Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

PEMERIKSAAN FISIK ABDOMEN : RELIGIO ABDOMEN,


PEMERIKSAAN HEPAR , LIEN, GASTRIK DAN USUS.
DOSEN PENGAMPU : MIRA UTAMI NINGSIH, M. NSc.

O
L
E
H
KELOMPOK 1 :

1. ADITHYA ISNA NANDATAMA (P07120121002)


2. BAIQ NURANGIA TRI RAJUAN DINI (P07120121007)
3. DIYAN CANDRA PUJI ASTUTI (P07120121010)
4. EMMA GAVANOLI (P07120121012)
5. NANI FAZILA (P07120121028)
6. RAUDATUL SEPRIYANTI (P07120121033)
7. ZULKIFLI
(P07120121040)

JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN KELAS A TINGKAT 1
POLTEKKES KEMENKES MATARAM
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

i
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“PEMERIKSAAN FISIK ABDOMEN : RELIGIO ABDOMEN,
PEMERIKSAAN HEPAR, LIEN, GASTRIK DAN USUS “ ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pada mata kuliah keperawatan dasar. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang PEMERIKSAAN FISIK
ABDOMEN : RELIGIO ABDOMEN, PEMERIKSAAN HEPAR, LIEN,
GASTRIK DAN USUS bagi para pembaca .
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Mira Utami Ningsih, M.
NSc. selaku dosen pengampu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Mataram, 24 Maret 2022

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR........................................................................................ii
BAB I...................................................................................................................1
PENDAHULUAN...............................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................3
PEMBAHASAN..................................................................................................3
A. Tehnik Pemeriksaan Fisik Abdomen........................................................3
B. Pemeriksaan Fisik Religio.........................................................................8
C. Pemeriksaan Fisik Hepar.........................................................................10
D. Pemeriksaan Fisik Lien...........................................................................12
E. Pemeriksaan Fisik Gastritis.....................................................................13
F. Pemeriksaan Fisik Usus...........................................................................18
BAB III..............................................................................................................22
PENUTUP.........................................................................................................22
A. Kesimpulan..............................................................................................22
B. Saran........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemeriksaan fisik abdomen merupakan prosedur diagnostik yang rutin
dilakukan pada berbagai kondisi dan keluhan yang terkait sistem gastrointestinal
seperti diare, gastritis, massa intraabdomen, ataupun trauma abdomen. Cavum
abdomen dibagi menjadi 4 bagian dengan garis imajiner yang saling tegak lurus
melewati umbilikus. Keempat bagian ini adalah kuadran kanan atas dan bawah,
serta kuadran kiri atas dan bawah. Kuadran-kuadran ini merepresentasikan organ-
organ yang terletak di dalamnya.
Selain itu, cavum abdomen juga bisa dibagi menjadi regio hipokondrium
kiri dan kanan, epigastrik, umbilikal, hipogastrik, lumbar kiri dan kanan, serta
inguinal kiri dan kanan. Pemeriksaan fisik abdomen kemudian dapat dilanjutkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya sesuai dengan arah diagnosis.
Pemeriksaan fisik abdomen dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi. Pemeriksaan fisik abdomen akan menilai segala kelainan organ
dan struktur yang berada di abdomen, seperti gastrointestinal, hepar, kandung
empedu, dan organ-organ genitourinaria.

B. Rumusan Masalah
1. Apa tehnik-tehnik pemeriksaan Fisik abdomen?
2. Bagaimana pemeriksaan Fisik religio?
3. Bagaimana pemeriksaan Fisik hepar?
4. Bagaimana pemeriksaan Fisik lien?
5. Bagaimana pemeriksaan Fisik gastrik?
6. Bagaimana Pemeriksaan Fisik usus?

C. Tujuan
Untuk mengetahui tehnik-tehnik pemeriksaan fisik abdomen, religio
abdomen, hepar, lien, gastrik, dan usus.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tehnik Pemeriksaan Fisik Abdomen


Teknik pemeriksaan fisik abdomen tentunya diawali dengan anamnesis
berkaitan dengan keluhan pasien, baik yang berhubungan dengan keluhan
gastrointestinal, urogenital, maupun keluhan lainnya. Anamnesis kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik abdomen dilakukan
untuk mendapatkan gambaran klinis organ-organ dan ruang intra abdomen.
a) Anatomi Cavum Abdomen
Secara anatomis, cavum abdomen dibagi menjadi, kuadran kanan atas
dan bawah serta kuadran kiri atas dan bawah. Kuadran kanan atas terdiri dari
lobus kanan hepar, kantung empedu, pilorus, sebagian duodenum, caput
pankreas, kelenjar adrenal kanan, ginjal kanan, colon bagian fleksura hepatika
kanan, colon ascendens, dan setengah bagian colon transversa.
Kuadran kanan bawah terdiri dari caecum, appendix, sebagian besar
ileum, bagian bawah colon ascendens, ovarium, tuba fallopi kanan, segmen
abdominal ureter, korda spermatika kanan, uterus (pada wanita hamil), dan
vesika urinaria (saat penuh).
Kuadran kiri atas terdiri dari lobus kiri hepar, lien, lambung, jejunum,
ileum proximal, corpus dan “ekor” pankreas, ginjal dan kelenjar adrenal kiri,
colon bagian flexura lienalis, setengah bagian colon transversa dan
descendens.
Kuadran kiri bawah terdiri dari colon sigmoid, setengah distal colon
descendens, ovarium dan tuba fallopi kiri, segmen abdomen ureter kiri, korda
spermatika kiri, uterus (saat hamil), dan vesika urinaria (bila penuh).
b) Persiapan Pasien
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik abdomen, dokter perlu melakukan
anamnesis. Anamnesis merupakan kunci dari diagnosis. Anamnesis meliputi

