Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang
sesungguhnya maupun potensi kerusakan jaringan. Setiap orang pasti
mengalami dan merasakan nyeri selama perjalanan hidupnya. Perasaan nyeri
kualitas dan kuantitasnya berbeda dari satu orang ke orang lain, tergantung
dari tempat nyeri, waktu, penyebab dan lain – lain. Perubahan tubuh terjadi
sejak awal kehidupan hingga usia lanjut pada semua organ dan jaringan
tubuh. Seiring dengan proses menua dan bertambahnya usia maka akan
timbul berbagai masalah terutama masalah ketidak puasan fisik yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi muskuluskeletal. ( Nasution, 2015)
Penderita nyeri sendi di dunia telah mencapai angka 355 juta jiwa pada
tahun 2014, artinya 1 dari 6 orang di dunia menderita nyeri sendi. Di
perkirakan angka terus meningkat hingga tahun 2025 dengan indikasi lebih
dari 25% akan mengalami kelumpuhan. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
melaporkan bahwa 20% penduduk dunia terserang penyakit nyeri sendi.
Dimana 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20% mereka yang
berusia 55 tahun (Wiyono, 2015)
Berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Zeng QY et al 2013, prevalensi
nyeri sendi di indonesia mencapai 23,6% hingga 31,3%. Angka ini
menunjukkan bahwa rasa nyeri sendi sudah cukup mengganggu aktivitas
masyarakat indonesia.
Dalam (Riskesdas,2015). Terdapat privalensi penyakit sendi di provensi
sumatera selatan sebanyak 23,9 % dan prevalensi berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan sebesar 19,3%.

1
Sedangkan terdapat privalensi penyakit nyeri sendi di kota Palembang
sebanyak 20,09% dan prevalensi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
sebesar 18,5%. (Dinkes kota Palembang,2015).
Lanjut Usia dengan nyeri kronik biasanya mengalami perubahan fungsi
pada sendi – sendi, kekuatan otot, gerak langkah, postur, mobilitas, tingkat
kebugaran dan ketergantungan sebagai akibat dari nyeri yang di derita.
Perubahan pada sistem imun, hormonal, metabolik dan terjadi degeneratif
pada tulang akan menyebabkan peradangan pada selaput bagian dalam kapsul
pembungkus sendi(sinovim), peradangan sinovim menyebabkan produksi
cairan sendi bertambah banyak sehingga membuat sendi bertambah bengkak
dan nyeri. Pada saat nyeri di rasakan, di mulai suatu siklus, yang apabila tidak
diobati atau tidak di lakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat
mengubah kualitas kehidupan individu secara bermakna. Mahon (2015)
mencatat bahwa nyeri dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang
mengganggu kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan
merawat diri sendiri. Nyeri itu sendiri dapat memiliki dampak yang besar
terhadap kualitas hidup pasien. Efek nyeri dapat menyebabkan
penurunanaktifitas, isolasi sosial, ganggua tidur, kecemasan dan depresi.
(Poter & Pery,2015).
Senam rematik merupakan salah satu metode yang praktis dan efektif
dalam memelihara kesehatan tubuh. Gerakan yang terkandung dalam senam
rematik adalah gerakan yang sangat efektif, efisien, dan logis karena
rangkaian gerakan dilakukan secara teratur dan logis karena rangkaian
gerakan dilakukan secara teratur dan terorganisasi bagi penderita nyerih sendi
(Wahyudi Nugroho,2014)
(Vivi dkk,2016) tentang pengaruh senam rematik terhadap skala pada
lanjut usia osteoarthritis lutut didapatkan hasil penurunan skala nyeri setelah
pemberian senam rematik pada kelompok perlakuan dan kelompok control.
(p= 0,000). Berdasarkan uji paired sampel T-tes menunjukan bahwa Hasil uji
Paired T Testdidapatkan p value kelompok perlakuan sebesar 0,000 dan p

2
value kelompok kontrol sebesar 0,017. Hasil p value kedua kelompok < 0,005
yang berarti ada perubahan skala nyeri sendi pada kedua kelompok berupa
penurunan skala nyeri sendi, meskipun tidak diberikan senam rematik tetapi
mean skala nyeri sendi kelompok kontrol juga menurun dengan nilai
penurunan yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.
(Rizal dkk,2015). Pengaruh senam rematik terhadap nyeri sendi kaki
pada lansia di posyandu lansia lansia 43. Desa karang anyar kecamatan
ambulu kabupaten jember didapatkan hasil pengaruh yang signifikan dalam
pemberian senam rematik terhadap nyeri sendi kaki pada lansia di Posyandu
Lansia Nusa Indah 43. (p= 0,000). uji dengan uji wilcoxon n menunjukkan
bahwa dari 30 responden diperoleh hasil p value 0,000 < 0,05. Dengan
demikian H1 diterima yang berarti ada pengaruh senam a Indah 43 Desa
Karang Anyar Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. rematik terhadap nyeri
sendi kaki pada lansia di Posyandu Lansia Nus.
(Suhendriyo,2015)pengaruh senam rematik terhadap pengurangan rasa
nyeri pada penderita lutut di karangasem surakarta didapatkan hasil Analisis
kemaknaan dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test
menunjukkan bahwa nilai Z hitung = -2.807 dan diperoleh nilai p = 0.005 .
Hal ini berarti pengurangan rasa nyeri sebelum dan sesudah perlakuan adalah
signifikan karena p < 0.05. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan
pemberian senam rematik dapat menurunkan nyeri pada penderita
osteoartritis lutut terbukti dengan adanya pengaruh yang signifikan.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan di Panti
Werdha Sinar Abadi Kota Singkawang didapatkan 25 orang lansia mengalami
nyeri sendi OA pada area lutut dengan skala nyeri sedang sampai skala nyeri
berat. Lansia yang diwawancarai belum melakukan penatalaksanaan nyeri
sendi secara khusus untuk mengatasi nyeri, lansia cenderung membiarkan
nyeri yang dia rasakan. Belum ada program khusus untuk menurunkan nyeri
sendi yang dilakukan oleh petugas kesehatan panti werdha. Penanganan nyeri
yang diberikan terhadap nyeri berat adalah dengan pemberian obat anti nyeri.

3
Oleh karena itu berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh senam rematik terhadap nyeri sendi di
panti yayasan werdha darma Palembang 2018. Karena di panti tersebut masih
banyak lansia yang belum mengetahui bagaimana cara melakukan senam
rematik.
1.2. Rumusan Masalah
Belum diketahui antara nyeri sendi pada lansia dengan senam rematik di
panti yayasan werdha darma Palembang.
1.3. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui adakah pengaruh senam rematik terhadap nyeri
sendi pada lansia di panti yayasan wardha darma Palembang.
2. Tujuan khusus
1. Diketahui distribusi frekuensi tingkat nyeri sendi sebelum dilakukannya
senam rematik pada lansia panti yayasan werdha darma palembang.
2. Diketahui distribusi frekuensi tingkat nyeri sendi sesudah dilakukannya
senam rematik pada lansia di panti yayasan wardha darma Palembang.
3. Diketahuinya pengaruh senam rematik terhadap nyeri sendi pada lansia
di panti yayasan werdha darma Palembang.
1.4. Manfaat penelitian
1. Bagi peneliti
Penelitian ini sebagai aplikasi ilmu penelitian dan hasil penelitian ini
memberikan pemahaman peneliti tentang pengetahuan nyeri sendi.
2. Bagi panti memberikan informasi tentang pentingnya penerapan senam
rematik dan dapat melakukan senam kedalam jadwal intervensi yang bisa
di terapkan secara rutin pada pasien nyeri rematik di panti.
3. Institusi pendidikian penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan
informasi tambahan didalam pembelajaran keperawatan medical bedah
tentang pengaruh senam rematik pada nyeri dan informasi ini dapat
dikembangkan dalam praktek belajar lapangan.

