu
11. Pipet ukur
12. Propipet
13. Sendok tanduk
14. Timbangan analitik

4.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini antara lain:
1. Asam klorida
2. Ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
3. Kertas saring
4. Kertas timbang
5. Serbuk simplisia daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)

4.3 Cara Kerja


4.3.1 Penetapan kadar abu daun belimbing wuluh

Serbuk dan Ekstrak Daun


Belimbing Wuluh

 Ditimbang seksama lebih kurang 2 gram


 Dimasukkan ke dalam krus silikat dan
cawan porselen yang telah dipanaskan
dengan oven pada suhu 105oC selama 30
menit
 Dimasukkan ekstrak ke dalam cawan
porselen dan serbuk ke dalam krus silikat

Abu

 Dipijarkan pada muffle furnace selama 4


jam pada 600oC dan didinginkan
 Ditimbang dan dihitung kadar abu yang
diperoleh

Hasil

4.3.2 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu Serbuk

 Ditambahkan 25 mL HCl encer ke dalam


cawan porselen dan krus silikat
 Dipanaskan di atas hotplate sambil diaduk
selama 5 menit
 Dioven kertas saring selama 10 menit pada
suhu 105oC
 Disaring melalui kertas saring bebas abu
yang telah ditimbang dan cuci dengan air
panas
 Dioven filtrat yang didapatkan pada suhu
105oC selama 10 menit
 Ditimbang dan dihitung kadar abu yang
diperoleh

Hasil

V. HASIL
5.1 Penentuan Kadar Abu Total Simplisia dan Ekstrak Daun Belimbing
Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
No. Perlakuan Hasil Dokumentasi

1. Ditimbang serbuk Didapatkan serbuk


daun belimbing wuluh daun belimbing
pada krus silikat wuluh sebanyak 2
sebanyak 2 gram gram

2. Ditimbang ekstrak Didapatkan ekstrak


daun belimbing wuluh daun belimbing
pada cawan porselen wuluh sebanyak 2
sebanyak 2 gram gram
3. Dimasukkan serbuk Didapatkan hasil
dan ekstrak ke dalam berupa abu sampel
muffle furnace dan daun belimbing
dipanaskan pada suhu wuluh
600oC selama 4 jam

4. Dikeluarkan abu Didapatkan kadar


sampel dari muffle abu total:
furnace dan ditimbang Serbuk = 3,5%
menggunakan neraca Ekstrak = 1%
analitik

5.2 Penentuan Kadar Abu Tidak Larut Asam Simplisia dan Ekstrak Daun
Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
No. Perlakuan Hasil Dokumentasi

1. Ditambahkan HCl Didapatkan abu yang


encer sebanyak 25 mL telah ditambahkan
ke dalam cawan dengan HCl encer
porselen dan krus
silikat

2. Dipanaskan abu di atas Didapatkan abu yang


hotplate selama 5 telah terlarut dengan
menit sambil diaduk HCl
3. Dipanaskan kertas Didapatkan berat
saring menggunakan kertas saring:
oven selama 10 menit 1. 0,39 gram
pada suhu 105oC, 2. 0,39 gram
kemudian ditimbang
kertas menggunakan
neraca analitik

4. Disaring abu Didapatkan filtrat


menggunakan kertas hasil penyaringan
saring dan dicuci
dengan air panas

5. Dikeringkan filtrat Didapatkan filtrat


menggunakan oven serbuk dan ekstrak
dengan suhu 105oC tidak larut asam
selama 10 menit

6. Dikeluarkan filtrat dari Didapatkan kadar abu


oven dan ditimbang total:
pada neraca analitik Serbuk = 0,5%
Ekstrak = 0,5%
5.3 Perhitungan
5.3.1 Kadar abu total serbuk simplisia daun belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi)
Diketahui:
Berat sampel : 2 gram
Berat krus kosong : 42,82 gram
Berat abu dalam krus : 42,89 gram
Berat abu : berat abu dalam krus – berat krus kosong
= 42,89 gram – 42,82 gram
= 0,07 gram
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu total : 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%
0,07 𝑔
= x 100%
2𝑔

