Anda di halaman 1dari 26

TUGAS MANAJEMEN BENCANA

RENCANA KONTIGENSI

“MENGHADAPI BENCANA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI


DI KOTA PADANG, PROVINSI SUMATERA BARAT”

Kelompok 2 :
Ika Wiwit Rahayu 2010331014
Nada Amelinda Irya 2010331015
Wella Febriola 2010331016
Putri Khairani 2010332001
Diva Fahmelia 2010332002
Dinda Dwi Putri 2010332004
Laila Hijradesy Ridwan 2010332005
Almar Waziatur Rahmah 2010332006
Fayola Rossa 2010332007
Dzikra Sabila 2010332008
Mustika Khasanah Putri 2010332009

PRODI S1 KEBIDANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
hidayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan “Rencana Kontingensi : Gempa dan Tsunami”
sebagai pemenuhan tugas Manajemen Bencana. Tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada Ibu Novi Suryani selaku dosen pembimbing di mata kuliah Manajemen
Bencana, yang telah membantu penulis dalam mengerjakan Rencana Kontingensi ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi dalam
pembuatan Rencana Kontingensi ini.

Dokumen Rencana Kontigensi ini di gunakan sebagai skenario yang akan dilakukan
oleh masyarakat dalam penanggulangan ketika bencana itu datang, rencana kontigensi yang
disusun ini bisa saja terjadi atau bisa juga tidak terjadi, untuk menguji apakah rencana
kontigensi ini bisa di terapkan jika terjadi bencana.

Penulis menyadari adanya kekurangan dari penulisan Rencana Kontingensi ini, Oleh
sebab itu saran serta kritik yang membangun senantiasa diharapkan untuk perbaikan karya
penulis. Penulis berharap Rencana Kontingensi ini dapat dimanfaatkan dalam penanganan
bencana pada daerah yang rawan bencana.

Padang, 25 November 2021,

Penulis

2
DAFTAR ISI
Cover....................................................................................................................................1
Kata Pengantar....................................................................................................................2
Daftar Isi...............................................................................................................................3
BAB I Pendahuluan............................................................................................................4
BAB II Gambaran Umum Wilayah...................................................................................5
BAB III Penilaian Risiko....................................................................................................11
BAB IV Penerapan Strategi Tanggap Darurat................................................................17
BAB V Penutup...................................................................................................................24
Daftar Pustaka.....................................................................................................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN

Perencanaan kontinjensi merupakan salah satu dari berbagai rencana yang digunakan
dalam siklus manajemen risiko. Perencanaan kontijensi dilakukan ketika terdapat potensi
untuk terjadinya bencanan atau pada tahap aktivitas kesiapsiagaan. Siklus manajemen risiko
tersebut (termasuk perencanaan kontijensi) digunakan dalam pengelolaan bencana berbasis
kewilayahan.
Sifat rencana kontinjensi adalah “single hazard” hanya digunakan 1 (satu) jenis
ancaman. Namun demikian, dalam hal bencana benar-benar terjadi, dimungkinkan terdapat
dampak ikutan ( colleteral impact) atau bencana kedua (secondary disaster) yang merupakan
bencana baru/bencana ikutan. Contoh penyusunan rencana kontinjensi untuk menghadapi
gempa bumi yang diikuti Tsunami. Dimungkinkan dampak gempa bumi/tsunami tersebut
disamping korban jiwa , kerusakan pada sektor-sektor dan dampak lainnya, dapat juga
menimbulkan kerusakan  pada kawasan industri yang didalamnya terdapat banyak
perusahaan /pabrik yang menggunakan material bahan berbahaya/kimia. Dalam hal demikian
rencana kontinjensi juga harus memperhitungkan kegiatan penanganan darurat  pada sektor
industri yang memungkinkan sekenario dan cara penanggulangan secara spesifik serta
sumber daya spesifik pula.

4
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH

2.1 Letak Geografis


Padang adalah kota terbesar di pantai barat pulau Sumatera sekaligus ibu kota dari
Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini merupakan pintu gerbang barat Indonesia
dari Samudra Hindia. Padang memiliki wilayah seluas 694,96 km² dengan kondisi
geografi berbatasan dengan laut dan dikelilingi perbukitan dengan ketinggian mencapai
1.853 mdpl. Secara geografis, Kota Padang berada diantara 00° 44’ 00” dan 1° 08’ 35’’
LU serta antara 100° 05’ 55’’ dan 100° 34’ 09’’ BT. Menurut sumber sejarah pada
awalnya (sebelum abad ke-17) Kota Padang dihuni oleh para nelayan, petani garam dan
pedagang.
Kota Padang yang membujur dari Utara ke Selatan memiliki pantai sepanjang 68,126
Km² dan terdapat deretan Bukit Barisan, dengan panjang daerah bukit (termasuk Sungai)
486,209 Km² . Perpaduan kedua letak tersebut Kota Padang memiliki alam yang sangat
indah dan menarik. Kota Padang juga memiliki wilayah perairan yang dihiasi oleh 19
pulau kecil yang masuk dalam wilayah administrasi Kota Padang. Dari 19 pulau kecil
tersebut, terdapat 2 pulau yang telah dikelola dengan baik untuk pariwisata, seperti Pulau
Sikuai dan Pulau Pasumpahan.
Berdasarkan Dokumen Indeks Resiko Bencana Indonesia tahun 2013 Kota Padang
berada dalam kelas resiko tinggi terhadap ancaman bencana Tsunami. Berdasarkan
Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Padang tahun 2010-2030, kecamatan
dan kelurahan yang ada di Kota Padang juga terletak pada zona bahaya Tsunami yaitu
zona rendah, zona sedang, dan zona tinggi. Kota Padang memiliki 11 kecamatan dan 104
kelurahan dengan zona bahaya Tsunami rendah, sedang, dan tinggi. Ada 11 kecamatan
yang termasuk kedalam zona bahaya Tsunami rendah yaitu di Kecamatan Bungus Teluk
Kabung, Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Kuranji, Kecamatan Lubuk Begalung,
Kecamatan Lubuk Kilangan, Kecamatan Nanggalo, Kecamatan Padang Barat, Kecamatan
Padang Selatan, Kecamatan Padang Timur, Kecamatan Padang Utara, dan Kecamatan
Pauh, dan 5 kecamatan yang termasuk kedalam zona bahaya Tsunami sedang yaitu di
Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Nanggalo, Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan
Padang Timur, dan Kecamatan Padang Utara, dan juga terdapat 8 kecamatan yang
termasuk kedalam zona bahaya Tsunami tinggi yaitu di Kecamatan Bungus Teluk
Kabung, Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Lubuk Begalung, Kecamatan Nanggalo,

