Anda di halaman 1dari 15

Penatalaksanaan Nyeri Pada Pasien Dengan Kelainan Temporomandibular

(TMD): Kesulitan dan Solusinya

Pendahuluan

Pengertian menurut ilmu kesehatan, kelainan temporomandibular (TMD) meliputi berbagai


kondisi yang mempengaruhi karakteristik anatomi dan fungsional dari sendi
temporomandibular (TMJ). Faktor yang terlibat dalam kompleksitas TMD berhubungan
dengan pertumbuhan gigi, menggertakkan gigi (clenching), dan sistem lain yang
berhubungan yang sering kali menyebabkan gejala pada otot, artikulasi, dan nyeri pada
periartikulasi.

Nyeri orofasial diartikan sebagai nyeri yang bermanefestasi pada bagian wajah atau
rongga mulut, termasuk kelainan seperti TMD, yang merupakan penyebab utama dari nyeri
orofasial nonodontogenik. TMD memiliki prevalensi yang cukup tinggi, dengan dampak
yang signifikan dengan fisik dan faktor psikososial. Prevalensinya sudah tercatat diantara
3,7% dan 12%, dan tiga sampai lima kali lebih tinggi pada perempuan. TMD juga
mempengaruhi tingginya biaya sosioekonomi, yang sering berhubungan dengan keadaan
komorbid, seperti depresi dan faktor psikologi lainnya. Selain itu, hilangnya pekerjaan dan
produktivitas kerja merupakan masalah utama yang perlu dipertimbangkan pada pasien TMD
yang dilakukan perawatan dini, dan hal ini diperlukan pengetahuan yang tinggi bagi publik.

Sebelum 2000

Walaupun sebelum 1980-an, maloklusi dan faktor lain yang mungkin berhubungan
dipertimbangkan sebagai dasar dan penyebab utama dari TMD, selama dekade ini penulis
mulai menerbitkan artikel mengenai hal ini. Di praktik klinis saat ini, perawatan ortodonti
masih digunakan untuk merawat TMD; Namun pada tahun 1990-an keterlibatan maloklusi
pada TMD sangat terbatas bahkan tidak ada sama sekali, sehingga kelainan ini tidak bisa
dirawat dengan ortodonti.

Pada 2000 sampai 2010

Selama tahun 2000-2010, perawatan invasif dan pembedahan untuk TMD mulai digunakan.
Namun, diakhir dekade ini, pengalaman klinis dan beberapa studi dicantumkan pada
sistematik review, seperti Guo, dkk, melaporkan kurangnya bukti yang dapat mendukung
penggunaan artrosentesis atau artroskopi untuk perawatan TMD.

Mulai 2010

Walaupun pengetahuan dan profil perilaku pasien TMD telah diperdebatkan dalam beberapa
tahun, pada dekade ini para profesional kesehatan mulai mengusulkan terapi berbasis perilaku
sebagai perawatan yang menjanjikan terkait dengan biaya yang lebih efektif. Paradigma ini
telah berubah dan fokusnya telah berkembang lebih luas, meninggalkan model struktural
biomedis. Berkat kemajuan dalam ilmu saraf, model bio-psikososial untuk diagnostik dan
perawatan (termasuk terapi fisik, psikologi, dan farmakologi) saat ini memiliki lebih banyak
pendukung klinis dan bukti ilmiah yang lebih berkembang.

Klasifikasi dan penelitian kriteria diagnostik untuk kelainan temporomandibular

Klasifikasi internasional telah diperbarui dalam beberapa dekade ini, sehingga mengacu pada
diagnosa klinis dan penelitian yang baru. Etiologi dari TMD itu banyak faktornya
(multifactorial), yang mana mengacu pada keterlibatan faktor fungsional, struktural, dan
psikologi. Sehubungan dengan gambaran klinis dari TMD, salah satu gejala yang sering
terjadi adalah nyeri. Nyeri dapat mempengaruhi beberapa area seperti telinga, mata, dengan
atau ternggorokan, nyeri pada leher, nyeri wajah, dan sakit kepala. Diantara faktor fisik,
keadaan inflamasi, seperti trauma synovitis sekunder, infeksi dan iritasi dapat ditemukan.
TMD juga dapat berhubungan dengan disfungsi disk / bantalan sendi, dengan atau tanpa
adanya reduksi.

Penilitian kriteria diagnostik untuk TMD (RDC/TMD) adalah salah satu yang paling
sering digunakan dan klasifikasinya yang diakui oleh komunitas ilmiah internasional untuk
diagnosis, evalusai, dan pengelompokkan TMD menurut durasi kelainan tersebut diderita.
Pentingnya kriteria ini didukung oleh fakta bahwa mereka telah diterjemah ke dalam berbagai
bahasa. RDC/TMD didasarkan pada model nyeri biobehavioral, termasuk dua sumbu utama:
tanda fisik dan gejala (axis I) dan faktor psikologi serta disabilitas (axis II). Yang termasuk ke
dalam axis I adalah kelainan nyeri myofasial, subluksasi bantalan sendi, atau luksasi dan
artritis atau arthrosis, mengingat kelainan nyeri myofasial termasuk ke dalam diagnosis yang
paling sering diamati dalam literatur. Versi terbaru dari klasifikasi ini yang diterbitkan pada
tahun 2014 diberi nama Kriteria Diagnostik untuk TMD (DC/TMD), dan bertujuan untuk
meningkatkan sensibilitas dan spesifisitas RDC/TMD sebelumnya melalui instrumen yang
lebih komprehensif pada axis I dan axis II yang dapat digunakan oleh peneliti dan klinisi.

Neuropsikologi sistem trigeminal sensori

Saraf trigeminal atau saraf kranial 5 dianggap sebagai saraf fungsi campuran (sensori,
motoric, dan autonomic) dan merupakan saraf kranial utama. Saraf ini dikenal
sebagain”trigeminal” berkaitan dengan tiga cabang utamanya: saraf optalmikus (V 1), saraf
maksilaris (V2), dan saraf mandibularis (V3). Akson sensitif dari saraf trigeminal
menginervasi sebagian besar jaringan kranial dan wajah, kecuali daerah posterior tengkorak,
angulus mandibula, bagian dari saluran pendengaran eksternal dan pavilion, dan bagian dari
faring.

