Anda di halaman 1dari 32

Makalah Penyakit Autoimun Saluran Pencernaan : Penyakit Crohn

BAB 1
PENDAHULUAN

Penyakit Crohn pertama kali dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun
1932 sebagai ileitis regional. Saat ini, penyakit Crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi
kronis transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum. Perkiraan
insiden penyakit Crohn di Amerika Serikat telah berkisar 3,6-8,8 per 100.000, dengan studi
terbaru menunjukkan prevalensi sekitar 200 kasus per 100,000. Peningkatan dramatis dalam
kejadian di Amerika Serikat terpantau terjadi dari pertengahan 1950-an sampai awal 1970-an.
Tingkat insiden telah stabil sejak 1980-an. Variasi regional substansial dalam insiden telah
diamati, dengan insiden tertinggi yang dilaporkan ada di lintang utara. Insiden penyakit Crohn
bervariasi antara kelompok etnis dalam wilayah geografis yang sama. Misalnya, pada penduduk
Eropa Timur

Populasi Eropa Timur Ashkenazi memiliki prevalensi dua sampai empat kali lebih
berisiko mengembangkan penyakit Crohn dari anggota populasi lain yang tinggal di lokasi yang
sama. Di negara-negara seperti Cina, prevalensi penyakit Crohn diperkirakan 1,38 kasus per
100.000, jauh di bawah yang terlihat di Barat. Selain itu kebanyakan penelitian menunjukkan
bahwa penyakit Crohn memiliki prevalensi lebih banyak pada wanita dibandingkan pada pria.
Usia rata-rata di mana pasien yang didiagnosis dengan penyakit Crohn jatuh pada dekade ketiga
kehidupan, dengan puncak yang lebih kecil kedua pada dekade keenam kehidupan, memberikan
distribusi bimodal. Namun, usia saat diagnosis dapat berkisar dari anak usia dini sampai lanjut
usia.

Kedua faktor genetik dan lingkungan muncul untuk mempengaruhi risiko untuk
mengembangkan penyakit Crohn. Risiko relatif antara kerabat tingkat pertama pasien dengan
penyakit Crohn adalah 14 sampai 15 kali lebih tinggi daripada populasi umum. Sekitar satu dari
lima pasien dengan penyakit Crohn akan melaporkan memiliki setidaknya satu relatif terkena.
Tingkat kesesuaian antara kembar monozigot setinggi 67%; Namun, penyakit Crohn tidak terkait
dengan pola pewarisan Mendel sederhana. Meskipun ada kecenderungan dalam keluarga baik
untuk ulcerative colitis atau penyakit Crohn untuk hadir secara eksklusif, kaum campuran juga
terjadi, menunjukkan adanya beberapa sifat genetik bersama sebagai dasar untuk kedua penyakit.
Status sosial ekonomi yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
Crohn. Kebanyakan penelitian telah menemukan menyusui menjadi pelindung terhadap
perkembangan penyakit Crohn. Penyakit Crohn lebih umum di kalangan perokok. Selanjutnya,
merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko kebutuhan untuk operasi dan risiko kekambuhan
setelah operasi untuk penyakit Crohn.
BAB 2
TINJAU PUSTAKA

A. Definisi Crohn Disease

Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel Diseases (IBD), yaitu
penyakit peradangan granulomatosa kronik yang mengenai traktus gastrointestinal, mulai dari
mulut hingga anus. Namun, lebih sering mengenai bagian ileum terminalis sampai colon bagian
awal. Peradangan ini mencakup seluruh bagian dinding usus dari superficial hingga profundal
(CCFA, 2013).

B. Anatomi Histologi normal Ileum

Sistem digestivus terbentang dari mulut hingga anus. Ileum adalah bagian dari intestinum
tenue (usus halus), setelah duodenum dan jejunum. Ileum adalah sebuah saluran yang befungsi
untuk pencernaan makanan, absorpsi zat makanan, cairan dan elektrolit (Snell, 2004).
Secara histologis dinding ileum terdiri dari 4 lapisan, yaitu tunika mukosa, tunika
submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Tunika mukosa ileum melipat ke lumen dan
membentuk struktur vili yang tinggi dan banyak mengandung sel goblet. Di antara vili-vili
terbentuk Kripta Lieberkuhn, yang di dasarnya terdapat kelenjar intestinal atau Sel Paneth

Anatomi Histologi Ileum pada Crohn Disease (Patologi)

Crohn disease

Gambar 3. Makroskopis Crohn’s Disease

Gambaran makroskopis Crohn’s disease di atas menunjukkan bagian tengah dengan


penebalan dinding dan mukosa kehilangan lipatan-lipatan mukosanya. Permukaan serosa tampak
jaringan lemak kemerahan dan mengeras. Tampak gambaran Cobblestone Appearance.