4
1.5. Ruang Lingkup
Judul penelitian Penulis Metode Hasil kesimpulan

Pengaruh Desain Instrumen Terdapat


Vivi dkk,2016
Senam Rematik penelitian penelitian pengaruh
terhadap quasi adalah Pain senam rematik
Perubahan Skala experimenta Assessment terhadap
Nyeri pada l dengan in Advanced perubahan
Lanjut Usia pendekatan Dementia skala nyeri
dengan pretest- Scale pada lansia
Osteoarthritis posttest with dengan dengan
Lutut control analisis data osteoarthritis
group menggunak lutut berupa
design. an Paired T penurunan
Responden Test dan skala nyeri
dipilih Independent pada
menggunak T Test.Uji kelompok
an teknik hipotesis perlakuan dan
purposive dengan kelompok
sampling di Paired T kontrol, tetapi
Panti Test pada hasil uji beda
Werdha kelompok mean kedua
Sinar Abadi perlakuan p- kelompok
Kota value= menunjukkan
Singkawang 0,000 dan adanya
kemudian pada perbedaan
dibagi kelompok perubahan
menjadi kontrol p- skala nyeri,
kelompok value= skala nyeri
perlakuan 0,017. P- kelompok

5
dan value kedua perlakuan
kelompok kelompok < lebih rendah
kontrol. 0,05 yang daripada
berarti kelompok
terdapat kontrol.
penurunan Penurunan
skala nyeri skala nyeri
setelah lebih efektif
pemberian pada
senam kelompok
rematik menggunakan
pada senam rematik
kelompok daripada
perlakuan kelompok
dan yang tidak
kelompok diberikan
kontrol. Uji senam rematik.
beda mean
posttest
antara
kelompok
perlakuan
dan
kelompok
kontrol
menggunak
an
Independent
T Test
menunjukka

6
n p-value=
0,000
(p<0,05)
yang berarti
penurunan
skala nyeri
dengan
senam
rematik
lebih
bermakna
daripada
penurunan
skala nyeri
yang tidak
diberikan
senam
rematik.
PENGARUH Rizal dkk,2015 Metode Dapat Dari hasil
SENAM penelitian disimpulkan analisis, dapat
REMATIK ini adalah terdapat disimpulkan
TERHADAP experiment pengaruh bahwa tenaga
NYERI SENDI dengan yang kesehatan di
KAKI menggunak signifikan Ambulu harus
PADA LANSIA an analisis dalam berupaya
DI POSYANDU wilcoxon. pemberian mengaplikasik
LANSIA NUSA Dari hasil senam an senam
INDAH 43 analisis rematik rematik secara
diperoleh terhadap teratur pada
DESA nilai p= nyeri sendi pasien yang

7
KARANG 0,000 kaki pada menderita
ANYAR lansia di rematik untuk
KECAMATAN Posyandu menurunkan
AMBULU Lansia Nusa rasa nyeri
Indah 43. sendi kaki.
KABUPATEN Sedangkan
JEMBER tehnik
sampling
yang
digunakan
total
sampling).
Data
dianalisa
secara
statistic
dengan
menggunak
an rumus uji
wilcoxon
signed rank
test.

PENGARUH Suhendriyo,20 Metode Dari hasil Dapat


SENAM 15 penelitian analisis disimpulkan
REMATIK ini adalah diperoleh terdapat

8
TERHADAP eksperimen nilai p = pengaruh yang
PENGURANGA dengan 0.005 pada signifikan
N RASA NYERI menggunak kelompok dalam
PADA an analisis kontrol pemberian
PENDERITA wilcoxon. maupun senam rematik
OSTEOARTRIT pada terhadap
IS LUTUT kelompok pengurangan
DI perlakuan. rasa nyeri pada
KARANGASE penderita
M osteoarthritis
SURAKARTA lutut di
Karangasem
Surakarta.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep lansia


2.1.1 Pengertian lansia

9
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses
penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia
menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi,
aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut
usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus
menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu
semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan
dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta system organ. Secara
ekonomi, penduduk lanjut usia dipandang sebagai beban dari pada
sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan
masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang
sampai beranggapan kehidupan masa tua seringkali dipersepsikan
secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat.
Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya
kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur,
rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,
penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan figure tubuh
yang tidak proporsional (Nugroho,2015).

2.1.2 Ciri-ciri masa lanjut usia:


1. Adanya periode penurunan atau kemunduran. Yang disebabkan
oleh faktor fisik dan psikologis.

10
2. Perbedaan individu dalam efek penuaan. Ada yang menganggap
periode ini sebagai waktunya untuk bersantai dan ada pula yang
menganggapnya sebagai hukuman.
3. Ada stereotip-stereotip mengenai usia lanjut. Yang
menggambarkan masa tua tidaklah menyenangkan.
4. Sikap sosial terhadap usia lanjut. Kebanyakan masyarakat
menganggap orang berusia lanjut tidak begit dibutuhkan katena
energinya sudah melemah. Tetapi, ada juga masyarakat yang
masih menghormati orang yang berusia lanjut terutama yang
dianggap berjasa bagi masyarakat sekitar.
5. Mempunyai status kelompok minoritas. Adanya sikap sosial
yang negatif tentang usia lanjut.
6. Adanya perubahan peran. Karena tidak dapat bersaing lagi
dengan kelompok yang lebih muda.
7. Penyesuaian diri yang buruk. Timbul karena adanya konsep diri
yang negatif yang disebabkan oleh sikap sosial yang negatif.
8. Ada keinginan untuk menjadi muda kembali. Mencari segala
cara untuk memperlambat penuaan.

2.1.3 Perkembangan Masa Lanjut Usia


Usia lanjut merupakan istilah tahap akhir dari proses
penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua, dan
masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana
pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan
sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan
tugasnya sehari-hari lagi. Tahap usia lanjut adalah tahap di mana
terjadi penuaan dan penurunan, yang penurunannya lebih jelas dan
lebih dapat diperhatikan dari pada tahap usia baya. Penuaan
merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk
tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas

11
fungsional. Pada manusia penuaan dihubungkan dengan perubahan
degenerative pada kulit, tulang jantung, pembuluh darah, paru-
paru, saraf dan jaringan tubuh lainya. Dengan kemampuan
regeneratife yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai
penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang
dewasa lain. Penelitian telah menemukan bahwa tingkat sel, umur
sel manusia ditentukan oleh DNA yang disebut telomere, yang
beralokasi pada ujung kromosom. Ketentuan dan kematian sel
terpicu ketika telomere berkurang ukurannya pada ujung kritis
tertentu.
1. Perkembangan Fisik
Penuaan terbagi atas penuaan primer ( primary aging) dan
penuaan sekunder (secondary aging). Pada penuaan primer tubuh
mulai melemah dan mengalami penurunan alamiah. Sedangkan
pada proses penuaan sekunder, terjadi proses penuaan karena
faktor-faktor eksteren, seperti lingkungan ataupun perilaku.
Berbagai paparan lingkungan dapat mempengaruhi proses penuaan,
misalnya cahaya ultraviolet serta gas karbindioksida yang dapat
menimbulkan katarak, ataupun suara yang sangat keras seperti pada
stasiun kereta api sehingga dapat menimbulkan berkurangnya
kepekaan pendengaran. Selain hal yang telah disebutkan di atas
perilaku yang kurang sehat juga dapat mempengaruhi cepatnya
proses penuaan, seperti merokok yang dapat mengurangi fungsi
organ pernapasan. Penuaan membuat seseorang mengalami
perubahan postur tubuh. Kepadatan tulang dapat berkurang, tulang
belakang dapat memadat sehingga membuat tulang punggung
menjadi telihat pendek atau melengkung. Perubahan ini dapat
mengakibatkan kerapuhan tulang sehingga terjadi osteoporosis, dan
masalah ini merupakan hal yang sering dihadapi oleh para lansia.