Meskipun persarafan utama dan sinyal saraf di seluruh tubuh memiliki pola yang
serupa, daerah kraniofasial memiliki beberapa ciri khas. Persarafan kraniofasial bergantung
pada beberapa struktur anatomi dan fungsional neuron aferen primer yang berasal dari
ganglion trigeminal (dan saraf kranial lainnya). Ada perbedaan tertentu pada neuron dan akar
ganglia dorsal sumsum tulang belakang. Misalnya, hubungan antara serabut aferen bermielin
(A) dan serabut aferen tidak bermielin (C) lebih dekat pada saraf trigeminal dibandingkan
pada saraf tulang belakang. Saraf tulang belakang mempunyai serat C yang relatif sedikit.
Kondisi ini dapat menghasilkan kecepatan konduksi rata-rata yang lebih tinggi di area
trigeminal. Selain itu, jarak daerah kranial ke badan saraf lebih pendek dibandingkan dengan
bagian tubuh lainnya.
Di sisi lain, saraf perifer kranial memiliki lebih sedikit akson simpatis eferen
dibandingkan saraf tulang belakang. Beberapa penulis telah menjelaskan bahwa ciri khas ini
dapat memiliki pengaruh relatif terhadap keadaan nyeri yang dikelola oleh sistem saraf
simpatis itu sendiri di area trigeminal. Perbedaan simpatis lainnya antara wilayah trigeminal
dan bagian tubuh lainnya adalah pembuluh darah intracranial dan kulit. Di daerah trigeminal,
pembuluh darah ini menerima persarafan parasimpatis dan simpatis; namun, pada tingkat
segmental, persarafan parasimpatis jarang terjadi atai tidak ada sama sekali.

Psiopatologi TMD
Serabut aferen primer trigeminal terdapat di jaringan kraniofasial sebagai ujung saraf bebas
yang berfungsi sebagai nosiseptor yang dapat diaktifkan melalui rangsangan mekanis, termal,
atau kimia. Aktivitasnya dapat mengakibatkab eksitasi serat berdiameter kecil dan lambat (αδ
atau C). Beberapa komponen neurokimia (misalnya substansi P, 5-HT, prostaglandin, dan
bradykinin) terlibat dalam aktivasi perifer melalui stimulasi nosiseptif. Zat-zat ini terdapat
dalam proses sensitisasi perifer, dan dengan demikian dapat meningkatkan sensitivitas saraf
setelah cedera minimal. Sensitisasi ujung nosiseptif ini merupakan mekanisme perifer yang
sebagai sistem perigatan dalam membantu melindungi jaringan yang terluka dari rangsangan
berulang.

Fakta bahwa neuron “nosiseptif-spesifik” dan “lebar rentang dinamis” yang terletak di
subnucleus caudalis trigeminal tereksitasi oleh rangsangan nosiseptif (dalam kedua kasus)
dan rangsangan non-nosiseptif (dalam lebar rentang dinamis) harus diperhitungkan. Neuron
ini kebanyakan dapat tereksitasi oleh input lain dari meningen, pembuluh darah, jaringan
mulut, TMJ, dan otot pengunyahan. Input ini memiliki pola yang sangat konvergen, yang
juga menjelaskan keparahan dan kedalaman lokasi nyeri sebagai difusi dari reffered pain,
yang merupakan kondisi khas pada nyeri TMJ dan otot terkait. Tujuan dari tinjauan ini adalah
untuk mengevaluasi bukti terkini, mengidentifikasi kesulitan, dan memeberikan solusi dari
sudut pandang klinis untuk mengatasi nyeri TMJ pada pasien dengan nyeri kranofasial dan
TMJ.

Penatalaksanaan TMD

Pendekatan terapeutik yang sesuai untuk TMD harus ditujukan untuk meringankan tanda-
tanda dan gejala utama dari kondisi ini. Tanda-tanda TMD yang paling relevan adalah adanya
bunyi sendi (klik dan krepitasi), berkurangnya kemampuan untuk membuka mulut, dan
gangguan pada pergerakan rahang. Namun, nyeri adalah masalah utama dari patologi ini, dan
biasanya menjadi alasan pasien meminta perawatan medis. Selain itu, kemungkinan besar ini
adalah alasan mengapa sebagian besar penelitian ditujukan untuk mengevaluasi efektivitas
dari berbagai tindakan intervensi berhubungan dengan nyeri sebagai variable utamanya.

Perawatan konservatif untuk TMD mencakup pengobatan, fisioterapi, splint oklusal,


strategi manajemen diri, dan intervensi berdasarkan pendekatan perilaku kognitif. Saat ini,
pendekatan pengobatan konservatif lebih unggul dibandingkan pembedahan, karena
pendekatan ini tidak invasif dengan hasil klinis yang baik pada TMD ringan dan sedang.
Faktanya bukti efektivitas terbesar dari intervensi bedah dibandingkan pengobatan
konservatif dalam mengurangi nyeri jangka pendek pada TMD artrogenik masih
kontroversial dan tidak meyakinkan. Indikasi penerapan setiap intervensi, serta potensi
dampaknya terhadap pengobatan pasien dengan TMD dijelaskan pada bagian berikut.

Oral dan topikal farmakoterapi

Perawatan dengan farmakologi bagi pasien TMD biasanya bersifat empiris. Meskipun
beberapa obat yang diresepkan untuk perawatan TMD kurang memiliki bukti patologi yang
spesifik. Namun, obat-obatan tersebut telah terbukti memiliki efek pada kondisi
muskuluskeletal lainnya. Obat yang paling umum digunakan termasuk obat anti-inflamasi
non-steroid (NSAID), kortikoid, analgesic, relaksan otot, ansiolitik, opiat, antidepresan
trisiklik (TCA), gabapentin, dan patch lidokain. Beberapa dari obat ini digunakan untuk
mengobati nyeri sendi akibat TMD, dan yang lainnya lebih efektif untut mengobati nyeri
otot.

