Disusun Oleh:
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Pengembangan bahan ajar
bahasa dan sastra berbasis karakter ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas: Pak Sigit
Vebrianto Susilo, S.Pd., M.Pd. pada mata kuliah Pendidikan bahasa dan sastra di kelas tinggi.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang pembelajaran bahasa dan
sastra dalam gamitan kurikulum 2013 bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Pak Sigit selaku dosen mata kuliah Pendidikan
bahasa dan sastra bahsa di kelas tinggi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya ambil.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetauannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah yang
saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan bahan ajar berbasis karakter?
2. Sebutkan konsep bahan ajar berbasis karakter!
3. Apa pengembangan bahan ajar berbasis karakter itu?
4. Apa yang dimaksud dengan bahan ajar sastra berbasis karakter?
5. Sebutkan pengembangan pembelajaran sastra berbasis karakter !
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
bahan ajar antara lain:1) bahan ajar cetak (printed) seperti: hand out, buku, modul, lembar
kerja siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, dan model/maket, dan 2) bahan ajar non-
cetak (computer based) seperti: internet, power point, dan compact disk (CD). Guru dapat
memilih dan menentukan jenis bahan ajar yang mana yang akandikembangkan.
4
langkah-langkah model pembelajaran, dan merangsang aktivitas siswa untuk mengembangkan
karakter siswa.
5
3. Kecukupan. Materiyang diajarkan hendaknya cukupmemadai dalam membantu
pembelajar menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu
sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit maka kurang membantu
tercapainya standar kompetensi dan kompetensidasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak
akan mengakibatkan keterlambatan dalam pencapaian target kurikulum (pencapaian
keseluruhan KI/SK danKD).
Selain memperhatikan prinsip pengembangan, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pengembangan bahan ajar.MenurutNunandalam (Tomlinson, 2011),
“...the six principles of materials design identified by Nunan: materials should be clearly linked
to the curriculum, shoul be authentic in terms of text and task, should stimulate interaction,
should allow learners to focus, should encouredge learners to develop learning skills, and
should encouredge learners to apply their developing skills to the world beyond the
classroom.” Pendapat tersebut sejalan juga dengan yang dinyatakan (Prastowo, 2012) bahwa
ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan bahan ajar, yaitu: 1) potensi
pembelajar, 2) relevansi dengan karakteristik daerah,3) tingkat perkembangan fisik,
intelektual, emosional, sosial, dan spritual pembelajar, 4) kebermanfaatan bagi pembelajar, 5)
struktur keilmuan, 6) aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran, 7)relevansi
dengan kebutuhan pembelajar dan tuntutan lingkungan, dan 8) alokasi waktu. Menurut
Gall (Gall, Meedith D, Gall, Joice P. & Borg, Walter. E., 2007), model pengembangan bahan
ajar memiliki kriteria-kriteria: (1) menarik, (2) isi sesuai dengan tujuan khusus pembelajaran,
(3) urutannya tepat, (4) ada petunjuk penggunaan bahan ajar, (5) ada soal latihan, (6) ada
jawaban latihan, (7) ada tes, (8) ada petunjuk kemajuan pembelajaran, dan (9) ada petunjuk
bagi pebelajar menuju kegiatanberikutnya.
Sebagai contoh telah dikembangkanbeberapa bahan ajar dengan memperhatikan aspek
pendidikan karakter. Alwi dkk (2018 dan 2019) telah menghasilkan buku perencanaan
pembelajaran bahasa berbasis pendidikan karakter (PPBPK). Pengembangannya dilakukan
dengan menerapkan teori Jolly dan Bollitho (Tomlinson, 2011), meliputi tahap pendahuluan,
pengembangan, dan penilaian. Tahun pertama penelitian sudah dilakukan meliputi: uji
kebutuhan, eksplorasi, pengembangan, penyusunan draf, uji validasi ahli, dan cetak buku.
