Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 327-332 (2013)

TULISAN PENDEK

Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan Mangrove di Indonesia
(Resolution to the Ambiguities in Estimation Area and Rate of Mangrove Deforestation in
Indonesia)
Suyadi
Balai Konservasi Biota Laut Ambon-LIPI, E-mail: yadi_pdt@yahoo.com

Memasukkan: Juli 2012, Diterima: September 2012

Mangrove ditemukan hampir di seluruh kepu- lainnya.


lauan Indonesia (Spalding dkk, 1996). Meskipun Makalah ini membahas tentang kerancuan
demikian, luas hutan mangrove di Indonesia telah perkiraan luas dan laju deforestasi hutan man-
mengalami penurunan (deforestasi) disebabkan grove dengan cara mengkaji secara cermat, kritis,
oleh pengalihan peruntukan (konversi) hutan dan proposional terhadap berbagai sumber
mangrove dan pemanfaatan mangrove yang tidak pustaka. Pembahasan meliputi tiga hal sebagai
berkelanjutan. Studi dan publikasi mengenai berikut: pertama yaitu menelaah istilah
perkiraan luas dan laju deforestasi di Indonesia ”mangrove” dan ”deforestasi” yang didefinisikan
telah cukup banyak. Telaah kerancuan laju dan dengan arti berbeda-beda. Kedua, mengkaji hasil-
penyebab deforestasi juga telah di lakukan oleh hasil penelitian dan publikasi ilmiah mengenai
Sunderlin dan Resosudarmo (Sunderlin & perbedaan perkiraan luas dan laju deforestasi hu-
Resosudarmo, 1997). Meskipun deikian banyak tan mangrove termasuk metode penghitungan
perkiraan luas dan laju deforestasi hutan man- luas dan laju deforestasi. Ketiga, menawarkan
grove di Indonesia sangat bervariasi dan pedoman-pedoman dasar dapat dipergunakan
menghasilkan peta yang kurang akurat. Perkiraan untuk perbaikan penelitian di masa mendatang
luas hutan mangrove di Indonesia mulai yang khususnya penelitian luas dan laju deforestasi
rendah yaitu 2.4 juta ha (Departemen Kehutanan hutan mangrove.
1997) hingga yang tertinggi 4,5 juta ha (Spalding
dkk. 1996). Sementara itu Giesen (1993) mem- Kerancuan Definisi Istilah Mangrove dan
perkirakan luas hutan mangrove Indonesia 2,5 Deforestasi
juta ha. Kerancuan informasi luas dan laju defor- Beberapa ahli biologi konservasi
estasi dan peta yang kurang akurat tersebut dapat mengetahui bahwa istilah ”mangrove” seringkali
menyebabkan kebingunan dalam perencanaan didefinisikan secara berbeda-beda dan tidak
konservasi sehingga perlindungan hutan man- konsisten. Penggunaan istilah ”mangrove” yang
grove menjadi tidak efektif. Oleh sebab itu, di tidak konsisten mengakibatkan interpretasi data
pandang perlu untuk menelaah secara khusus atas tumpang tindih, dan tidak tepat dan benar-benar
kerancuan perkiraan luas dan laju deforestasi mengaburkan permasalahannya.
hutan mangrove karena hutan mangrove memiliki Tomlinson (1986) dan Wightman (1989)
karakteristik yang berbeda dengan tipe hutan mendefinisikan mangrove sebagai tumbuhan yang

