Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“ HUKUM PERJANJIAN PERSPEKTIF HUKUM DAGANG “

Disusun Oleh :

SALSABILA NADA KHANSA

NIM : 22710328

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya


sehingga makalah dengan judul “ HUKUM PERJANJIAN PERSPEKTIF
HUKUM DAGANG “ ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa
penulis mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan penulis berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi penulis sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Ponorogo, 31 Desember 2023

SALSABILA NADA KHANSA

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................4
1.1 Latar Belakang......................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................4
1.3 Tujuan...................................................................................................4
1.4 Manfaat.................................................................................................5
BAB II ISI............................................................................................................6
2.1 Wanprestasi...........................................................................................6
2.2 Perjanjian Jual Beli...............................................................................9
2.3 Perjanjian Online..................................................................................14
2.4 Perjanjian Utang Piutang......................................................................15
BAB III KESIMPULAN......................................................................................20
3.1 Kesimpulan...........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................22

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jaman semakin moderen, kebutuhan manusia makin terus bertambah dan tidak
ada puasnya. Banyak produsen yang menguras pikiran - pikiran yang kreatif untuk
meningkatkan kualitas produknya, agar mampu bersaing dalam merebut pasar
karena tingginya persaingan produsen terkadang menyebabkan salah satu
produsen melakukan persaingan tidak sehat. Di dalam persaingan tersebut
terkadang produsen melakukan pelanggran - pelanggaran di dalam hukum
perdagangan yang bertujuan agar saingan produsenya mengalami kurangnya
penghasilan yang berdampak pada kerugian yang berskala besar
Dari permasalahan yang sering terjadi maka di buatlah suatu peraturan
perdagangan yang disebut HUKUM DAGANG. Hukun dagang ini di manfatkan
agar dapat mengatur berjalannya suatu perdagangan dan mencegah, dan
memberikan sanksi kepada produsen atau perusahaan yang terbukti melakukan
pelanggaran.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas maka dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana wanprestasi?
2. Bagaimana perjanjian jual beli?
3. Bagaimana perjanjian online
4. Bagaimana perjanjian utang piutang
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat ditarik tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui wanprestasi
2. Untuk mengetahui perjanjian jual beli
3. Untuk mengetahui perjanjian online
4. Untuk mengetahui perjanjian utang piutang

4
1.4 Manfaat
Dapat dijadikan bahan rujukan bagi pembaca dalam mengetahui hukum perjanjian
perspektif hukum dagang

5
BAB II

ISI

2.1 Wanprestasi

Wanprestasi adalah istilah yang diambil dari bahasa Belanda wanprestatie


dengan arti tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian.
Berdasarkan arti dalam KBBI, wanprestasi adalah keadaan salah satu pihak (
biasanya perjanjian ) berprestasi buruk karena kelalaian.

Dalam hukum, wanprestasi berarti kegagalan dalam memenuhi prestasi


yang sudah ditetapkan. Prestasi merupakan suatu hal yang dapat dituntut. Dalam
sebuah perjanjian, umumnya ada satu pihak yang menuntut prestasi kepada pihak
lain. Contohnya, kreditur menuntut prestasi kepada debiturnya. Berdasarkan Pasal
1234 KUH Perdata, prestasi yang dituntut umumnya berupa tiga hal yakni
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu.

Seperti yang sudah disebutkan, kegagalan dalam memenuhi prestasi


disebut wanprestasi. Kemudian, ketentuan atau dasar hukum wanprestasi dimuat
dalam KUH Perdata. Wanprestasi sebagaimana diterangkan Pasal 1238 KUH
Perdata adalah kondisi di mana debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah,
atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri,
yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan. Dalam perjanjian, sering ditemukan istilah
wanprestasi. Wanprestasi adalah kondisi saat satu pihak lalai dalam memenuhi
perjanjiannya.

Terkait unsur wanprestasi, Subekti dalam Hukum Perjanjian menerangkan


empat unsur dalam wanprestasi, antara lain:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi atau tidak melakukan apa yang
dijanjikan.
2. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Akibat dari wanprestasi bila melakukan wanprestasi, pihak yang lalai


harus memberikan penggantian berupa biaya, kerugian, dan bunga. Akibat atau
sanksi wanprestasi ini dimuat dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menerangkan
bahwa tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu
wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga,
bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.

6
Penggantian biaya merupakan ganti dari ongkos atau uang yang telah
dikeluarkan oleh salah satu pihak. Kemudian, yang dimaksud dengan penggantian
rugi adalah penggantian akan kerugian yang telah ditimbulkan dari kelalaian
pihak wanprestasi. Selanjutnya, terkait bunga, J. Satrio dalam Hukum Perikatan
menerangkan bahwa bunga dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis.

