Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang
Madrasah Aliyah Daarul Uluum merupakan salah satu lembaga
pendidikan PUI berbasis Islam di Kabupaten Majalengka. Berdirinya sekolah
Madrasah Aliyah Daarul Uluum memiliki rangkaian peristiwa sejarah yang
cukup panjang, dimulai dari langkah K.H. Abdul Halim, yang ditetapkan sebagai
pahlawan Nasional atas perjuangannya dalam organisasi pergerakan Nasional.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan suatu landasan pembentukan
karakter, nilai, moral dan akhlak. Pendidikan sejarah berperan penting dalam
menanamkan nilai kepada peserta didik. Nilai-nilai luhur yang dimiliki kelompok
masyarakat atau organisasi masyarakat di Indonesia merupakan suatu nilai
budaya yang harus dikembangkan dalam proses pembelajaran dibidang
pendidikan. Sebagai masyarakat yang multikultur, masyarakat Indonesia
mempunyai berbagai nilai luhur yang dapat digunakan sebagai pilar dalam
membangun sebuah masyarakat yang maju dan berbasiskan sistem nilai dan
budaya lokal. Identitas bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai tradisi yang
merupakan warisan budaya sebagai salah satu identitas bangsa dalam masyarakat.
Nilai-nilai luhur tersebut, diwariskan dari satu generasi kegenerasi
penerusnya lainnya melalui berbagai media, terutama media pendidikan. Proses
pewarisan nilai budaya tersebut saat ini banyak dilakukan dengan berbasis tradisi-
tradisi lokal, yang mana tradisi-tradisi tersebut diwariskan secara turun menurun
melalui media-media masyarakat formal dalam pendidikan (Mudriah, 2012).
Dalam pembelajaran sejarah, peserta didik dapat memperoleh nilai-nilai
kesejarahan yang dapat dijadikan sebagai landasan menghadapi tantangan zaman
pada masa kini maupun masa yang akan datang. Dalam hal ini, di Madrasah
Aliyah Daarul Uluum PUI Majalengka berusaha memaksimalkan potensi sejarah
lokal dengan menyampaikan materi-materi ke PUI an. Pendidikan bagi PUI
menjadi media untuk menanamkan doktrin yang dimiliki PUI yaitu Intisab. Akan
tetapi walaupun sudah memanfaatkan potensi lokal di daerahnya, kesadaran
sejarah di Madrasah Aliyah PUI masih rendah. Hal ini disebabkan oleh berbagai

1
fenomena sosial yang tidak dapat dipungkiri pada masa sekarang ini adalah
lunturnya nilai-nilai kebangsaan dan moral, kecakapan religius, patriotisme juga
nilai-nilai kearifan lokal sendiri kurang dipahami, yang berakibat jati diri
kebangsaan melemah sehingga menurunnya kesadaran yang dimiliki para peserta
didik.
Pendidikan sejarah mempunyai kedudukan dalam mengembangkan
potensi peserta didik untuk mengenal nilai-nilai bangsa yang diperjuangkan pada
masa lalu, dipertahankan dan disesuaikan untuk kehidupan masa kini, serta
dikembangkan lebih lanjut untuk kehidupan dimasa yang akan datang (Hasan,
2012, hlm. 8). Pewarisan nilai-nilai dari generasi ke generasi selanjutnya dapat
dilakukan dengan penggalian dan penyampaian sejarah lokal dalam pembelajaran
sejarah disekolah. Dengan demikian, pendidikan sejarah lokal memiliki
kedudukan penting dan menjadi dasar bagi pengembangan jati diri pribadi,
budaya dan sosial peserta didik (Hasan, 2012, hlm. 124). Hubungan sejarah dan
pendidikan akan tampak jika dikaitkan dengan proses pewarisan nilai, yakni
nilai-nilai luhur yang dikembangkan oleh generasi terdahulu yang perlu
diwariskan pada generasi masa kini. Warisan budaya dan kearifan lokal menjadi
bagian penting dalam menumbuhkan dan membangun jati diri siswa.
Salah satu upaya yang dilakukan dalam memahami masyarakat pada masa
lalu dapat dilakukan melalui pembelajaran sejarah lokal yang berada di
lingkungan peserta didik. Robert Douch (1972) dalam Mulyana & Gunawan
(2007, hlm. 1) yang menyatakan bahwa pembelajaran sejarah di sekolah
sebaiknya lebih mudah dipahami siswa dengan melihat langsung kehidupan yang
nyata, bukan materi pelajaran yang jauh dari realitas. Bahkan belajar yang baik
dapat bersumber dari pengalaman peserta didik sehari-hari. Kedekatan emosional
peserta didik dengan lingkungannya merupakan sumber belajar yang berharga
bagi terjadinya proses pembelajaran di kelas.
Pembelajaran sejarah lokal di daerah akan mampu mengantarkan peserta
didik untuk mencintai daerahnya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Hasan (2012,
hlm, 122) yang menyatakan bahwa “posisi materi sejarah lokal dianggap penting
karena pendidikan harus dimulai dari lingkungan terdekat dan peserta didik harus
menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat terdekat”. Lingkungan terdekat

2
tersebut yaitu mengenai sejarah keluarga, desa, kelurahan, kecamatan dan
seterusnya menjadi penting karena ia hidup dilingkungan-lingkungan tersebut
sampai kepada sejarah bangsa dimana ia adalah sebagai warganya. Sehingga pada
akhirnya kesadaran sejarah akan identitas dirinya sebagai anggota masyarakat
akan terwujud.
Pewarisan nilai melalui pendidikan sejarah merupakan suatu doktrin
kepada peserta didik selaku generasi penerusnya, serta dianggap memiliki satu
keyakinan dengan nilai-nilai yang telah dijungjung tinggi oleh suatu kelompok
masyarakat tertentu. Hal ini, bertujuan membentuk peserta didik dalam
mempertahankan nilai-nilai yang telah dianggap sebagai warisan secara turun
menurun. Menurut Ismaun (2005, hlm, 171) memaparkan bahwa tujuan umum
dan ideal pendidikan serta pengajaran sejarah adalah agar peserta didik mampu
memahami sejarah, memiliki kesadaran sejarah, dan memiliki wawasan sejarah
yang bermuara pada kearifan sejarah. Dengan demikian, pembelajaran sejarah
diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan untuk tumbuh dan
berkembangnya nilai-nilai kebangsaan bagi generasi muda. Jika cara ini dapat
dicapai melalui pembelajaran sejarah, maka keutuhan bangsa dan negara dapat
dipertahankan (Kartodirdjo, 1992, hlm, 128).
Kesadaran sejarah sangat penting diberikan kepada generasi muda,
khususnya kepada peserta didik, sebab peserta didik merupakan generasi penerus
bangsa yang mempunyai sikap kesadaran sejarah untuk mengamankan,
memelihara, mengembangkan dan mewariskan budaya. Dalam kaitan ini,
Soedjatmoko (1990, hlm 12-13) menegaskan, bahwa memahami sejarah sangat
penting artinya untuk membangun orientasi intelektual dan untuk memahami
secara tepat tentang landasan kepribadian nasional. Oleh karena itu, guru harus
mampu memberi pemahaman materi sejarah, sehingga akan dapat menumbuhkan
kesadaran sejarah bagi generasi muda. Hal ini dapat menuntun setiap warga
negara kepada pemahaman diri sendiri sebagai bagian dari suatu bangsa.
Kedudukan para pengajar sangat penting dalam rangka menumbuhkan
kesadaran sejarah, sehingga penghayatan nilai-nilai yang terkandung dalam
materi yang diajarkan dapat tercapai. Kesadaran sejarah yang dibangun
merupakan kondisi kejiwaan yang menunjukkan tingkat penghayatan pada makna