Selanjutnya, tahun kedua ini dilakukan penilaian terhadap buku yang sudah dihasilkan,
meliputi uji one-to-one, uji small group, uji coba lapangan (field test) terhadap bahan ajar
yang sudah dihasilkan. Dilakukan penelitian eksperimen untuk mengetaui efektivitas
bahan ajar yang dihasilkan, dan dilakukan penerbitan terhadap bahan ajar yang sudah
diujicobakan. Selanjutnya dilakukan pengurusan HKI. Buku PPBPK yang dihasilkan
memuat bahan mengenai hakikat pendidikan karakter, prinsip-prinsip pendidikan karakter,
dan contoh- contoh materi tentang pendidikan karakter. Pada bagianlampiran diberikan
contoh-contoh rencanapelaksanaan pembelajaran juga berbasis pendidikan karakter.
Kehadiran buku tersebut diharapkan dapat membantu para mahasiswa keguruan sebagai
calon guru dan guru di lapangan yang mengalami kesulitan untuk menanamkan pendidikan
karakter kepada para pembelajar. Demikian juga Ernalida dkk (2019) telah mengembangkan
Buku Keterampilan Menulis, sebagaiupaya menumbuhkembangkan
kemampuanmahasiswadalammenulisyang dapat berlanjut pada saat mereka bertugas sebagai
pengajarnanti.
Pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah selain dituntut untuk memaksimalkan
kecakapan/ketrampilan, dan kemampuan kognitif, juga ada hallainyangsangatpenting, yang
6
tanpa disadari telah terabaikan, yaitu memberikan pendidikan karakter. pendidikan karakter
adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, serta memupuk
nilai- nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga
negara secara keseluruhan. Pendidikan karakter sangat penting untukmenyeimbangkan
kecakapan kognitif. Karakter adalah sifat kejiwaan, budi pekerti, atau akhlak
yangmenjadicirikhas seseorang atau sekelompok orang (Majid, Abdul dan Dian
Andayani,2010). Pendidikankarakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan
dalam metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu,dilingkungan
keluarga dan masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Hal itu
sudah dirumuskan dalam tujuan pembangunan Indonesia, dalam tujuan pendidikan Nasional,
dan diperjelas lagi dalam kurikulum2013.
Pada kenyataannya, ada dua pendekatan dalam pendidikan karakter, yaitu: (1) Karakter
yang diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri; dan (2) Karakter yang built- in dalam
setiap mata pelajaran. Sampai saat ini, pendekatan pertama ternyata lebih efektif dibandingkan
pendekatan kedua. Salah satu alasannya ialah karena para guru mengajarkan masih seputar
teori dan konsep,belum sampai ke ranah metodologi dan aplikasinya dalam kehidupan.
Idealnya, dalam setiap proses pembelajaran mencakup aspek konsep (hakekat), teori (syare‟at),
metode (tharekat) danaplikasi(ma’rifat). Jika para gurusudahmengajarkan kurikulum secara
komprehensif melalui konsep, teori, metodologi dan aplikasi setiap bidang studi, maka
kebermaknaan yang diajarkannya akan lebih efektif dalam menunjang pendidikan
karakter (Alwi,2017)
Desain kurikulum pendidikan karakter bukan sebagai teks bahan ajar yang diajarkan
secara akademik, tetapi lebih merupakan proses pembiasaan perilaku bermoral. Nilai moral
dapat diajarkan secara tersendiri maupun diintegrasikan dengan seluruh mata pelajaran
dengan mengangkat moral pendidikan atau moral kehidupan, sehingga seluruh proses
pendidikan merupakan proses moralisasi perilaku pembelajar. Bukan proses pemberian
pengetahuan moral, tetapi suatu proses pengintegrasian moralpengetahuan.