12
Penuaan yang terlihat pada kulit di seluruh tubuh lansia, kulit
menjadi semakin menebal dan kendur atau semakin banyak keriput
yang terjadi. Rambut yang menjadi putih juga merupakan salah
satu ciri-ciri yang menandai proses penuaan. Kulit yang menua
menjadi menebal, lebih terlihat pucat dan kurang bersinar.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lapisan konektif ini dapat
mengurangi kekuatan dan elasitas kulit, sehingga para lansia ini
menjadi lebih rentan untuk terjadinya pendarahan di bawah kulit
yang mengakibatkan kulit mejadi tampak biru dan memar. Dengan
berkurangnya lapisan lemak resiko yang dihadapi oleh lansia
menjadi lebih rentan untuk mengalami cedera kulit. Penuaan juga
mengubah sistim saraf. Orang lanjut usia juga memiliki berbagai
resiko pada sitem saraf, misalnya berbagai jenis infeksi yang
diderita oleh seorang lansia juga dapat mempengaruhi proses
berfikir ataupun perilaku. Penyebab lain yang menyebabkan
kesulitan sesaat dalam proses berfikir dan perilaku adalah
gangguan regulasi glukosa dan metabolisme lansia yang mengidap
diabetes. Fluktuasi tingkat glukosa dapat menyebabkan gangguan
berfikir. Perubahan signifikan dalam ingatan, berfikir atau
perilakuan dapat mempengaruhi gaya hidup seorang lansia. Ketika
terjadi degenerasi saraf, alat-alat indra dapat terpengaruh. Refleks
dapat berkurang atau hilang.
Alat-alat indra persebtual juga mengalami penuaan sejalan
dengan perjalanan usia. Alat-alat indra menjadi kuranng tajam, dan
orang dapat mengalami kesulitan dalam membedakan sesuatu yang
lebih detail, misalnya ketika seorang lansia di suruh untuk
membaca koran maka orang ini akan mengalami kesulitan untuk
membacanya, sehingga dibutuhkan alat bantu untuk membaca
berupa kacamata. Perubahan alat sensorik memiliki dampak yang
besar pada gaya hidup sesorang. Seseorang dapat mengalami

13
masalah dengan komunikasi, aktifitas, atau bahkan interaksi sosial.
Pendengaran dan pengelihatan merupakan indra yang paling
banyak mengalami perubahan, sejalan dengan proses penuaan indra
pendengaran mulai memburuk. Gendang telinga menebal sehingga
tulang dalam telinga dan stuktur yang lainya menjadi terpengaruh.
Ketajaman pendengaran dapat berkurang karena terjadi perubahan
saraf audiotorik. Kerusakan indra pendengaran ini juga dapat
terjadi karena perubahan pada lilin telinga yang biasa terjadi seiring
bertambahnya usia. Struktur mata juga berubah karena penuaan.
Mata memproduksi lebih sedikit air mata, sehingga dapat
me,buat mata menjadi kering. Kornea menjadi kurang sensitive.
Pada usia 60 tahun, pupil mata berkurang sepertiga dari ukuran
ketika berusia 20 tahun. Pupil dapat bereaksi lebih lambat terhadap
perubahan cahaya gelap ataupun terang. Lensa mata menjadi
kuning, kurang fleksibel, dan apabila memandang menjadi kabur
dan kurang jelas. Bantalan lemak pendukung berkurang, dan mata
tenggelam ke kantung belakang. Otot mata menjadikan mata
kurang dapat berputar secara sempurna, cairan di dalam mata juga
dapat berubah. Masalah yang paling yang paling umum dialami
oleh lansia adalah kesulitan untuk mengatur titik focus mata pada
jarak tertentu sehingga pandangan menjdi kurang jelas. Perubahan
fisik pada lansia lebih banyak ditekankan pada alat indera dan
sistem saraf mereka.
Sistem pendengaran, penglihatan sangat nyata sekali
perubahan penurunan keberfungsian alat indera tersebut.
Sedangkan pada sistem sarafnya adalah mulai menurunnya
pemberian respon dari stimulus yang diberikan oleh lingkungan.
Pada lansia juga mengalami perubahan keberfungsian organ-organ
dan alat reproduksi baik pria ataupun wanita. Dari perubahan-
perubahan fisik yang nyata dapat dilihat membuat lansia merasa

14
minder atau kurang percaya diri jika harus berinteraksi dengan
lingkungannya (J.W.Santrock, 2002 :198). Dari penjelasan di atas
dapat di tarik kesimpulan berkenaan dengan cirri-ciri fisik lansia
yaitu sebagi berikut (1) postur tubuh lansia mulai berubah bengkok
(bungkuk),(2) kondisi kulit mulai kering dan keriput,(3) daya ingat
mulai menurun,(4) kondisi mata yang mulai rabun,(5) pendengaran
yang berkurang.
2. Perkembangan Kognitif
Menurut david Wechsler dalam Desmita (2008) kemunduran
kemampuan mental merupakan bagian dari proses penuaan
organisme sacara umum, hampir sebagian besar penelitian
menunjukan bahwa setelah mencapai puncak pada usia antara 45-
55 tahun, kebanyakan kemampuan seseorang secara terus menerus
mengalami penurunan, hal ini juga berlaku pada seorang lansia.
Ketika lansia memperlihatkan kemunduran intelektualiatas yang
mulai menurun, kemunduran tersebut juga cenderung
mempengaruhi keterbatasan memori tertentu. Misalnya seseorang
yang memasuki masa pensiun, yang tidak menghadapi tantangan-
tantangan penyesuaian intelektual sehubungan dengan masalah
pekerjaan, dan dimungkinkan lebih sedikit menggunakan memori
atau bahkan kurang termotivasi untuk mengingat beberpa hal, jelas
akan mengalami kemunduran memorinya.
Menurut Ratner et.al dalam desmita (2008) penggunaan
bermacam-macam strategi penghafalan bagi orang tua, tidak hanya
memungkinkan dapat mencegah kemunduran intelektualitas,
melainkan dapat meningkatkan kekuatan memori pada lansia
tersebut. Kemerosotan intelektual lansia ini pada umumnya
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, disebabkan
berbagai faktor, seperti penyakit, kecemasan atau depresi. Tatapi
kemampuan intelektual lansia tersebut pada dasarnya dapat