Salah satu komplikasi Crohn’s disease adalah pembentukan fistula. Tampak fisura
meluas dari mukosa menuju submukosa sampai muskularis. Fistula dapat terbentuk antara usus
dengan usus, kandung kemih dan kulit. Bila mengenai usus besar dapat terjadi fistula peri-rektal.
Gambar 4. Mikroskopis Crohn disease

C. Epidemiologi

Secara umum Crohn’s disease merupakan penyakit bedah primer usus halus, dengan
insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens tertinggi didapatkan di Amerika Utara dan
Eropa Utara. Di Amerika Serikat, dan Eropa Barat insidens Crohn’s disease mencapai 2 kasus
per 100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20 – 40 kasus per 100.000 populasi. Dilaporkan
bahwa telah terjadi peningkatan insidens Crohn’s disease secara dramatis di Amerika Serikat
antara tahun 1950-an hingga 1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada tahun 1980-an .

Menurut jenis kelamin, insidens Crohn’s disease lebih tinggi pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 – 1,8 : 1. Beberapa ahli percaya bahwa distribusi
jenis kelamin ini berhubungan dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada Crohn’s
disease .

Crohn’s disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok usia. Puncak


insidens pertama adalah pada 18 – 25 tahun. Puncak usia berikutnya adalah antara 60 – 80 tahun.
Pada pasien yang berusia lebih muda dari 20 tahun Crohn’s disease lebih banyak menyerang
usus halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40 tahun Crohn’s disease lebih banyak
menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi penyakit ini tidak diketahui.
Meskipun Crohn’s disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran cerna, namun
terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis maupun anatomis yang paling sering, yaitu hanya
usus halus saja (30%), usus halus bagian distal dan colon (45%), dan hanya colon saja (25%).
30% dari seluruh kasus Crohn’s disease terjadi bersamaan dengan penyakit rektal, dan 33 – 50%
terjadi bersamaan dengan penyakit perianal seperti fisura ani, abses perianal, dan fistula perianal.

D. Etiologi

Penyebab pasti belum diketahui, namun beberapa ahli menduga banyak faktor risiko yang
dapat menyebakan Crohn’s disease seperti genetik, mikroba, imunologis, lingkungan, diet,
vaskular dan faktor psikososial seperti merokok, penggunaan kontrasepsi oral dan penggunaan
Non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) (Thoreson, 2007).

Faktor Infeksi

Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga merupakan penyebab


potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua agen infeksi yang paling menarik perhatian yaitu
mycobacteria, khususnya mycobacterium paratuberculosis dan virus measles. Infeksi lain yang
diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s disease adalah Chlamydia, Listeria monocytogenes,
Pseudomonas sp, dan retrovirus.

Faktor Imunologis

Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-pasien dengan Crohn’s


disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan seluler yang menyerang sel-sel saluran
cerna, yang menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga berperanan pada
respons inflamasi saluran cerna pada Crohn’s disease mencakup sitokin-sitokin, seperti
interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor necroting factor). Peranan respons imun pada
Crohn’s disease masih kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat dari proses penyakit
dan bukan merupakan penyebab penyakit.

Faktor Genetik

Pada bidang genetika telah ditemukan pada kromosom 16 (IBD gen) yang diidentifikasi
sebagai gen penyebab Crohn’s disease, yaitu NOD2 gene (CARD15). Gen ini terlibat dalam
system imunitas tubuh manusia. Penelitian di Jerman dan Norwegia mengemukakan bahwa
orang yang memiliki gen alel CARD15 lebih berisiko terkena penyakit pada ileum dan colon
(Hampe et al, 2002).

Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis Crohn’s


disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat
keluarga dengan Crohn’s disease. Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohn’s disease (20%)
mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama. Pada berbagai
penelitian didapatkan bahwa Crohn’s disease berhubungan dengan kelainan pada gen-gen HLA-
DR1 dan DQw5.

Faktor-faktor Lain

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan faktor proteksi


terhadap timbulnya Crohn’s disease. Merokok dan penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan
risiko timbulnya Crohn’s disease dan risiko ini meningkat sejalan dengan lamanya penggunaan.
Gambar 5. Berbagai faktor penyebab penyakit crohn

E. Patogenesis dan Patofisiologi

Inflamasi kronik yang disebabkan oleh aktivasi Sel T merupakan pathogenesis dari
Crohn’s disease. Zat yang menyebabkan inflamasi seperti mikroba, virus, rokok dan dari diet
akan dianggap sebagai antigen dan dibawa oleh Antigen Presenting Cell (APC) menuju ke sel T
helper 1. Sel T helper akan mengeluarkan sitokin –sitokin pro inflamasi seperti (IL1 & TNF α)
yang akan merangsang pengeluaran asam arachidonat, protease dan radikal bebas secara local di
bagian ileum terminal (Ghazi et al, 2013)

