Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

Membandingkan Model Model Inovatif dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra


Indonesia
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Strategi Pembelajaran
Bahasa dan sastra Indonesia yang diampu oleh:
Prof. Dr. Sayama Malabar, M.Pd

Oleh : Kelompok 1
Adlin : 311421042
Lasmiyani O. Hasania : 311421092
Lidya Djau : 311421088
Sri Ayuni Ahmad :
Syafilawati Mongilong : 311421037

PROGRAM STUDI S-1 PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAJULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Gorontalo, Maret 2023

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................7
1.3 Tujuan.....................................................................................................................7
1.4 Manfaat...................................................................................................................7
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................8
2.1 Pembelajaran Saintifik..........................................................................................8
2.2 Pembelajaran Tematik-terpadu..........................................................................10
2.2.1 Pengertian Pembelajaran Tematik.............................................................10
2.2.2 Tujuan dan Pentingnya Pembelajaran Tematik........................................10
2.2.3 Karakteristik Pembelajaran Tematik.........................................................12
2.3 Pembelajaran Kontekstual..................................................................................13
2.4 Pembelajaran Kooperatif....................................................................................14
2.4.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Kooperative Learning)................14
2.4.2 Unsur-Unsur Kooperatif Learning.............................................................15
2.4.3 Teknik-Teknik dalam Pembelajaran Kooperatif.......................................16
2.4.4 Kelebihan dan Kelemahan Pembelajar Kooperatif...................................17
2.5 Pembelajaran Berbasis Masalah.........................................................................18
2.5.1 Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah..............................................18
2.5.2 Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah....................................................18
2.5.3 Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah.........................................18
2.5.4 Prinsip-Prinsip Pembelajaran Berbasis Masalah......................................19
2.5.5 Implementasi Pembelajaran Berbasis Masalah.........................................20
2.6 Pembelajaran Berbasis Proyek...........................................................................20
BAB III PENUTUP..............................................................................................................23
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................23
3.2 Saran.....................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................25
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam Kurikulum 2013, pembelajaran bahasa Indonesia sesungguhnya masih
tetap fokus pada kompetensi berbahasa sebagaimana dalam Kurikulum KTSP 2006
yang meliputi keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis hanya saja
basis materi pembelajarannya adalah teks. Sementara itu, aspek tatabahasa
diintegrasikan dengan pembelajaran keempat keterampilan berbahasa tersebut. Dalam
pembelajaran bahasa Indonesia juga tercakup pembelajaran sastra. Siswa dituntut
menguasai sastra sebagai wahana untuk memantapkan keterampilan berbahasanya.
Oleh sebab itu, guru bahasa Indonesia dituntut memiliki keterampilan mengajar yang
handal agar dapat menyampaikan ketiga jenis materi pembelajaran bahasa Indonesia
tersebut, yakni bahasa, keterampilan berbahasa, dan sastra dengan baik.
Setakat kini, kondisi kemampuan mengajar guru bahasa Indonesia diyakini belum
sepenuhnya sesuai dengan tuntutan kebutuhan belajar siswa. Faktanya para lulusan
sekolah menengah belum terampil berbahasa Indonesia dan belum mampu menjadi
anggota masyarakat yang bermutu. Pembelajaran bahasa Indonesia masih didominasi
oleh guru dan kurang humanis (Jumadi, 2007). Guru masih tampak mendominasi
jalannya proses pembelajaran dan kurang memperhatikan kompetensi yang dimiliki
siswa. Siswa “dipaksa” menelan informasi pengetahuan dari guru. Padahal yang
menjadi harapan pembelajaran bahasa Indonesia saat ini adalah pembelajaran bahasa
Indonesia yang humanis dan inovatif. Pembelajaran yang humanis adalah
pembelajaran yang memanusiakan siswa, yang memandang siswa memiliki
kompetensi dan hakhak untuk mengembangkan potensi diri dalam belajarnya.
Sementara itu, pembelajaran yang inovatif adalah pembelajaran yang
memberdayakan sejumlah strategi belajar secara bervariasi, seperti strategi belajar
berbasis masalah, berbasis proyek, penemuan, Jigsaw, kooperatif, STAD, NHT, think
pair share, pembelajaran langsung, learning community, problem based learning,
problem solving, problem posing, dll. Yang berpusat pada siswa dengan
memperhatikan kompetensi dan hak-hak belajarnya, bukan pembelajaran yang
didominasi oleh guru dan berpusat pada guru (Marhaeni, 2007). Oleh sebab itu,
pembelajaran bahasa Indonesia membutuhkan inovasi. Pembelajaran bahasa