1. Bunga Moratoir, yakni bunga terutang karena debitur terlambat memenuhi


kewajibannya.
2. Bunga Konvensional, yakni bunga yang disepakati oleh para pihak.
3. Bunga Kompensatoir, yakni semua bunga di luar bunga yang ada dalam
perjanjian.

Somasi dalam wanprestas yaitu apabila pihak debitur melakukan


wanprestasi, pihak kreditur umumnya memberikan surat perintah atau peringatan
yang menerangkan bahwa pihak/debitur telah melalaikan kewajibannya. Surat ini
dikenal dengan surat somasi. Terkait somasi, ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata
menerangkan bawa debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan
akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila
perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan.

Jonaedi Efendi dalam Kamus Istilah Hukum Populer menilai somasi


merupakan langkah efektif untuk menyelesaikan sengketa sebelum pengajuan
perkara ke pengadilan dilakukan. Somasi bertujuan untuk memberikan
kesempatan kepada calon tergugat untuk berbuat atau menghentikan suatu
perbuatan yang dituntut. Gugatan wanprestasi apabila setelah pemberian somasi
pihak debitur tidak juga melakukan apa yang dituntut, pihak kreditur dapat
menuntut atau menggugat wanprestasi yang telah dilakukan. Sebagaimana
diterangkan dalam Perbuatan Melanggar Hukum atau Wanprestasi ada tiga
kemungkinan bentuk gugatan yang mungkin diajukan oleh pihak yang merasa
dirugikan akibat dari wanprestasi, yakni sebagai berikut.

1. Melalui parate executie


Kreditur melakukan tuntutan sendiri secara langsung tanpa pengadilan.
Pihak kreditur bertindak secara eigenrichting atau menjadi hakim sendiri
secara bersama - sama. Dalam praktiknya, langkah ini berlaku pada
perikatan ringan dengan nilai ekonomis kecil.

2. Melalui arbitrase atau perwasitan


Kreditur dan debitur sepakat untuk menyelesaikan persengketaan melalui
wasit atau arbitrator. Saat arbitrator memutuskan sengketa tersebut, baik
kreditur dan debitur harus tunduk pada putusan. Kendati putusan tersebut

7
merugikan atau menguntungkan salah satu pihak, keduanya wajib
menaatinya.

3. Melalui rieele executie


Penyelesaian sengketa antara kreditur dan debitur melalui hakim di
pengadilan. Umumnya langkah ini diambil saat masalah yang
dipersengketakan cukup besar dan nilai ekonomisnya tinggi atau di antara
pihak kreditur dan debitur tidak ada penyelesaian sengketa meski cara
parate executie telah dilakukan.

Wanprestasi terjadi karena beberapa sebab. Adapun faktor penyebab wanprestasi


adalah di bawah ini :

1. Force Majeure atau Keadaan Memaksa


Poin pertama penyebab wanprestasi adalah terjebak dalam keadaan memaksa.
Faktor ini terjadi apabila salah satu pihak tidak mampu memenuhi kewajiban
karena terjadi kondisi di luar kontrol pihak tersebut. Ketidakmampuan dalam
menjalankan kesepakatan bukan atas kehendak pihak tersebut. Dengan demikian
pelaku tidak dapat disalahkan. Unsur - unsur wanprestasi dalam keadaan
memaksa meliputi, adanya bencana alam, obyek binasa karena ketidaksengajaan,
obyek hilang atau dicuri, dan lain sebagainya.

2. Adanya Kelalaian Salah Satu Pihak


Penyebab lain wanprestasi adalah adanya kelalaian salah satu pihak. Pihak
sebagai pelaku perjanjian melakukan tindakan yang merugikan pihak lain akibat
dari kelalaian atau kesengajaannya menyalahi kesepakatan.

3. Pihak Sengaja Melanggar Perjanjian


Penyebab fatal dari wanprestasi adalah salah satu pihak sengaja melanggar
perjanjian. Pihak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kesepakatan awal.
Akibatnya, salah satu pihak terdampak kerugian.

Ketika Anda terlibat dalam suatu perjanjian dengan potensi wanprestasi,


Anda bisa membuat gugatan wanprestasi dan mengajukannya ke pengadilan
perdata. Cara mengajukan gugatan wanprestasi adalah berikut ini.

1. Mendaftarkan Gugatan Wanprestasi ke Pengadilan


Cara pertama mengajukan gugatan wanprestasi adalah melakukan pendaftaran
gugatan secara tertulis kepada pengadilan. Berdasarkan Pasal Wanprestasi 118

8
ayat 1 HIR menjelaskan bahwa penggugat harus memilih pengadilan negeri yang
tingkatannya sesuai dengan kapasitas gugatan tersebut.