3
dan hakekat sejarah bagi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Hal
ini akan menjadi dasar bagi berfungsinya makna sejarah dalam proses pendidikan
(Widja, 1989, hlm. 10). Jika kesadaran dilingkungan generasi muda rendah, maka
mereka kurang menghayati sejarah bangsanya. Dengan demikian mereka, tidak
memahami secara baik identitas dirinya sebagai suatu bangsa.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latarbelakang diatas, penulis memfokuskan penelitian pada
proses pewarisan sejarah PUI melalui pembelajaran sejarah. Mengingat, sekolah
Madrasah Aliyah Daarul Uluum PUI Majalengka merupakan sekolah berbasis
Islam yang dikelola oleh organisasi PUI Majalengka, serta memiliki muatan lokal
yang disebut dengan muatan lokal ke PUIan dalam sistem pengajarannya.
Sebagai salah satu sekolah yang di kelola oleh organisasi PUI, serta memiliki
sejarah yang cukup panjang, yang mana Organisasi PUI merupakan organisasi
yang dibentuk oleh Kyai H. Abdul Halim, sebagai salah satu Organisasi Islam
dalam pergerakan Nasional. Berdasarkan pernyataan tersebut, penulis
memfokuskan penelitiannya pada pewarisan nilai sejarah lokal PUI dalam
membangun kesadaran sejarah siswa Madrasah Aliah Daarul Uluum terhadap
sejarah dalam lingkungannya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, penulis merumuskan masalah
penelitian yang dijabarkan pada beberapa pertanyaan penelitian berikut:

1. Bagaimana desain rencana pembelajaran sejarah lokal PUI sebagai upaya


menanamkan kesadaran sejarah di Madrasah Daarul Uluum PUI Majalengka?
2. Bagaimana implementasi pewarisan nilai sejarah lokal PUI dalam membangun
kesadaran sejarah di Madrasah Aliyah Daarul Uluum PUI Majalengka?
3. Bagaimana kesadaran sejarah siswa Madrasah Daarul Uluum PUI Majalengka
melalui pembelajaran sejarah lokal PUI?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan penelitian yang telah diuraikan, maka tujuan
penelitian akan diuraikan untuk mendeskripsikan dan mendapatkan gambaran
mengenai tradisi pewarisan nilai Religius PUI di Madrasah Aliah Daarul Uluum
melalui pembelajaran sejarah sebagai berikut:

4
1. Mendeskripsikan desain rencana pembelajaran sejarah lokal PUI sebagai
upaya menanamkan kesadaran sejarah di Madrasah Daarul Uluum PUI
Majalengka.
2. Mendeskripsikan implementasi pewarisan nilai sejarah lokal PUI dalam
membangun kesadaran sejarah di Madrasah Aliyah Daarul Uluum PUI
Majalengka.
3. Mendeskripsikan kesadaran sejarah siswa Madrasah Daarul Uluum PUI
Majalengka melalui pembelajaran sejarah lokal PUI?
4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
seluruh pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung. Khususnya
untuk mata pelajaran sejarah manfaat praktis yang diharapkan yaitu:
1. Manfaat Teoretis
a. Memberikan informasi mengenai pembelajaran sejarah lokal PUI dalam
membangun wawasan kesejarahan lokal dan memahami peristiwa-
peristiwa lokal yang mengantarkan siswa mencintai daerahnya.
b. Memberikan informasi secara ilmiah mengenai peningkatan kesadaran
sejarah pada peserta didik melalui materi ke PUI an dalam pembelajaran
sejarah.
c. Sebagai sumber data untuk penelitian kedepannya dalam memahami lebih
jauh mengenai pembelajaran sejarah lokal terhadap peningkatan kesadaran
sejarah peserta didik.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai motivasi dan bahan pertimbangan bagi guru untuk lebih
memanfaatkan sejarah lokal, salah satunya adalah tentang materi ke PUI an
sebagai muatan lokal dalam pembelajaran sejarah di jenjang SMA, untuk
membangun kesadaran sejarah peserta didik.
b. Bagi siswa diharapkan lebih mengenal, memahami dan menghargai sejarah
lokalnya yang merupakan bagian dari sejarah bangsanya.

5
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pewarisan Nilai Sejarah


Nilai atau value (bahasa Inggris) atau valaere (bahasa Latin) yang berarti:
berguna, mampu akan, berdaya, berlaku dan kuat. Nilai merupakan kualitas suatu
hal yang dapat menjadikan hal itu disukai, diinginkan, berguna, dihargai dan dapat
menjadi objek kepentingan. Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang dijunjung
tinggi, yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang (Steeman dalam Sjarkawi,
2008, hlm. 29). Nilai menjadi pengarah, pengendali dan penentu perilaku
seseorang.
Schwartz (1994) mendefinisikan bahwa “Value as desireable
transituational goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the
life of person or other social entity”. Nilai adalah suatu tujuan akhir yang di
inginkan, mempengaruhi tingkah laku, yang digunakan sebagai prinsip atau
panduan dalam hidup seseorang atau masyarakat. Bisa dikatakan bahwa Nilai-nilai
pada hakikatnya merupakan sejumlah prinsip yang dianggap berharga dan bernilai
sehingga layak diperjuangkan dengan penuh pengorbanan.
Menurut Hastead dan Taylor (dalam Wiriaatmadja 2017, hlm. 8-9)
memaparkan bahwa nilai merupakan prinsip-prinsip dan keyakinan dasar yang
menjadi bimbingan/arahan untuk perilaku yang dijadikan ukuran baik dengan
harapan dalam bertindak. Sedangkan, Rokeach mendefinisikan nilai atau value
sebagai :
‘an enduring belief that a particular mode of conduct (such as being
honest, courageus, loving, obedient, etc), or a state of existence (paece,
equality, freedom, pleasure, happiness) is persobally and socially
desireable. Value jugments are statements that rate things in terms of
their worth, implying or derived from more general values’(dalam
Wiriaatmadja 2017, hlm. 9).

Nilai adalah sesuatu yang abstrak, tetapi secara fungsional mempuyai ciri
mampu membedakan antara yang satu dengan yang lain. Suatu nilai jika dihayati
oleh seseorang, maka akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara
bersikap maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya (Ahmadi dan

6
Uhbiyati, 1991, hlm. 69). Sementara, Scheler (dalam Suseno, 2000, hlm. 34)
mengatakan hahwa nilai adalah kualitas atau sifat yang membuat apa yang bernilai
menjadi bernilai. Misalnya, nilai “jujur” adalah sifat atau tindakan yang jujur. Jadi,
nilai (weit, value) tidak sama dengan apa yang bernilai (gutter, goods). Oleh karena
itu nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan keadilan
sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya, yaitu berupa agama, logika
dan norma yang berlaku dalam masyarakat umum.
Ambroise (1993, hlm. 21) menjelaskan bahwa nilai merupakan realitas
abstrak. Nilai yang dirasakan dalam diri berfungsi sebagai daya pendorong atau
prinsip-prinsip yang menjadi pedoman hidup. Sebab itu, nilai menduduki tempat
paling penting dalam kehidupan seseorang. Pada suatu tinggkat, orang akan lebih
siap untuk mengorbankan diri daripada mengorbankan nilai. Nilai yang menjadi
realitas abstrak dapat dilacak dari tiga realitas berikut :

Pola tingkah Seorang


Nilai laku, pola Pribadi atau
pikir, dan sikap kelompok

Sesuai dengan sifatnya sebagai makhluk sosial, nilai yang dimiliki atau
diyakini seseorang umumnya merupakan pancaran nilai bersama tempat seseorang
hidup. Hal tersebut tidak mengherankan, sebab “kelainan” yang dilakukan oleh
seseorang dari lingkungannya akan menyebabkan orang tersebut terisolasi, yang
merupakan keadaan yang tidak pernah diinginkan oleh siapa pun. Dengan
demikian kiranya dapat disimpulkan bahwa nilai atau nilai budaya itu tidak lain
merupakan konsep yang dimiliki bersama oleh bagian terbesar anggota suatu
kelompok sosial yang sangat berpengaruh terhadap perilaku anggota kelompok
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Koentjaraningrat (1977, hlm.
244-252) tiap sistem nilai budaya dalam setiap kebudayaan berkaitan dengan lima
masalah dasar kehidupan manusia yaitu:
1. Masalah yang berkaitan dengan hakikat hidup manusia;
2. Masalah yang berkaitan dengan hakikat karya manusia;
3. Masalah yang berkaitan dengan kedudukan manusia dalam ruang dan waktu;
4. Masalah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia yang lain;