Indonesia inovatif sangat memperhatikan kompetensi dan hak-hak yang dimiliki
siswa sehingga pembelajaran bahasa Indonesia inovatif adalah pembelajaran yang
humanis. Oleh sebab itu, guru bahasa Indonesia harus dibekali dengan strategi
pembelajaran inovatif agar pembelajaran bahasa Indonesia menjadi pembelajaran
yang humanis. Pembelajaran inovatif adalah proses pembelajaran yang berpusat pada
siswa dan meyakini bahwa siswa memiliki kompetensi (student centre learning/SCL)
(Marhaeni, 2007). SCL dilandasi oleh filsafat konstruktivisme. Konstruktivisme
berarti bahwa siswa membangun pengetahuannya tentang dunia melalui sejumlah
interaksi yang bermakna dengan lingkungan sosial budayanya (Vygotsky, 1978).
Filsafat konstruktivisme kemudian dijadikan sebagai pendekatan dalam
pembelajaran. Ada dua kata kunci dalam konstruktivisme, yaitu aktif dan makna
(Elliott, dkk, 2000). Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivime digambarkan
sebagai berikut.
“Siswa tidak semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari,
melainkan mengonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi
tersebut, tugas yang akan dikerjakan, memilih informasi yang dianggap relevan, dan
memahami informasi berdasarkan pengetahuan yang ada padanya dan kebutuhannya.
Siswa menambahkan informasi yang diperlukannya tidak selalu dari materi yang
disediakan guru. Ini merupakan suatu proses yang aktif karena siswa harus
melakukan berbagai kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotor agar informasi tersebut
bermakna bagi dirinya”.
Sejumlah interpretasi muncul tentang bagaimana konstruksi pengetahuan itu
terwujud pada siswa. Ada yang mengatakan bahwa siswa sendiri mampu
membangunnya, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan
terjadi dalam interaksi sosial seperti teman sebaya dan keluarga. Yang pertama
diwakili oleh Piaget (1954) yang mengatakan bahwa konstruksi makna terjadi melalui
proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah akuisisi pengetahuan yang sesuai
dengan yang telah ada sebelumnya dan akomodasi adalah proses akuisisi terhadap
hal-hal baru yang belum ada dalam skema (pengetahuan yang tersimpan dibenak)
siswa. Di lain pihak, Vygotsky (1978) mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan
terjadi melalui proses interaksi sosial dengan orang lain yang lebih mampu dan lebih
berpengalaman. Diyakini bahwa konstruksi makna akan terjadi jika proses akuisisi
pengetahuan dilakukan dalam lingkungan sosial budaya yang sesuai.
Sehubungan dengan paparan di atas penting untuk dilaksanakan proses
pembelajaran dengan strategi pembelajaran inovatif agar proses pembelajaran
inovatif dan humanis dapat tampak nyata. Pembelajaran inovatif juga dimaksudkan
untuk melatih dan mengembangkan kemampuan bernalar siswa sejak dini dan untuk
mempersiapkan mereka menghadapi Ujian Nasional. Dengan pembelajaran yang
inovatif dan humanis diharapkan siswa akan terlatih dalam bernalar dan kualitas hasil
Ujian Nasional siswa SMP dan siswa SMA juga akan tinggi. Pengembangan
kemampuan bernalar siswa tersebut penting untuk menyiapkan siswa belajar di
perguruan tinggi maupun terjun ke masyarakat agar menjadi anggota masyarakat
yang bermutu.
Dengan strategi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia inovatif, proses
pembelajaran dapat bervariasi dan tidak membosankan siswa karena dalam
pembelajaran inovatif digunakan strategi belajar secara bervariasi. Dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia inovatif kompetensi dan hak-hak belajar
siswa akan mendapatkan perhatian penuh, bukan pembelajaran yang didominasi oleh
guru dan berpusat pada guru. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia perlu dilakukan inovasi.
Di samping itu, dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia inovatif juga
sangat diperhatikan kompetensi dan hak-hak belajar yang dimiliki siswa sehingga
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia inovatif dapat mewujudkan pembelajaran
yang humanis. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia inovatif
perlu dikembangkan agar guru bahasa dan sastra Indonesia dapat melaksanakan dan
mewujudkan proses pembelajaran yang humanis. Dengan demikian, dapat tercipta
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia inovatif sehingga proses pembelajaran
dapat berpusat pada siswa yang diyakini memiliki kompetensi dan memiliki nilai-
nilai humanis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu pembelajaran saintifik
2. Apa itu pembelajaran tematik-terpadu
3. Apa itu pembelajaran kontekstual
4. Apa itu pembelajaran kooperatif
5. Apa itu pembelajaran berbasis masalah
6. Apa itu pembelajaran berbasis proyek
7. Membandingkan model-model inovatif dalam pembelajaran bahasa dan
sastra indonesia
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tujuan penulisan makalah adalah menjelaskan model-
model inovatif dalam pembelajaran bahsa dan sastra indonesia yaitu pembelajaran
saintifik, pembelajaran tematik-terpadu, pembelajaran kontekstual, pembelajaran
kooperatif, pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran berbasis proyek.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh yaitu mengetahui dan memahami model-model inovatif
dalam pembelajaran bahasa dan sastra indonesia. Selain itu makalah ini dapat
dijadikan referensi pembuatan makalah, artikel dan penelitian pada bidang yang
sama.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembelajaran Saintifik