Dalam Islam, karakter mempunyai kedudukan penting dan dianggap mempunyai
fungsi yang vital dalam memandu kehidupan masyarakat. sebagaimana firman Allah swt di
dalam Al-Qur‟an surat An-Nahl ayat 90 (Rifa'i, Moh., Rosidi Abdulghani, 1991). Untuk
mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter serta mengatasi permasalahan
kebangsaan saat ini, Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu
program prioritas pembangunan dan pendidikan nasional. Fungsi dan tujuan pendidikan
nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsayang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi pembelajar agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwakepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
Adapun jenis materi yang dapat dikembangkan, menurut (Depdiknas, 2008), dapat
diklasifikasikan: 1) Fakta, yaitu segala hal yang bewujud kenyataan dan kebenaran, meliputi
nama-nama objek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, nama bagian atau
komponen suatu benda. 2) Konsep, yaitu segala yang berwujud pengertian-pengertian baru
yang bisatimbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian, ciri khusus,
hakikat, dan inti/isi. 3) Prinsip, yaitu berupa hal-hal utama, pokok, dan memiliki posisi
7
terpenting, meliputidalil,rumus,adagium,postulat,paradigma, teorema, serta hubungan
antarkonsep yang menggambarkan implikasi sebab akibat. 4) Prosedur, yaitulangkah-
langkahsistematisatau berurutan dalam mengerjakan suatu aktivitas dan kronologi suatu
sistem. Dan 5) Sikap atau nilai, yaitu hasil belajar aspek sikap, misalnya nilai kejujuran,
kasih sayang, tolong- menolong, semangat, dan minat belajar dan bekerja, dan sebagainya.
Sejalan juga dengan yang dinyatakan oleh (Morrison, Gary R, Steven M Ross, Jerrold E
Kemp, 2007), “...each instructional objective for a unit is classifified into fact, concept,
principle, procedure, interpersonal skill, orattitude.”
Untuk mengaplikasikan pendidikan karakter, Koesoema (Koesoema, 2007) dapat
dilakukan dengan cara berikut.
1. Mengajarkan nilai-nilai yang diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran sehingga
peseta didik memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku
yang bisa dikembangkan dalam mengembangkan karakterpribadinya.
2. Keteladanan yang diperlihatkan oleh guru yang dalam bahasa Jawa berarti digugu dan
ditiru, maupun dari model yang dipersiapkanguru.
3. Menentukan prioritas yang akan menjadi target penilaian afektif selama terjadi
pembelajaran.
4. Praksis prioritas yaitu bidang kehidupan atau nilai yang menjadi prioritas dalam
pendidikankarakter.
5. Refleksi dilakukan untuk mengetahui kegagalan dan keberhasilan pendidikan karakter
yang telah diintegrasikan ke dalam pembelajaran keterampilan sastra.
Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-
nilaipembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan
masing- masing. Dalamrangkalebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter
telah diidentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu sebagai berikut:religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca,
pedulilingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab(Puskur, 2014) Dalam
implementasinyajumlahdanjeniskarakteryangdipilihtentu akan dapat berbeda antara satu
daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingandan
kondisi satuan pendidikanmasing-masing. Menurut (Majid, Abdul dan Dian Andayani,
2010), nilai-nilai karakter antara lain: 1) Cintakepada Allah dan alam semesta beserta isinya.
2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri.3)jujur.4) hormat dan santun. 5) kasih sayang,
peduli, dan kerja sama. 6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah. 7)
keadilan dankepemimpinan,baikdan rendah hati, dan toleransi, cinta damai, dan persatuan.
Untuk implementasinya memerlukan kajian dan aplikasi nilai-nilai yang terkandung dalam
karakter bangsapada kegiatanpembelajaran di sekolah/ madrasah. Integrasi nilai karakter
bangsa pada kegiatan pembelajaran dapat dilakukan melalui tahap-tahap perencanaan,
implementasi, dan evaluasi. Semua itu dapat dimuat dalam bahan ajar yang disiapkan
olehguru.
8
2.4. Bahan Ajar Sastra Berbasis Karakter
Dunia kesastraan mengenal adanya sastra anak (children literature) dan sastra dewasa (adult
literature) atau lazim disebut sastra. Selama ini sastra remaja jarang disebut karena secara nyata
tidak banyak karya sastra yang khas remaja. Padahal, secara faktual pembaca sastra remaja
jumlahnya juga sebanyak pembaca sastra dan dewasa karena anak usia remaja adalah
“mantan” anak dan “calon” dewasa. Semua anak yang telah menjadi manusia dewasa melewati
masa remaja. Usia remaja adalah yang berada pada pertengahan antara usia anak dan dewasa.
