Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT
berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Usaha Pemerintah Kota Surabaya Dalam Rangka Konservasi Daerah Hutan
Mangrove Sebagai Bagian Dari Pembangunan Yang Berkelanjutan dengan
tepat waktu. Karya tulis ini merupakan tugas dalam penyelesaian mata kuliah
Monev Administrasi/ Manajemen Pendidikan.
Wilayah yang menjadi objek survei penulis adalah lingkup wilayah
Surabaya khususnya daerah ekowisata Mangrove Wonorejo. Makalah ini berisi
tentang potensi dan masalah kawasan pesisir di Mangrove Wonorejo kaitanya
dengan upaya pemerintah kota Surabaya untuk melakukan konservasi dan
pelestarian sumberdaya di daerah pesisir sesuai dengan Tujuan ke 14 dari SDGs.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing mata
kuliah Monev Administrasi/ Manajemen Pendidikan serta kepada semua pihak
yang telah ikut berpartisipasi dan membantu dalam penyusunan laporan ini baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Melalui makalah ini kami berharap dapat memberikan manfaat kepada penulis
sendiri serta kepada pembaca dalam rangka mengembangkan suatu kawasan
pesisir di masa mendatang. Pada akhirnya saya selaku penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca guna menyempurnakan makalah ini menjadi lebih
baik.
DAFTAR ISI

halaman
KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 3
1.1. RUMUSAN MASALAH ...................................................................................... 5
1.2. TUJUAN MAKALAH .......................................................................................... 6
1.3. MANFAAT MAKALAH ...................................................................................... 6
1.4. SISTEMATIKA PENULISAN................................................................................ 6
BAB II ................................................................................................................................... 8
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 8
2.1. Mangrove ........................................................................................................ 8
2.2. Klasifikasi Ekosistem mangrove .................................................................... 10
2.3. Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ............................................................ 11
BAB III ................................................................................................................................ 14
PEMBAHASAN ............................................................................................................... 14
3.1. Manfaat Hutan Mangrove Bagi Surabaya Sebagai Kota Pesisir .................... 14
3.2. Usaha Konservasi dan Kendala Yang Dihadapi Pemerintah Khususnya Kota
Surabaya terhadap Hutan Mangrove di Wilayahnya ................................................ 20
Kesimpulan........................................................................................................................ 27
Daftar Pustaka................................................................................................................... 28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia, dikenal sebagai negeri maritim. Tak kurang dari Tujuh Belas ribu
Delapan Ratus Empat Puluh Pulau menghiasi wilayah perairan Indonesia. Total
luas perairan laut Indonesia berada di angka luasan kurang lebih 8.800.000 Km2.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang
Kemaritiman dengan melibatkan Badan Informasi Geo Spasial (BIG) dan Pusat
Hidrografi dan Oseanografi (Pushidros) TNI Angkatan Laut menunjukkan bahwa
panjang garis pantai Indonesia tahun 2018 adalah 108.000 Km. Dengan Garis
pantai sepanjang itu, membuat garis pantai kita terpanjang nomor dua di dunia.
Keeksotisan laut Indonesia bukan lagi menjadi isapan jempol. Laut dan
garis pantai Indonesia memliki potensi strategis sebagai sumber ekonomi dan
sumber kekayaan mineral tiada batas. Kekayaan ikan yang tak terhingga, hingga
milyaran dolar aneka barang tambang seperti minyak dan gas bumi, timah, batu
bara, gas bumi punya kontribusi yang amat masif bagi masyarakat Indonesia.
Namun, dibalik indahnya deburan ombak. Gelombang laut Indonesia
menyimpan beragam kekhawatiran dan ancaman. Ancaman tersebut berwujud
bencana alam yang muncul dari laut. Sebut saja abrasi pulau, badai tengah laut
yang membawa ombak tinggi, hingga yang paling mematikan: tsunami.
Bencana pertama berwujud abrasi. Abrasi besar-besaran sudah sejak
lama terdeteksi di ribuan pulau-pulau kecil di Indonesia. Bahkan abrasi pun makin
mengancam pulau-pulau kecil yang selama ini menjadi pertanda batas negeri
Indonesia dengan negara lain. Abrasi sedikitnya tercatat terjadi di pulau-pulau
sepanjang garis batas negeri Kepulauan Riau, Kepulauan Nusa Tenggara, Pulau-
pulau kecil di Sulawesi Utara, Kepulauan Talaud, dan puluhan pulau yang ada
batas wilayah Maluku, Papua dan wilayah Perairan Pasifik. Tak hanya mengikis
pesisir pulau, bahkan mungkin sudah ada pulau-pulau kecil tak berpenghuni yang
akhirnya tenggelam karena kerasnya tenaga gelombang laut.
Secara geologis, Abrasi adalah fenomena pengikisan pantai akibat
kerasnya tenaga deburan gelombang laut dan arus laut. Abrasi sifatnya merusak
dan mengikis pesisir. Biasanya bencana abrasi muncul ketika terjadi kerusakan