NSAID telah terbukti memiliki efek dalam mengurangi nyeri pada TMJ. Salah satu
NSAID yang paling sering digunakan adalah natrium diklofenak, yang dapat mengurangi
nyeri sendi dengan dosis 50mg dua sampai tiga kali sehari. NSAID lain yang digunakan
adalah natrium napoxen, yang telah terbukti mengurangi nyeri sendi dibandingkan dengan
placebo. Perbedaan yang signifikan ditunjukkan setelah 3 minggu pengubatan (500mg dua
kali sehari), dan didapatkan penyembuhan yang signifikan pada tanda dan gejala klinis TMD
dibandingkan dengan celecoxib dan placebo. Piroxicam 20mg sekali sehari selama 10 hari
dapat mengurangi nyeri TMJ yang lebih berat pada 30 hari control. Zat lain yang kurang
dikenal, tetapi dapat ditoleransi dengan baik adalah palmitoyletanolmide (300-1.200mg setiap
hari hingga 120 hari), yang sepertinya memilik efek analgesic dan anti-inflamasi pada pasien
TMD.

Hasil ini menunjukkan bahwa pengobatan hangka panjang diperlukan untuk


mendapatkan efek maksimal dari semua obat ini, yang terkadang baru terlihat setelah
beberapa minggu pengobatan. Namun, NSAID seperti yang diketahui memiliki efek samping,
seperti eksaserbasi hipertensi, efek gastrointestinal, mulai dari dyspepsia hingga ulserasi, dan
memburuknya fungsi ginjal, sehingga analisis situasi klinis setiap pasien menjadi sangat
penting untuk menentukan pengobatan yang terbaik.

Pendekatan berbeda terhadap asupan NSAID untuk menghindari absorpsi secara


sistemik adalah dengan pemberian secara topical dalam bentuk krim atau salep diatas TMJ
untuk mengurangi rasa sakit. Dianjurkan untuk menggunakan diklofenak topical empat dosis
sehari yang dikombinasikan dengan dimetil sulfoksida untuk meningkatkan penyerapannya.
Diklofenak topical telah dianjurkan untuk mencapai konsentrasi local yang cukup signifikan
untuk menghambat produksi prostaglandin E2 proinflamasi dan juga secara kompetitif
menghambat subtype NMDA dari reseptor glutamat yang ditemukan pada nosiseptor TMJ.

Untuk pengobatan nyeri otot pada otot myofasial TMD, biasanya digunakan relaksan
seperti diazepam dan cyclobenzaprine. Diazepam telah menunjukkan efek yang lebih baik
dibandingkan ibuprofen untuk nyeri otot orofasial kronis dan efek memiliki efek yang sama
seperti placebo dalam mengurangi nyeri TMD. Sebuah meta-analisis baru-baru ini
menyimpulkan bahwa cyclobenzaprine memiliki efek positif pada nyeri otot TMD dalam
jangka pendek melalui efeknya terhadap spasm lokal dan nyeri akut; obat tersebut bahkan
lebih efektif daripada clonazepam dalam mengurangi nyeri rahang saat bangun tidur. NSAID
natrium diklofenak, baik yang dikonsumsi sendiri ataupun yang dikombinasikan dengan
parasetamol, carisoprodol, dan kafein, telah terbukti memiliki efek positif yang lebih cepat
terhadap nyeri otot pengunyahan dibandingkan dengan placebo.

TCA telah diajukan oleh beberapa penulis untuk nyeri kronis pengunyahan myofasial,
khususnya amitriptyline dan nortriptyline, sebagai pengobatan lini pertama untuk nyeri
myofasial dengan rujukan dosis rendah yaitu 10-35mg per hari. Sedangkan, yang lain
mengajukan pengobatanlini kedua gabapentin untuk non-responden atau bagi mereka yang
tidak cocok menggunakan TCA.

Farmakoterapi injeksi

Dalam review terbaru, hasilnya mendukung penggunaan suntikan kortikosteroid β-metason


atau natrium hyaluronate untuk nyeri TMJ. Kortikosteroid mungkin memiliki efek anti-
inflamasi pada sendi, dan hyaluronate dapat meningkatkan efek pelumasan sendi, namun
keduanya juga dapat membantuk melarutkan zat inflamasi lokal. Injeksi pada ruang TMJ
inferior atau keduanya lebih direkomendasikan dibandingkan dengan teknik injeksi pada
bagian superior.

Review sistematis mengungkapkan hasil yang kontra terhadap injeksi botulinum toxin
(BTX) pada otot pengunyahan. Dari lima penelitian yang disertakan, dua penelitian
memperoleh hasil yaitu rasa nyeri yang berkurang secara signifikan, satu penelitian
menunjukkan efek yang sama dibandingkan dengan terapi pengunyahan secara konvensional,
dan dua penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara BTX dengan
placebo. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk menilai kemungkinan efek samping
jangka panjang pada otot yang diinjeksikan BTX. Penelitian dasar menunjukkan bahwa
ukuran otot yang telah sembuh, tetapi fungsi kontraktilnya tidak, setelah 1 tahun diinjeksikan
BTX. Selain itu, ketika membandingkan injeksi placebo dengan BTX untuk nyeri otot
trapezius, tidak ada perbedaan dari hasil pengukuran intensitas nyerinya.

Intervensi pembedahan

Diantara pilihan pembedahan, dua teknik yang paling sering digunakan untuk gangguan
internal sendi rahang atau patologi degenerative adalah arthrosentesis berdasarkan lavage
articular dengan atau tanpa injeksi obat-obatan dan artroskopi. Tidak ada perbedaan mengenai
nyeri dan fungsi mandibula ketika membandingkan artroskopi dengan artrosentesis; namun,
terdapat kurangnya bukti yang mendukung apabila artrosentesis sebagai intervensi terapeutik
lebih baik dibandingkan intervensi non-bedah. Untuk gangguan internal pada sendi rahang,
manajemen medis atau rebilitasi lebih direkomendasikan dibandingkan pilihan bedah lainnya;
pasien dengan gejala perpindahan diskus tanpa adanya reduksi harus ditangani dengan
intervensi yang paling sederhana dan paling tidak invasive. Selain itu, semakin banyak bukti
yang mendukung manfaat injeksi plasma yang kaya akan kandungan trombosit dibandingkan
hyaluronate yang dikombinasikan dengan artrosentesis untuk osteoarthritis sendi rahang;
namun, masih diperlukan uji klinis yang lebih banyak.