2
keluhan utama yang dialami pada saat itu serta keluhan tambahan. Keluhan
tersebut kemudian digali lebih dalam untuk menemukan arah diagnosis.
Selain itu, dokter juga perlu menjelaskan kepada pasien mengenai
prosedur pemeriksaan fisik abdomen yang akan dilakukan. Pasien juga perlu
diberitahu mengenai kemungkinan adanya rasa tidak nyaman maupun nyeri
yang bertambah pada saat pemeriksaan.
Pemeriksaan fisik yang baik dilakukan secara sistematis, diawali dengan
melihat keadaan umum dan kesadaran pasien, serta tanda-tanda vital. Tanda-
tanda vital ini terutama sangat penting, mengingat banyaknya kasus gangguan
intra abdomen ataupun trauma yang menyebabkan gangguan hemodinamik
dan merupakan kasus kegawatdaruratan. Tanda vital kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik umum “head-to-toe”. Pemeriksaan fisik umum ini
diawali dari kepala, leher, paru, kemudian baru ke pemeriksaan fisik abdomen
dan seterusnya.
Sebelum dilakukan pemeriksaan fisik, ada baiknya untuk meminta
pasien BAK terlebih dahulu. Selain itu, tanyakan mengenai lokasi nyeri,
sehingga pada pemeriksaan palpasi, area tersebut merupakan area terakhir
yang dipalpasi. Terutama pada pasien yang nyeri, alihkan perhatian pasien
dengan mengajak pasien berbicara agar pasien merasa lebih nyaman.
c) Peralatan
Peralatan yang diperlukan pada pemeriksaan fisik abdomen meliputi,
stetoskop dan pita ukur untuk mengukur lingkar perut. Adapun pada
pemeriksaan fisik dapat melibatkan keluarga pasien atau asisten sebagai saksi
pemeriksaan fisik, terutama pada pasien yang berbeda gender dengan
pemeriksa.
Pemeriksa harus mencuci tangan dengan bersih sebelum melakukan
pemeriksaan fisik. Perhatikan untuk menghangatkan tangan pemeriksa dan
stetoskop terlebih dahulu dengan cara menggesekkan kedua telapak tangan
atau memasukkan tangan pada air hangat.
d) Posisi Pasien

3
Posisi terbaik pada pemeriksaan fisik abdomen adalah supinasi dengan
kedua lengan di samping kanan dan kiri badan atau menyilang di dada. Kedua
tungkai difleksikan untuk membantu agar dinding abdomen lebih rileks.
Apabila lengan diletakkan di atas kepala, dinding abdomen akan teregang dan
menjadi lebih tegang, sehingga palpasi menjadi lebih sulit. Pemeriksa berada
di sebelah kanan pasien.
e) Prosedural
Prosedur pemeriksaan fisik abdomen meliputi inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi. Sebelum melakukan pemeriksaan fisik abdomen. Baju yang
dikenakan perlu diangkat sampai minimal setinggi garis puting, serta
menggunakan selimut untuk menutup tungkai sampai simfisis pubis. Minta
pasien untuk melipat paha dan lutut agar dinding abdomen lebih rileks.
 Inspeksi
Inspeksi dilakukan dengan cara melihat permukaan, kontur, dan
pergerakan dinding abdomen. Inspeksi meliputi :
1. Kulit : Pada kulit, perhatikan apabila terdapat skar, striae, dilatasi vena,
serta kemerahan dan ekimosis (dapat terlihat pada perdarahan
intraperitoneal atau retroperitoneal).
2. Ekimosis : Selain menunjukkan adanya perdarahan intraperitoneal atau
retroperitoneal, adanya ekimosis juga dapat mengarahkan diagnosis
lainnya. Grey Turner sign merupakan ekimosis yang dapat disertai warna
kehijauan pada area flank pada pasien pankreatitis akut dengan perdarahan
ekstraperitoneal yang berdifusi sampai ke jaringan subkutan area flank.
Cullen’s sign merupakan ekimosis yang dapat disertai warna kebiruan
pada kulit area periumbilikal karena adanya perdarahan retroperitoneal
atau intraabdominal, seperti kehamilan ektopik terganggu.
3. Umbilikus : Pada umbilikus, perlu diperhatikan kontur dan lokasinya, serta
ada atau tidaknya inflamasi ataupun benjolan, seperti pada hernia
umbilikalis.
4. Kontur abdomen : Kontur abdomen yang dimaksud adalah permukaan
(datar, distensi, menonjol, atau cekung), bagian samping abdomen (ada

4
atau tidaknya benjolan atau massa), kesimetrisan dinding abdomen, massa
atau organomegali yang tampak menonjol (misalnya hepatomegali atau
splenomegali).
5. Peristaltik : Pada pasien yang sangat kurus, kemungkinan gerakan
peristaltik usus dapat terlihat, terutama apabila terdapat obstruksi.
6. Pulsasi : Pulsasi aorta juga dapat terlihat pada pasien yang sangat kurus.
Apabila terlihat pada area epigastrium, maka dapat dikatakan normal.
 Palpasi
Palpasi pada pemeriksaan fisik abdomen terdiri dari palpasi ringan dan
dalam. Palpasi ringan dapat menilai adanya nyeri tekan, defans muskular, dan
massa pada organ-organ superfisial. Palpasi ringan dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1. Meletakkan telapak tangan dengan jari-jari yang rapat dan rata pada dinding
abdomen.
2. Lakukan penekanan ringan pada keempat kuadran abdomen.
3. Pada palpasi ringan ini, perlu dilakukan identifikasi organ-organ maupun
massa yang letaknya superfisial, serta area yang mengalami nyeri tekan.
4. Apabila terdapat defans, bedakan antara tahanan volunter dan spasme otot
involunter, karena adanya spasme yang involunter dapat mengarahkan
diagnosis ke peritonitis.
Palpasi dalam dilakukan untuk menggambarkan massa intra-abdomen
serta adanya organomegali. Palpasi ini dilakukan dengan :
1) Gunakan permukaan telapak tangan, kemudian lakukan penekanan
pada keempat kuadran.
2) Apabila terdapat massa, lakukan identifikasi lokasi, ukuran, bentuk,
konsistensi, nyeri saat penekanan, pulsasi, dan mobilitas massa.
Carnett’s sign adalah nyeri tekan yang dirasakan bertambah saat
mengkontraksikan otot dinding abdomen. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
meminta pasien supinasi, kemudian pada lokasi yang diperkirakan nyeri oleh
pasien, dilakukan penekanan sambil meminta pasien mengangkat kedua tungkai

5
dan batang tubuh serta kepala secara bersamaan. Hal ini akan membuat otot
dinding abdomen berkontraksi.
Seringkali beberapa organ intraabdomen, seperti hepar, ginjal, dan usus
sulit untuk dipalpasi, hal ini normal terutama pada pasien dengan dinding perut
yang tebal, misalnya pasien dengan obesitas sentral.
Nyeri pada palpasi epigastrium dapat disebabkan oleh gastritis, kolesistitis
akut, defek tertentu (misalnya diastasis otot), dan massa pulsatil pada aneurisma
aorta abdominal.
Selain pemeriksaan fisik abdomen, terutama pada pasien dengan nyeri
abdomen akut, perlu dilakukan pemeriksaan organ pelvis dan genitalia eksterna
untuk mengeksklusi kemungkinan diagnosis lain. Pada wanita, terutama dilakukan
untuk mengeksklusi kemungkinan kehamilan ektopik terganggu dan penyakit
radang panggul.
 Perkusi
Perkusi dilakukan untuk melihat distribusi gas intraabdomen,
kemungkinan adanya massa, serta ukuran hepar dan lien serta organ lainnya.
Perkusi dilakukan pada keempat kuadran abdomen dengan melihat area yang
timpani maupun pekak. Bunyi timpani disebabkan karena adanya gas pada traktus
gastrointestinal, sedangkan bunyi pekak dapat disebabkan oleh adanya cairan,
massa atau pembesaran organ, maupun feses.
Perkusi pada bagian infero-anterior arcus costae sebelah kanan dapat
ditemukan pekak karena adanya hepar, sedangkan di sebelah kiri akan ditemukan
timpani pada area gaster dan fleksura lienalis.
Perkusi dilakukan dengan mengekstensikan jari tengah telapak tangan kiri
(pleximeter) pada permukaan bagian abdomen yang mau diperkusi, dengan jari
tengah kanan difleksikan (perkusor) sambil diketuk berulang di sendi
interphalangeal distal pada pleximeter.
 Auskultasi
Auskultasi pada pemeriksaan abdomen terutama memberikan informasi
mengenai bising usus. Berbeda dari pemeriksaan fisik lainnya, disarankan untuk
melakukan pemeriksaan auskultasi terlebih dahulu pada pemeriksaan fisik