Pada beberapa orang yang secara genetik sudah diturunkan gen CARD 15, bagian ileum
dan colon lebih rentan terjadi ‘injury’, selanjutnya akan terjadi inflamasi pada bagian kripte yang
berupa inflamasi granulomatosa. Inflamasi dengan infiltrasi sel limfoid akan meluas ke seluruh
dinding intestinal, mesentrium dan limfa nodi regional, inflamasi ini disebut inflamasi transmural
(Ghazi et al, 2013)

Inflamasi kronik akan menyebabkan terjadinya ulserasi di mukosa superficial dan


berlanjut ke profunda sehingga terbentuk ulkus, fisura dan meluas sampai lapisan submukosa,
muskularis bahkan sampai menembus dinding luar intestinal sebagai fistula (Ghazi et al, 2013)

Pada kasus lanjut mukosa mempunyai penampilan “coblestone appearance”. Hal ini
terjadi akibat ulkus superficial mukosa bergabung dengan agregasi sel-sel limfoid sehingga
menimbulkan titik merah dan lapisan yang bergelombang pada dinding intestinal (Ghazi et al,
2013)

Gambar 6 . Patogenesis Penyakit Crohn

F. Diagnosis

Diagnosis Crohn Disease ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang didapat berikut ini :
1. Anamnesis

Gambaran klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri abdomen, diare, dan
penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan gejala utama keterlibatan colon.
Perdarahan perrectal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang
menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen. Pasien paling banyak
mengeluhkan sakit perut dan diare berkepanjangan yang kadang disertai darah, selain itu keluhan
yang sering timbul adalah (Wilkins, 2011) :

a. Demam

b. Malaise

c. Mual muntah

d. Berat badan turun

e. Depresi dan cemas

f. Konstipasi dan obstipasi

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen yang dapat
disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat menderita anemia ringan, leukositosis,
dan peningkatan LED.

Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada stadium
dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan
dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat menghilangnya
diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat penyempitan lumen usus.

Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi, fistula


cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi
perforasi usus sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari penyakit ini

a) Tanda vital : normal, kadang takikardi dan demam


b) Gastrointestinal : nyeri tekan abdomen, pada pemeriksaan rektal dapat ditemukan fistula,
ulkus, abses, tonus sphincter abnormal, mukosa rektal abnormal, hematochezia

c) Genitourinary : ditemukan fistula, abses dan ulkus pada region perianal

d) Dermatologi : ulkus mukokutan, eritema nodosum, pioderma

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah foto polos, x-foto kontras tunggal
saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atau enteroclysis dengan CT, dan
pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika
terdapat masalah dengan penggunaan kontras.

Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna dalam
diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis penyakit.

a) Laboratorium

 Darah lengkap : anemia, leukositosis

 Elektrolit : hipoalbumin, penurunan serum Fe,

 Inflammatory marker : CRP meningkat

b) Radiologi

 X – Foto

Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohn’s disease adalah terbatas. Dua
keunggulan utama x-foto polos adalah (1) untuk memastikan adanya obstruksi usus dan (2)
untuk mengevaluasi adanya pneumoperitoneum sebelum dilakukannya pemeriksaan radiologis
lanjutan. Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya sacroiliitis atau batu ginjal oksalat
yang mungkin terjadi pada penderita Crohn’s disease.

Pemeriksaan barium enema kontras ganda bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit


inflamasi usus dan untuk membedakan antara Crohn’s disease dengan colitis ulcerativa,
khususnya pada tahap dini penyakit. Pada pemeriksaan kontras ganda, Crohn’s disease tahap dini
ditandai dengan adanya ulkus aptosa yang tersebar, yang terlihat sebagai bintik-bintik barium
yang dikelilingi oleh edema yang radiolusen. Ulkus-ulkus aptosa seringkali terpisah oleh
jaringan usus yang normal dan terlihat sebagai skip lesions.

Gambar 1.Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease menunjukkan
sejumlah ulkus aptosa
Gambar 2. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease menunjukkan
ulserasi, inflamasi, dan penyempitan lumen colon.

Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil akan membesar, lebih
dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus yang berbentuk seperti bintang,
berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-ulkus ini paling sering terlihat di daerah ileum terminal
disepanjang perbatasan mesenterium. Gambaran ini patognomonik dari Crohn’s disease.
Sebagaimana inflamasi menembus lapisan submukosa dan muskularis, ulkus-ulkus tersebut
terpisah satu sama lain oleh edema pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras
terlihat gambaran pola-pola “cobblestone” atau nodular, yaitu pengisian kontras pada lekukan
ulkus yang terlihat radioopaque dikelilingi mukosa usus yang radiolusen.

Gambar 3. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis


memperlihatkan ulserasi linear, longitudinal dan transversal yang

Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat pengecilan diameter lumen


usus dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai “string sign”.
Gambar 4. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis
memperlihatkan beberapa penyempitan dan striktura, yang memberikan gambaran “string
sign”.

Gambar 5. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis


memperlihatkan gambaran “string sign”.