Pembelajaran pada Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik atau
pendekatan berbasis proses keilmuan. Pendekatan saintifik dapat menggunakan
beberapa strategi seperti pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran merupakan
suatu bentuk pembelajaran yang memiliki nama, ciri, sintak, pengaturan, dan budaya
misalnya discovery learning, project-based learning, problembased learning, inquiry
learning (Permendikbud 103 Tahun 2014).
Pendekatan saintifik dimaksudkan untuk memberi pemahaman kepada peserta
didik untuk mengetahui, memahami, mempraktikkan apa yang sedang dipelajari
secara ilmiah. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran diajarkan agar peserta
didik pencari tahu dari berbagai sumber melalui mengamati, menanya, mencoba,
mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran)
(Sudarwan, 2013).
Komponen-komponen penting dalam mengajar menggunakan pendekatan saintifik
(Mc Collum : 2009)
a. Menyajikan pembelajaran yang dapat meningkatkan rasa keingintahuan
(Foster a sense of wonder),
b. Meningkatkan keterampilan mengamati (Encourage observation),
c. Melakukan analisis (Push for analysis) dan
d. Berkomunikasi (Require communication)
Dari keempat komponen tersebut dapat dijabarkan ke dalam lima praktek
pembelajaran yaitu:

Instrumen Uraian
Mengamati Kegiatan belajaran yang dpat dilakukan peserta didik
misalnya membaca, mendengar, menyimak, melihat
(dengan atau tanpa alat). Kompetensi yang ingin
dikembangkan melalui pengalaman belajar
MENGAMATI adalah melatih kesungguhan, ketelitian,
dan kemampuan mencari informasi.
Menanya Kegiatan belajar yang dapat dilakukan adalah mengajukan
pertanyaan tentang informasi apa yang tidak dipahami
dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk memperoleh
informasi tambahan tentang apa yang sedang mereka
amati. Pertanyaan yang peserta didik ajukan semestinya
dapat dimulai dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
faktual saja hingga mengarah kepada pertanyaan-
pertanyaan yang sifatnya hipotetik (dugaan). Kompetensi
yang dikembangkan adalah pengembangan kreativitas,
rasa ingin tahu (curiousity), kemampuan merumuskan
pertanyaan untuk pengembangan keterampilan berpikir
kritis, dan pembentukan karakter pebelajar sepanjang
hayat (life long learner).
Pengumpulan Kegiatan ini adalah melakukan eksperimen, membaca
informasi beragam sumber informasi lainnya selain yang terdapat
pada buku teks, mengamati objek, mengamati kejadian,
melakukan aktivitas tertentu, hingga berwawancara
dengan seorang nara sumber. Kompetensi yang ingin
dikembangkan antara lain: peserta didik akan
mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai
pendapat orang lain, memiliki kemampuan
berkomunikasi, memiliki kemampuan mengumpulkan
informasi dengan beragam cara, mengembangkan
kebiasaan belajar, hingga menjadi seorang pebelajar
sepanjang hayat (life long learner).
Mengasosisi Bentuk kegiatan belajar yang dapat diberikan
tenaga pendidik antara lain pengolahan informasi
mulai dari beragam informasi yang memperdalam
dan memperluas informasi hingga informasi yang
saling mendukung, bahkan yang berbeda atau
bertentangan. Melalui pengalaman belajar ini
diharapkan peserta didik akan mengembangkan
sikap jujur, teliti, disiplin, taat kepada aturan,
bekerja keras, mampu menerapkan suatu prosedur dalam
berpikir secara deduktif atau induktif untuk
menarik suatu kesimpulan.

Komunikasi Memberikan pengalaman belajar untuk melakukan


kegiatan belajar berupa menyampaikan hasil
pengamatan yang telah dilakukannya, kesimpulan
yang diperolehnya berdasarkan hasil analisis,
dilakukan baik secara lisan, tertulis, atau cara-cara
dan media lainnya. Ini dimaksudkan agar peserta
didik mempunyai kesempatan untuk
mengembangkan kompetensinya dalam hal
pengembangan sikap jujur, teliti, toleransi,
berpikir secara sistematis, mengutarakan
pendapat dengan cara yang singkat dan jelas,
hingga berkemampuan berbahasa secara baik dan
benar.

Kelima langkah dalam pendekatan saintifik tersebut dapat dilakukan secara


berurutan atau tidak berurutan, terutama pada langkah pertama dan kedua. Sedangkan
pada langkah ketiga dan seterusnya sebaiknya dilakukan secara berurutan. Langkah
ilmiah ini diterapkan untuk memberikan ruang lebih pada peserta didik dalam
membangun kemandirian belajar serta mengoptimalkan potensi kecerdasan yang
dimiliki. Peserta didik diminta untuk mengkonstruk sendiri pengetahuan,
pemahaman, serta skill dari proses belajar yang dilakukan, sedangkan tenaga
pendidik mengarahkan serta memberikan penguatan dan pengayaan tentang apa yang
dipelajri bersama peserta didik.
Secara konsep pendekatan ini lebih mengarah pada model pendidikan
humanis, yaitu pendidikan yang memberikan ruang pad peserta didik untuk
berkembang sesuai potensi kecerdasan yang dimiliki. Peserta didik menjadi pusat
belajar, tidak menjadi obyek pembelajaran. Dengan demikian karakter, skill, serta
kognisi peserta didik dapat berkembang secara lebih optimal.
2.2 Pembelajaran Tematik-terpadu
2.2.1 Pengertian Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik merupakan pembelajaran terpadu yang menekankan
keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran. Peserta didik aktif terlibat dalam
proses pembelajaran dan pemberdayaan dalam memecahkan masalah sehingga hal ini
menumbuhkan kreativitas sesuai dengan potensi dan kecenderungan mereka yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Sekaligus dengan diterapkannya model
pembelajaran tematik, peserta didik diharapkan dapat belajar dan bermain dengan
