Anda di halaman 1dari 12

SEBUAH KASUS MALARIA RELAPS

Nindya Indahsari
Usman Hadi

Pendahuluan
Malaria adalah suatu penyakit infeksi menular yang menyebar melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit plasomodium. Beberapa jenis
plasmodium yang dapat menyebabkan malaria antara lain Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium knowlesi dan Plasmodium
ovale. Plasmodium terbanyak ditemukan di Indonesia adalah Plasmodium falciparum
(55%) yang menyebabkan malaria tropika, kemudian Plasmodium vivax (45%) yang
menyebabkan malaria tertiana. Sedangkan Plasmodium malariae, Plasmodium
knowlesi dan Plasmodium ovale ditemukan dalam jumlah yang sedikit (Calderaro,
2013).
Kasus Malaria mendapat perhatian global karena angka morbiditas dan
mortalitas yang cukup tinggi di daerah endemis. Pada 2021, WHO melaporkan ada
247 juta kasus baru malaria, dimana 2% di antaranya merupakan kasus malaria yang
disebabkan oleh Plasmodium vivax, dan total terdapat 619.000 kasus kematian terkait
malaria di 84 negara endemis malaria. Di regio Asia Tenggara, terdapat 9 negara yang
menjadi endemis malaria, dan Indonesia menempati peringkat ke-2 setelah India
dengan negara terbanyak ditemukan kasus malaria (WHO, 2022). Di Indonesia sendiri,
malaria masih cukup sering ditemukan di daerah Indonesia Timur yang merupakan
daerah endemis malaria. Beberapa kasus yang ditemukan di daerah non endemis
karena sebelumnya ada riwayat demam setelah bepergian ke daerah endemis ataupun
saat pemeriksaan rutin untuk menyingkirkan diagnosa banding dari gejala demam.
Dilaporkan Kemenkes, pada 2021 terdapat 304.607 kasus malaria di Indonesia dengan
Annual Parasite Incidence (API) meningkat pada 20221 menjadi 1.1 per 1.000
penduduk (Kemenkes 2022). Di provinsi Jawa Timur pada tahun 2021 didapatkan 212
penderita malaria import dan tidak didapatkan kasus kematian. Sebaran kasus malaria
import terbanyak di wilayah selatan Jawa Timur, kasus terbanyak di kota Madiun
karena banyak anggota TNI yang ditugaskan ke wilayah endemis malaria (Dinkes
Jatim, 2022).
Plasmodium vivax adalah parasit penyebab malaria yang paling banyak
tersebar di dunia dengan jumlah 2.5 miliar orang beresiko mengalami infeksi dan
tercatat >15 juta kasus pertahun (Douglas, 2014). Chloroquin (CQ) telah digunakan
sebagai pengobatan lini pertama pada malaria vivax yang tidak memiliki komplikasi.
Kegagalan terapi CQ pertama kali dideteksi di Papua, Indonesia pada 1989. Sekarang

Laporan Kasus Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, 27 Desember 2023
artemisinin combination therapy (ACT) direkomendasikan sebagai pengobatan lini
pertama untuk malaria tanpa komplikasi. Namun saat ini, penilaian klinis terhadap
efektifitas obat pada malaria Plasmodium vivax diperumit oleh tantangan untuk
membedakan antara kekambuhan (yaitu, malaria vivax yang disebabkan oleh
kegagalan pengobatan), infeksi ulang (yaitu, karena gigitan nyamuk baru) atau
kambuh (yaitu, karena pengaktifan kembali parasit yang tidak aktif di dalam hati).
Secara khusus, kita tidak memiliki biomarker inang atau penanda parasit untuk
mengkonfirmasi alasan kambuhnya parasit (kambuh, gagal pengobatan, atau infeksi
ulang) (Price, 2014). Selain itu, sulit untuk menilai kerentanan Plasmodium vivax
secara in vitro karena kultur dari isolat Plasmodium vivax tidak dapat dilakukan secara
rutin dan tes kerentanan obat ex vivo sulit untuk diterapkan dan sulit untuk
diinterpretasikan karena infeksi Plasmodium vivax biasanya tidak serempak dan
kerentanan parasit bergantung pada stadiumnya (Popovici, 2019).
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka pendekatan diagnosis dan
tatalaksana pada kasus malaria masih menjadi tantangan bagi klinisi, terutama untuk
membedakan kasus kambuh, gagal pengobatan, ataupun infeksi campuran. Pada
laporan kasus kali ini, kami akan melaporkan sebuah kasus malaria relaps yang terjadi
di RS dr. Soetomo Surabaya.