3
keseimbangan alam di wilayah sekitar pantai. Hilangnya hutan mangrove sebagai
benteng alami gelombang laut bisa menjadi pemicu utama abrasi.
Bencana laut lain yang punya potensi besar terjadi di Indonesia adalah
bencana tsunami. Tsunami Samudera Hindia yang menyapu Aceh 2004 silam
menjadi fenomena tsunami terbesar, terdahsyat, dan paling mematikan dalam
sejarah manusia modern. Dan yang paling terkini adalah tsunami yang melanda
kota Palu dan Donggala pada 28 September 2018 yang terjadi 5 menit setelah
terjadi Gempa dengan kekuatan 7,4 SR dengan pusat gempa di kedalaman 11
Km dan pada arah 26 km utara Donggala.
Tsunami terjadi akibat terjadi perubahan masif pada bentuk muka dasar
laut. Gelombang tsunami dapat terjadi seketika apabila ada perubahan dasar laut
dalam bentuk sesar naik, atau patahan naik. Fakta buruk bahwa nyatanya
sepanjang garis subduksi atau sesar yang melintang sepanjang sebelah barat
Pulau Sumatera, menjajar ribuan kilometer melintasi selatan Jawa, hingga
Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Utara dan Papua merupakan bentuk
patahan yang berbentuk patahan naik. Dan bisa dibayangkan bagaimana
besarnya ancaman risiko tsunami mampu menyapu habis pesisir negeri ini. Maka
dari itu perlunya perhatian pemerintah khususnya di wilayah pesisir untuk
melakukan upaya-upaya yang diperlukan dalam rangka menanggulangi resiko
bencana alam tersebut di atas.
Pada tanggal 25 September 2015, negara-negara anggota PBB
mengangkat rangkaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 yang
menyertakan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, atau Sustainable
Development Goals (SDGs). SDGs disusun berdasarkan Tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs), yang telah diupayakan dari tahun 2000 sampai 2015, dan akan
memandu pencapaian tujuan global yakni pembangunan berkelanjutan hingga
tahun 2030 nanti. Terbentuknya SDGs merupakan suatu hal yang patut disyukuri
oleh pemerintah daerah di seluruh dunia. Bahkan sebelum ditetapkannya 17
tujuan tersebut, inklusivitas dari proses Pasca-2015 sendiri telah
merepresentasikan sebuah kemenangan bagi seluruh pemangku kepentingan.
Terkait dengan wilayah pesisir, salah satu tujuan yang ada pada SDGs
adalah pada poin ke 14 yaitu “Mengkonservasi Dan Memanfaatkan Secara
Berkelanjutan Sumber Daya Maritim, Laut , Dan Samudera Untuk Pembangunan
Yang Berkelanjutan” pada sub bahasannya menyebutkan “pada tahun 2020,
4
mengkonservasi setidaknya 10% dari kawasan laut dan pesisir, sesuai dengan
hukum nasional dan internasional berdasarkan informasi ilmiah terbaru”.
Surabaya sebagai salah satu kota pesisir di Indonesia telah sejak awal
mendukung program SDGs terutama pada point ke 14, dengan diterbitkannya
Perwali no 65 tahun 2011 Tentang Prosedur Pengawasan Dan Pengendalian
Kawasan Mangrove Di Wilayah Kota Surabaya. Mengapa Perlindungan terhadap
ekosistem mangrove penting? Ini dikarenakan mangrove memiliki fungsi ekologis
yang sangat baik bagi lingkungan dan sekitarnya. Selain itu, ekosistem
mangrove juga memiliki peran penting dalam menjaga stabilisasi suatu ekosistem
pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis dan sebagai perlindungan pantai
secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya terjadinya tsunami. Peran
pemerintah daerah sebagai penyedia layanan ditambah dengan kemampuan
untuk mendorong perubahan perilaku dalam masyarakat,menempatkan
pemerintah daerah di dalam posisi yang unik untuk melindungi sumberdaya alam.
Pemerintah daerah dapat mengkoordinasikan kerjasama dengan sektor swasta
dan masyarakat termasuk dalam hal ini dengan Perguruan tinggi yang diperlukan
pada tingkat daerah untuk mengintegrasikan pengelolaan sumberdaya yang
berkelanjutan salah satunya adalah dengan yang ada di Surabaya. Pemerintah
Surabaya menyadari keberlangsungan hidup hutan mangrove merupakan
tanggung jawab semua elemen masyarakat mengingat salah satu peran manusia
adalah sebagai pengelola lingkungan.
Berdasarkan uraian diatas maka kami mencoba untuk mengetahui
seberapa jauh usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam usahanya
menerapkan SDGs khususnya di point 14 mengenai Tujuan yang berhubungan
dengan melindungi pantai dan lautan. Khususnya mengenai usaha konservasi
hutan Mangrove yang ada di Surabaya yaitu di Wonorejo berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan.

1.1. RUMUSAN MASALAH


Rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
a) Bagaimanakah peran penting hutan mangrove terhadap kota pesisir
khususnya surabaya ?

5
b) Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah Surabaya terkait SDGs
point ke 14 khususnya terhadap konservasi hutan mangrove di
wilayahnya?

1.2. TUJUAN MAKALAH


Tujuan pembuatan makalah ini adalah :
a) Mahasiswa mampu memahami arti penting hutan mangrove terhadap
kota pesisir khususnya surabaya
b) Mahasiswa mampu memahami upaya yang dilakukan pemerintah
Surabaya terkait SDGs point ke 14 khususnya terhadap konservasi hutan
mangrove di wilayahnya

1.3. MANFAAT MAKALAH


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
c) Diharapkan memahami arti penting hutan mangrove terhadap kota pesisir
khususnya surabaya
a) Diharapkan memahami upaya yang dilakukan pemerintah Surabaya
terkait SDGs point ke 14 khususnya terhadap konservasi hutan mangrove
di wilayahnya

1.4. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penulisan laporan ini terdiri dari empat bab yang digunakan untuk
mempermudah pembaca dalam memahami isi dari karya tulis secara keselutuhan.
Adapun sistematika penulisan untuk pembahasan/penyusunan pada laporan ini
sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN.
Pada BAB I merupakan bab awal laporan yang berisi tentang latar belakang,
tujuan dan sistematika penulisan karya tulis ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.
Pada BAB II menjelaskan mengenai konsep dasar teori dan referensi yang
digunakan dalam penyusunan karya tulis yang berkaitan dengan ekosistem
Mangrove, serta menjelaskan terkait Sustainable Development Goals khususnya

6
pada point ke 14 yang berkenaan dengan konservasi daerah pesisir yang
berhubungan dengan hutan mangrove.

BAB III PEMBAHASAN.


Pada BAB III berisi tentang gambaran umum mengenai pentingnya kawasan
Mangrove dan upaya-upaya yang dilakukan pemkot surabaya dalam menjaga dan
melestarikan daerah konservasi tersebut sesuai dengan SDGs yang telah
dicanangkan.
BAB IV PENUTUP.
Pada BAB IV yaitu merupakan bab akhir yang berisi tentang kesimpulan dan
saran dari keseluruhan pembahasan yang diperoleh.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mangrove
Mangrove merupakan komunitas tumbuhan berkayu yang toleran terhadap
air asin yang tumbuh terutama sepanjang daerah pantai terlindung, khususnya
sepanjang teluk atau di dalam estuaria atau laguna. Menurut Duke (1992)
Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus karena
lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas
serta fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air laut.
Sedangkan berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan
Departemen Pertanian No. 60/Kpts/DJ/I/1978, hutan mangrove adalah tipe hutan
yang terdapat di sepanjang pantai dan sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut.
Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forestcoastal woodland,
vloedbos dan hutan payau (Kusmana dkk., 2005) yang terletak di perbatasan
antara darat dan laut, tepatnya di daerah pantai dan di sekitar muara sungai yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Sumaharni, 1994). Menurut Kusmana dkk.,
(2005) hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang
surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang
waktu air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut surut, yang
komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem mangrove
merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme yang berinteraksi dengan
faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove.
Sebagai salah satu ekosistem yang ada di pesisir, mangrove memiliki
berbagai karakteristik seperti yang dijelaskan oleh Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove, 2008) yaitu:
a) Memiliki jenis pohon yang relative sedikit
b) Memiliki akar yang unik misalnya seperti jangkar melengkung dan
menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal
seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp
c) Memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di
pohonnya, khususnya pada Rhizophora