327
Suyadi.

hidup di daerah pasang surut, sebagai komunitas area dan laju deforestasi sangat beragam.
tumbuhan vaskuler termasuk jenis-jenis Beberapa permasalah istilah "deforestasi"
tumbuhan yang terdapat di pinggiran bakau pada studi hutan secara umum (Sunderlin &
seperti formasi Barringtonia dan formasi Pes- Resosudarmo 1997) juga di temukan pada hutan
caprae. Jika istilah ”mangrove” digunakan untuk mangrove. Hasil kajian menunjukan bahwa
seluruh komunitas tumbuhan vaskular yang terdapat beberapa perbedaan dalam penggunaan
berada di daerah pantai baik mangrove sejati (true istilah ”deforestasi”. Pertama, ”deforestasi” berarti
mangrove) maupun mangrove ikutan (false hilangnya areal hutan secara permanen atau
mangrove) seperti definisi di atas maka luas sementara. Sunderlin & Resosudarmo 1997 FAO
mangrove menjadi sangat besar. Sementara itu, (1990) dan World Bank (1990) menyatakan
jika definisi istilah ”mangrove” hanya untuk bahwa hilangnya areal hutan secara permanen
bakau/mangrove sejati, atau lebih spesifik lagi ataupun sementara merupakan deforestasi. Jika
yaitu untuk Rhizophora spp saja maka luas hutan menggunakan istilah tersebut, maka kematian
mangrove menjadi sangat kecil. mangrove secara alami dan perladangan tradisio-
Belum adanya kesepakatan mengenai nal yang dilakukan masyarakat secara gilir balik
istilah ”mangrove” menyebabkan banyak penulis (ladang berpindah) yang akan kembali
yang menggunakan istilah ”mangrove” dengan beregenerasi menjadi hutan merupakan
interpretasi yang berbeda-beda dan tidak deforestasi. Dengan definisi seperti itu, kawasan
konsisten. Noor dkk (2006) menggunakan istilah yang mengalami deforestasi secara keseluruhan
”mangrove” dengan mengacu pada habitat yaitu menjadi sangat besar. Kedua, terdapat dualisme
daerah pantai. Sementara itu, Soerianegara (1987) arti ”deforestasi” yaitu hilangnya areal hutan
dan Pulumahuny (1997) menggunakan istilah untuk segala macam penggunaan, dan hilangnya
”mangrove” sebagai pengganti istilah bakau. areal hutan yang tidak menghasilkan kayu
Penggunaan istilah ”mangrove” yang tidak Sunderlin & Resosudarmo 1997. Apabila
konsisten juga menyebabkan permasalahan dalam pengertian kedua yang diakui, maka kegiatan
interpretasi data sehingga menimbulkan konversi lahan untuk tambak dan untuk
kerancuan. Akibatnya, beberapa peneliti ada yang pemukiman termasuk deforestasi, sedangkan
mengikutsertakan mangrove kedalam analisa luas pengambilan kayu untuk keperluan komersil
dan laju deforestasi hutan tropis dataran rendah tidak termasuk deforestasi karena hutan akan
(hutan terestrial), namun ada pula yang kembali tumbuh (recovery) seperti jenis
memisahkannya secara spesifik. Acrostocum sp (Abdulhadi & Suhardjono 1994).
Sayer & Whitmore (1991) dan Grainger Ketiga, ”deforestasi” berarti hilangnya areal hutan
(1993) menyatakan kesulitan membuat termasuk berbagai ciri-ciri kelengkapan hutan
perbandingan perkiraan luas areal hutan dan laju (forest atributes) misalnya kelebatan, struktur, dan
hilangnya areal hutan secara nasional dan komposisi spesiesnya. Jika deforestasi hanya
internasional karena dipakainya definisi-definisi menyangkut hilangnya tutupan hutan saja maka
yang berbeda atas istilah-istilah dan suatu konsep luas deforestasi menjadi lebih kecil. Padahal
dari istilah ”deforestasi”. Penggunaan istilah degradasi hutan yakni kerusakan pada atribut
”deforestasi” yang kurang jelas dan penggunaan hutan juga merupakan bagian penting pada suatu
yang tidak konsisten mengakibatkan interpretasi ekosistem.
data menjadi berbeda-beda, sehingga estimasi luas