= 3,5%
5.3.2 Kadar abu total ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi)
Diketahui:
Berat sampel : 2 gram
Berat cawan kosong : 56,47 gram
Berat abu dalam cawan : 56,49 gram
Berat abu : berat abu dalam cawan – berat cawan kosong
= 56,49 gram – 56,47 gram
= 0,02 gram
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu total : 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%
0,02 𝑔
= x 100%
2𝑔

= 1%
5.3.3 Kadar abu tidak larut asam serbuk simplisia daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi)
Diketahui:
Berat sampel : 2 gram
Berat awal kertas saring : 0,39 gram
Berat abu dalam kertas saring : 0,40 gram
Berat abu : berat abu dalam kertas saring – berat awal kertas saring
= 0,40 gram – 0,39 gram
= 0,01 gram
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu tidak larut asam : 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%
0,01 𝑔
= x 100%
2𝑔

= 0,5%
5.3.4 Kadar abu tidak larut asam ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi)
Diketahui:
Berat sampel : 2 gram
Berat awal kertas saring : 0,39 gram
Berat abu dalam kertas saring : 0,40 gram
Berat abu : berat abu dalam kertas saring – berat awal kertas saring
= 0,40 gram – 0,39 gram
= 0,01 gram
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu tidak larut asam : 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%
0,01 𝑔
= x 100%
2𝑔