5
Kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan Padang Timur, dan
Kecamatan Padang Utara

2.2 Sumber Daya Alam


Sumber daya alam adalah sumber daya yang terbentuk melalui kekuatan atau gaya
alamiah, misalnya tanah, air dan perairan, biotis, udara dan sinar surya atau matahari,
mineral, bentang alam (landscape), panas bumi dan gas bumi, angin, pasang surut atau
arus laut. Adapun Lingkungan hidup adalah sistem kehidupan dimana terdapat campur
tangan manusia dalam mengelola sumberdaya alam yang ada disekitarnya. Pembangunan
yang sedang dan akan dilakukan di Sumatera Barat hendaknya mempertimbangkan faktor
Lingkungan dan sumber daya alam yang ada. Pembangunan di daerah ini hendaknya
selalu didasarkan kepada pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana. Makin banyak
suatu daerah mempunyai sumberdaya alam dan dimanfaatkannya sumberdaya alam itu
secara efisien, maka makin baiklah harapan akan tercapainya keadaan kehidupan dan
kesejahteraan rakyat daerah ini dalam jangka panjang.
Potensi sumber daya alam di Kota Padang tergolong cukup banyak. Daerah ini
mempunyai daerah perairan laut yang cukup luas di sepanjang tepi barat pulau Sumatera
dan adanya kepulauan Mentawai yang menjadi perisai untuk menahan gelombang Lautan
Hindia yang cukup besar. Sumber daya alam dari laut seperti beraneka jenis ikan,
budidaya kerapu, rumput laut, udang, kepiting dan mutiara masih sangat besar
peluangnya untuk ditingkatkan. Aneka biota laut ini disamping untuk konsumsi, juga
mempunyai potensi sebagai bahan baku industri terutama industri farmasi. Penelitian
dalam bidang ini perlu dipacu agar biologi sumber daya laut yang ada dapat dimanfaatkan
untuk kesejahteraan Masyarakat.
Energi surya juga melimpah di Kota Padang ini. jika saja energi surya ini dapat
dikumpulkan dalam sel-sel penyerap panas matahari maka dapat digunakan untuk
pembangkit listrik skala kecil dan menengah. Jika potensi sumberdaya alam yang
berlimpah baik dari energi gelombang laut maupun energi surya, maka kebutuhan
masyarakat akan listrik yang kian hari kian bertambah dapat dipenuhi. 
Potensi bahan galian, seperti deposit pasir dan batu gunung, liat silika dan besi oksida
serta kapur sebagai bahan dasar industri semen, terdapat di kota Padang dan telah
dimanfaatkan lebih dari 50 tahun oleh PT Semen Padang dan di daerah sekitar danau
Singkarak di kabupaten Solok dan Padang Panjang. Deposit batu kapur yang bisa
dieksploitasi di kota Padang Panjang tercatat sebanyak 43 juta ton. 

6
2.3 Kondisi Fisik
1. Daratan
Wilayah daratan kota Padang ketinggiannya sangat bervariasi, yaitu antara 0
m sampai 1.853 m di atas permukaan laut. Ketinggian wilayah Kota Padang berada
antara 0–>1.000 meter dpl (di atas permukaan laut) membujur dari barat ke timur. Di
bagian paling barat adalah wilayah pesisir dengan ketinggian 0 meter dpl dan di
bagian timur adalah wilayah pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian >1.000
meter dpl. Wilayah ketinggian antara 0–25 meter dpl luasnya ± 22% dari total wilayah
daratan sedangkan wilayah ketinggian >1.000 meter dpl luasnya ± 17%.
Hampir seluruh dataran (ketinggian 0-25 mdpl) dengan luas hampir 22% dari
total luas Kota Padang, merupakan daerah terbangun (build-up area). Relatif di bagian
selatan dan timur yang masih terbentang luas daerah belum terbangun. Di bagian
selatan, khusus di Kecamatan Bungustelukkabung, umumnya masih merupakan
daerah pertanian. Sedangkan di bagian timur di dominasi oleh kawasan hutan yang
berada pada daerah perbukitan dengan kemiringan yang cukup curam. Wilayah timur
ini terdiri dari beberapa kecamatan yaitu mulai utara ke selatan berturut-turut dari
Kecamatan Kototengah, Pauh, Kuranji, dan Lubukkilangan.
Kota Padang dilalui oleh banyak aliran sungai besar maupun kecil yang
terbagi dalam 6 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Air Dingin, DAS Air
Timbalun, DAS Batang Arau, DAS Batang Kandis, DAS Batang Kuranji, dan DAS
Sungai Pisang. Terdapat tidak kurang dari 23 aliran sungai yang mengalir di wilayah
Kota Padang dengan total panjang mencapai 155,40 km (10 sungai besar dan 13
sungai kecil). Umumnya sungai-sungai besar dan kecil yang ada di wilayah Kota
Padang ketinggiannya tidak jauh berbeda dengan tinggi permukaan laut. Kondisi ini
mengakibatkan cukup banyak bagian wilayah Kota Padang yang rawan terhadap
banjir atau genangan.
2. Perairan
Perairan Kota Padang merupakan bagian dari Samudera Hindia memiliki
karakteristik tipe pasang surut campuran yang didominasi tipe ganda dimana pada
daerah ini terjadi 2 kali pasang dan 2 kali surut dalam sehari. Tipe ini dipengaruhi
oleh kondisi kedalaman perairan atau geomorfologi pantai setempat. Luas wilayah
perairan Kota Padang sekitar 720 km², terdiri dari pantai sepanjang 84 km dan 19
pulau kecil. Pesisir pantai Kota Padang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pesisir
landai di Padang Sarai–Batang Arau dan Labuhan Tarok–Teluk Kabung; dan pesisir

7
curam dan sempit di Batang Arau–Labuhan Tarok, Teluk Kabung–Sungai Pisang–
Pantai Padang.
Pantai Kota Padang memanjang dari arah barat laut ke tenggara membentuk
garis pantai yang relatif lurus, bagian Utara landai dan ke arah Selatan mempunyai
gradasi perairan pantai yang curam. Kawasan Utara di daerah Padang Sarai garis
isobath 15 m ditemui sampai 1 kilometer ke arah laut sedangkan di bagian Selatan di
Pantai Air Manis sampai kawasan Pulau Sironjong kedalaman mencapai 20–50 meter.
Kedalaman rata-rata perairan antara Kota Padang dengan pulau-pulau kecil mencapai
80 meter, sementara di luar jajaran pulau tersebut kedalaman mencapai 300 m.
Kondisi perairan di sekitar pulau-pulau kecil berupa karang (fringing reef) sampai
jarak 50 meter dari pantai dengan kedalam mencapai 3 meter, kemudian perairan
berubah secara tajam dengan kedalaman mencapai 30–60 meter.

2.4 Kondisi Sosial


Untuk kegiatan sosial pada tahun 2007, tercatat mengalami peningkatan tajam
dibanding tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah musibah
(bencana) yang melanda daerah ini pada periode tersebut. Jenis musibah yang mendapat
bantuan sosial bencana alam selama periode 2007 ini adalah, banjir 522 kasus, kebakaran
22 kasus, longsor 35 kasus, gempa 7.006 kasus dan lainnya sebanyak 58 kasus.

2.5 Kependudukan
Kota Padang merupakan kota dengan jumlah penduduk paling banyak di provinsi
Sumatra Barat. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2010, jumlah penduduk Kota Padang adalah sebanyak 833.584 jiwa. Jumlah
tersebut menunjukan penurunan yang signifikan dari data kependudukan tahun 2008
(856.815 jiwa) akibat peristiwa gempa bumi 2009.[1] Pada akhir tahun 2014, Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Padang melaporkan jumlah
penduduk sebanyak 1.000.096 jiwa dengan rincian 273.915 Kepala Keluarga yang terdiri
dari 507.785 orang laki-laki dan 492.306 perempuan.[64] Pada tahun 2009 kota ini
bersama dengan kota Makassar, Denpasar, dan Yogyakarta, ditetapkan oleh Kemendagri
sebagai empat kota proyek percontohan penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis
Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Indonesia.