7
5. Masalah hakikat hubungan manusia dengan alamnya.
Sejarah adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia di masa yang
lampau dan memberikan petunjuk dalam mereaksi terhadap masalah masalah baru
yang ada di masa seakarang. Sejarah memiliki berberapa manfaat bagi kehidupan
manusia pada masa sekarang. Wasino (2007, hlm. 10-14). Sementara Noor (1995,
hlm. 334-335) menyebutkan bahwa paling tidak ada beberapa guna sejarah bagi
manusia yang mempelajarinya, yakni (a) edukatif (untuk pendidikan), (b) instruktif
(memberikan pengajaran), (c) inspiratif (memberi ilham), serta (d) rekreatif
(memberikan kesenangan).
Sejarah memiliki fungsi pendidikan karena dengan memahami sejarah
berarti telah diambil satu manfaat atau hikmah dari terjadinya suatu peristiwa
sejarah. Kaitan antara sejarah dan pendidikan dapat diketahui dari sebuah kalimat
bijak tentang peranan sejarah bagi manusia yang berbunyi historia vitae magistra
yang bermakna “sejarah adalah guru kehidupan”. Makna sejarah sebagai guru
kehidupan ini sangat dalam, karena memerlukan pemikiran mengapa sampai
sejarah itu digunakan sebagai guru kehidupan. Maksud dari kalimat tersebut adalah
bahwa sejarah ini memiliki fungsi pendidikan, yang mengajarkan bagaimana
manusia seharusnya itu bertindak dengan melihat peristiwa yang telah terjadi untuk
kemudian diambil hikmahnya (Ahmad, 2007, hlm. 17). Fungsi sejarah berkaitan
dengan sarana pendidikan, yaitu sebagai pendidikan moral, penalaran, politik,
kebijakan, perubahan, masa depan, dan keindahan. Kuntowijoyo (1995, hlm. 45).
Fungsi instruktif terlihat dari aktivitas manusia pada masa lampau
memiliki fungsi untuk memberikan pelajaran mengenai suatu keterampilan atau
pengetahuan, misalnya pengetahuan tentang taktik (Wasino, 2007, hlm. 12).
Fungsi inspirasi maksudnya adalah bahwa tindakan yang telah dilakukan oleh
manusia pada masa lampau mampu memberikan inspirasi atau ilham bagi manusia
yang hidup pada masa ini. Tindakan-tindakan kepahlawanan dalam sejarah dapat
mengilhami masyarakat pada perjuangan yang sekarang. Contoh dari fungsi
sejarah sebagai insrpirasi adalah seperti patriotisme yang terpatri dalam jiwa rakyat
Indonesia ketika menghadapi kolonialisme asing, memberi inspirasi bagi bangsa
Indonesia pada masa kini untuk terus menerus bekerja keras, rela berkorban, dan

8
menjaga persatuan agar cita-cita dan tujuan Indonesia bisa tercapai (Noor, 1995,
hlm. 334).

B. Sejarah Lokal
Sejarah lokal memiliki arti khusus, yaitu sejarah dengan ruang lingkup
spasial di bawah sejarah nasional. Sejarah lokal barulah ada setelah adanya
kesadaran sejarah nasional (Abdullah, 2005, hlm. 3). Dengan demikian, sejarah
lokal adalah suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas yang
meliputi suatu lokalitas tertentu. Sejarah lokal diartikan sebagai studi tentang
kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar
(neighborhood) tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek
kehidupan manusia (Widja, 1989, hlm. 11-13).
Dalam konteks pembelajaran sejarah, sejarah lokal diperlukan untuk
membangkitkan kesadaran sejarah nasional serta menghindarkan siswa tidak tahu
atau tidak mengenal nilai sejarah yang ada di sekitarnya. Pembelajaran sejarah
hendaknya dimulai dari fakta-fakta sejarah yang dekat dengan lingkungan tempat
tinggal anak, baru kemudian pada fakta-fakta yang jauh dari tempat tinggal anak
(Wasino, 2005, hlm. 1). Salah satu pendekatan dalam penulisan sejarah lokal
adalah dengan menggunakan pendekatan sejarah sosial. Dengan mengunakan
pendekatan ini sejarah lokal yang ditulis akan memperhitungkan dan
mempertimbangkan dengan baik ikatan structural, yaitu jaringan peranan sosial
yang saling bergantungan terhadap aktor sejarah lokal setempat. Penulisan sejarah
lokal ini selalu mengaitkan antara gejala yang terjadi dimasyarakat sekarang
dengan struktur sosial kebudayaan sebelumnya (Abdullah, 2005, hlm. 21).
Salah satu pembelajaran yang dapat dijadikan alat dalam memecahkan
masalah sikap dan nilai kebangsaan adalah pembelajaran sejarah lokal, dimana
melalui pembelajaran sejarah lokal penanaman kecintaan terhadap identitas diri
dapat terbangun dalam diri peserta didik. Supardan (2008, hlm. 3) memaparkan
bahwa pembelajaran sejarah lokal dapat membangun identitas kelokalan yang
berfungsi untuk menguji validitas generalisi sejarah nasional yang diketahui.
Dalam Kurikulum 2013 sejarah lokal mulai dicantumkan sebagai materi baru
dalam mata pelajaran sejarah. Materi sejarah lokal maupun daerah mendapat

9
peluang luas untuk dipelajari dalam mata pelajaran sejarah peminatan di SMA.
Menurut Hasan (2009, hlm. 6) Pengembangan materi sejarah lokal disajikan dalam
persepeftif ilmu sejarah, melainkan dalam persepektif pendidikan. Hal ini
dilakukan untuk membangun rasa persatuan, kebangsaan, dan solidaritas antar
etnis. Sejarah lokal juga merupakan akar sejarah Nasional dan turut menjiwai
sejarah Nasional (Ismaun, 2001).

C. PUI
Persatuan ummat Islam (PUI) berdiri pada tahun 1952 sebagai anak zaman
dalam mematri persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya persatuan dan kesatuan
intern ummat Islam. Dikatakan sebagai anak zaman karena pada waktu lahirnya,
yaitu pada tanggal 5 April 1952 bertepatan dengan 9 Rajab 1371 H di Bogor situasi
dan kondisi keorganisasian sosial masyarakat di Indonesia saat itu cenderung
berpecah-belah. Tetapi PUI lahir justru sebagai hasil fusi antara dua organisasi
besar, yaitu antara Perikatan Ummat Islam (PUI), yang berpusat di Majalengka,
dengan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII), yang berpusat di Sukabumi.
Sebagai salah satu organisasi pergerakkan Islam, PUI begerak dan beramal di
bidang Pendidikan, Sosial dan Kesehatan Masyarakat, Ekonomi dan Dakwah.
Bahkan kini telah merintis dibidang Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi)
(Wanta, 1991, hlm. 25).
Muatan lokal ke PUI an merupakan salah satu bagian dari pembelajaran
sejarah yang memegang peranan penting dalam menanamkan kesadaran sejarah
bagi peserta didik. Melalui muatan lokal ke PUI an dapat mengembangkan potensi
peserta didik menjadi manusia yang berakhlak mulia, berilmu, mandiri dan
menjadi warga negara yang bertanggung jawab sebagaimana yang menjadi bagian
dari tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas No. 20
tahun 2003 menyatakan bahwa:
Pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsanya, kemudian dapat mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berkahlak mulia,
cakap, kreatif inovatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab.

