Anda di halaman 1dari 8

13.1.

LKPD Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia (Pertemuan ke-2)

PENGARUH AGAMA & KEBUDAYAAN HINDU-BUDDHA DI INDONESIA

Nama Kelompok : ………………………………………………………


Nama Anggota : ………………………………………………………
………………………………………………………

Kelas : ………………………………………………………

Tujuan Pembelajaran Peserta didik mampu memahami, menganalisis serta


mengevaluasi kerajaan Hindu-Buddha dalam ruang lingkup lokal,
nasional, dan global dengan membuat permainan TTS serta
mampu mempresentasikan hasilnya dengan baik.
Alat dan Bahan Kertas HVS ukuran F4, alat tulis, penggaris, pensil warna/spidol
Waktu 1x Pertemuan (2 x 45 menit)
Projek Membuat permainan Teka Teki Silang (TTS) tentang Kerajaan-
Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia
(Kerajaan Kutai, Kerajaan Sriwijaya, dan Majapahit)
Petunjuk Kerja 1. Kerjakan secara berpasangan (dalam 1 bangku).
2. Simak dengan baik penjelasan Bapak/Ibu Guru serta video
pembelajaran tentang Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di
Indonesia melalui link berikut
https://www.youtube.com/watch?v=S7GVz-YGWrY
3. Lanjutkan dengan melakukan literasi bahan bacaan yang
terlampir dalam LKPD.
4. Kalian juga bisa melakukan literasi dari buku paket Erlangga
halaman 117-141.
5. Setelah mendapatkan informasi yang cukup, buatlah :
“Permainan Teka Teki Silang (TTS) tentang Kerajaan Hindu-
Buddha di Indonesia (Kerajaan Kutai, Sriwijaya dan
Majapahit)”.
6. Aturan Pembuatan TTS :
 Terdiri dari 5 soal mendatar dan 5 soal menurun.
 Dikerjakan secara manual di kertas HVS ukuran F4.
 Materi yang digunakan adalah terkait 3 kerajaan saja yaitu
Kerajaan Kutai, Sriwijaya dan Majapahit.
 Lengkapi dengan nomor soal yang kalian tulis di dalam kotak
TTS tersebut.
 Kunci jawaban TTS bisa kalian tuliskan di lembar kedua.
 Hias dengan estetik sehingga TTS yang kalian buat lebih
menarik.
Contoh TTS

Bahan Literasi :

Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia

1. Kerajaan Kutai

a. Lokasi dan Sumber Sejarah

Kutai (Kutai Martadipura) merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Berdiri
sekitar abad IV. Kerajaan ini berada di daerah Kutai, Kalimantan Timur. Pusat pemerintahannya
diperkirakan di hulu Sungai Mahakam dengan wilayah kekuasaan meliputi hamper seluruh wilayah
Kalimantan Timur.

Bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah temuan prasasti yang ditulis di atas tujuh buah
Yupa (tugu batu). Prasasti tersebut ditemukan antara tahun 1879-1940 di daerah hulu Sungai
Mahakam. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pallawa (huruf yang banyak digunakan di wilayah
India selatan) dan berbahasa Sanskerta.

Dari salah satu Yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan kutai saat itu
adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam Yupa karena kedermawanannya menyedekahkan
20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana. Oleh karena itu, ke tujuh Yupa dibuat oleh kaum
Brahmana. Berikut hasil terjemahan sebuah prasasti :

“Sang Maharaja Kudungga, yang aman mulia, mempunyai putra yang masyur. Sang Aswawarman
Namanya, yang seperti Angsuman (Dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia.
Sang Aswawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci). Yang terkemuka dari ketiga putra
itu ialah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarman
telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak. Untuk peringatan
kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana.”

Prasasti-prasasti tersebut tidak memiliki angka tahun. Namun, gaya bahasa dan ciri tulisan
dalam prasasti tersebut banyak digunakan di India sekitar abad IV.

b. Keadaan Masyarakat dan Kehidupan Sosial Budaya

Sumber tentang Kerajaan Kutai sangat terbatas. Namun, dari ketujuh Yupa dapat disimpulkan
beberapa hal berikut :

Pertama, disebutkan nama Kudungga yang menurut para sejarawan merupakan nama asli
Indonesia. Disebutkan pula, Kudungga mempunyai putra Bernama Aswawarman, yang disebut-
sebut sebagai pendiri dinasti. Aswawarman memiliki putra Bernama Mulawarman. Dua nama
terakhir jelas menggunakan bahasa Sanskerta. Mereka adalah raka Kutai yang merupakan orang
Indonesia asli dan memeluk agama Hindu.