8
2.6 Etnis
Penduduk Padang sebagian besar berasal dari etnis Minangkabau. Etnis lain yang juga
bermukim di sini adalah Jawa, Tionghoa, Nias, Mentawai, Batak, Aceh, dan Tamil.
Orang Minang di Kota Padang merupakan perantau dari daerah lainnya dalam Provinsi
Sumatra Barat. Pada tahun 1970, jumlah pendatang sebesar 43% dari seluruh penduduk,
dengan 64% dari mereka berasal dari daerah-daerah lainnya dalam provinsi Sumatra
Barat. Pada tahun 1990, dari jumlah penduduk Kota Padang, 91% berasal dari etnis
Minangkabau.
Orang Nias sempat menjadi kelompok minoritas terbesar pada abad ke-19. VOC
membawa mereka sebagai budak sejak awal abad ke-17. Sistem perbudakan diakhiri pada
tahun 1854 oleh Pengadilan Negeri Padang. Pada awalnya mereka menetap di Kampung
Nias, namun kemudian kebanyakan tinggal di Gunung Padang. Cukup banyak juga orang
Nias yang menikah dengan penduduk Minangkabau. Selain itu, ada pula yang menikah
dengan orang Eropa dan Tionghoa. Banyaknya pernikahan campuran ini menurunkan
persentase suku Nias di Padang.
Belanda kemudian juga membawa suku Jawa sebagai pegawai dan tentara, serta ada
juga yang menjadi pekerja di perkebunan. Selanjutnya, pada abad ke-20 orang Jawa
kebanyakan datang sebagai transmigran. Selain itu, suku Madura, Ambon dan Bugis juga
pernah menjadi penduduk Padang, sebagai tentara Belanda pada masa perang Padri.
Penduduk Tionghoa datang tidak lama setelah pendirian pos VOC. Orang Tionghoa di
Padang yang biasa disebut dengan Cina Padang, sebagian besar sudah membaur dan
biasanya berbahasa Minang. Pada tahun 1930 paling tidak 51% merupakan perantau
keturunan ketiga, dengan 80% adalah Hokkian, 2% Hakka, dan 15% Kwongfu.
Suku Tamil atau keturunan India kemungkinan datang bersama tentara Inggris.
Daerah hunian orang Tamil di Kampung Keling merupakan pusat niaga. Sebagian besar
dari mereka yang bermukim di Kota Padang sudah melupakan budayanya. Orang-orang
Eropa dan Indo yang pernah menghuni Kota Padang menghilang selama tahun-tahun di
antara kemerdekaan (1945) dan nasionalisasi perusahaan Belanda (1958).

2.7 Agama
Mayoritas penduduk Kota Padang memeluk agama Islam. Kebanyakan pemeluknya
adalah orang Minangkabau. Agama lain yang dianut di kota ini adalah Kristen, Buddha,
dan Khonghucu, yang kebanyakan dianut oleh penduduk bukan dari suku Minangkabau.

9
Beragam tempat peribadatan juga dijumpai di kota ini. Selain didominasi
oleh masjid, gereja dan klenteng juga terdapat di Kota Padang.
Masjid Raya Ganting merupakan masjid tertua di kota ini, yang dibangun sekitar
tahun 1700. Sebelumnya masjid ini berada di kaki Gunung Padang sebelum dipindahkan
ke lokasi sekarang. Beberapa tokoh nasional pernah salat di masjid ini di
antaranya Soekarno, Hatta, Hamengkubuwana IX dan A.H. Nasution. Bahkan Soekarno
sempat memberikan pidato di masjid ini. Masjid ini juga pernah menjadi tempat
embarkasi haji melalui pelabuhan Emmahaven (sekarang Teluk Bayur) waktu itu,
sebelum dipindahkan ke Asrama Haji Tabing sekarang ini.
Gereja Katholik dengan arsitektur Belanda telah berdiri sejak tahun 1933 di kota ini,
walaupun French Jesuits telah mulai melayani umatnya sejak dari tahun 1834, seiring
bertambahnya populasi orang Eropa waktu itu.
Dalam rangka mendorong kegairahan penghayatan kehidupan beragama terutama
bagi para penganut agama Islam pada tahun 1983 untuk pertama kalinya di kota ini
diselenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat nasional yang ke-13.

10
BAB III
PENILAIAN RESIKO
Terjadinya gempa dengan magnitudo M w 7.6 pada tahun 2009 yang telah meluluhlantakkan sebagian
besar wilayah di Sumatera Barat. Gempa tersebut menelan korban jiwa sebanyak 1.177 orang,
mencederai lebih dari 3.000 orang dan menyebabkan kerugian lebih dari Rp. 21,58 trilyun (BNPB,
2009). Sekitar 5 tahun sebelumnya, tepatnya pada akhir tahun 2004, juga telah terjadi gempa dengan
magnitudo Mw 9.1 di wilayah Aceh yang merupakan gempa terbesar ke-3 di dunia yang pernah
tercatat dalam sejarah kegempaan sejak abad ke-20 (USGS, 2015).
Serangkaian gempa yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia tersebut disebabkan oleh
posisi geografis Indonesia yang terletak pada Pacific Ring of Fire, yaitu suatu kawasan dimana
sejumlah besar gempa bumi dan letusan gunung berapi terjadi di cekungan Samudera Pasifik (the
basin of the Pacific Ocean). Kejadian gempa tersebut, khususnya yang memiliki magnitudo yang
besar (mega-magnitude earthquakes), dapat memicu terjadinya bencana susulan seperti tsunami,
tanah longsor (landslide) serta likuifaksi (liquefaction) pada tanah. Sebagai akibatnya, jumlah
kerugian dan korban jiwa akan semakin meningkat. Hal ini jelas terlihat saat terjadi gempa di Aceh
tahun 2004 yang memicu terjadinya tsunami dengan ketinggian maksimum lebih dari 50 m (NOAA,
2011). Tsunami yang ditimbulkan berdampak sangat luas, setidaknya 6 negara di Samudera Hindia
(Indonesia, Sri Langka, India, Thailand, Maladewa dan Somalia) terkena dampak dari bencana
tsunami tersebut yang menelan lebih dari 220.000 korban jiwa serta menyebabkan kerugian ekonomi
lebih dari $10 milyar (NOAA, 2015). Contoh lainnya, gempa Mw 7.6 yang terjadi pada tahun 2009 di
Sumatera Barat telah memicu terjadinya tanah longsor di beberapa titik wilayah di Sumatera Barat,
sehingga menambah jumlah kerugian dan korban jiwa (Chian, Whittle, Mulyani, Alarcon, &
Wilkinson, 2010; Wilkinson, Alarcon, Mulyani, Chian, & Whittle, 2009).
Beberapa kejadian gempa tersebut menekankan pentingnya kajian mengenai potensi terjadinya
bahaya lain yang dipicu oleh gempa, seperti tsunami, tanah longsor dan likuifaksi. Akan tetapi,
kajian-kajian tersebut jumlahnya masih sangat terbatas. Mulyani (2013) menyatakan bahwa mayoritas
kajian penilaian risiko gempa yang ada saat ini lebih menekankan kepada aspek kegempaan dan
belum menekankan kepada bahaya lain yang berpotensi terjadi setelah gempa. Berdasarkan data
historis, jumlah kerugian akibat bahaya lain tersebut seringkali malah lebih tinggi dibandingkan
dengan jumlah kerugian dan korban jiwa akibat gempa itu sendiri. Identifikasi bahaya gempa beserta
bahaya lain yang berpotensi terjadi sangatlah penting agar dapat dilakukan upaya penanganan atau
mitigasi bencana yang tepat dan efektif oleh pemerintah, pihak berwenang, maupun masyarakat. Hal
ini tentunya dapat menekan angka kerugian dan korban jiwa.
Terdapat 2 sumber gempa utama di Sumatera, yaitu Zona Patahan Sumatra (Sumatran Fault Zone)
dan Zona Subduksi Sumatra (Sumatran Subduction Zone). Zona patahan Sumatra membagi pulau
Sumatera dari utara ke selatan sepanjang ± 1900 km di sepanjang Bukit Barisan. Zona ini terbentuk