6
abdomen karena manuver perkusi dan palpasi dapat menstimulasi ataupun
mendepresi peristaltik usus. Bising usus normal berkisar antara 5-34 kali/menit.
Auskultasi minimal dilakukan selama 2 menit pada tiap regio, dan minimal
dilakukan pada 1 regio untuk menentukan kesimpulan bunyi usus pasien.
Adanya inflamasi (misal peritonitis), infeksi, ileus paralitik, dan ileus
obstruktif akan mengubah karakteristik bising usus. Pada keadaan tertentu seperti
infeksi, dapat terdengar bunyi borborygmi dan hiperperistalsis. Pada auskultasi
peristaltik usus, perlu diperhatikan frekuensi, durasi, volume, dan kualitas bising
usus.
Pada auskultasi abdomen, dapat ditemukan adanya bunyi seperti murmur
di aorta, arteri iliaca, dan arteri femoralis. Murmur dapat terdengar terutama pada
pasien dengan hipertensi. Murmur juga dapat terdengar pada pasien dengan
stenosis arteri maupun dilatasi arteri yang disebabkan oleh aneurisma. Murmur
arteri renalis, sesuai dengan posisi anatomisnya akan lebih terdengar dari
punggung.
Pada area hepar dan lien, perlu dilakukan auskultasi untuk melihat adanya
friction rub. Hal ini dapat terjadi pada pasien dengan hepatoma, infeksi
gonococcus pada area hepar, dan infark lien.

B. Pemeriksaan Fisik Religio


Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara
toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang
terbentuk dari dari otot abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk
membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering dipakai
adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horisontal dan dua
bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior
abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan
horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi
bagian atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh
yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum
inguinale. Regio abdomen tersebut tampak pada gambar 2.1

7
1) Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung
empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal
kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2) Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan
sebagian dari hepar.
3) Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan
kelenja suprarenal kiri.
4) Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
5) Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
6) Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kiri, sebagian jejenum dan ileum.
7) Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum
dan ureter kanan.
8) Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus
(pada kehamilan).
9) Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan
ovarium kiri.

8
Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio
yaitu : rongga peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. rongga
pelvis sebenarnya terdiri dari bagian dari intraperitoneal dan sebagian
retroperitoneal. Rongga peritoneal dibagi menjadi dua yaitu bagian atas dan
bawah. Rongga peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang toraks, termasuk
diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan
sebaga komponen torako-abdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal
bawah berisi usus halus, sebagian kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid,
caecum, dan organ reproduksi pada wanita.
Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta
abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan
ureter, permukaan paskaerior kolon ascenden dan descenden serta komponen
retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan rongga pelvis dikelilingi oleh tulang
pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga peritoneal dan
retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan
organ reproduksi interna pada wanita.

C. Pemeriksaan Fisik Hepar


Normalnya, sebagian besar permukaan hepar ditutupi costae, sehingga
pemeriksaan bentuk dan ukurannya diestimasi dengan perkusi dan palpasi. Palpasi
akan membantu mengevaluasi permukaan, konsistensi, dan nyeri tekan pada
hepar.
 Perkusi
Perkusi dilakukan untuk menentukan batas hepar. Perkusi hepar dilakukan
sebagai berikut :
1. Batas bawah hepar dinilai dengan melakukan perkusi dari setinggi
umbilikus kemudian vertikal ke atas pada linea midklavikula, sampai
terdapat bagian yang lebih pekak. Batas bawah hepar dianggap sebagai
batas antara bagian yang timpani dan pekak.
2. Batas atas hepar dinilai dengan melakukan perkusi setinggi garis puting
susu kemudian vertikal ke bawah pada garis midklavikula, sampai terdapat
bagian yang pekak. Batas atas hepar dianggap sebagai batas antara bagian

9
yang sonor dan pekak. Pada wanita, perkusi dilakukan dengan
“menyibakkan” payudara agar pemeriksaan lebih akurat.
3. Pada linea midklavikula, normalnya ukuran vertikal hepar berkisar antara
6-12 cm, sedangkan di bawah processus xiphoideus, ukuran vertikal hepar
berkisar antara 4-8 cm.
 Palpasi
Palpasi hepar dilakukan untuk mengevaluasi permukaan, konsistensi, dan
nyeri tekan pada hepar. Palpasi hepar dilakukan sebagai berikut :
1. Letakkan telapak tangan kiri pemeriksa pada punggung pasien, kira-kira
pada area hepar di intercostal space (ICS) 11 dan 12 kanan.
2. Tangan kiri melakukan penekanan ke atas, dan tangan kanan melakukan
palpasi hepar dari atas (dari dinding perut), pada pemeriksaan ini, margin
lobus kanan hepar akan lebih teraba.
3. Minta pasien untuk menarik napas dalam pada saat melakukan penekanan.
Pernapasan dilakukan dengan melakukan pernapasan abdominal, karena
dengan teknik ini hepar, lien, dan ginjal akan lebih mudah teraba.
4. Palpasi lobus kiri hepar juga dilakukan dengan langkah-langkah yang
sama, namun palpasi lobus kiri dilakukan pada bagian lateral muskulus
rectus abdominis.
5. Perhatikan saat dirasakan nyeri tekan pada pemeriksaan ini. Normalnya,
hepar teraba kenyal, batas tajam, dan regular dengan permukaan yang rata.
Nyeri tekan minimal dapat dirasakan pada pemeriksaan ini.
Pada pasien yang obesitas, palpasi hepar dapat dilakukan dengan teknik
“hooking”, teknik ini dilakukan dengan:
1) Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien, setinggi dada pasien, dan
menghadap ke kaki pasien.
2) Kedua telapak tangan diletakkan bersebelahan, dengan ujung jari-jari
berada pada abdomen kanan, pada ujung di mana ditemukan pekak
pada hepar.