Kedua, Raja Mulawarman melakukan upacara pengurbanan dan memberikan hadiah atau
sedekah kepada para Brahmana sejumlah 20.000 ekor sapi. Hal ini menunjukkan Kerajaan kutai di
bawah Mulawarman cukup kaya dan Makmur.

Dari letaknya yang tidak jauh dari pantai, Kutai kemungkinan besar menjadi tempat singgah
kapal-kapal dagang India yang akan berlayar ke Tiongkok dengan melalui Makassar dan Filipina.
Pada masa Kerajaan Kutai pula, mulai dikenal kebiasaan menulis di atas batu. Hal ini
keberlanjutan dari tradisi megalitik yang sudah ada sebelum masuknya pengaruh Hindu, yaitu
dalam bentuk menhir dan pundek berundak.

Hal ini dilakukan seban di India tidak ditemukan kebiasaan menulis di atas tugu batu. Disini
tampak terjadi percampuran antara kebudayaan Hindu dan kebudayaan asli yang telah
berkembang pada zaman praaksara.

Kerajaan Kutai (bercorak Hindu) berakhir saat raja Kutai Maharaja Dharma Setia tewas di
tangan raja Kutai Kertanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa (Kerajaan Islam).

2. Kerajaan Sriwijaya

a. Lokasi dan Sumber Sejarah

Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari (maritim) bercorak Buddha yang pernah
berdiri di Pulau Sumatra dan memberi banyak pengaruh di Nusantara. Daerah kekuasaannya
membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa dan pesisir
Kalimantan. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya” atau “gemilang”, dan wijaya artinya
“kemenangan” atau “kejayaan”, maka nama Sriwijaya bermakna “kemenangan yang gilang-
gemilang”. Meskipun dikenal kuat secara ekonomi dan militer, nyaris tidak ada bukti yang
menunjukkan letak persis kerajaan ini di Sumatra.
Berdasarkan temuan sumber tertulis serta berita Tiongkok dan Arab, Kerajaan Sriwijaya
diperkirakan berdiri sekitar abad VII. I Tsing, pendeta Tiongkok, yang melakukan kunjungan ke
Sumatra dalam perjalanan studinya ke Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, melaporkan
Sriwijaya menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. I Tsing juga melaporkan terdapat seribu
orang pendeta yang belajar agama Buddha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.

Berdasarkan berita Arab, diketahui banyak pedagang Arab melakukan kegiatan perdagangan
di Kerajaan Sriwijaya. Bahkan di pusat kerajaan ditemukan perkampungan-perkampungan
sementara orang Arab. Sumber dan bukti tertulis lainnya adalah prasasti-prasasti, seperti Kota
Kapur, Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, Karang Berahi, dan Ligor.

Prasasti tertua adalah Kota Kapur yang ditemukan di Pulau Bangka dan berangka tahun 686 M.
Melalui prasasti ini, kata “Sriwijaya” pertama kali dikenal. Di dalamnya disebutkan “bumi Jawa
tidak mau tunduk pada Sriwijaya” (yang dimaksud “bumi Jawa” adalah Kerajaan Tarumanegara).
Prasasti berikutnya adalah Kedukan Bukit yang berangka tahun 605 Saka atau 688 M. Prasasti ini
berisi 10 baris kalimat yang antara lain mengatakan :

“Seseorang Bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddayatra) dengan perahu. Ia
berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara sebanyak 20.000 orang.”