10
Muatan kurikulum ke PUI-an merupakan bagian penting diterapkan di
setiap jenjang sekolah PUI baik RA/TK, MI/SD/MD, SMP/MTs, MA/SMA/SMK,
Pesantren dan perguruan tinggi PUI. Muatan kurikulum ke PUI an meliputi sejarah
PUI, Intisab PUI, dan Ishlahuts Tsamaniyah. Untuk jenjang MA/SMA/SMK
muatan pelajaran sejarah PUI di dalamnya terdapat materi khusus pembahasan
tafsir intisab dan ishlahuts-Tsamaniyah. Indikasi pengalaman belajar ini akan
membentuk karakter amal Jama’i dan dakwah PUI, dimana peserta didik siap
untuk memasuki usia dewasa.
Ke PUI an adalah kumpulan bahan kajian atau materi pembelajaran yang
memberikan konsep yang jelas terhadap peserta didik sebagai kader penerus untuk
menerima dan membawa misi perjuangan PUI (Persatuan Umat Islam) dalam
menegakkan aqidah dan syariat islam yang kaffah, memahami perbedaan faham di
kalangan umat dan bersikap Tasamuh serta turut berusaha merealisasikan cita-cita
organisasi demi terwujudnya Thoyibatun wa Robbun Gofur. (Tim Kurikulum Ke
PUI-an, 2014, hlm 2). Materi pembelajaran ke PUI an berfungsi sebagai:

a. Pengenalan terhadap jejak langkah perjuangan tokoh pendahulu organisasi serta


dapat meneladaninya untuk kehidupan dimasa yang akan datang sebagai tanggung
jawab generasi penerus.
b. Pengembangan, yaitu kemampuan berorganisasi untuk penyaluran bakat dan minat
sesui dengan Misi PUI pada tingkat level perjuangan seoptimal mungkin sehingga
dapat bermanfaat bagi orang lain.
c. Perbaikan, yaitu merealisasikan konsep perbaikan/ishlah/reformasi delapan bidang
sebagai rangkuman gerak langkah meningkatkan kualitas iman dan islam dalam
kehidupan sehari-hari.
d. Pencegahan yaitu mampu menangkal dan menghindari dari lingkungan, faham atau
budaya lain yang dapat membahayakan dirinya, keimanannya serta merusak citra
organisasi sehingga dapat tampil eksis sebagai kader organisasi, kader umat dan
kader bangsa.
e. Penyesuaian, yaitu tampil untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang positif
dan mampu tampil sebagai inovator perubahan lingkungannya yang sesuai dengan
ajaran islam.

11
f. Sumber nilai, yaitu memberikan pandangan hidup untuk tercapai kebahagiaan
hidup dunia dan akhrat.

D. Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran diterjemahkan dari kata instruction. Gagne (dalam Sanjaya,
2005, hlm.78) menyatkan bahwa, “instruction is a set of event that effect learners
in such a way that learning is facilitated”. Belajar dan pembelajaran adalah satu
kesatuan yang tidak dapat di pisahkan, karena pembelajaran adalah suatu proses
pelaksanaan belajar yang dilakukan oleh pendidik (guru) kepada peserta didik.
Dengan demikian, pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau
proses memberikan pengetahuan kepada kepada peserta didik yang direncanakan,
dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis untuk mencapai tujuan pembelajaran
secara efektif dan efisien (Komalasari, 2011, hlm. 5).
Sejarah merupakan mata pelajaran yang ada pada setiap satuan pendidikan.
Pembelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini, mengandung arti
bahwa pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang
dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan
kepribadian peserta didik (Lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006). Tujuan
dari pelaksanaan pendidikan sejarah tercantum dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 adalah agar peserta
didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang
merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
b. Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar
dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan.
c. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan
sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau
d. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa
Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan
masa yang akan datang.

12
e. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa
Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat
diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun
internasional.
Pembelajaran sejarah memiliki peran mengaktualisasikan dua unsur
pembelajaran dan pendidikan. Unsur pertama adalah pembelajaran (instruction)
dan pendidikan intelektual (intellectual traming). Sedangkan unsur kedua adalah
pembelajaran dan pendidikan moral bangsa yang demokratis, serta bertanggung
jawab kepada masa depan bangsa. Dalam unsur pembelajaran (instruction) dan
pendidikan intelektual (intellectual traming) pada pembelajaran sejarah tidak
hanya memberikan gambaran masa lampau, tetapi juga memberikan latihan
berpikir kritis, menarik kesimpulan, menarik makna dan nilai dari peristiwa sejarah
yang dipelajari. Latihan berpikir kritis dilakukan dengan pendekatan analitis, salah
satunya melalui pertanyaan “mengapa” (why) dan “bagaimana” (how) dapat
melatih siswa berpikir kritis dan analitis (Putro, 2006).
Pengajaran dan pendidikan moral bangsa menuntut pengajaran sejarah
berorientasi pada pendidikan kemanusiaan (humaniora) yang memperhatikan nilai-
nilai dan norma-norma (Gottschalk, 1975, hlm. 10). Hasil pembelajaran sejarah
menjadikan peserta didik berkepribadian kuat, mengerti sesuatu agar dapat
menentukan sikapnya. Pentingnya pengertian tentang sejarah untuk kehidupan
sehari-hari membuat peserta didik mempunyai alat untuk menyingkap tabir rahasia
gerak masyarakat. Dengan sejarah dapat diketahui hasil-hasil perjuangan sejak
zaman dahulu. Sejarah dapat diibaratkan pendidik karena dapat mendidik jiwa
manusia lewat hasil yang dicapainya (Trevelyan dalam Putro, 2006).
Hasan (2012, hlm. 7), mengemukakan bahwa tujuan pendidikan sejarah di
jenjang SMA bertujuan pada pemahaman secara mendalam berbagai peristiwa
sejarah yang dianggap penting. Hal ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengembangkan pendalaman tentang peristiwa sejarah terpilih, baik lokal
maupun nasional
2. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif
3. Membangun kepedulian sosial dan semangat kebangsaan
4. Mengembangkan rasa ingin tahu, inspirasi, dan aspirasi

13
5. Mengembangkan nilai dan sikap kepahlawanan, serta kepemimpinan
6. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi
7. Mengembangkan kemampuan mencari, mengolah, mengemas, dan
mengkomunikasikan informasi.
Pembelajaran sejarah di sekolah merupakan salah satu wahana mencapai
tujuan pendidikan nasional, terutama sebagai upaya menumbuhkan dan
mengembangkan rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan peserta
didik (Wiriaatmadja, 1998, hlm. 93). Pengetahuan peserta didik mengenai sejarah
diharapkan dapat menumbuhkan kemampuan dan kearifan dalam menghadapi
kehidupan masa kini. Kesadaran akan kebangsaannya dapat menumbuhkan
kepribadian yang tegar, karena pengenalan jatidirinya akan menumbuhkan
kemauan dan kesediaan bekerja keras bagi diri dan bangsanya. Ismawan dalam
Isjoni (2007, hlm. 72) membagi tiga dasar dalam mempelajari sejarah yakni,
mampu memahami sejarah, memiliki kesadaran sejarah, memiliki wawasan
sejarah.
E. Kesadaran Sejarah
Kesadaran sejarah sangat penting diberikan kepada generasi muda,
khususnya kepada peserta didik, sebab peserta didik merupakan generasi penerus
bangsa yang mempunyai sikap kesadaran sejarah untuk mengamankan,
memelihara, mengembangkan dan mewariskan budaya. Dalam kaitan ini,
Soedjatmoko (1990, hlm 12-13) menegaskan, bahwa memahami sejarah sangat
penting artinya untuk membangun orientasi intelektual dan untuk memahami
secara tepat tentang landasan kepribadian nasional. Oleh karena itu, guru harus
mampu memberi pemahaman materi sejarah, sehingga akan dapat menumbuhkan
kesadaran sejarah bagi generasi muda. Hal ini dapat menuntun setiap warga negara
kepada pemahaman diri sendiri sebagai bagian dari suatu bangsa.
Ahonen (2005) menyatakan pada sekitar tahun 1970, konsep kesadaran
sejarah tidak diakui dalam pendidikan sejarah di beberapa negara seperti Jerman
karena dianggap sebagai konsep yang kabur. Di Amerika Utara, konsep kesadaran
sejarah diganti historical literacy, di Inggris diganti historical awareness.
Historical literacy adalah istilah behaviouristik yang menginginkan sebuah
kemahiran dalam sejarah dalam bentuk mampu membaca dan mendiskusikan

