Mangrove Jadi Opsi Solusi
Mangrove Jadi Opsi Solusi
Pemerintah diminta memperkuat wilayah pesisir Teluk Palu, Sulawesi Tengah dengan
tanaman mangrove. Mangrove terbukti mampu meredam hantaman tsunami, abrasi,
dan fungsi ekologis lain. Pembangunan tanggul dinilai juga hanya menjawabi
kebutuhan jangka pendek.
Merespons tsunami di Palu, pemerintah hendak mengatasi hal itu dengan membangun
tanggul sepanjang 7,5 kilometer yang rencana pengerjaannya dimulai Maret 2019.
Pemerintah diminta untuk tidak terjebak mengejar rekonstruksi Kota Palu hanya
dengan menghitung waktu pembangunan yang singkat. Kepentingan jangka panjang
harus jadi pertimbangan utama. Lagi pula, menanam mangrove diyakini lebih murah
daripada membangun tanggul panjang.
Pantauan Kompas di Kelurahan Kabonga Besar tak terlihat kerusakan akibat terjangan
tsunami di daerah itu, terutama di RW 02. Rumah-rumah warga dilindungi hutan
mangrove. Tak ada yang rusak. Padahal, ada rumah yang berjarak hanya 5 meter dari
posisi air laut tak pasang.
Kondisi itu kontras dengan wilayah pesisir lain, mulai dari Kota Palu hingga RW 01
Kelurahan Kabonga Besar. Kehancuran karena sapuan tsunami terjadi di titik-titik
tersebut. Di RW 01 Kabonga Besar, sebenarnya, kehancuran tak terlalu parah karena
pohon-pohon mangrove yang tak banyak masih mampu menahan sedikit terjangan
tsunami.
“Saat tsunami lalu, air laut memang sampai ke rumah-rumah dan jalan, tetapi tak ada
energinya. Kami di sini tak merasakan adanya tsunami, terasa hanya air laut pasang,”
kata Yurianti (39), warga RT 001 RW 02 yang juga Ketua Kelompok Tani Hutan
Gonenggeti Jaya, Kabonga Besar.
Luas hutan mangrove 10 hektar. Hutan mangrove cukup lebat dan rapat. Berkat
ekosistem mangrove itu, selain tak terjadi kerusakan rumah, tak ada korban jiwa di RW
02.
Gubernur Sulteng Longki Djanggola menyatakan saat ini pihaknya memfinalisasi desain
induk hunian tetap. “Kalau hal itu sudah selesai, saya kira April sudah mulai ada
pengerjaan, terutama jalan poros menuju lokasi kompleks hunian tetap dengan target
pengerjaan dua tahun ke depan,” katanya.
Lahan yang dipakai untuk relokasi merupakan lahan hak guna usaha (HGU) dan hak
guna bangunan (HGB) sejumlah perusahaan yang dalam beberapa tahun terakhir
ditelantarkan. Saat ini, pemerintah masih mengurus legalitas lahan relokasi tersebut.
Namun, Longki meyakinkan berdasarkan konsultasi dengan Badan Pertanahan
Nasional/Kementerian Agraria dan Tata Ruang pembangunan tetap boleh dimulai.
“Memang ada pemegang HGU atau HGB keberatan, tetapi BPN/ATR punya kekuatan
yang menegaskan dalam keadaan darurat dan untuk kepentingan negara semua hak
boleh diambil alih oleh negara,” katanya.
Titik relokasi penyintas tersebar di empat titik, yakni dua titik di Kota Palu, satu titik di
Kabupaten Donggala, dan satu titik Kabupaten Sigi. Penyintas yang direlokasi mereka
yang rumahnya hilang atau hancur dan berada di zona merah. Zona merah merujuk
pada titik-titik terjadinya tsunami, likuefaksi, dan dekat sesar utama sistem Palu-Koro
yang memicu gempa bumi lalu.