2. Membayar Biaya Panjar Perkara


Apabila gugatan diterima pihak pengadilan, selanjutnya cara mengajukan gugatan
wanprestasi adalah Anda melakukan pembayaran biaya panjar perkara. Biaya
panjar merupakan dana ketika final perkara diperhitungkan setelah terbit putusan
pengadilan. Pada tahap awal, biaya ini akan dikeluarkan oleh penggugat. Namun
di akhir putusan pengadilan, pihak yang kalah akan menanggung biaya panjar.
Biaya ini diperlukan pengadilan untuk memenuhi hal administratif seperti
pembuatan dokumen, pemanggilan saksi, materai, dan biaya lainnya.

3. Melakukan Registrasi Perkara


Jika sudah membayar biaya panjar, silahkan lakukan registrasi perkara. Gugatan
wanprestasi yang Anda ajukan akan dicatat dalam Buku Register Perkara untuk
memperoleh nomor gugatan. Nomor gugatan nantinya digunakan dalam proses
penyelesaian wanprestasi di pengadilan.

4. Melimpahkan Berkas Perkara ke Pengadilan


Gugatan Anda akan diproses oleh Ketua Pengadilan Negeri sesuai nomor gugatan.
Proses pelimpahan kasus ini harus dilakukan selambat - lambatnya 7 hari pasca
registrasi. Hal ini dilakukan agar tidak melanggar prinsip - prinsip penyelesaian
kasus perkara.

5. Menunggu Penetapan Majelis Sidang


Selanjutnya, cara mengajukan gugatan wanprestasi adalah menunggu penetapan
Majelis Sidang. Setelah pemeriksaan, dokumen gugatan Anda akan diputuskan
oleh Hakim selambat - lambatnya 7 hari setelah penerimaan berkas.

6. Mengikuti Prosesi Sidang dengan Baik


Langkah terakhir yaitu melaksanakan proses sidang sesuai aturan berlaku. Anda
beserta pihak - pihak terkait akan disidang oleh pihak pengadilan untuk
menyelesaikan kasus tersebut. Usahakan mengikuti prosesi sidang dengan baik
dan kepala dingin.

2.2 Perjanjian Jual Beli


Surat perjanjian jual beli atau kontrak adalah surat yang menandakan
kesepakatan dan dibuat oleh kedua belah pihak untuk suatu urusan jual beli.
Sehingga surat perjanjian jual beli dapat dijadikan sebagai bukti transaksi atau
kesepakatan kedua belah pihak.

9
Adanya surat perjanjian jual beli ini memiliki beberapa fungsi, salah
satunya untuk menegaskan kredibilitas antara kedua belah pihak. Selain itu,
kesepakatan tersebut juga dapat menjadi bukti yang menguatkan untuk pihak
eksternal di luar kedua belah pihak yang bertransaksi, misalnya dengan bank.
ada dua jenis surat perjanjian yang dikenal, antara lain:
1. Surat perjanjian otentik, adalah surat perjanjian yang disahkan atau
disaksikan oleh pejabat pemerintahan seperti lurah atau camat dan dibuat
di hadapan notaris.
2. Surat perjanjian di bawah tangan atau tidak otentik, adalah surat perjanjian
yang dibuat dengan tidak disaksikan atau disahkan oleh pejabat
pemerintahan maupun notaris.

Surat perjanjian jual beli adalah surat perjanjian yang dibuat oleh pihak
penjual dan pembeli dalam sebuah transaksi jual - beli. Surat perjanjian ini
menyatakan bahwa pihak penjual wajib menyerahkan barang dan pembeli berhak
menerima barang tersebut setelah menyerahkan sejumlah harga barang kepada
pembeli.
Perjanjian jual beli dianggap sah jika sesuai dengan asas konsensualisme,
yaitu para pihak mencapai kesepakatan tentang barang dan harga kendati barang
tersebut belum diberikan penjual atau harga tersebut belum dibayarkan pembeli.
Perjanjian jual beli bisa dinyatakan batal bila penjual kedapatan
memperdagangkan barang selain milik atau haknya sendiri, atau karena barang
dagangan tersebut hilang, rusak atau musnah di tengah proses penjualan.