10
3) Penekanan dilakukan dengan ujung jari-jari ke arah arcus costae
dengan meminta pasien menarik napas dalam, ujung hepar akan teraba
pada ujung jari.
Apabila pada palpasi, hepar tidak teraba, maka untuk mengetahui adanya
nyeri tekan dilakukan dengan meletakkan telapak tangan di bawah arcus costae
kanan. Kemudian lakukan penekanan ke atas dengan menggunakan sisi ulnar
telapak tangan. Tanyakan nyeri maupun rasa tidak nyaman yang mungkin
dirasakan pada pemeriksaan ini.
Pada keadaan tertentu, hepar dapat terdorong ke bawah oleh diafragma
bahkan sampai di bawah arcus costae. Hal ini biasanya terjadi pada penyakit paru
seperti emfisema, ataupun pada pasien dengan skoliosis.
 Auskultasi
Auskultasi hepar dilakukan untuk melihat adanya friction rub serta
murmur pada pemeriksaan hepar atau area di sekitarnya yang kemungkinan
berhubungan dengan penyakit hepar. Namun, pemeriksaan murmur ini kurang
efektif karena hanya 10% dari pasien yang mengalami hepatoma terdengar
murmurnya.

D. Pemeriksaan Fisik Lien


Sesuai dengan posisi anatomisnya, apabila lien membesar (splenomegali),
pembesarannya akan ke anterior, bawah, dan medial rongga perut, sehingga bunyi
timpani dari gaster dan colon menghilang dan digantikan menjadi pekak. Apabila
membesar, organ ini dapat terpalpasi di bawah arcus costae. Normalnya, lien
terletak pada bagian posterior sepanjang ICS 9-11, perkusi pada area ini dapat
berbunyi sedikit lebih pekak.
 Perkusi
Terdapat dua teknik perkusi yang dapat mendeteksi splenomegali :
1. Perkusi pada dinding dada kiri-bawah-anterior, dari pinggir batas pekak
jantung (ICS 6, linea axillaris anterior) ke bawah sampai ke arcus costae, di
sini terdapat area yang dikenal dengan Ruang Traube. Apabila pada area ini
didapatkan bunyi timpani yang jelas, maka kemungkinan besar tidak terdapat
spenomegali. Splenomegali dapat dicurigai apabila terdapat bunyi pekak.

11
2. Selain itu, dapat pula dilakukan perkusi pada ICS terbawah pada linea
axillaris anterior, yang biasanya timpani. Minta pasien untuk menarik napas
dalam kemudian lanjutkan perkusi. Bila ukuran lien normal, maka perkusi ini
biasanya tetap menunjukkan bunyi timpani.
 Palpasi
Palpasi lien dilakukan untuk mengetahui adanya splenomegali. Palpasi
lien dilakukan dengan :
1. Telapak tangan kiri diletakkan di bagian postero-lateral iga terbawah dan
jaringan lunak di sekitarnya, kemudian mendorong area tersebut ke arah
dinding perut. Tangan kanan diletakkan pada arcus costae kiri kemudian
menekan area tersebut ke arah lien.
2. Minta pasien untuk menarik napas, kemudian pemeriksa berusaha meraba
margin lien dengan ujung jari.
3. Apabila teraba, nilai adanya nyeri tekan, kontur lien, serta jarak antara margin
lien dengan arcus costae .
Pemeriksaan ini dapat diulang dengan meminta pasien berbaring pada sisi
kanan dengan memfleksikan lipat paha dan sendi lutut. Gravitasi akan akan
membantu agar lien lebih ke anterior dan kanan sehingga lebih mudah dilakukan
palpasi.
Palpasi lien untuk menentukan grading splenomegali dapat dilakukan
dengan melakukan pemeriksaan fisik dengan garis schuffner dari arcus costae kiri,
melewati umbilikus ke spina iliaca anterior superior kanan. Kemudian garis
tersebut dibagi menjadi 8 sama besar.

E. Pemeriksaan Fisik Gastritis


Gastritis adalah penyakit akibat peradangan di dinding lambung. Kondisi
ini umumnya ditandai dengan nyeri di bagian ulu hati. Jika dibiarkan, gastritis
bisa berlangsung bertahun-tahun dan menimbulkan komplikasi serius, seperti
tukak lambung.
Gastritis terbagi menjadi dua jenis, yaitu gastritis akut dan kronis. Gastritis
akut terjadi ketika peradangan di lapisan lambung berlangsung secara tiba-tiba.

12
Kondisi ini menyebabkan nyeri ulu hati hebat yang bersifat sementara. Namun,
jika tidak ditangani, gastritis akut bisa berlanjut menjadi kronis.

Pada gastritis kronis, peradangan di lapisan lambung terjadi secara


perlahan dan dalam waktu lama. Nyeri akibat gastritis kronis lebih ringan
dibandingkan dengan gastritis akut, tetapi muncul lebih sering dan terjadi dalam
waktu yang lebih lama.
 Penyebab Gastritis.
Dinding lambung tersusun dari jaringan penghasil enzim pencernaan dan
asam lambung. Dinding lambung juga menghasilkan lendir (mukus) yang tebal,
untuk melindungi lapisan lambung dari kerusakan akibat asam lambung.
Gastritis terjadi ketika dinding lambung mengalami peradangan.
Penyebabnya bisa bermacam-macam, tergantung pada jenis gastritis itu sendiri.
Berikut adalah penjelasannya:
a) Gastritis akut
Gastritis akut terjadi ketika dinding lambung rusak atau melemah secara
tiba-tiba. Akibatnya, lambung bisa terpapar cairan asam lambung dan mengalami
iritasi.
Seseorang dapat terserang gastritis akut bila:
1. Menggunakan obat-obatan tertentu, seperti obat anti inflamasi
nonsteroid dan kortikosteroid.
2. Mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan.