= 0,5%

VI. PEMBAHASAN
Judul percobaan kali ini adalah penentuan kadar abu. Tujuan dari praktikum
ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui cara memberi batasan maksimal atau
rentang tentang besarnya kandungan senyawa anorganik di dalam bahan. Abu
adalah oksida-oksida logam dalam arang yang terdiri dari mineral yang tidak
dapat menguap pada proses karbonisasi. Pembakaran bahan akan menyisakan
komponen organik dan abu. Abu terdiri dari oksida logam yang berupa garam-
garam dan material anorganik, oleh karena itu, dalam analisis pangan, analisis
kadar abu juga dilakukan dan dalam analisis mineral tahapan pengabuan menjadi
hal yang penting (Atma, 2018).
Prinsip penetapan kadar abu yaitu bahan yang dipanaskan pada suhu dimana
senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap menjadi abu sehingga
tinggal unsur mineral dan zat anorganik. Tujuan dari penetapan kadar abu yaitu
memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari
proses awal sampai terbentunya ekstrak (Wulandari et al., 2020). Prinsip
pengabuan yaitu sampel akan dipanaskan dengan suhu tinggi sehingga senyawa
organik di dalamnya tereduksi, sehingga yang tertinggal hanyalah residu
anorganik yang didapat dengan pengabuan atau memanaskan pada suhu tinggi
>450℃ dan atau pendestruksian komponen-komponen organik dengan asam kuat.
Residu anorganik ini terdiri dari bermacam-macam mineral yang komposisi dan
jumlahnya tergantung pada jenis bahan pangan dan metode analisis yang
digunakan (Yenrina, 2015).
Prinsip furnance adalah destruksi komponen organik sampel menggunakan
suhu tinggi dalam tanur pengabuan tanpa terjadinya nyala api sampai terbentuk
warna putih keabu-abuan dan berat konstan tercapai (Wasila, 1978). Kandungan
abu sangat berpengaruh pada kualitas barang yang dihasilkan. Keberadaan abu
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori pada arang
sehingga luas permukaan arang menjadi berkurang. Penentuan kadar abu
bertujuan untuk menentukan kandungan oksida logam dalam arang. Semakin
meningkat suhu dan waktu karbonisasi maka kadar abu akan semakin tinggi.
Kadar abu yaitu bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan
turunannya terdestruksi dan menguap sehingga yang tertinggal hanya unsur
mineral dan anorganik (Eriadi et al., 2016). Perhitungan kadar abu dilakukan
dengan tujuan untuk melihat pengotor yang terkandung di dalam simplisia
(Sukmawati et al., 2020).
Metode pengabuan terdiri dari dua cara yaitu pengabuan basah dan
pengabuan kering. Pengabuan kering adalah pengabuan yang menggunakan suhu
yang tinggi, metode pengaburan kering banyak dilakukan untuk analisis kadar
abu. Caranya adalah dengan mendestruksi komponen organik contoh dengan suhu
tinggi didalam tanur (furnace) pengabuan, tanpa terjadi nyala api sampai
terbentuk abu berwarna putih keabuan dan berat tetap (konstan) tercapai. Metode
yang kedua adalah metode pengabuan basah, pengabuan basah menggunakan
oksidator-oksidator kuat. Metode ini biasanya digunakan untuk penentuan
individu komponen mineral. Pengabuan basah ini dilakukan dengan mendestruksi
komponen-komponen organik (C, H, dan O) bahan dengan oksidator seperti asam
kuat. Prinsip pengabuan basah adalah memberikan reagen kimia (asam kuat) pada
bahan sebelum pengabuan (Apriyantono, 1989). Metode yang digunakan pada
pada praktikum kali ini adalah metode kering.
Penentuan kadar abu total bertujuan untuk menentukan baik atau tidaknya
suatu pengolahan, mengetahui keseluruhan kandungan senyawa anorganik total
dalam bentuk oksida logamnya dalam suatu sampel, dan mengetahui jenis bahan
yang digunakan. Penentuan kadar abu total juga sangat berguna sebagai parameter
nilai gizi bahan makanan (Harini et al., 2019). Kandungan abu tidak larut asam
yang cukup tinggi menunjukkan adanya zat pengotor (Irawati, 2008). Penetapan
kadar abu tidak larut asam merupakan salah satu kriteria dalam menentukan
tingkat kebersihan dalam suatu proses pengolahan produk. Abu tidak larut asam
dicerminkan oleh adanya kontaminasi mineral atau logam yang tidak larut asam
dalam suatu produk. Kadar tidak larut asam biasanya mengandung silikat yang
berasal dari tanah atau pasir, jumlah kotoran, unsur logam Ag, Pb, dan Hg.
Penetapan kadar abu tidak larut asam digunakan untuk mengetahui jumlah kadar
abu yang diperoleh dari faktor eksternal seperti pengotor dari pasir atau tanah
(Depkes RI, 2000).
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini antara lain batang pengaduk,
botol kaca hitam, cawan porselen, corong kaca, gelas beker, krus silikat, hotplate,
muffle furnance, oven, penjepit kayu, pipet ukur, propipet, sendok tanduk, dan
timbangan analitik. Batang pengaduk digunakan untuk mencampurkan asal
klorida dengan abu. Botol kaca hitam digunakan untuk menampung cairan
bersifat asam. Cawan porselen berfungsi sebagai wadah ekstrak pada proses
pengabuan. Corong kaca berfungsi membantu pada saat proses penyaringan
dengan kertas saring. Gelas beker berfungsi untuk menampung larutan. Krus
silikat berfungsi sebagai wadah untuk menampung serbuk. Muffle furnance
berfungsi untuk mengabukan atau mengarangkan suatu zat padat. Hotplate
berfungsi untuk memanaskan abu serbuk dan ekstrak. Pipet ukur untuk
memindahkan larutan atau cairan. Sendok tanduk berfungsi untuk mengambil
ekstrak kental. Neraca analitik berfungsi untuk menimbang bobot kadar abu total
dan kadar tidak larut asam. Oven berfungsi untuk memanaskan bahan dengan
suhu tinggi. Propipet berfungsi untuk mengambil cairan yang ada di pipet ukur.
Penjepit kayu untuk mempermudah mengambil alat.
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain asam sulfat,
daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.), kertas saring, kertas timbangan dan
aquadest. Asam sulfat (H2SO4) berfungsi untuk melarutkan senyawa yang larut