Namun, dewasa ini pandangan itu berubah sejalan dengan kenyataan di masyarakat yang
terbanjiri karya sastra remaja. Keadaan itu menunjukkan bahwa adanya sastra remaja adalah
sesuatu yang nyata dan karenanya perlu penyikapan. Mulai awal abad ke-21 muncul fenomena
baru, yaitu munculnya novel remaja yang kemudian disebut sebagai teenlit yang (juga sering
ditulis: TeenLit). Novel teenlit amat populer di masyarakat khususnya pada para remaja usia
belasan. Istilah “teenlit” terbentuk dari kata “teenager” dan “literature”. Kata “teenager” sendiri
terbentuk dari kata “teens”, “age”, dan akhiran “-er”, yang secara istilah berarti ‘menunjuk
pada anak usia belasan tahun’. Kelompok teenager tampaknya dimulai dari usia remaja awal
(masa adolesen) sampai akhir belasan, yaitu sekitar usia 13—19 tahun. Kata “literature” berarti
‘kesastraan’, bacaan. Jadi, istilah “teenlit” tampaknya menunjuk pada pengertian bacaan cerita
yang ditulis untuk konsumsi remaja usia belasan tahun (Nurgiyantoro, 2013).
Novel teenlit amat digandrungi oleh kaum remaja putri yang haus akan bacaan yang sesuai
dengan kondisi kejiwaan mereka. Para remaja merasakan bahwa cerita novel teenlit dapat
mewakili dan atau mencerminkan diri, dunia, cita-cita, keinginan, gaya hidup, gaya gaul, dan
lain-lain yang menyangkut permasalahan mereka. Popularitas novel-novel teenlit antara lain
dapat dilihat dari tingginya angka penjualan. Dalam waktu kurang lebih 15 bulan saja Penerbit
Gramedia berhasil menjual sekitar 520 ribu eksemplar dari 34 judul novel teenlit yang
diterbitkannya (Violine, 2009). Hal yang demikian jarang terjadi di Indonesia dan sudah luar
biasa untuk ukuran Indonesia.
Remaja pada usia belasan adalah masa mereka mengalami dan berada pada critical period,
‘masa kritis’, masa pubertas, masa untuk menemukan identitas diri dan atau jati diri. Mereka
amat intens menjalin pertemanan dengan sebaya yang sekaligus dijadikan ajang untuk saling
menemukan identitas diri dan saling curhat. Keberterimaan seorang remaja pada kelompok
sosialnya, kelompok pertemanannya, amat penting, maka ia mesti diperjuangkan.
Keberhasilannya masuk di dalam kelompok dipandang sebagai sesuatu yang membanggakan.
Usaha untuk menemukan kelompok sosial, kelompok pertemanan, dan juga identitas diri,
eksistensi diri, itu antara lain juga dapat diperoleh lewat bacaan cerita yang sesuai dengan
tingkat perkembangan jiwanya. Bacaan yang dimaksud, dalam konteks penulisan ini, adalah
novel-novel teenlit, yaitu novel yang mengangkat tokoh-tokoh sebaya yang pada umumnya
adalah perempuan.
Salah satu karakteristik novel teenlit adalah bahwa mereka selalu berkisah tentang remaja,
baik yang menyangkut tokoh-tokoh (utama!) maupun permasalahannya. Para tokoh remaja itu
hadir lengkap dengan karakter dan masalahnya: pertemanan, kisah cinta, putus-sambung cinta,
impian, khayalan, cita-cita, konflik, dan lain-lain yang kesemuanya merupakan romantika
dunia remaja. Tokoh utama cerita yang pada umumnya perempuan adalah tokoh yang dapat
diidolakan, tokoh yang berkarakter khas remaja, tokoh yang dapat dijadikan ajang pencarian
identitas diri dan kelompok. Umumnya teenlit mengangkat tokoh remaja perempuan yang kuat,
9
tidak cengeng, mandiri dan tidak mudah diombang-ambingkan atau dilecehkan dalam
pergaulan, baik dalam hal percintaan maupun persaingan meraih prestasi dengan remaja laki-
laki (Kusmarwanti, 2005:111). Maka, tidak mengherankan jika pembaca remaja menjadi
gandrung dan hanyut secara emosional seolah-olah dirinya adalah bagian dari cerita itu.