Laporan Kasus
Seorang pria usia 27 tahun datang ke IGD RSDS dengan keluhan demam yang
naik turun sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, berselang sehari demam sehari
tanpa demam. Demam biasanya mulai sekitar siang dan sore hari hingga malam hari.
Demam didahului dengan menggigil, lalu demam dan berkeringat banyak lalu demam
turun. Ada mual, muntah, dan nyeri kepala yang dirasakan pasien,. Badan terasa lemas
terutama setelah demam. Tidak ada perdarahan. BAB dan BAK normal. Pasien ada
riwayat tinggal di pulau Papua selama 1.5 bulan karena pekerjaan sebagai pemandu
pendakian gunung. Demam sudah dirasakan sejak 3 hari di Papua sebelum pulang ke
Surabaya 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Ada teman pasien yang juga merasakan
gejala yang sama seperti pasien. Pasien tidak minum obat pencegahan malaria sebelum
berangkat maupun saat berada di Papua. Ada riwayat kontak dengan teman di Papua
yang sering terinfeksi malaria. Tidak ada riwayat DM, hipertensi, infeksi malaria
sebelumnya. Pasien datang dengan kondisi umum lemas, kesadaran kompos mentis,
tekanan darah 113/67 mmHg, nadi 96x/m, laju pernafasan 18x/m, temperatur 37.1oC,
SpO2 97% udara bebas. Pada pemeriksaan kepala leher didapatkan sklera slight
icterus. Splenomegali +, Rumple leed negatif. Pemeriksaan lab didapatkan Hb 12.6
g/dL, hematokrit 36.9, leukosit 3.820, trombosit 83.000, BUN 12.6, serum kreatinin

2
1.2, Natrium 136, kalium 3.1, klorida 107, SGOT 23, SGPT 20, albumin 3.7, bilirubin
direk 0.8, bilirubin total 1.7. Dari pemeriksaan ICT malaria positif, antigen malaria
spesies: non falciparum, IgM salmonella negatif, IgM dan IgG anti dengue negatif,
rapid covid 19 non reaktif. Pemeriksaan radiologis thoraks tidak tampak kelainan cor
dan pulmo. Analisis urine lengkap normal. Pemeriksaan tetes tebal dan tipis malaria
didapatkan Plasmodium vivax dengan indeks parasitemia 5%. Selama perawatan hari
ke 3, pasien mengalami penurunan tekanan darah menjadi 71/37 mmHg, tidak
membaik dengan pemberian cairan resusitasi dengan NaCl 0.9% 1000cc/2 jam
sehingga membutuhkan support nor epinephrine dimulai dengan dosis 50 nano per jam
dan naik menjadi 100 nano per jam. Pasien lalu diberi terapi dengan DHP 1x4 tablet
selama 3 hari dan primakuin 1x1 tablet selama 14 hari Tidak ada perdarahan yang
didapatkan, tidak ada penurunan kadar hemoglobin saat dilakukan pemeriksaan darah
evaluasi (Hb 12, hct 37.2, wbc 7020, plt 98.000, GDA 131) dan tidak ada perubahan
warna BAK pada pasien. Kondisi pasien membaik setelah perawatan hari ke 5 dan nor
ephinephrin mulai dihentikan. Evaluasi laboratorium darah tetes tebal dan tipis sudah
tidak didapatkan bentukan Plasmodium. Pasien dipulangkan pada perawatan hari ke
7. Pemeriksaan hapusan tetes tebal dan tipis pada akhir pengobatan primakuin tidak
ada plasmodium yang terdeteksi. Namun 28 hari setelah pengobatan primakuin selesai,
pasien kembali masuk rumah sakit dengan keluhan utama demam dengan pola yang
sama, yaitu berselang sehari, demam pada siang hingga malam hari yang didahului
dengan menggigil. Demam lebih ringan bila dibandingkan dengan sebelumnya. Ada
keluhan mual muntah. Badan terasa lemas. Pasien tidak ada riwayat bepergian ke luar
kota/daerah endemis. Saat dilakukan pemeriksaan laboratorium, ICT malaria positif,
dengan plasmodium non falciparum. Hasil pemeriksaan tetes tebal dan tipis malaria
menunjukkan Plasmodium vivax dengan indeks parasitemia 1%. Pasien kemudian
diterapi dengan terapi oral Kina tablet 3x2tab selama 7 hari. Pemeriksaan tetes tebal
dan tipis evaluasi selanjutnya sudah tidak tampak plasmodium.