Fungsi Surat Perjanjian Jual Beli dalam Transaksi. Surat perjanjian jual
beli memiliki sejumlah fungsi antara lain:
1. Memberi Jaminan Keamanan Secara Hukum
Surat perjanjian jual beli menjamin keamanan suatu transaksi secara hukum.
Adanya keterangan yang jelas dalam surat perjanjian dapat melindungi baik
pembeli maupun penjual dari penipuan atau hal - hal lain yang merugikan salah
satu atau kedua belah pihak.
2. Memberi Kepercayaan Bagi Pihak-pihak yang Terlibat
Surat perjanjian jual beli juga menjadi jaminan yang menjaga kepercayaan pihak-
pihak yang terlibat dalam proses jual beli. Penjual akan percaya bahwa pembeli
akan membayar sesuai harga barang. Sebaliknya, pembeli juga percaya bahwa
penjual menyediakan barang yang sesuai dengan ekspektasinya.
3. Menjadikan Kesepakatan Lebih Profesional
Perjanjian mungkin dilakukan secara lisan, tetapi akan lebih profesional dan
dipercaya apabila dibuat dalam bentuk tertulis seperti surat perjanjian. Di samping
itu, surat perjanjian tertulis akan meminimalisasi potensi risiko yang bisa terjadi

10
dan membuat pihak - pihak yang terlibat lebih bertanggung jawab menjalankan
kewajiban.
4. Menjaga Citra dan Integritas Bisnis
Bagi pihak di luar perjanjian ini, surat perjanjian jual beli juga memberikan kesan
integritas dan citra yang baik pada proses jual beli. Dalam hal ini, penjual dan
pembeli juga akan diuntungkan karena mereka akan dianggap berintegritas dan
kredibel oleh pihak ketiga, misalnya bank.

Dalam melakukan perjanjian, dikenal banyak asas, antara lain adalah


sebagai berikut:
a) Asas Konsesualisme
Asas konsesualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk
lahirnya kesepakatan. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas
konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya suatu perjanjian atau kontrak ialah pada
saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan
antara para pihak, lahirlah perjanjian atau kontrak tersebut walaupun belum
dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan
oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka. Asas konsesualisme
ini tidak berlaku bagi semua jenis perjanjian karena asas ini hanya berlaku
terhadap perjanjian konsensual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak
riil tidak berlaku.
Selain itu asas konsesualisme ini menekankan suatu janji lahir pada detik
terjadinya konsensus kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak
mengenai hal-hal pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Apabila
perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis maka bukti tercapainya konsensus adalah
pada saat ditandatanganinya perjanjian itu oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Namun demikian, tidak semua perikatan tunduk dengan asas ini, karena
terhadapnya ada pengecualian yaitu terhadap perjanjian formal ( hibah,
perdamaian, dan lain – lain ) juga perjanjian riil ( pinjam pakai, pinjam -
meminjam, dan lain - lain ).
Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan
perjanjian. Dalam Pasal tersebut tidak disebutkan adanya formalitas tertentu di
samping kesepakatan yang telah tercapai, sehingga dapat disimpulkan bahwa
perjanjian sudah sah apabila telah ada kesepakatan para pihak mengenai hal - hal
yang pokok. Terhadap asas konsesualisme ini terdapat pengecualian yaitu untuk
beberapa perjanjian, undang - undang mensyaratkan adanya formalitas tertentu.
Hal ini berarti selain kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak, perjanjian
harus pula diwujudkan dalam bentuk tertulis atau akta. Perjanjian semacam ini
misalnya perjanjian penghibahan, perjanjian kerja, perjanjian perdamaian,
perjanjian asuransi, perjanjian mendirikan perusahaan dan sebagainya.

11
Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau
dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang -
undang menetapkan formalitas - formalitas tertentu untuk beberapa macam
perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak
memenuhi syarat - syarat yang dimaksud Pasal 1320 Kitab Undang - Undang
Hukum Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaris, perjanjian
perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu
formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian formil.

b) Asas Kebebasan Berkontrak


Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting
dalam melakukan suatu perjanjian karena merupakan bentuk dari wujud kehendak
bebas, pancaran dari hak manusia. Kebebasan berkontrak dilatar belakangi oleh
paham individualisme yang secara embrional lahir di zaman Yunani, yang
menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang
dikehendakinya, dalam Hukum Perjanjian, falsafah ini diwujudkan dalam
"kebebasan berkontrak", karenanya pemerintah tidak boleh mengadakan
intervensi, paham individualisme memberi peluang yang luas bagi golongan yang
lemah. Dengan kata lain, pihak yang kuat menentukan kedudukan yang lemah.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk
secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, antara lain:

A. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak


B. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian
C. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian
D. kebebasan - kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang - undangan.