13
3. Menderita penyakit tertentu, seperti refluks empedu, gagal ginjal, infeksi
virus, atau infeksi bakteri seperti Helicobacter pylori.
4. Mengalami stres berat.
5. Menderita penyakit autoimun yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh
menyerang dinding lambung.
6. Menelan zat yang bersifat korosif dan dapat merusak dinding lambung,
seperti racun.
7. Mengalami efek samping akibat prosedur operasi.
8. Menggunakan alat bantu pernapasan.
9. Menyalah gunakan NAPZA, terutama kokain.
b) Gastritis kronis
Gastritis kronis terjadi akibat peradangan di dinding lambung yang terjadi
dalam waktu lama dan tidak diobati. Gastritis kronis dapat berdampak pada
sebagian atau semua bagian mukus pelindung lambung.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan gastritis kronis, meliputi:
1. Daya tahan tubuh lemah.
2. Penggunaan obat-obatan tertentu, seperti aspirin dan ibuprofen.
3. Penyakit tertentu, seperti diabetes atau gagal ginjal.
4. Stres berat yang terjadi terus-menerus sehingga memengaruhi sistem
kekebalan tubuh.
 Faktor risiko gastritis
Gastritis dapat dialami oleh semua orang, tetapi ada beberapa faktor yang
dapat meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit ini, yaitu:
1. Kebiasaan merokok.
2. Pola makan tinggi lemak atau garam.
3. Pertambahan usia, karena seiring waktu lapisan mukosa lambung akan
mengalami penipisan dan melemah.
4. Konsumsi minuman beralkohol yang berlebihan.
5. Konsumsi obat pereda nyeri yang terlalu sering.
6. Penyakit autoimun, seperti HIV/AIDS, penyakit Crohn.
7. Infeksi parasit.

14
 Gejala Gastritis
Gejala gastritis dapat berbeda pada tiap penderita. Bahkan, kondisi ini juga
dapat terjadi tanpa disertai gejala. Namun, penderita gastritis biasanya mengalami
gejala berupa:
1. Nyeri yang terasa panas atau perih di bagian ulu hati.
2. Perut kembung.
3. Mual
4. Muntah
5. Hilang nafsu makan.
6. Cegukan
7. Cepat merasa kenyang saat makan.
8. Berat badan menurun secara tiba-tiba.
9. Gangguan pencernaan.
10. Buang air besar dengan tinja berwarna hitam.
11. Muntah darah.
 Diagnosis Gastritis
Diagnosis gastritis diawali dengan tanya jawab terkait gejala yang dialami
dan riwayat kesehatan pasien, diikuti dengan pemeriksaan fisik. Selanjutnya,
dokter akan menyarankan pasien menjalani pemeriksaan lanjutan untuk
memastikan diagnosis, antara lain;
1. Tes untuk infeksi Helicobacter Pylori
Tes yang dilakukan adalah tes darah, tes sampel tinja, atau uji urea pada
pernapasan (urea breath test). Selain untuk mendeteksi keberadaan bakteri
Helicobacter pylori, tes darah juga dapat mendeteksi anemia.
Pemeriksaan sampel tinja juga dapat mendeteksi gastritis, terutama gastritis
erosif, dengan mendeteksi keberadaan darah di tinja.
2. Gastroskopi
Gastroskopi bertujuan untuk mendeteksi tanda-tanda peradangan di dalam
lambung. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan selang berkamera.
Selang ini akan dimasukkan melalui mulut untuk melihat kondisi lambung.

15
Gastroskopi dapat dikombinasikan dengan biopsi (pengambilan sampel
jaringan) di area lambung yang diduga mengalami peradangan. Selanjutnya,
sampel tersebut akan diteliti di laboratorium. Biopsi juga bisa dilakukan untuk
melihat keberadaan bakteri H. Pylori
3. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat kondisi saluran pencernaan
bagian atas. Agar luka di saluran pencernaan, terutama lambung, dapat
terlihat, dokter akan meminta pasien untuk menelan cairan barium sebelum
foto Rontgen dilakukan.
 Pengobatan Gastritis
Pengobatan gastritis bertujuan untuk mengatasi kondisi ini dan meredakan
gejala yang ditimbulkannya. Tergantung pada penyebabnya, dokter dapat
memberikan obat-obatan berupa:
1. Antasida
Antasida mampu meredakan nyeri secara cepat, dengan cara menetralisir
asam lambung. Obat ini juga efektif untuk meredakan gejala lain, terutama
pada gastritis akut.
Contoh obat antasida untuk mengatasi gastritis adalah aluminium
hidroksida dan magnesium hidroksida.
2. Penghambat histamin 2 (H2 blocker)
Obat ini meredakan gejala gastritis dengan cara menurunkan produksi
asam lambung. Contoh obat penghambat histamin 2 adalah ranitidin,
cimetidine, dan famotidine.
3. Penghambat pompa proton (PPI)
Obat ini juga bertujuan untuk menurunkan produksi asam lambung, tetapi
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Contoh obat penghambat pompa
proton adalah omeprazole, lansoprazole, esomeprazole, rabeprazole,
dan pantoprazole.
4. Antibiotik

16
Obat ini digunakan pada gastritis yang disebabkan oleh infeksi bakteri H.
pylori. Jenis antibiotik yang diberikan adalah amoxicillin, clarithromycin,
tetracycline, atau metronidazole.
5. Antidiare
Obat ini diberikan pada pasien dengan keluhan diare. Contoh obat antidiare
yang dapat diberikan adalah bismut subsalisilat.
Guna membantu meredakan gejala dan proses penyembuhan, pasien
disarankan untuk menyesuaikan gaya hidup, yaitu dengan:
1) Menyusun pola dan jadwal makan yang teratur.
2) Makan dengan porsi yang lebih sedikit sehingga makan menjadi lebih
sering dari biasanya.
3) Menghindari makanan berminyak, asam, dan pedas, karena dapat
mengiritasi lambung sehingga memperparah gejala.
4) Mengelola stres dengan baik.
5) Tidak merokok.
 Komplikasi Gastritis
Gastritis yang tidak ditangani dapat menyebabkan sejumlah komplikasi
serius, yaitu:
1. Tukak lambung.
2. Perdarahan lambung.
3. Kanker lambung.
Jika gejala gastritis sering kambuh akibat penggunaan obat pereda nyeri
jenis antiinflamasi nonsteroid (OAINS), pasien disarankan untuk berkonsultasi
dengan dokter terkait hal tersebut.
 Pencegahan Gastritis
Gastritis dapat dicegah dengan menjaga pola makan dan gaya hidup.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah:
1. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum memasak dan
makan, untuk mencegah penularan infeksi bakteri pylori.
2. Menghindari makanan pedas, asam, berlemak, atau digoreng.
3. Mengonsumsi makanan dengan porsi yang lebih sedikit.

17
4. Menghindari berbaring setelah makan sampai waktu 2–3 jam setelahnya.
5. Mengurangi konsumsi minuman berkafein atau beralkohol.
6. Mengendalikan stres.
7. Menghindari konsumsi obat antiinflamasi nonsteroid berlebihan atau tanpa
berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter.