328
Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan

Penyebab Perbedaan Perkiraan Luas dan Laju menemui beberapa masalah karena citra yang
Deforestasi didasari dengan metode penciptaan yang berbeda-
Perbedaan perkiraan luas hutan mangrove beda, hal ini dapat menyebabkan adanya
dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut. kesalahan dalam menginterpretasi gambar karena
Pertama, sedikit sekali penghitungan luas hutan adanya perbedaan ketajaman, tekstur atau warna
mangrove yang berdasarkan pada data yang sebagai luas tutupan areal mangrove. Banyak
akurat, bahkan data kadaluarsa sering dijadikan keterbatasan alat sensor satelit seperti adanya
acuan berulang-ulang, misalnya Burdbridge & obyek yang tidak terpantau akibat adanya awan
Koesoebiono (1980) dan F.A.O (1982). Giesen (Turner et al, 2001).
(1993) menghitung luas mangrove berdasarkan Perkiraan laju deforestasi di Indonesia juga
seri RePPProT (1985-1989) dari peta Status sangat beragam, mulai 263.000 ha per tahun
Hutan dan Tata Guna Lahan dan Sistem Lahan sampai 1.315.000 ha per tahun (World Bank,
yang diproduksi oleh Departemen Transmigrasi. 1994). Salah satu kendala yang dihadapi dalam
Giesen (1993) memasukan areal non magrove memperkirakan laju deforestasi hutan mangrove
yang berada di luar atau berdekatan dengan dengan menggunakan teknologi penginderaan
kawasan mangrove menjadi hutan mangrove jauh adalah keterbatasan data dasar atau data
karena di anggap dahulu merupakan hutan rentang waktu (time series) perubahan tutupan
mangrove. Pendugaan semacam ini dapat mangrove. Fuller dkk (2004) mencatat bahwa
menyebabkan luasan areal mangrove menjadi permasalahan yang dihadapi dalam
sangat besar dan tidak relevan. Sementara itu, memperkirakan laju deforestasi adalah pembuatan
Dick (1991) mengamati keterbatasan data yang peta dengan menggunakan skala yang tidak
lebih otentik (data lapangan) dan menyimpulkan sesuai, gambar yang tidak seragam, metode
bahwa perkiraan luas dan laju deforestasi penciptaan gambar yang berbeda, dan perbedaan
merupakan “perkiraan semi-intelek”. rentang waktu yang pendek. Selain itu, perkiraan
Penyebab kedua yaitu perbedaan metoda laju deforestasi hanya menghitung jumlah total
yang digunakan dalam menduga luasan hutan hilangnya tutupan areal hutan dan tidak
mangrove. Pendugaan luas hutan mangrove mempertimbangkan perbaikan kondisi tutupan
nasional kebanyakan berdasarkan data-data yang hutan dan pembentukan lahan baru ”tanah
diperoleh dari tingkat wilayah, baik tingkat pulau, timbul” dan faktor-faktor lain misalnya abrasi dan
kabupaten maupun propinsi, dimana metode pengaruh pasang-surut.
pengambilan data dan cara penghitungannya
berbeda-beda dan datanya juga diambil pada Pedoman dalam Perkiraan Luas dan Laju
tahun yang berbeda-beda pula (Rusila Noor dkk, Deforestasi
2006). Usaha-usaha untuk memperkiraka luas
Salah satu respons terkini para ahli biologi areal hutan dan laju penurunan luas hutan
konservasi dalam memperkirakan luas areal mangrove hendaknya didasari pemahaman
mangrove yaitu dengan menggunakan teknologi kesepakatan pada definisi istilah-istilah kunci yang
penginderaan jauh (remote sensing). Fuller dkk jelas dan dipakai secara konsisten dalam segala
(2004) mencatat bahwa penentuan luas aspek pengukuran luas dan laju deforestasi hutan
deforestasi dengan teknologi penginderaan jauh mangrove. Karena tidak di semua wilayah, antara