Manajemen dental
Dua pendekatan yang biasanya ditawarkan oleh dokter gigi untuk merawat pasien TMD
mereka adalah terapi stabilisasi ortopedi dan terapi oklusal. Terapi splint sering digunakan
untuk kelompok metode pertama; pada metode kedua, ortodontik dan penyesuaian oklusal
biasanya digunakan untuk mencapai oklusi stabil yang baik dan benar. Menurut Varga, tanda
dan gejala TMD tidak bisa dikaitkan dengan jenis maloklusi tertentu. Penrnyataan ini,
dilaporkan bersamaan dengan sebuah laporan yang dipublikasikan yang menyatakan tidak
cukup bukti. Sehingga, kami tidak merekomendasikan intervensi ortodontik atau penyesuaian
oklusal kepada pasien kami untuk mengobati TMD.

Di sisi lain, terapi splint adalah salah satu pengobatan konservatif yang paling sering
dianjurkan untuk nyeri TMD yang berhubungan dengan bruxism dan juga gangguan internal.
Hal ini masih tidak jelas apakah penggunaan splint stabilisasi dapat bermanfaat untuk
mengurangi nyeri pada TMD, mengingat efek terapeutiknya masih diragukan; Namun,
tampaknya perawatan ini memiliki efek placebo dalam manajemen nyeri. Telah ditemukan
efek sementara yang ditandai dengan penurunan aktivitas elektromiografi otot pengunyahan
yang tidak berlangsung lebih dari 2 minggu. Splint oklusal direkomendasikan untuk
mencegah kerusakan gigi akibat menggertakkan gigi.

Terapi fisik

Terapi fisik memainkan peran penting dalam pengobatan TMD. Metode terapeutik ini
bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit, mengurangi peradangan, dan pemulihan fungsi
motorik dengan menggunakan berbagai teknik, termasuk terapi konvensional (misalnya
mobilisasi sendi, mobilisasi jaringan lunak), latihan terapeutik, elektroterapi (misalnya terapi
laser low-level (LLLT), stimulasi saraf Listrik transkutan (TENS), terapi ultrasound,
gelombang pendek), dry needling / jarum padat (DN), dan akupuntur.

Terapi konvensional

Apapun bentuk terapi konvensional untuk TMD harus mencakup pergerakkan sendi dan
teknik jaringan lunak, dengan tujuan untuk meningkatkan fungsi dan mengurangi gejala
nyeri. Teknik-teknik ini dapat memicu mekanisme neurofisiologis yang memiliki peran untuk
menghilangkan rasa sakit dan mengecilkan aktivitas otot.

Berdasarkan literatur, beberapa penulis juga menganggap baik penerapan teknik jenis
ini pada daerah servikal terutama pada tulang belakang leher bagian atas. Efektifitas
ditunjukkan oleh mobilisasi articular servikal bagian atas dalam mengurangi nyeri dan
meningkatkan rentang gerak mandibula (ROM) dapat disebabkan oleh hubungan
neuroanatomi antara dua segmen pada kompleks trigeminal-servikal atau
hubunganbiomekanik antara daerah servikal dan orofasial.

Perdebatan diantara terapis konvensional menyangkut pendekatan mana yang


merupakan teknik articular terbaik untuk merawat tulang belakang leher. Penulis
merekomendasikan mobilisasi servikal, yang terbukti lebih efektif dalam mengurangi nyeri
orofasial. Pengobatan ini lebih aman dan menghasilkan efek serupa pada tulang belakang
leher.

Latihan secara terapeutik


Latihan yang berfokus pada peningkatan kontrol motorik dan daya tahan otot pengunyahan
efektif dalam meringankan gejala pasien TMD. Namun, latihan tidak lebih baik dibandingkan
intervensi lain dalam meredakan nyeri, seperti TENS, splint oklusal, edukasi pasien, dan
akupuntur. Namun, penting untuk diingat bahwa latihan yang digunakan dalam uji coba
terkontrol secara acak bersifat heterogen, termasuk antara lain peregangan, relaksasi lingual
dan pengunyahan, serta latihan koordinasi. Aspek ini ditambah dengan kurangnya ukuran
yang jelas mengenai intensitas, durasi, dan frekuensi, serta rendahnya kualitas metodologi uji
coba terkontrol secara acak membuat peneliti sulit untuk menarik kesimpulan. Meskipun
demikian, keunggulan dari latihan ini tidak dapat dipastikan hasilnya, terdapat aspek yang
lebih baik bila dibandingkan dengan perawtan lainnya, yang mungkin penggunaannya lebih
banyak dilakukan.

Oleh karena itu, kami menganggap bahwa latihan / olahraga terapeutik dapat
memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan perawtan lain jika diterapkan program
dengan latihan kontrol motorik dan daya tahan otot tulang servikal dan pengunyahan.
Meskipun beberapa penelitian menyertakan latihan servikal, sebagian besar ditujukan untuk
meningkatkan ROM (latihan mobilitas dan peregangan), namun tidak ada yang bertujuan
untuk meningkatkan ketahanan stabilisator tulang belakang leher. Menstabilkan otot sangat
penting untuk mempertahankan kontrol postur yang baik dan membantu mencegah
pergerakan posisi kepala ke depan.