F. Pemeriksaan Fisik Usus


Pemeriksaan bising usus untuk mendeteksi adanya obstruksi usus
merupakan pemeriksaan pilihan karena hanya memerlukan sedikit waktu untuk
dilakukan. Namun, hingga saat ini, akurasi pemeriksaan ini masih dipertanyakan.
Auskultasi bising usus termasuk pemeriksaan fisik abdomen standar yang
bertujuan untuk membantu dokter mengetahui kelainan pada usus, termasuk
obstruksi usus. Obstruksi usus adalah kondisi gawat yang memerlukan tatalaksana
segera.
 Obstruksi Usus Halus
Secara garis besar, obstruksi usus dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
obstruksi usus halus dan obstruksi usus besar. Sekitar 80% kasus obstruksi usus
terjadi pada usus halus. Pada orang normal, insiden obstruksi usus halus adalah
0,5–1%. Insiden ini akan meningkat menjadi 60% pada pasien yang pernah
menjalani operasi di area abdomen atau pelvis. Sebagian besar obstruksi
disebabkan oleh adhesi pascaoperasi. Faktor lain yang dapat meningkatkan risiko
obstruksi usus halus adalah inflamasi usus (termasuk penyakit Crohn dan kolitis
ulseratif), neoplasma, hernia, riwayat radioterapi, dan riwayat menelan benda
asing. Obstruksi pada usus halus akan menghambat perfusi jaringan usus. Hal ini
dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis pada usus. Komplikasi lain yang dapat
timbul adalah perforasi usus, peritonitis, sepsis, kegagalan multiorgan, dan abses
intraabdomen.

18
 Obstruksi Usus Besar
Obstruksi usus besar biasanya terjadi di kolon transversal atau descending.
Penyebab utamanya adalah kanker di area rektosigmoid, rektum, dan anal. Sekitar
30% pasien kanker kolorektal mengalami obstruksi usus besar dan 77% di
antaranya menjalani operasi cito. Komplikasi yang sering muncul adalah perforasi
usus dan sepsis.
 Penegakkan Diagnosis Obstruksi Usus
Obstruksi usus merupakan kondisi gawat darurat yang harus segera
ditangani untuk mencegah komplikasi dan mortalitas. Oleh karena itu, kondisi ini
harus segera didiagnosis. Penegakkan diagnosis dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dalam pemeriksaan fisik dapat
ditemukan, distensi abdomen, nyeri abdomen, atau teraba massa. Bising usus pada
awalnya dapat terdengar normal. Kemudian terjadi peningkatan bising usus, lalu
menghilang pada tahap yang lebih berat. Pemeriksaan penunjang awal yang
diperlukan adalah foto polos abdomen. Dapat dilanjutkan dengan CT-scan atau
MRI abdomen.
 Makna Klinis Pemeriksaan Bising Usus
Bising usus sudah lama dijadikan patokan untuk mendeteksi kelainan pada
abdomen. Namun, bukti yang ada saat ini belum cukup untuk menyatakan bahwa
hasilnya (normal atau abnormal) bermakna secara klinis. Selain itu, masih
terdapat perdebatan mengenai interpretasi pemeriksaan ini, baik temuan normal
atau abnormal.
Bising usus yang normal memiliki frekuensi 5–34 kali per menit.
Terkadang, jarak antar siklus bising usus mencapai 5–35 menit. Hal ini berarti
bahwa pemeriksaan bising usus yang ideal dilakukan selama >35 menit. Sebab,
bising usus mungkin tidak terdengar selama 35 menit dan hal tersebut belum tentu
menandakan kelainan pada abdomen. Meskipun demikian, pemeriksaan yang
ideal tersebut sangat memakan waktu dan tidak mungkin dilakukan. Biasanya,
pemeriksaan bising usus dilakukan 30 detik–7 menit. Selain itu, tidak semua
gerakan peristaltik usus menghasilkan bising usus yang dapat didengar melalui

19
stetoskop. Oleh karena itu, tidak terdengarnya bising usus bukan berarti tidak ada
gerakan peristaltik.
Tidak terdengarnya bising usus berhubungan dengan obstruksi usus,
iskemia usus, ileus paralitik, dan peritonitis. Sementara itu, peningkatan bising
usus dapat disebabkan oleh gastroenteritis, diare, penyakit inflamasi usus
(inflammatory bowel disease/IBD), penggunaan laksatif, perdarahan saluran
cerna, dan obstruksi usus. Temuan lain dari pemeriksaan auskultasi abdomen
adalah bruit, hepatic venous hum, dan friction rub. Bruit menandakan aneurisma
aorta atau stenosis arteri renal. Hepatic venous hum dapat ditemukan pada
hipertensi portal, sedangan friction rub berhubungan dengan inflamasi peritoneal,
infark limpa, atau metastasis hepar.
 Mendeteksi Obstruksi Usus
Meskipun tidak banyak, beberapa penelitian mempelajari akurasi
auskultasi bising usus untuk mendeteksi obstruksi usus. Sebuah penelitian yang
dipublikasi tahun 2010 menilai akurasi pemeriksaan bising usus pada 10 subjek
normal, 9 subjek dengan obstruksi usus, dan 7 dengan subjek ileus. Pemeriksaan
bising usus dilakukan selama 30 menit menggunakan stetoskop elektronik.
Pembacaan hasil rekaman stetoskop elektronik dilakukan oleh 20 dokter.
Diagnosis yang benar untuk kasus normal adalah 78,4%; kasus obstruksi usus
adalah 42,1%; dan kasus ileus adalah 84,5%. Perbedaan interpretasi antar dokter
sekitar 43%.
Penelitian lain yang dipublikasi pada tahun 2014 membandingkan akurasi
bising usus dalam mendeteksi obstruksi usus halus dan ileus pascaoperasi.
Penelitian ini juga menggunakan stetoskop elektronik. Sensitivitas pemeriksaan
bising usus untuk kasus normal adalah 32%; kasus obstruksi usus halus adalah
22%. Sementara positive predictive value untuk kasus normal adalah 23%; kasus
obstruksi usus halus 28%; dan kasus obstruksi adalah 44%. Interpretasi dilakukan
oleh 41 dokter dengan latar belakang pendidikan yang berbeda (dokter muda/koas,
residen senior, dokter spesialis ilmu penyakit dalam, dan dokter bedah).
Berdasarkan hasil kuesioner, hanya 17% dokter yang mengaku selalu melakukan
pemeriksaan auskultasi abdomen dalam praktik sehari-hari.