15
dipertahankan. Salah satu faktor untuk dapat mempertahankan
kondisi tersebut salah satunya adalah dengan menyediakan
lingkungan yang dapat merangsang ataupun melatih keterampilan
intelektual mereka, serta dapat mengantisipasi terjadinya
kepikunan. Permasalahan yang hadapi oleh lansia yang terkait
dengan masalah pekembangan kognitif, ini dapat disimpulkan
bahwa pada lansia mulai melemahnya daya ingat terhadap sesuatu
hal(pikun) dan sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat di
sekitar.
3. Perkembangan Sosio – Emosional
Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial
mereka, walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Orang
lanjut usia yang memutuskan hubungan dengan dunia sosialnya
akan mengalami kepuasan. Aktivitas sosial yang banyak pada
lansia juga mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial
lansia. (J.W.Santrock, 2002, h.239).Memasuki masa tua, sebagian
besar lanjut usia kurang siap menghadapi dan menyikapi masa tua
tersebut, sehingga menyebabkan para lanjut usia kurang dapat
menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang dihadapi
(Widyastuti, 2000).
Munculnya rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidak
ikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak
kunjung sembuh, kematian pasangan, merupakan sebagian kecil
dari keseluruhan perasaan yang tidak enak yang harus dihadapi
lanjut usia. Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadinya gangguan
fungsional, keadaan depresi dan ketakutan akan mengakibatkan
lanjut usia semakin sulit melakukan penyelesaian suatu masalah.
Sehingga lanjut usia yang masa lalunya sulit dalam menyesuaikan
diri cenderung menjadi semakin sulit penyesuaian diri pada masa-
masa selanjutnya. Yang dimaksud dengan penyesuaian diri pada

16
lanjut usia adalah kemampuan orang yang berusia lanjut untuk
menghadapi tekanan akibat perubahan perubahan fisik, maupun
sosial psikologis yang dialaminya dan kemampuan untuk mencapai
keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari
lingkungan, yang disertai dengan kemampuan mengembangkan
mekanisme psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi
kebutuhan– kebutuhan dirinya tanpa menimbulkan masalah baru.
2.1.4 Pekerjaan Dan Masa Pensiunan
Pada orang – orang dewasa lanjut atau lanjut usia, yang
menjalani masa pensiun dikatakan memiliki penyesuaian diri
paling baik merupakan lanjut usia yang sehat, memiliki pendapatan
yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang
luas termasuk diantaranya teman – teman dan keluarga, dan
biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum pensiun
(Palmore, dkk, 1985). Orang – orang dewasa lanjut dengan
penghasilan tidak layak dan kesehatan yang buruk, dan harus
menyesuaikan diri dengan stres lainnya yang terjadi seiring dengan
pensiun, seperti kematian pasangannya, memiliki lebih banyak
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan fase pensiun (Stull &
Hatch, 1984).
Pada tahun 1980-an, persentase laki-laki berusia di atas 65
tahun yang tetap bekerja purna waktu lebih kecil dibanding pada
awal abad 20. Penurunan yang terjadi dari tahun 1900 sampai tahun
1980-an sebesar 70% (Douvan, 1983). Satu perubahan penting dari
pola pekerjaan orang-orang dewasa lanjut adalah meningkatnya
perkejaan-pekerjaan paruh waktu. Mis: dari tiga juta lebih orang
dewasa berusia di atas 65 tahun yang pekerja pada tahun 1986,
lebih dari separuhnya merupakan pekerja-pekerja paruh waktu.

17
2.1.5 Solusi Permasalahan Masa Lanjut Usia
Berkaitan dengan masalah yang sering dialami oleh orang
yang berusia lanjut dapat di tempuh melalui hal-hal sebagai
berikut:
1. Berhubungan dengan Kesahatan Lansia ( fisik) :
 Orang yang telah lanjut usia identik dengan menurunnya
daya tahan tubuh dan mengalami berbagai macam penyakit.
Lansia akan memerlukan obat yang jumlah atau macamnya
tergantung dari penyakit yang diderita.
 Pemberian nutrisi yang baik dan cukup sangat diperlukan
lansia,misalnya pemberian asupan gizi yang cukup serta
mengandung serat dalam jumlah yang besar yang
bersumber pada buah, sayur dan beraneka pati, yang
dikonsumsi dengan jumlah bertahap.
 Minum air putih 1.5 – 2 liter, secara teratur.
 Olah raga teratur dan sesuai dengan kapasitas
kemampuanya.
 Istirahat, tidur yang cukup.
 Minum suplemen gizi yang diperlukan.
 Memeriksa kesehatan secara teratur.

2. Berhubungan dengan masalah intelektual. Sulit untuk mengingat


atau pikun dapat diatasi pada saat muda dengan hidup sehat,
yaitu dengan cara :
 Jadikan Olahraga sebagai kebutuhan dan rutinitas harian
Anda.
 Hendaknya Anda membiasakan diri dengan tidur yang cukup.

18
 Berhati-hatilah dengan Suplemen penambah daya ingat.
 Kendalikan rasa stress yang menyelimuti pikiran Anda.
 Segera obati depresi Anda.
 Hendaknya Anda selalu mengawasi obat-obatan yang
dikonsumsi.
 Cobalah dengan melakukan permainan yang berhubungan
dengan daya ingat.
 Jangan pernah berhenti untuk terus belajar dan mengasah
kemampuan otak.
 Hendaknya Anda berusaha meningkatkan konsentrasi dan
memfokuskan pikiran.
 Tumbuhkan rasa optimis dalam diri Anda.
3. Berhubungan dengan Emosi :
 Lebih mendekatkan diri kepada ALLAH dan menyerahkan
diri kita sepenuhnya kepadaNya. Hal ini akan menyebabkan
jiwa dan pikiran menjadi tenang.
 Hindari stres, hidup yang penuh tekanan akan merusak
kesehatan, merusak tubuh dan wajahpun menjadi nampak
semakin tua. Stres juga dapat menyebabkan atau memicu
berbagai penyakit seperti stroke, asma, darah tinggi, penyakit
jantung dan lain-lain.
 Tersenyum dan tertawa sangat baik, karena akan
memperbaiki mental dan fisik secara alami. Penampilan kita
juga akan tampak lebih menarik dan lebih disukai orang lain.
Tertawa membantu memandang hidup dengan positif dan juga
terbukti memiliki kemampuan untuk menyembuhkan. Tertawa
juga ampuh untuk mengendalikan emosi kita yang tinggi dan
juga untuk melemaskan otak kita dari kelelahan.

19
 Rekreasi untuk menghilangkan kelelahan setelah beraktivitas
selama seminggu maka dilakukan rekreasi. Rekreasi tidak harus
mahal, dapat disesuaikan denga kondisi serta kemampuan.
 Hubungan antar sesama yang sehat, pertahankan hubungan
yang baik dengan keluarga dan teman-teman, karena hidup sehat
bukan hanya sehat jasmani dan rohani tetapi juga harus sehat
sosial. Dengan adanya hubungan yang baik dengan keluarga dan
teman-teman dapat membuat hidup lebih berarti yang
selanjutnya akan mendorong seseorang untuk menjaga,
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya karena ingin
lebih lama menikmati kebersamaan dengan orang-orang yang
dicintai dan disayangi.
4. Berhubungan dengan Spiritual:
 Lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyerahkan diri
kita sepenuhnya kepadaNya. Hal ini akan menyebabkan jiwa
dan pikiran menjadi tenang.
 Intropeksi terhadap hal-hal yang telah kita lakukan, serta
lebih banyak beribadah.
 Belajar secara rutin dengan cara membaca kitab suci secara
teratur.
2.1.6 Klasifikasi lansia
Menurut WHO dalam (Maryam, 2016) klasifikasi lansia di
golongkan menjadi 4 yaitu :
a. Usia pertengahan atau middleage yaitu seseorang yang berusia 45-
59 tahun
b. Lanjut usia atau elderlyyaitu seseorang yang berusia 60-74 tahun
c. Lanjut usia tua atau old yaitu orang yang berusia 75-90 tahun
d. Lanjut usia tua atau very old yaitu seseorang yang berusia diatas
90 tahun
2.1.7 Karakteristik Lansia

