UNIVERSITAS RIAU
FAKULTAS HUKUM
Jalan Pattimura Nomor 9 Pekanbaru 28131
Telepon (0761) 22539 Faksimile (0761) 21695
Laman : www.fh.unri.ac.id Email : fh@unri.ac.id
PAPER TENTANG
“AKIBAT HUKUM WANPRESTASI, SOMASI,
RESIKO, GANTI RUGI, DAN BENTUK-
BENTUK PEMBELAAN DEBITUR YANG
LALAI”
Disusun oleh
RIZKY JULRANDA
NIM. 1909113966
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1............................................................................................................................................Latar Belaka
...........................................................................................................................................1
1.2............................................................................................................................................Rumusan M
...........................................................................................................................................2
1.3............................................................................................................................................Tujuan
...........................................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Akibat-Akibat dari Wanprestasi........................................................................................4
2.2 Pengertian dan Bentuk-Bentuk Somasi.............................................................................8
2.3 Resiko dan Ganti Rugi......................................................................................................11
2.4 Bentuk-Bentuk Pembelaan Debitur Yang Lalai................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada perjanjian ini, debitur memiliki kewajiban untuk menyerahkan barang tertentu,
dan wajib menjaganya dengan baik sampai ada penyerahan. Hal ini bisa kita lihat
dalam pasal 1236. Apabila debitur tidak merawat atau menjaga dengan baik, maka
debitur telah melakukan wanprestasi.
1
HS Salim, Hukum Kontrak: Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 23.
2
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Interm (Jakarta, 1987), hlm. 45.
3
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Alumni), hlm. 60.
4
Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 45.
5
Dermina Dsalimunthe, ‘Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang Undang Hukum Perdata
(BW)’, Jurnal Al-Maqasid, 3 (2017), 12–29.
Misalnya dalam hal perjanjian jual beli, debitur diwajibkan menyerahkan sejumlah
uang yang telah ditentukan.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu, disini bisa kita contohkan seperti perjanjian untuk
membuat bangunan tertentu, membuat lukisan, menjahit baju, dan lain-lain. Apabila
debitur tidak memenuhi prestasi untuk berbuat sesuatu sesuai dengan apa yang
dijanjikan, maka dikatakan wanprestasi dan bisa dikenakan ganti rugi atas kerugian
yang diderita kreditur atas daluwarsanya waktu.
Dalam hal ini, debitur diperjanjikan untuk tidak berbuat sesuatu. Misalnya dalam hal
si A berjualan di sebelah toko B yang menjual makanan, si A dilarang menjual
makanan dan harus berjualan lain.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam jurnalnya, Ummul Khair (2017) membagikan bahwa ada 4 akibat yang
disebabkan karena wanprestasi, di antaranya adalah:10
1. Kreditur masih bisa menuntut kepada debitur terkait pelaksanaan prestasi perikatan,
jika ia telat menggenapi prestasi. Di samping itu ganti kerugian yang disebabkan oleh
keterlambatan menajalankan prestasi, debitur berhak dituntut untuk mengganti
kerugian kreditur.
2. Ganti rugi harus dibayarkan debitur kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).
3. Pengalihan beban resiko terhadap kerugian debitur apabila halangan itu muncul
sesudah debitur wanprestasi, kecuali apabila ada kesengajaan atau kesalahan besar
9
I Wayan Bandem, I Wayan Wisadnya, dan Timoteus Mordan, ‘Akibat Hukum Perbuatan Wanprestasi Dalam
Perjanjian Hutang Piutang’, Raad Kertha, 03.01 (2020), hlm. 5.
10
Umul Khair, ‘Analisis Yuridis Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dan Akibat Hukum Jika Terjadi
Wanprestasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di Indonesia’, 2017, 40-41.
4
dari pihak kreditur, oleh karenanya debitur tidak dibebankan untuk berpegang pada
force majeure.
4. Apabila perikatan muncul karena perjanjian timbal balik, kreditur bisa melepaskan
diri dari keharusan memberi prestasi yang bertentangan dengan memakai Pasal 1266
KUH Perdata.
Hal yang krusial apabila perjanjian tersebut tidak dipenuhi ialah atas kerugian,
ongkos dan bunga yang diterimanya, kreditur berhask meminta akibat kerugian tersebut.
Selaras dengan hal tersebut, Sedyo Prayogo dalam jurnalnya juga mengatakan bahwa
akibat yang sangat krusial dari tak dipenuhinya perikatan adalah bahwa kreditur bisa
meminta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang dideritanya.11
Undang-undang menentukan adanya keharusan mengganti kerugian untuk debitur,
maka sebelumnya harusnya dinyatakan bahwa adanya kelalaian oleh debitur. Dinyatakan
lalai adalah ketika telah ada peringatan atau pernyataan dari kreditur untuk debitur agar
paling lambat harus menggenapi prestasi, jika saat waktu tempo waktu tersebut
dilewatinya maka debitur dinyatakan telah melakukan wanprestasi.12
Ingkar janji terjadi ketika debitur selaku pihak yang memiliki kewajiban untuk
memenuhi prestasi dalam perjanjian, dinyatakan lalai dalam melaksanakan prestasinya
atau kita katakan juga bahwa wanprestasi ada ketika debitur selaku pihak yang memiliki
kewajiban untuk memenuhi prestasi dalam perjanjian itu tidak bisa membuktikan kalau
debitur sudah menjalankan prestasi tersebut di luar kesalahanya atau adanya keadaan
memaksa atau force majeur. Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa, force majeur
merupakan kondisi dimana tidak terpenuhinya prestasi dari debitur yang disebabkan oleh
debitur karena terdapat peristiwa karena bukan tidak disebabkan oleh kesalahannya,
kejadian yang tidak dapat diketahui atau tidak terduga terjadi saat perikatan telah dibuat.13
Jadi upaya hukum dalam perjanjiam agar sampai ke tahap debitur selaku pihak yang
memiliki keharusan dalam memenuhi prestasi dalam perjanjian tersebut dinyatakan
wanprestasi disebut dengan istilah “pernyataan lalai”.14
Kausalitas wanprestasi adalah adanya hak untuk menggugat ganti rugi yang diderita
kreditur yang ditujukan kepada debitur yang disebakan karena adanya wanprestasi yang
dilakukan oleh debitur. Pihak yang ingkar janji mendapatkan keharusan agar kerugian
yang diderita oleh kreditur harus dibayar debitur. Pasal 1340 angka (1) KUH Perdata
menyebutkan bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat hanya berlaku bagi pihak-pihak
11
Sedyo Prayogo, ‘Penerapan Batas-Batas Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian’,
Jurnal Pembaharuan Hukum, 3 (2016), 2, hlm. 284.