Ulkus Aptoid dapat terdeteksi melalui pemeriksaan barium enema pada 25 – 50% pasien
dengan Crohn’s disease. Secara umum, didapatkan hasil negatif palsu sebanyak 18 – 20% kasus.
Akan tetepi, barium enema mempunyai akurasi sebesar 95% dalam membedakan antara Crohn’s
disease dengan colitis ulserativa.
 CT-SCAN

Peranan pencitraan CT dalam evaluasi Crohn’s disease telah diterima secara luas.
Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus dan patologi ekstraluminal (misalnya,
abses, obstruksi, fistula) membuatnya menjadi cara pencitraan yang penting. Hasil pencitraan CT
pada Crohn’s disease tahap dini adalah penebalan dinding usus, yang biasanya melibatkan usus
halus bagian distal dan colon, meskipun setiap segmen pada saluran cerna dapat terlibat.
Biasanya, penebalan dinding usus mencapai 5 – 15 mm .

Gambar 6. Gambaran CT Scan pada pasien dengan Crohn’s disease, tampak penebalan
dinding ileum dan inflamasi mesenterium.

Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat pula terlihat adanya
lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak mesenterium, adenopati lokal, fistula, dan abses.
Gambar 7. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding usus halus, dan
inflamasi dan adenopati pada mesenterium.

Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan peningkatan hilangnya


densitas lemak, yang disebut “hazy fat” pada CT. Inflammasi atau fibrosis jaringan lemak yang
lebih besar menimbulkan menghilangnya densitas pita linear jaringan lunak yang melintasi
mesenterium. Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur dengan densitas campuran dapat
menunjukkan adanya flegmon atau tahap dini pembentukan abses. Pembesaran kelenjar limfe
biasanya terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi mesenterium.

Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa berbentuk bulat atau oval dengan
densitas rendah, berbatas jelas, dan seringkali multilokus. Terlihatnya gambaran gelembung-
gelembung gas menunjukkan adanya

hubungan fistula dengan usus atau, lebih jarang, timbul dari infeksi oleh mikroorganisme yang
menghasilkan gas.
Gambar 8. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding colon kanan
dengan inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan.

Gambar 9. CT scan pada Crohn’s disease fase kronis menunjukkan penebalan dinding
colon kanan tanpa inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan, dan
sejumlah besar proliferasi lemak disekeliling colon kanan

CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada pasien-pasien dengan


gejala-gejala akut Crohn’s disease. Kemampuan CT Scan dalam mencitrakan dinding usus,
organ-organ abdomen yang lokasinya berdekatan dengan usus, mesenterium dan retroperitoneum
membuatnya lebih unggul terhadap pemeriksaan radiologi konvensional dengan kontras barium
dalam mendiagnosis komplikasi-komplikasi yang menyertai Crohn’s disease. CT Scan dapat
secara langsung menunjukkan penebalan dinding usus, edema mesenterika, limfadenopati,
phlegmon dan abses. Sensitivitas CT Scan untuk Crohn’s disease adalah sekitar 71%.

CT Scan tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi dapat pula digunakan
dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui prosedur CT-guided percutaneous abscess drainage,
yang telah menampakkan hasil yang sangat memuaskan.

 MRI

Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas dalam pemeriksaan
abdomen karena banyaknya artefak yang bergerak. Dengan adanya peningkatan gradien dan
pencitraan dengan menahan napas telah memungkinkan pencitraan MRI terhadap abdomen dan
pelvis pada sebagian besar pasien. Serbagai tambahan, untuk mencapai pencitraan yang optimal
dengan MRI seringkali membutuhkan penggunaan sejumlah besar volume zat kontras positif
atau negatif yang diberikan baik secara oral atau melalui selang nasojejunal atau rectal.

Akan tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin tidak dapat men-toleransi pemberian
sejumlah besar cairan per oral. Jika terjadi distensi usus suboptimal, akan terjadi gangguan dalam
mendeteksi segmen-segmen usus yang ter-inflamasi.

Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi komplikasi-komplikasi anorectal Crohn’s


disease dengan baik. MRI dengan teknik regular fast spin-echo dapat mendeteksi adanya fistula,
saluran sinus, dan abses pada regio anorectal.

Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan T1-weighted dan
hiperintense pada T2-weighted karena kandungan cairannya. Dengan supresi lemak, sinyal
cairan dapat di-intensifikasi dan dengan mudah terlihat hiperintense pada pencitraan T2-
weighted. Suatu abses sering terlihat sebagai pengumpulan yang terisolasi dari daerah-daerah
dengan intensitas sinyal tinggi (high-signal-intensity areas) pada pencitraan T2-weighted,
khususnya pada fossa ischioanal.

Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding, proliferasi fibrosa dan


lemak, dan enhancement dinding usus dengan zat kontras gadolinium-based. Selama fase
inflamasi aktif, enhancement gadolinium dinding usus dapat pula terlihat pada pencitraan T2-
weighted, dan dapat dengan mudah dibedakan dari usus yang normal. Pola enhancement
dideskripsikan oleh Koh et al sebagai “berlapis-lapis” dan spesifik untuk Crohn’s disease.