Terapi konvensional dengan olahraga/ latihan

Kombinasi intervensi terapi konvensional dan latihan, efektif dalam meringankan gejala
pasien TMD. Hasil ini sesuai dengan temuan yang diamati pada nyeri servikal, yang dapat
dijelaskan dengan kesimpulan bahwa terdapat peningkatan efek hipoalgesik dari terapi
konvensional bersamaan dengan manfaat yang dihasilkan dari olahraga, termasuk perbaikan
kondisi fisik, dan peran aktif pasien dalam pengobatannya. Di sisi lain, meskipun intervensi
gabungan ini efektif dilakukan pada daerah servikal, dapat diperoleh manfaat yang lebih
besar apabila diterapkan pada bagian orofasial dan servikal. Oleh karena itu, kami
menganggap bahwa menggabungkan terapi konvensional dengan program latihan terapeutik
pada pengobatan fisioterapi merupakan hal yang penting dengan tujuan untuk memulihkan
kontrol motoric dan resistensi otot pengunyahan dan servikal, sehingga dapat memperbaiki
kondisi klinis pasien TMD.

Terapi jarum padat dan akupuntur

Ditemukan beberapa penelitian yang menerapkan terapi dengan jarum padat (dry needling /
DN) untuk TMD. Intervensi ini digunakan untuk mengobati nyeri lokal dan nyeri area lain
yang disebabkan oleh titik picu myofasial. Dari beberapa penelitian ini, kami menyimpulkan
bahwa DN dapat mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi mandibula pada pasien TMD
myofasial. Efek DN sebanding dengan efek yang diperoleh dengan menyuntikkan lidokain
dan kortikosteroid ke titik picu.

Akupuntur adalah terapi modalitas yang baik untuk meredakan nyeri jangka pendek
pada pasien dengan TMD myofasial, namun pada kasus Dimana terdapat keterbatasan
pergerakan mandibula, terapi ini tidak disarankan. Saat ini, masih belum diketahui
mekanisme apa yang berhubungan dengan sifat analgesia yang dihasilkan oleh akupuntur.
Namun tampaknya hal ini didasarkan pada pelepasan serotonin, opioid endogen, dan
neurotransmitter lain yang bersifat anti-inflamasi pada tulang belakang dan supraspinal.
Penerapan akupuntur lebih disering pada titik di area orofasial, daripada distal, karena dengan
cara ini dapat meningkatkan efeknya. Hal ini dapat dijelaskan melalui keikutsertaan dari
reseptor opioid perifer dalam proses analgesic, karena rseptor ini menghasilkan penyumbatan
dari masuknya rasa nyeri secara lokal dan nonsistemik, serta oleh stimulus yang ditimbulkan.
Faktanya, tidak ada perbedaan ketika akupuntur dan DN dibandingkan dengan penggunaan
placebo yang mencakup perforasi kulit.

Elektroterapi

Saat ini tidak ada bukti yang mendukung penggunaan elektroterapi untuk menghilangkan
nyeri pada pasien TMD. Secara khusus, berbagai jenis elektroterapi, seperti energi
radiofrekuensi, TENS, dan LLLT, tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan
placebo masing-masing dalam pengobatan TMD. Namun, kriteria penerapannya perlu
dihomogenisasi untuk mendapatkan kesimpulan yang pasti, terutama untuk penerapan LLLT,
mengingat hasil yang diamati bertentangan tergantung pada jenis TMD, serta pilihan
parameter pengukurannya, seperti intensitas dan frekuensi. Mengenai penyembuhan
fungsional, LLLT terbukti efektif dalam meningkatkan ROM mandibula. Efek ini mungkin
disebabkan oleh berkurangnya peradangan dengan menekan siklooksigenase, yang
memungkinkan mobilitas sendi lebih besar. Namun, mekanisme kerja dari LLLT belum
sepenuhnya diketahui.

Terapi perilaku kognitif

Pasien dengan TMD kronis biasanya menunjukkan faktor psikologis terkait yang harus
ditangani dengan intervensi spesifik. Terapi perilaku kognitif adalah salah satu pengobatan
yang diusulkan untuk mengelola pikiran, perilaku, dan/atau perasaan pasien yang mungkin
dapat memperburuk gejala nyeri. Ini adalah terapi non-invasif yang memungkinkan tidak
menimbulkan efek samping. Literatur melaporkan bahwa terapi perilaku kognitif saja tidak
lebih baik dibandingkan intervensi lain, namun merupakan terapi tambahan yang baik
terutama ketika kita mnyesuaikan pengobatan yang tepat dengan karakteristik psikologis
pasien.

Edukasi dan strategi manajemen diri

Edukasi dan manajemen diri merupakan strategi yang baik untuk dimasukkan dalam
manajemen diri pasien TMD. Ketika membandingkan intervensi ini dengan splint oklusal,
terdapat sedikit manfaat yang diperoleh dari pemberian edukasi. Namun, jika dibandingkan
dengan intervensi lain, seperti terapi konvensional atau latihan terapeutik, tidak ada manfaat
yang terlalu terlihat. Namun demikian, diasumsikan bahwa strategi edukasi dan manajemen
diri akan menjadi baik jika digabungkan dengan teknik terapi lain, seperti yang diamati oleh
Wright dkk danMichelotti dkk. Sebgaian besar penelitian yang dilakukan dengan edukasi dan
manajemen diri hanya melibatkan pasien denganTMD myofasial, sehingga menyebabkan
kurangnya bukti mengenai jenis TMD lainnya. Disitu dibutuhkan untuk menemukan apa
yang seharusnya lebih baik dan harus dimasukkan ke dalam edukasi pasien serta strategi
manajemen diri sesuai dengan berbagai jenis TMD dan mengenai gangguan psikososial yang
sering menyerang pasien TMD. Namun, penulis menganggap bahwa pendidikan public dan
pasien bisa lebih menjanjikan pada pasien dengan TMD, terutama yang didasarkan pada
pendidikan ilmu saraf, karena pendekatan ini telah terbukti dapat mengurangi rasa nyeri,
kecacatan, dan faktor psikologis pada gangguan musculoskeletal kronis.

Teknik relaksasi

Terapi relaksasi melibatkan teknik pengaturan diri yang bertujuan untuk mengurangi stress
dan ketegangan otot yang disebabkan oleh nyeri. Intervensi relaksasi mencakup teknik seperti
relaksasi Jacobson. Teknik-teknik ini dapat diperkuat dengan pendekatan eksternal
menggunakan elektromiografi dan/atau sistem biofeedback untuk pelatihan. Intervensi
relaksasi yang termasuk dalam pengobatan multimodal dapat memberikan pengaruh positif
pada intensitas rasa nyeri dan pembukaan mulut maksimal, namun bukti terhadap hal ini
masih jarang dan kontra.