12
Khair, hlm. 41.
13
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990).
14
Khair, hlm. 41.
5
yang membuat perikatan tersebut. Ini memberikan arti bahwa segala perjanjian, hanya
membawa akibat berlakunya regulasi pada pasal 1131 KUHPerdata untuk pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian tersebut. Jadi segala yang menjadi keharusan atau prestasi
yang wajib dilaksanakan oleh debitor dalam perjanjian hanyalah kewajibannya semata-
mata.15
Akibat hukum apabila telah terjadi wanprestasi, maka perjanjian itu tidak harus
diajukan pembatalan, namun batal demi hukum dengan sendirinya, tapi ketentuan Pasal
1266 ayat 2 menjabarkan bahwasanya akibat hukum wanprestasi tidaklah batal demi
hukum, tetapi wajib dimohonkan agar dibatalkan kepada hakim di pengadilan negeri.
Pasal 1244 dan Pasal 1252 KUH Perdata menerangkan bahwa ganti rugi yang disebabkan
wanprestasi diharuskan membayar kerugian yang benar-benar terjadi, biaya-biaya yang
dikeluarkan, dan diperbolehkan untuk meminta kehilangan keungtungan yang
diharapkan.16
Pada pokoknya, akibat-akibat atau sanksi-sanksi hukum bagi debitur ketika
melakukan wanprestasi ada 4 macam, yakni:
a. Adanya kewajiban membayar ganti rugi yang harus dibayarkan debitur kepada
kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata)
b. Pembatalan perjanjian beserta dengan adanya pembayaran ganti rugi (Pasal 1267
KUH Peradata)
c. Peralihan resiko kepada debitur sejak terjadinya ingkar janji (Pasal 1237 ayat 2 KUH
Perdata)
d. Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di pengadilan (pasal 181 ayat 1 HIR)
Permasalahan ganti rugi, undang-undang memberi pengaturan soal apa yang bisa
dimasukkan dalam ganti rugi tersebut. Pengaturan ini merupakan pembatasan ganti rugi
apa saja yang bisa dituntut. Dengan itu debitur yang alpa atau lalai, masih bisa diberikan
perlindungan oleh undang-undang terhadap kesewenangan kreditur.
Pembatalan atau pemecahan perjajian ialah perjanjian itu dianggap sudah tidak
berlaku lagi atau tidak ada lagi sesudah terjadi wanprestasi. Apabila bentuk perjanjian
15
Khair, hlm. 41.
16
Khair, hlm. 41-42.
6
memenuhi prestasi, seperti perjanjian untuk memberikan suatu barang, akan tetapi karena
wanprestasi perjanjian tersebut batal dengan sendirinya.17
Berkaitan pembatalan perjanjian bisa kita lihat pada pasal 1266 KUH Perdata,
pasal tersebut menerangkan syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian
timbal balik, apabila salah satu pihak ternyata tidak menggenapi kewajibannya. Dalam
hal tersebut, perjanjian tidak batal demi hukum, namun wajib dimintakan kepada hakim.19
Hakim juga mempunyai hak leluasa untuk menentukan suatu keputusan, yang
berarti bukan merupakan suatu kepastian bagi kreditur untuk menerima keputuan dari
hakim, bahwa perjanjian mereka buat dengan debitur pasti mendapat keputusan
pembatalan perjanjian. 21
17
Dsalimunthe, hlm. 20.
18
Subekti, Hukum Perjanjian.
19
Dsalimunthe, hlm. 20.
20
Dsalimunthe, hlm. 20.
21
Dsalimunthe, hlm. 20.
7
menolak perjanjian tersebut dibatalkan, meskpun ganti rugi yang dimatai harus
diluruskan.22
Pada bagian umum KUH Perdata, tidak diatur terkait resiko dalam perjanjian
timbal balik. Penyelesaian resiko tersebut sesuai asas kepatutan. Sesuai asas kepatutan
dalam perjanjian timbal balik, resiko ditanggung oleh mereka yang tidak memenuhi
prestasi.23
Melirik pasal 1460 KUH Perdata, maka resiko dalam jual beli barang tertentu
dibebankan kepada si pembeli meskipun barang tersebut belum diserahkan. Apabila
penjual tersebut belum telat memberikan barang tersebut, maka kealpaan tersebut
diancam dengan mengalihkan resiko sebelumnya dari pembeli ke penjual, jadi kelalaian
penjual menyebabkan resiko beralih ke penjual.24
Menurut Pasal tersebut, resiko atas batang yang diperjanjikan dijual, sejak
ditutupnya perjanjian jual beli yang dibebankan kepada si pembeli. Apabila si penjual
telat memberikan, maka ia sudah melakukan wanprestasi. Kita simpulkan dalam
perjanjian timbal balik, jika terdapat keadaan memaksa, sehingga suatu pihak tidak
memenuhi prestasi, maka resiko ialah atas tanggungan sang pemilik, itu merupakan suatu
keadilan dan oantas jika pihak lain dibebaskan dari kewajiban untuk menyerahkan suatu
benda.25
Ongkos atau biaya perkara berdasarkan hukum acara perdata, selalu dipikulkam
kepada pihak yang kalah. Dalam perkara atau tuntutan karena adanya ingkar janji, maka
besar kemungkinan debitur yang akan kalah dalam berperkara, maka hakim memberikan
keputusan untuk membayar ongkos-ongkos yang timbul dalam perkara tersebut.