11
akibat konvergensi yang miring antara lempeng tektonik Indo-Australia dengan lempeng tektonik
Eurasia, sehingga menyebabkan pergerakan sesar mendatar dengan arah dekstral (McCaffrey, 2009).
Patahan Sumatera ini terbagi dalam beberapa segmen yang lebih kecil, sehingga magnitudo gempa
yang dihasilkan relatif lebih kecil daripada gempa pada Zona Subduksi Sumatera (Natawidjaja, 2002).
Walaupun demikian, gempa yang terjadi di daerah ini berpotensi untuk menimbulkan kerusakan
bangunan/gedung mengingat jarak episenternya yang dekat dengan daerah pemukiman penduduk.
Magnitudo gempa maksimum yang dihasilkan oleh zona patahan Sumatra ini adalah M w 7,5.
Sumber gempa lainnya di Sumatera adalah Zona Subduksi Sumatra yang merupakan daerah
pertemuan antara lempeng tektonik Indo-Australia dengan Eurasia. Zona subduksi ini terletak di
sepanjang pantai barat Sumatera dan memiliki potensi untuk menghasilkan gempa dengan magnitudo
yang besar. Data historis mencatat beberapa gempa besar yang terjadi pada zona ini, antara lain M w
8.8-9.2 pada tahun 1833, Mw 8.3-8.5 pada tahun 1861, Mw 9.1 pada tahun 2004, Mw 8.7 pada tahun
2005 dan Mw 8.4 pada tahun 2007. Gempa yang terjadi pada Zona Subduksi Sumatera berpotensi
memicu terjadinya tsunami di daerah tersebut atau yang sering dikenal dengan istilah tsunamigenic
earthquake. Akan tetapi, tidak seluruh gempa yang terjadi di daerah subduksi tersebut dapat
menimbulkan tsunami. Berdasarkan katalog tsunami di Sumatra (Gusiakov, 2012; NOAA, 2011),
90% tsunami yang terjadi disebabkan oleh gempa di daerah subduksi yang memiliki kedalaman pusat
gempa kurang dari 80 km dan magnitudo lebih besar dari M w 6,5 (Mulyani, 2013). Beberapa contoh
kejadian tsunami di Sumatera dalam satu dekade terakhir antara lain: tsunami yang terjadi di Aceh
pada tahun 2004, di Nias tahun 2005, di Bengkulu tahun 2007 dan di Mentawai tahun 2010.
Berdasarkan penjelasan mengenai kondisi tektonik di Sumatera tersebut, dapat disimpulkan bahwa
wilayah Sumatra (khususnya pada bagian sebelah barat) memiliki tingkat seismisitas yang tinggi
sehingga rentan terhadap bahaya gempa maupun tsunami.
Kita tidak bisa mencegah terjadinya gempa, tetapi kita bisa mengurangi risiko yang ditimbulkannya.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, gempa bumi tidak membunuh. Yang menyebabkan
kematian/korban jiwa adalah bangunan atau infrastruktur yang runtuh akibat gempa. Untuk itu,
sangatlah penting untuk membangun gedung dan infrastruktur yang memiliki ketahanan terhadap
gempa.
Terdapat beberapa miskonsepsi mengenai bangunan tahan gempa yang berkembang di masyarakat.
Pertama, bangunan tahan gempa bukan berarti bahwa bangunan tersebut pasti mampu menahan setiap
gempa yang terjadi tanpa adanya kerusakan. Akan tetapi, bangunan tahan gempa memiliki konsep
sebagai berikut:
 Bila terjadi gempa ringan, gempa tersebut tidak menimbulkan kerusakan baik elemen
struktural (contoh: kolom balok, sloof) maupun non-struktural (contoh: dinding, plafon) dari
gedung
 Bila terjadi gempa sedang, gedung boleh mengalami kerusakan elemen non-struktural (tetapi
dapat diperbaiki), akan tetapi komponen struktural tidak rusak.

12
 Bila terjadi gempa besar, gempa tersebut menimbulkan kerusakan elemen struktural dan non-
struktural, tetapi struktur tidak roboh (mekanisme keruntuhan gedung sudah direncanakan)
Kedua, perencanaan bangunan tahan gempa tidak dilakukan berdasarkan suatu magnitudo gempa
tertentu, melainkan berdasarkan respon gerakan tanah yang terjadi akibat gempa tersebut. Respon
gerakan tanah tersebut seringkali dinyatakan dalam bentuk percepatan muka tanah atau PGA (Peak
Ground Acceleration). Nilai PGA tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jarak suatu
lokasi terhadap episentre gempa, kedalaman fokus gempa maupun jenis tanah/batuan di lokasi
tersebut. Untuk keperluan perencanaan bangunan, nilai PGA ini diperoleh secara probabilistik untuk
suatu daerah tertentu berdasarkan katalog gempa pada daerah tersebut. Nilai respon percepatan tanah
untuk seluruh wilayah di Indonesia telah ditetapkan dalam standar perencanaan ketahanan gempa
untuk bangunan/gedung Indonesia.
Indonesia telah memiliki standar perencanaan ketahanan gempa untuk bangunan/gedung sejak tahun
1983 (PPTGIUG-1983). Standar gempa itu kemudian direvisi menjadi SNI 03-1726:2002 pada tahun
2002. Adanya informasi terbaru di bidang seismologi dan perubahan tingkat seismisitas di beberapa
wilayah Indonesia telah melatarbelakangi dilakukan kembali revisi standar gempa tersebut yang
kemudian dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional pada tahun 2012 (SNI-1726:2012).
Akan tetapi, Indonesia masih belum memiliki standar perencanaan ketahanan bangunan terhadap
tsunami. Namun, standar perencanaan dari negara lain seperti FEMA-646 dari USA untuk sementara
dapat diadopsi bagi perencanaan shelter evakuasi vertikal tsunami.
Jika ditinjau dari usia keberadaan standar gempa tersebut, seharusnya bangunan-bangunan di
Indonesia telah memiliki ketahanan yang cukup baik terhadap gempa. Akan tetapi, berdasarkan
observasi pasca gempa, banyak ditemukan bangunan dan infrastruktur yang rusak berat bahkan
hancur, seperti yang terlihat jelas saat gempa di Sumatera Barat pada tahun 2009 dan 2007 silam.
Dari hasil survei lapangan pasca gempa Sumbar 2009, dapat disimpulkan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap kegagalan struktur bangunan antara lain: 1). Penggunaan kualitas material
yang tidak memenuhi spesifikasi perencanaan; 2). Perencanaan bangunan yang tidak memenuhi
kaidah bangunan tahan gempa; 3). Ketidaktepatan detail konstruksi; serta 4). Pelaksanaan pekerjaan
yang kurang baik. Padahal, hal-hal tersebut telah diatur dalam standar perencanaan bangunan tahan
gempa Indonesia. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa penerapan standar gempa tersebut baik
dari segi perencanaan, pengawasan dan pelaksanaan konstruksi di Indonesia masih belum optimum.
Pada umumnya, struktur bangunan yang lazim ditemui di Indonesia dapat digolongkan menjadi
beberapa tipe yaitu: 1). Struktur dinding bata tanpa kekangan (Unconfined Brick Masonry atau UBM);
2). Struktur dinding bata terkekang (Confined Brick Masonry atau CBM); 3). Struktur rangka beton
bertulang dengan dinding pengisi dari batu bata (Reinforced Concrete with Masonry Infill atau RCI);
dan 4). Struktur baja (Steel Construction). Dari keempat jenis struktur bangunan tersebut, yang paling
rentan terhadap gempa dan tsunami adalah struktur dinding bata tanpa kekangan. Jika tingkat risiko
masing-masing jenis struktur tersebut dinyatakan dalam total premium, maka total premium untuk