14
sejarah. Jika seseorang mampu mempertanyakan tentang bukti dan penjelasan
sejarah maka orang tersebut dianggap telah memahami konsep-konsep dasar
sejarah dan telah menjadi pembaca sejarah yang kritis. Dengan kata lain, historical
literacy tidak mengharuskan seseorang memahami asal-usul terjadinya peristiwa
sejarah.
Untuk mempunyai sikap historical awareness, seseorang harus dapat
menghubungkan bagian yang spesifik dari informasi sejarah dengan beberapa
peristiwa dan fenomena secara umum. Jika seseorang tidak dapat melakukan ini
maka menyebabkan ketidakmampuan seseorang menentukan sikap terhadap masa
lalu (sense of the past) ketika bertemu dengan jejak-jejak masa lalu. Kedudukan
para pengajar sangat penting dalam rangka menumbuhkan kesadaran sejarah,
sehingga penghayatan nilai-nilai yang terkandung dalam materi yang diajarkan
dapat tercapai. Kesadaran sejarah yang dibangun merupakan kondisi kejiwaan
yang menunjukkan tingkat penghayatan pada makna dan hakekat sejarah bagi
kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Hal ini akan menjadi dasar bagi
berfungsinya makna sejarah dalam proses pendidikan (Widja, 1989, hlm. 10).
Jika kesadaran dilingkungan generasi muda rendah, maka mereka kurang
menghayati sejarah bangsanya. Dengan demikian mereka, tidak memahami
secara baik identitas dirinya sebagai suatu bangsa.
Kesadaran sejarah menurut Jorn Rusen dalam Ahonen (2005) merupakan
kemampuan manusia untuk memahami keterkaitan antara masa lalu dengan segala
dampaknya bagi nilai-nilai kehidupan masyarakat di masa kini. Rusen menjelaskan
bahwa kesadaran sejarah adalah sesuatu yang kompleks dan gambaran bentuk yang
spesifik dari ingatan sejarah/ “historical memory” dan sebagai dasar dari sebuah
identitas. Rusen melihat bahwa memori (ingatan) adalah sebagai bagian dari
kesadaran sejarah. Rusen beranggapan bahwa hubungan antara masa lalu, masa
kini dan masa depan dapat dijelaskan melalui berpikir kesadaran sejarah.
Jorn Rusen mengartikan kesadaran sejarah sebagai metode mental dasar
yang menciptakan sikap terhadap masa lalu untuk kehidupan yang bermanfaat
dengan berdasar atas waktu (time). Kesadaran sejarah diartikan sebagai jaringan
yang kompleks mengenai interpretasi masa lalu, menghayati masa kini, dan

15
pengharapan terhadap masa depan kemudian berempati, mengambil peran dan
mengubah perspektif dalam kerangka waktu yang jauh dari masa kini.
Soedjatmoko (1990, hlm.13 menyatakan bahwa kesadaran sejarah adalah
suatu orientasi intelektual, suatu sikap jiwa yang perlu untuk memahami secara
tepat paham kepribadian nasional. Kesadaran sejarah ini menuntun manusia
kepada pengertian mengenai diri sendiri sebagai bangsa, kepada self of
understanding of nation, kepada sangkan paran (asal-usul) suatu bangsa, kepada
persoalan what we are, why we are what we are (Widja, 1989, hlm. 10). Dengan
demikian kesadaran sejarah adalah kondisi kejiwaan yang menunjukkan tingkat
penghayatan pada makna dan hakikat sejarah bagi masa kini dan masa yang akan
datang, menjadi dasar pokok bagi berfungsinya makna sejarah.
Beberapa tulisan Soedjatmoko mengingatkan kita bahwa betapa pentingnya
sebagai bangsa Indonesia untuk memiliki kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah
diartikan sebagai suatu refleksi secara terus menerus tentang kompleksitas
perubahan-perubahan (kontinuitas dan kemungkinan diskontinuitas) yang
ditimbulkan oleh interaksi dialektis masyarakat yang ingin melepaskan diri dari
genggaman realitas yang ada. Dengan kesadaran sejarah, manusia berusaha
menghargai kerumitan upaya pengungkapan terhadap kejadian-kejadian yang
melingkupinya, menghargai keunikan masing-masing keadaan, dan bahkan dalam
kecenderungan yang dikaji.
Karena luasnya tentang kesadaran sejarah, Soedjatmoko menyebutnya
sebagai orientasi intelektual yang bersifat kreatif, mawas diri, dan introspeksi
yang tiada henti. Pandangan yang serupa dikemukakan oleh Kartodirdjo yang
secara rinci menjelaskan bahwa kesadaran sejarah merupakan kesadaran diri yang
secara imanen ada pada refleksi diri akan memperkuat potensi untuk: (1)
menempatkan posisi diri kita dalam konteks sosiokultural serta konteks temporal;
(2) melepaskan diri dari perhatian kognitif serta kehidupan praktis yang menuntut
terselenggaranya fungsi-fungsi atau kepentingan perhatian normatif-etis dalam
menghayati sejarah dengan orientasi teleologis, seperti kepentingan politik
kebudayaan; (3) membantu mencari jawaban dari permasalahan metahistoris
melalui penggambaran masa depan atau fungsi prediktif dari studi sejarah.

16
Kesadaran sejarah merupakan kesadaran diri secara historis bukan
mitologis, kesadaran akan kontinyuitas dan diskontinuitas, dan kesadaran pada
sejarah sebagai proses bukan sebagai kronik. Kesadaran sejarah adalah suatu sikap
kejiwaan atau mental attitude yang membimbing manusia kepada pengertian
mengenai diri sendiri sebagai bangsa”. “Kesadaran sejarah akan mempertajam
kepekaan dalam menimbulkan imbauan emosional dan inspirasi ideal, sehingga
memperkuat semangat perjuangan berbakti kepada tanah air” (Sartono Kartodirdjo,
1987, hlm. 76).
Kesadaran sejarah berawal dari kesadaran diri mengidentifikasikan diri
sebagai bagian dari suatu komunitas, mulai dari keluarga, etnisitas, sampai bangsa.
Kesadaran sejarah hanya dapat muncul dari diri sendiri, meskipun sasarannya
untuk memahami pandangan dari waktu lain dan orang lain yang berbeda dengan
waktu kita dan diri kita. Cassirer (1987, hlm. 272) menyatakan kesadaran masa lalu
bila digunakan secara tepat dapat memberi wawasan lebih luas terhadap masa kini
dan memperbesar tanggungjawab terhadap masa depan. Dengan kata lain
kesadaran sejarah memang harus mundur satu langkah namun untuk maju dua
langkah.
Setiap komunitas mengalami peristiwa sejarah, yang kemudian menjadi
memori kolektif komunitasnya. Memori kolektif terbentuk melalui pengalaman
kolektif dari suatu peristiwa sejarah, meskipun peristiwa itu berbeda waktu, dan
tempat. Selain itu juga terbentuk melalui ceritera sejarah yang dipelajari tentang
penyejarahan komunitasnya. Menurut Hasan (2012, hlm. 63) proses munculnya
memori kolektif diawali oleh adanya pelaku peristiwa suatu peristiwa, atau karena
mempunyai ikatan darah, budaya, etnik, politik dengan pelaku sejarah, sehingga
pelakunya diidentifikasikan sebagai leluhurnya. Pemilik memori kolektif, mungkin
secara politis diakui sebagai pewaris dari pelaku sejarah yang sudah dianggap
sebagai leluhur, meskipun tidak memiliki ikatan tertentu. Pada hakikatnya pelaku
dianggap memiliki ikatan dengan kelompok yang memiliki memori, yang
kemudian diwariskan menjadi suatu ikatan pengalaman yang dihayati bersama
(surrogate experience) oleh keturunan atau yang dianggap keturunan pemilik
memori tersebut.