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan suatu dasar yang menjamin


kebebasan orang dalam melakukan suatu perjanjian. Hal ini tidak terlepas juga
dari sifat Buku III BW yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga
para pihak dapat mengesampingkannya, kecuali terhadap pasal - pasal tertentu
yang sifarnya memaksa. Menurut asas ini, hukum perjanjian memberikan
kebebasan pada setiap orang untuk membuat perjanjian apapun dengan ketentuan
tidak bertentangan dengan undang - undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Asas ini diberikan kepada oleh Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang - Undang
Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang - undang bagi mereka yang membuatnya Dari pasal 1338
ayat (1) Kitab Undang - Undang Hukum Perdata tersebut, dapat disimpulkan
bahwa setiap orang atau masyarakat bebas untuk mengadakan suatu perjanjian

12
yang berisi apa saja, baik mengenai bentuknya maupun objeknya dan jenis
perjanjian tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari
dianutnya sistem terbuka dalam hukum perjanjian apapun baik yang telah diatur
secara khusus dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata maupun yang belum
diatur dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata atau peraturan - peraturan
lainnya. Sebagai konsekuensi lain dari sistem terbuka maka hukum perjanjian
mempunyai sifat sebagai hukum pelengkap.
Hal ini berarti bahwa masyarakat selain bebas membuat isi perjanjian
apapun, mereka pada umumnya juga diperbolehkan untuk mengesampingkan atau
tidak mempergunakan peraturan - peraturan yang terdapat dalam bagian khusus
Buku III Kitab Undang - Undang Hukum Perdata. Dengan kata lain, para pihak
dapat membuat ketentuan - ketentuan yang akan berlaku di antara mereka.
Undang - undang hanya melengkapi saja apabila ada hal - hal yang belum diatur
di antara mereka. Seringkali didapati bahwa dalam membuat suatu perjanjian,
para pihak tersebut tidak mengatur secara tuntas segala kemungkinan yang akan
terjadi. Dengan demikian tepatlah jika hukum perjanjian sebagai hukum
pelengkap, sehingga dapat dipergunakan untuk melengkapi perjanjianperjanjian
yang tidak lengkap tersebut.

c) Asas Mengikat Kontrak


Setiap orang yang membuat perjanjian, harus terikat untuk memenuhi
perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji - janji yang harus
dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak Dengan kata lain, asas ini
melandasi pernyataan bahwa suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu
kewajiban hukum dan karena itu para pihak terikat untuk melaksanakan
kesepakatan kontraktual. Bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi dianggap
sudah terberi dan kita tidak pernah mempertanyakan harus dipenuhi dianggap
sudah tersebri dan kita tidak pernah mempertanyakannya kembali. Kehidupan
kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan baik jika seseorang dapat
mempercayai perkataan orang lain. Ilmu pengetahuan kiranya tidak mungkin
dapat memberikan penjelasan lebih dari itu, terkecuali jika perjanjian atau kontrak
memang mengikat karena merupakan suatu janji serupa dengan undang - undang
karena undang - undang tersebut dipandang sebagai perintah undang - undang.
Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual ditiadakan, seluruh sistem
pertukaran benda dan jasa yang ada di dalam masyarakat akan hancur.
Oleh sebab itu, Kesetiaan pada janji yang merupakan bagian dari
persyaratan yang dituntut akal budi ilmiah. Janji dari kata - kata yang ducapkan
sifatnya mengikat. Perjanjian dibuat sendiri oleh para pihak dan mereka juga yang
menentukan ruang lingkup serta cara pelaksanaan perjanjian tersebut. Perjanjian
yang dibuat secara sah memunculkan akibat hukum dan berlaku bagi para pihak

13
seolah undang - undang (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang - Undang Hukum
Perdata). Keterikatan suatu perjanjian terkandung didalam janji yang dilakukan
oleh pihak itu sendiri. Adagium Pacta Sunt Servanda diakui sebagai aturan yang
menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, mengingat kekuatan
hukum yang terkandung didalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada
akhirnya dapat dipaksakan penataannya.

2.3 Perjanjian Online

Apa yang dimaksud dengan perjanjian elektronik? Perjanjian elektronik


atau kontrak elektronik menurut UU ITE adalah perjanjian para pihak yang dibuat
melalui sistem elektronik. Perjanjian elektronik dibuat apabila Anda melakukan
transaksi elektronik atau perbuatan hukum melalui komputer, jaringan komputer
atau media elektronik lainnya. Transaksi elektronik dapat dilakukan berdasarkan
kontrak elektronik atau bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan
para pihak. Contoh kontrak elektronik adalah perjanjian antara peminjam dana
dan pemberi dana dalam fintech lending atau peer to peer lending seperti pinjol,
yang harus menggunakan perjanjian pendanaan dalam bentuk dokumen
elektronik.

Pada prinsipnya keabsahan suatu perjanjian tidak ditentukan oleh bentuk


fisik dari perjanjian tersebut. Baik cetak maupun elektronik, baik lisan maupun
tulisan, akan dianggap sah menurut hukum jika memenuhi syarat Pasal 1320 KUH
Perdata. Empat syarat sah perjanjian tersebut meliputi:

1. kesepakatan para pihak;


2. kecakapan para pihak;
3. objek yang spesifik atau suatu hal tertentu; dan
4. sebab yang halal.