13
struktur UBM, CBM, RCI dan steel adalah 36.4‰, 16.6‰, 8.1‰ and 3.1‰ per tahun. Sedangkan
untuk tsunami, total premium dari keempat jenis struktur tersebut adalah 11.7‰, 9.9‰ per tahun
untuk UBM dan CBM serta 7‰ per tahun untuk RCI dan steel (Mulyani, 2013).
Berdasarkan hasil analisis risiko di atas, tingkat risiko seluruh bangunan di Kota Padang akan
mencapai lebih dari Rp. 800 juta per tahun jika bangunan tersebut tidak dibangun sesuai dengan
kaidah perencanaan bangunan tahan gempa. Risiko tersebut akan mengalami penurunan sebanyak
80% jika bangunan/gedung dibangun sesuai dengan standar gempa yang ada. Selain itu, bangunan
yang didesain terhadap gempa juga akan memiliki ketahanan yang lebih terhadap tsunami, khususnya
bagi jenis struktur yang memiliki massa yang berat seperti beton bertulang dan struktur baja.
Bangunan yang tidak memiliki ketahanan terhadap gempa berpotensi menanggung risiko tsunami
rata-rata sekitar Rp. 460 juta pertahun, dan risiko kerugian akibat tsunami tersebut dapat berkurang
25% jika bangunan memiliki ketahanan terhadap gempa.
Selain itu, hasil kajian penilaian resiko menunjukkan bahwa kerugian yang terjadi akibat gempa M w
7,6 di Sumatera Barat pada tahun 2009 lalu dapat jauh berkurang apabila bangunan/gedung dibangun
sesuai dengan standar gempa yang berlaku. Untuk Kota Padang, estimasi kerugian yang terjadi akibat
gempa tersebut dapat berkurang dari Rp. 16 trilyun menjadi Rp. 8 trilyun atau dapat mengurangi
resiko sebanyak 50%. Hal ini tentunya akan berdampak langsung terhadap pengurangan jumlah
korban jiwa.
Mempertimbangkan tingkat risiko gempa dan tsunami yang sangat tinggi di Sumatera Barat, maka
perlu dilakukan upaya optimalisasi penerapan standar perencanaan bangunan tahan gempa. Untuk itu,
sosialisi standar gempa tersebut maupun standar konstruksi lainnya perlu dilaksanakan secara
berkesinambungan terhadap masyarakat, khususnya yang berkecimpung dalam bidang jasa
konstruksi. Upaya untuk mengedukasi masyarakat jasa konstruksi tersebut dapat diwujudkan melalui
kolaborasi antara berbagai pihak seperti Kementrian Pekerjaan Umum beserta SKPD terkait,
akademisi, asosiasi profesi dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK)..
Selain itu, juga diperlukan payung hukum bagi penerapan standar-standar bangunan gedung dalam
perencanaan dan pelaksanaan konstruksi bangunan di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat. Sesuai
dengan amanah UU No. 28 Tahun 2002, pemerintah daerah perlu menerbitkan peraturan daerah
tentang bangunan gedung. Dan sejak tahun 2011, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sudah
menerbitkan Peraturan Daerah tersebut (Perda Pemprov Sumbar No. 6 Tahun 2011). Menurut data
dari Kementrian PU (2015), dari 19 Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Barat, 17 diantaranya telah
memiliki Perda bangunan dan gedung. Sedangkan 2 Kabupaten/Kota lainnya, yaitu Kota Padang dan
Kabupaten Kepulauan Mentawai, telah memiliki Ranperda dan sedang dalam tahapan Program
Legislasi Daerah (Prolegda). Hal ini tentu saja perlu diapresiasi sebagai langkah awal
penyelenggaraan bangunan gedung yang lebih baik di daerah Sumatera Barat. Namun, hal yang paling
penting adalah bagaimana mengimplementasikan amanah dari UU dan peraturan bangunan gedung
tersebut. ANTARA (2014) melaporkan terdapat beberapa hal yang belum dilakukan terkait dengan

14
UU Bangunan Gedung antara lain pelaksanaan pemeriksaan berkala, penerbitan Sertifikat Laik
Fungsi, serta pembentukan Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) di daerah. Hal-hal tersebut perlu
menjadi prioritas bagi pemerintah daerah dalam rangka mengurangi risiko gempa dan tsunami di
Sumatera Barat.
Pada tahun 2011, terjadi gempa besar di Jepang dengan magnitudo M w 9.0 dengan episentre di lepas
pantai Tohoku, Jepang. Gempa tersebut juga memicu tsunami dengan ketinggian maksimum
mencapai lebih dari 40 m. Intensitas tsunami yang ditimbulkan pada kejadian tersebut hampir sama
dengan Tsunami Aceh pada tahun 2004. Namun, tsunami di Jepang tersebut menelan korban jiwa
sekitar 16.000 orang, atau hanya 7% dari jumlah korban jiwa akibat tsunami di Aceh tahun 2004. Jika
kita cermati lebih lanjut, tentu ada suatu hal yang menyebabkan besarnya perbedaan jumlah korban
jiwa antara kedua kejadian tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan upaya manajemen risiko bencana
yang telah diterapkan oleh pemerintah Jepang untuk mengurangi risiko tsunami di daerah tersebut.
Secara umum, risiko suatu bencana merupakan fungsi dari bahaya (hazard) dan kerentanan
(vulnerability). Jadi, upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko bencana adalah dengan
mengurangi bahaya, mengurangi kerentanan, atau dengan mengurangi keduanya. Khusus untuk
gempa bumi dan tsunami, upaya untuk mengurangi bahaya tidak mungkin dilakukan, sehingga satu-
satunya cara untuk mengurangi resiko adalah dengan mengurangi kerentanan (vulnerability). Untuk
itu, dibutuhkan manajemen bencana yang terdiri dari 4 fase utama, yaitu mitigasi (mitigation),
kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat (response), dan pemulihan (recovery).
Mitigasi merupakan suatu upaya berkelanjutan yang dilakukan untuk mengurangi/menghilangkan
resiko jangka panjang terhadap elemen resiko akibat suatu bahaya tertentu atau sering juga dikenal
sebagai langkah pencegahan (prevention). Implementasi standar perencanaan bangunan seperti yang
telah saya uraikan sebelumnya merupakan salah satu bentuk upaya mitigasi bencana. Selain itu,
perencanaan tata ruang dan lahan serta relokasi perumahan di daerah rawan gempa (khususnya di
daerah patahan gempa) dan rawan tsunami merupakan alternatif lain yang dapat dilakukan oleh
pemerintah.
Fase ke-2 dari manajemen bencana adalah kesiapsiagaan (preparedness) yang merupakan
perencanaan dan persiapan yang dilakukan untuk melindungi elemen resiko dan memfasilitasi
kegiatan operasi tanggap darurat saat terjadinya bencana. Bentuk-bentuk kegiatan kesiapsiagaan
gempa dan tsunami dari segi pemerintah daerah antara lain menyiapkan Emergency Operations Plans
(EOP), melakukan pelatihan-pelatihan terhadap personil yang terkait langsung dengan operasi
tanggap darurat, memberikan edukasi kepada masyarakat dalam bentuk simulasi gempa dan tsunami
secara berkala, menyiapkan jalur evakuasi tsunami serta pembangunan shelter untuk evakuasi baik
secara horizontal maupun vertikal.
Khusus untuk pembangunan bangunan shelter untuk evakuasi vertikal, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan oleh pemerintah daerah, yaitu kekuatan, kapasitas dan aksesibilitas shelter yang
dibangun. Secara umum, bangunan shelter tsunami harus memiliki kapasitas untuk menahan beban