Pembahasan
Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu,
intermiten dengan interval tiap 2 hari sekali. Pasien masih kami pikirkan kemungkinan
beberapa penyakit dengan penyebab demam yang lain seperti demam berdarah,
demam tifoid, malaria dan leptospirosis. Demam dirasakan pada siang hari hingga
malam hari dan biasanya didahului dengan menggigil, lalu demam dan berkeringat
banyak lalu demam turun. Ada mual,muntah, dan nyeri kepala yang dirasakan pasien,
Berikut diagnosa banding dari demam akut : Demam tifoid, Demam dengue,
Leptospirosis (Kemenkes R.I., 2013). Malaria juga harus dipikirkan sebagai diagnosis

3
banding dari beberapa penyakit dengan demam akut. Infeksi lebih sering didapatkan
dari gigitan nyamuk pada negara endemis malaria, namun ada beberapa rute transmisi
yang harus dipikirkan, seperti transplasenta (pada neonatus), transfusi darah dan
transplan organ atau jaringan (Warrel, 2017).
Pasien memiliki riwayat tinggal di pulau Papua selama 1.5 bulan karena
pekerjaan dan demam sudah dirasakan sejak 3 hari di Papua sebelum pulang ke
Surabaya 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Ada teman pasien yang juga merasakan
gejala yang sama seperti pasien. Pasien tidak minum obat kemoprofilaksis malaria
sebelum berangkat maupun saat berada di Papua. Berdasarkan hal ini kami mencurigai
adanya infeksi malaria pada pasien.
Pasien datang ke IGD dengan kondisi umum lemah namun GCS 456, tanda vital
normal. Pada pemeriksaan kepala leher didapatkan sklera slight icterus. Tidak ada
conjunctival injection (kemerahan pada konjungtiva bola mata), dan nyeri betis yang
dirasakan. Rumple leed negatif. Pemeriksaan lab didapatkan leukopenia (leukosit
3.820) dan trombositopenia (trombosit 83.000). Kadar Hb dan Hct normal,
pemeriksaan fungsi ginjal normal. Kadar gula darah normal. Pemeriksaan tubex
typhoid negatif dan IgM maupun IgG anti dengue negatif. Namun didapatkan
pemeriksaan ICT malaria positif dengan antigen malaria spesies: non falciparum.
Pemeriksaan radiologis thoraks tidak tampak kelainan cor dan pulmo. Pemeriksaan
tetes tebal dan tipis malaria didapatkan Plasmodium vivax dengan indeks parasitemia
5%. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, kami mendiagnosa pasien dengan Malaria.
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit yang di
transmisikan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Agen etiologi dari
malaria adalah parasit dari genus Plasmodium, dimana siklus hidupnya terdapat dalam
dua host : manusia (host intermediate) dan nyamuk Anopheles betina (host akhir)
(Carter & Escalada, 2016). Siklus pada manusia terjadi saat nyamuk anopheles infektif
menghisap darah manusia, sporozoite yang berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk
kedalam peredaran darah selama kurang lebih setengah jam. Setelah itu sporozoit akan
masuk ke dalam sel hati dan menjadi trofozoit hati dan kemudian akan berkembang
menjadi skizon hati yang terdiri dari 10,000-30,000 merozoit hati (tergantung
spesiesnya). Siklus ini disebut siklus ekso-eritrositer yang berlangsung selama lebih
kurang 2 minggu. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, sebagian trofozoit
hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk
dorman yang disebut hipnozoit yang dapat tinggal di sel hati selama berbulan-bulan
hingga bertahun-tahun. Suatu saat bila imunitas menurun, akan menjadi aktif hingga
menimbulkan relaps. Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk
ke peredarah darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel eritrosit, parasit