Pendekatan dari biomedical ke biobehavioral

Pendekatan dengan model biomedis terlah digunakan secara luas dalam penelitian mengenai
faktor etiologic yang terlibat dalam TMD. Model ini didasarkan pada teori fungsional dan
teori struktural atau morfologi-patologis yang mencoba menjelaskan TMD melalui konsep
teoritis tentang disfungsi kompleks kondilus-disk, trauma, proses degenerative, konsep
oklusal, dan perubahan yang berhubungan dengan otot pengunyahan. Beberapa teori tentang
model biomedis struktural dan fungsional terkait TMD telah dimanfaatkan dan beberapa
konsep masih berlaku hingga saat ini, karena teori tersebut secara konsisten dapat
menjelaskan kelainan tersebut dari sudut pandang disfungsional.

Kriteria diagnostic untuk mengklasifikasi TMD berdasarkan tanda dan gejala fisik
memiliki dampak besar dalam praktik klinis dan penelitian, dan telah disediakan cara standar
untuk mengklasifikasikan ke dalam berbagai subtype. Hal penting yang perlu digaris bawahi
bahwa instrument yang digunakan untuk mengklasifikasi dan evaluasi komponen psikologis
yang terlibat dalam TMD telah dimasukkan (faktor emosional dan kognitif); namun, analisis
penelitian mengenai TMD mengungkapkan sebagian besar penelitian bahwa klasifikasi yang
berkaitan dengan faktor emosional dan kognitif yang dimaksudkan untuk menentukan
keadaan psikologis dan kecacatan yang terkait dengan nyeri pasien belum banyak berdampak
pada penggunaannya untuk kriteria inklusi atau klasifikasi pasien.

Dasar dari model biomedikal ini terbatas pada saat kita ingin memahami lebih dalam
terkait dengan patofisiologis dan faktor yang berhubungan dengan nyeri kronis pada pasien
TMD. Studi ilmu saraf dalam dekade terakhir memberikan pandangan yang lebih luas
mengenai nyeri kronis. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa perubahan neuroplastic
dan hipereksitasi sistem saraf pusat (SSP) merupakan penyebab terjadinya fenomena
sensitisasi sentral. Temuan yang ditemukan pada pasien TMD dengan nyeri kronis, seperti
hyperalgesia mekanis general, perubahan struktural dan fungsi pada otak, perubahan
modulasi nyeri, komorbiditas dengan penyakit kronis lainnya, peningkatan perluasan area
nyeri, dan adanya faktor psikologis terkait yang dapat mengindikasikan profil klinis yang
sesuai dengan proses sensitisasi sentral. Hal penting yang perlu disebutkan bahwa aspek
kognitif, seperti memori dan pembelajaran, sangat terlibat dalam pengkodean rangsangan
afektif / emosional yang memberikan stimulus dan menjaga proses sensitisasi di saraf pusat.
Literatur terkini menunjukkan bahwa faktor psikologis dan psikososial mempunyai
hubungan penting dengan durasi gejala dan prosesnya pada kasus nyeri kronis. Faktor
psikologis, seperti rasa sakit yang sangat besar, tekanan psikologis, keyakinan akan
menghindari rasa takut, keyakinan yang berkaitan dengan presepsi rasa sakit, suasana hati
yang tertekan atau cemas, efikasi diri, dan koping pasif, berhubungan dengan peningkatan
presepsi rasa sakit, tingkat kecacatan yang meningkat, dan gangguan dalam pergerakkan pada
pasien dengan TMD nyeri kronis. Di sisi lain, telah diketahui bahwa beberapa faktor
psikososial juga telah diidentifikasi sebagai predictor hasil pengobatan pada pasien TMD.
Kami menganggap bahwa kesadaran somatic merupakan faktor yang membedakan dengan
sensorik. Hal ini penting untuk dipertimbangkan, karena hal ini terkait dengan peningkatan
risiko penderita TMD.

Banyaknya bukti ilmiah saat ini menunjukkan bahwa model biomedis mekanis tidak
cukup untuk menegakkan diagnosis atau pengobatan yang akurat untuk menangani pasien
dengan penyakit TMD yang kronis. Perubahan pendekatan menuju visi yang lebih
komprehensif dan integral diperlukan. Kami mengusulkan pendekatan diagnostic dan
terapeutik berdasarkan biobehavioral. Bahkan banyak penulis yang berbagi pemikiran ini
menunjukkan bahwa diperlukan perubahan pada sudut pandang etika, mengingat penerapan
intervensi yang tidak perlu dan tidak dapat diubah karena pengobatan tradisional dapat
membahayakan kesejahteraan pasien.

Model biobehavioral untuk diagnosis dan pengobatan pasien dengan TMD nyeri
kronis mengakui pentingnya faktor psikologis, seperti riwayat nyeri, status emosional dan
kognitif saat ini, keyakinan, perilaku yang dipelajari, dan keterampilan mengatasi masalah
dalam interaksi dengan perubahan fisiologis yang menentukan pengalaman nyeri. Dari sudut
pandang terapeutik, model ini memungkinkan pasien memperoleh kemampuan untuk
mengelola rasa sakitnya sendiri, sehingga memungkinkan peningkatan fungsi secara general.