kreativitas yang tinggi. Karena dalam pembelajaran tematik, pembelajaran tidak
semata-mata mendorong (learning to know), tetapi belajar juga untuk melakukan
(learning to do), belajar untuk menjadi (learning to be), dan belajar untuk hidup
bersama (learning to live together). Sekaligus model pembelajaran ini lebih
mengutamakan kegiatan pembelajaran peserta didik yaitu melalui belajar yang
menyenagkan (joyful learning) tanpa tekanan dan ketakutan tetapi tetap bermakna
bagi peserta didik. (Khaerudin & Dkk, 2007: 204)
2.2.2 Tujuan dan Pentingnya Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik terpadu memiliki tujuan yaitu :
a. Mudah memusatkan perhatian pada satu tema atau topik tertentu.
b. Mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi muatan
mata pelajaran dalam tema yang sama.
c. Memiliki pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan
berkesan.
d. Mengembangkan kompetensi berbahasa lebih baik dengan mengkaitkan
berbagai muatan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi peserta didik.
e. Lebih bersemangat dan bergairah belajar karena mereka dapat berkomunikasi
dalam situasi nyata, seperti bercerita,bertanya,menulis sekaligus mempelajari
pelajaran lain.
f. Lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi yang disajikan
dalam konteks tema/subtema yang jelas.
g. Guru dapat menghemat waktu, karena muatan mata pelajaran yang disajikan
secara terpadu dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam 2 atau 3
pertemuan bahkan lebih.Budi pekerti dan moral peserta didik dapat
ditumbuhkembangkan dengan mengangkat sejumlah nilai budi pekerti sesuai
dengan situasi dan kondisi.(Rusman, 2016:145)
Model pembelajaran tematik lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam
proses belajar atau mengarahkan siswa secara aktif terlibat dalam proses
pembelajaran . melalui pembelajaran tematik siswa dapat memperoleh pengalaman
langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang
dipelajari secara holistik, bermakna, autentik dan aktif. Cara pengemasan pengalaman
belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan belajar
siswa. Pengalaman belajar yang menunjukan kaitan unsur- unsur konseptual
menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual antarmata pelajaran
yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan
dan kebulatan pengetahuan. Pentingnya pembelajaran tematik diterapkan di sekolah
dasar karena pada umumnya siswa pada tahap ini masih melihat segala sesuatu
sebagai satu keutuhan (Holistik). Perkembangan fisiknya tidak pernah bias
dipisahkan dengan perkembangan mental,social dan emosional.
Apabila dibandingkan dengan pembelajaran konvesional, pembelajaran tematik
memiliki beberapa keunggulan diantaranya: 1) pengalaman dan kegiatan belajar
sangat relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak usia sekolah dasar.
2) kegiatan- kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik bertolak
dari minat dan kebutuhan siswa; 3) kegiatan belajar akan lebih bermakna dan
berkesan bagi siswa sehingga hasil belajar dapat bertahan lebih lama ; 4) membantu
mengembangkan keterampilan berfikir siswa; 5) menyajikan kegiatan belajar yang
bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui siswa dalam
lingkungannya dan 6)mengenbangkan keterampilan social siswa, seperti kerja sama,
toleransi,komunikasi dan tanggap terhadap gagasan orang lain.
Selain adanya keunggulan-keunggulan tersebut , pembelajaran tematik sangat
penting diterapkan disekolah dasar sebab memiliki banyak nilai dan manfaat
diantaranya: 1) Dengan menggabungkan beberapa kompetensi dasar dan indicator
serta isi mata pelajaran akan terjadi penghematan karena tumpang tindih materi dapat
dikurangi bahkan dihilangkan, 2) Siswa dapat melihat hubungan-hubungan yang
bermakna sebab isi/materi pembelajaran lebih berperan sebagai sarana atau alat,
bukan tujuan akhir, 3) pembelajaran tidak terpecah-pecah karena siswa dilengkapi
dengan pengalaman belajar yang lebih terpadu , 4) Memberian penerapan-penerapan
dari dunia nyata sehingga dapat mempertinggi kesempatan transfer belajar (Transfer
of learning), 5) Dengan adanya pemaduan antar pelajaran maka penguasaan materi
embelajaran akan semaki baik dan meningkat.
2.2.3 Karakteristik Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik terpadu memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Berpusat pada Siswa
Pembelajaran tematik berpusat pada siswa (student centerad), hal ini sesuai
dengan pendekatan belajar modern lebih banyak menempatkan siswa sebagai
subjek belajar sedangkan guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yaitu
memberikan kemudahan- kemudahan kepada siswa untuk melkukan aktivitas
belajar.
b. Memberikan pegalaman langsung pada anak
Pembelajaran tematik terpadu dapat memebrikan pengalaman langsung
kepada siswa (direct experiences). Dengan pengalaman langsung ini, siswa
dihadapkan pada sesuatu yang nyata (konkret) sebagai dasar untuk memahami
hal-hal yang lebih abstrak.
c. Pemisahan muatan mata pelajaran tidak begitu jelas
Dalam pembelajaran tematik terpadu pemisahan antarmuatan mata pelajaran
menjadi tidak begitu jelas. Focus pembelajaran diarahkan kepada pembahasan
tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa.
d. Menyajikan konsep dari berbagai Muatan Mata Pelajaran
Pembelajaran tematik terpadu menyajikan konsep-konsep berkaitan dengan
tema dari berbagai muatan pelajaran yang dipadukan dengan tema dari
berbagai muatan mata pelajaran yang dipadukan dalam proses pembelajaran.