8
d) Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon
e) Hidup di tempat yang tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik
setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang; tempat tersebut
menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung
dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya berkadar
garam (bersalinitas) payau (2-22 ‰).
Mangrove berguna dalam menjebak dan menahan sedimen, meredam badai
pantai dan energi gelombang, memberi perlindungan bagi juvenil ikan dan
biota avertebrata dan mengasimilisasi nutrien untuk dikonversi menjadi
jaringan tumbuhan (Clark, 1992; Sullivan, de Silva, White and Wijeratne, 1995).
Selain itu menurut Baker and Kaeoniam (1986), fungsi mangrove lainnya adalah
kontrol terhadap erosi, menetralisasi limbah cair dan sebagai sanctuary kehidupan
liar. Mangrove dikenal sebagai pemasok hara dan makanan bagi plankton. Fungsi
ekosistem mangrove dapa dilihat dalam tabel berikut ini:

9
Fungsi Fisik Fungsi Ekonomi Fungsi Biologi Fungsi Pariwisata
1. Menjaga garis 1. Merupakan 1. Sebagai 1. memiliki nilai
pantai juga tebing fishing ground tempat pariwisata
sungai terhindar (daerah untuk tinggi sebagai
dari erosi dan penangkapan mencari objek dan
abrasi. ikan) makanan, daya tarik
2. Memacu yang produktif, memijah, wisata alam,
percepatan seperti dan pendidikan
perluasan ahan. penghasil berkembang dan ilmu
3. Mengendalikan nener, ikan, biak bagi pengetahuan
intrusi dari air laut. udang dan berbagai
4. Melindung biota lainnya. organisme
daerah belakang 2. Sumber kayu laut seperti
hutan mangrove bahan bakar ikan, udang,
dari pengaruh dan bahan dan lain- lain.
negatif bangunan bagi 2. Sebagai salah
hempasan manusia. satu sumber
gelombang dan 3. Penghasil keanekaragama
Tsunami juga beberapa unsur n plasma nutfah
angin kencang. penting seperti
5. Sebagai kawasan minuman,
penyangga makanan, obat-
rembesan air obatan, tannin,
lautan. kosmetik dan
6. Sebagai pusat madu.
pengolahan 4. Sebagai lahan
limbah organik. untuk produksi
pangan.

2.2. Klasifikasi Ekosistem mangrove


Watson (1928) mengelompokkan tumbuhan mangrove menjadi lima, yaitu:

a) Jenis tumbuhan yang hidup di daerah genangan pasang naik yang tinggi;
b) Jenis tumbuhan yang hidup di daerah genangan pasang naik yang
medium;

10
c) Jenis tumbuhan yang hidup di daerah genangan pasang naik dengan
tinggi pasang normal;
d) Jenis tumbuhan yang hidup di daerah genangan pasang naik yang
tertinggi (springtide);
e) Jenis tumbuhan yang hidup di daerah genangan pasang pada saat lain.

2.3. Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)


Pada tanggal 25 September 2015, negara-negara anggota PBB mengangkat
rangkaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 yang menyertakan 17
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, atau Sustainable Development Goals
(SDGs) dalam bahasa inggris. SDGs disusun berdasarkan Tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs), yang telah diupayakan dari tahun 2000 sampai 2015, dan akan
memandu pencapaian tujuan global yakni pembangunan berkelanjutan hingga
tahun 2030 nanti. Terbentuknya SDGs merupakan suatu hal yang patut disyukuri
oleh pemerintah daerah di seluruh dunia. Bahkan sebelum ditetapkannya 17
tujuan tersebut, inklusivitas dari proses Pasca-2015 sendiri telah
merepresentasikan sebuah kemenangan bagi seluruh pemangku kepentingan.
PBB menyelenggarakan perundingan terbesar dalam sejarahnya untuk agenda
Pasca-2015 ini. Selama proses tersebut, UCLG (United Cities and Local
Government), yang memfasilitasi taskforce global bagi pemerintah daerah,
mendorong untuk dibuatnya satu tujuan khusus terkait urbanisasi berkelanjutan
dan mendesak agar seluruh tujuan dan target mempertimbangkan keberagaman
konteks, peluang dan tantangan pada level sub-nasional. Merupakan hasil dari
perjuangan keras pemerintah daerah, asosiasi terkait dan juga komunitas urban.
Tujuan 11 menandakan sebuah langkah besar menuju pengakuan terhadap
kekuatan transformatif urbanisasi untuk pembangunan, dan peran pemimpin-
pemimpin daerah untuk mendorong perubahan global secara bottom-up. Akan
tetapi, peran pemerintah daerah dalam pencapaian Agenda Pembangunan
Berkelanjutan ini jauh melebihi Tujuan 11. Seluruh Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan memiliki target yang berhubungan, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dengan keseharian pemerintahan daerah. Pemerintah daerah
bukan sekedar pelaksana dari agenda pembangunan. Pemerintah daerah adalah
pembuat kebijakan, katalis perubahan dan tingkat pemerintahan yang paling ideal
untuk menghubungkan tujuan global dengan komunitas daerah. Anggota-anggota

11
UCLG berkomitmen untuk berkontribusi secara proaktif terhadap kemitraan global
yang baru antara lembaga internasional, pemerintah nasional, masyarakat, sektor
privat dan tentunya, pemerintah daerah. UCLG akan terus menggunakan platform
global untuk menyuarakan potensi daerah dalam mendukung pembangunan dan
mengajak pemerintah daerah untuk memenuhi perannya dalam pencapaian
agenda yang ambisius, universal, dan terpadu ini.

