PERCOBAAN VI
PENENTUAN KADAR ABU
Disusun oleh:
Shofa Amelya
2211015220036
KELOMPOK IV
SHIFT I
KELOMPOK IV
SHIFT I
Tanggal : Tanggal :
(Rizka Aulia Ramadani) 20 November 2023 04 Desember 2023
I. LATAR BELAKANG
Ekstrak adalah campuran yang sangat kompleks dan didalamnya
mengandung puluhan bahkan ratusan komponen senyawa organik yang
tergantung oleh karakteristik bahan. Ekstraksi dilakukan untuk mengambil
sebanyak-banyaknya komponen secara kualitatif dan kuantitatif. Ekstraksi
dilakukan untuk pengambilan komponen dari suatu tanaman (buah, daun, ranting,
akar, batang) dengan menggunakan suatu pelarut dengan cara perendaman dan
pelarutan. Dalam tahapan reaksi penting untuk memperhatikan sifat fisika dan
kimia suatu komponen yang akan diekstraksi. Simplisia berasal dari kata simpleks
atau simpel yang berarti sederhana. Istilah simplisia digunakan untuk menjelaskan
bahan baku obat yang berasal dari alam dan bentuknya masih belum berubah atau
masih asli. Sementara itu, kementerian kesehatan menerangkan definisi simplisia
ialah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan
melalui proses apapun kecuali dinyatakan lain misalnya berupa bahan yang telah
dikeringkan (Widaryanto & Azizah, 2018).
Kandungan senyawa aktif dan mutu bahan dari tanaman obat tidak dapat
dijamin akan selalu berada dalam jumlah yang konstan karena adanya variabel
bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, proses pasca panen
dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa aktif dalam bahan tanaman obat
dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti genetik (bibit), lingkungan atau
tempat tumbuh, iklim, rekayasa agronomi (fertilizer atau perlakuan selama masa
tumbuh), waktu panen, dan pasca panen. Berdasarkan hal ini, proses standarisasi
sangat diperlukan guna menghasilkan ekstrak atau produk yang berkualitas baik
sebelum diproduksi dalam skala industri (Moektiwardoyo, 2018). Salah satu
pengujian untuk mengetahui kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan,
kemurnian, serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan adalah dengan
penentuan kadar abu (Zahro, 2013).
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat
dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan.
Bahan makanan dibakar dalam suhu yang tinggi dan menjadi abu. Pengukuran
kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat
dalam makanan atau pangan (Persagi, 2009). Kadar abu tersebut dapat
menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan-bahan organik dalam
proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena
itulah disebut sebagai kadar abu (Nurhidayah et al., 2019).
Berdasarkan uraian diatas penentuan kadar abu merupakan salah satu
persyaratan mutu yang diperlukan pada pembuatan simplisia. Penentuan kadar
abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu
bahan. Oleh karena itu dilakukan percobaan penentuan kadar abu untuk
mengetahui bagaimana cara untuk mengetahui kadar abu pada suatu simplisia dan
untuk mengetahui senyawa apa saja yang terkandung dalam simplisia yang akan
diidentifikasi.