Dengan demikian, siswa dapat memahami konsep-konsep tersebut secara utuh.


Hal ini diperlukan untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
e. Bersifat Luwe/Fleksibel
Pembelajaran tematik terpadu bersifat luwe (Fleksibel) dimana guru dapat
mengaitkan dan memadukan bahan ajar dari berbagai muatan mata pelajaran,
bahkan mengkaitkannya dengan kehidupan siswa dan keadaan lingkungan
dimana sekolah dan siswa berada.
f. Hasil pembelajaran berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan siwa.
Siswa diberi kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya
sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhannya.
g. Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan
2.3 Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antar pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat
(Nurhadi, 2002). Pembelajaran seperti ini serupa dengan pembelajaran berbasis
fenomena seperti yang dilakukan Dewantara, dkk. (2009) dengan menggunakan teks
fenomena untuk membangkitkan motivasi mahasiswa dalam belajar.
Dengan pembelajaran kontekstual proses pembelajaran diharapkan berlangsung
alamiah dalam bentuk kegiatan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan transfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada
hasil. Dalam konteks itu siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya,
mereka dalam status apa dan bagaimana cara mencapainya. Mereka akan menyadari
bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya. Dengan demikian mereka
mempelajari sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya.
Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.
Untuk menciptakan kondisi tersebut strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa
menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkontruksi
pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Johnson (dalam Rusman, 2012: 189) menjelaskan bahwa Pembelajaran
kontekstual memungkinkan siswa mengubungkan isi mata pelajaran akademik
dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna. Pembelajaran
kontekstual memperluas konteks priibadi siswa lebih lanjut melalui pemberian
pengalaman segar yang akan merangsang otak guna menjalin hubungan baru utuk
menemukan makna yang baru.
Shoimin (2014) menjabarkan beberapa kelebihan pembelajaran kontekstual di
antaranya sebagai berikut:
a. Pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan aktivitas berpikir siswa seara
penuh baik fisik maupun mental.
b. Pembelajara kontekstual dapat menjadikan siswa belajar bukan dengan
menghafal, melainkan proses berpengalaman dalam kehiduan nyata.
c. Kelas dalam kontekstual bukan tempat untuk memperoleh informasi,
melainkan sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di
lapangan.
d. Materi pelajaran dikonstruksi oleh siswa sendiri.
2.4 Pembelajaran Kooperatif
2.4.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Kooperative Learning)
Menurut Johnson dalam B. Santoso Cooperative Learning adalah kegiatan
belajar mengajar secara kelompok-kelompok kecil, siswa belajar dan bekerjasama
untuk sampai pada pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu
maupun kelompok. Sedangkan Nurhadi mengartikan Cooperative Learning sebagai
pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interkasi yang silih
asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat
menimbulkan permasalahan.
Selanjutnya Davidson dan Kroll, sebagaimana yang dikutip oleh Hamdun,
Cooperative Learning diartikan dengan kegiatan yang berlangsung dalam lingkungan
belajar sehingga siswa dalam kelompok kecil saling berbagi ide-ide dan bekerja
secara kolaboratif untuk menyelesaikan tugas akademik. Walhasil, Cooperative
Learning adalah metode pembelajaran yang didasarkan atas kerja kelompok yang
dilakukan untuk mencapai tujuan khusus. Selain itu juga untuk memecahkan soal
dalam memahami suatu konsep yang didasari rasa tanggung jawab dan berpandangan
bahwa semua siswa memiliki tujuan sama. Aktivitas belajar siswa yang komunikatif
dan interaktif, terjadi dalam kelompok-kelompok kecil. Oleh sebab itu, menurut
Melvin L. Silberman, seperti yang dikutip oleh Sutrisno, mengatakan belajar
merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar
membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan itu
aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Siswa mempelajari gagasan
gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Dengan mengunakan metode Cooperative Learning.
Metode Cooperative Learning dibangun atas dasar Konstruktivis Sosial dari
Vygotsky, teori Konstruktivis Personal dari Piaget dan Teori Motivasi. Menurut
prinsip utama teori Vygotsky, perkembangan pemikiran merupakan proses sosial
sejak lahir. Anak dibantu oleh orang lain (baik orang dewasa maupun teman sebaya
dalam kelompok) yang lebih kompeten didalam ketrampilan dan teknologi dalam
kebudayaannya. Bagi Vigotsky, aktivitas kolaboratif diantara anak-anak akan
mendukung pertumbuhan mereka, karena anak-anak yang sesuai lebih senang bekerja
dengan orang yang satu zone (Zone of Proximal Development, ZPD) dengan yang
lain. Pada pandangan ini, bahwa kepribadian atau kejiwaan dari pada peserta
diteropong secara keseluruhan, artinyabagian atau elemen kejiwaan tidak berdiri
sendiri, melainkan terorganisir menjadi suatu keseluruhan. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan dalam pembelajaran Cooperative Learning sangat mengutamakan
keseluruhan (holistik) dari pada bagian kecil dalam proses pembelajaran yang
mengutamakan kerja kelompok.
Secara sederhana teori Konstruktivisme itu beranggapan bahwa pengetahuan
merupakan konstruksi dari mengetahui sesuatu. Pengetahuan kita bukanlah suatu
fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan atau formulasi yang
diciptakan oleh seseorang yang mempelajarinya. Teori Konstruktivisme tidak
bertujuan mengerti tentang realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana suatu
proses, dalam hal ini adalah pembelajaran, dari tidak mengetahui menjadi mengetahui
sesuatu tersebut. Maka dalam pandangan ini belajar merupakan suatu proses aktif dari
peserta didik untuk mengkonstruksi makna, pengalaman fisik dan sebagainya.
Sedangkan Piaget juga melihat pentingnya hubungan sosial dalam membentuk
pengetahuan. Interaksi kelompok berbeda secara kualitatif dan juga lebih kuat dari
pada interaksi orang dewasa dan anak-anak dalam mempermudah perkembangan
kognitif.
Menurut teori motivasi yang dikemukakan oleh Slavin bahwa motivasi belajar
pada pembelajara kooperatif terutama difokuskan pada penghargaan atas struktur
tujuan tempat peserta didik beraktivitas. Menurut pandangan ini, memberikan
penghargaan kepada kelompok berdasarkan penampilan kelompok akan menciptakan
struktur penghargaan antar perorangan di dalam suatu kelompok sedemikian hingga
anggota kelompok itu saling memberi penguatan sosial sebagai respon terhadap
upaya-upaya berorientasi kepada tugas kelompok.
2.4.2 Unsur-Unsur Kooperatif Learning