Gambar 10. Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohn’s disease menunjukkan penebalan
dinding colon kanan dengan peningkatan sinyal intramural pada pencitraan T1-weighted.
Hal ini dipercaya sebagai gambaran adanya deposisilemak intramural.

Gadolinium-enhanced spoiled gradient-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 85 –


89%, spesifisitas sekitar 96 – 94%, dan akurasi sekitar 94 – 91% untuk mendeteksi penyakit akut.
Sementara single-shot fast spin-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 51 – 52%,
spesifisitas sekitar 98 – 96%, dan akurasi sekitar 83 – 84%. Hasil positif palsu paling sering
terjadi jika terdapat enhancement gadolinium tanpa adanya penebalan usus. Hasil negatif palsu
paling sering terjadi jika terdapat distensi usus yang suboptimal.

Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang tinggi, yang tergantung pada
keahlian pemeriksa dalam mendeteksi perubahan-perubahan pada dinding usus.
USG dapat menjadi alternatif dari CT Scan dalam mengevaluasi manifestasi-manifestasi
intra dan ekstra luminal dari Crohn’s disease. Dinding saluran cerna yang normal terlihat sebagai
5 konsentris dari lapisan-lapisan echogenic dan hypoechoic yang berseang-seling; gambaran ini
dikenal sebagai “the gut signature”. Dinding saluran cerna yang normal mempunyai ketebalan
kurang dari 5 mm.

Pada kasus Crohn’s disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar antara 5 mm hingga 2
cm dengan gambaran lapisan-lapisan yang menghilang sebagian atau seluruhnya, yang
merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang
hebat, dinding usus akan tampak hypoechoic merata dengan garis hyperechoic ditengahnya yang
berhubungan dengan penyempitan lumen. Gerakan peristalsis menurun atau menghilang, dan
segmen usus yang sakit tidak dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya haustra.

Gambar 11. A dan B, hasil pencitraan USG pada pasien dengan Crohn’s disease, terlihat
adanya penebalan dinding usus yang hypoechoic, hilangnya “gut signature”, dan garis
hyperechoic yang menunjukkan penyempitan lumen usus.
USG dapat mencitrakan adanya “ballooning” dari segmen-segmen yang tidak terlibat,
yang terlihat sebagai kantung-kantung fokal. Hasil pemeriksaan ini merefleksikan “skip lesions”
pada Crohn’s disease. Akurasi USG dapat ditingkatkan dengan menggunakan pencitraan
berwarna Doppler, yang dapat bermanfaat dalam mendeteksi dinding usus yang hiperemis atau
terinflamasi selama fase aktif penyakit.

Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and fibrosis dari mesenterium
yang berhubungan, berakibat adanya proyeksi jaringan lemak mesenterium yang terlihat seperti
jari-jari yang mencengkram permukaan serosa usus. Pada ultrasonogram, gambaran ini tampak
sebagai massa yang hyperechoic, yang secara klasik terlihat pada batas cephalic ileum terminal.
Dengan penyakit yang telah berlangsung lama, gambaran ini akan terlihat lebih heterogen atau
bahkan hypoechoic .

 RADIONUKLIR

Leukosit yang diberi penanda technetium-99m-HMPAO atau indium-111 dapat


digunakan untuk menentukan inflamasi aktif usus pada inflammatory bowel disease.
Dibandingkan dengan penanda 111In, penanda 99mTc HMPAO mempunyai karakteristik pencitraan yang lebih baik dan dapat
lebih cepat dicitrakan segera setelah injeksinya. Akan tetapi, biasanya pencitraan harus dilakukan
dalam waktu beberapa jam setelah injeksi leukosit berlabel 99m Tc HMPAO sebagaimana telah terjadi

ekskresi normal ke usus, tidak seperti leukosit berlabel 111In, yang tidak mempunyai ekskresi ke usus.

Molnar dkk menemukan bahwa pencitraan leukosit berlabel 99m Tc HMPAO pada
Crohn’s disease yang aktif mempunyai sensitivitas 76,1% dan spesifisitas 91,0%, dan lebih baik
dalam mendeteksi aktivitas inflamasi segmental dibandingkan dengan CT Scan, sementara CT
Scan lebih unggul dalam mendeteksi adanya komplikasi.

Positif palsu dapat terlihat pada perdarahan saluran cerna, tertelannya leukosit (misalnya,
dari uptake yang berhubungan dengan sinusitis atau nasogastric tubes), atau aktivitas yang
berhubungan dengan pelepasan enteric tubes. Sebagai tambahan, uptake leukosit tidak
spesifik untuk Crohn’s disease dan akan terlihat pada sebagian besar proses-proses infeksius atau
inflamasi usus .

G. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding Crohn’s disease
antara lain :

 Cholangitis  Colitis iskemik  Colitis pseudomembranosa  Diverticulitis colon 


Tuberculosis gastrointestinalis  Colitis ulserativa  Enteritis infeksiosa  Colitis infeksiosa

H. TERAPI

Tujuan umum dari pengobatan Crohn’s Disease yang pertama adalah mendapatkan hasil
perbaikan klinis, laboratorium dan histologis yang terbaik untuk mengontrol inflamasi dengan
efek samping yang minimal. Kedua, membuat pasien dapat beraktivitas senormal mungkin dan
yang ketiga adalah agar anak-anak dapat tumbuh dan mendapatkan nutrisi yang adekuat. Berikut
beberapa terapi pilihan untuk Crohn’s Disease (Ghazi et al, 2013).

1. Farmakoterapi

a. Antidiare : loperamid, difenoksilate.

Pada pasien dengan Crohn’s disease terjadi inflamasi dinding usus yang menyebabkan
tidak dapat mengabsorbsi cairan secara normal. Antidiare seperti difenoksilat dan loperamid
bekerja dengan cara memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler
dan longitudinal usus (Robinson, 1997).

Dosis pemberian loperamide 2-4mg diberikan sampai 4x sehari, difenoksilat 40-60 mg / hari.
Obat dapat diberikan sampai diare berhenti (Ghazi et al, 2013).

b. 5-ASA

Pengobatan dengan menggunakan 5-ASA adalah pilihan pertama untuk pasien Crohn’s
Disease. 5-ASA bekerja sebagai agen anti inflamasi. Obat ini dapat terus digunakan setelah
tindakan pembedahan untuk mencegah terjadinya inflamasi ulang (Lim, 2010).

Dosis pemberian mesalamin 800 mg, diberikan 3x sehari. Penggunaan derivate 5-ASA
ini pada prinsipnya dalah pengobatan jangka panjang untuk mencegah kambuhnya peradangan
(Lim, 2010).

c. Kortikosteroid : prednisone, metilprednisolon, budesonide


Crohn’s disease dengan gejala sistemik sedang sampai berat seperti timbul demam, mual-
muntah, dan berat badan turun, dapat menggunakan kortikosteroid. Prednisone biasa digunakan
pada inflamasi akut tanpa tanda-tanda infeksi. Dosis pemberian prednisone adalah 40-60 mg/
hari Budenoside menginduksi perbaikan sel-sel pada daerah inflamasi. Kombinasi antara
kortikosteroid dan antibiotik seperti ciprofloxaxin atau metronidazole lebih menguntungkan
dibanding penggunaan tunggal (Ford et al, 2011)

Pada prinsipnya penggunan kortikosteroid hanya untuk pasien dengan gejala sedang
sampai berat. Kortikosteroid tidak diindikasikan untuk pengobatan jangka panjang. Jika kondisi
pasien membaik, kortikosteroid dihentikan (Ford et al, 2011). d. Agen imunosupresan:
mercaptopurin, methotrexat (6-MP)

Apabila penggunaan kortikosteroid tidak menimbulkan perbaikan, dapat digunakan agen


imunosupresan. Azathioprine dengan bahan aktif metabolit 6-MP dapat digunakan dengan
catatan dalam pengawasan 3-6 bulan. 6-MP bekerja dengan cara menekan pembentukan sel-sel
imun yang dalam jangka waktu lama dapat mensupresi sumsum tulang (Turner, 2007).

Dosis pemberian methotrexate adalah 25mg/minggu dan diberikan selama 4 bulan


kemudian dievaluasi kembali (Mcdonald, 2012).

2. Pengobatan biologis

Pengobatan secara biologis pada Crohn’s Disease yaitu dengan cara memberikan antibodi
monoklonal (anti-TNFα-antibodi) seperti ; Infliximab, Adalimumab, Natalizumab .

a. Infliximab

Infliximab adalah antibodi monoclonal yang merupakan antagonis TNFα. Bekerja pada
permukaan sel makrofag dan sel T, menghambat pembentukan TNFα (Lichteinstein, 2006).

Dosis pemberian 3-10 mg/kg/ hari, dapat diberikan sampai 6 tahun lamanya dan dilihat
perbaikan klinis pasien (D’Haens, 2011).

b. Adalimumab
Adalimumab adalah antibodi monoclonal immunoglobulin rekombinan (igG1) yang cara
kerjanya mengikat dengan afinitas

Dosis pemberian 160 mg/hari, ditrunkan menjadi 80mg/hari pada minggu ke 2,


diturunkan lagi menjadi 40 mg/hari pada minggu selanjutnya (D’Haens, 2011).

c. Natalizumab

Natalizumab adalah antibodi monoclonal yang bekerja melawan alpha4 integrin yang
menghambat adhesi dan migrasi leukosit ke area inflamasi (Sandborn et al, 2005).

Dosis pemberian natalizumab adalah 300mg setiap 4 minggu sekali selama 1 tahun,
kemudian di evaluasi kembali (Sandborn et al, 2005).