asam dan memisahkan zat anorganik asing yang tidak larut, sehingga dapat
dipisahkan antara pengotor dan senyawa larut asam. Asam sulfat dapat
melarutkan sisa senyawa anorganik dan mineral yang larut dalam asam, karena
senyawa seperti silika dan logam tidak dapat larut dalam asam, sehingga dapat
dijadikan parameter keamanan bagi konsumen. Kertas saring berfungsi untuk
menyaring larutan. Daun belimbing wuluh berfungsi sebagai sampel dalam
penentuan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam. Aquadest berfungsi
sebagai pelarut dalam penyaringan.
Cara kerja alat muffle furnance yaitu pertama hubungkan kabel ke saklar.
Buka pintu muffle dan masukkan cawan pengabuan yang telah diisi dengan
sampel. Tutup pintu muffle furnance lalu nyalakan dengan menekan tombol ON.
Atur nilai suhu dan timer untuk memilih lama waktu pengabuan yang akan
digunakan. Tunggu suhu naik hingga mencapai suhu yang diinginkan. Timer akan
menghitung mundur sesuai waktu yang diinginkan setelah suhu mencapai waktu
yang telah ditentukan. Seteleh selesai waktu pengabuan, turunkan suhu hingga
100 dan tekan tombol OFF untuk menghentikan proses. Ambil cawan yang berisi
sampel menggunakan penjepit tabung.
Cara kerja dalam percobaan ini terbagi menjadi dua yaitu penentuan kadar
abu total dan penetapan kadar abu tidak larut asam. Cara kerja penentuan kadar
abu total yaitu ditimbang serbuk dan ekstrak sampel masing-masing sebanyak 2
gram. Cawan porselen dan krus silikat dioven pada suhu 105℃ selama 30 menit.
Simplisia serbuk dimasukkan ke dalam krus silikat dan ekstrak dalam cawan
porselen yang sudah dioven. Masukan ke dalam muffle furnance dan dipijarkan
selama 3 jam pada suhu 800℃. Setelah diabukan, timbang abu yang diperoleh
dengan menggunakan timbangan analitik dan dihitung kadar abu total yang
diperoleh. Cara kerja penetapan kadar abu tidak larut asam yaitu tambahkan asam
klorida (HCl) sebanyak 25 mL pada cawan porselen dan krus silikat. Setelah itu
aduk dengan batang pengaduk untuk menghomogenkan campuran. Didihkan di
atas hotplate selama 5 menit dan diamkan hingga mengendap. Oven kertas saring
dengan suhu 105℃ selama 10 menit, saring abu dengan kertas saring yang sudah
ditimbang. Proses penyaringan ditambahkan air panas. Oven hasil filtrat saringan
abu pada suhu 105℃ selama 10 menit. Timbang menggunakan timbangan analitik
dan dihitung kadar abu yang diperoleh.
Alasan digunakan wadah berbeda untuk serbuk dan ekstrak adalah untuk
membedakan sampel yang diujikan agar tidak tertukar. Wadah yang digunakan
adalah cawan porselen dan krus silikat karena cawan porselen dan krus silikat
tahan terhadap pemanasan dengan suhu tinggi. Hal ini dikarenakan dalam proses
pembuatan krus silikat dan cawan porselen menggunakan suhu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu tanur, sehingga kedua wadah tersebut tidak akan pecah
dalam pemanasan dengan suhu tinggi. Krus silikat dan cawan porselen dioven
selama 30 menit pada suhu 105℃ untuk menghilangkan kadar air yang masih
berada di dalam maupun di luar dinding cawan porselen dan krus silikat, sehingga
diperoleh berat krus silikat dan cawan porselen yang terbebas dari air saat
penimbangan. Suhu 105℃ merupakan suhu yang pas karena titik didih air adalah
100℃, sehingga ketika dioven harus menggunakan suhu diatas titik didih air.
Waktu pengovenan selama 30 menit sudah pas untuk menghilangkan kadar air.
Pemanasan dengan muffle furnance dilakukan dengan suhu tinggi yaitu 800℃
selama 3 jam bertujuan agar sampel dapat cepat menjadi abu, sehingga senyawa
organik dan turunannya terdesktruksi dan menguap, serta hanya tertinggal
senyawa anorganik dan mineral internal dan eksternal. Waktu selama 3 jam sudah
pas untuk proses pengabuan. Penambahan asam klorida dalam proses penetapan
kadar senyawa tidak larut asam karena asam klorida merupakan asam kuat yang
dapat mendestruksi senyawa yang tidak larut asam dan melarutkan sisa senyawa
anorganik dan mineral yang larut dalam asam. Penambahan air panas saat proses
penyaringan dengan kertas saring dan corong kaca agar lebih tersari, sehingga abu
yang tidak larut dengan penambahan asam dapat larut dengan penambahan
aquadest. Kertas saring dioven agar benar-benar kering dan bebas dari pengotor
yang dapat mengganggu hasil dan pengujian sampel.
Hasil yang didapat pada penentuan kadar abu total serbuk simplisia daun
belimbing wuluh yaitu didapat berat abu sebesar 0,07 gram dan persentase
rendemen kadar abu sebesar 3,5%. Hasil yang didapatkan telah sesuai dengan
literatur yang menyatakan bahwa kadar abu total simplisia daun belimbing wuluh
yang memenuhi persyaratan adalah <7,5% (Depkes RI, 1989). Hasil yang didapat
pada penentuan kadar abu total ekstrak daun belimbing wuluh yaitu didapat berat
abu sebesar 0,02 gram dan persentase rendemen kadar abu sebesar 1%. Hasil
kadar abu total yang didapatkan telah sesuai dengan literatur yang menyatakan
bahwa kadar abu total ekstrak daun belimbing wuluh yang memenuhi persyaratan
adalah tidak lebih dari 14% (Hasanah & Novian, 2020).
Hasil yang didapat pada penentuan kadar abu tidak larut asam serbuk
simplisia daun belimbing wuluh yaitu didapat berat abu sebesar 0,01 gram dan
persentase rendemen kadar abu sebesar 0,5%. Hasil kadar abu tidak larut asam
serbuk simplisia daun belimbing wuluh telah sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa kadar abu tidak larut asam simplisia daun belimbing wuluh
tidak boleh lebih dari 1% (Depkes RI, 1989). Hasil yang didapat pada penentuan
kadar abu tidak larut asam ekstrak daun belimbing wuluh yaitu didapat berat abu
sebesar 0,01 gram dan persentase rendemen kadar abu sebesar 0,5%. Hasil kadar
abu tidak larut asam ekstrak daun belimbing wuluh telah sesuai dengan literatur
yang menyatakan bahwa kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 0,9%
(Hasanah & Novian, 2020).