Gambar. 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

12
Dan sesuai dengan tema yang diangkat adalah tujuan Ke 14 yang
berhubungan dengan upaya melindungi pantai dan lautan, dimana targetnya
berkaitan dengan pemerintah daerah untuk mengkonservasi dan memanfaatkan
secara berkelanjutan sumber daya maritim, laut , dan samudera untuk
pembangunan yang berkelanjutan. Dimana di salah satu pointnya adalah Pada
tahun 2020, mengkonversi setidaknya 10% dari kawasan laut dan pesisir, sesuai
dengan hukum nasional dan internasional berdasarkan informasi ilmiah terbaru.
Inilah yang menjadi dasar pemikiran bagi pemerintah daerah untuk
mempertahankan dan menambah lahan konservasi hutan mangrove di daerah
berbatasan dengan laut yang dirasakan memberikan manfaat bagi pengelolaan
tata ruang di kota pesisir.

13
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Manfaat Hutan Mangrove Bagi Surabaya Sebagai Kota Pesisir


Hutan Mangrove mempunyai banyak sekali manfaat bagi Surabaya antara
lain:

1. Mempunyai Potensi Keanekaragaman Ekosistem

Ekosistem mangrove yang ada di Wonorejo khususnya dapat terbilang cukup


bervariasi, yang setidaknya terdapat 15 jenis pohon mangrove yang telah hidup di
kawasan pesisir ini. Selain itu dengan keberadaan hutan mangrove mampu
menarik atau mendatangkan beberapa jenis spesies burung hingga mencapai 147
spesies beserta berbagai spesies fauna lainnya yang dapat menunjang kawasan
Ekowisata Mangrove. Atau dalam kata lain, dengan adanya keberagaman
ekosistem mangrove akan mendatangkan berbagai jenis flora dan fauna sehingga
tidak hanya jenis mangrove yang bervariasi namun juga flora dan fauna yang
tersedia.

Gambar 3 Keanekaragaman Fauna di Ekowisata Mangrove

14
2. Potensi Pengembangan Kawasan

Yang dimaksudkan dengan mangrove berpotensi sebagai pengembangan


kawasan sebenarnya dapat dilihat dari berbagai perspektif diantaranya adalah dari
segi sosial, ekonomi, edukasi dan wisata. Dari segi sosial, kawasan Ekosistem
Mangrove Wonorejo sampai saat ini telah dikelola oleh sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang terintegrasikan kerjasama antara petambak, nelayan serta
masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan mangrove. Dimana dari ketiga pihak
tersebut saling bekerjasama dalam upaya mengelola dan menjaga keseimbangan
ekosistem alam. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki
sense of belonging atau rasa saling memiliki. Selain itu dalam upaya melindungi
keberadaan sisa-sisa hutan mangrove sebagai kawsan konservasi, masyarakat
bekerja sama dengan polsek terdekat melalui bantuan komunikasi telepon
genggam.
Kemudian dari segi ekonomi keberadaan Ekowisata Mangrove Wonorejo
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar serta biaya retribusi yang
harus dibayar ketika berkunjung di Ekowisata ini sebenarnya digunakan untuk
upaya pengelolaan kawasan. Sedangkan segi edukasi dan wisata, kawasan
mangrove Wonorejo merupakan salah satu media belajar yang sekaligus tempat
rekreasi para pengunjung, dimana pada Ekowisata Mangrove Wonorejo ini juga
dilengkapi dengan berbagai jenis fasilitas penunjang seperti
perahu,Musholla,gazebo,restoran, sentra PKL makanan dan minuman, serta
joging track panjang yang terbuat dari anyaman bambu, yang menghubungkan
berbagai titik obyek.

15
Gambar 4 Fasilitas Penunjang Ekowisata Mangrove Wonorejo
Sumber : Survey Primer

3. Potensi Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove yang ada di Wonorejo sangat bermanfaat bagi


masyarakat sekitar dan bagi biota laut yang hidup di perairan sekitarnya. Untuk
jenis mangrove yang paling banyak dimanfaatkan antara lain jenis Api-api,
Sonirafia, dan Nipah. Api-api merupakan tempat berkembang biaknya biota laut
seperti ikan dan kepiting khususnya di bagian akar nafasnya. Selain itu akar dari
Api-api ini dapat menyerap kadar garam yang tinggi. Kadar garam yang telah
diserap ini kemudian dibuangnya dibalik pohon. Namun apabila kadar garam
melampaui batas maka tanaman ini kulitnya akan menghitam dan kemudian
mati. Adanya api-api yang lebat ini juga bermanfaat untuk mengurangi intrusi air
laut yang saat ini sudah sampai Injoko. Keberadaan jenis mangrove Api-api
daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak hewan, buahnya dapat diolah
sebagai bahan dasar tempe mangrove. Tak hanya itu batang api-api ini juga bisa
dijadikan arang yang mahal dan kualitas ekspor Jepang. Buah Bogem dan Nipah
juga dapat digunakan sebagai bahan pangan, sedangkan akar Sonirafia

16
dapat dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan dan pewarna batik yang hasilnya
juga dijual di kawasan Ekowisata tersebut.

Gambar 5 Pemanfaataan Magrove


Sumber : www.google.com

4. Mengurangi Dampak Tsunami


Bencana alam berupa Tsunami yang telah mendera bangsa kita, telah
mengajarkan kepada kita betapa mencegah lebih baik daripada menanggulangi
bencana. Karena hal ini banyak berdampak pada berbagai faktor baik kerugian
material maupun psikologis serta lainnya. Jangan lagi airmata yang belum lagi
kering disusul olah airmata lainnya. Serbuan gelombang Tsunami yang masuk di
wilayah Palu dan Donggala pada tanggal 28 September 2018 serta wilayah
Nangroe Aceh Darussalam hingga beberapa kilometer pada tanggal 26 Desember
2004, salah satunya disebabkan oleh kurangnya jalur hijau atau vegetasi di pantai
yang telah banyak terabrasi. Indonesia memiliki garis pantai hampir sepanjang
81.000 km karena wilayahnya yang merupakan daerah kepulauan. Wilayah pesisir
itu menjadi penting karena merupakan pertemuan antara ekosistem daratan dan
ekosistem lautan. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan
mangrove terbesar dan memiliki kekayaan hayati yang paling banyak. Luas hutan
mangrove Indonesia mencapai 3,2 juta hektar.
Untuk Mengetahui manfaat mangrove dalam menghadapi Tsunami Tim
peneliti yang tergabung dalam Disaster Reseacrh Nexus (DRN) dari Universiti
Sains Malaysia, diketuai Koh Hock Lye berupaya melakukan penelitian. Untuk
mengetahui manfaat mangrove, tim menggunakan pemodelan yang disebut