Menurut Roger dan David Johnson dalam Anita Lie, tidak semua kerja kelompok
bisa dianggap sebagai Cooperative Learning. Untuk memperoleh manfaat yang
diharapkan dari implementasi pembelajaran kooperatif, Johnson dan Johnson
menganjurkan lima unsur penting yang harus dibangun dalam aktivitas intruksional,
mencakup:
a. Saling Ketergantungan Positif (Positif Interdependence)
Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya.
Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas
b. Interaksi Tatap Muka (Face to Face Interaction)
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota.
c. Tanggung Jawab Individual (Individual Accountability)
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika tugas dan
pola penilaian dibuat menurut prosedur model Cooperative Learning setiap siswa
akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
d. Ketrampilan Sosial (Sosial skill)
Yang dimaksud dengan ketrampilan sosial adalah ketrampilan dalam
berkomunikasi dalam kelompok. Sebelum menugaskan siswa dalam
kelompok,pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak setiap
siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan kemampuan untuk mengutarakan
pendapat mereka. Adakalanya pembelajar perlu diberitahu secara eksplisit
mengenai cara-cara berkomunikasi secara efektif seperti bagaimana cara
menyanggah pendapat orang lain tanpa harus menyinggung perasaan orang
tersebut.
e. Evaluasi Proses Kelompok (Group debrieving).
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka agar selanjutnya
bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Waktu evaluasi ini tidak perlu diadakan
setiap kali ada belajar kelompok, melainkan bisa diadakan selang beberapa waktu
setelah beberapa kali pembelajaran terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
2.4.3 Teknik-Teknik dalam Pembelajaran Kooperatif
Terdapat beberapa tehnik dalam metode Cooperative Learning. Meski
demikian guru tidak harus terpaku pada satu strategi saja. Guru dapat memilih dan
memodifikasi sendiri teknik-teknik dalam metode Cooperative Learning sesuai
dengan situasi kelas. Dalam satu jam/ sesi pelajaran, guru juga bisa memakai lebih -
dari satu tekhnik.
Berikut beberapa tekhnik belajar dalam Cooperative Learning:
a. STAD (Student Team Achievement Devision)
Guru yang menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar kelompok siswa
setiap minggu menggunakan presentasi verbal dan teks. Dalam satu kelompok
siswa terdiri dari 4-5 orang yang heterogen. Anggota team menggunakan lembar
kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi dan
kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran
melalui tutorial, kuis atau diskusi. Secara individu setiap minggu siswa diberi
kuis. Kuis diskor dan tiap individual diberi skor perkembangan. (Muslimin
Ibrohimin: 2000, 20)
b. Jigsaw
Kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan
sekaligus mengajarkan kepada siswa lainnya. Dalam hal ini, siswa dapat bekerja
sama antar siswa lainnya untuk belajar lebih efektif dan juga untuk memberikan
kesempatan pada siswa lainnyaberinteraksi lebih inten dengan yang lainnya.
c. Group Investigation (Investigasi Kelompok)
Strategi model ini merupakan suatu strategi yang memberikan keleluasan pada
siswa untuk berkelompok dan berkomunikasi antar sesama kelompok untuk
memunculkan kreasi, ide-ide dan juga solusi yang lebih mengena terhadap
permasalahan yang dihadapi kelompok tersebut.
d. Numbered Head Together
Guru melempar pertanyaan, lalu para siswa berkonsultasi sekedar untuk
meyakinkan apakah setiap siswa tersebut telah mengetahui jawaban dari soal
tersebut. Setelah itu, seorang siswa dipanggil untuk menjawab pertanyaan.
e. Think-Pair-Share (Berfikir-Berpasangan Berempat)
Tehnik ini merupakan tekhnik yang sederhana, namun sangat bermanfaat. Telah
dikembangkan oleh Frank Lyman di University of Maryland. Sesuai dengan
namanya, tekhnik ini dilakukan dalam tiga tahapan. Guru memberikan pelajaran
untuk seluruh kelas, siswa berada pada teamnya masing-masing. Kemudian guru
mengajukan pertanyaan untuk seluruh kelas, siswa memikirkan jawabannya
sendiri- sendiri (think). Kemudian siswa berpasangan dengan teman sebayanya
untuk saling mencocokkan jawabannya (pair). Dan akhirnya, guru meminta siswa
untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah dibicarakan.
2.4.4 Kelebihan dan Kelemahan Pembelajar Kooperatif
Belajar kooperatif mempunyai beberapa kelebihan. Kelebihan belajar
kooperati menurut Hill & Hill (1993: 1-6) adalah (1) meningkatkan perestasi siswa,
(2) memperdalam pemahaman siswa, (3) menyenangkan siswa, (4) mengembangkan
sikap kepemimpinan, (5) menembangkan sikap positif siswa, (6) mengembangkan
sikap menghargai diri sendiri, (7) membuat belajan secara inklusif, (8)
mengembangkan rasa saling memiliki, dan (9) mengembangkan keterampilan untuk
masa depan.
Selain mempunyai kelebihan, belajar kooperatif juga mempunyai beberapa
kelemahan. Menurut Dess (1991: 411) beberapa kelemahan belajar kooperatif adalah
(1) membutuhkan waktu yang lama bagi siswa, sehingga sulit mencapai target
kurikulum, (2) membutuhkan waktu yamg lama untuk guru sehingga kebanyakan
guru tidak mau menggunakan strategi kooperatif, (3) membutuhkan kemampuan
khusus guru sehingga tidak semua guru dapat melakukan atau menggunakan strategi
belajar kooperatif, dan (4) menuntut sifat tertentu dari siswa, misalnya sifat suka
bekerja sama.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang
menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara
berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang
diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada
pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta didik, sebelum
peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang
harus dipecahkan[2]. Menurut Sheryl (dalam [3]) pembelajaran
2.5 Pembelajaran Berbasis Masalah
2.5.1 Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah sebagai metode pembelajaran, dibangun dengan
ide konstruktivisme dan pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa. Bila
menggunakan pembelajaran berbasis masalah, guru membantu siswa fokus pada
pemecahan masalah dalam konteks dunia nyata yang akan mendorong siswa untuk
memikirkan situasi masalah ketika siswa mencoba untuk memecahkan masalah.
Model pembelajaran ini dilakukan melalui kerjasama siswa dalam kelompok-
kelompok kecil, menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa,
guru bertindak sebagai fasilitator dan menggunakan situasi kehidupan nyata sebagai
fokus pembelajaran. Siswa akan bekerja dalam kelompok untuk memecahkan
masalah nyata dan kompleks yang akan mengembangkan pemecahan masalah
keterampilan, penalaran, komunikasi, dan keterampilan evaluasi diri melalui
pembelajaran berbasis masalah.
2.5.2 Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah
Tujuan Model Pembelajaran Problem Based Learning Departemen Pendidikan
Nasional (2003), Pembelajaran berbasis masalah membuat siswa menjadi pembelajar
yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih strategi belajar
yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu
mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu.
Dari pengertian ini, dikatakan bahwa tujuan utama pembelajaran berbasis masalah
adalah untuk menggali daya kreativitas siswa dalam berpikir dan memotivasi siswa
untuk terus belajar. [3] Pembelajaran berdasarkan masalah tidak dirancang untuk
membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan
tetapi pembelajaran berbasis masalah dikembangkan untuk membantu siswa
mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan ketrampilan
intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam
pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi pembelajar yang mandiri. Dari
pengertian ini kita dapat mngetahui bahwa pembelajaran berbasis masalah ini
difokuskan untuk perkembangan belajar siswa, bukan untuk membantu guru
mengumpulkan informasi yang nantinya akan diberikan kepada siswa saat proses
pembelajaran.
2.5.3 Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah
Karakteristik Problem Based Learning PBL memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Belajar dimulai dengan satu masalah,
b. Memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa,
c. Mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu.
d. Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan
menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri.
e. Menggunakan kelompok kecil.
f. Menuntut siswa untuk mendemonstrasi-kan yang telah mereka pelajari dalam
bentuk produk atau kinerja.
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model
pbl dimulai oleh adanya masalah yang dalam hal ini dapat dimunculkan oleh siswa
ataupun guru, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang
mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memcahkan masalah
tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan
sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar. Kriteria Pemilihan Bahan
Pembelajaran Berbasis Masalah yaitu (1) Bahan pelajaran harus mengandung isu-isu
yang mengandung konflik yang bisa bersumber dari berita,rekaman,video dan lain
sebagainya. (2) Bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar dengan siswa,
sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik. (3) Bahan yang dipilih
merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak,sehingga
terasa manfaatnya. (4) Bahan yang dipilih adalah bahan yang mendukung tujuan atau
kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku. (5)
Bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu
untuk mempelajarinya.
2.5.4 Prinsip-Prinsip Pembelajaran Berbasis Masalah
Adapun prinsip-prinsip Pembelajaran Problem Based Learning adalah:
a. Belajar adalah proses konstruktif dan bukan penerimaan
Pembelajaran tradisional didominasi oleh pandangan bahwa belajar adalah
penuangan pengetahuan ke kepala pembelajar. Kepala pembelajar dipandang
sebagai kotak kosong yang siap diisi melalui repetisi dan penerimaan. Pengajaran
lebih diarahkan untuk penyimpanan informasi oleh pembelajar pada memorinya
seperti menyimpan buku-buku di perpustakaan. Pemanggilan kembali informasi
bergantung pada kualitas nomer panggil(call number) yang digunakan dalam
mengklasifikasikan informasi. Namun, psikologi kognitif modern menyatakan
bahwa memori merupakan struktur asosiatif. Pengetahuan disusun
dalam jaringan antar konsep, mengacu pada jalinan semantik. Ketika belajar
terjadi informasi baru digandengkan pada jaringan informasi yang telah ada.
Jalinan semantik tidak hanya menyangkut bagaimana menyimpan informasi,
tetapi juga bagaimana informasi itu diinterpretasikan dan dipanggil. Knowing
About Knowing (metakognisi) Mempengaruhi Pembelajaran.
b. Belajar adalah proses cepat
Bila pebelajar mengajukan keterampilan-keterampilan self monitoring, secara
umum mengacu pada metakognisi (Bruer, 1993 dalam Gijselaers, 1996).
Metakognisi dipandang sebagai elemen esensial keterampilan belajar seperti
setting tujuan (what am I going to do), strategi seleksi (how am I doing it?), dan
evaluasi tujuan (did it work?). Keberhasilan pemecahan masalah tidak hanya
bergantung pada pemilikan pengetahuan konten (body of knowledge), tetapi juga
penggunaan metode pemecahan masalah untuk mencapai tujuan. Secara khusus
keterampilan metakognitif meliputi kemampuan memonitor prilaku belajar diri
sendiri, yakni menyadari bagaimana suatu masalah dianalisis dan apakah hasil
pemecahan masalah masuk akal?
c. Faktor-faktor Kontekstual dan Sosial Mempengaruhi Pembelajaran
Prinsip ketiga ini adalah tentang penggunaan pengetahuan. Mengarahkan
pebelajar untuk memiliki pengetahuan dan untuk mampu menerapkan proses
pemecahan masalah merupakan tujuan yang sangat ambisius. Pembelajaran
biasanya dimulai dengan penyampaian pengetahuan oleh pembelajar kepada
pebelajar, kemudian disertai dengan pemberian tugas-tugas berupa masalah untuk
meningkatkan penggunaan pengetahuan. Namun studi- studi menunjukkan bahwa
pebelajar mengalami kesulitan serius dalam menggunakan pengetahuan ilmiah
(Bruning et al, 1995). Studi juga menunjukkan bahwa pendidikan tradisional tidak
memfasilitasi peningkatan peman masalah-maslah fisika walaupun secara formal
diajarkan teori fisika ( misalnya, Clement, 1990).
2.5.5 Implementasi Pembelajaran Berbasis Masalah
Implementasi Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran
yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL,
fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga siswa tidak saja
mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode
ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, siswa tidak saja harus
memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi
juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan
menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola
berpikir kritis.
PBL dapat dimulai dengan mengembangkan masalah yang: (1) menangkap
minat siswa dengan menghubungkannya dengan isue di dunia nyata; (2)
menggambarkan atau mendatangkan pengalaman dan belajar siswa sebelumnya; (3)
memadukan isi tujuan dengan ketrampilan pemecahan masalah; (4) membutuhkan
kerjasama, metode banyak tingkat (multi-staged method) untuk menyelesaikannya;
dan (5) mengharuskan siswa melakukan beberapa penelitian independent
untuk menghimpun atau memperoleh semua informasi yang relevan dengan
masalah tersebut.
2.6 Pembelajaran Berbasis Proyek
2.6.1 Pengertian Pembelajaran Berbasis Proyek
Model pembelajaran berbasis proyek merupakan suatu model pembelajaran
yang menyangkut pemusatan pertanyaan dan masalah bermakna, pemecahan
masalah, pengambilan keputusan, proses pencarian berbagai sumber, pemberian
kesempatan kepada anggota untuk bekerja secara kolaborasi, dan menutup dengan
presentasi produk nyata. Model pembelajaran berbasis proyek berfokus pada konsep
dan prinsip inti sebuah disiplin, memfasilitasi mahasiswa untuk berinvestigasi,