4
akan berkembang dari stadium trofozoit sampai skizon. Proses perkembangan
aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi skizon akan pecah
dan merozoite yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya, hal ini disebut
siklus eritrositer (Kemenkes R.I., 2013).
Selanjutnya, siklus pada nyamuk anopheles betina, apabila nyamuk tersebut
menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk gamet jantan
dan betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot akan berkembang menjadi
ookinete kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung
nyamuk ookinete akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporokista yang
mengandung ribuan sporozoit yang bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia
(Kemenkes R.I., 2013).
Patogenesis malaria dipengaruhi oleh faktor parasit dan host. Faktor parasit
yang mempengaruhi patogenesis adalah intensitas transmisi, densitas parasit, dan
virulensi parasite. Sedangkan faktor host adalah tingkat endemisitas daerah tempat
tinggal, genetik, umur, status nutrisi dan status imunologi (Harijanto, 2006).
Gejala utama yang dirasakan pasien adalah demam naik turun selang 1 hari dan
didahului dengan menggigil, lalu demam dan berkeringat banyak lalu demam turun
dan rasa lelah yang hebat. Malaria dibagi menjadi dua, yaitu malaria tanpa komplikasi
dan malaria berat. Gejala klasik malaria biasanya berlangsung selama 6-10 jam.
Biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu dimulai dengan tahap kedinginan (menggigil),
tahap panas (demam, nyeri kepala, muntah; pada anak yang masih muda dapat terjadi
kejang), dan kemudian tahap berkeringat (pasien berkeringat banyak, temperatur
kembali normal, rasa lelah). Biasanya, serangan muncul setiap hari ke dua dengan
parasite tertian (Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, dan Plasmodium ovale)
dan setiap tiga hari dengan parasite kuartan (Plasmodium malariae). Infeksi malaria
berat biasanya mucul dengan kegagalan organ serius atau kelainan di darah dan
metabolisme. Manifestasi malaria berat antara lain : malaria serebral, dengan
gangguan kesadaran, kejang, koma, maupun abnormalitas neurologis lainnya; anemia
berat karena hemolisis (kerusakan sel darah merah); hemoglobinuria karena hemolisis;
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) reaksi infeksi pada paru yang
menghambat pergantian oksigen, yang dapat muncul bahkan setelah jumlah parasit
menurun karena respon terapi; gangguan koagulasi darah; tekanan darah rendah akibat
kolapsnya pembuluh darah; acute kidney injury (AKI); hiperparasitemia, dimana lebih
dari 5% sel darah merah yang terinfeksi oleh parasite malaria; asidosis metabolik,
biasanya berhubungan dengan hipoglikemia.
Selain dari anamnesa, gejala, dan pemeriksaan fisik, diagnosa malaria kami
dapatkan dari pemeriksaan ICT malaria yang positif dengan antigen malaria spesies :

5
non falciparum. Dari pemeriksaan tetes tebal dan tipis malaria didapatkan Plasmodium
vivax dengan indeks parasitemia 5%. Berbagai metode deteksi parasit telah digunakan
dalam mendiagnosis kasus malaria. Sangat ideal untuk mendeteksi infeksi pada tahap
eritrositik karena jumlah parasit yang meningkat ataupun produksi protein antigenik
yang dapat memicu respons imun (Krampa, 2020).
Pada seseorang yang terinfeksi malaria, dimana infeksi Plasmodium
falciparum cenderung menunjukkan indeks parasitemia lebih tinggi, Plasmodium
vivax memiliki indeks parasitemia yang rendah karena lebih menginvasi retikulosit
dibandingkan eritrosit (Mueler et all, 2009). Hal ini sesuai dengan pemeriksaan indeks
parasitemia pasien, yaitu Plasmodium vivax 5%. Metode deteksi berbasis PCR lebih
sensitif, tetapi tidak praktis dalam prosedur diagnostik rutin terutama di daerah
terpencil (Tanner, 2015).
Pada pemeriksaan darah lengkap kami dapatkan trombositopenia dimana kadar
trombosit pasien adalah 83.000. Trombositopenia pada malaria Plasmodium vivax
tidak begitu umum terlihat. Trombositopenia yang terlihat pada malaria falciparum
disebabkan oleh koagulasi intravaskular diseminata (DIC) bersama dengan aktivasi
endotel trombosit, tetapi yang terlihat pada malaria Plasmodium vivax tanpa
komplikasi memiliki etiologi multifaktorial. Beberapa mekanisme yang dapat terjadi
adalah aktivasi makrofag yang menyebabkan kerusakan trombosit, peningkatan kadar
sitokin, kerusakan imunologis karena IgG antiplatelet, stres oksidatif, pemendekan
masa hidup trombosit dalam darah tepi dan penyerapan di daerah nonsplenic dan
sebagian karena psuedothrombocytopenia karena penggumpalan trombosit (Katira &
Shah, 2006). Trombositopenia pada malaria Plasmodium vivax tanpa komplikasi
biasanya tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan pengobatan ataupun
transfusi trombosit (Jadhav, 2004).
Pasien kami diagnosa dengan malaria vivax tanpa komplikasi, dan sesuai
dengan program nasional, kami berikan terapi dengan DHP 1x4 tablet selama 3 hari
dan primakuin 1x1 tablet selama 14 hari. Pengobatan yang diberikan adalah
pengobatan radikal malaria dengan membunuh semua stadium parasit yang ada di
dalam tubuh manusia termasuk stadium gametosit. Pengobatan malaria di Indonesia
menggunakan derivate berbasis artemisin baik tunggal maupun kombinasi ditambah
primakuin. Tujuannya adalah pengobatan yang lebih baik dan mencegah terjadinya
resistensi plasmodium terhadap obat anti malaria (Nadia, 2019).
Saat ini yang digunakan program nasional adalah derivat artemisin dengan
golongan aminokuinolin, yaitu fixed dose combination yang terdiri atas
dihydroartemisin dan piperakuin, yang dikenal dengan DHP. Satu tablet FDC
mengandung 40mg dihydroartemisin dan 320mg piperakuin, diberikan peroral satu