20
Penelitian serupa yang dipublikasi pada tahun 2015 menyatakan bahwa
sensitivitas pemeriksaan bising usus untuk mendiagnosis obstruksi usus adalah
42%, sedangkan spesifisitasnya 78%. Penelitian yang melibatkan 53 dokter
tersebut menyatakan bahwa tidak ada perbedaan interpretasi yang bermakna
antara dokter junior dan senior. Meskipun demikian, perbedaan interpretasi antar
dokter tetap sangat tinggi, mencapai 70%.
Pada tahun 2009–2011, Ching dan Tan melakukan studi pada 71 subjek.
Studi tersebut bertujuan untuk mengetahui karakteristik bising usus pada subjek
normal dan subjek dengan obstruksi usus. Hasilnya, tidak ditemukan perbedaan
karakteristik bising usus antara pasien dengan obstruksi usus dan pasien normal.
Namun, bising usus pada obstruksi usus besar memiliki durasi yang lebih lama
dan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus halus.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemeriksaan fisik yang baik dilakukan secara sistematis, diawali dengan
melihat keadaan umum dan kesadaran pasien, serta tanda-tanda vital. Tanda-tanda
vital ini terutama sangat penting, mengingat banyaknya kasus gangguan intra
abdomen ataupun trauma yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan
merupakan kasus kegawat daruratan. Tanda vital kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik umum “head-to-toe”. Pemeriksaan fisik umum ini diawali dari
kepala, leher, paru, kemudian baru ke pemeriksaan fisik abdomen dan seterusnya.
Pemeriksaan fisik dilakukan denan melakukan 4 teknik yang biasa
disingkat dengan IPPA yaitu : (Inpeksi, Palpasi, Perkusi, Auksultasi)

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini bisa membantu pembaca memahami
Teknik bagaimana cara pemeriksaan fisik.

22
DAFTAR PUSTAKA

https://www.alomedika.com/tindakan-medis/gastroentero-hepatologi/pemeriksan
-fisik-abdomen/Teknik

http://eprints.umpo.ac.id

https://www.alomedika.com/bising-usus-untuk-deteksi-obstruksi-uus

23
LAMPIRAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM JURUSAN KEPERAWATAN
Program Studi DIV Keperawatan
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-

CHECKLIST PEMERIKSAAN FISIK ABDOMEN


Nama : ……………………………………….
No. Mahasiswa : ……………………………………….
Nilai
Aspek yang Dinilai
0 1 2
Definisi :Melakukan pemeriksaan fisik pada area abdomen

Tujuan :
1. Mengetahui bentuk dan gerakan-gerakan perut.
2. Mendengar suara peristaltic usus.
3. Mengidentifiikasi adanya nyeri tekan, organ-oran dalam perut,
benjolan dalam perut, dll.

Persiapan Alat :
 Stetoskop
 Penggaris kecil
 Pensil gambar
 Bantal kecil

Tahap Pra Interaksi


1. Cuci tangan
2. Siapkan Alat-alat
Tahap Orientasi
1. Memberi salam, panggil klien dengan panggilan yang disenangi
2. Memperkenalkan nama perawat
3. Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan pada klien atau keluarga
4. Menjelaskan tentang kerahasiaan

Tahap Kerja

a) Inspeksi
(1) Atur posisi klien
 Letakkan klien pada posisi supine
 Letakkan satu bantal di bawah kepala dan lutut klien
 Tutupi dada klien dengan baju periksa, hanya buka daerah
abdomen.
 Letakkan selimut pada daerah pubis dan tutupi daerah kaki.
(2) Visualisasi kuadran atau region abdomen
 Visualisasi garis horizontal dan vertikal yang membagi

24
abdomen kedalam 4 kuadran dan 9 region.
 Visualisasi organ atau struktur yang ada di bawahnya.

(3) Tentukan kontur atau kesimetrisan abdomen


 Observasi bentuk abdomen antara batas tulang rusuk dengan
simpisis pubis. Pemeriksa melakukan observasi abdomen pada
posisi setinggi mata (pemeriksa duduk dan berlutut).
 Observasi kesimetrisan abdomen : pertama observasi pada
posisi berdiri di samping klien, kemudian berdiri di depan kaki
tempat tidur/meja periksa dan bandingkan sisi kiri dan kanan
abdomen. Periksa bila ada tonjolan atau massa
(ketidaksimetrisan bentuk) dan apakah ada distentsi kandung
kemih atau tidak. Distensi kandung kemih dapat dilihat dari
bagian suprapubis.
(4) Observasi lokasi dari umbilicus : apakah berada di tengah-tengah
abdomen, inverted atau menonjol; perhatikan kebersihan dan
tanda-tanda implikasi.
(5) Observasi kulit abdomen :
 Periksa adanya skar (luka jaringan parut), striae, pembesaran
vena, lecet atau kemerahan pada kulit, dan adanya ostomi.
Obserbasi lokasi dan karakteristiknya.
(6) Observasi pergerakan dinding abdomen
 Pergerakan abdomen dapat berupa pulsasi atau gelombang
peristaltik.

b) Auskultasi
(1) Auskultasi bising usus
 Gunakan diafragma stetoskop
 Mulai auskultasi pada daerah RLQ
 Perhatikan karakter dan frekuensi bising usus
 Hitung bising usus minimal selama 60 detik.
(2) Auskultasi bunyi vaskular dan friction rub
 Gunakan bell stetoskop
 Dengarkan pada daerah abdominal dan arteri renalis, iliaka, dan
femoralis. Letakkan bell stetoskop pada daerah sejajar dengan
garis midklavikula di samping aorta di atas umbilicus.
Pada umunya tidak ada bunyi yang terdengar, teteapi pada
dewasa muda mungkin bisa terdengar bunyi dan hal ini
dianggap normal. Pada dewasa kurus, pulsasi arteri renalis
dapat terdengar.
 Untuk mendengarkan friction rub auskultasi abdomen,
dengarkan suara yang kasar dan mengganggu. Dan dengarkan
dengan teliti pada daerah hepar dan limpa.
Friction rub disebabkan oleh 2 organ yang
bersentuhan/bergesekan atau satu organ yang bergesekan
dengan peritoneum. Friction rub di dalam abdomen biasanya
menujukkan adanya tumor, infeksi atau peritonitis yang
memerlukan evaluasi medis lebih lanjut.

25
c) Perkusi
Suara abdomen yang terdengar pada perkusi yaitu timpany, dullness
(redup), dan hiperresonance.

(1) Perkusi pada hepar


 Perkusi pada abdomen untuk menentukan batas atas dan bawah
atau tinggi hepar.
 Mulai perkusi pada daerah setinggi umbilikus bergerak ke atasa
sepanjang garis midklavikula kanan.
 Suara yang pertama terdengar adalah timpani. Bila suara
berubah menjadi dullness, pemeriksa dapat mengidentifikasi
batas bawah hepar. (Beri tanda titik dengan pena. Hal ini
biasanya pada batas tulang rusuk).
 Perkusi ke arah bawah dari ICS ke-4 sepanjang garis
midklavikula kanan. (Suara pertama yang terdengar seharusnya
adalah resonance, karena pemeriksa melakukan perkusi pada
paru-paru))
Lanjutkan perkusi ke bawah sampai terdengar bunyi dullness.
Ini adalah batas atas hepar. Beri tanda titik pada batas)
 Ukur batas atas dan batas bawah. Batas atas biasanya setingkat
dengan ICS ke-6. Jarak antara kedua titik kurang lebih 6-12
cm.
 Perkusi sepanjang garis “midsternum” dengan teknik yang
sama seperti sebelumnya. Ukuran hepar pada garis midsternum
kurang lebih 4-9 cm.