22
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Bandung: PT. Intermasa, 2005), hlm. 148.
23
Dsalimunthe hlm. 21.
24
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 52.
25
Dsalimunthe, hlm. 21.
8
memiliki hak untuk membawa permasalahan tersebut ke pengadilan. Pengadilanlah
yang nantinya menetapkan, apakah debitur cidera janjii atau tidak.26
Menurut Salim HS dalam bukunya, menyebutkan bahwa somasi ialah teguran
atau peringatan oleh kreditur yang ditujukan kepada debitur supaya segera bisa
memenuhi kewajiban berdasa isi perjanjian yang sebelumnya sudah disepakati. 27
Somasi bisa kita lihat dalam Pasal 1238 dan 1243 KUH Perdata.
Cidera janji atau wanprestasi merupakan salah satu ranah dalam masalah
perdata, oleh karenanya penyelesaian sengketa permasalahan tersebut didasarkan pada
tahapan penyelesaian masalah menurut hukum acara perdata. Namun agar memastikan
kebenaran debitur sudah melakukan cidera janji kemudian menggugatnya ke
pengadilan, maka perlu adanya surat perintah atau surat teguran terhadap perbuatan
cidera janji itu sebagai alibi kreditur untuk membenarkan bahwa debitur telah cidera
janji. Kondisi lalainya debitur berkenaan dengan persoalan “perintah” dibuat secara
tertulis. Perkataan “perintah”memiliki arti suatu peringatan dan oleh karena itu
perintah dapat juga diterjemahkan dengan “peringatan”. Sebab dikatakan bahwa
perintah/peringatan tersebut ditunjukkan untuk debitur dan debitur ialah pihak yang
dalam perjanjian tersebut memiliki kewajiban untuk memenuhi prestasi, maka
peringatan atau perintah tersebut berasal dari kreditur, yakni pihak yang mana dalam
perikatan tersebut memiliki hak untut menuntut atas prestasi debitur.28
Surat peringatan ini dalam doktrrin yurisprudensi dikenal dengan istilah somasi.
Manfaat dari somasi ini ialah sebagai bentuk upaya itikad baik dari kreditur selaku
pihak yang dirugikan secara berulang dan untuk memastikan bahwa debitur berada
dalam kondisi lalai. Meskipun di dalam peraturan terkait somasi tidak diatur jelas,
akan tetapi dalam praktek somasi umumnya diajukan tiga kali, yakni: somasi I, somasi
II, dan somasi III untuk memberi peringatan kepada debitur yang wanprestasi terhadap
kewajiban prestasi yang seharusnya dipenuhi berdasarkan perjanjian.29
Apabila dengan upaya tersebut tidak atau belum berhasil, maka upaya terakhir
yang bisa diambil oleh kreditur yakni mengajukan gugatan ke pengadilan negeri
setempat. Sebab untuk menyatakan debitur wanprestasi wajib disertai dengan putusan
pengadilan negeri yang memiliki kekuatan hukum yang tetap. Oleh karenanya, debitur
memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi dan untuk mendapatkan kembali
kerugian yang diderita kreditur karena debitur, maka kreditur memiliki hak untuk
26
Dsalimunthe.
27
Salim, hlm. 98.
28
Bandem, Wisadnya, dan Mordan.
29
Bandem, Wisadnya, dan Mordan.
9
menggugat ke pengadilan.30 Kreditur juga dapat mengajukan tuntutan ke hadapan
pengadilan agar pengadilan memberi keputusan deklatoir tanpa memnuntut
pembayaran ganti rugi. Begitupun kreditur bisa menuntut agar pengadilan negeri
menegluarkan keputusan dengan melarang pelaku untuk melakukan perbuatan
melawan hukum lagi di kemudian hari. Apabila debitur tidak juga mematuhi
keputusan untuk mengembalikan ke keadaan semula, maka si debitur itu bisa
dikenakan uang paksa.31
b. Bentuk-Bentuk Somasi
Di dalam Pasal 1238 KUHPerdata, menunjukkan ada 3 (tiga) Bentuk Somasi,
yaitu:
1. Surat Perintah
Surat perintah yang dimaksud berasal dari hakim yang biasanya berbentuk
penetapan. Dengan surat penetapan tersebut juru sita mengumumkan secara lisan
kepada debitur kapan paling lama dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut
“exploit Juru Sita”.
2. Akta Sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta Notaris.
3. Tersimpul Sendiri Dalam Perikatan Tersebut
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya
wanprestasi.
30
Bandem, Wisadnya, dan Mordan.
31
Sri Redjeki Slamet, ‘Tuntutan Ganti Rugi Dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan Dengan
Wanprestasi’, Jurnal Lex Jurnalica, 10.2 (2013).
32
Dsalimunthe.