17
Terkait dengan komunitas bangsa, kesadaran kolektif lokal atau kesadaran
etnisitas ini meluas menjadi kesadaran kolektif nasional. Kesadaran nasional
sebagai bangsa dibentuk melalui dua cara. Pertama suatu bangsa merupakan
sekelompok masyarakat manusia yang diorganisasi melalui ide kebangsaan dan
penentuan nasib sendiri. Kedua, suatu bangsa tidak berbeda dengan individu
membutuhkan mitra untuk saling berinteraksi dan memberikan pengakuan dalam
konteks kemanusiaan (Diamond, 1998, hlm. 14).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Subjek Penelitian


1. Lokasi Penelitian
Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Madrasah Aliyah
Daarul Uluum, desa Majalengka Kulon, Kecamatan Majalengka, Kabupaten
Majalengka. Dasar pertimbangan memilih sekolah Madrasah Daarul Uluum PUI
Majalengka menjadi lokasi penelitian adalah sebagai berikut:
a. Kabupaten Majalengka sebagai lokasi ini berada, menjadi daerah yang
memiliki nilai historis yang tinggi dan berkaitan dengan organisasi pergerakan
nasional KH. Abdul Halim di Majalengka yang sekarang menjadi pahlawan
nasional sehingga menjadi sumber inspiratif bagi para peserta.
b. Madrasah Aliyah Daarul Uluum merupakan lembaga pendidikan berbasis
keagamaan yang berada dibawah naungan organisasi Persatuan Umat Islam,
yang didirikan oleh seorang tokoh nasionalis yaitu KH. Abdul Halim, sehingga
disekolah tersebut memiliki beberapa peninggalan-peninggalan sebagai bukti

18
perjuangan KH. Abdul dalam pergerakan nasional di Majalengka yang
dijadikan sebagai sumber belajar sejarah bagi peserta didik.
c. Potensi pengembangan materi mengenai sejarah lokal ke PUI an sudah
diterapkan dalam muatan lokal di sekolah Madarasah Aliyah Daarul Uluum
PUI Majalengka.
2. Subjek Penelitian
Lincoln dan Guba (1985, hlm. 201) memaparkan bahwa subjek penelitian
berupa peristiwa, manusia dan situasi yang diobservasi oleh responden yang
dapat diwawancara. Subjek penelitian hanyalah sumber data yang dapat
memberikan informasi atau data yang ditarik dan dikembangkan secara
purposif, yang bergulir hingga mencapai titik jenuh dimana informasi telah
dikumpulkan secara tuntas. Berdasarkan pendapat tersebut yang menjadi subjek
penelitian adalah guru dan dan siswa kelas XI IPS dalam pembelajaran sejarah
lokal ke PUI an. Pada penelitian ini yang diamati sebagai sumber manusia,
peristiwa, dan situasi. Manusia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
semua orang yang terlibat dalam penelitian ini yang terdiri dari guru, siswa, dan
peneliti. Peristiwa yang dimaksud adalah semua kejadian yang diamati selama
kegiatan proses pembelajaran berlangsung di dalam kelas. Sedangkan yang
dimaksud dengan situasi adalah latar atau gambaran yang menyangkut keadaan
ketika berlangsung pengamatan terhadap pengembangan pembelajaran oleh
guru atau peneliti.
Pada penelitian ini peneliti berusaha untuk memperoleh berbagai macam
data yang berkaitan dengan pembelajaran sejarah lokal ke PUI an sebagai upaya
menanamkan kesadaran sejarah peserta didik. Data tersebut akan diperoleh dari
semua perkataan, tindakan, situasi dan peristiwa yang dapat diperoleh oleh
peneliti selama kegiatan pembelajaran muatan lokal ke PUI an di Madrasah
Aliyah Daaru Uluum. Sedangkan sumber data tersebut dapat diperoleh dari guru
dan siswa. Berdasarkan jenis data dalam penelitian ini, maka sumber data
penelitian yang dapat memberikan akses terhadap data-data yang dibutuhkan
dalam penelitian ini yakni guru, siswa, dokumen pembelajaran dan sumber
bahan cetak (kepustakaan) yang meliputi: dokumen jurnal, hasil penelitian
terdahulu, buku teks, tesis dan disertasi yang berkaitan dengan pembelajaran

19
sejarah lokal ke PUI an sebagai upaya menanamkan kesadaran sejarah peserta
didik.
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Penelitian kualitatif (Qualitative research) adalah penelitian yang memahami
fenomena, peristiwa, dan aktifitas sosial secara holistik, dengan cara
mendeskripsikan dalam bentuk kata dan bahasa pada suatu konteks khusus secara
alamiah (Moleong, 2007, hlm. 43). Penelitian kualitatif lebih menekankan pada
makna terikat nilai dan peneliti juga dituntut memiliki keterampilan meninjau
kembali serta menganalisis situasi secara kritis untuk menghindari bias, dan
memperoleh data secara benar (Strauss dan Corbin, 2003, hlm. 7).
Penelitian kualitatif berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan,
mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif,
mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya
pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan
proses dari pada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat
kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya berifat
sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak yaitu,
peneliti dan subjek penelitian (Moleong, 2007, hlm, 44). Sependapat dengan
pernyataan tersebut, Nasution (1992, hlm. 10) menjabarkan karakteristik
penelitian kualitatif, diantaranya lebih mengutamakan:
Perspektif emic, artinya lebih mementingkan pandangan responden yaitu
bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi pendiriannya. Peneliti
tidak memaksa pandangannya sendiri. Peneliti memasuki lapangan tanpa
generalisasi, seakan-akan tidak mengetahui sedikitpun, sehingga mendapat
perhatian penuh terhadap konsep-konsep yang dianut partisipan.
C. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian penelitian ini adalah naturalistik
inquiri yakni menyusun desain secara terus menerus yang disesuaikan dengan
realita dilapangan, dan tidak menggunakan desain yang telah disusun secara
ketat. Hal ini terjadi karena realitas di lapangan tidak diramalkan sepenuhnya.
Pada penelitian ini, peneliti sebagai perancang dan praktisi pengajaran, guru dan
teman sejawat dianggap sebagai mitra kerja. Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah naturalistik

20
inkuiri, dimana dalam penelitian tersebut dilakukan dalam situasi yang wajar dan
alamiah atau natural setting, karena kelas yang diteliti merupakan fenomena
kajian dalam penelitian ini, hanya akan bermakna apabila ditelaah manusianya
yaitu guru dan siswa dalam dunia kelasnya secara kontekstual (Lincoln dan Guba,
1985, hlm. 189).
Lincoln dan Guba (1985, halm, 187-190) mengemukakan alasan
penggunaan metode naturalistik berdasarkan pertimbangan bahwa ciri utama dari
studi naturalistik adalah: pertama, realitas manusia tidak dapat dipisahkan dari
konteks latar natural; kedua, penggunaan pengetahuan tersembunyi (tacit
knowledge); ketiga, hasil penelitian yang dinegosiasikan dan interpretasi peneliti
dan subjek penelitian; keempat, penafsiran atas data bersifat ideolografis atau
berlaku khusus, bukan bersifat nomotetis atau mencari generalisasi; dan kelima,
temuan penelitian bersifat tentatif.
Penelitian kualitiatif naturalistik memiliki karakteristik tersendiri yang
membedakan dengan jenis penelitian lain. Beberapa karakteristik tersebut
menurut Bogdan dan Biklen (1990, hlm. 33-36) adalah :
1. Penelitian kualitatif memiliki setting (latar) alamiah sebagai sumber data
langsung dan peneliti merupakan instrumen kunci.
2. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif
3. Peneliti kualitatif lebih memberikan perhatian pada proses daripada hasil
4. Peneliti kualitatif cenderung menganalisis datanya secara induktif
5. “Makna” merupakan perhatian utama bagi pendekatan kualitatif.
Tujuan penelitian naturalistik adalah untuk mengetahui aktualitas, realitas
sosial dan persepsi manusia melalui pengakuan mereka yang mungkin tidak dapat
diungkap melalui penonjolan pengukuran formal atau pertanyaan penelitian yang
telah dipersiapkan terlebih dahulu. Para peneliti naturalistik meyakini bahwa
untuk memahami gejala sosial yang paling tepat adalah apabila mereka mampu
memperoleh fakta pendukung yang sumbernya berasal dari persepsi dan
ungkapan dari para pelaku itu sendiri (Nasution, 1992, hlm. 28).
Dalam penelitian ini, karakteristik naturalistik tampak dari tujuan
penelitian yang ingin memperolah gambaran mengenai pembelajaran sejarah
lokal ke PUI an dalam menanamkan kesadaran sejarah kepada peserta didik di