4.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini antara lain:
1. Asam klorida
2. Ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
3. Kertas saring
4. Kertas timbang
5. Serbuk simplisia daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Abu
Hasil
Abu Serbuk
Hasil
V. HASIL
5.1 Penentuan Kadar Abu Total Simplisia dan Ekstrak Daun Belimbing
Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
No. Perlakuan Hasil Dokumentasi
5.2 Penentuan Kadar Abu Tidak Larut Asam Simplisia dan Ekstrak Daun
Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
No. Perlakuan Hasil Dokumentasi
= 3,5%
5.3.2 Kadar abu total ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi)
Diketahui:
Berat sampel : 2 gram
Berat cawan kosong : 56,47 gram
Berat abu dalam cawan : 56,49 gram
Berat abu : berat abu dalam cawan – berat cawan kosong
= 56,49 gram – 56,47 gram
= 0,02 gram
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu total : 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%
0,02 𝑔
= x 100%
2𝑔
= 1%
5.3.3 Kadar abu tidak larut asam serbuk simplisia daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi)
Diketahui:
Berat sampel : 2 gram
Berat awal kertas saring : 0,39 gram
Berat abu dalam kertas saring : 0,40 gram
Berat abu : berat abu dalam kertas saring – berat awal kertas saring
= 0,40 gram – 0,39 gram
= 0,01 gram
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu tidak larut asam : 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%
0,01 𝑔
= x 100%
2𝑔
= 0,5%
5.3.4 Kadar abu tidak larut asam ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi)
Diketahui:
Berat sampel : 2 gram
Berat awal kertas saring : 0,39 gram
Berat abu dalam kertas saring : 0,40 gram
Berat abu : berat abu dalam kertas saring – berat awal kertas saring
= 0,40 gram – 0,39 gram
= 0,01 gram
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu tidak larut asam : 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%
0,01 𝑔
= x 100%
2𝑔
= 0,5%
VI. PEMBAHASAN
Judul percobaan kali ini adalah penentuan kadar abu. Tujuan dari praktikum
ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui cara memberi batasan maksimal atau
rentang tentang besarnya kandungan senyawa anorganik di dalam bahan. Abu
adalah oksida-oksida logam dalam arang yang terdiri dari mineral yang tidak
dapat menguap pada proses karbonisasi. Pembakaran bahan akan menyisakan
komponen organik dan abu. Abu terdiri dari oksida logam yang berupa garam-
garam dan material anorganik, oleh karena itu, dalam analisis pangan, analisis
kadar abu juga dilakukan dan dalam analisis mineral tahapan pengabuan menjadi
hal yang penting (Atma, 2018).
Prinsip penetapan kadar abu yaitu bahan yang dipanaskan pada suhu dimana
senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap menjadi abu sehingga
tinggal unsur mineral dan zat anorganik. Tujuan dari penetapan kadar abu yaitu
memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari
proses awal sampai terbentunya ekstrak (Wulandari et al., 2020). Prinsip
pengabuan yaitu sampel akan dipanaskan dengan suhu tinggi sehingga senyawa
organik di dalamnya tereduksi, sehingga yang tertinggal hanyalah residu
anorganik yang didapat dengan pengabuan atau memanaskan pada suhu tinggi
>450℃ dan atau pendestruksian komponen-komponen organik dengan asam kuat.
Residu anorganik ini terdiri dari bermacam-macam mineral yang komposisi dan
jumlahnya tergantung pada jenis bahan pangan dan metode analisis yang
digunakan (Yenrina, 2015).
Prinsip furnance adalah destruksi komponen organik sampel menggunakan
suhu tinggi dalam tanur pengabuan tanpa terjadinya nyala api sampai terbentuk
warna putih keabu-abuan dan berat konstan tercapai (Wasila, 1978). Kandungan
abu sangat berpengaruh pada kualitas barang yang dihasilkan. Keberadaan abu
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori pada arang
sehingga luas permukaan arang menjadi berkurang. Penentuan kadar abu
bertujuan untuk menentukan kandungan oksida logam dalam arang. Semakin
meningkat suhu dan waktu karbonisasi maka kadar abu akan semakin tinggi.
Kadar abu yaitu bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan
turunannya terdestruksi dan menguap sehingga yang tertinggal hanya unsur
mineral dan anorganik (Eriadi et al., 2016). Perhitungan kadar abu dilakukan
dengan tujuan untuk melihat pengotor yang terkandung di dalam simplisia
(Sukmawati et al., 2020).
Metode pengabuan terdiri dari dua cara yaitu pengabuan basah dan
pengabuan kering. Pengabuan kering adalah pengabuan yang menggunakan suhu
yang tinggi, metode pengaburan kering banyak dilakukan untuk analisis kadar
abu. Caranya adalah dengan mendestruksi komponen organik contoh dengan suhu
tinggi didalam tanur (furnace) pengabuan, tanpa terjadi nyala api sampai
terbentuk abu berwarna putih keabuan dan berat tetap (konstan) tercapai. Metode
yang kedua adalah metode pengabuan basah, pengabuan basah menggunakan
oksidator-oksidator kuat. Metode ini biasanya digunakan untuk penentuan
individu komponen mineral. Pengabuan basah ini dilakukan dengan mendestruksi
komponen-komponen organik (C, H, dan O) bahan dengan oksidator seperti asam
kuat. Prinsip pengabuan basah adalah memberikan reagen kimia (asam kuat) pada
bahan sebelum pengabuan (Apriyantono, 1989). Metode yang digunakan pada
pada praktikum kali ini adalah metode kering.