pemecahan masalah, dan tugas-tugas bermakna lainnya, berpusat pada siswa
(students centered) dan menghasilkan produk nyata. Menurut Thomas (dalam Wena,
2008), pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan
melibatkan kerja proyek.
Pembelajaran berbasis proyek (PBL) merupakan penerapan dari
pembelajaran aktif. Secara sederhana pembelajaran berbasis proyek didefinisikan
sebagai suatu pengajaran yang mencoba mengaitkan antara teknologi dengan masalah
kehidupan sehari-hari yang akrab dengan siswa, atau dengan proyek sekolah.
Menurut Trianto (2011) model pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang
amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermanfaat
bagi peserta didik (Santyasa, 2006). Dalam pembelajaran berbasis proyek, peserta
didik terdorong lebih aktif dalam belajar.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia “Proyek adalah rencana pekerjaan
dengan sasaran khusus dan dengan saat penyelesaian yang tegas”. Joel L Klein et. Al
dalam Widyantini (2014) menjelaskan bahwa “Pembelajaran berbasis proyek adalah
strategipembelajaran yang memberdayakan siswa untuk memperoleh pengetahuan
dan pemahaman baruberdasar pengalamannya melalui berbagai presentasi”. Menurut
Thomas, dkk (1999) dalam Wati (2013) disebutkan bahwa Pembelajaran berbasis
proyek merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru
untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek.
Thomas, dkk (Wina, 2009) menyatakan bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek
(Project Based Learning) merupakan pembelajaran yang memberikan kesempatan
kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek.
Pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang amat besar untuk membuat
pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermanfaat bagi peserta didik. Metode
pembelajaran berbasis proyek menurut Buck Institute for Education (M. Hosnan,
2014) merupakan suatu metode pembelajaran sistematis yang melibatkan siswa dalam
belajar ilmu pengetahuan dan keterampilan melalui proses penyelidikan terhadap
masalah- masalah nyata dan pembuatan berbagai karya yang dirancang secara hati-
hati. Sedangkan menurut Ridwan Abdullah Sani (2014) merupakan belajar mengajar
yang melibatkan siswa untuk mengerjakan sebuah proyek yang bermanfaat untuk
menyelesaikan permasalahan masyarakat atau lingkungan.
Pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang besar untuk memberikan
pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna bagi siswa adalah keterangan
Gear (M. Hosnan, 2014).
2.6.2 Ciri-Ciri Pembelajaran Berbasis Proyek
Ciri-ciri pembelajaran berbasis proyek menurut Center for Youth Development and
Education Boston (M. Hosnan, 2014) yaitu:
a. Siswa mengambil keputusan sendiri dalam kerangka kerja yang telah
ditentukan bersama sebelumnya.
b. Siswa berusaha memecahan sebuah masalah atau tantangan yang tidak
memiliki satu jawaban pasti.
c. Siwa didorong untuk berfikir kritis, memecahkan masalah, berkolaborasi,
serta mencoba berbagai bentuk komunikasi.
d. Siswa bertanggung jawab mencari dan mengelola sendiri informasi yang
mereka kumpulkan.
e. Evaluasi dilakukan secara terus-menerus selama proyek berlangsung.
f. Siswa secara reguler merefleksikan dan merenungi apa yang telah mereka
lakukan, baik proses maupun hasilnya.
Kerja proyek dalam pembelajaran berbasis proyek dilihat pada proses, kreativitas
dan aktivitas mahasiswa dalam proses pembelajaran sehingga akan berdampak pada
meningkatnya hasil belajar mahasiswa. Menurut Sudjana (dalam Jihad dan Haris,
2013) “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajar”. Kemampuan-kemampuan tersebut mencakup aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar dapat dilihat melalui kegiatan
evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data pembuktian yang menunjukkan
tingkat kemampuan mahasiswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran Berbasis
Proyek (project-based learning) adalah suatu model yang menekankan pada
mahasiswa untuk dapat belajar secara mandiri dengan memecahkan masalah yang
dihadapi serta mahasiswa juga dapat menghasilkan suatu proyek atau karya nyata.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran yang inovatif
adalah pembelajaran yang memberdayakan sejumlah strategi belajar secara
bervariasi, seperti strategi belajar berbasis masalah, berbasis proyek, penemuan,
Jigsaw, kooperatif, STAD, NHT, think pair share, pembelajaran langsung, learning
community, problem based learning, problem solving, problem posing, dll. Yang
berpusat pada siswa dengan memperhatikan kompetensi dan hak-hak belajarnya,
bukan pembelajaran yang didominasi oleh guru dan berpusat pada guru (Marhaeni,
2007).
Pendekatan saintifik dimaksudkan untuk memberi pemahaman kepada peserta
didik untuk mengetahui, memahami, mempraktikkan apa yang sedang dipelajari
secara ilmiah. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran diajarkan agar peserta
didik pencari tahu dari berbagai sumber melalui mengamati, menanya, mencoba,
mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran)
(Sudarwan, 2013).
Pembelajaran tematik merupakan pembelajaran terpadu yang menekankan
keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran.
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antar pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat
(Nurhadi, 2002).
Menurut Johnson dalam B. Santoso Cooperative Learning adalah kegiatan belajar
mengajar secara kelompok-kelompok kecil, siswa belajar dan bekerjasama untuk
sampai pada pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun
kelompok.
Pembelajaran berbasis masalah sebagai metode pembelajaran, dibangun dengan
ide konstruktivisme dan pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa.
Model pembelajaran berbasis proyek merupakan suatu model pembelajaran yang
menyangkut pemusatan pertanyaan dan masalah bermakna, pemecahan masalah,
pengambilan keputusan, proses pencarian berbagai sumber, pemberian kesempatan
kepada anggota untuk bekerja secara kolaborasi, dan menutup dengan presentasi
produk nyata.
3.2 Saran
Penulis sepenuhnya menyadari kekurangan dari makalah kami, dengan penuh
kerendahan hati, penulis menanti saram/kritik yang bersifat membanguan guna
memperbaiki makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Musfiqon & Nurdyansyah, 2015 Pendekatan Pembelajaran Saintifik. Siduarjo:


Nizamia Learning Center Sidoarjo
Ali I. 2021. “Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Dalam Pengajaran
Pendidikan Agama Islam” dalam jurnal Mubtadiin Vol 1 No 01 (halaman 250-259).
Lampung: IAI An Nur Lampung
Maryati I.2018. “Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Pada Materi Pola
Bilangan Di Kelas Vii Sekolah Menengah Pertama” dalam jurnal “Mushorafa”
Volume 7 Nomor 1 (halaman 65-68)
Rati N.W, Kusmaryatni N, & Rediani N. 2017. “Model Pembelajaran Berbasis
Proyek, Kreativitas Dan Hasil Belajar Mahasiswa” dalam Jurnal Pendidikan
Nasional Vol 6 No 1 (halaman 62-63)

Anda mungkin juga menyukai