10
2. Dasar atau alasan tuntutan (perjanjian yang dibuat oleh kreditur dan debitur)
3. Ambang waktu untuk melalkukan pembayaran cicilan.
1. Menurut Pasal 1237 KUH Perdata, apabila ada perikatan untuk memberikan
sesuatu barang tertentu, kebendaan tersebut sejak perikatan tersebut lahir, adalah
atas tanggungan debitur. Apabila debitur lalai akan menyerahkan barang tersebut,
33
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Bandung: PT. Intermasa, 2005), hlm. 144.
34
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015).
35
Simanjuntak, hlm. 297.
11
maka sejak kelalaiaanya, kebendaantersebut ialah atas tanggungannya. Pasal
tersebut mengatur tentang resiko dalam perjanjian yang sepihak, seperti hibah dan
perjanjian pinjam pakai.
2. Menurut Pasal 1460 KUH Perdata, apabial barang tersebut dipikul dalam bentuk
barang yang telah ditentukan, maka barang tersebut saat pembelian ialah atas
tanggungan si pembeli, meskipun proses serah terima belun dilakukan, dan si
penjual berhak menuntut harganya. Pasal tersebut mengatur tentang resiko dalam
perjanjian jual beli.
3. Menurut Pasal 1545 KUH Perdata, apabila suatu benda tertentu yang sudah
dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar kesalahan pemilik, maka perjanjian
tersebut dianggap gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian, bisa
menuntut pengembalian barang yang telah diberikan dalam tukar menukar. Pasal
ini membahas tentang resiko dalam perjanjian tukar menukar.
4. Menurut Pasal 1553 ayat (1) KUH Perdata, apabila dalam rentang waktu sewa,
benda yang disewakan sama sekali lenyak karena kejadian yang tak disengaja,
maka demi hukum perjanjian sewa tersebut gugur. Paasal ini membahas tentang
resiko dalam perjanjian sewa menyewa.
b. Ganti Rugi
Ganti rugi merupakan kewajiban pihak yang melakukan ingkar janji atau
wanprestasi untuk memberikan penggantian atas kerugian yang telah
ditimbulkannya.36 Djasadin Saragih dalam terjemahan karya Mr. J. H Niewhuis,
pengertian kerugian adalah kondisi berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu,
yang disebabkan karena perbuatan melakukan atau membiarkan yang melanggar
norma oleh pihak lain.37 Lebih luas dari itu, kerugian adalah suatu pengertian yang
relatif, yang bertumpu pada suatu komparasi antar dua kondisi. Kerugian merupakan
selisih yang merugikan antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran
norma, dan situasi yang sekiranya akan timbul apabila pelanggaran norma tersebut
tidak terjadi.38
Abdulkadir Muhammad dalam bukunya mengatakan bahwa di Indonesia
permasalahan berkenaan ganti rugi, menyoal tentang apa yang dimaknai sebagai ganti
rugi, kapan ganti rugi itu muncul, apa parameter dari ganti rugi itu serta bagaimana
36
Nanda Amalia, Hukum Perikatan, (Lhokseumawa: Unimal Press, 2013), hlm. 10
37
Mr. J. H. Niewhuis, terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-pokok Hukum Perikatan. (Surabaya, Airlangga
University Press, 1985) hlm. 54.
38
, Aprilia Novianti, Skripsi: “Ganti Rugi Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Ditinjau Dari Hukum
Islam”, (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2019), hlm. 22.
12
regulasinya.39 Sementara itu, dalam jurnalnya Hengki Firmanda mengatakan bahwa
ketika debitur lalai memberikan benda, maka kelalaian tersebut menjadi tanggungan
debitur. Dengan demikian, debitur dibebankan hukuman untuk membayar ganti rugi,
biaya dan bunga kepada kreditur atas ketidakmampuannya dalam menyerahkan benda
ataupun merawatnya karena kesalahannya.40
Berkaitan dengan ganti rugi, setidaknya jika kita melihat KUH Perdata
khususnya pada buku III, maka ganti rugi dapat disebabkan karena wanprestasi
dan/atau perbuatan melawan hukum. Ganti rugi yang disebabkan karena wanprestasi,
dapat kita temui pada Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUH Perdata, sementara
itu ganti rugi yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat kita lihat
pengaturannya dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Ad.1 Biaya.
39
Muhammad.
40
Hengki Firmanda, ‘Hakikat Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah Dan Hukum Perdata
Indonesia’, Jurnal Hukum Respublica, 16.2 (2017), 236–51.
41
Firmanda.
13
Ad. 2 Rugi
KUH Perdata Indonesia hanya mengatur tentang ganti rugi dari kerugian yang
bersifat materil (berujud) yang bisa dinilai dengan uang, dan tidak mengatur ganti
rugi dari kerugian yang bersifat immateril tidak berwujud (moral). Sebahagian
dari ahli hukum Perdata dan yurisprudensi menyetujui memberikan ganti rugi
kepada seorang yang merasa dirugikan sebab kehilangan kenikmatan atas suatu
ketenangan yang dikarenakan tetangganya.42
Ad.3 Bunga
Bunga adalah laba yang diharapkan atau sudah diperhitungkan. Dalam hal ini
keuntungan tersebut tidak diperoleh oleh kreditur, untuk itu adanya bunga
sebagai bentu ganti rugi. Dalam bidang ilmu Hukum Perdata, terkait bunga,
terdapat beberapa jenis bunga, diantaranya:
a. Bunga konvensional
Bunga ini ialah bunga berupa uang yang sebelumnya sudah diperjanjikan
dalam perjanjian antara kedua belah pihak.
b. Bunga moratoir
Pada perikatan untuk membayar sejumlah uang, penggantian biaya rugi dan
bunga yang disebabkan karena telatnya pelaksanaan perikatan hanya terdiri
atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang.43
2) Ganti Rugi Karena Perbuatan Melawan Hukum
Penggunaan kata “Perbuatan Melawan Hukum” diantaranya digunakan oleh
Mariam Darus Badrulzaman, dengan mengatakan: “Pasal 1365 KUH Perdata
menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa
kerugian kepada seseorang lain mengharuskan orang karena salahnya
menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut”.44
Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang berlawanan dengan
ewajiban dan hak hukum menurut undang-undang. Dengan perkataan lain bahwa
perbuatan melawan hukum sama dengan perbuatan melawan undang-undang.45
42
Dsalimunthe.
