MENGAMBIL keputusan dalam dunia kerja memang tidak mudah. Berbagai
ekses biasanya akan muncul begitu suatu keputusan penting ditetapkan. Dalam lingkungan dunia kerja misalnya, seorang pimpinan pada sebuah perusahaan dituntut untuk mampu memutuskan sesuatu secara tepat dan bijak, demi tetap terjaminnya eksistensi perusahaan. Dalam hal pengambilan suatu keputusan ini, orientasi kerja sangat berperan. Artinya, apakah dalam mengambil keputusan ini seorang pimpinan berorientasi kepada perasaan atau realita? Masalah ini sangat penting terutama bagi kita orang Timur yang masih kental dengan budaya tradisional dan paternalistik, di mana faktor perasaan sungkan masih tinggi. Karena sungkan, tidak jarang seorang pimpinan perusahaan mengambil keputusan yang tidak tepat, yang bisa berakibat buruk pada perusahaan. Sebaliknya, jika dia berusaha rasional, bisa-bisa dia dinilai sebagai manusia yang tidak punya perasaan. Dihadapkan pada kedua masalah ini situasi jadi serba sulit. Dalam dunia kerja, hanya karena didasari rasa sungkan, seringkali kita secara sadar membenarkan yang salah. Meski tahu seseorang itu salah, kita ogah menegur, karena masih ada kaitan keluarga misalnya, atau karena dia lebih senior di tempat kerja, dan berbagai alasan lainnya. Ada puluhan atau bahkan ratusan argumentasi yang dapat kita ajukan untuk membenarkan tindakan “tidak menegur” orang yang salah dalam pekerjaan. Sebagai orang Kristen, bagaimana tindakan kita jika berhadapan dengan kondisi seperti ini? Menghadapi realita memang tidak gampang. Kita tidak hanya cukup berdoa. Semua orang Kristen memang harus berdoa, setiap orang Kristen harus dekat pada Tuhan. Namun jangan pernah berpikir bahwa dengan demikian kita akan terhindar dari segala masalah. Jika kita dirundung masalah justru di situlah seni dari hidup kekristenan. Karena jika kita mulai menemukan jalan keluar dari permasalahan, makin mengertilah kita arti pertolongan Tuhan itu; makin kita pahamilah artinya kepemimpinan Tuhan itu, karena melalui kesesatan itulah kita ditolong untuk keluar dari segala masalah. Itulah namanya pertolongan Tuhan yang indah dalam hidup. Jadi, jangan mau lari dari persoalan, tetapi hadapilah. Jangan bersembunyi dan menghindar di balik kata-kata rohani yang hanya merupakan dalih karena sebenarnya kita tidak mampu membereskan persoalan. Jika memang tidak mampu, jujurlah pada Tuhan, minta pertolongan-Nya lewat doa agar diberi kebijaksanaan berbuat yang terbaik. Meski demikian, di samping bergantung pada iman yang solid, kita pun harus menggunakan otak, dan tetap belajar dari realita. Lalu bagaimana sikap kita terhadap orang yang salah—atau dengan istilah yang lebih halus—kurang berprestasi dalam pekerjaan? Solusi awal, bisa saja kita berikan kesempatan padanya untuk belajar. Dengan kata lain, dia dipacu agar dapat meningkatkan kinerjanya. Namun apabila dia tetap tidak mampu lagi untuk berkembang alias sudah mentok, kondisi semacam ini tentu akan menjadi batu sandungan bagi perusahaan. Jika segala upaya sudah mentok, sebagai seorang Kristen, apa tindakan kita? Solusi yang tepat adalah mencarikan posisi yang lebih cocok baginya di perusahaan itu, sebab pada dasarnya dia memang tidak pas di posisinya selama ini. Tindakan tegas memang harus kita ambil. Rasanya tidak enak jika terdengar gunjingan sinis dari kanan- kiri yang bunyinya, “Sudah minoritas, kerjanya enggak karu-karuan pula.” Jika sudah ada tudingan miring seperti ini, kita pun jangan menyalahkan para penuding itu sebagai orang-orang dunia yang tidak mengenal kasih. Jika kita punya anggapan seperti itu, justru kita sendirilah yang sebenarnya tidak mengenal kasih, sebab kasih tidak pernah mem- protect kesalahan, kasih tidak pernah melindungi kebebalan, kasih tidak pernah membela kebodohan, atau kasih tidak menolerir ketidakmampuan seseorang untuk maju. Kasih harus ditegakkan utuh bersama-sama dengan hukum. Di mana ada kasih, hukum pun berdiri di sana. Dan hanya dengan sikap yang tegaslah kasih itu berdiri tegak. Dalam kaitan ini kita pun perlu merenungkan kata-kata bijak yang tertulis dalam Amsal 17 : 15-17, sebagai berikut: “Membenarkan orang fasik dan mempersalahkan orang benar, keduanya adalah kekejian bagi Tuhan. Apakah gunanya uang di tangan orang bebal untuk memberi hikmah sedang ia tidak berakal budi? Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaran.” Kata-kata bijak dari Amsal di atas, secara sekilas mungkin tampak sederhana, namun jika direnungkan, untaian kalimat itu mengandung suatu wawasan/pandangan yang sangat mendalam, sebab didasarkan pada pengamatan dan pengalaman hidup. Bila kita coba menganalisis kata-kata: “membenarkan orang fasik dan mempersalahkan orang benar adalah kekejian bagi Tuhan”, itu artinya kita dituntut untuk mampu menempatkan sesuatu (seseorang) itu pada tempatnya. Melaksanakan “instruksi” ini jelas bukan perkara sederhana, terutama bagi kita orang Timur yang masih kenatal dengan budaya “sungkan” tadi. Tapi, jangan sekali-kali dengan dalih kasih kita tidak berani mengambil tindakan tegas, padahal sebenarnya kita menutupi rasa sungkan. Kita harus memahami, bahwa kasih minus hukum adalah liar, karena tidak ada aturan. Kalau semua orang mengobral rasa cinta-kasih, tetapi hukum tidak ditegakkan, mau jadi apa kita ini? Satu hal yang tidak boleh kita lupakan, karena kasih-Nya-lah maka Tuhan “memukul” kita supaya kita kembali ke jalan-Nya.