6
kali sehari selama tiga hari berturut-turut dengan dosis berdasarkan berat badan :
Dihydroartemisin dosis 2-4mg/kgBB dan Piperakuin dosis 16-32 mg/kgBB. Untuk
pemberian Primakuin pada malaria falciparum hanya diberikan pada hari pertama saja,
sedangkan pada malaria vivax diberikan selama 14 hari (Nadia, 2019).
Namun pada perawatan hari ke-3 di rumah sakit, saat pasien baru hari pertama
meminum obat malaria, pasien sempat mengalami penurunan tekanan darah menjadi
71/37 mmHg, nadi 90x/m, CRT< 2 detik dan tidak membaik dengan pemberian cairan
resusitasi dengan NaCl 0.9% 1000cc/2 jam sehingga membutuhkan support nor
epinephrine dimulai dengan dosis 50 nano per jam dan naik menjadi 100 nano per jam.
Pemeriksaan darah langsung dilakukan dengan hasil Hb 12.3, Hct 37.2, WBC 7020,
Neutrofil 56.5%, Limfosit 25.8%, Plt 98.000, GDA 131, Bun 11.5, Sk 0.89, Na 136,
K 4.4, Cl 105. Hipotensi yang diamati tidak dianggap sebagai ciri syok septik akibat
infeksi bakteri atau malaria berat, karena tidak ada tanda-tanda hipoperfusi jaringan,
dengan kadar wbc normal dan waktu isi ulang kapiler yang normal, dan tidak ada
indikasi lain dari kegagalan organ. Pada malaria falciparum, ada tiga mekanisme
potensial intoleransi ortostatik yang telah diusulkan. Mekanisme pertama adalah
disfungsi otonom yang menyebabkan bradikardia relatif dan gangguan kapasitas untuk
meningkatkan resistensi pembuluh darah pada posisi tegak, yang akan menyebabkan
penurunan tekanan darah diastolik pada posisi tegak. Mekanisme kedua adalah
redistribusi aliran darah akibat vasodilatasi vena yang disebabkan oleh demam dan
faktor lainnya, dengan proporsi darah yang lebih besar menuju kulit dan otot dan
penurunan proporsi ke hati dan ginjal. Dikombinasikan dengan kegagalan otonom, hal
ini dapat mengurangi aliran balik vena dan curah jantung. Hipovolemia intravaskular
juga dapat berkontribusi. Dehidrasi sering terjadi pada pasien dengan malaria
(falciparum), seperti yang diilustrasikan oleh peningkatan rasio urea/kreatinin,
peningkatan osmolaritas plasma dan penurunan ekskresi fraksional natrium, dengan
adanya respon hormon antidiuretik yang memadai. Dehidrasi pada pasien dengan
malaria biasanya disebabkan oleh transpirasi, muntah atau diare, dan asupan cairan
yang tidak memadai karena penyakit akut (Sivakorn, 2021). Klorokuin juga telah
dijelaskan menyebabkan hipotensi dan efek kronotropik negatif. Klorokuin
menurunkan resistensi vaskular melalui veno-vasodilatasi melalui pelepasan nitrat
oksida endotel dalam sirkulasi vena. Melalui vasodilatasi, klorokuin dengan demikian
dapat mengurangi preload dan afterload jantung menyebabkan hipotensi. Klorokuin
mengganggu detak jantung menyebabkan bradikardia (Capel, 2015).
Penanganan hipotensi pada malaria dengan pemberian cairan harus dilakukan
secara hati-hati, karena pada malaria berat terjadi kecendrungan edema paru akibat
adanya sekuestasi cairan. Cairan pilihan adalah NaCl 0.9% 1-2ml/kgBB/jam dan