17
TUNA. Mereka menganalisis resiko gempa pada tsunami di Upper Padas Dam di
Sabah. Dalam penjelasannya, tim peneliti mengungkapkan bahwa mangrove
memang mengurangi dampak tsunami. "Adanya mangrove memacu amplifikasi
tinggi gelombang sebesar 2,5 meter di muka mangrove karena pengurangan
kecepatan, tapi dengan gelombang yang jauh lebih rendah berikutnya," jelas
peneliti dalam publikasinya. Hasil-hasil penelitian lainnya juga menjelaskan
potensi mangrove yang sangat baik dalam mengurangi dampak tsunami,
diantaranya: penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa
Timur, menunjukkan bahwa ekosistem mangrove berhasil mereduksi tinggi
gelombang sebesar 0,7340 dengan pengurangan energi gelombang sebesar (E)
= 19635,26 joule (Praktiko dkk, 2002). Beberapa studi laboratorium di Jepang juga
mengindikasikan efektifitas tanaman mangrove sebagai peredam tsunami.
berdasarkan simulasi model, mangrove dengan tebal sekira 150m dengan
kerapatan 4 m, dapat mereduksi tinggi gelombang tsunami hingga 35% (Kongko,
2003). Berdasarkan pemantauan para ahli mangrove di India pasca bencana
tsunami tanggal 26 Desember 2004, daerah di Pichavaram dan Muthupet yang
memiliki hutan mangrove yang rapat mengalami lebih sedikit korban jiwa dan
kerusakan fasilitas dibanding daerah tanpa hutan mangrove. Keberadaan tegakan
mangrove secara signifikan dapat mengurangi kecepatan tiupan angin dan
kecepatan arus gelombang air laut (Aksornkoae, 1993). Dalam hal ini Suryana
(1998) melaporkan bahwa daya jangkauan air pasang berkurang sampai lebih dari
60 % pada lokasi dengan lebar hutan mangrove ³ 100 m. Peneliti tsunami Kenji
Harada dan Fumihiko Imamura dari Universitas Tohoku (2002) menerangkan
vegetasi pantai dengan tebal 200 m, kerapatan 30 pohon per 100 m2 , dan
diameter pohon 15 cm dapat meredam 50 persen energi tsunami dengan tinggi
gelombang datang (run up) 3 m. Gelombang yang datang dari laut lepas menuju
pantai mengalami difraksi dan refleksi setelah mcngenai barisan vegetasi
mangrove. Terjadinya refleksi gelombang oleh APO menyebabkan berkurangnya
energi gelombang menuju pantai. Hasil pengujian model di laboratorium oleh
Puslitbang PU (1996) seperti yang dikutip oleh Istianto, Utomo dan Suranto (2003)
menginformasikan bahwa adanya pengurangan limpasan sebesar 2 % – 5% pada
model setara dengan rumpun prototipe yang memiliki diameter pohon 50 cm dan
jarak antara 2.5 m. Selain itu, diinformasikan bahwa jarak tanam dengan susunan
selang-seling memberikan redaman yang lebih baik dibandingkan dengan

18
susunan kolom baris. Selanjutnya diinformasikan pula bahwa rumpun bakau
(Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang
tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang ketika menjalar
melalui rumpun tersebut (Thaha, 2001 dalam Istiyanto, Utomo dan Suranto, 2003).
Hasil ini dipertegas oleh penelitian Pratikto et al. (2002) di Teluk Grajagan,
Banyuwangi yang menunjukkan bahwa keberadaan ekosistem mangrove di
daerah tersebut mampu mereduksi energi gelombang sebesar 73 % dan tinggi
gelombang sebesar 75 % pada jumlah pohon sekitar 120 individu. Fakta
menunjukkan bahwa tsunami tidak memberikan kerusakan yang berarti pada
daerah yang memiliki hutan pantai dan hutan mangrove yang lebat di NAD dan
Nias, sedangkan kerusakan berat terjadi pada daerah yang tidak memiliki hutan
mangrove dan hutan pantai yang baik (Onrizal, 2005). Desa Moawo dan Desa
Pasar Lahewa yang terletak di pantai utara Nias merupakan contoh daerah yang
selamat dari terjangan tsunami. Kedua daerah tersebut memiliki hutan mangrove
yang sangat rapat, dimana kerapatannya sekitar 17.000 – 20.700 individu per
hektar untuk tumbuhan mangrove berdiameter > 2 cm dan tinggi > 1,5 m dengan
lebar mangrove antara pemukiman dan pantai sekitar 200 m atau lebih.
Masyarakat di kedua desa tersebut meyakini bahwa desa mereka selamat dari
tsunami karena terlindung oleh hutan mangrove meskipun pada saat tsunami
rumah mereka terendam air sekitar 2 – 3 m namun airnya tenang. Pada sisi lain
daerah Manrehe dan Sirombu di pantai barat Nias yang daerahnya telah
dikonversi menjadi kebun kelapa dengan jarak tanamnya sekitar 6 x 6 m dan
berupa lahan kosong; kerusakannya sangat berat. Hasil survey WI-IP (2005)
Dalam Onrizal (2005) mengemukan bahwa di NAD kerusakan berat terjadi pada
pesisir pantai yang tidak memiliki hutan mangrove dan hutan pantai yang rapat,
namun kerusakan sangat sedikit pada daerah yang memiliki hutan pantai dan
hutan mangrove yang lebat. Salah satu contoh adalah desa Ladang Tuha, Aceh
Selatan yang selamat dari terjangan tsunami karena memiliki hutan pantai yang
didominasi oleh pohon cemara yang lebat. Mangrove merupakan salah satu
ekosistem paling rentan. Diperkirakan, seperlima ekossitem mangrove di dunia
telah rusak. Penelitian ini menegaskan kembali pentingnya pelestarian mangrove.
Masih kuat dalam ingatan dahsyatnya gempa bermagnitud 9,3 yang mengguncang
Aceh dan memicu tsunami yang menewaskan lebih dari 200.000 orang secara
keseluruhan. Konservasi mangrove tidak bisa mencegah gempa dan tsunami,

19
namun diharapkan bisa mengurangi korban tewas dan dampak lain. Mangrove
memang tidak dapat mencegah terjadinya gempa dan tunami, namun demikian
keberadaan mangrove mampu mengurangi dampak bencana tersebut. Selama ini
Hutan Mangrove dianggap efektif dalam mengurangi dampak dari tsunami.
Sehingga banyak ditanam mangrove di daerah pesisir pantai, dengan maksud
agar dapat menahan besarnya gelombang tsunami yang mungkin melanda daerah
tersebut. Adanya mangrove memacu amplifikasi tinggi gelombang sebesar 2,5
meter di muka mangrove karena pengurangan kecepatan, tapi dengan gelombang
yang jauh lebih rendah berikutnya. Dalam kenyataannya memang beberapa
daerah yang terkena tsunami mengalami dampak yang relatif kecil akibat adanya
hutan mangrove. Bercermin dari pengalaman dan kondisi yang saat ini ada di
Indonesia, maka sudah tidak boleh ditunda lagi adanya agenda penanaman dan
konservasi mangrove di sepanjang garis pantai yang rawan bencana hantaman
gelombang pasang dan tsunami.