Tentang isi prasasti ini ada dua catatan. Pertama, kendati Dapunta Hyang berhasil memperluas
kekuasaan Sriwijayadari hasil perjalanan tersebut, jumlah tentara yang sebegitu banyak masih
disangsikan kebenarannya. Kedua, Minangatamwan adalah sebuah daerah pertemuan antara
Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri (Riau). Hal ini menunjukkan awalnya Kerajaan
Sriwijaya bukan berpusat di Palembang, melainkan di Muara Takus (Riau). Pernyataan ini didukung
temuan arkeologis berupa stupa di Muara Takus (Kabupaten Kampar, Riau). Pengauasaan dan
pemindahan ibu kota ke Palembang dimaksudkan agar Sriwijaya mudah menguasai daerah-daerah
di sekitarnya, seperti Bangsa, Jambi Hulu, dan Jawa Barat (Tarumanegara). Oleh karena itu, pada
abad VII, Sriwijaya berhasil menguasai jalur-jalur kunci perdagangan, seperti Selat Sunda, Selat
Bangka, Selat Malaka, dan Laut Jawa bagian barat.

Prasasti lain yang menyebut nama Dapunta Hyang (beristrikan Sobakancana putri kedua dari
raja terakhir Tarumanagara Sri Maharaja Linggawarman) adalah Prasasti Talang Tuo (684 M). di
dalamnya disebutkan tentang selesainya pembangunan sebuah taman oleh Dapunta Hyang
Jayanasa yang diberi nama Srikserta.

b. Kondisi Sosial-Politik Kerajaan

Berdasarkan tulisan pada Prasasti Ligor (775 M), disebutkan raja Sriwijaya, Dharmasetu,
mendirikan Pelabuhan di Semenanjung Melayu di dekat Ligor. Ia juga membangun sejumlah
bangunan suci agama Buddha.

Masyarakat Sriwijaya Sebagian besar hidup dari perdagangan dan pelayaran. Letaknya
strategis, yaitu berada doi jalur perdagangan antara India dan Tiongkok. Hal ini menjadi salah satu
faktor Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan maritime yang penting di Sumatra, bahkan menjadi
pengendali laut perdagangan antara India dan Tiongkok.

Hasil bumi yang diperdagangkan antara lain kemenyan, lada, damar, penyu, dan barang-barang
logam, seperti emas dan perak, dan gading gajah. Orang Arab bahkan menyebut aneka komoditas
lain, seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkih, pala, kapulaga, gading, emas, dan timah.
Sementara itu, pedagang asing menukar barang-barang tersebut dengan keramik, kain katun, dan
sutra.
Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya. Dalam rangka menjaga monopoli
perdagangan, Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan
pesaing di Kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Ligor, Tanah
Genting Kra, Kelantan, Pahang, Jambi, dan Sunda, misalnya, berhasil ditaklukkan dan menjadi
kerajaan-kerajaan bawahan (vasal) Sriwijaya. Dengan banyak kerajaan bawahan, Sriwijaya
menikmati banyak upeti. Pada akhir abad IX, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh
jalur perdagangan di Asia Tenggara, seperti Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Kalimata, dan Tanah
Genting Kra (wilayah Thailand dan Myanmar). Alhasil, rakyatnya hidup denga aman dan makmur.

Kerajaan ini mencapai zaman keemas an di bawah Raja Balaputradewa yang berkuasa sekitar
pertengahan abad IX (850-an M). raja ini menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di luar
wilayah Indonesia, terutama kerajaan-kerajaan di India (Benggala dan Colamanda) dan kekaisaran
Tiongkok.

Ringkasnya, kemajuan yang pesat dari Kerajaan Sriwijaya didukung oleh adanya beberapa
faktor sebagai berikut :

1) Letaknya strategis, yaitu berada di jalur perdagangan antara India dan Tiongkok.
2) Menguasai jalur-jalur perdagangan, seperti Selat Malaka, Selat Sunda, Semenanjung Melayu,
dan Tanah Genting Kra.
3) Hasil-hasil buminya, seperti emas, perak, dan rempah-rempah, menjadi komoditas
perdagangan yang berharga.
4) Armada lautnya kuat karena menjalin Kerjasama dengan armada laut kerajaan-kerajaan di
India dan Tiongkok.
5) Pendapatan melimpah dari upeti raja-raja yang ditaklukkan, cukai terhadap kapal-kapal asing
dan barang dagangan, serta hasil buminya sendiri.

Raja-raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung dan penganut agama yang taat. Tidak
mengherankan agama Buddha berkembang pesat. Sriwijaya bahkan tercatat sebagai pusat agama
Buddha (Mahayana) yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Hal ini pernah ditulis seorang
pendeta Tiongkok, I Tsing, yang sempat tinggal empat tahun di Sriwijaya untuk menerjemahkan
kitab suci agama Buddha. I Tsing menyebutkan adanya seorang pendeta Buddha terkenal Bernama
Sakyakirti. Selain itu, menurut berita dari Tibet, seorang pendeta Bernama Atica datang dan
tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M) dalam rangka belajar agama Buddha dari seorang guru Bernama
Dharmapala.