7
dimonitor tanda vital dan produksi urine. Bila terjadi edema paru, batasi pemberian
cairan dengan monitoring ketat. Bila MAP<65 mmHg (syok) diberikan cairan NaCl
0.9% 5ml/KgBB dan pemberian vasopressor. Perlu juga dikesampingkan penyebab
syok lainnya seperti perdarahan atau sepsis. Dapat diberikan antibiotik spektrum luas
secara empiris (Nadia, 2019). Kondisi pasien membaik setelah perawatan hari ke 5 dan
nor ephinephrin mulai di tap off. Evaluasi laboratorium darah tetes tebal dan tipis
sudah tidak didapatkan bentukan Plasmodium. Pasien dipulangkan pada perawatan
hari ke 7.
Namun 28 hari setelah pengobatan primakuin selesai, pasien kembali MRS
dengan keluhan utama demam dengan pola yang sama. Demam lebih ringan bila
dibandingkan dengan sebelumnya. Pasien tidak ada riwayat bepergian ke luar
kota/daerah endemis. Saat dilakukan pemeriksaan laboratorium, ICT malaria positif,
dengan plasmodium non falciparum. Hasil pemeriksaan tetes tebal dan tipis malaria
menunjukkan Plasmodium vivax dengan indeks parasitemia 1%. Perbedaan mendasar
antara Plasmodium vivax dan Plasmodium falciparum adalah kemampuan
Plasmodium vivax untuk kambuh dari dorman hipnozoit. Di daerah tropis,
Plasmodium vivax ditandai dengan sering kambuh dalam waktu 3-6 minggu,
sedangkan di daerah beriklim sedang, kejadian kambuh lebih sedikit dan tertunda
(Baird, 2007). Dugaan relaps pada malria vivax adalah apabila pemberian primakuin
dosis 0.25mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14 hari dan pasien sakit kembali
dengan parasit positif dalam kurun waktu 4 minggu sampai 52 minggu setelah
pengobatan tanpa ada riwayat perjalanan lagi ke daerah endemis malaria (Nadia,
2019). Perbedaan dalam pola kambuh berasal dari variasi geografis dalam morbiditas
vivax dan keparahan penyakit. Misalnya, kejadian sering kambuh (setiap 3-4 minggu)
ditemukan pada ras Melanesia yang terinfeksi malaria dan mudah menyebabkan
toleransi malaria, ditandai dengan ambang demam yang lebih tinggi pada periode
infeksi kedua dan seterusnya (Anstey, 2009). Jumlah sporozoite yang diinokulasikan
oleh nyamuk Anopheles adalah penentu penting dalam hal waktu dan jumlah
kekambuhan malaria vivax. White mengatakan bahwa pasien yang mengalami
kekambuhan berturut-turut relatif konstan dan bahwa faktor yang mengaktifkan
hipnozoit dan menyebabkan kekambuhan interval teratur pada malaria vivax adalah
penyakit demam sistemik itu sendiri. Dikatakan juga bahwa yang mengaktifkan
hipnozoit laten adalah suatu penyakit sistemik (White, 2011).
Pengobatan malaria vivax relaps diberikan regimen ACT yang sama tetapi
dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0.5 mg/kgBB/hari (harus disertai dengan
pemeriksaan laboratorium enzim G6PD) (Nadia, 2019).

8
Lini kedua pengobatan malaria vivax adalah Kina + Primakuin. Kombinasi ini
digunakan untuk pengobatan malaria vivax yang gagal dengan pengobatan ACT. Kina
diberikan selama 7 hari, berdasarkan berat badan (3x10mg/kgBB/hari), dimana 1
tablet = 222 mg kina sulfat. Kombinasi ini digunakan untuk pengobatan malaria vivax
yang gagal dengan pengobatan ATC (Nadia, 2019).
Kriteria keberhasilan pengobatan dapat berupa:
a. Sembuh: Gejala klinis (demam) hilang dan parasite aseksual tidak ditemukan
sampai dengan hari ke-28
b. Gagal pengobatan dini: menjadi malaria berat pada hari ke-1 sampai ke-3
dengan parasitemia. Atau hitung parasit hari ke-2 > hari ke-0. Atau hitung
parasite hari ke-3 > 25% harri ke-0. Atau ditemukan parasite aseksual dalam
hari ke-3 disertai demam.
c. Gagal Pengobatan kasep: Menjadi malaria berat pada hari ke-4 sampai ke-28
dengan parasitemia. Atau Ditemukan kembali parasite aseksual antara hari ke-
4 sampai hari ke-28 disertai demam. Atau ditemukan kembali parasite aseksual
dalam hari ke-7, 14, 21, dan 28 tanpa demam.
d. Rekurensi: ditemukan kembali parasit aseksual dalam darah setelah
pengobatan selesai.
- Relaps: rekurens dari parasite aseksual setelah 28 hari pengobatan. Parasit
tersebut berasal dari hipnozoit P. vivax atau P. ovale.
- Rekrudensi: rekurens dari parasit aseksual selama 28 hari pemantauan
pengobatan. Parasit tersebut berasal dari parasite sebelumnya diobati.
- Reinfeksi: rekurens dari parasite aseksual yang merupakan infeksi baru dari
stadium sporozoite.
Pada pasien ini ditemukan kembali gejala demam dan hasil pemeriksaan
parasit P. vivax dengan indeks parasitemia 1% setelah sebelumnya sudah tidak
ditemukan gambaran parasit pada hari ke-7 dan 14, sehingga kasus ini dinyatakan
sebagai kasus malaria relaps.
Pada negara-negara dengan angka kasus malaria tinggi, diupayakan langkah
pencegahan malaria seperti penggunaan kelambu tidur yang sudah diberi insectisida,
penggunaan semprotan untuk di dalam ruangan, kemoprevensi untuk wanita hamil,
seasonal malaria chemoprevention (SMC) untuk anak-anak yang tinggal di daerah
musiman malaria, dan diagnosis dengan menggunakan rapid diagnostic test (RDT)
dan pengobatan dengan ACT yang efektif (WHO, 2022).
Imunitas alami terhadap malaria didapatkan secara bertahap melalui paparan
infeksi plasmodium yang berulang. Imunitas didapatkan lebih cepat melalui paparan
penyakit yang lebih berat. Dengan meningkatnya usia, terdapat perlindungan terhadap