3. Tindakan pembedahan

Pada prinsipnya tindakan pembedahan pada Crohn’s Disease tidak dapat menyembuhkan,
namun berikut adalah keadaan-keadaan yang direkomendasikan untuk dilakukan pembedahan
pada Crohn’s Disease (ASCRS, 2007) :

a. Gagal pengobatan : tidak ada perubahan secara klinis

b. Komplikasi : abses, fistula

c. Obstruksi : striktur colon

d. Inflamasi : kolitis, peritonitis

f. Perforasi

g. Neoplasia

h. Hambatan tumbuh kembang

Intervensi pembedahan pada ileum terminal, ileocolon, dan colon dapat dilakukan (ASCRS,
2007) :

a. Reseksi bagian intestinal yang terkena inflamasi


Tindakan pembedahan untuk membuang bagian intestinal yang terkena inflamasi. Sebelumnya
didahului dengan pemeriksaan biopsi jaringan, untuk mengetahui daerah yang inflamasi.

Gambar 10. Reseksi Ileum, Ileocolon dan Colon

b. Ileostomi

Ileostomi berasal dari kata ‘Ileum’ dan ‘Stoma yang artinya adalah tindakan operasi membuat
mulut buatan di bagian ileum , untuk membuang zat sisa tubuh, dikarenakan bagian distal ileum
tidak dapat bekerja normal (Cima, 2010).

c. Strikturplasti

Strikturplasti adalah tindakan bedah yang dilakukan untuk mengatasi jaringan parut yang
terbentuk pada dinding intestinal akibat kondisi inflamasi kronik pada Crohn’s Disease. Jaringan
parut menyebabkan striktur (penyempitan lumen intestinal). Striktur dapat menyebabkan isi
lumen masuk ke dalam ulkus dan fisura yang dapat memperburuk peradangan pada Crohn’s
Disease. Tindakan strikturplasti yaitu membuat pasase intestinal lancar tanpa membuang segmen
menyempit (reseksi usus). Segmen usus yang menyempit diinsisi kemudian dilebarkan dengan
membuat potongan memanjang sepanjang satu sisi usus, kemudian dijahit (Jobanputra, 2007).

Gambar 12. Strikturplasti d. Dilatasi Balon Endoskopi

d. Dilatasi Balon Endoskopi

adalah pilihan terapi non bedah untuk penanganan striktur pada Crohn’s Disease.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah risiko perforasi dan striktur rekurens. Striktur
didefinisikan sebagai penyempitan yang menghalangi pasase usus sebesar 14 mm atau kurang.
Teknik ini dilakukan melalui colonoskopi, mencari bagian yang striktur kemudian dilakukan
dilatasi melalui balon-endoskopi. Antibiotic diberikan selama pengerjaan dan 7 hari setelah
tindakan (Ajlouni, 2007).

Gambar 13. Dilatasi Balon Endoskopi

e. Manajemen Fistula

Komplikasi dari Crohn’s Disease adalah terjadinya fistula. Fistula dapat terjadi antara
intestinal (ileoileal, ileocecal, ileosigmoid, enterovesica, enterocutaneus, cologastric,
coloduodenal) (Strong, 2007).

Tindakan pertama yang dilakukan adalah mencegah dan mengatasi infeksi dengan
menggunakan antibiotik seperti metronidazole atau ciprofloxaxin. Kemudian memperbaiki
keseimbangan cairan dan elektrolit, mengusahakan perbaikan gizi serta merawat kulit di sekitar
fistel (Sjamsuhidajat, 2003).

Keputusan diambilnya tindakan bedah ditunggu sekurang-kurangnya 3-4 minggu. Fistula


dapat terjadi penutupan spontan biasanya sekitar minggu keempat. Bila setelah itu fistula masih
tetap ada, penanganan sepsis sudah dilakukan cukup baik, maka tindakan bedah harus segera
dilakukan (Sjamsuhidajat, 2003).

I. KOMPLIKASI

Manifestasi ekstraintestinal Crohn’s disease mencakup aptosa oral, ulkus, eritema


nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi kronis; osteonekrosis
sebagai akibat terapi steroid kronis; pembentukkan batu empedu sebagai akibat keterlibatan ileus
yang menyebabkan gangguan reabsorpsi garam empedu; batu oksalat ginjal sebagai akibat dari
penyakit colon; pancreatitis sebagai akibat dari terapi sulfasalazine, mesalamine, azathioprine
atau 6-mercaptopurine; pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah; dan
manifestasi-manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi tromboembolik, penyakit
hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis primer.

o Abses

Abses terbentuk pada sekitar 15 – 20% pasien dengan Crohn’s disease sebagai akibat dari
pembentukkan saluran sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. Abses dapat ditemukan di
mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi ekstraperitoneal. Lokasi
tersering abses retroperitoneal adalah fossa ischiorectal, ruang presacral, dan regio iliopsoas.
Ileum terminal merupakan lokasi tersering sumber abses. Abses merupakan salah satu penyebab
utama kematian pada Crohn’s disease .