21
Madrasah Aliyah Daarul Uluum PUI Majalengka, bukan untuk mengujikan suatu
teori dengan beberapa variabel melalui sebuah kuesioner. Peneliti mengadakan
penelitian langsung terhadap subjek penelitian. Dalam hal ini, peneliti mengikuti
proses pembelajaran dikelas dan mengamati cara guru dalam menyampaikan
materi pembelajaran sejarah lokal ke PUI an, respon peserta didik, cara guru
menilai siswa dan ekspresi subjek. Peneliti tidak melakukan rekayasa apapun
terhadap siswa, guru, dan kelas dibiarkan berjalan apa adanya. Selain itu
karakteristik, naturalistik juga terdapat pada proses penelitian di mana peneliti
berusaha untuk mengungkapkan suatu relaitas kegiatan pembelajaran berupa data
deskriptif yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumen terkait
dengan aktivitas peserta didik dan aktivitas guru dalam mengajar.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah paneliti itu sendiri,
peneliti kualitatif sebagai human instrument berfungsi menetapkan data dan
membuat kesimpulan. Fungsi peneliti dalam penelitian kualitatif menurut
Nasution (1992, hlm. 223) dinyatakan bahwa:
“Dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain selain menjadikan manusia
sebagai instrumen penelitian utama, alasannya ialah bahwa segala sesuatunya
belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur
penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu
semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala
sesuatu masih perlu di kembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan
yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya
peneliti itu sendiri sebagai alat satu- satunya yang dapat mencapainya”
Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri, Oleh karena itu
dalam penelitian kualitatif “the researcher is the key instrument”, jadi peneliti
adalah instrumen kunci. Lincoln and Guba (1985, hlm. 128) menjelakan bahwa
peneliti diperankan sekaligus sebagai instrument. Peneliti berusaha untuk
responsif dapat menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, mendasarkan diri
atas perluasan pengetahuan memproses data secepatnya dan memanfaatkan
kesempatan untuk mengklasifikasikan dan mengikhtisarkan.
Pada penelitian ini, peneliti berada pada posisi pengamat dan pengumpul
data. Lincoln dan Guba (1985, hlm. 193) mengemukakan sejumlah alasan
mengapa manusia sebagai alat pengumpul data, yaitu:

22
1. Responsivenes; Manusia dapat merasakan dan memberikan tanggapan
terhadap petunjuk-petunjuk baik perorangan maupun lingkungan.
2. Holistic emphasi; Holistik dalam lingkungan sekeliling, akan memerlukan
manusia sebagai instrumen yang mampu menangkap gejala lingkungan
alamiah yang menyeluruh.
3. Adaptability; Daya guna manusia untuk menyesuaikan diri sangat tinggi
sehingga dapat mengumpulkan informasi mengenai banyak aspek pada
berbagai tingkatan secara simultan.
4. Knowledge base expansion; Berkemampuan menjalankan fungsi
secara simultan dalam ranch pengetahuan proposisional dan dalam
pengetahuan yang dikumpulkan berdasarkan pengalaman.
5. Processual immediacy; Kemampuan manusia sebagai instrumen untuk
memproses data segera setelah terkumpul, dan dapat segera
mengembangkannya.
6. Opportunities to explore typical or idiosyncratic response; Mempunyai
kemampuan untuk menyelidiki jawaban-jawaban sumber data dan informasi
sampai pada tingkat pemahaman yang lebih tinggi.
7. Opportunities for clarification and summarization; Mempunyai kemampuan
yang unik dalam menyimpulkan data serta meminta perbaikan dan
penjelasaan secara langsung dari sumber informasi.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada
natural setting (kondisi alamiah), sumber data primer. Teknik pengumpulan data
lebih banyak pada observasi berperan serta (participation observation), wawancara
mendalam (in depth interview) dan dokumentasi (Sugiyono, 2007, hlm. 309).
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diantaranya:
1. Observasi

Nasution (1992, hlm. 56) berpendapat bahwa “observasi adalah dasar


semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data,
yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi”.
Melalui observasi, peneliti belajar tentang prilaku dan makna dari prilaku
tersebut (Sugiyono, 2007, hlm. 226). Sedangkan, menurut Faisal (1990, hlm.

23
56) mengklarifikasi observasi menjadi observasi partisipasi (participant
observation), observasi yang secara terang-terangan atau tersamar (overt
observation and cover observation) dan observasi yang tidak terstruktur
(unstructured observation). Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang
tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi . Hal ini
dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang apa yang akan diamati.
Dalam melakukan pengamatan peneliti tidak menggunakan instrumen yang
telah baku, tetapi hanya berupa rambu-rambu pengamatan (Sugiyono, 2005,
hlm. 56).
Menurut Patton dalam Nasution (1992, hlm. 59), observasi bermanfaat
sebagai berikut:
1. Dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks
data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan
yang holistik atau menyeluruh.
2. Dengan observasi maka akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga
memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak
dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan induktif
membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery.
3. Dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak
diamati orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu,
karena telah dianggap “biasa” dan karena itu tidak kan terungkapkan dalam
wawancara.
4. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak
akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif
atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga.
5. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang diluar persepsi
responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih
komprehenship.
6. Melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya mengumpulkan daya
yang kaya, tetapi juga memperoleh kesankesan pribadi, dan merasakan
suasana situasi sosial yang diteliti.
b. Wawancara

24
Wawancara merupakan kegiatan atau metode pengumpulan data yang
dilakukan oleh pewawancara dengan bertatapan langsung dengan responden.
Upaya peneliti untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan fokus
penelitian. Wawancara sendiri berupa percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaaan. Di sini
ada hubungan timbal balik, komunikasi dua arah antara pewawancara dengan
yang diwawancarai.
Menurut Esterberg (dalam Sugiono, 2011, hlm. 231) mendefinisikan
interview sebagai berikut:” a meeting of two persons to exchange information
and idea through question and responses, resulting in communication and joint
contruction of meaning about particular topic”. Wawancara adalah merupakan
pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui Tanya jawab,
sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Mengenai
pentingnya mengumpulkan data melalui wawancara ini, Esterberg
mengemukakan bahwa “interviewing is at the heart of social research”
(wawancara merupakan hatinya penelitian ilmu sosial”. Maksud mengadakan
wawancara, seperti yang ditegaskan dalam Lincoln dan Guba dalam Moleong
(2007, hlm. 186), antara lain mengkonstruksi mengenai orang, kejadian,
organisasi, perasaan, motivasi, kepedulian dan lain-lain.
Dalam hal ini, pewawancara merupakan peneliti itu sendiri sebagai
human instrument membuat draf pertanyaan-pertanyaan, baik berupa
wawancara berstruktur yang menginginkan jawaban responden sesuai data-data
yang diperlukan dalam penelitian, maupun wawancara semi berstruktur, dimana
pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun tidak mengarah kepada hal-hal
sensitif terwawancara. Pewawancara hendaknya dapat memodifikasi dengan
teknik wawancara yang baik, dengan sentuhan lembut pewawancara agar
memiliki kedekatan dengan responden, sehingga responden memiliki
fleksibilitas cakupan wilayah wawancara yang terkadang diperlukan dalam
data-data penelitian, namun pewawancara harus dapat jeli mengontrol waktu
agar sesuai dengan perencanaan yang sudah dibuat peneliti (Smith, 2009, hlm.
109).