329
Suyadi.

mangrove sejati dan mangrove ikutan dapat rentang waktu (time series) atas liputan lahan (land
dibedakan dengan jelas melalui penampakan citra cover) pada dua atau lebih waktu yang berbeda.
penginderaan jauh, maka di rekomendasikan Data time series yang digunakan hendaknya di
dalam perkiraan luas dan laju deforestasi lebih ambil dalam rentang waktu yang cukup lama.
baik menggunakan definisi ”mangrove” seperti Serupa dengan hutan terestrial (Sunderlin &
yang diusulkan oleh Tomlison (1986) dan Resosudarmo 1997), dalam memperkirakan laju
Wightman (1989), mangrove didefinisikan deforestasi hutan mangrove sebaiknya menggu-
sebagai seluruh tumbuhan vaskuler di daerah nakan gambar-gambar yang diambil pada waktu
pantai baik mangrove sejati maupun mangrove yang lalu yang cukup tua dan gambar-gambar
ikutan. yang baru yang cukup mutakhir yang menangkap
Definisi ”deforestasi” yang di rekomen- fenomena baru yang relevan. Hal ini dimaksud-
dasikan adalah yang dipakai oleh FAO (1990) dan kan agar perbedaan tutupan hutan dapat dilihat
FAO (1996) yaitu hilangnya areal tutupan hutan cukup jelas. Untuk menghindari interpretasi yang
secara permanen ataupun sementara namun tetap salah dari perbedaan ketajaman, tekstur atau
memberikan perhatian pada degradasi hutan dan warna sebagai perubahan tutupan mangrove maka
perbaikan kondisi tutupan hutan. Degradasi metode penciptaan gambar harus sama. Analisis
didefinisikan sebagai ”berkurangnya areal hutan” laju perubahan tutupan hutan hendaknya
dan proses perbaikan kondisi hutan (amelioration) memberikan perhatian yang proposional pada
di definisikan sebagai peningkatan kelebatan/ permasalahan degradasi hutan, perbaikan kondisi
tutupan areal hutan (FAO 1996). Meskipun hutan, dan pembentukan lahan hutan baru (tanah
demikian, kita dapat menggunakan gambar timbul). Kondisi-kondisi seperti abrasi, pengaruh
dengan resolusi dan skala yang tinggi untuk pasang-surut, kematian alami juga perlu
memperkirakan luas dan laju deforestasi hutan diperhatikan. Pengetahuan dasar mengenai ciri-
mangrove secara lebih spesifik misalnya untuk ciri wilayah yang dikaji (misalnya: oseanografi,
jenis tertentu. geologi, ekologi), demografi, dan ciri-ciri sosial
Penentuan luas hutan mangrove dengan para pelaku perubahan tutupan hutan juga
menggunakan teknologi penginderaan jauh penting untuk diketahui. Di sarankan untuk
hendaknya didasari dengan metode penciptaan selalu mengikuti perkembangan metodologi
gambar yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk terkini dalam penaksiran perubahan tutupan
menghindari interpretasi yang salah dari perbe- hutan dan spesifikasi teknisnya.
daan ketajaman, tekstur atau warna sebagai Dapat di simpulkan bahwa usaha dalam
tutupan mangrove. Mangrove di alam bersifat memperkirakan luas dan laju deforestasi hutan
dinamik dan periodik yang dimanifestasikan mangrove di masa mendatang hendaknya di da-
dalam bentuk fisik yaitu tutupan mangrove yang sarkan pada pedoman-pedoman berikut: 1) defi-
dapat berubah dengan cepat, sehingga pengam- nisi istilah-istilah dan konsep kunci yang jelas dan
bilan gambar lebih baik dilakukan pada waktu dipakai secara konsisten, 2) menggunakan metode
yang sama. Selain itu, data penginderaan jauh yang sama dalam menciptakan gambar satelit dan
perlu diintegrasikan dengan hasil survei lapangan. data time series, 3) survei lapangan yang memadai
Penaksiran laju perubahan tutupan hutan untuk menguji kebenarannya di alam, dan 4) ana-
mangrove seharusnya didasarkan pada lisa data dilakukan secara proposional.
perbandingan gambar-gambar satelit berupa data