20
Menurut Maryam (2015). Lansia memiliki kerakteristik sebagai
berikut :
a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU
No.13 tentangkesehatan)
b. Kebutuhan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spritural, serta dari kondisi
adaftip hingga kondisi mal adaptip
2.2 Konsep nyeri sendi
2.2.1 Pengertian
Menurut (Smeltzer & Bare, 2017) nyeri adalah pengalaman
sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan
utama sese-orang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri
terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan
beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri sangat
mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu
penyakit manapun.Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang
bertujuan untuk melindungi diri ketikasuatu jaringan mengalami
cidera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan-bahan yang
dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamine, ion
kalium,bradikinin, prostaglandin,dan substansi P yang akan
mengakibatkan reseptor nyeri (Kozier dkk,2016)
2.2.2 Fisiologi nyeri
Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau
sumber yang dapat didentifikasi. Mengkaji nyeri individu mencakup
pengumpulan informasi tentang penyebab fisik dari nyeri juga faktor
mental atau emosional yang mempengaruhi persepsi individu
terhadap nyeri (Smeltzer & Bare, 2014).Tidak semua orang akan
melaporkan nyeri, ada yang mengabaikan nyeri saat nyeri terjadi,
untuk itu perlu digali bersama mengenai dugaan nyeri, seperti

21
kenyataan bahwa gangguan atau prosedur biasanya menimbulkan
nyeri, atau jika sesorang meringis saat bergerak atau menghindari
gerakan. Banyak orang yang menyangkal nyeri yang dialaminya
karenanmereka takut dengan peng-obatan/tindakan yang mungkin
terjadi jika mereka mengeluh nyeri (Smeltzer & Bare, 2016).
2.2.3 Faktor faktor yang mempengaruhi nyeri
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan reaksi terhadap
nyeri menurut(Prasetyo,2015) yaitu :
a. Usia
Usia merupakan variable yang penting dalam mempengaruhi nyeri
pada individu, anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam
memahami nyeri dan prosedur pengobatan yang dapat
menyebabkan nyeri, pada pasien lansia sering kali memiliki sumber
nyeri lebih dari satu.
b. Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda signifikan dalam
berespon terhadap nyeri.
c. Kebudayaan
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri.
d. Makna nyeri
Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan
cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
e. Lokasi dan tingkat keparahan nyeri
Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat
keparahan pada masing-masing individu dalam kaitannya dengan
kualitas nyeri.
f. Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi
persepsi nyeri, perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan

22
meningkatkan respon nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan penurunan respon nyeri.
g. Ansietas (kecemasan)
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas
yang dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri,
akan tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan ansietas.
h. Keletihan
Keletihan dan kelelahan yang dirasakan seseorang akan
meningkatkan sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping
individu.
i. Pengalaman sebelumnya
Seseorang yang terbiasa merasakanan nyeri akan lebih siap dan
mudah mengantisipasi nyeri dari pada individu yang mempunyai
pengalaman sedikit tentang nyeri.
j. Dukungan keluarga dan social
Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan
dukungan, bantuan,perlindungan dari anggota keluarga lain dan
orang terdekat, walaupun nyeri masih dirasakan oleh klien,
kehadiran orang terdekat akan meminimalkan kesepian dan
ketakutan
2.2.4 Klasifikasi nyeri
Menurut (Prasetyo, 2016) nyeri dibagi beberapa macam yaitu :
a. Nyeriakut terjadi setelah terjadinya cidera akut, penyakit, atau
intervensi bedah dan memiliki kaitan yang cepat dengan intensitas
yang bervariatif (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk
waktu singkat.
b. Nyeri kroik berlangsung lebih lama dari nyeri akut, intensitasnya
bervariasi ringan sampai berat biasanya berlangsung lebih dari 6
bulan.

23
c. Nyeri superficial dapat dirasakan pada seluruh permukaan tubuh
atau kulit.
d. Nyeri somatis dalam biasanya bersifat difus (menyebar) berbeda
dengan nyeri superficial yang mudah untuk dilokalisir.
e. Nyeri visceral biasanya mengacu pada bagian viscera abdomen,
walaupun sebenarnya kata viscus (jamak dari viscera) berarti setiap
organ tubuh bagian dalam yang lebar dan mempunyai ruang seperti
cavitas tengkorak, cavitas thorak, cavitas abdominal dan cavitas
pelvis.Penyebab nyeri viceral adalah semua rangsangan yang dapat
menstimulasi ujung saraf nyeri didaerah visceral.
2.2.5 Skala nyeri
Pengukuran skala nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan
skala visual,analog,numeric,deskriptif dan Wong-Bakers (Anas
2016).Keterangan :
0: Tidak nyeri
1-3: Nyeri ringan
secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6: Nyeri sedang
Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah
dengan baik.
7-9: Nyeri berat
secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan
alih posisi nafas panjang dan distraksi
10: Nyeri sangat berat
Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,memukul.
2.2.6 Proses Terjadinya Nyeri

24
Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang
yang ditemukan hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri
dihantarkan ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem Serabut.
Sistem pertama terdiri dari serabut Aδ bermielin halus bergaris
tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran 6-30 m/detik. Sistem
kedua terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2
µm, dengan kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik.Serabut Aδ berperan
dalam menghantarkan “Nyeri cepat” dan menghasilkan persepsi
nyeri yang jelas, tajam dan terlokalisasi, sedangkan serabut C
menghantarkan “nyeri Lambat” dan menghasilkan persepsi samar-
samar, rasa pegal dan perasaan tidak enak.Pusat nyeri terletak di
talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir pada neuron traktus
spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui traktus
ini ke nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus.
Dari sini impuls diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak.
1. Transduksi
Merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri (noxious stimuli)
dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-
ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu
(panas)ataukimia(substansinyeri).
Terjadi perubahan patofisiologis karena mediator-mediator nyeri
mempengaruhi juga nosiseptor diluar daerah trauma sehingga
lingkaran nyeri meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi
perifer yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor
karena pengaruh mediator-mediator tersebut di atas dan
penurunan pH jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul karena
rangsang yang sebelumnya tidak menimbul kan nyeri misal nya
rabaan. Sensitisasi perifer ini mengakibatkan pula terjadinya
sensitisasi sentral yaitu hipereksitabilitas neuron pada spinalis,
terpengaruhnya neuron simpatis dan perubahan intraseluler yang

25
menyebabkan nyeri dirasakan lebihlama.Rangsangan nyeri
diubah .
2. Transmisi
Merupakan proses penyampaian impuls nyeri dari nosiseptor
saraf perifer melewati kornu dorsalis, dari spinalis menuju
korteks serebri. Transmisi sepanjang akson berlangsung karena
proses polarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinap
melewati neuro transmiter.
3. Modulas
Adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat
meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls
nyeri.Hambatan terjadi melalui sistem analgesia endogen yang
melibatkan bermacam-macam neurotansmiter antara lain
endorphin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di spinalis.
Impuls ini bermula dari area periaquaductuagrey (PAG) dan
menghambat transmisi impuls pre maupun pasca sinaps di
tingkat spinalis. Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer
medula spinalis atau supraspinalis.
4. Persepsi
Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang
impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil
interaksi sistem saraf sensoris, informasi kognitif (korteks
serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan amigdala).
Persepsi menentukan berat ringannya nyeri yang dirasakan.
2.2.7 Respon Nyeri
Ada beberapa respon yang dialami penderita setelah
merasakan sakitnya nyeri :

A. Responfisiologis terhadap nyeri

26
1. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
a) Peningkatan heart rate
b) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
c) Peningkatan nilai gula darah
d) Diaphoresis
e) Peningkatan kekuatan otot
f) Dilatasi pupil
g) Penurunan motilitas GI
2. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irregular
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
3. Respon tingkah laku terhadap nyeri
a) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
b) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas,
Mendengkur)
c) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit
bibir)
d) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot,
peningkatan gerakan jari & tangan
e) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari
percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang
perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
ama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat
menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih
untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan

