Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I


( MALARIA )

DISUSUN OLEH :

NAMA : Inesya Karina Zainishfi


NIM : 1140970120014
KELAS : II A Gelatik
SEMESTER : III

AKPER KESDAM VI TANJUNGPURA BANJARMASIN


T.A 2020/2021
A. Definisi
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium.
Penyakit infeksi ini memiliki gejala klasik, yaitu demam paroksismal, menggigil, dan
diaforesis. Malaria ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. betina. 
Ada 5 jenis spesies Plasmodium yang dapat menimbulkan malaria pada manusia,
yakni Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium
malariae, dan Plasmodium knowlesi. Jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, dapat
menimbulkan komplikasi berat yang dapat berujung pada kematian.
Siklus hidup Plasmodium terbagi 2, yakni di dalam tubuh manusia (aseksual) dan di
dalam tubuh nyamuk (seksual). Di dalam tubuh manusia, Plasmodium mengalami siklus
eksoeritrositik (asimtomatik) dan siklus eritrositik (simtomatik).
Di dalam sel darah merah, parasit tersebut menggunakan hemoglobin sebagai
sumber nutrisinya dan menghasilkan zat sisa heme yang diagregasi oleh parasit
menjadi pigmen hemozoin yang tidak larut. Pigmen tersebut menumpuk di berbagai
organ seperti otak, hati, dan limpa yang menimbulkan berbagai manifestasi klinis
Pasien yang terinfeksi malaria menunjukkan gejala setelah beberapa minggu
terinfeksi (masa inkubasi tergantung spesies Plasmodium). Gejala malaria adalah
demam paroksismal, sakit kepala (ditemukan pada hampir semua pasien malaria),
malaise, rasa lelah berlebihan, batuk, nyeri otot dan sendi, penurunan nafsu makan,
mual, muntah, serta diare.

B. Patofisiologi
Patofisiologi munculnya gejala pada malaria berkaitan dengan siklus eritrositik
parasit. Parasitemia meningkat setiap kali terjadi lisis eritrosit dan ruptur skizon eritrosit
yang melepaskan ribuan parasit dalam bentuk merozoit dan zat sisa metabolik ke
sirkulasi darah. Tubuh yang mengenali antigen tersebut kemudian melepaskan
makrofag, monosit, limfosit, dan berbagai sitokin, seperti tumor necrosis factor
alpha (TNF- α).
Sitokin TNF-α dalam sirkulasi darah yang sampai ke hipotalamus akan menstimulasi
demam. Demam bertahan selama 6–12 jam, lalu suhu tubuh kembali normal, dan
meningkat kembali setiap 48–72 jam saat siklus eritrositik lengkap. Selain TNF-α,
ditemukan juga sitokin proinflamasi lainnya, seperti interleukin 10 (IL-10) dan interferon
γ (IFN- γ). Pada fase infeksi lanjutan, tubuh memproduksi antibodi yang membantu
proses pembersihan parasit melalui jalur makrofag-sel T-sel B.
Parasitemia pada malaria falciparum lebih hebat dibandingkan parasitemia spesies
lain. Hal ini disebabkan karena Plasmodium falciparum dapat menginvasi semua fase
eritrosit, sedangkan Plasmodium vivax lebih dominan menginfeksi retikulosit
dan Plasmodium malariae menginvasi eritrosit matur. Tingkat parasitemia biasanya
sebanding dengan respons tubuh manusia dan keparahan gejala klinis.
Anemia pada malaria terjadi akibat proses hemolisis dan fagositosis eritrosit, baik
yang terinfeksi maupun normal oleh sistem retikuloendotelial pada limpa. Peningkatan
aktivitas limpa menyebabkan splenomegali. Anemia berat juga dipengaruhi oleh
gangguan respons imun monosit dan limfosit akibat hemozoin (pigmen toksik hasil
metabolisme Plasmodium), sehingga terjadi gangguan eritropoiesis dan destruksi
eritrosit normal.
Hemolisis dapat juga diinduksi oleh kuinin atau primaquine pada orang dengan
defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) herediter. Pigmen yang keluar ke
dalam sirkulasi saat hemolisis dapat terakumulasi di sel retikuloendotelial limpa,
sehingga folikelnya menjadi hiperplastik dan kadang-kadang nekrotik. Pigmen juga
dapat mengendap dalam sel Kupffer hati, sumsum tulang, otak, dan berbagai organ
lain.
Hemolisis dapat meningkatkan serum bilirubin sehingga menimbulkan jaundice.
Malaria falciparum dapat disertai hemolisis berat yang menyebabkan hemoglobinuria
(blackwater fever).

C. Tanda & Gejala


Gejala malaria paling cepat muncul sekitar satu minggu setelah gigitan nyamuk
Anopheles yang terinfeksi. Pada umumnya akan muncul 10-15 hari setelah gigitan
nyamuk. Namun pada beberapa kasus, gejala baru timbul setelah beberapa bulan
karena parasit penyebab malaria dapat bertahan dalam keadaan tidak aktif di dalam
tubuh.
Gejala yang dirasakan penderita malaria antara lain:
 Demam tinggi
 Menggigil
 Sakit kepala
 Berkeringat banyak
 Lemas
 Mual atau muntah
 Nyeri perut
 Diare dan BAB berdarah
Pada beberapa jenis malaria, demam muncul setiap 48 jam. Serangan gejala malaria
sering digambarkan melalui tiga tahap selama 6-12 jam, diawali dengan menggigil, lalu
berkembang menjadi demam dan sakit kepala, kemudian penderita akan berkeringat
banyak dan lemas hingga akhirnya suhu tubuh kembali normal.