15
gempa dan tsunami, padahal beban gempa dan tsunami memiliki perilaku yang berbeda. Agar dapat
menahan gempa, lebih diutamakan penggunaan material konstruksi yang ringan dengan struktur yang
daktail. Sedangkan untuk beban tsunami, dibutuhkan material konstruksi yang berat untuk menahan
gaya apung dan gaya angkat akibat tsunami. Selain itu, analisa pembebanan tsunami dalam
perencanaan gedung juga jauh lebih kompleks. Setidaknya, terdapat 8 gaya tambahan yang perlu
diperhitungkan dalam perencanaan bangunan tsunami, yaitu gaya hidrostatis (hydrostatic forces),
gaya apung (buoyant forces), gaya hidrodinamik (hydrodynamic forces), gaya gelombang (surge
forces), gaya tumbuk (impact forces), gaya akibat puing-puing (debris) yang terbendung, gaya angkat
(uplift forces) serta gaya tambahan lain akibat air yang tertahan pada bangunan (FEMA P646, 2008;
Yeh, Robertson, & Preuss, 2005). Untuk itu, perlu kecermatan dan kehati-hatian dalam
penyelenggaraan pembangunan bangunan shelter tsunami tersebut agar nantinya tidak menjadi
perangkap mati (dead trap) bagi para pengungsi.
Dari segi kapasitas, shelter tsunami harus memiliki kapasitas untuk menampung populasi masyarakat
yang ada di sekitar shelter tersebut. Sedangkan dari segi aksesibilitas, shelter tsunami harus dibangun
di lokasi yang mudah dijangkau masyarakat serta jarak antara shelter tersebut tidak boleh terlalu
berjauhan. Park et al. (2012) menyatakan bahwa shelter yang terdistribusi dengan baik akan
menciptakan survival probability yang lebih baik pula. Jika waktu kedatangan tsunami di Kota
Padang diprediksi sekitar 25 menit setelah terjadinya gempa, kecepatan melangkah rata-rata 1,381
m/s, dan waktu tunda sebelum orang melakukan upaya evakuasi (average recognition level) adalah 5
menit, maka jarak maksimum ke lokasi shelter tsunami di Kota Padang adalah 1,66 km.
Fase ke-3 dari manajemen bencana adalah tanggap darurat (response) yang merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk memberikan bantuan darurat, mengurangi kerusakan dan mempercepat pemulihan
akibat terjadinya suatu bencana. Kegiatan tanggap darurat untuk gempa dan tsunami meliputi
pemberian peringatan dini (early warning system), upaya pencarian dan evakuasi korban, penyediaan
fasilitas kesehatan, penyediaan logistik dan supply, manajemen penyediaan jaringan telekomunikasi,
keamanan serta transportasi dll.
Fase ke-4, yaitu pemulihan (recovery), merupakan segala kegiatan yang dilakukan untuk
mengembalikan keadaan ke kondisi normal atau memperbaikinya pasca terjadinya bencana. Kegiatan
yang dapat dilakukan seperti: pembangunan dan perbaikan infrastruktur, program rehabilitasi sosial,
pemberian ganti rugi terhadap bangunan masyarakat yang rusak, penciptaan lapangan kerja, dll.
Menurut Alexander (2002) pengurangan resiko bencana yang baik dan berkesinambungan dapat
dicapai dengan memperkuat fase mitigasi dan kesiapsiagaan. Untuk itu, upaya untuk mengurangi
resiko gempa bumi dan tsunami di Sumatera Barat membutuhkan peran serta dari pemerintah dan
seluruh elemen masyarakat.

16
BAB IV
PENETAPAN STRATEGI TANGGAP DARURAT

4.1 Dasar-Dasar Tanggap Darurat


Tanggap Darurat adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan segera sesudah kejadian
bencana oleh lembaga pemerintah atau non pemerintah. Tujuan umum dari tanggap
darurat adalah:
1. Memastikan keselamatan sebanyak mungkin korban dan menjaga mereka dalam
kondisi kesehatan sebaik mungkin.
2. Menyediakan kembali kecukupan diri dan pelayanan-pelayanan dasar secepat
mungkin bagi semua kelompok populasi, dengan perhatian khusus bagi mereka yang
paling membutuhkan yaitu kelompok paling rentan baik dari sisi umur, jenis kelamin
dan keadaan fisiknya.
3. Memperbaiki infrastruktur yang rusak atau hilang dan menggerakkan kembali
aktivitas ekonomi yang paling mudah.
4. Dalam situasi konflik kekerasan, tujuannya adalah melindungi dan membantu
masyarakat sipil dengan memahami bentuk kekerasan yang mungkin manifestasinya
berbeda bagi korban lelaki, perempuan dan anak-anak. Kekerasan dalam situasi
konflik yang dialami perempuan seperti kekerasan seksual tak selalu mudah
terungkap terutama jika kaum lelaki dari kelompok korban menyembunyikan fakta itu
untuk menjaga harga diri kelompok.
5. Dalam kasus pengungsian, tujuannya adalah mencari solusi-solusi yang bertahan lama
secepat mungkin.

Secara umum proses tanggap darurat meliputi:


1. Siaga Darurat Setelah ada peringatan maka aktivitas yang pertama kali dilakukan
adalah siaga darurat. Peringatan mengacu pada informasi yang berkaitan dengan jenis
ancaman dan karakteristik yang diasosiasikan dengan ancaman tersebut. Peringatan
harus disebarkan dengan cepat kepada institusi-institusi pemerintah, lembaga-
lembaga, dan masyarakat yang berada di wilayah yang berisiko sehingga tindakan-
tindakan yang tepat dapat diambil, baik mengevakuasi atau menyelamatkan
properti/aset dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Peringatan dapat disebarkan
melalui radio, televisi, media massa tulis (internet), telepon, dan telepon genggam.