Penentuan kadar abu total bertujuan untuk menentukan baik atau tidaknya
suatu pengolahan, mengetahui keseluruhan kandungan senyawa anorganik total
dalam bentuk oksida logamnya dalam suatu sampel, dan mengetahui jenis bahan
yang digunakan. Penentuan kadar abu total juga sangat berguna sebagai parameter
nilai gizi bahan makanan (Harini et al., 2019). Kandungan abu tidak larut asam
yang cukup tinggi menunjukkan adanya zat pengotor (Irawati, 2008). Penetapan
kadar abu tidak larut asam merupakan salah satu kriteria dalam menentukan
tingkat kebersihan dalam suatu proses pengolahan produk. Abu tidak larut asam
dicerminkan oleh adanya kontaminasi mineral atau logam yang tidak larut asam
dalam suatu produk. Kadar tidak larut asam biasanya mengandung silikat yang
berasal dari tanah atau pasir, jumlah kotoran, unsur logam Ag, Pb, dan Hg.
Penetapan kadar abu tidak larut asam digunakan untuk mengetahui jumlah kadar
abu yang diperoleh dari faktor eksternal seperti pengotor dari pasir atau tanah
(Depkes RI, 2000).
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini antara lain batang pengaduk,
botol kaca hitam, cawan porselen, corong kaca, gelas beker, krus silikat, hotplate,
muffle furnance, oven, penjepit kayu, pipet ukur, propipet, sendok tanduk, dan
timbangan analitik. Batang pengaduk digunakan untuk mencampurkan asal
klorida dengan abu. Botol kaca hitam digunakan untuk menampung cairan
bersifat asam. Cawan porselen berfungsi sebagai wadah ekstrak pada proses
pengabuan. Corong kaca berfungsi membantu pada saat proses penyaringan
dengan kertas saring. Gelas beker berfungsi untuk menampung larutan. Krus
silikat berfungsi sebagai wadah untuk menampung serbuk. Muffle furnance
berfungsi untuk mengabukan atau mengarangkan suatu zat padat. Hotplate
berfungsi untuk memanaskan abu serbuk dan ekstrak. Pipet ukur untuk
memindahkan larutan atau cairan. Sendok tanduk berfungsi untuk mengambil
ekstrak kental. Neraca analitik berfungsi untuk menimbang bobot kadar abu total
dan kadar tidak larut asam. Oven berfungsi untuk memanaskan bahan dengan
suhu tinggi. Propipet berfungsi untuk mengambil cairan yang ada di pipet ukur.
Penjepit kayu untuk mempermudah mengambil alat.
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain asam sulfat,
daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.), kertas saring, kertas timbangan dan
aquadest. Asam sulfat (H2SO4) berfungsi untuk melarutkan senyawa yang larut
asam dan memisahkan zat anorganik asing yang tidak larut, sehingga dapat
dipisahkan antara pengotor dan senyawa larut asam. Asam sulfat dapat
melarutkan sisa senyawa anorganik dan mineral yang larut dalam asam, karena
senyawa seperti silika dan logam tidak dapat larut dalam asam, sehingga dapat
dijadikan parameter keamanan bagi konsumen. Kertas saring berfungsi untuk
menyaring larutan. Daun belimbing wuluh berfungsi sebagai sampel dalam
penentuan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam. Aquadest berfungsi
sebagai pelarut dalam penyaringan.
Cara kerja alat muffle furnance yaitu pertama hubungkan kabel ke saklar.
Buka pintu muffle dan masukkan cawan pengabuan yang telah diisi dengan
sampel. Tutup pintu muffle furnance lalu nyalakan dengan menekan tombol ON.