9
malaria berat lalu terhadap malaria tanpa komplikasi hingga parasitemia yang
asimptomatik (Paton, 2021).
Selain itu ada sebuah penemuan baru berupa vaksin malaria. Vaksin
RTS,S/AS01 adalah vaksin pertama dan satu-satunya vaksin malaria yang
direkomendasikan oleh WHO. Pada tahun 2019, RTS,S/AS01 rs menerima otorisasi
peraturan nasional untuk digunakan di daerah percontohan di Ghana, Kenya dan
Malawi, di mana vaksin ini diberikan kepada anak-anak melalui layanan imunisasi
anak rutin sebagai bagian dari uji coba pengenalan secara bertahap. Produsen
merekomendasikan agar dosis pertama vaksin diberikan pada anak usia 6 minggu
hingga 17 bulan. Tiga dosis pertama harus diberikan dengan interval satu bulan,
dengan dosis keempat diberikan 18 bulan setelah dosis ketiga (WHO, 2022).

Ringkasan
Seorang pria dewasa muda terjangkit malaria setelah bepergian ke daerah
endemis selama 3 bulan. Pasien dilakukan pemeriksaan ICT malaria positif, antigen
malaria spesies: non falciparum. Pemeriksaan tetes tebal dan tipis malaria didapatkan
Plasmodium vivax dengan indeks parasitemia 5%. Pasien telah diberi terapi sesuai
pedoman malaria dengan DHP 1x4 tablet selama 3 hari dan primakuin 1x1 tablet
selama 14 hari. Hasil pemeriksaan evaluasi menunjukkan bahwa tidak ada parasitemia
yang terdeteksi. Namun saat 28 hari setelah pengobatan selesai, pasien kembali
mengalami gejala yang sama seperti awal tanpa sebelumnya bepergian dari daerah
endemis. Pemeriksaan ICT positif dan tetes tebal dan tipis malaria didapatkan
Plasmodium vivax dengan index parasitemia 1%. Pasien kemudian diberikan terapi
sesuai pedoman untuk infeksi malaria relaps.

Daftar Pustaka
Anstey, N. M., Russell, B., Yeo, T. W., & Price, R. N. (2009). The pathophysiology of
vivax malaria. Trends in Parasitology, 25(5), 220–227.
Baird JK, Schwartz E, Hoffman SL. Prevention and treatment of vivax malaria. Curr
Infect Dis Rep. 2007 Jan;9(1):39-46. doi: 10.1007/s11908-007-0021-4. PMID:
17254503.
Calderaro, A., Piccolo, G., Gorrini, C., Rossi, S., Montecchini, S., Dell’Anna, M. L.,
... & Arcangeletti, M. C. (2013). Accurate identification of the six human
Plasmodium spp. causing imported malaria, including Plasmodium ovale
wallikeri and Plasmodium knowlesi. Malaria Journal, 12, 1-6.
Capel RA, Herring N, Kalla M, Yavari A, Mirams GR, Douglas G, et al.
Hydroxychloroquine reduces heart rate by modulating the hyperpolarization-