Sugihastuti (1999) mengemukakan bahwa cerita remaja adalah karangan yang menuturkan
perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang; kejadian dan sebagainya, yang merupakan
rekaan belaka, bersifat imajinatif dan fiktif. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa sastra
remaja adalah hasil karya sastra yang menampilkan permasalahan remaja dan berusaha untuk
memenuhi selera remaja. Tema permasalahan yang diangkat, tokoh-tokoh, serta gaya
bahasanya disesuaikan dengan selera dan dunia remaja.
Kekhasan pengertian cerita remaja memunculkan sifat tersendiri dalam cerita remaja
tersebut. Sifat itu muncul karena uniknya dunia remaja yang harus ditampilkan dalam cerita
remaja. Dunia remaja adalah dunia yang penuh imajinasi dengan kedalaman intelektual yang
dimilikinya. Sarwono (2002:52) menegaskan bahwa usia remaja memiliki dunia tersendiri
yang berbeda dengan dunia dan alam kehidupan orang dewasa. Namun, mereka juga bukan
lagi berstatus anak. Oleh karena itu, perlakuan terhadap anak usia remaja khususnya dalam hal
penyediaan bahan bacaan sastra mesti juga berbeda.
Dilihat dari sisi genre sastra, tampak bahwa sastra remaja juga berbeda dengan sastra anak,
yaitu yang mencakup fiksi (cerita pendek, novel, cerita bersambung), puisi, drama, komik,
sastra tradisional, serta buku informasi dan biografi. Hal itu tidak berbeda jauh dengan
pembagian yang dikemukakan oleh Lukens (2003). Namun, Lukens tidak memasukkan drama
dan komik sebagai bagian sastra anak/remaja. Padahal, Grenby (2008:2) bahkan mengatakan
bahwa komik merupakan karya yang paling banyak dibaca oleh anak dan remaja. Di pihak lain,
Lukens menekankan pentingnya bacaan buku informasi (biografi dan bacaan informasi)
sebagai bacaan sastra walau isinya sesuatu yang nyata, faktual, nonfiksi. Karya ini berisi fakta
faktual, tetapi ditulis dengan stile sastra dan memang dimaksudkan sebagai bacaan sastra.
Selain genre sastra, yang juga perlu dipertimbangkan adalah struktur yang membangunnya.
Karya sastra adalah sebuah totalitas yang dibangun secara keherensif oleh berbagai unsurnya.
Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran
semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk
kebulatan yang indah (Abrams, 1999:102). Di pihak lain, struktur karya sastra juga menunjuk
pada pengertian adanya hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifar timbal-balik, saling
menentukan, saling memengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.
Ketika seseorang terlibat aktif membaca, memahami, menikmati, dan mencari tahu
mengapanya sebuah karya sastra, ia mau tidak mau berurusan dengan struktur karya sastra.
Unsur struktur yang paling sering ditanyakan di sekolah adalah tema, amanat, tokoh, alur, dan
lain-lain.
11
Sastra adalah budaya dalam tindak. Di dalam karya sastra terdapat berbagai model
kehidupan yang diidealkan yang dijadikan semacam tempat dan praktik kehidupan secara
berkarakter di dalam masyarakat. Komponen nilai karakter sebagaimana dikemukakan oleh
Lickona (2013) yang terdiri atas pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang
moral (moral feeling) dan perbuatan moral (moral action) dapat ditemukan contohnya dalam
sastra, khususnya fiksi dan drama. Ketiga komponen karakter tersebut saling berkaitan satu
dengan yang lain untuk membentuk sebuah kesatuan yang padu yang berwujud seseorang yang
memiliki karakter yang baik dengan contoh konkret para tokoh cerita.