17
2. Pengkajian Cepat Tujuan utama pengkajian adalah menyediakan gambaran situasi
paska bencana yang jelas dan akurat. Dengan pengkajian itu dapat diidentifikasikan
kebutuhan-kebutuhan seketika serta dapat mengembangkan strategi penyelamatan
jiwa dan pemulihan dini. Oleh karena itu tools pengkajian cepat ini harus responsif
pada kebutuhan korban yang beragam dari sisi umur, gender dan keadaan fisik dan
kebutuhan khususnya. Sebab pengkajian menentukan pilihan-pilihan bantuan
kemanusiaan, bagaimana menggunakan sumber daya sebaik-baiknya, atau
mengembangkan permintaan/proposal bantuan berikutnya. Kaji cepat dialkukan pada
umumnya dengan menggunakan beberapa indikator diantaranya adalah :
a. Jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka
b. Tingkat kerusakan infrastruktur
c. Tingkat ketidakberfungsian pelayanan-pelayanandasar
d. Cakupan wilayah bencana
e. Kapasitas pemerintah setempat dalam merespon bencanatersebut
3. Penentuan Status Kedaruratan Penentuan status kedaruratan dilakukan setelah
pengkajian cepat dilakukan. Penentuan status dilakukan oleh pemerintah setelah
berkoordinasi dengan tim pengkaji. Penentuan status dilakukan sesuai dengan skala
bencana, dan status kedaruratan dibagi menjadi tiga
a. Darurat nasional
b. Darurat propinsi
c. Darurat kabupaten/kota
Saat status kedaruratan ditetapkan, tindakan yang dilakukan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana adalah membentuk satuan komando tanggap darurat yang
dipimpin kepala BNPB atau BPBD. Memberikan kemudahan akses dalam pengerahan
sumber daya manusia, pengerahan peralatan, pengerahan logistik, imigrasi-cukai-
karantina, izin operasi, pengadaan barang dan jasa, pengelolaan bantuan, pengelolaan
informasi, pengelolaan keuangan, penyelamatan, komando terhadap sektor-sektor
terkait.
4. Search and Rescue (SAR)
Search and rescue (SAR) adalah proses mengidentifikasikan lokasi korban
bencana yang terjebak atau terisolasi dan membawa mereka kembali pada kondisi
aman serta pemberian perawatan medis. Dalam situasi banjir, SAR biasanya mencari
korban yang terkepung oleh banjir dan terancam oleh naiknya debit air. SAR
dilakukan baik dengan membawa mereka ke tempat aman atau memberikan makanan
18
dan pertolongan pertama lebih dahulu hingga mereka dapat dievakuasi. Dalam kasus
setelah gempa bumi, SAR biasanya terfokus pada orang-orang yang terjebak atau
terluka di dalam bangunan yang roboh.
5. Pencarian, Penyelamatan dan Evakuasi(PPE)
6. Evakuasi melibatkan pemindahan warga/masyarakat dari zona berisiko bencana ke
lokasi yang lebih aman. Perhatian utama adalah perlindungan kehidupan masyarakat
dan perawatan segera bagi mereka yang cedera. Evakuasi sering berlangsung dalam
kejadian seperti banjir, tsunami, konflik kekerasan, atau longsor (yang bisa juga
diawali oleh gempa bumi). Evakuasi yang efektif dapat dilakukan jika ada:
a. Sistem peringatan yang tepat waktu dan akurat.
b. Identifikasi jalur evakuasi yang jelas dan aman.
c. Identifikasi data dasar tentang penduduk.
d. Kebijakan/peraturan yang memerintahkan semua orang melakukan evakuasi
ketika perintah diberikan.
e. Program pendidikan publik yang membuat masyarakat sadar tentang rencana
evakuasi.
Dalam kasus bencana yang terjadi perlahan-lahan seperti kekeringan parah,
perpindahan orang dari wilayah berisiko ke tempat yang lebih aman, proses evakuasi
ini disebut sebagai migrasi akibat krisis. Perpindahan ini biasanya tidak terorganisasi
dan dikoordinasi oleh otoritas tetapi respon spontan dari para migran untuk mencari
jalan keluar di tempat lain.
7. Respon and Bantuan (Response and Relief)
Response and relief harus berlangsung sesegera mungkin; penundaan tidak
bisa dilakukan dalam situasi ini. Oleh karena itu, sangat penting untuk memiliki
rencana kontinjensi sebelumnya. Relief adalah pengadaan bantuan kemanusiaan
berupa material dan perawatan medis yang dibutuhkan untuk menyelamatkan dan
menjaga keberlangsungan hidup. Relief juga memampukan keluarga-keluarga untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pakaian, air, makanan,
dan medis. Perhatikan kebutuhan khusus bagi bayi, perempuan yang baru
melahirkan/sedang mentsruasi atau perempuan manula. Kebutuhan dasar juga harus
mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan keamanan dan kenyamanan.
Penyediaan bantuan atau layanan biasanya bersifat gratis pada hari-hari atau minggu-
minggu sesudah terjadinya bencana. Dalam situasi darurat yang perlahan-lahan

19
namun sangat merusak dan meningkatkan pengungsian populasi, masa pemberian
bantuan darurat dapat diperpanjang.
8. Pengkajian untuk rehabilitasi danrekonstruksi.
Beberapa minggu sesudah berlangsungnya tanggap darurat, pengkajian yang
lebih mendalam tentang kondisi masyarakat korban bencana harus dilakukan.
Langkah ini berkaitan dengan identifikasi kebutuhan pemulihan masyarakat. Fokus
pengkajian bergeser ke hal-hal vital yang dibutuhkan masyarakat supaya mereka
mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara normal. Instrumen pengkajian itu harus
cukup lengkap dalam mengidentifikasi kebutuhan yang sangat beragam.
Hal-hal yang perlu diperhatikan selama tanggap darurat, yaitu :
a. Logistik dan Suplai
Pemberian bantuan darurat membutuhkan fasilitas dan kapasitas logistik.
Pelayanan suplai yang terorganisasi dengan baik sangat penting dalam menangani
pengadaan barang atau tanda terima, penyimpanan/gudang, pengaturan. Layanan
pasokan yang terorganisasi dengan baik sangat penting untuk menangani
pengadaan, penerimaan dan penyimpanan. Demikian halnya komunikasi untuk
pengaturan suplai bantuan yang didistribusikan kepada korban.
b. Manajemen Informasi dan Komunikasi
Semua aktivitas di atas tergantung pada komunikasi. Ada dua aspek komunikasi
dalam bencana. Pertama adalah alat komunikasi untuk penyaluran informasi
seperti radio, telepon, dan sistem pendukung seperti satelit, listrik, charger dan
jalur transmisi. Kedua adalah manajemen informasi yaitu protokol untuk
mengetahui siapa memberikan informasi apa kepada siapa, prioritas apa yang
diberikan dalam komunikasi, bagaimana informasi disebarkan dan ditafsirkan.
c. Respon dan Kemampuan Korban
Dalam situasi tergesa-gesa untuk merencanakan dan melakukan operasi bantuan,
sangat mungkin terjadi kurangnya perhatian pada kebutuhan dan sumber daya riil
para korban. Untuk itulah pengkajian harus mempertimbangkan mekanisme
kearifan lokal yang sudah ada yang mungkin dapat memberdayakan masyarakat
dan tak terlalu bergantung kepada bantuan luar. Di sisi lain, para korban mungkin
memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus dan baru dalam pelayanan sosial untuk
menyesuaikan diri dengan trauma dan gangguan akibat bencana. Partisipasi
anggota dan organisasi masyarakat dalam tanggap darurat penting bagi proses
pemulihan dini.
20
d. Keamanan
Keamanan kadang-kadang tidak menjadi isu utama sesudah bencana. Namun,
potensi bahaya setelah bencana bisa muncul kapan saja. Keamanan dapat ditinjau
dari dua hal. Pertama, keamanan yang berkaitan dengan kejadian bencana lanjutan
seperti gempa susulan atau robohnya bangunan yang rapuh. Kedua, keamanan
yang berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan semasa tanggap darurat misalnya
pencurian, penjarahan, pencegatan bantuan secara liar, dll. Khusus dalam isu
kekerasan etnis atau konflik SARA, bentuk keamanan yang harus diwaspadai
adalah penyerangan kepada kelompok lawan dengan memanfaatkan kerentanan
kaum perempuan hingga terjadi perkosaan oleh kelompok yang lebih kuat.
Kegiatan keamanan dapat menciptakan situasi yang lebih kondusif bagi proses
tanggap darurat.