Berdasarkan konteks klinis dan ilmiah saat ini, kami mengusulkan model diagnostic
dan intervensi untuk mengatasi pasien dengan TMD yang disertai rasa sakit berdasarkan
empat dimensi (afektif-motivasi, sensorik-diskriminatif, kognitif-evaluatif, dan perilaku
motorik) diintegrasikan dalam pendekatan biobehavioral (Gambar 1). Model ini disebut
model biobehavioral dari presepsi nyeri dan perilaku motoric, dan meskipun kami telah
merancangnya untuk mempelajari gangguan muskoskeletal apapun, dalam artikel ini kami
mengadaptasinya ke TMD. Tabel 1 menyajikan informasi tentang semua pendekatan ini,
tingkat bukti, dan dampak yang ditimbulkan.
Model biobehavioral dari presepsi rasa sakit dan perilaku motorik

Aspek mendasar dari model kami adalah kenyataan bahwa nyeri muskoskeletal
menghasilan perubahan perilaku motoric. Gangguan pergerakkan terkait nyeri juga telah
diamati sebagai penyebab penting yang dapat mempengaruhi penurunan kapasitas fungsional
dan kualitas hidup pasien, termasuk kemungkinan interaksi aspek kognitif dan emosional
terhadap hubungan antara perilaku motoric dan persepsi nyeri. Di sini, kami menjelaskan
secara singkat aspek teoritis yang mendasari model biobehavioral persepsi nyeri dan nyeri
muskuloskeletal.

Perubahan motorik dapat dijelaskan melalui mekanisme perifer dan sentral yang
berhubungan dengan SSP. Studi eksperimental menemukan bahwa nyeri otot mempengaruhi
strategi kontrol motoric melalui mekanisme sentral. Di sisi lain, beberapa penelitian
menemukan perubahan fungsional dan struktural pada area korteks motorik pasien dengan
nyeri kronis. Dalam hal ini, telah diamati aktivasi area motorik tambahan pada pasien TMD
ketika dihadapkan dengan rangsangan kognitif atau emosional yang merugikan. Aktivasi
yang sama juga ditemukan pada pasien TMD yang mengalami gejala yang sangat parah.
Penting untuk disebutkan bahwa area motoril tambahan memainkan peran penting dalam
pergerakkan, dan ada teori bahwa preaktivasi pada area ini yang ditemukan pada kasus nyeri
kronis dapat disebabkan oleh persiapan perilaku antisipasi/ menghindari adanya Gerakan.
Kami memiliki bukti ilmiah yang mengungkapkan mekanisme neurofisiologis antisipasi
motorik terkait dengan persepsi nyeri. Perilaku perlindungan nyeri dapat mencakup aktivitas
motoric, seperti menghindari Gerakan dan kecenderungan untuk menyentuh area tubuh yang
terlibat. Telah diusulkan bahwa respon motoric yang terlibat dalam pengalaman nyeri dapat
diaktifkan ketika intensitas nyeri meningkat melampaui ambang batas tertentu.

Faktor emosional yang berhubungan dengan rasa takut terhadap rasa sakit meminkan
peran penting dalam tingkat perilaku protektif yang dipicu oleh rasa sakit. Peneilitian terbaru
menunjukkan bahwa tingkat ketakutan yang tinggi terhadap rasa sakit berhubungan dengan
kurangnya aktivitas fisik, terbatasnya rentang gerak, cacat fisik, dan strategi untuk mencari
Gerakan alternatif untuk menghindari rasa sakitnya. Perlu dicatat bahwa perilaku yang
berhubungan dengan tekanan psikologis, gangguan aktivitas, dan pembatasan aktivitas
merupakan komponen penting dalam terjadinya disabilitas terkait dengan nyeri.

Perilaku motoric terkait pengalaman menyakitkan dapat berbeda-beda tergantung


kasusnya. Beberapa pasien dengan nyeri kronis menggunakan strategi motoric pasif untuk
menghindari nyeri; namun, pasien lain menggunakan strategi pengaturan diri aktif untuk
mengatasi rasa sakit. Simmonds.,dkk melaporkan bahwa disfungsi Gerakan bukan hanya
konsekuensi dari mengantisipasi dan meminimalkan rasa sakit. Komponen motoric yang
terlibat merupakan masalah yang lebih rumit lagi yang melibatkan faktor sosial, lingkungan,
dan psikologis (kognitif dan emosi) yang dapat mempengaruhi aktivitas motoric sebagai
konstruksi multidimensi yang kompleks. Beberapa program motoric telah diusulkan untuk
berbagai bentuk perilaku nyeri. Hal ini dapat terjadi pada berbagai tingkat SSP, dan dapat
dipengaruhi oleh faktor sosial dan psikologis.

Bukti saat ini menunjukkan bahwa selain ketakutan terhadap nyeri, faktor psikososial
lain mungkin berkontribusi terhadap perubahan fungsional terkait nyeri. Dalam hal ini,
Sullivan menyarankan bahwa faktor psikologis tertentu, seperti nyeri hebat, ketakutan, dan
depresi dapat mempengaruhi nyeri dengan mengurangi ambang aktivitas program motoric
yang berhubungan dengan persepsi nyeri.

Singkatnya model biobehavioral dari persepsi nyeri dan perilaku motoric menyajikan
kerangka kerja khusus untuk membantu kita memahami mekanisme yang terlibat dalam TMD
nyeri kronis. Pada dasarnya, kami mengusulkan bahwa persepsi nyeri yang berkelanjutan
menghasilkan perubahan neuroplastic pada SSP yang mempunyai implikasi terhadap perilaku
motoric yang secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh faktor kognitif dan
emosional. Dalam model ini, perilaku motoric merupakan elemen penting, mengingat
perubahannya akan meningkatkan tingkat kecacatan, menyebabkan kualitas hidup yang lebih
buruk, dan akan meningkatkan persepsi intensitas nyeri.

Perilaku motoric yang buruk dapat dipengaruhi oleh keyakinan menghindari rasa
takut, penurunan ekspektasi efikasi diri, kognisi katastropik, dan peningkatan gejala depresi.
Lebih jauh lagi, gangguan Gerakan yang berhubungan dengan rasa sakit adalah cara untuk
mempelajari malaptasi yang meningkatkan perhatian dan ingatan akan rasa sakit, sehingga
mendukung kelangsungan pengalaman yang menyakitkan (Gambar 2). Perubahan perilaku
yang berhubungan dengan pengalaman persepsi nyeri yang berkelanjutan dapat menyebabkan
berbagai disfungsi Gerakan, terutama bila strategi koping pasif digunakana. Akibat dari
situasi ini adalah peningkatan tingkat disabilitas (Gambar.2)

Untuk melakukan pertimbangan klinis yang memadai dan melakukan pendekatan


diagnostic yang baik dengan menggunakan model ini, perlu untuk mengevaluasi keempat
dimensi dan mencoba membedakan bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain, dan
terutama untuk mengevaluasi faktor-faktor apa yang relevan (Gambar 1). Kami
merekomendasikan untuk melakukan penilaian yang mengobjektifikasi variable sensorimotor
melalui tes fisik dan evaluasi faktor kognitif dan emosional menggunakan laporan diri untuk
mengukurnya. Pada Gambar 1, kami menyarankan variable-variabel yang harus dievaluasi
agar dapat bekerja dengan model biobehavioral persepsi nyeri dan perilaku motorik.