Atur nilai suhu dan timer untuk memilih lama waktu pengabuan yang akan
digunakan. Tunggu suhu naik hingga mencapai suhu yang diinginkan. Timer akan
menghitung mundur sesuai waktu yang diinginkan setelah suhu mencapai waktu
yang telah ditentukan. Seteleh selesai waktu pengabuan, turunkan suhu hingga
100 dan tekan tombol OFF untuk menghentikan proses. Ambil cawan yang berisi
sampel menggunakan penjepit tabung.
Cara kerja dalam percobaan ini terbagi menjadi dua yaitu penentuan kadar
abu total dan penetapan kadar abu tidak larut asam. Cara kerja penentuan kadar
abu total yaitu ditimbang serbuk dan ekstrak sampel masing-masing sebanyak 2
gram. Cawan porselen dan krus silikat dioven pada suhu 105℃ selama 30 menit.
Simplisia serbuk dimasukkan ke dalam krus silikat dan ekstrak dalam cawan
porselen yang sudah dioven. Masukan ke dalam muffle furnance dan dipijarkan
selama 3 jam pada suhu 800℃. Setelah diabukan, timbang abu yang diperoleh
dengan menggunakan timbangan analitik dan dihitung kadar abu total yang
diperoleh. Cara kerja penetapan kadar abu tidak larut asam yaitu tambahkan asam
klorida (HCl) sebanyak 25 mL pada cawan porselen dan krus silikat. Setelah itu
aduk dengan batang pengaduk untuk menghomogenkan campuran. Didihkan di
atas hotplate selama 5 menit dan diamkan hingga mengendap. Oven kertas saring
dengan suhu 105℃ selama 10 menit, saring abu dengan kertas saring yang sudah
ditimbang. Proses penyaringan ditambahkan air panas. Oven hasil filtrat saringan
abu pada suhu 105℃ selama 10 menit. Timbang menggunakan timbangan analitik
dan dihitung kadar abu yang diperoleh.
Alasan digunakan wadah berbeda untuk serbuk dan ekstrak adalah untuk
membedakan sampel yang diujikan agar tidak tertukar. Wadah yang digunakan
adalah cawan porselen dan krus silikat karena cawan porselen dan krus silikat
tahan terhadap pemanasan dengan suhu tinggi. Hal ini dikarenakan dalam proses
pembuatan krus silikat dan cawan porselen menggunakan suhu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu tanur, sehingga kedua wadah tersebut tidak akan pecah
dalam pemanasan dengan suhu tinggi. Krus silikat dan cawan porselen dioven
selama 30 menit pada suhu 105℃ untuk menghilangkan kadar air yang masih
berada di dalam maupun di luar dinding cawan porselen dan krus silikat, sehingga
diperoleh berat krus silikat dan cawan porselen yang terbebas dari air saat
penimbangan. Suhu 105℃ merupakan suhu yang pas karena titik didih air adalah
100℃, sehingga ketika dioven harus menggunakan suhu diatas titik didih air.
Waktu pengovenan selama 30 menit sudah pas untuk menghilangkan kadar air.
Pemanasan dengan muffle furnance dilakukan dengan suhu tinggi yaitu 800℃
selama 3 jam bertujuan agar sampel dapat cepat menjadi abu, sehingga senyawa
organik dan turunannya terdesktruksi dan menguap, serta hanya tertinggal
senyawa anorganik dan mineral internal dan eksternal. Waktu selama 3 jam sudah
pas untuk proses pengabuan. Penambahan asam klorida dalam proses penetapan
kadar senyawa tidak larut asam karena asam klorida merupakan asam kuat yang
dapat mendestruksi senyawa yang tidak larut asam dan melarutkan sisa senyawa
anorganik dan mineral yang larut dalam asam. Penambahan air panas saat proses
penyaringan dengan kertas saring dan corong kaca agar lebih tersari, sehingga abu
yang tidak larut dengan penambahan asam dapat larut dengan penambahan
aquadest. Kertas saring dioven agar benar-benar kering dan bebas dari pengotor
yang dapat mengganggu hasil dan pengujian sampel.