3.2. Usaha Konservasi dan Kendala Yang Dihadapi Pemerintah


Khususnya Kota Surabaya terhadap Hutan Mangrove di Wilayahnya

Keseriusan Indonesia dalam pengelolaan mangrove mendapat perhatian


dunia internasional. “Indonesia mendapat kehormatan menjadi tuan rumah dan
penyelenggara Konferensi Mangrove Internasional (KMI) 2017,” ujar Antung.
Penunjukan ini sesuai hasil dari World Forestry Congress tahun 2015 di Durban,
Afrika Selatan. Konferensi tersebut akan dilaksanakan di Bali pada tanggal 18-21
April 2017. Konferensi ini mengambil tema Sustainable Mangrove Ecosystem
(Ekosistem Mangrove Berkelanjutan). “Rencananya akan dibuka oleh Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya;” ungkap Antung. Indonesia
menggandeng International Timber Trade Organization (ITTO) dan International
Society for Mangrove Ecosystems (ISME) untuk penyelenggaraan kali ini.
Ada sejumlah agenda yang menjadi pembahasan utama pada KMI 2017,
yaitu mempromosikan pengelolaan bakau, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,
dan peningkatkan mata pencaharian yang berkelanjutan dari komunitas
mangrove. Selanjutnya restorasi ekosistem mangrove yang terdegradasi,
penguatan pemantauan good governance dan penegakan hukum, pembayaran

20
jasa lingkungan mangrove serta penelitian dan pendidikan untuk pengembangan
ekosistem mangrove berkelanjutan
Melalui Konferensi Mangrove Internasional ini Indonesia memposisikan diri
di garis depan mempromosikan hubungan baru dan harmonis antara manusia dan
alam khususnya dalam pelestarian ekosistem mangrove. Untuk tujuan ini,
Indonesia membuka diri bekerjasama dengan semua mitra dalam pembangunan
ekosistem mangrove yang berkelanjutan.
Luas hutan mangrove di Indonesia sendiri tersebar dibeberapa pulau, seperti
Sumatera, Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan
Irian. Selain hutan yang luas, ekosistem mangrove di Indonesia juga memiliki
keragaman jenis tertinggi di dunia. Namun kondisi mangrove di Indonesia
mengalami penurunan baik dari segi kualitas dan kuantitas dari tahun ke tahun.
Dalam upaya pelestarian mangrove, pemerintah melakukan beberapa kegiatan
untuk tetap menjaga fungsi hutan mangrove. Hampir setiap tahun Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan
lahan guna mengembalikan fungsi awal yang di anggap baik dan mampu
memberikan dampak positif dari segi ekologis dan ekonomis.
Ekosistem mangrove di Jawa Timur juga mengalami beberapa kerusakan.
Data hasil pencatatan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur Tahun 2014 luas
ekosistem mangrove di Jawa Timur seluas 133.512,89 ha. Laporan Kinerja Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur Tahun 2014 menyebutkan
bahwa dari total luas lahan mangrove Jawa Timur, luas yang mengalami
kerusakan sebesar 41,632%. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun
sebelumnya sebesar 41,693%. Kota Surabaya merupakan daerah perkotaan yang
sebagian daratannya berbatasan langsung dengan pesisir, sehingga banyak
dijumpai tumbuhan mangrove yang hidup di sana. Mangrove yang tumbuh di Kota
Surabaya berada di sepanjang Pantai Timur dan Pantai Utara Surabaya serta
daerah kawasan jembatan Suramadu. Luas dan kerapatan tutupan mangrove
yang tumbuh di Kota Surabaya berbeda-beda, dapat dilihat dalam tabel berikut:
Luas Lokasi Presentase Kecepatan
No Lokasi (Kec)
(ha) tutupan (%) (pohon/ha)
1 Pakal 3,11 64,3 100-200
2 Benowo 47,37 4,2 100-200
3 Asemrowo 19,44 10,3 100-200
4 Kenjeran 35,58 5,6 100-200

21
5 Bulak 28,48 7,0 100-200
6 Sukolilo 96,07 2,0 2500
7 Mulyorejo 146,84 17,0 2500
8 Rungkut 154,89 16,1 2500
9 Gunung Anyar 73,95 40,6 2500-3000
Total 605,73 - -
Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2013

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kota Surabaya, luas mangrove


di Kota Surabaya yaitu 605,73 ha. Kerapatan tutupan mangrove di tiap kecamatan
berbeda-beda tergantung pada keragaman jenis mangrove yang tumbuh. Data
yang dikeluarkan Mangrove Information Center (MIC) 2006, terdapat 157 jenis
mangrove ada di Indonesia dan 16 jenis diantaranya ada di Surabaya. Persebaran
mangrove di beberapa kawasan di Kota Surabaya memiliki kondisi yang berbeda,
perbedaan ini dikarenakan letak geografis serta peruntukannya yang telah di
tetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya. Kawasan sempadan pantai yang ditumbuhi
mangrove melindungi daerah pesisir pantai dari ancaman abrasi, instrusi air
laut dan penurunan muka tanah.