27
dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat
dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan
perhatian terhadap nyeri.
2.2.8 Tehnik relaksasi
1. menganjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan mengisi
paru-paru dengan udara, menghembuskan secara perlahan,
melemaskan otot-otot tangan, kaki, perut, dan punggung, serta
mengulangi hal yang sama sambil terus berkonsentrasi
sehingga didapat rasa nyaman, tenang dan rileks.
2. Stimulasi kulit
a) menggosok dengan halus pada daerah nyeri
b) mengggosok punggung
c) menggunakan air hangat dan dingin
d) memijat dengan air mengalir.
3. pemberian obat analgesik, yang dilakukan guna mengganggu
atau memblok transmisi stimulus agar terjadi perubahan
persepsi dengan cara mengurangi kortikal terhadap nyeri. Jenis
analgesiknya adalah narkotika yang digunakan untuk
menurunkan tekanan darah dan menimbulkan depresi pada
fungsi vital, seperti respirasi, dan jenis bukan narkotika yang
paling banyak dikenal di masyarakat adalah aspirin,
asetaminofendan bahan antiinflamasi nonsteroid.
4. pemberian stimulator listrik , yaitu dengan memblok atau
mengubah stimulus nyeri engan stimulus yang kurang
dirasakan. Bentuk stimulator metode stimulus listrik meliputi:
1) Transcutanius Elecstrital Stimulator (TENS), digunakan
untuk mengendalikan stimulus manual daerah nyeri tertentu
dengan menempatkan beberapa elektrode di luar.
2) Percutaneus implanted spinal cord epidural stimulator
merupakan alat sum-sum tulang belakang dan epidural yang

28
diimplan di bawah kulit dengan transistor timah penerima
yang dimasukkan ke dalam kulit paa daerah epidural dan
columna vertebrae.
3) Stimulator collumna vertebrae, sebuah stimulator dengan
stimulus alat penerima transistor dicangkok melalui kantong
kulit intraklavicula atau abdomen, yaitu elektroda ditanam
melalui pembedahan pada dorsum sum-sum tulang
belakang.
2.3 Konsep Dasar Rematik
2.3.1 Pengertian Rematik
Reumatoid arthritis adalah gangguan autoimun kronik yang
menyebabkan proses inflamasi pada sendi (Lemone & Burke,2016).
Reumatik dapat terjadi pada semua jenjang umur dari kanak-kanak
sampai usia lanjut. Namun resiko akan meningkat dengan
meningkatnya umur (Felson dalam Budi Darmojo, 2016).
Rematoid Artritis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik
kronik yang manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif,
akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh
(Hidayat, 2015).
Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) secara simetris
mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
sering kali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi.
Arthritis adalah istilah medis untuk penyakit dan kelainan yang
menyebabkan pembengkakan/radang atau kerusakan pada sendi.
Arthritis sendiri merupakan keluarga besar inflammatory
degenerative disease, di mana bentuknya sangat beragam, lebih dari
100 jenis arthritis. Istilah arthritis sendiri berasal dari bahasa
Yunani /Greek: Arthon /sendi dan it is/radang.

29
Rhematoid artritis adalah peradangan yang kronis sistemik,
progresif dan lebih banyak terjadi pada wanita, pada usia 25-35
tahun (Brunner, 2014).
2.3.2 Prognosis
Umumnya pasien artritis reumatoid akan mengalami
manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami
satu episode artritis reumatoid dan selanjutnya akan mengalami
remisi sempurna). Tapi sebagian besar penyakit ini telah terkena
artritis reumatoid akan menderita penyakit ini selama sisa hidupnya
dan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis
polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita artritis reumatoid
yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional
yang menetap pada setiap eksaserbasi.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwasannya penyakit
ini bersifat sistemik. Maka seluruh organ dapat diserang, baik mata,
paru-paru, jantung, ginjal, kulit, jaringan ikat, dan sebagainya.
Bintik-bintik kecil yang berupa benjolan atau noduli dan tersebar di
seluruh organ di badan penderita. Pada paru-paru dapat
menimbulkan lung fibrosis, pada jantung dapat menimbulkan
pericarditis, myocarditis dan seterusnya. Bahkan di kulit, nodulus
rheumaticus ini bentuknya lebih besar dan terdapat pada daerah
insertio dan otot-otot atau pada daerah extensor. Bila RA nodule ini
kita sayat secara melintang maka kita akan dapati gambaran:
nekrosis sentralis yang dikelilingi dengan sebukan sel-sel radang
mendadak dan menahun yang berjajar seperti jeruji roda sepeda
(radier) dan membentuk palisade. Di sekitarnya dikelilingi oleh
deposit-deposit fibrin dan di pinggirnya ditumbuhi dengan fibroblast.
Benjolan rematik ini jarang dijumpai pada penderita-penderita RA
jenis ringan. Disamping hal-hal yang disebutkan di atas gambaran
anemia pada penderita RA bukan disebabkan oleh karena kurangnya

30
zat besi pada makanan atau tubuh penderita. Hal ini timbul akibat
pengaruh imunologik, yang menyebabkan zat-zat besi terkumpul
pada jaringan limpa dan sistema retikulo endotelial, sehingga
jumlahnya di daerah menjadi kurang. Kelainan sistem pencernaan
yang sering dijumpai adalah gratitis dan ulkus peptik yang
merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit
(desease modifying antiremathoid drugs, DMARD) yang menjadi
faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis
reumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan
gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular
dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat
vaskulitis.

2.3.3 Pencegahan
Menjaga supaya rematik tidak terlalu mengganggu aktivitas
sehari – hari, sebaiknya digunakan air hangat bila mandi pada pagi
hari. Dengan air hangat pergerakan sendi menjadi lebih mudah
bergerak. Selain mengobati, kita juga bisa mencegah datangnya
penyakit ini, seperti: tidak melakukan olahraga secara berlebihan,
menjaga berat badan tetap stabil, menjaga asupan makanan selalu
seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh, terutama banyak
memakan ikan laut. Mengkonsumsi suplemen bisa menjadi pilihan,
terutama yang mengandung Omega 3. Didalam omega 3 terdapat zat
yang sangat efektif untuk memelihara persendian agar tetap lentur.

2.3.4 Penyebab Rematik

31
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Ada beberapa
faktor resiko terjadinya rematik.
1. Faktor keturunan
Biasanya ditemukan pada laki-laki, yang kedua orang tuanya
menderita rematik, sedangkan perempuan cukup satu orang
tuanya saja.
2. Infeksi pada tulang dan sendi
Sakitnya timbul mendadak disertai tanda-tanda peradangan
3. Umur/ proses penuaan
Berusia diatas 40 tahun
4. Jenis kelamin
Ø Sebelum usia 45 tahun, kemungkinan laki-laki ,ataupun wanita
terkena penyakit rematik adalah sama
Ø Rematik pada wanita setelah henti haid, lebih sering menyerang
sendi lutut
Ø Rematik pada laki-laki lebih sering menyerang sendi panggul,
pergelangan tangan dan leher
5. Kegemukan atau obesitas
Meyebabkan beban yang berlebihan pada sendi, lutut dan tulang
6. Cedera sendi
Kerusakan sendi akibat dari trauma bila sembuh tidak sempurna.
2.3.5 Tanda Dan Gejala Rematik
1. Adanya rasa kaku pada persendian, terutama pagi hari
2. Pembengkakan pada daerah sekitar sendi yang meradang
3. Nyeri pada sendi yang terkena
Nyeri bertambah saat beraktivitas dan sedikit berkurang dengan
beristirahat
4. Perubahan gaya berjalan akibat nyeri
5. Sendi berbunyi/ krep