330
Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan

DAFTAR PUSTAKA ment Issues. Dalam Seminar “Coastal Zone


Management of Small Island Ecosystem”, Am-
Abdulhadi, R. & Suhardjono. 1994. The Rem-
bon: 10-20 Hal.
nant Mangroves of Sei Kecil, Simpang Hilir,
Grainger, A. 1993. Controlling Tropical Deforesta-
West Kalimantan, Indonesia. Hydrobiologia.
tion. Earthscan. London.
(285): 285-255.
Pulumahuny, F.S. 1997. Studi Komunitas
Burdbridge, PR. & Koesoebiono. 1980. Manage-
Mangrove di Teluk Kayeli, Pulau Buru,
ment of Mangrove Exploitation in Indone-
Kabupaten Maluku Tengah. Thesis Pasca
sia. Prosiding Simposium Mangrove Environ-
Sarjana. Universitas Hasanuddin. Ujung
ment. pp 740-760.
Pandang: 5-7 Hal.
Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional
Rusila Noor, Y., M. Khazali., I.N.N.
Pengelolaan Mangrove di Indonesia. Jakarta.
Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan
Dick, J. 1991. Forest land use, forest use zonation
Mangrove di Indonesia. Wetlands
and deforestation in Indonesia: a summary and
International-Indonesia Program, Bogor: 2,
interpretation of existing information. Back-
23-29 Hal.
ground paper to UNCED for the state Min-
Saharjo, B.H. 1994. Deforestation with reference
istry for Population and Environment
to Indonesia. Walaceana (73):7-12
(KLH) and the Environmental Impact Man-
Sayer, JA. & TC. Whitmore 1991. Tropical
agement Agency (BAPEDAL), Jakarta. pp 27
Moist Forest: destruction and species extinc-
-32.
tion. Biological Conservation (55):199-213
FAO. 1996. Forest Resource Assessment 1990:
Soerianegara. 1987. Masalah Penentuan Batas
Survey of Tropical Forest Cover and Study
Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Prosid-
of Change Processes. FAO Forestry Paper
ing Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta.
130. Food and Agriculture Organisation of
pp 39.
the United Nations, Rome. pp 6-7, 21.
Spalding, MD., F. Blasco & CD. Field editor.
FAO. 1990. Situation and outlook of the forestry
1996. World Mangrove Atlas. International
sector in Indonesia. Vol 1: issues, findings and
Society for Mangrove Ecosystem, Okinawa,
opportunities. Ministry of Forestry, Govern-
Japan.
ment of Indonesia. Food and Agriculture
Sunderlin WD. & IAP. Resosudarmo. 1997. Laju
Organisation of the United Nations, Jakarta:
dan Penyebab Deforestasi di Indonesia:
pp. 3,10.
Penelaahan Kerancuan dan Penyelesainnya.
FAO. 1982. Management and Utilization of
Occasional Paper No. 9 (1), Center for
Mangroves in Asia and the Pacific. Food and
International Forestry Research.
Agriculture Organisation Environment Paper
Tomlinson, PB. 1986. The Botany of Mangroves.
3. Rome.
Cambridge University Press, Cambridge,
Fuller, DO., TC. Jessup, & A. Salim. 2004. Loss
U.K: 419 pp.
of forest cover in Kalimantan, Indonesia,
Turner, W., EJ. Sterling, & AC. Janetos. 2001.
since the 1997-1998 El Nino. Conservation
Contributions of remote sensing to biodiver-
Biology. (18):249-254.
sity conservation: a NASA approach. Conser-
Giesen, W. 1993. Indonesia’s Mangroves: An Up-
vation Biology (15): 832-834.
date on Remaining Area and main Manage-
Wightman, GM. 1989. Mangroves of the North-

331
Suyadi.

ern Territory. Northern Territory Conserva-


tion Commission of the Northern territory,
Palmerston, N.t., Asutralia. Botanical Bulle-
tin No. 7.
World Bank. 1994. Indonesia: Environment and
Development. The World Bank, Washington,
DC.
World Bank. 1990. Indonesia: sustainable develop-
ment of forests, land and water. The World
Bank, Washington, DC: xx, xxi, 3, 34 pp.

332

Anda mungkin juga menyukai