Secara lebih spesifik, PP 71/2019 mengatur syarat sah suatu perjanjian


elektronik atau kontrak elektronik antara lain:

A. terdapat kesepakatan para pihak;


B. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan;
C. terdapat hal tertentu; dan
D. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang -
undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Selain empat syarat tersebut, perjanjian elektronik yang ditujukan kepada


penduduk Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Apabila kontrak

14
elektronik menggunakan klausul baku, maka harus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang - undangan tentang klausul baku. Perjanjian atau kontrak
elektronik juga paling sedikit harus memuat:
1) data identitas para pihak
2) objek dan spesifikasi
3) persyaratan transaksi elektronik
4) harga dan biaya
5) prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak
6) ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat
mengembalikan barang dan atau meminta penggantian produk jika ada
cacat tersembunyi
7) pilihan hukum penyelesaian transaksi elektronik.

Kontrak elektronik berdasarkan UU ITE merupakan alat bukti hukum


yang sah, karena informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia. Dalam hal ini termasuk juga perjanjian elektronik yang
dapat dijadikan alat bukti elektronik di pengadilan jika terjadi sengketa di antara
para pihak. Berdasarkan ketentuan KUH Perdata dan UU ITE sebagaimana
diuraikan di atas, maka perjanjian elektronik atau kontrak elektronik sepanjang
memenuhi syarat sah perjanjian maka perjanjian tersebut sah dan memiliki
kekuatan yang sama dengan perjanjian konvensional atau yang ditandatangani dan
dihadiri para pihak secara langsung. Demikian halnya dengan kekuatan
pembuktiannya, perjanjian elektronik memiliki kekuatan pembuktian yang sama
dengan perjanjian yang ditandatangani langsung oleh para pihak.

2.4 Perjanjian Utang Piutang

Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari


kata “ovreenkoms” dalam bahasa Belanda atau istilah “agreement” dalam bahasa
Inggris. Istilah hukum perjanjian dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
“contract” yang dalam praktiknya sering dianggap sama dengan istilah perjanjian.
Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian yaitu suatu hubungan hukum
kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak
pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak
lain untuk menunaikan prestasi. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang atau lebih itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal. Pengertian perjanjian dijelaskan dalam Pasal
1313 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa "perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih”.

15
Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi mengenai persetujuan,
rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena
hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan
dipergunakannya perkataan "perbuatan" tercakup juga perwakilan sukarela dan
perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini perlu kiranya diadakan perbaikan
mengenai definisi tersebut, yaitu:

1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang


bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum,
2) Menambahkan perkataan "atau saling mengikatkan dirinya" dalam Pasal
1313 KUH Perdata.

Perumusannya menjadi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana


satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Dalam membuat perjanjian para pihak harus
memenuhi syarat - syarat yang ada dalam syarat sahnya perjanjian, hal ini sesuai
dengan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

A. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya


B. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
C. Suatu hal tertentu
D. Suatu sebab yang halal

Dalam syarat sah nya perjanjian di atas dibagi menjadi dua kelompok
yaitu dua syarat pertama dinamakan syarat subjektif dan dua syarat yang terakhir
dinamakan syarat objektif, dimana keduanya memiliki akibat hukum masing-
masing, apabila syarat subjektif dalam pembuatan perjanjian tidak terpenuhi maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan sedangkan apabila syarat objektif dalam
pembuatan perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Perikatan untuk memberikan sesuatu adalah perikatan untuk menyerahkan dan
merawat benda sampai saat penyerahan dilakukan, hal ini diatur dalam Pasal 1235
KUH Perdata yang mengatur bahwa Dalam tiap - tiap perikatan untuk
memberikan sesuatu adalah termasuk kewajiban dari yang berutang untuk
menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai
seorang bapak rumah tangga yang baik, sampai adanya penyerahan.

Berdasarkan Pasal tersebut dapat disimpukan bahwa yang berutang


tersebut memiliki kewajiban tertentu sebelum terjadinya penyerahan. dengan
demikian yang berutang memiliki kewajiban untuk menyerahkan sesuatu yang
merupakan kewajiban pokok dan untuk merawat sesuatu sampai adanya
penyerahan.