VII. KESIMPULAN
Kesimpulan dari percobaan ini adalah :
1. Kadar abu merupakan parameter non spesifik yang menggambarkan
kontaminasi bahan baku obat tradisional dari senyawa anorganik, logam
berat, mikroba, kebersihan, dan keamanan yang dapat memengaruhi khasiat
dari obat tradisional.
2. Hasil penetapan kadar abu total baik serbuk maupun ekstrak daun belimbing
wuluh telah sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa kadar abu total
simplisia daun belimbing wuluh yang memenuhi persyaratan adalah <7,5%
dan 14%
3. Hasil yang didapat pada penentuan kadar abu total serbuk simplisia daun
belimbing wuluh yaitu didapat berat abu sebesar 0,07 gram dan persentase
rendemen kadar abu sebesar 3,5%. Hasil telah sesuai dengan lietratur
4. Hasil yang didapat pada penentuan kadar abu tidak larut asam serbuk
simplisia daun belimbing wuluh yaitu didapat berat abu sebesar 0,01 gram
dan persentase rendemen kadar abu sebesar 0,5%. Hasil kadar abu tidak
larut asam serbuk simplisia daun belimbing wuluh telah sesuai dengan
literatur yang menyatakan bahwa kadar abu tidak larut asam simplisia daun
belimbing wuluh tidak boleh lebih dari 1%.
VIII. DAFTAR PUSTAKA