32
6. Berat badan menurun, rasa lelah dan lesu, kesullitan tidur, mudah
menangis, susah buang air besar dan susak berjalan
2.3.6 Akibat Lanjut Dari Rematik
1. Nyeri pada sendi yang dapat mengganggu aktivitas
2. Tulang mudah patah
3. Tulang mudah keropos
4. Anemia/ kurang darah
2.3.7 Cara Perawatan Rematik
1. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan kompres pada sendi
yang sakit
2. Latihan fisik atau pergerakan ringan untuk mencegah kekakuan
3. Mengatur keseimbangan antara istirahat dan aktivitas
4. Mengatur diit untuk menurunkan berat badan teruatama pada
penderita gemuk
5. Melindungi persendiaan yang cedera
6. Gunakan alat bantu seperti tongkat
7. Berobat ke pelayanan kesehatan
8. · Bentangkan kedua lengan dan tangan, ambil nafas dalam-dalam
dan hembuskan.

9. Kedua tangan disamping tekuk siku dan tangan mengepal.

10. Tekuk sendi panggul dan tekuk lutut dengan kedua tangan tarik
sampai diatas dada.

11. Pegang erat kedua tangan diatas perut, tarik kebelakang kepala
dan kebawah.

2.4 Senam Rematik


2.4.1 Pengertian senam rematik
Suatu gerakan yang dilakukan secara teratur dan terorganisasi
bagi penderita rematik.

33
2.4.2 Tujuan Senam Rematik
· Mengurangi nyeri pada penderita rematik
· Menjaga kesehatan jasmani menjadi lebih baik.

2.4.3 Keuntungan Senam Rematik

 Tulang menjadi lebih lentur.

 Otot-otot akan menjadi tetap kencang.

 Memperlancar peredaran darah.

 Memperlancar cairan getah bening.

 Menjaga kadar lemak tetap normal.

 Jantung menjadi lebih sehat.

 Tidak mudah mengalami cedera.

 Kecepatan reaksi menjadi lebih baik

2.4.4 Cara melakukan senam rematik

A. Gerakan Duduk

· Angkat kedua bahu keatas mendekati telinga, putar kedepan dan


kebelakang.

· Bungkukan badan, kedua lengan meraih ujung kaki lantai.

· Angakat kedua sisi sejajar dada, tarik kedepan dada.

· Angakat paha dan lutut secara bergantian, kedua lengan


menahan tubuh.

· Putar tubuh bagian atas kesamping kanan dan kiri, kedua lengan
diatas pinggang.

34
B. Gerakan Berbaring Atau Tidur

· Bentangkan kedua lengan dan tangan, ambil nafas dalam-dalam


dan hembuskan.

· Kedua tangan disamping tekuk siku dan tangan mengepal.

· Tekuk sendi panggul dan tekuk lutut dengan kedua tangan tarik
sampai diatas dada.

· Pegang erat kedua tangan diatas perut, tarik kebelakang kepala


dan kebawah.

2.5 Kerangka Teori

Skema 2.1

Kerangka teori
Perubahan Proses menua Intervensi Senam
1. Fisik Nyeri sendi rematik
2. Social
3. psikososial

35
BAB III

METEOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian Ini Menggunakan Metode Penelitian Kuantitatif Dengan Jenis
Penelitian Quasy Eksperimental. Quasy Eksperimental Adalah Eksperimen
Yang Memiliki Perlakuan (Treatments), Pengukuran-Pengukuran Dampak
(Outcomemeasures), Dan Unit-Unit Eksperiment (Experimental Units)
Namun Tidak Menggunakan Penempatan Secara Acak (Sugiono, 2010).
3.2 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah variabel independent (bebas) yaitu
senam rematik dan varibel dependent (terikat) yaitu nyeri sendi.
3.3 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat
dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan
antara variabel. (Nursalam,2016).variabel indepedent yaitu senam rematik
sedangkan variabel dependent nyeri sendi
Variabel independent Variabel Dependent

Senam rematik Nyeri sendi

(Nursalam,2016)
3.4 Populasi Dan Sampel Penelitian
3.4.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah Lansia yang dirawat di Panti
werdha Darma Palembang dengan jumlah populasi di Panti Werdha
Darma pada tanggal 14-23 September 2018 yaitu 243Lansia.
3.4.2 Sampel
Dalam penelitian yang akan dilakukan jumlah sampel adalah 24
respondent. Dimana 12 sampel kelompok perlakuan yang diberikan
intervensi senam rematik dan 12 sampel dijadikan kelompok kontrol.

36
Jumlah sampel yang digunakan 12 orang, karena menggunakan 2
kelompok.
Kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai beikut :
a. Kriteria inklusi
1) Bersedia menjadi respondent dan menandatangani surat
persetujuan
2) Pasien yang memiliki ciri-ciri osteoatritis
3) Pasien yang aktif melakukan aktifitas fisik
4) Pasien yang tidak mengkonsumsi obat-obatan anti nyeri
osteartritis
5) Pasien berusia 60-74tahun
a. Kriteria ekslusi
1) Pasien osteoatritis yang memiliki komplikasi penyakit

3.5 Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di Panti Werdha Darma Palembang.
3.6 Waktu Penelitian
Penelitian ini di lakukan pada bulanj September-Oktober 2018
3.7 Etika penelitian
Menurut Hidayat (2013) etika keperawatan merupakan masalah
yang sangat penting dalam penilitian. Dalam penelitian peneliti
mengajukan permohonan ijin kepada Rumah panti werdha darma
Palembang sebagai tempat penelitian melalui rekomendasi dari institusi
pendidikan. Selanjutnya lembar persetujuan disampaikan kepada
responden dengan menekankan pada etika yang meliputi:
1. Informed Consent (persetujuan)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti
dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.
Informed consent diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan
memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan

37
informed consent adalah agar subyek mengerti maksud dan tujuan
penelitian. Jika responden bersedia, maka mereka harus menandatangani
lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus
menghormati hak responden.

2. Anonymity (tanpa nama)


Memberikan jaminan dalam penggunaan subjek peneliti dengan cara
tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat
ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau
hasil penelitian yang disajikan.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi
maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah
dikumpulkan dijamin kerahasianya oleh peneliti, hanya kelompok data
tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.

3.8 Instrumen Penelitian

Menurut Nursalam (2008), instrument yang digunakan untuk


pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Wawancara
Data karakteristik responden diperoleh dengan wawancara
langsung dengan responden, yang isinya menekankan pada informasi
karakteristik yaitu; nama, usia, jenis kelamin dan lain-lain.
2. Pengukuran Observasi Pengukuran observasi dilakukan melalui
lembar observasi.Penurunan rasa nyeri dan peningkatan rentang gerak
dapat diobservasi adalah nyeri dan rentang gerak osteoatritis lutut
sebelum dan sesudah intervensi serta nyeri dan rentang gerak
osteoatritis lutut sebelum dan sesudah tanpa intervensi.