16
Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa "suatu
kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan,
dan ketertiban umum". Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang -
undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan
dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa
perjanjian bertentangan dengan kesusilaan bukanlah hal yang mudah, karena
istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda - beda antara
daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang
satu dan lainnya, selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah
- ubah sesuai dengan perkembangan jaman. Unsur - unsur Perjanjian. Suatu
perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur esensial dalam
suatu perjanjian. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut karena selain
unsur esensial masih di kenal unsur lain dalam suatu perjanjian. Dalam suatu
perjanjian dikenal tiga unsur, yaitu :

a. Unsur esensialia, yaitu unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena
tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensialia ini maka tidak ada
kontrak sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan
mengenai barang dan harga terdapat pada Pasal 1458 KUH Perdata karena
tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam kontrak jual beli,
kontrak tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal yang
diperjanjikan.
b. Unsur naturalia, yaitu unsur yang diatur dalam undang - undang sehingga
apabila tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, undang - undang
yang mengaturnya dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur
yang selalu dianggap ada dalam kontrak sebagai contah, jika dalam
kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis
berlaku ketentuan dalam Pasal 1491 KUH Perdata bahwa penjual harus
menanggung cacat tersembunyi.
c. Unsur aksidentalia, yaitu unsur yang nanti ada atau mengikuti para pihak
jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam jual beli
dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai
membayar utangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan,
dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut - turut,
barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali kreditornya tanpa melalui
pengadilan, demikian pula klausul - klausul lainya yang sering ditentukan
dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur yang esensialia dalam
kontrak tersebut.

17
A. Pengertian Perjanjian Utang Piutang

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau tidak dapat dinyatakan


dalam jumlah uang baik yang secara langsung maupun yang akan timbul di
kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib
dipenuhi oleh debitur dan apabila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur
untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Dalam arti kata lain,
utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau tidak dapat dinyatakan dalam
jumlah uang baik yang secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian
hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi
oleh debitur dan apabila tidak dipenuhi, maka hak kepada kreditur untuk
mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur, sedangkan piutang adalah
tagihan (klaim) kreditur kepada debitur atas uang, barang atau jasa yang
ditentukan, dan apabila debitur tidak mampu memenuhi maka kreditur berhak
untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.

Perjanjian Utang Piutang termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam


meminjam, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 Kitab Undang - Undang
Hukum Perdata yang menyatakan: Pinjam - meminjam ialah perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula Utang piutang merupakan kegiatan antara orang yang
berutang dengan orang lain atau pihak lain pemberi utang, dimana kewajiban
untuk melakukan suatu prestasi yang dipaksakan melalui suatu perjanjian atau
melalui pengadilan, dengan kata lain merupakan hubungan yang menyangkut
hukum atas dasar seseorang mengharapkan prestasi dari seorang yang lain jika
perlu dengan perantara hukum.

Perjanjian utang piutang ada dua macam, yaitu karena murni perjanjian
utang piutang dan karena dilatar belakangi perjanjian lain, dalam perjanjian utang
piutang terdapat dua pihak yang melakukan perjanjian, yaitu pihak yang memberi
pinjaman uang dari pihak yang menerima pinjaman uang, istilah yang digunakan
dalam perjanjian tersebut untuk pihak yang memberikan pinjaman adalah pihak
yang berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut
pihak yang berutang atau debitur. Syarat sah perjanjian yang tertera dalam Pasal
1320 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata, utang piutang sah secara hukum
apabila telah ada kata sepakat antara para pihak yaitu kreditur dan debitur,
kesepakatan antara para pihak tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis dan
ditandatangani oleh para pihak, dan perjanjian yang dibuat tidak melanggar
undang - undang dan kesusilaan.

18
B. Hak dan kewajiban para pihak

Dalam perjanjian yang bertimbal balik seperti perjanjian utang piutang ini, hak
dan kewajiban kreditur bertimbal balik dengan hak dan kewajiban debitur. Hak
kreditur di satu pihak, merupakan kewajiban debitur di lain pihak. Begitu pula
sebaliknya, kewajiban kreditur merupakan hak debitur.