Apriantono, A & D. Fardian. 1989. Analisa Pangan. Dirjen Pendidikan Tinggi


PAU Pangan dan Giji IPB, Bogor.

Atma, Y. 2018. Prinsip Analisis Komponen Pangan Makro & Mikro Nutrien.
Deepublish, Yoygyakarta.

Balikatbi. 2016. Pedoman Budi Daya Ubi Kayu di Indonesia. Kementerian


Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.

Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Eriadi, A., H. Arifin & Nitwanto. 2016. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun
Kirinyuh (Chromolaen odorata (L) R. M. King & H. Robb) pada Mencit
Putih Jantan. Jurnal Farmasi Higea. 8: 122-132.

Furay, A. 2019. Buah Matoa Buah 4 Rasa Edisi Revisi. IPB Press, Bogor.

Hambali, E., S. Mujdalipah, A. H. Tambunan, A. W. Pattiwiri & R. Hendroko.


2008. Teknologi Bioenergi. AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Harini, N., R. Marianty & V. A. Wahyudi. 2019. Analisa Pangan. Zifatama


Jawara, Sidoarjo.

Hasanah, N & D. R. Novian. 2020. Daya Hambat Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) terhadap Bakteri Penyebab Jerawat
(Propionibacterium acne. Ejournal Poltektegal. 9: 46-53.

Irawati. 2008. Pengujian Mutu 1. DIPLOMA IV PDPPTK VEDCA, Cianjur.

Kemenkes RI. 2017. Farmakope Herbal Indonesia Edisi II. Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Khopkar. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press, Jakarta.

Moektiwardoyo, M. 2018. Jawer Kotok, Plectranthus scutellarioides, dari


Etnofarmasi Menjadi Sediaan Fitofarmasi. Deepublish, Sleman.

Nafilah, I. N. Asyiah & K. Fikri. 2017. Kajian Etnobotani Tanaman Singkong


yang Berpotensi sebagai Obat oleh Masyarakat Kabupaten Bondowoso.
Saintifika. 19: 43-54.

Nihayati, E. 2016. Peningkatan Produksi dan Kadar Kurkumin Temulawak. UB


Press, Malang.

Nur, L. S. 2019. Mengenal Tanaman Makanan Pokok. ALPRIN, Semarang.


Nurhidayah, B., E. Soekandarsi & A. E. Erviani. 2019. Kandungan Kolagen Sisik
Ikan Bandeng Chanos-chanos dan Sisik Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
Jurnal Biologi Makasar. 4: 39-47.

Persagi. 2009. Kamus Gizi. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Rao, L., S. Li & X. Cui. 2021. Leaf Morphology and Chlorophyll Fluorescence
Characteristics of Mulberry Seedlings Under Waterlogging Stress Scientific
Reports. 11: 1-11.

Redaksi Trubus. 2012. Cara Jitu Jadi Raja Singkong. Trubus Swadaya, Depok.

Sediaoetomo, A. D. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Dian Rakyat,
Jakarta.

Sudarmadji., S. H. Bambang & Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan dan


Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Sukmawati, I. K., E. Y. Sukandar & N. F. Kurniati. 2020. Aktivitas Antidiare


Daun Harendong (Malestoma malabathricum L.). Journal Syifa Sciences
and Clinical Research. 2: 39-48.

Sutomo, N. Hasanah, Arnida & A. Sriyono. 2021. Stardardisasi Simplisia dan


Ekstrak Daun Matoa (Pometia pinnata J. R. Forst & G. Forst) Asal
Kalimantan Selatan. Jurnal Pharmascience. 8: 101-110.

Wasila, S. 1978. Penuntun Percobaan Penghantar Kimia Organik. Karya


Nusantara, Bandung.

Widaryanto, E & N. Azizah. 2018. Perspektif Tanaman Obat Berkhasiat. UB


Press, Malang.

Wulandari, A., Y. Farida & S. Taurhesia. 2020. Perbandingan Aktivitas Ekstrak


Daun Kelor dan Teh Hijau serta Kombinasi sebagai Antibakteri Penyebab
Jerawat. Jurnal Fitofarmaka Indonesia. 7: 23-29.

Yenrina, R. 2015. Metode Analisis Bahan Pangan dan Komponen Bioaktif.


Andalas University, Padang.

Zahro. 2013. Analisis Mutu Pangan dan Hasil Pertanian. Universitas Jember,
Jawa Timur.

Anda mungkin juga menyukai