Tabel 3.1
Luas Hutan Mangrove di Kawasan Pantai Timur Surabaya

Luas
No Kecamatan Ha %
1 Mulyorejo 156.90 35.65
2 Sukolilo 140.25 31.87
3 Rungkut 73.10 16.61
4 Gunung Anyar 69.88 15.88
Total 440.13 100

Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2015

Total luas mangrove yang berada di kawasan Pamurbaya yaitu 440,13 ha


tersebar di empat kecamatan seperti yang disebutkan dalam tabel. Kecamatan
Rungkut dan Gunung Anyar memiliki luas lahan mangrove paling sedikit daripada
kecamatan lainnya, namun di dua kecamatan ini justru menjadi ekowisata
mangrove yang berdiri sejak tahun 2010 yang bertempat di Wonorejo dan Gunung
Anyar. Ekowisata mangrove di Pamurbaya ini digunakan oleh Pemerintah Kota

22
Surabaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan peningkatan
ketebalan mangrove di Surabaya.

Tabel I.4
Kondisi Hutan Mangrove di Pantai Timur Surabaya Tahun 2015
Luas
Baik Sedang Rusak
Kondisi
No Kecamatan Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
1 Mulyorejo 86.30 55 47.07 30 23.54 15
2 Sukolilo 77.14 55 35.06 25 28.05 20
3 Rungkut 36.55 50 14.62 20 21.93 30
4 Gunung Anyar 52.41 75 10.48 15 6.9 10
Total 252.39 57.3 107.23 22.4 80.50 18.3
9

Ekowisata mangrove Pamurbaya berhasil menarik perhatian aktivis


lingkungan di luar negeri. Dilansir dalam situs berita daring seputar Indonesia.com,
JICA (Japan International Cooperation Agency) memberikan apresiasi kepada
pemerintahan Kota Surabaya atas usahanya melakukan konservasi dengan
menjadikan Ekowisata Mangrove Wonorejo sebagai percontohan kawasan
konservasi mangrove dalam program Mangrove Ecosystem Conservation and
Sustainable Use (MECS). Namun dalam perkembangannnya, ada beberapa
masalah yang berkaitan dengan perkembangan ekosistem mangrove. Pertama,
kondisi hutan mangrove di Pamurbaya mengalami kerusakan dari tahun ke tahun.
Hampir 50% mangrove yang tumbuh kondisinya sedang dan rusak. Mangrove
yang mengalami kerusakan paling parah berada di Kecamatan Rungkut yang
mencapai 30%.
Kerusakan mangrove tersebut diduga diakibatkan oleh berbagai faktor,
baik secara alami ataupun akibat aktivitas manusia. Faktor alam seperti abrasi
menjadi pemicu berkurangnya lahan mangrove yang ada. Selain itu, pencemaran
lingkungan yang berasal dari limbah industri, limbah cair pemukiman, limbah
cair perkotaan, pelayaran, pertanian dan perikanan yang mengandung zat
buangan dan bermuara di daerah pesisir menambah potensi kerusakan daerah
pesisir mangrove. Aktivitas manusia yang berada di sekitar kawasan mangrove
juga berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove.
Kedua, kasus penebangan liar yang mengancam keberadaan lahan
mangrove. Perubahan lahan mangrove sebagai akibat penebangan liar terlihat

23
dari kerapatan mangrove yang semakin renggang dan beberapa lahan terlihat
kosong. Mengutip dari berita tempo, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian
Kota Surabaya Joestamadji saat diwawancarai tanggal 29 Oktober 2018
menunjukkan sebuah spot di layar komputernya yang menunjukkan beberapa
lahan terlihat gundul, padahal lokasinya diapit oleh mangrove. Jika dibandingkan
dengan beberapa tahun yang lalu, tumbuhan mangrove masih sangat rapat.
(https://m.tempo.co/ diakses tanggal 21 Maret 2016).
Ketiga, adanya pendirian bangunan di kawasan konservasi mangrove.
Kawasan konservasi diatur dalam Perda Rencana Tata ruang Wilayah (RTRW)
Kota Surabaya tahun 2014-2034 Nomor 12 Tahun 2014 dan termasuk
dalam kawasan dilindungi sehingga tidak diperbolehkan adanya aktivitas, apalagi
proyek pembangunan di sana. Namun pada tahun 2014, dilakukan aktifitas
pembangunan proyek yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan sehingga
Satpol PP Kota Surabaya melakukan tindakan tegas untuk penghentian proyek
ini. Selain pendirian proyek dan bangunan, masalah lain yang muncul yakni
banyaknya klaim atas tanah kepemilikan di lahan Pamurbaya yang dilakukan oleh
warga dan pengembang perumahan yang bermunculan. Padahal, lokasi lahan
Pamurbaya sebagai kawasan konservasi hutan mangrove tidak bisa dimiliki oleh
siapapun. Adanya klaim kepemilikan tanah ini disebabkan belum adanya kejelasan
soal batas wilayah konservasi di Pamurbaya. (http://suarapubliknews.net) .
Kerancuan kepemilikan hak tanah di kawasan mangrove diakibatkan adanya
reklamasi alamiah berupa tanah oloran. Tanah oloran merupakan daratan baru
yang terbentuk secara ilmiah oleh endapan sungai atau pantai di sekitar muara.
Tanah oloran terbentuk melalui proses yang cukup panjang dan diawali dengan
adanya abrasi air laut. Awalnya, tanah oloran tersebut digunakan masyarakat
secara individu untuk dimanfaatkan sebagai tambak, rumah tinggal dan
sebagainya. Namun seiring dengan perkembangan waktu, areal tersebut oleh
warga diperjualbelikan ke investor yang cukup dilaksanakan di kelurahan. Areal
hutan mangrove yang dibuka oleh warga hingga kini mencapai 80% yang telah
dikuasai oleh investor. Dan investor yang bermain di sini adalah kelas kakap.
(http://www.surabayapagi.com). Melihat hal tersebut, pemerintah tidak hanya
tinggal diam. Beberapa kebijakan dikeluarkan dari pemerintah pusat hingga
daerah. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menjaga dan melestarikan kawasan
mangrove dan melindungi ekosistem di daerah pesisir yang notabene memberikan

24
manfaat bagi lingkungan dan sekitarnya. Pemerintah Kota Surabaya telah
membuat kebijakan guna melindungi kawasan konservasi mangrove dalam bentuk
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 65 Tahun 2011 tentang Prosedur
Pengawasan dan Pengendalian Kawasan Mangrove di Wilayah Kota Surabaya.
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 65 Tahun 2011 adalah dasar yang tepat
dalam rangka melindungi kawasan hutan mangrove di kawasan Surabaya sesuai
dengan Tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) ke 14 walaupun kebijakan
tersebut lebih dulu ada.
Selain itu Pemerintah Kota Surabaya juga mengadakan kerjasama dengan
Kalangan Institusi Pendidikan Tinggi di wilayah Surabaya. Salah satunya adalah
ITS yang notabene mempunyai ciri pada semangat pengembangan bidang
teknologi, kemaritiman dan lingkungan. Kerjasama yang dimaksud antara lain:

a. Bidang Sistem Transportasi Kota;

b. Bidang M/GIS Based Tata Ruang;

c. Bidang Pengelolaan Air Bersih;

d. Bidang Management Limbah;

e. Bidang Teknologi Informasi & Komunikasi;

f. Bidang Lingkungan Hidup;

g. Bidang Teknologi Tepat Guna;

h. Bidang - bidang yang lain sesuai kebutuhan yang dipandang relevan


oleh kedua belah pihak.