Sriwijaya mengalami kemunduran sekitar abad XII yang antara lain disebabkan karena hal
berikut ini :

1) Serangan Kerajaan Medang Kamulan, Jawa Timur, di bawah Raja Dharmawangsa pada 990 M.
saat itu, Sriwijaya diperintah oleh Raja Sudamaniwarwadewa. Meski tidak berhasil, serangan
ini cukup melemahkan Sriwijaya.
2) Serangan Kerajaan Colamanda dari India pada 1023 M dan 1030 M. tidak ada sumber tertulis
tentang sebab-sebab terjadinya serangan tersebut, tetapi diperkirakan masalah politik dan
persaingan perdagangan.
3) Negara-negara yang pernah ditaklukkan seperti Ligor, Tanah Genting Kra, Kelantan, Pahang,
Jambi, dan Sunda, satu per satu melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Hal ini tentu saja
berakibat pada kemunduran ekonomi dan perdagangan.
4) Terdesak oleh Kerajaan Thailand yang mengembangkan kekuasaannya sampai Semenanjung
Malaya.
5) Serangan Majapahit pada 1447 M dan berhasil menaklukkan Sriwijaya. Sejak itu, berakhirlah
kekuasaan Sriwijaya.
Meskipun demikian, warisan kerajaan ini bagi Nusantgara terlalu besar untuk dilupakan.
Sejarah mencatat, Nusantara sejak abad ke-7 sevara ekonomi telah disatukan oleh Kerajaan
Sriwijaya dengan penguasaan lalu-lintas perdagangan dari barat ke timur, dari utara dan selatan
di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Jawa. Kelak, secara politik, konsep penyatuan
Nusantara berbasis maritim diletakkan oleh raja Singasari Bernama Kertanagara (memerintah
1268-1292) melalui visi Cakrawala Mandala Dwipantara-nya. Kesadaran akan pentingnya bersatu
dalam satu atap, satu naungan, dan satu kekuasaan dalam menghadapi dominasi kekuatan dari
luar ini diperkuat lagi oleh Patih Gajah Mada (Majapahit) setengah abad kemudian melalui Sumpah
Palapa (tahun 1336) dan konsep Nusantara. (Catatan: Dwipantara berasal dari bahasa Sanskerta
yang berarti “kepulauan antara”, yang maknanya sama persis dengan Nusantara). Setelah
Kertanagara dan Gajah Mada, Perdana Menteri Djuanda 600 tahun kemudian, tepatnya pada
1957, mengumumkan Deklarasi Djuanda. Dalam Deklarasi Djuanda dinyatakan bahwa seluruh laut
di sekeliling dan di sekitar pulau-pulau Indonesia adalah wilayah kedaulatan Indonesia. Sepuluh
tahun kemudian, yaitu tahun 1967, deklarasi ini disebut Wawasan Nusantara, sebuah konsep
geopolitik bangsa Indonesia sekaligus melandasi wawasan kebangsaannya.

3. Kerajaan Majapahit (1293-1500)

a. Lokasi dan Sumber Sejarah

Pusat Kerajaan Majapahit diperkirakan di daerah Trowulan sekarang. 10 km sebelah barat daya
Kota Mojokerto, Jawa Timur. Hal ini didasarkan temuan artefak berupa bekas tembok dan fondasi
bangunan, pintu gapura, candi, saluran air, dan tiang-tiang rumah.

Tanggal pasti berdirinya Kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja
(memerintah 1293-1309 M), yaitu 10 November 1293.

Sumber utama para sejarawan mengenai Kerajaan Majapahit adalah Pararaton (Kitab Raja-
Raja) dan Nagarakertagama. Pararaton tidak hanya menceritakan Ken Arok, tetapi juga memuat
sejarah ringkas lahirnya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno
yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah Hayam Wuruk. Apa yang terjadi setelah
masa itu tidak banyak yang tahu. Beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno ataupun catatan
sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain juga membantu penyingkapan sejarah Majapahit.

b. Kondisi Sosial-Politik Kerajaan

Raden Wijaya menghargai semua orang yang berjasa terhadapnya dengan memberi mereka
kedudukan dalam pemerintahannya atau kekuasaan di daerah tertentu di Majapahit.