D. Test Diagnostik
Ketika pasien datang berobat dengan gejala malaria, dokter akan menanyakan
riwayat gejala tersebut dan melakukan pemeriksaan fisik. Dokter juga akan
menanyakan apakah pasien tinggal di daerah yang banyak kasus malaria, atau baru
saja bepergian ke daerah tersebut.
Guna memastikan apakah pasien terserang infeksi malaria, dokter akan melakukan
pemeriksaan darah yang disebut tes diagnostik cepat malaria (RDT malaria).
RDT malaria bertujuan untuk mendeteksi protein (antigen) yang bisa menjadi tanda
keberadaan parasit malaria. Hasilnya dapat diketahui dalam waktu beberapa menit.
Untuk memastikan malaria, tidak cukup dengan pemeriksaan RDT saja. Diperlukan
juga pemeriksaan darah di bawah mikroskop, untuk melihat keberadaan parasit
dan membedakan jenis malaria. Sampel darah bisa diambil lebih dari sekali dan diambil
ketika keluhan timbul.

E. Penatalaksanaan
Jenis dan lama pengobatan yang diberikan bergantung kepada: jenis parasit malaria
seberapa parah kondisi kesehatan, umur, serta status kehamilan. Pengobatan anti-
malaria yang dapat diberikan oleh dokter di Indonesia antara lain terapi kombinasi
artemisinin (ACT) dan primakuin, serta injeksi artesunate. Pengobatan akan dievaluasi
berkala dengan cara pemeriksaan darah untuk memeriksa jumlah parasit dalam darah.
Untuk pasien malaria yang menunjukkan gejala dan hasil diagnosanya dinyatakan
positif malaria tetapi tidak sampai parah, pengobatannya antara lain:
 Pengobatan berbasis-artemisinin yang dikombinasikan (ACT).
Metode ini ditujukan pada anak-anak atau orang dewasa (kecuali wanita hamil dalam
3 bulan pertama kehamilan mereka) yang menderita gejala malaria tapi tidak sampai
parah. Pengobatan ini diberikan melalui obat yang mesti ditelan (atau jika pasien
dianggap tidak dapat menerima obat lewat mulut, dimasukkan lewat anus atau saluran
lain).
Untuk pasien-pasien malaria bergejala yang tak sampai parah dengan keadaan
tertentu, pengobatannya antara lain:
 Orang dewasa yang obesitas. Untuk pasien yang mengalami obesitas, dosis obat
anti-malaria (seperti ACT tadi) diberikan dalam jumlah yang lebih besar.
 Wanita hamil dan menyusui. Untuk wanita hamil, terutama di 3 bulan pertama
kehamilan, pengobatan yang diberikan meliputi obat quinine + clindamycin selama
7 hari. Sementara wanita hamil yang sudah memasuki trimester kedua dan ketiga,
metode pengobatan berbasis-artemisinin yang akan diberikan. Sama halnya untuk
wanita menyusui. Metode pengobatan berbasis-artemisinin dianggap aman untuk
mereka karena hanya sejumlah kecil zat dari obat tersebut yang ikut terbawa
melalui air susu ibu.
 Bayi dan balita. Terapi ACT dianggap aman bagi bayi dan balita dengan beberapa
pengecualian. Pengecualian ini berlaku pada bayi yang baru berusia beberapa
minggu, serta juga pada bayi usia 6 bulan. Ada juga zat tertentu yaitu tetracycline
yang mesti dihindari untuk bati, Bagi bayi yang beratnya kurang dari 5 kg, dosis
obat akan disamakan dengan bayi yang memiliki berat 5 kg.
 Pasien penderita HIV. Pasien HIV berisiko menderita malaria serta kematian karena
malaria. Beberapa penelitian bahkan berpendapat bahwa penanganan malaria pada
kelompok pasien ini diberikan dengan meningkatkan pengobatan imunosupresan.
Namun, hal ini akan berakibat pada respon yang kurang terhadap obat-obatan anti-
malaria. Untuk pencegahan hal tersebut, penggunaan artesunate + SP dihindari jika
pasien sedang dalam pengobatan co-trimoxazole. Selain itu, penggunaan artesunate
+ amodiaquine juga dihindari jika pasien sedang dalam pengobatan efavirenz atau
zidovudine.
 Pelancong yang tidak imun terhadap malaria. Apabila ada turis yang berasal dari
negara-negara di mana penyakit malaria tidak ditemukan atau jarang terjadi di sana,
orang-orang ini berisiko menjadi penderita malaria yang parah. Pengobatan ACT
dianggap manjur bagi para pelancong yang mengalami gejala malaria tapi tidak
sampai parah.
 Pasien penderita hiperparasitemia (parasit malaria sudah padat di dalam darahnya).
Pasien dengan kondisi ini mesti dimonitor secara ketat selain diobati menggunakan
terapi ACT.
Untuk pengobatan pasien penderita malaria yang parah, obat anti-malaria mesti
diberikan baik lewat anus atau saluran lain dengan segera. Selain itu, terapi ACT juga
mesti diberikan lewat mulut dengan dosis yang penuh/maksimal. Pasien dengan malaria
parah juga mesti ditangani secara intensif di ICU. Pengobatan yang akan dijalankan
pada mereka antara lain:
 Terapi cairan (seperti diinfus)
 Transfusi/pemberian darah
 Penggunaan antibiotik bersama dengan pengobatan-pengobatan tadi
Bagi wanita hamil yang menderita malaria parah, khususnya wanita dalam masa 3
bulan kedua serta ketiga kehamilan mereka, pengobatan menggunakan artesunate
melalui saluran-saluran dalam tubuh selain mulut. Pengobatan menggunakan
artesunate ini dijalankan selama keseluruhan masa kehamilan, dan jika artesunate tidak
tersedia, artemether atau quinine dapat diberikan sampai artesunate tersedia.

Anda mungkin juga menyukai