I. Hak Kreditur Kreditur adalah pihak yang berhak menuntut pemenuhan


suatu prestasi atau pihak yang memiliki piutang. Dalam hal ini kreditur
yang telah melaksanakan kewajibannya berhak mendapat pemenuhan
prestasi dari debitur sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian dan
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hak debitur dalam perjanjian
utang piutang adalah menerima pinjaman sejumlah uang dari kreditur yang
sebelumnya telah disepakati besarnya antara kedua belah pihak.
II. Kewajiban Debitur Kewajiban debitur dalam perjanjian utang piutang
pada pokoknya mengembalikan utang dalam jumlah yang sama disertai
dengan pembayaran bunga yang telah diperjanjikan, dalam jangka waktu
yang telah ditentukan dan kewajiban debitur dalam pembayaran utang
tergantung kepada perjanjiannya. Perjanjian utang piutang sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata, kewajiban -
kewajiban kreditur tidak banyak diatur, pada pokoknya kreditur wajib
menyerahkan uang yang dipinjamkan kepada debitur setelah terjadinya
perjanjian. Pasal 1759 hingga Pasal 1761 Kitab Undang - Undang Hukum
Perdata menentukan sebagai berikut:
1) Uang yang telah diserahkan kepada debitur sebagai pinjaman. Sebelum
lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian tidak dapat diminta kembali
oleh kreditur.
2) Apabila dalam perjanjian utang piutang tidak ditentukan jangka waktu,
dan kreditur menuntut pengembalian utang, caranya dengan mengajukan
gugatan perdata ke pengadilan, dan berdasarkan Pasal 1760 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, hakim diberi kewenangan untuk menetapkan
jangka waktu pengembalian utang dengan mempertimbangkan keadaan
debitur serta memberi kelonggaran kepadanya untuk membayar utang.
3) Berdasarkan Pasal 1761 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jika
dalam perjanjian tersebut ditentukan pihak debitur akan mengembalikan
utang setelah mampu membayarnya, kreditur juga harus menuntut
pengembalian utang melalui pengadilan, hakim setelah
mempertimbangkan keadaan debitur, akan menentukan pengembalian
tersebut.

19
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

1) Perlindungan hukum bagi pihak yang mengalami penyalahgunaan keadaan


dalam pembuatan perjanjian adalah :
 Perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Perjanjian yang dibuat dengan
adanya unsur penyalahgunaan keadaan tidak tepat bila langsung
dinyatakan batal demi hukum, meskipun pada prakteknya di
masyarakat antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum itu
sama saja, tetapi secara normatif kedua hal tersebut adalah dua hal
yang berbeda. Dasar pertimbangannya adalah karena kebutuhan
pihak yang lebih lemah terhadap perjanjian tersebut, dan tidak
adanya pelanggaran terhadap syarat obyektif perjanjian.
 Hakim juga dapat mempertimbangkan faktor itikad baik dalam
perjanjian dengan berdasarkan pada Pasal 1338 BW. Pengertian
itikad baiknya dapat diambil dari salah satu doktrin mengenai
itikad baik yang dikembangkan oleh para ahli hukum. Doktrin juga
dapat digunakan sebagai sebuah sumber hukum yang terakhir bila
memang sumber-sumber hukum yang lain seperti undang-undang,
kebiasaan, traktat, dan yurisprudensi tidak mengatur hal yang
sama.
2) Perubahan hukum positif Indonesia untuk mengantisipasi terjadinya
penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan perjanjian adalah :
 Perlu dibuat suatu undang-undang baru yang secara khusus dan
spesifik mengatur mengenai perjanjian seperti yang dilakukan oleh
negara-negara lain. Misalnya seperti adanya Unfair Contract Terms
Act di Uni Eropa, Contracts Review Act di Australia, Covenant of
Good Faith and Fair Dealing di Amerika Serikat,
Misrepresentation Act di Inggris, dan sebagainya.
 Prinsip larangan adanya undue influence dalam pembuatan sebuah
perjanjian yang berlaku di negara-negara lain sebaiknya diadopsi
sebagai sebuah ketentuan hukum pemaksa dalam bentuk sebuah
undang-undang yang khusus mengatur mengenai perjanjian, atau
paling tidak dalam bentuk yurisprudensi oleh hakim. Prinsip
larangan adanya undue influence ini adalah prinsip yang paling
mendasar, paling penting, dan paling tepat dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap adanya penyalahgunaan keadaan
dalam pembuatan perjanjian.

20
 Pasal 1338 BW sebagai satu-satunya pasal di dalam BW yang
memuat mengenai itikad baik dalam konteks perjanjian secara
umum sebaiknya sedikit dirubah ketentuannya. Bunyi ketentuan
Pasal 1338 BW alinea ketiga adalah: "Suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik", sebaiknya bunyi ketentuan pasal
tersebut sedikit dirubah menjadi: "Suatu perjanjian harus dibuat
dan dilaksanakan dengan itikad baik".

21
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Agus Yudha Hermako, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam


Kontrak Komersial, Jakarta: Prenada Media Grup, 2010.

Ahmad Miru, Hukum Kontrak Perancanan Kontrak, Jakarta: Rajawalu


Pers,2007

Bagus Irawan, Aspek – aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan dan


Asuransi, Bandung: Alumni, 2007

Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Bandung:


Nuansa Aulia, 2012.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2003.

Yahmana, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan Yang


Lahir Dari Hubungan Kontraktual, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011.

Undang – undang :

Kitab Undang – undang Hukum Perdata

Undang – undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Artikel :

Zulkifli Aboebakar dalam Pelatihan audit kontrak bisnis dan analisa resiko hukum
dalam kontrak

22

Anda mungkin juga menyukai