o Obstruksi

Obstruksi terjadi pada 20 – 30% pasien dengan Crohn’s disease. Pada awal perjalanan penyakit,
terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan hilang timbul pada saat setelah makan, yang
disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah beberapa tahun, inflamasi yang menetap ini
akan secara bertahap memburuk hingga terjadi penyepitan dan striktur lumen akibat
fibrostenotik.
o Fistula

Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari Crohn’s disease pada colon.
Komplikasi fistula yang disertai abses atau penyakit berat paling sulit ditangani. Hal ini terjadi
pada pasien dengan

Crohn’s disease. Peranan terapi medikamentosa hanyalah untuk mengontrol obstruksi, inflamasi,
atau proses-proses supuratif sebelum dilakukannya terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu
dilakukan operasi untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak ada kontraindikasi berupa sepsis,
dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit. Fistula dapat berakibat perforasi usus spontan pada 1
– 2% pasien.

o Keganasan

Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada Crohn’s disease.
Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah dimana terjadi penyakit kronis.
Sayangnya, sebagian besar kanker yang berhubungan dengan Crohn’s disease tidak terdeteksi
hingga tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Selain keganasan saluran cerna,
keganasan ekstraintestinal (misalnya, squamous cell carcinoma pada pasien dengan penyakit
kronis di daerah perianal, vulva atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga
terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan Crohn’s disease.

J. PROGNOSIS

Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohn’s disease yang sudah
menjalani terapi bedah adalah antara 15 – 30%. pembentukkan abses-abses intraabdominal, dan
kebocoran anastomosis. Sebagian besar pasien yang telah menjalani reseksi usus mengalami
kekambuhan penyakit, yaitu 70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi dan 85% dalam waktu 3
tahun setelah operasi. Kekambuhan klinis ditandai dengan berulangnya gejala-gejala Crohn’s
disease. Sekitar ⅓ pasien membutuhkan operasi ulang dalam waktu 5 tahun setelah operasi yang
pertama.

Prognosis Crohn’s Disease dikarakteristikkan dalam periode perbaikan dan kekambuhan.


Pada tahun pertama setelah diagnosis, angka kekambuhan mencapai 50% dengan 10% masuk
kategori kronik. 5 tahun setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 49%. 10 tahun
setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 62%. 15 tahun setelah diagnosis, yang
membutuhkan tindakan bedah mencapai 70% (Munkohlm, 2003).
Referensi

Ajlouni, Y. Iser, J.H and Gibson, P.R. Endoscopic balloon dilatation of intestinal strictures in
Crohn’s Disease : safe alternative to surgery. J Gastroenterol Hepatol. Melbourne, Australia.
2007 Apr;22(4):486-90

ASCRS (The American Society of Colon and Rectal Surgeons) ; Strong SA, Koltun WA, Hyman
NH, Buie WD, for the Standards Practice Task Force Practice parameters for the surgical
management of Crohn’s disease. Dis Colon Rectum. 2007;50(11):1735-46.

Ford AC, Bernstein CN, Khan KJ, Abreu MT, Marshall JK, Talley NJ, et al. Glucocorticosteroid
therapy in inflammatory bowel disease: systematic review and meta-analysis. Am J
Gastroenterol. Apr 2011;106(4):590-9. Hampe J, Grebe J, Nikolaus S, Solberg C, Croucher PJ,
Mascheretti S, et al.

Association of NOD2 (CARD 15) genotype with clinical course of Crohn's disease: a cohort
study. Lancet. May 11 2002;359(9318):1661-5.

Kidd R, Mezwa DG, Ralls PW, Balfe DM, Bree RL, DiSantis DJ, et al. Imaging
recommendations for patients with newly suspected Crohn's disease, and in patients with known
Crohn's disease and acute exacerbation or suspected complications. American College of
Radiology. ACR Appropriateness Criteria. Radiology. Jun 2000;215 Suppl:181-92.

Leighton JA, Shen B, Baron TH, Adler DG, Davila R, Egan JV, et al. ASGE guideline:
endoscopy in the diagnosis and treatment of inflammatory bowel disease. Gastrointest Endosc.
Apr 2006;63(4):558-65.

Lichtenstein GR, Abreu MT, Cohen R, Tremaine W. American Gastroenterological Association


Institute medical position statement on corticosteroids, immunomodulators, and infliximab in
inflammatory bowel disease. Gastroenterology. Mar 2006;130(3):935-9.

Lim WC, Hanauer S. Aminosalicylates for induction of remission or response in Crohn's


disease. Cochrane Database Syst Rev. Dec 8 2010;CD008870. Loftus EV Jr. Clinical
epidemiology of inflammatory bowel disease: Incidence, prevalence, and environmental
influences. Gastroenterology. May 2004;126(6):1504-17.

Anda mungkin juga menyukai