38
3.9 Teknik Alat Dan Perolehan Data
3.9.1 Teknik Perolehan Data
Data pada penelitian ini akan dikumpulkan dengan cara yaitu
kuesioner yang diberikan kepada Lansia, serta menggunakan data
sekunder untuk melengkapi data primer yang diperoleh dari rekam meis
dan dari tenaga paramedic sebagai sumber informan serta keluarga
pasien .
3.9.2 Alat Perolehan Data
Alat perolehan data yang digunakan pada data primer dalam
penelitian ini adalah kuesioner,
3.10 Metode Pengumpulan Data
3.10.1 Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumber penelitian yaitu orang yang mengalami osteoatritis di
wilayah kerja puskesmas Samata Kecematan Somba Opu,
Kabupaten Gowa Data Sekunder.
b. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
perhitungan skala nyeri, senam rematik dan lembar observasi berisi
identitas responden, hasil pengukuran skala nyeri serta pemberian
senam rematik untuk mendapatkan informasi dari responden.
3.10.2 Tahap Penumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap
persiapan dan tahap pelaksanaan.
a. Tahap Persiapan
1. Persiapan Administrasi

39
Pada tahap ini peneliti mengurus surat perizinan tempat
penelitian dengan mengajukan surat permohonan izin penelitian
dari pimpinan program studi Ilmu Keperawatan STIK Siti
Khadijah Palembang yang diajukan ketempat penelitian.
2. Persiapan Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti harus mempelajari
terlebih dahulu tentang pola makan pada pasien hipertensi.
b. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini peneliti akan melakukan pengumpulan data dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Observasi keadaan pasien sesuai dengan kriteria inklusi.
2. Peneliti memperkenalkan diri kepada pasien.
3. Peneliti wajib memberikan inform consent dan menjelaskan tujuan
kepada pasien.
4. Apabila pasien menerima dan menyetujui untuk menjadi responden
maka peneliti berhak melakukan penelitian.
5. Peneliti menjelaskan cara pengisian lembar kuesioner pola makan
pasien hipertensi dan mendampingi pasien saat pengisian kuesioner
atau peneliti yang mengisi kuesioner.
6. Setelah kuesioner diisi kemudian dikumpulkan kembali, peneliti
mengucapkan terima kasih kepada pasien.

3.11 Metode Pengolahan Data


3.11.1 Pengolahan Data
Menurut Notoadmodjo (2012), Teknik pengolahan data dalam
penelitian ini menggunakan beberapa tahapan, tahap-tahap nya yaitu
sebagai berikut :
a) Editing ( Pengeditan)
Peneliti melakukan pengecekan dan perbaikan isian formulir atau
lembar kuesioner, apakah semua pertanyaan telah terisi (lengkap).

40
Pada proses ini dipastikan semua pertanyaan kuesioner sudah terjawab.
jawaban relavan dengan pertanyaan, dan jawaban konsisten dengan
jawaban pertanyaan yang lain.
b) Coding (Pengkodean)
Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi
berbentuk angka atau bilangan untuk mempermudah pada saat analisis
data dan juga mempercepat pada masa entry data.
c) Scoring (Pemberian Nilai)
Kegiatan ini dilakuka untuk memberikan skor atau nilai jawaban
dengan nilai tertinggi sampai nilai terendah dari kuesioner yang
dianjurkan kepada para responden.
d) Cleaning (Pembersihan Data)
Apabila semua data dari setiap sumber atau responden selesai
dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-
kemungkian adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan
sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini
disebut pembersihan data (data cleaning).
e) Tabulasi
Tabulasi yakni membuat tabel-tabel data sesuai dengan tujuan
penelitian atau yang diinginkan oleh peneliti.
3.11.2 Analisa Data
Dalam penelitian ini, data yang sudah terkumpul selanjutnya
diolah dan dianalisis dengan teknik statistik. Proses pemasukan
data dan pengolahan data menggunakan aplikasi perangkat lunak
komputer dengan menggunakan program SPSS 20. Penelitian ini
menggunakan dua cara dalam menganalisis data yaitu analisis data
Univariat dan Bivariat.
a. Analisa Univariat

41
Analisa univariat dilakukanterhadap variabel dari hasil
penelitian menghasilkan distribusi frekuensi dari tiap variabel
yang diteliti.
b. Analisa Bivariat
Setelah data-data tersebut ditabulasi, maka dilakukan
interpretasi terhadap data yang terkumpul dengan menggunakan
komputerisasi. Rumus statistik yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu paired T-test uji Wilcoxon signed ranks dan mann-
whitneyuntuk mengetahui perbedaan masing-masing variabel
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
3.12.1 Uji Validitas Dan Realibilitas
3.12.1 Uji Validitas
Suatu instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur
apa yang diinginkan dan menggungkapkan data darivariabel yang
diteliti secara tepat (Arikunto,2015). Untuk menghitung r atau
koefisien korelasi dan tingkat signifikannya dapat digunakan
bantuan program komputer.
3.12.2 Uji Reablitas
Uji Reliabilitas menunjukan pada suatu pengetian bahwa suatu
instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat
pengumpul data, karena instrumen tersebut sudah baik. Instrumen
yang sudah dapat dipercaya, yang reliabel akan menghasilkan data
yang dipercaya juga. Apabila data yang memang benar sesuai dengan
kenyataan, maka berapa kalipun tetap akan sama (Arikunto, 2002).

3.13.Definisi Operasional

42
No Variabel Definisi Alat Skala Hasil
ukur Ukur

1 Independen Pemberian Observasi


Senam senam rematik , leaflet,
Rematik yang dilakukan sop
pada responden senam
untuk salah rematik
satu tindakan
terapi
pengobatan.
Pemberian
dilakukan
setelah
melakukan
observasi
tingkat skala
nyeri (pre).
Pelaksanaan ini
dilakukan
selama 1
minggu yaitu
hari kedua
hingga hari
kedelapan.deng
an frekuensi 1
kali pemberian
senam dalam
sehari yaitu
pada pagi hari.

43
2 Dependen: Penurunan rasa Obsevasi Skala
Nyeri nyeri nyeri :
osteoetriti osteoatritis 1) 0:
merupakan Tidak
keadaan Nyeri
dimana nyeri 2) 1-2-
osteatritis Nyeri
lututmenurun Ringan
secara 3) 3-5:
signifikan.peng Nyeri
ukuran Sedang
dilakukan 2 4) 6-7 :
kali.pengukura Nyeri
n skala nyeri Berat 5)
awal (pre) 8-10:
dilakukan Nyeri
setelah Yang
melakukan Tidak
observasitingka Tertahank
t skala nyeri an
pada hari Rentang
pertama dan gerak
sebelum Penuruna
pemberian n rentang
intervensi gerak
senam rematik. osteoatriti
Kemudian s
dilakukan
pengukuran
kedua (post)

44
pada hari ke
sembilang
setelah
intervensi
selama 1
minggu
Rentang Penurunan Observasi Derajat I:
gerak rentang gerak gerakan
osteoatritis penuh
merupakan tanpa
keadaan hambatan
dimana rentang (normal:
gerak 100%)
osteatritis lutut Derajat II
menurun secara : gerakan
signifikan. tidak
pengukuran penuh
dilakukan 2 (good:
kali.pengukura 75%)
n rentang gerak Derajat
awal (pre) III:
dilakukan gerakan
setelah tidak
melakukan penuh ada
observasi hambatan
tingkat rentang (fair:50%
gerak pada hari ) Derajat
pertamadan IV: gerak
sebelum ada
pemberian hambatan

45
intervensi (poor:
senam rematik. 25%)
Kemudian Derajat
dilakukan ada V:
pengukuran tidak
kedua (post) gerak
pada hari ke (trace :0
sembilang %)
setelah
intervensi
selama
1minggu

3.14 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah ataui
pertanyaan penelitian (Nursalam,2014)
Ha : Ada pengaruh senam rematik terhadap nyeri sendi pada lansia di
panti werdha darma Palembang .

46
47
48

Anda mungkin juga menyukai