Dan Kerjasama tersebut telah terjalin sejak tahun 2005 dan terus
diperpanjang hingga sekarang. ITS terkait dengan konservasi dan pemanfaatan
areal Hutan Mangrove telah banyak melakukan upaya bersama dengan Pemkot
untuk terus memperluas area penanaman mangrove di daerah wonorejo.
Disamping itu yang terbaru adalah terkait gempa yang melanda situbondo, ITS
juga diminta oleh Pemerintah kota Surabaya untuk melakukan kajian-kajian ilmiah
dan rekomendasi tindak lanjut meminimalkan efek bencana yang mungkin terjadi
terkait 2 patahan lempeng cesar yang melewati Surabaya antara Rungkut sampai
dengan wilayah Cerme Gresik, serta Dari wilayah Waru hingga daerah Jombang.

25
Surabaya terdapat dua sesar atau patahan aktif, yakni sesar Surabaya dan
Waru. Adanya dua sesar ini mengakibatkan Surabaya berpotensi gempa. Dosen
Teknik Geofisika Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Amien Widodo,
mengatakan jika gempa dari sesar itu berkekuatan 6,5 SR, bisa merusak
bangunan dan tanah di Kota Pahlawan. Amien mengatakan selain melakukan
pemetaan terhadap tanah di Surabaya sebagai upaya pencegahan kerusakan
akibat bencana gempa, ada hal lain yang perlu diperhatikan. Amien mencontohkan
keberadaan tanaman mangrove di pesisir pantai Surabaya. Amien menuturkan
mangrove di pantai manfaatnya banyak sekali, satu di antaranya sangat penting
untuk menahan tsunami. "Mangrove di Wonorejo besar-besar. Fungsinya pohon
(mangrove) bisa menahan dari material yang dibawa oleh ombak tsunami dan
mengurangi kecepatan dari tsunami," kata Amien, Senin (15/10/2018). Amin
mencontohkan sebagaimana video tsunami di Sulawesi Tengah beberapa waktu
lalu, yang sempat viral. Gelombang tsunami yang menerpa pohon di pesisir pantai
tidak langsung menerpa pemukiman penduduk. Malah sebaliknya, sisi yang tidak
dialingi pohon, langsung menggulung rumah penduduk habis. "Ini pentingnya
mangrove dalam kaitannya mencegah bencana," tutupnya. (Artikel ini telah tayang
di Tribunnews.com dengan judul Ahli Geologi ITS Ingatkan Pentingnya Mangrove
Bagi Surabaya yang Rawan Gempa dan Tsunami,
http://www.tribunnews.com/regional/2018/10/15/ahli-geologi-its-ingatkan-
pentingnya-mangrove-bagi-surabaya-yang-rawan-gempa-dan-tsunami.). Selain
itu ITS juga memberikan fasilitas terhadap para mahasiswa yang melakukan
penelitian dan memrakarsai kegiatan yang ditujukan untuk pengembangan potensi
dan pelestarian ekosistem dari hutan mangrove. Semisal Melakukan gerakan
penanaman mangrove di daerah pesisir Surabaya yang disertai dengan program
sosialisasi mengenai pentingnya hutan mangrove bagi masyarakat sekitar yang
diharapkan mempunyai sense of belonging terhadap kawasan hutan mangrove.
Melakukan penelitian mengenai pemanfaatan sumber daya hayati di kawasan
hutan mangrove dan lain sebagainya.

26
Kesimpulan

Dari hasil penelitian di lapangan tentang upaya yang dilakukan


pemerintah Surabaya terkait SDGs point ke 14 khususnya terhadap konservasi
hutan mangrove di wilayahnya khususnya di Kelurahan Wonorejo Surabaya dapat
disimpulkan bahwa pemkot Surabaya masih harus terus bekerja keras. Khusunya
dalam menegakkan peraturan yang telah dibuat dan tidak efektifnya sosialisasi
kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari sosialisasi yang dilakukan hanya
pada awal-awal saja tidak berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat yang kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah, monitoring dan evaluasi yang belum
terlaksana dengan baik, penyidikan terhadap pelanggaran yang belum tuntas dan
pelaporan yang dilakukan jika ada laporan dari masyarakat. Dengan adanya
sosialisasi, masyarakat menjadi tahu bahwa kawasan mangrove merupakan
kawasan yang dikonservasikan. Permasalahan batas wilayah dan perlakuan
tanah sedimentasi harus diatur lebih lanjut sebagai bentuk pengawasan dan
pengendalian dari pemerintah sehingga tidak ada simpang siur atas kepemilikan
lahan mangrove.

Perlunya perluasan kerjasama yang dilakukan dengan pihak-pihak yang


dirasakan kompeten di bidangnya dalam rangka upaya konservasi hutan
mangrove sesuai dengan tujuan dari pembangunan berkelanjutan terutama para
akademisi dan praktisi.

27
Daftar Pustaka

Buku

BLH. 2012. Pengendalian Pencemaran Kawasan Pesisir dan Laut. Badan


Lingkungan Hidup Kota Surabaya
Burke et al.2012. Reefs at risk, Revisited in the Coral Trangle. Worls Resources
Institute
Griffin, Ricky W. 2004. Manajemen. Jakarta: Erlangga Handoko, Hani, 2003.
Manajemen cet (18) edisi 2.Yogyakarta: BFPE
Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Provinsi Jawa Timur Tahun
2014
Profil Keanekaragaman Hayati Kota Surabaya Tahun 2012
Siswadi, Edi. 2012. Birokrasi Masa Depan: Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang
Efektif dan Prima. Bandung: Mutiara Press
Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014
Supriyanto, S., Damayanti, N. A. 2007. Perencanaan dan Evaluasi.
Surabaya: Airlangga University Press

Situs Web
http://www.tribunnews.com/regional/2018/10/15/ahli-geologi-its-ingatkan-
pentingnya-mangrove-bagi-surabaya-yang-rawan-gempa-dan-tsunami.).

(http://www.surabayapagi.com)

28

Anda mungkin juga menyukai