43
Dsalimunthe, hlm. 23.
44
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, HUkum Perikatan Dengan Penjelasan (Bandung:
Alumni, 2006), hlm. 146.
45
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: FH Universitas Indonesia, 2008), hlm. 5.
14
Penilaian terkait apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan
hukum, tak cukup jika hanya karena pada pelanggaran terhadap peraturan
hukum, tapi perbuatan itu harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Pada
faktanya, seseorang yang telah berbuat pelanggaran terhadap suatu hukum dapat
menjadi faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan tersebut
menyebabkan kerugian yang sesuai atau tidak dengan kepatutan yang
seharusnya dimiliki seorang dalam pergaulan sesame warga masyarakat.46
Melirik Pasal 1365 KUH Perdata, bahwa pasal tersebut memberi
kemungkinan jenis-jenis tuntutan, diantaranya:
a. Ganti rugi atas kerugian dalam bentuk uang
b. Ganti rugi dalam bentuk pengembalian keadaan semula atau natura
c. Menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan ialah bersifat melawan hukum
d. Larangan untuk berbuat sesuatu
e. Mentiadakan sesuatu yang dilakukan secara melawan hukum
f. Pengumumuan dari keputusan atau dari sesuatu yang sudah diperbaiki
1. Besaran ganti kerugian telah ditentukan senditi oleh undang-undang. Seperti pada
Pasal 1250 KUH Perdata antara lain mengatakan bahwa dalam setiap perikatan
yang semata-mata berkaitan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian
biaya, rugi dan bunga sekedar dikarenakan telatnya pelaksanaan oleh undang-
undang, dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan khusus. Undang-Undang
yang ditentukan Pasal 1250 KUH Perdata ini ialah undang-undang yang termaktub
dalam Lembaran Negara No. 22 Tahun 1948 yang mana menetapkan besaran
jumlah bunga adalah 6% setahun. Oleh karena bunga ialah apa yang harus dibayar
si berutang karena kalalaiannya, maka bunga tersebut disebut bunga “moratoir“
(bunga karena kelalaian).
2. Para pihak tersebut yang menentukan besaran jumlah ganti rugi, diatur dalam Pasal
249 KUH Perdata.
3. Apabila tidak ada ketentuan dakam undang-undang dan pihak-pihak tersebut juga
tidak ada menentukan, maka besarnya ganti rugi ini harus ditentukan berdasarkan
46
R Setiawan, ‘Empat Kriteria Perbuatan Melanggar Hukum Dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi’,
Jurnal Varia Peradilan, 16 (2006), 2.
47
Dsalimunthe, hlm. 24-25.
15
kerugian yang nyata-nyatanya terjadi, atau juga bisa dengan dugaan yang
sekiranya keadaan kekayaan dari si berpiutang wajib sama seperti sekiranya si
berutang memenuhi kewajibannya. Ganti rugi yang melewati ambang batas yang
dapat diduga, tidak boleh dibebankan kepada debitur.
Pada dasarnya bentuk dari ganti rugi yang sering dipergunakan ialah uang, oleh
karena menurut ahli-ahli Hukum Perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan alat
yang paling praktis, yang sekiranya paling sedikit menyebabkan selisih dalam
menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa. Tidak hanya uang, masih ada bentuk-
bentuk lain yang juga diperlukan sebagai bentuk ganti rugi, yaitu: pemulihan ke
keadaan sedia kala (in natura) dan larangan untuk mengulangi. Keduanya ini jika
tidak dipenuhi, maka dapat diperkuat dengan uang paksa. Jadi, haruslah diingat bahwa
uang paksa bukan merupakan bentuk atau wujud ganti rugi.48
Selain itu ada pula terjadi kerugian yang bentuk kerugiannya dinilai dalam
bentuk benda (in natura). Sebagai contoh, Rizky merusakkan sebuah benda yang
dititipkan kepadanya dari Alif, maka Rizky dapat dituntut ganti rugi dalam bentuk
merefleksikan dari benda itu, sehingga benda dapat kembali ke keadaan semula.
Beranjak dari itu, kreditur dapat bisa menuntut agar diperhitungkan kerugian yang
akan datang (toekomstige schade), sebagai contoh, Rizky mengalami kecelakaan
karena ditabrak oleh Alif dengan sepeda, maka Rizky berhak menuntut adanya ganti
rugi atas biaya-biaya perawatan yang akan dibayarkannya kepada dokter. Hal
semacam inilah yang dimaksud dengan kerugian yang dapat diperkirakan atau diduga
sebelumnya.49
Dikutip dari Nanda Amalia dalam bukunya (Nanda Amalia, 2013: 11-13),
sekiranya ada enam (6) macam bentuk ganti rugi yang kita kenal dalam Ilmu Hukum
(Munir Fuady, 2002: 17-20) yaitu50;
1. Ganti Rugi dalam Kontrak, hal ini dinyatakan secara tegas di dalam suatu
kontrak. Jadi apa yang dapat dimintakan adalah seperti yang tertulis dalam
kontrak tersebut; tidak boleh melebihi ataupun kurang.