Pengganti Raden Wijaya adalah Jayanegara (1309-1328 M) yang pada waktu itu masih berusia
sekitar 15 tahun. Berbeda dari ayahnya, Jayanegara tidak memiliki kecakapan memerintah,
sehingga ia mendapat julukan “Kala Gemet” yang berarti lemah dan jahat. Pemerintahan
Jayanegara diwarnai banyak pemberontakan. Dari seluruh pemberontakan tersebut,
pemberontakan oleh salah seorang kepercayaan dan penasihat raja (disebut golongan
Dharmaputra) Bernama Ra Kuti disebut-sebut sebagai yang terbesar karena hamper berhasil
menggulingkan Majapahit. Namun, Gajah Mada, yang saat itu menjadi bhayangkara (sebutan
untuk pasukan pengawal raja) berhasil memadamkannya. Ia menyelamatkan Jayanegara dengan
mengungsikannya sementara ke sebuah desa Bernama Badander. Jayanegara akhirnya meninggal
akibat operasi (penyakit) oleh seorang tabib Bernama Tancha yang menaruh dendam terhadap
Jayanegara. Tancha kemudian dibunuh oleh Gajah Mada.

Karena Jayanegara tidak berputra, ia digantikan oleh adiknya Bernama Gayatri atau Bhre
Kahuripan, dengan gelar Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350 M). Pada masa pemerintahannya,
yaitu pada tahun 1331 M, terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta, keduanya berada di wilayah
Besuki, Jawa Timur. Pemberontakan ini dapat diatasi oleh Gajah Mada. Atas jasanya ini, ia diangkat
sebagai Mahapatih Hamengkubumi Majapahit. Pada saat pengangkatannya tahun 1336 M, Gajah
Mada mengucapkan sumpah terkenalnya, yang disebut Sumpah Palapa. Isinya yaitu Gajah Mada
pantang bersenang-senang sebelum dapat menyatukan Nusantara. Kawasan yang dimaksud
sebagai Nusantara adalah pulau-pulau yang meliputi Malaka, Sumatra, Jawa, Madura, Bali,
Kalimantan, Sunda Kecil (Nusa Tenggara), dan Maluku. Tribhuwana Tunggadewi meninggal tahun
1350 M dan digantikan oleh putranya, Hayam Wuruk (1350-1389 M).

Pada masa Hayam Wuruk, Majapahit mencapai masa kejayaan. Wilayahnya sangat luas, seluas
wilayah Indonesia sekarang. Bahkan, pengaruhnya meluas hingga ke beberapa negara lain di
wilayah Asia Tenggara. Tidak dapat dipungkiri, peran Gajah Mada sangat besar, yang konsisten
mewujudkan Sumpah Palapa-nya.

Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pula karya sastra mengalami kemajuan pesat. Pada
tahun 1365, ditulis kitab Nagarakertagama oleh Mpu Prapanca, demikian juga kitab-kitab lain.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan ketipan dari kakawin Sutasoma. Sementara itu, seorang musafir
Tiongkok, Ma-Huan, menulis pada masa pemerintahan Hayam Wuruk Majapahit telah mengenal
kemajemukan budaya, agama dan adat istiadat. Hal ini karena pada waktu itu Majapahit juga
dihuni oleh penduduk yang berasal dari Samudra Pasai dan Malaka, orang-orang Tionghoa yang
telah memeluk agama Islam, serta penduduk asli yang beragama Hindu dan Buddha.

Kota Majapahit adalah kawasan urban awal dalam sejarah Indonesia. Himpunan kompleks
permukiman dikelilingi oleh tembok bata berdenah kotak-kotak. Setiap blok kompleks dipisahkan
oleh jalan, kebun, atau kanal. Pola tata letak seperti ini masih dapat ditemukan di Bali.
Kemungkinan besar ibu kota Majapahit tersusun atas himpunan unit permukiman seperti ini.