10
activated current if: novel electrophysiological insights and therapeutic
potential. Heart Rhythm. 2015;12:2186–94.
Carter, K. H., & Escalada, R. P. (2016). and Prabhjot Singh. Arthropod Borne
Diseases, 325.
Dayanand, K. K., Achur, R. N., & Gowda, D. C. (2018). Epidemiology, drug
resistance, and pathophysiology of Plasmodium vivax malaria. Journal of
vector borne diseases, 55(1), 1.
Dinkes Jatim. (2021). Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
2021. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Douglas NM, Pontororing GJ, Lampah DA, Yeo TW, Kenangalem E, Poespoprodjo
JR, Ralph AP, Bangs MJ, Sugiarto P, Anstey NM, Price RN. Mortality
attributable to Plasmodium vivax malaria: a clinical audit from Papua,
Indonesia. BMC Med. 2014 Nov 18;12:217. doi: 10.1186/s12916-014-0217-z.
PMID: 25406857; PMCID: PMC4264333.
Harijanto PN. (2006). Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi IV.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: hal.1754-1760.
Jadhav UM, Patkar VS, Kadam NN. Thrombocytopenia in malaria—correlation with
type and severity of malaria. J Assoc Phys India 2004; 52: 615–8.
Katira, B., & Shah, I. (2006). Thrombocytopenia in Plasmodium vivax infected
children. Journal of Vector Borne Diseases, 43(3), 147.
Kemenkes, R. I. (2013). Pedoman Tata Laksana Malaria. Ditjen P2 PL, Jakarta.
Kemenkes, R. I. (2022). Profil Kesehatan Indonesia tahun 2021. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Krampa, F.D.; Aniweh, Y.; Kanyong, P.; Awandare, G.A. Recent Advances in the
Development of Biosensors for Malaria Diagnosis. Sensors 2020, 20, 799.
https://doi.org/10.3390/s20030799
Llanos-Cuentas, A., Lacerda, M. V., Hien, T. T., Vélez, I. D., Namaik-Larp, C., Chu,
C. S., ... & Green, J. A. (2019). Tafenoquine versus primaquine to prevent
relapse of Plasmodium vivax malaria. New England Journal of
Medicine, 380(3), 229-241.
Mueller I, Galinski MR, Baird JK, Carlton JM, Kochar DK, Alonso PL, et al. Key gaps
in the knowledge of Plasmodium vivax, a neglected human malaria
parasite. Lancet Infect Dis 2009; 9(9): 555–66
Nadia, S.T., et al. (2019). Tata Laksana Malaria. In Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran. Kemenkes, Jakarta.
Paton RS, al. Malaria infection and severe disease risks in Africa. Science. 2021;
373(6557): 926–931

11
Popovici, J., Pierce-Friedrich, L., Kim, S., Bin, S., Run, V., Lek, D., ... & Menard, D.
(2019). Recrudescence, reinfection, or relapse? A more rigorous framework to
assess chloroquine efficacy for Plasmodium vivax malaria. The Journal of
infectious diseases, 219(2), 315-322.
Price, R. N., Von Seidlein, L., Valecha, N., Nosten, F., Baird, J. K., & White, N. J.
(2014). Global extent of chloroquine-resistant Plasmodium vivax: a systematic
review and meta-analysis. The Lancet infectious diseases, 14(10), 982-991.
Sato, S. Plasmodium—A brief introduction to the parasites causing human malaria and
their basic biology. J. Physiol. Anthr. 2021
Sivakorn, C., Wilairatana, P., Krudsood, S., Schultz, M. J., Techarang, T.,
Kheawsawaung, K., & Dondorp, A. M. (2021). Severe orthostatic hypotension
in otherwise uncomplicated Plasmodium vivax infection. Malaria Journal, 20,
1-7.
Smith RC, Vega-Rodríguez J, Jacobs-Lorena M. 2014. The Plasmodium bottleneck:
malaria parasite losses in the mosquito vector. Mem Inst Oswaldo
Cruz 109:644–661
Tanner M, Greenwood B, Whitty CJM, Ansah EK, Price RN, Dondorp AM, et
al. Malaria eradication and elimination: views on how to translate a vision into
reality. BMC Med 2015
Trampuz A, Jereb M, Muzlovic I, Prabhu RM. Clinical review: Severe
malaria. Critical Care 2003; 7(4): 315–23
Warrell, D. A. (2017). Clinical features of malaria. In Essential malariology (pp. 191-
205). CRC Press
White, N. J. (2011). Determinants of relapse periodicity in Plasmodium vivax
malaria. Malaria journal, 10(1), 1-36.
World Health Organization. (2022). Weekly Epidemiological Record, Malaria vaccine
: WHO position paper – March 2022, 97 (09): 60 – 78
World Health Organization. (2022). WHO guidelines for malaria, 3 June 2022 (No.
WHO/UCN/GMP/2022.01 Rev. 2). World Health Organization.

12

Anda mungkin juga menyukai