Untuk menunjang maksud itu, langkah yang amat krusial dilakukan adalah memilih
berbagai karya sastra remaja dari berbagai genre yang mengandung unsur pendidikan karakter
yang kini diusahakan. Jenis nilai karakter yang dikaji untuk ditemukan dalam karya sastra dapat
berdasarkan penunjukan nilai-nilai sebagaimana disarankan Kemdiknas (2010) yang terdiri
atas delapan belas butir di atas karena buku itu disarankan untuk dijadikan panduan
pembelajaran karakter di sekolah. Kita juga dapat beranagkat dari pembagian jenis karakter
yang lain. Namun, pengelompokan jenis mana pun, karena pada umumnya cukup banyak,
diperlukan prioritas-prioritas pemilihannya dalam pembelajaran lewat mata pelajaran tertentu.
Zuhdi (2010:2) mengusulkan pendidikan karakter yang bersifat komprehensif-terintegratif
di sekolah baik yang menyangkut isi, metode, maupun proses pembelajaran. Pengembangan
model pendidikan karakter di sekolah diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran yang
didukung oleh kultur sekolah. Integrasi tersebut dapat memberikan pengalaman yang lebih
bermakna karena subjek didik dapat memahami, menginternalisasi, dan mengaktualisasi-
kannya dalam proses pembelajaran. Maka, nilai-nilai yang diajarkan dapat terserap secara
alamiah lewat kegiatan sehari-hari dan karenanya menjadi lebih efektif. Metode yang
dupergunakan adalah inkulkasi (penanaman), keteladanan, fasilitasi, dan pengembangan
keterampilan.
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar merupakan salah satu wadah yang sangat penting untuk
menjadikan dunia pendidikan berperan dalam menghadapi tantangan revolusi saat ini. Untuk
itu perlu dikembangkan dan disusun bahan ajar yang mutakhir yang berbasis pendidikan
karakter. Dengan menyiapkan bahan ajar yang memuat nilai-nilai pendidikan karakter yang
sejalan dengan capaian pembelajaran dan kurikulum, akan dihasilkan lulusan yang
tidakhanya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, tetapi sekaligus memiliki
sikap, personal dan sosial, yang mumpuni.
Melalui tulisan singkat ini, penulis mengajak para guru, khususnya guru Pendidikan
Dasar untuk dapat merancangdan mengembangkan bahan ajar yang sesuai perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) sekaligus juga membentengi peserta didik dengan iman dan
taqwa yang tinggi (Imtaq) sehingga menjadi insan-insan yang berkarkter dan berahlak mulia.
Bahan ajar yang disiapkan minimal harusmemenuhi 4 aspek: konsep (hakekat), teori (syare‟at),
metode (tharekat) dan aplikasi(ma’rifat).
Genre sastra yang dipilih untuk dibelajarkan haruslah mencakup keseluruhan genre walau
prioritas mungkin masih pada genre arus-utama, yaitu puisi, fiksi, dan drama. Pada kenyataannya
genre komik dan buku informasi membanjir di pasaran dan tampak diminati oleh para remaja.
Penyajian bahan ajar pembelajaran sastra remaja ditekankan pada penyajian bacaan,
pemberian tugas, dan latihan yang mendasarkan diri pada prinsip pembelajaran kontekstual dan
multiintelejen. Dengan begitu, selain terkait dengan kehidupan faktu al di masyarakat, potensi
pada diri peserta didik juga dapat dimaksimalkan. Untuk itu, teknik penilaian harus
mempergunakan tugas-tugas otentik.
3.2. Saran
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran tentang
pembahasan makalah diatas.
13
DAFTAR PUSTAKA
https://eprints.uny.ac.id/22279/
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jisd/article/download/11622/5457\
https://ejournal.upi.edu/index.php/eduhumaniora/article/download/2832/1853
14