(2) Perkusi Limfa : Untuk menetukan ukuran dan lokasi limfa.


 Perkusi pada sisi kiri abdomen ke posterior sampai garis
midaksila kiri (splenic dullness) biasnyan terdengar dari ICS
ke-6 sampai dengan ke-10.

(3) Palpasi dan perkusi kandung kemih untuk mengetahui lokasi dan
isinya.
 Lakuakn palpasi untuk mengetahui fundus kandung kemih
(kurang lebih 5-7 cm)
 Setelah mengetahui fundus, lalu lakukan perkusi.
 Perkusi dilakukan di atas region suprapubik, kandung kemih
jika terisi penuh oleh urin akan terdengar suara redup
(dullness).

(4) Perkusi ginjal


 Atur posisi klien menjadi posisi duduk membelakangi
pemeriksa.
 Observasi sudut kostovertebral, perhatikan warna dan
kesimetrisan.
 Palpasi area sudut kostovertebral kiri dan amati reaksi klien
dan tanyakan apa yang dirasakan.
 Lakukan hal yang sama pada bagian kanan.
Perhatian: jangan lakukan perkusi dan palpasi apabila

26
diketahui ada riwayat nyeri, jangan lakukan perkusi dan
palpasi apabila diperkirakan klien menderita tumor ginjal.
Palpasi akan meningkatkan tekanan intraabdominal yang
dapat memudahkan penyebaran.
 Lakukan perkusi untuk mengakaji ginjal lebih lanjut dengan
cara : 1) letakkan telapak tangan tidak dominan di atas sudut
costovertebral,
2) Lakukan perkusi atau tumbukkan di atas telapak tangan
dengan
menggunakan kepalan tangan dominan,
3) ulangi prosedur untuk bagian kanan.

d. Palpasi
Palpasi abdomen dilakukan untuk menentukan ukuran dan letak
organ, ketegangan otot, adanya massa, nyeri, dan adanya cairan.
Identifikasi daerah yang nyeri sebelum memulai palpasi dan palpasi
pada daerah yang nyeri dilakukan terakhir. Pemeriksa menggunakan
baik itu palpasi dangkal maupun palpasi dalam. Tangan pemeriksa
harus hangat. Klien harus serileks mungkin.
(1) Palpasi abdomen dangkal
 Letakkan telapak tangan dan jari pada abdomen.
 Tekan abdomen dangkal dan pada jari.
 Pindahkan tangan ke seluruh 4 kuadran dengan cara
mengangkat tangan kemudian meletakkannya pada
daerahyang lain. Jangan menggeser atau menarik tangan pada
permukaan kulit.

(2) Palpasi abdomen dengan tekanan sedang


 Lakukan seperti langkah no. 1 (palpasi dangkal)
 Berikan penekanan abdomen kurang lebih (5 cm)
 Pastikan untuk melakukan palpasi pada ke-4 kuadran secara
teratur urutannya.
 Untuk klien yang gemuk/klien dengan pembesaran abdomen,
gunakan teknik bimanual : letakkan jari tangan yang tidak
dominan diatas tangan yang dominan.
 Identifikasi ukuran organ di bawahnya, apakah ada nyeri atau
massa.

(3) Palpasi hepar


 Pemriksa berdiri di sisi kanan klien
 Letakkan tangan kiri di bawah toraks posterior kanan pada
tulang rusuk ke-11 dan ke-12 (pinggang).
 Instruksikan klien untuk relaks di atas tangan kiri pemeriksa.
 Angkat daerah tulang rusuk dengan tangan kiri.
 Letakkan tangan kanan pada abdomen (RUQ) atau di bawah
batas bawah hepar kemudian tekan ke dalam danke atas
sepanjang batas lengkung tulang rusuk.
 Instruksikan klien untuk menarik nafas dalam. Pada saat
inhalasai perawat meraba tepi hepar.

27
Secara normal hepar tidak teraba kecuali pada beberapa
klien yang kurus. Bila teraba normal tepi hepar halus, tegas
dan tidak nyeri.

(4) Palpasi limfa


 Pemeriksa berdiri di sisi kanan klien
 Letakkan kanan kiri di bawah lengkung rusuk sebelah kiri
dan lengkung tersebut untuk memindahkan posisi limfa ke
anterior.
 Tekan ujung jari-jari tangan kanan ke dalam batas tulang
rusuk kiri ke arah klien.
 Instruksikan klien untuk menarik nafas dalam melalui mulut.
Karena diafragma akan turun dan limfa bergerak kea rah
ujung-ujung jari tangan kanan pemeriksa. Akan tetapi
biasanya limfa tidak teraba kecuali ada pembesaran yang
jelas.

(5) Palpasi ginjal


 Posisi supinasi, palpasi dilakukan di sebelah kanan
 Letakkan tangan kiri di bawah abdomen di antara tulang iga
dan lengkung iliaka. Tangan kanan di bagian atas.
 Anjurkan klien nafas dalam dan tangan kanan menekan ke
bawah sementara tangan kiri mendorong ke atas.
 Lakukan hal yang sama untuk ginjal kanan.

Tahap terminasi
1. Menanyakan pada klien apa yang dirasakan setelah dilakukan
kegiatan
2. Menyimpulkan hasil prosedur yang dilakukan
3. Melakukan kontrak untuk tindakan selanjutnya
4. Berikan reinforcement sesuai dengan kemampuan klien

Tahap Dokumentasi
Catat seluruh hasil tindakan dalam catatan keperawatan

Keterangan :
0 = Tidak dikerjakan
1 = Dikerjakan tidak lengkap/tidak sempurna
2 = Dikerjakan dengan benar/sempurna

Penguji Praktek

(………………………………)

28
DAFTAR PUSTAKA

Mark H. Swarta. 1995. Buku ajar diagnostic fisik (textbook of physical diagnosis). Jakarta :
EGC
http://blog.ilmukeperawatan.com/, diakses tanggal 28/11/11
http://santidamayanti.blogspot.com/2009/12/pemeriksaan-abdomen.html, dikutip tanggal
28/11/11
http://www.irwanashari.com/930/pemeriksaan-abdomen.html, dikutip tanggal 28/11/11
http://agungrakhmawan.wordpress.com/2008/08/31/bab-vi-pemeriksaan-abdomen-bag-vii/,
dikutip tanggal 28/11/11
Buku pengantar kebutuhan dasar manusia//A.Azizalimul.h

29

Anda mungkin juga menyukai