2. Ganti Rugi Ekspektasi:
48
Mariam Darus Badrulsaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2016), hlm.
23.
49
Ibid, hlm. 23
50
Nanda Amalia, Hukum Perikatan, (Lhokseumawa: Unimal Press, 2013), hlm. 11-13
16
Bentuk penghitungannya adalah dengan ekspektasi atau perkiraan yang
dilakukan dengan menghitung ganti rugi yang dibayangkan dengan seolah-olah
kontrak tersebut jadi atau pasti dilaksanakan. “Kemungkinan” kehilangan
keuntungan yang diekspetasikan inilah yang merupakan inti dari model ganti
rugi tersebut, atau model ekspetasi.
3. Penggantian Biaya:
Ganti rugi bentuk ini ialah penggantian biaya atau yang lazim kita kenal dengan
istilah out of pocket; Reliance Damages.
Ganti rugi ini merupakan bentuk ganti rugi dengan memperhitungkan sejumlah
biaya-biaya apa saja yang sekiranya telah dihabiskan oleh pihak yang dirugikan
dalam hubungan kontrak tersebut. Pada model ini, para pihak tersebut
ditempatkan dalam posisi “status quo ante” yaitu seolah-olah kontrak belum
terjadi. Biaya-biaya yang diperhitungkan biasanya adalah ditunjukkan dengan
kuitansi-kuitansi, oleh karenanya juga dikenal dengan Ganti Rugi Kuitansi.
4. Restitusi:
Restitusi adalah suatu nilai tambah/manfaat yang telah diterima oleh pihak yang
melakukan wanprestasi, dimana nilai tambah tersebut terjadi akibat pelaksanaan
prestasi dari pihak lainnya. Nilai tambah tersebut harus dikembalikan kepada
pihak yang dirugikan karenanya. Jika tidak dikembalikan maka pihak tersebut
dianggap “memperkaya diri tanpa hak (unjust enrichment)” – dan terhadap hal
ini tidak dapat dibenarkan.
5. Quantum Meruit: Bentuk ganti rugi ini mirip dengan ganti rugi restitusi.
Bedanya, manfaat barang tersebut sudah tidak dapat dikembalikan lagi.
Misalnya dikarenakan barang telah habis pakai, barang musnah, berubah wujud
dan atau sudah dialihkan, sehingga ganti rugi yang diberikan untuk
pengembaliannya adalah nilai wajar (reasonable value) dari hasil pelaksanaan
kontrak tersebut.
Contoh, dalam Kontrak Kerja: jika pekerja sudah melaksanakan pekerjaannya
sebanyak 2/3 dari seharusnya dan kontrak diputus oleh pemberi kerja, maka
pihak pekerja berhak untuk dinilai secara wajar dan dibayarkan hasil kerja nya
yang telah dilaksanakan tersebut.
6. Ganti Rugi dengan Pelaksanaan Kontrak:
Ganti rugi ini disebut juga dengan specific performance/equitable
performance/equitable relieve. Jika terjadi wanprestasi dalam kontrak, maka
17
pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhannya dengan melaksanakan
kontrak secara utuh tanpa bentuk ganti rugi lainnya.
Dalam hal ini, pihak yang wanprestasi dipaksanakan oleh hukum untuk
memenuhi kontrak tersebut. Kontraknya biasanya “khas”. Misal dalam
perjanjian pembuatan lukisan oleh seorang pelukis tertentu/ternama. dalam hal si
pelukis wanprestasi maka pihak pembeli, “kemungkinannya” tidak mendapatkan
hasil lukisan yang serupa dengan hasil lukisan dari si pelukis tersebut jika
dialihkan kontraknya kepada pihak lain. Oleh karenanya, dipandang adil jika si
pelukis tersebut dimintakan untuk tetap melaksanakan kontrak dengan
menyelesaikan lukisan dan menyerahkannya kepada si pemesan.
Nanda Amalia (2013: 11) menyebutkan dalam bukunya, dalam praktek,
dikenal lima (5) macam bentuk ganti rugi:
1. Ganti Rugi (saja);
2. Pelaksanaan Kontrak Tanpa Ganti Rugi;
3. Pelaksanaan Kontrak dengan Ganti Rugi;
4. Pembatalan Kontrak Tanpa Ganti Rugi;
5. Pembatalan Kontrak dengan Ganti Rugi
Sama halnya KUH Perdata Belanda, maka KUH Perdata kita hanya mengatur
tentang ganti rugi dari kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai
dengan uang, dan tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immaterial,
tidak berwujud: (moral, ideal). Namun demikian sebagian dari ahli Hukum Perdata
dan Yurisprudensi menyetujui diberikannya ganti rugi terhadap kerugian immaterial,
misalnya harus dikabulkan tuntutan ganti rugi dari seseorang yang merasa dirugikan
karena kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan yang disebabkan tetangganya.51
Dengan dasar mengingat kerugian immaterial tidak terletak dalam bidang harta
kekayaan, seperti: jasmani, rohani, harta benda, dan kehormatan manusia. Kerugian
immateriil ini mempakan kerugian yang diderita seorang yang mungkin timbul rasa
sakit, takut dan kehilangan kesenangan hidup. Kerugian immateriil ini merupakan
kerugian yang tidak dinilai dengan uang, karena kerugian tersebut mempilkan suatu
penderitaan batin, dan penderitaan ini sangat sulit untuk dinilai dengan uang, kerugian
yang merupakan suatu penderitaan batin adalah memulihkan kepada keadaan semula.