Kemakmuran Majapahit diduga karena majunya pertanian lembah Sungai Brantas serta
dikuasainya jalur perdagangan rempah-rempah Maluku. Ekonomi Majapahit menjadi semakin
kompleks sehingga memerlukan pecahan uang receh untuk mendukung aktivitas ekonomi mikro
di pasar. Karena kebutuhan itu, sejak 1300 M Majapahit mengimpor banyak uang kepeng
perunggu dari Tiongkok. Masyarakat Majapahit mulai suka menabung, peninggalan menarik
adalah celengan berbentuk babi yang mungkin merupakan asal usul istilah “celengan” karena kata
“celeng” berarti “babi hutan”.

Politik penyatuan Nusantara Gajah Mada baru berakhir pada 1357 M dalam apa yang disebut
Perang Bubat, yaitu perang antara Kerajaan Pajajaran (Sunda) dan Kerajaan Majapahit. Latar
belakangnya sebagai beriku : Pada tahun 1357, Hayam Wuruk berniat meminang putri Raja
Pajajaran Sri Baduga Maharaja bernama Dyah Pitaloka Citraresmi atau Citra Rashmi (1340-1357).
Pihak pajajaran menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada tahun 1357,
rombongan raja Pajajaran beserta keluarganya dan pengawalnya bertolak ke Majapahit
mengantarkan sang putri. Sri Baduga memerintahkan pasukannya berkemah di lapangan Bubat
menunggu Hayam Wuruk menjemput putrinya. Namun, Gajah Mada melihat hal ini sebagai
peluang untuk memaksa Kerajaan Sunda takluk. Ia melarang Hayam Wuruk menjemput dan
menginginkan Sri Baduga sendirilah yang datang sebagai tanda takluk. Sri Baduga murka dan
menolak mentah-mentah. Perang pun tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan
perlawanan, Sri Baduga dan seluruh anggota pasukannya terbunuh. Dyah Pitaloka melakukan bela
pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan kerajaannya.

Gajah Mada meninggal tahun 1364. Selama tiga tahun berikutnya, jabatan mahapatih
mangkubumi dibiarkan kosong. Lalu pada tahun 1367, diangkatlah Gajah Enggon sebagai
penggantinya. Pada tahun 1389, Hayam Wuruk wafat. Sepeninggal Hayam Wuruk dan setelah
mencapai puncak kejayaannya pada abad XIV, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah,
terutama akibat konflik perebutan tahta. Ia digantikan oleh putrinya Bernama Kusumawardhani,
yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki
seorang putra (dari selirnya) Bernama Wirabhumi, yang juga menuntut hak atas tahta. Sebetulnya,
Wirabhumi telah diberi kekuasaan sebagai raja di Blambangan, di bagian timur Jawa Timur
sekarang. Diperkirakan pada tahun 1405-1406 terjadi perebutan tahta antara Wirabhumi dan
Wikramawardhana, yang dikenal dengan nama Perang Paregreg. Perang ini berakhir dengan
kemenangan Wikramawardhana, sementara Wirabhumi ditangkap dan dipancung.

Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah


taklukannya. Negara-negara kecil yang selama ini menjadi taklukan Majapahit satu per satu
melepaskan diri. Kondisi ini tertulis dengan jelas dalam kitab Pararaton dan dalam beberapa
prasasti di Sawentar Kanigoro, Blitar, Jawa Timur.

Wikramawardhana meninggal pada 1429, setelah sebelumnya mengangkat Dewi Suhita, anak
Bhre Wirabhumi menjadi raja. Hal ini dilakukan untuk mengobati kekecewaan Bhre Wirabhumi
yang tidak berhasil menjadi raja di Majapahit. Pada tahun 1444, Suhita meninggal, dan digantikan
oleh Dyah Kertawijaya. Selanjutnya Majapahit masih terus berganti-ganti raja tanpa mampu
mengembalikan zaman keemasannya. Pada 1456, Majapahit diperintah oleh Bhre Wengker dan
setelah itu masih tercatat pemerintahan Bhre Ranawijaya (Brawijaya) hingga kemudian
Majapahit dikuasai oleh Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa (Indonesia) yang muncul pada
tahun 1522.

Sumber :
Hapsari, R & Adil. M 2021. Sejarah SMK/MAK Kelas X Kurikulum Merdeka. Jakarta: Erlangga.

“Selamat Mengerjakan”

Anda mungkin juga menyukai