No Permasalahan Kebijakan Strategi

Adanya surat pernyataan


Memerintahkan seluruh satuan
darurat bencana dari
kerja perangkat aerah (SKPD)
1 Gempa dan Tsunami pimpinan daerah dengan
yang terkait untuk segera
masa tanggap darurat selama
menindaklanjuti
90 hari
- Membuka pos pelayanan
kesehatan 24 jam
Memberikan pelayangan - Menyiapkan ambulance
Korban luka luka
kesehatan gratis bagi korban - Melakukan layanan
2 (ringan, berat dan
bencana selama masa tanggap rujukan ke fasilitas
patah tulang)
darurat kesehatan yang memadai
- Mobilisasi tenaga
kesehatan, obat logistik
3 Korban meninggal Melakukan identifikasi - POLRI/DVI melakukan
jenazah bagi jenazah yang identifikasi terhadap
tidak dikenal identitasnya korban meninggal tanpa
identitas bekerjasama
dengan akademisi FK
setempat (Tim Forensik)

21
- Bekerja sama dengan LSM
dan media
- Pencatatan dan pelaporan
hasil identifikasi terhadap
korban
- Menjaga kesehatan
lingkungan
- Melakukan surveilans
penyakit
- Mengawasi penyediaan
Menjaga kesehatan para
4 Pengungsian makanan dan pengawasan
pengungsi
kualitas air
- Pelayanan kesehatan
reproduksi
- Pengendalian penyakit
- Pelayanan kesehatan jiwa
Membuka pos kesehatan di
rumah penduduk, kantor desa,
Fasilitas kesehatan Pelayanan kesehatan tetap kantor kecamatan dan
5
rusak harus berjalan mendirikan tenda dan
mendirikan rumah sakit
lapangan
Tidak tersedianya
6 data tentang status Pemantauan status gizi Melakukan survey gizi
gizi pengungsi
7 Keterbatasan stok Penyediaan obat dan - Mengajukan permintaan
obat dan perbekalan pembekalan kesehatan obat dan perbekalan
kesehatan di instalasi kesehatan ke dinas
farmasi untuk korban kesehatan provinsi
bencana - Mengusulkan pengadaan
obat melalui dana DSP
- Mengawasi penggunaan
dan distribusi obat obatan

22
dan perbekalan kesehatan
- Pencatatan laporan
penggunaan dan distribusi
obat obatan dan perbekalan
kesehatan
Berkoordinasi dengan badan
Memastikan tidak munculnya penanggulangan bencana dan
8 Risiko ikutan
risiko ikutan terus memantau informasi
terkini

23
BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perencanaan kontinjensi merupakan salah satu dari berbagai rencana yang digunakan
dalam siklus manajemen risiko. Perencanaan kontijensi dilakukan ketika terdapat potensi
untuk terjadinya bencana atau pada tahap aktivitas kesiapsiagaan. Siklus manajemen
risiko tersebut (termasuk perencanaan kontijensi) digunakan dalam pengelolaan bencana
berbasis kewilayahan. Perencanaan Kontinjensi meliputi situasi potensi bencana, di mana
skenario, kebutuhan sumber daya (analisa kesenjangan) kesepakatan jumlah sektor dan
tujuan disepakati, tindakan teknis dan manajerial ditetapkan, dan sistem tanggapan dan
pengarahan potensi disetujui bersama, untuk mencegah, atau menanggulangi secara lebih
baik dalam situasi darurat, rencana kontinjensi memastikan warga dalam menyelamatkan
diri, serta mendapatkan hak-hak dasar serta upaya untuk memulihkan kembali kehidupan
dan penghidupannya secara mandiri. Masyarakat sangat perlu mempunyai modalitas
pengetahuan risiko yang benar dan rencana-rencana kesiapan yang memadai dan
disepakati bersama untuk mengantisipasi kemungkinan kejadian bencana.

4.2 Saran
Semoga dengan adanya pembuatan rencana kontigensi ini dapat memperkecil resiko
terjadinya bencana di Kota Padang ataupun didaerah-daerah lainya, karena telah ada
persiapan sebelum bencana itu terjadi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat
menambah wawasan pembaca.

24
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, D. (2002). Principles of emergency planning and management. New york: Oxford
University Press.
ANTARA. (2014). Pemerintah Harapkan Pemda Terbitkan Perda Bangunan Gedung. ANTARA
Sumbar. Retrieved from
http://www.antarasumbar.com/berita/nasional/d/0/370780/pemerintah-harapkan-pemda-
terbitkan-perda-bangunan-gedung.html
BNPB. (2009). Laporan Harian PUSDALOPS BNPB - 19 Oktober 2009. Jakarta: BNPB.
Chian, S. C., Whittle, J., Mulyani, R., Alarcon, J. E., & Wilkinson, S. M. (2010). Post Earthquake
Field Investigation of the Mw 7.6 Padang Earthquake of 30th September 2009. Paper
presented at the 14ECEE, Macedonia.
Colombijn, Freek (2006). Paco-Paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di Indonesia pada
Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
FEMA P646. (2008). Guidelines for Design of Structures for Vertical Evacuation from Tsunamis.
Washington, D.C.: Federal Emergency Management Agency.
Gusiakov, V. K. (2012). Tsunami Catalogs. Retrieved 30 April 2012, from Tsunami Laboratory,
Novosibirsk, Russia tsun.sscc.ru/
Kementrian PU. (2015). Situs Informasi dan Database, Perda Bangunan Gedung dan Implementasinya
di Indonesia. Tabel Klasifikasi Status Perda BG Provinsi Sumatera Barat. from
http://perdabg.com/perda_bg/database/Sumatera_Barat
McCaffrey, R. (2009). The Tectonic Framework of The Sumatran Subduction Zone. The Annual
Review of Earth and Planetary Science, 37, 345-366.
Mulyani, R. (2013). Extended Framework for Earthquake and Tsunami Risk Assessment: Padang City
A Case Study. (PhD), The University of Sheffield, Sheffield, UK.
Natawidjaja, D. H. (2002). Neotectonics of the Sumatran Fault and Paleogeodesy of the Sumatran
Subduction. California: PhD Thesis, California Institute of Technology.
NOAA. (2011). Tsunami Data and Information. Retrieved August 8, 2011, from
http://www.ngdc.noaa.gov/hazard/tsu.shtml
NOAA. (2015). December 26, 2004 Sumatra Indonesia Earthquake and Tsunami. Retrieved April 5,
2015, from http://www.ngdc.noaa.gov/hazardimages/event/show/51
Park, S., van de Lindt, J. W., Gupta, R., & Cox, D. (2012). Method to determine the locations of
tsunami vertical evacuation shelters. Natural Hazards, 63(2), 891-908.
USGS. (2015). Largest Earthquakes in the World Since 1900. Earthquake Hazards Program.
Retrieved April 14, 2015, from
http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/world/10_largest_world.php

25
Utama, G.R. 2020. Perkembangan Guna Lahan Pemukiman Kota Padang terhadap Resiko
Kerawanan Bencana Tsunami. Padang : Universitas Bung Hatta.
Wilkinson, S. M., Alarcon, J. E., Mulyani, R., Chian, D., & Whittle, J. (2009). The Padang Sumatra-
Indonesia Earthquake of 30 September 2009, A Field Report by EEFIT. London: Earthquake
Field Investigation Team (EEFIT)-Institution of Structural Engineers UK.
Yeh, H., Robertson, I., & Preuss, J. (2005). Development of design guidelines for structures that serve
as tsunami vertical evacuation sites. Olympia, Washington: Washington Department of
Natural Resources, Division of Geology and Earth Resources.

26

Anda mungkin juga menyukai