Pendekatan terapeutik ynag kami sarankan adalah Upaya untuk memberikan kerangka
komperhensif untuk pengobatan pasien dengan TMD nyeri kronis. Variable utama untuk
mencapai pemulihan kecacatan fungsional yang optimal adalah: kami mengusulkan jika kita
meningkatkan perilaku motorik, kita akan mengurangi kecacatan dan dilanjut pada persepsi
nyeri. Oleh karena itu, kami mempertimbangkan kemungkinan hubungan dua arah di mana
pengobatan yang mengurangi persepsi nyeri juga dapat mendukung pemulihan perilaku
motoric sekaligus mengurangi kecacatan. Untuk mencapai perubahan in, perlu untuk
menghilangkan keyakinan yang salah dan kognisi negative yang dapat mengubah hasil
pengobatan. Penting juga untuk menggunakan strategi motivasi yang mendorong kepatuhan
yang baik terhadap berbagai jenis perawatan. Penting untuk disebutkan bahwa pengobatan
yang diusulkan di sini memiliki poros terapi utama yaitu Gerakan untuk mengurangi rasa
sakit dan meningkatkan penyembuhan fungsional. Berkaitan dengan hal tersebut, Luomajoki
dkk menemukan bahwa pengobatan dengan menggunakan metode latihan / melatih sebagai
terapi utnuk meningkatkan kinerja motorik juga menghasilkan penyembuhan nyeri dan
kecacatan pada psien nyeri pinggang. Dalam model kami, kami juga mengintegrasikan
strategi terapeutik, seperti latihan / melatih secara terapeutik, yang secara spesifik dapat
mengurangi rasa sakit dan membuat pengobatan menjadi lebih efektif.

Bukti ilmiah terkini menunjukkan kemampuan latihan terapeutik untuk memodulasi


nyeri dalam kondisi eksperimental. Selain itu, kami memiliki bukti ilmiah yang kuat dan
relevan secara klinis yang menunjukkan efektivitas latihan terapeutik dalam mengurangi
kecacatan dan intensitas nyeri pada kondisi musculoskeletal kronis lainnya.

Perawatan multimodal bergantung pada pendekatan biobehavioral

Perawtan yang kami usulkan memiliki sudut pandang multimodal, namun juga dapat
disusun secara multidisiplin, termasuk intervensi terapeutik dari fisioterapis, dokter gigi,
psikolog, dan dokter. Berdasarkan bukti ilmiah terkini, kita dapat mengatakan bahwa
pendekatan konservatif tampaknya menjadi pilihan terbaik untuk penyembuhan TMD nyeri
kronis.

Metode pengobatan yang termasuk dalam pendekatan terapeutik model ini disusun
untuk mencapai tiga tujuan: mengurangi persepsi nyeri, meningkatkan perilaku motorik,
meningkatkan faktor kognitif, dan emosional yang berkaitan dengan pengalaman nyeri.
Untuk mengurangi intensitas nyeri, kami mengusulkan penggunaan terapi manual, DN, dan
farmakologi. Untuk penyembuhan nyeri dan fungsi mandibula, penting untuk menerapkan
intervensi gabungan terapi manual dan latihan terapeutik yang diarahkan pada daerah
orofasial, kraniomandibular, dan servikal bagian atas. Meskipun aspek ini belum diselidiki
secara memadai, kami menganggap bahwa latihan general dalam modalitas aerobic dan
anaerobik dapat bermanfaat bagi pasien dengan kondisi kronis, yang dapat mendukung
aktivasi sistem penghambatan nyeri yang menurun, memperbaiki kondisi fisik dan
meningkatkan kondisi fisik, dan mengurangi fokus perhatian pasien pada persepsi rasa nyeri.
Selain itu, splinting tampaknya memainkan peran penting dalam perlindungan gigi.

Untuk meningkatkan efektivitas pengobatan yang disebutkan di atas, perlu untuk


menerapkannya dalam kombinasi antara pengobatan dan strategi biobehavioral, di mana kami
akan menekankan pendidikan terapeutik, terapi perilaku kognitif, restrukrisasi motorik
berdasarkan pengalaman, secara bertahap melakukan aktivitas, menginterpretasi ulang
sensorik, dan pelatihan ulang, konseling dan metode pengaturan diri secara fisiologis, seperti
pelatihan relaksasi dan biofeedback. Perawatan ini harus bertujuan untuk meningkatkan
kepatuhan terhadap latihan terapeutik dan teknik manajemen diri, menghasilkan kebiasaan
yang kontraproduktif, mendorong perilaku positif, mengurangi kognisi katastropik,
mengkonsep ulang keyakinan yang salah tentang rasa sakit dan motorik, mengurangi perilaku
dalam menghindari rasa takut, meningkatkan manajemen stress, dan memperbaiki kondisi
pengetahuan pasien tentang manfaat latihan terapeutik. Pada Gambar 3, kami menyajikan
aspek dan rekomendasi yang relevan untuk dipertimbangkan dalam pendekatan dan
pengembangan pengobatan dari model biobehavioral persepsi nyeri dan perilaku motorik.
Penting juga untuk disebutkan bahwa pengobatan yang kami usulkan dapat diterapkan pada
pasien dengan TMD nyeri kronis. Untuk kasus nyeri akut atau subakut, pendekatan unimodal
atau biomodal yang tidak terlalu kompleks mungkin memiliki efektivitas yang baik.

Anda mungkin juga menyukai