51
Mariam Darus Badrulsaman, Op.cit, hlm. 23-24.
18
Jadi pada setiap perbuatan melanggar hukum, kepada si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan kerugian materiil maupun kerugian immateriil.52
Hoge Raad menyatakan dalam keputusan yang tertanggal 21 Mei 1943
memungkinkan bahwa adanya penuntutan ganti rugi atas kerugian immaterial yang
terjadi. Keputusan tersebut mengatakan bahwa: "Ketika kita menilai kerugian
disamping melihat kerugian mengenai harta kekayaan, kita juga dapat diperhitungkan
tuntutan ganti rugi atas kesenangan hidup yang mungkin dapat diharapkan untuk
dinikmati dan atas kesedihan yang menyebabkan luka-luka pada badannya".
Dalam KUH Perdata tepatnya pada Pasal 1371 memuat suatu ketentuan yang
menyebutkan bahwa: "luka-luka atau cacat anggota badan yang disebabkan oleh
sesorang baik dengan sengaja maupun karena kurang hati-hati dalam memberikan hak
kepada si korban, untuk selain biaya-biaya penyembuhan yang ditanggung, menuntut
adanya ganti rugi yang menyebabkan adanya luka-luka cacat tersebut". Jadi apabila
seseorang dengan sengaja maupun kurang hati-hati sehingga karenanya terjadinya
luka-luka atau menyebabkan orang lain cacat pada badannya, maka ia berkewajiban
untuk memberi ganti kerugian, dan kerugian yang ditimbulkan hanya diberikan kepada
korban. Dalam Undang-undang memang ada ditentukan biaya-biaya perawatan sampai
korban tersebut sembuh, dan juga adanya biaya-biaya perawatan yang harus dapat
diperhitungkan. Jadi segala pengeluaran yang layak diperlukan sebisa mungkin untuk
mengeluarkan biaya pengobatan ataupun penyembuhan fisik jasmani pada terjadinya
suatu peristiwa. Dengan hal karena kesedihan dan kehilangan kesenangan hidup
adalah suatu kerugian immateriil yang dapa pula diberikan ganti kerugian berupa
materiil, hal ini dapat kita lihat di dalam keputusan Hoge Raad tertanggal 21 Mei
1943, dimana KUH Perdata tepatnya pada pasal 1371 dapat pula dipertimbangkan
kerugian idiil sehingga hakim dapat menentukan untuk kesedihan dan kesenangan
hidup yang sebenarnya dapat diharapkan atau bisa dinikmati. Bahkan sering terjadi
seseorang itu melakukan suatu perbuatan melanggar hukum, akibat dari perbuatan ini
orang lain menderita kerugian dan pihak yang dirugikan sudah merasa puas apabila
pelanggar hukum dapat dijatuhi hukuman pidana, dan pihak yang dirugikan tidak akan
mengajukan gugatan perdata terhadap pihak yang melakukan perbuatan melanggar
hukum, walaupun masih dapat digugat secara perdata.53
Bila kerugian immateriil tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka akan
menimbulkan suatu keadaan dimana keseimbangan masyarakat akan terganggu, dan
52
Haryanto, Skripsi: “Pembuktian Terjadinya Kerugian Immateriil dan Kriteria Dalam Menentukan Besarnya
Ganti Rugi Dalam Perbuatan Melanggar Hukum”, (Palembang: UMP, 2012), hlm. 4.
53
Ibid, hlm. 4.
19
oleh karenanya harus dipulihkan. Sebagai contoh, dalam tindakan penghinaan yang
menimbulkan kerugian pada diri seseorang dapat dituntut ganti-rugi adalah pengganti
kerugian sebagai pemulihan nama baik seseorang. Akan tetapi untuk mendapatkan
penggantian tersebut adalah sulit, apalagi pelanggar tidak mau memulihkan, maka
pihak yang merasa telah dirugikan pada umumnya tidak boleh memaksakan sendiri,
tetapi hendaknya melalui jalur hukum tertentu, sebab sudah merupakan prinsip bahwa
pelaksana hukum terhadap pelanggaran hukum, berada di tangan hakim dan tidak
diperkenankan dilakukan oleh penderita sendiri (eigenrehting).54
Dengan demikian hakimlah yang diberi wewenang dengan menerapkan
beberapa penyesuaian, keahlian untuk mengganti kerugian dalam hal ini hakim
menegakkan prinsip yang sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum, karena hukum
yang menciptakan tata tertib dalam masyarakat secara teratur dengan jalan
mengadakan keserasian diantara berbagai kepentingan- kepentingan, ini berarti
seseorang tidak bisa berbuat sesuka hati di dalam masyarakat terhadap orang lain,
tanpa mematuhi norma-norma yang hidup dalam suatu masyarakat, misalnya merusak
barang orang lain, mengambil barang orang lain dan sebagainya. Oleh karena itu
setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dapat dikenakan ganti rugi
sebagai kerugian yang benar-benar diderita, sebab hukum sudah mengatur bagi pihak
yang merasa telah dirugikan dapat menuntut kerugian tersebut terhadap pihak yang
menimbulkan kerugian tersebut.55
Dengan demikian perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak
lain, baik kerugian material maupun kerugian immateriil dapat
dipertanggungjawabkan pada si pelaku karena kesalahan.56
Kerugian yang diderita seseorang mengenai tubuhnya atau jiwa seseorang dapat
berupa luka-luka atau cacatnya seseorang adalah merupakan kerugian immaterial.