Hasil yang didapat pada penentuan kadar abu total serbuk simplisia daun
belimbing wuluh yaitu didapat berat abu sebesar 0,07 gram dan persentase
rendemen kadar abu sebesar 3,5%. Hasil yang didapatkan telah sesuai dengan
literatur yang menyatakan bahwa kadar abu total simplisia daun belimbing wuluh
yang memenuhi persyaratan adalah <7,5% (Depkes RI, 1989). Hasil yang didapat
pada penentuan kadar abu total ekstrak daun belimbing wuluh yaitu didapat berat
abu sebesar 0,02 gram dan persentase rendemen kadar abu sebesar 1%. Hasil
kadar abu total yang didapatkan telah sesuai dengan literatur yang menyatakan
bahwa kadar abu total ekstrak daun belimbing wuluh yang memenuhi persyaratan
adalah tidak lebih dari 14% (Hasanah & Novian, 2020).
Hasil yang didapat pada penentuan kadar abu tidak larut asam serbuk
simplisia daun belimbing wuluh yaitu didapat berat abu sebesar 0,01 gram dan
persentase rendemen kadar abu sebesar 0,5%. Hasil kadar abu tidak larut asam
serbuk simplisia daun belimbing wuluh telah sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa kadar abu tidak larut asam simplisia daun belimbing wuluh
tidak boleh lebih dari 1% (Depkes RI, 1989). Hasil yang didapat pada penentuan
kadar abu tidak larut asam ekstrak daun belimbing wuluh yaitu didapat berat abu
sebesar 0,01 gram dan persentase rendemen kadar abu sebesar 0,5%. Hasil kadar
abu tidak larut asam ekstrak daun belimbing wuluh telah sesuai dengan literatur
yang menyatakan bahwa kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 0,9%
(Hasanah & Novian, 2020).
VII. KESIMPULAN
Kesimpulan dari percobaan ini adalah :
1. Kadar abu merupakan parameter non spesifik yang menggambarkan
kontaminasi bahan baku obat tradisional dari senyawa anorganik, logam
berat, mikroba, kebersihan, dan keamanan yang dapat memengaruhi khasiat
dari obat tradisional.
2. Hasil penetapan kadar abu total baik serbuk maupun ekstrak daun belimbing
wuluh telah sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa kadar abu total
simplisia daun belimbing wuluh yang memenuhi persyaratan adalah <7,5%
dan 14%
3. Hasil yang didapat pada penentuan kadar abu total serbuk simplisia daun
belimbing wuluh yaitu didapat berat abu sebesar 0,07 gram dan persentase
rendemen kadar abu sebesar 3,5%. Hasil telah sesuai dengan lietratur
4. Hasil yang didapat pada penentuan kadar abu tidak larut asam serbuk
simplisia daun belimbing wuluh yaitu didapat berat abu sebesar 0,01 gram
dan persentase rendemen kadar abu sebesar 0,5%. Hasil kadar abu tidak
larut asam serbuk simplisia daun belimbing wuluh telah sesuai dengan
literatur yang menyatakan bahwa kadar abu tidak larut asam simplisia daun
belimbing wuluh tidak boleh lebih dari 1%.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Atma, Y. 2018. Prinsip Analisis Komponen Pangan Makro & Mikro Nutrien.
Deepublish, Yoygyakarta.
Eriadi, A., H. Arifin & Nitwanto. 2016. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun
Kirinyuh (Chromolaen odorata (L) R. M. King & H. Robb) pada Mencit
Putih Jantan. Jurnal Farmasi Higea. 8: 122-132.
Furay, A. 2019. Buah Matoa Buah 4 Rasa Edisi Revisi. IPB Press, Bogor.
Hasanah, N & D. R. Novian. 2020. Daya Hambat Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) terhadap Bakteri Penyebab Jerawat
(Propionibacterium acne. Ejournal Poltektegal. 9: 46-53.
Rao, L., S. Li & X. Cui. 2021. Leaf Morphology and Chlorophyll Fluorescence
Characteristics of Mulberry Seedlings Under Waterlogging Stress Scientific
Reports. 11: 1-11.
Redaksi Trubus. 2012. Cara Jitu Jadi Raja Singkong. Trubus Swadaya, Depok.
Sediaoetomo, A. D. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Dian Rakyat,
Jakarta.
Zahro. 2013. Analisis Mutu Pangan dan Hasil Pertanian. Universitas Jember,
Jawa Timur.