Dengan hal demikian kerugian yang diderita karena perasaan direndahkan kehormatan
seseorang, dikarenakan pihak lain menghina nama baik secara lisan ataupun secara
tulisan yang mengakibatkan harga diri orang dihina itu merosot dimata khalayak
ramai. Di samping itu dilakukan oleh terhadap orang lain dalam menikmati hak milik,
dan ini tidak berupa perusakan, tetapi merupakan penghalang orang lain untuk
mengecap kenikmatan secara bebas. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan putusan Hoge
Raad tanggal 29 Januari 1927." Misalnya dalam kasus dibawah ini: Kotapraja Tiburg
dihukum membayar ganti kerugian kepada pemilik rumah yang berada di pinggir kali
54
Ibid. hlm. 4-5.
55
Ibid, hlm. 5.
56
Ibid. hlm. 5.
20
Voorstc Stroom, hal ini karena pengotoran oleh Kotapraja Timburg menimbulkan bau
busuk pada pemilik rumah. Persoalan bukan berkurang harga sewa rumah. Hoge Raad
menghukum Kotapraja untuk membayar ganti kerugian atas dasar pertimbangannya
termuat dalam pengertian perbuatan melanggar hukum, dimana perbuatan yang
ditimbulkan tersebut mengakibatkan kelalaian dan hilangnya kenikmatan atas milik
orang lain. Dalam hal ini pemilik rumah tersebut kehilangan hak mendapatkan
kenikmatan itu.' Di sini Hoge Raad berpendapat bahwa kerugian immaterial diderita
pemilik rumah, wajib diberikan ganti kerugian oleh Kotapraja, contoh lain dapat
dilihat putusan Hoge Raad tanggal 31 Desember 1937. Penghuni dan sebuah rumah
yang terletak berdekatan dengan balai pertemuan mahasiswa di kota Utrecht. Dimana
mahasiswa tersebut hampir setiap malam mengadakan pesta, sehinga pemilik rumah
dan seluruh keluarganya itu tidak dapat tidur nyenyak/tentram. Atas dasar kekurangan
kenikmatan yang disebabkan perbuatan melanggar hukum, pemilik rumah menuntut
ganti kerugian. Jadi Hoge Raad menganggap tuntutan ganti rugi pemilik rumah
tersebut atas dasar kehilangan kenikmatan dapat dikabulkan.57
BAB III
KESIMPULAN
57
Op.cit., hlm. 24-25.
58
R. Subekti, hlm. 55.
21
Wanprestasi ialah perbuatan ingkar janji yang dilakukan debitur terhadap
perjanjian yang telah dibuatnya dengan kreditur. Adapun sanksi-sanksi hukum yang
dapat ditimbulkan akibat wanprestasi ada empat macam, yakni:
1. Debitur memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi yang dialami oleh
kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata)
2. Batalnya perjanjian yang disertai dengan adanya pembayaran ganti rugi (Pasal
1267 KUH Perdata)
3. Ketika terjadi wanprestasi, adanya peralihan resiko kepada debitur (Pasal 1237
ayat 2 KUH Perdata)
4. Apabila perkara tersebut di bawa ke Pengadilan atau muka hakim, maka adanya
pembayaran perkara (Pasal 181 ayat 1 HIR).
Somasi ialah teguran atau peringatan oleh kreditur yang ditujukan kepada
debitur supaya segera bisa memenuhi kewajiban berdasa isi perjanjian yang
sebelumnya sudah disepakati. Bentuk somasi yang wajib disampaikan kredirur kepada
debitur ialah dalam bentuk sebuah akta atau surat perintah yang sejenis, atau telah
tersimpul dalam perikatan tersebut. Pihak yang berwenang menerbitkan surat perintah
tersebut ialah kreditur atau pejabat yang berwenang, seperti juru sita, bdan urusan
piutang negara, dan lain-lain. Adapun isi yang wajib dalam surat somasi tersebut
ialah:59
Ganti rugi adalah keharusan untuk memikul kerugian apabila terjadi di luar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksud dalam perjanjian.
Ganti rugi merupakan kewajiban pihak yang melakukan ingkar janji atau wanprestasi
untuk memberikan penggantian atas kerugian yang telah ditimbulkannya. Sebab ganti
rugi umunya, karena : wanprestasi atau perbuatan melawan hukum
Debitur yang tertuduh lalai dan dimintakan kepadanya agar dihukum atas
kelalaiannya, ia bisa membela dirinya dengan mengajukan alasan-alasan untuk
melepaskan dirinya dari hukuman-hukuman tersebut. Pembelaaan iu ada 3 macam,
yakni:
1. Menyatakan adanya overmacht atau keadaan memaksa
59
Dsalimunthe.
22
2. Menyatakan bahwa kreditur telah lalai.
3. Menyatakan bahwa hak kreditur telah dilepaskan olehnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Rosa, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: FH Universitas Indonesia, 2008)
Bandem, I Wayan, I Wayan Wisadnya, and Timoteus Mordan, ‘Akibat Hukum Perbuatan
Wanprestasi Dalam Perjanjian Hutang Piutang’, Jurnal Raad Kertha, 03.01 (2020)
Dsalimunthe, Dermina, ‘Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang Undang
Hukum Perdata (BW)’, Jurnal Al-Maqasid, 3 (2017), 12–29
Firmanda, Hengki, ‘Hakikat Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah Dan
Hukum Perdata Indonesia’, Jurnal Hukum Respublica, 16.2 (2017), 236–51
Khair, Umul, ‘Analisis Yuridis Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dan Akibat Hukum Jika
Terjadi Wanprestasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Di Indonesia’, 2017, 32–
45
Salim, HS, Hukum Kontrak: Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika,
2003)
25