25
C. Dokumentasi
Data verbal merupakan data yang diperoleh melalui percakapan atau
tanya jawab yang ditulis dan direkam dengan persetujuan responden itu sendiri.
Data dalam penelitian naturalistik kebanyakan diperoleh dari sumber manusia
atau human resources, melalui observasi dan wawancara (Nasution, 1992, hlm.
85). Sementara, Lincoln dan Guba (1985, hlm, 276-277) mengatakan bahwa
dokumentasi dan catatan digunakan sebagai pengumpulan data didasarkan pada
beberapa hal yakni;
1. Dokumen dan catatan ini selalu dapat digunakan terutama karena mudah
diperoleh dan relativ lebih mudah.
2. Merupakan sumber informasi yang baik dalam pengertian merefleksikan
situasi secara akurat maupun dapat dianalisis ulang tanpa melalui perubahan
didalamnya.
3. Dokumen dan catatan merupakan sumber informasi yang kaya.
4. Keduanya merupakan sumber resmi yang tidak dapat disangkal, yang
menggambarkan kenyataan formal.
5. Tidak seperti pada sumber manusia, baik dokumen maupun catatan non
kreatif, tidak memberikan reaksi dan respon atau pelakuan peneliti.
Penelitian ini dilakukan mengenai bagaiamana kemampuan guru
dalam pembelajaran sejarah lokal ke PUI an, dan informasi-informasi yang
berguna terhadap impelementasinya sejarah lokal ke PUI an disekolah. Dalam
penelitian ini tentunya peneliti sangat berkepentingan dengan dokumen,
misalnya:
a. Dokumen kurikulum : Silabus dan RPP ke PUI-an
b. Dokumen Sekolah : Profil sekolah, biodata guru dan profil
sekolah,
buku-buku teks pelajaran yang digunakan
di Madrasah Aliyah Daarul Uluum PUI
Majalengka.
F. Teknik Analisis Data

26
Analisis data pada kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, sampai datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data
ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru. Aktivitas dalam
analisis meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) serta
Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing / verification). (Miles
dan Huberman 1992, hlm.16).

(Miles dan Huberman, 1992, hlm. 20).

1. Reduksi Data (data reduction)


Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan, perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang
muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data berlangsung terus
menerus selama proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung (Miles dan
Huberman, 1992, hlm. 16). Jadi, Reduksi data merupakan rangkuman dalam
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari
tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.

27
Seperangkat reduksi data juga perlu diorganisasikan ke dalam suatu bentuk
tertentu sehingga terlihat secara lebih utuh.
2. Penyajian data (data display)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan
data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori flowchart dan sejenisnya. Yang
paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif
adalah dengan teks yang bersifat naratif. Penyajian data merupakan
sekumpulan informasi tersusun yang dapat memberikan kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan pengambil tindakan (Miles dan Huberman, 1992,
hlm. 17-18).
3. Menarik Kesimpulan/ Verifikasi (conclusion drawing / verification)
Kegiatan dalam analisis ketiga yang paling penting adalah menarik
kesimpulan dan verifikasi. Dalam menarik kesimpulan merupakan bagian dari
satu kegiatan dari kobfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan yang ada,
kemudian di Verifikasi selama penelitian ini berlangsung. Verifikasi ini berupa
pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran peneliti selama masa penulisan
(penyusunan dan pengolahan data), tinjauan ulang pada catatan-catatan selama
masa penelitian (di lapangan), tinjauan kembali dengan seksama berupa tukar
pikiran dengan para ahli (pembimbing) untuk mengembangkan kesepakatan
intersubjektif, serta membandingkan dengan temuan-temuan data (Miles dan
Huberman, 1992, hlm. 19).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, (Ed.). (2005). Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press.

28
Ahonen, Sirkka. (2005). Historical Conciousness: A viable paradigm for history
education?. Jurnal of Curriculum Studies. J. Curriculum Studies. 37(6), pp-21-
44.
Ambroise, S.T. (1993). Pendidikan Nilai. Gresindo:Jakarta.
Bogdan, R.C. dan Biklen, K. S. (1990). Riset Kualitatif untuk Pendidikan: Pengantar
ke Teori dan Metode. Jakarta: Pusat antar Universitas Untuk Peningkatan dan
Pengembangan Aktivitas Instruksional Universitas Terbuka.
Castles, Lance. (1982). Tingkah Laku Agama dan Ekonomi: Industri Rokok Kudus.
Jakarta : Sinar harapan.
Faisal, S. (1990). Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: Yayasan
Asih Asah Asuh Malang.
Gottschalk, L. (1975). Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia.
Huberman & Miles, B.M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press
Isjoni. (2007) . Pembelajaran Sejarah. Bandung: Alfabeta.
Ismaun (2005). Pengatar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan.
Bandung: Historia Utama Press.
Mudriah. (2012). Pendidikan Nilai Liliuran Dalam Masyarakat Suku Baduy Melalui
Pembelajaran Sejarah. Tesis. UPI: Bandung: Tidak diterbitkan.
Hasan, S.H. (2012). Pendidikan sejarah Indonesia isu dalam ide dan pembelajaran.
Bandung : Rizqi Press.
Kartodirdjo, Sartono . (1992). “Fungsi Sejarah Dalam Pembangunan Nasional”.
Dalam Historika No. 1. Surakarta: Program Pasca Sarjana Pendidikan
Sejarah Universitas Negeri Jakarta KPK Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
.(1987). Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Bandung:


PT. Refika Aditama.
Kuntowijoyo. (1995). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Bentang
Budaya.

29
Koentjaraningrat. (1997). Metode Wawancara: Dalam Koentjaraningrat (Ed.).
Metode-Metode Penelitian Masyarakat: Jakarta: Gramedia
Lincoln, Y.S dan Guba, E.G. (1985). Naturalistic inquiry. Baverly Hills, London,
New Delhi: Sage Publication.
Moleong, L.J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, A. & R. Gunawan (Eds) (2007). Sejarah Lokal: Penulisan dan
Pembelajaran di Sekolah. Bandung: Salamina Press.
Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Noor, Yusliani. (1995). Sejarah: Dalam Wahyu (ed.). 1995. Pengantar Ilmu-Ilmu
Sosial. Bajarmasin: Lambung Mangkurat University Press.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Sekolah Menengah Atas.
Jakarta: Depdiknas.
Putro, H.P.N. (2006). Model Pembelajaran Sejarah Untuk Meningkatkan Kesadaran
Sejarah Melalui Pendekatan Inkuiri: Studi Pembelajaran Pada Siswa
SMP Negeri di Kota Banjarmasin-Kalimantan Selatan.
Sanjaya, W. (2005). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Edisi Pertama Cetakan Kedua, Kencana Prenada Group,
Jakarta.
Schwartz, S. H. (1999). Cultural value differences: Some implications for work.
Applied Psychology: An International Journal. 32, (05), pp. 23-47.
Sjarkawi. (2008) Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara.
Supardan, D. (2004). Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan
Perspektif Sejarah, Nasional, Global untuk Integrasi Bangsa. Disertasi Doktor
pada SPS. UPI. Bandung: tidak diterbitkan.
Soedjatmoko. (1990). Kesadaran Sejarah dalam Pembangunan” dalam. Dimensi
Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Suseno, F.M. (2002). 12 Tokoh Etika Abad ke20. Yogyakarta : Kanisius

30
Strauss, Anselm dan, Corbin, J. (2003). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.
Yogjakarta: pustaka Pelajar.
Wanta. (1991). Tujuan dan Pola Dasar Pendidikan PUI Seri IV. Majalengka:
Pengurus Besar Persatuan Umat Islam.
.(1991). Persatuan Umat Islam (PUI) Pergerakn Aliran Modern Seri
VIII. Majalengka: Pengurus Besar Persatuan Umat Islam.
Wasino. (2007). “Kapitalisme dan Kapitalis Orang Jawa Dalam Perspektif Sejarah”.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Unnes. Semarang. 15 Mei
2007.
. (2005). Sejarah Lokal dan Pengajaran Sejarah di Sekolah. Jurnal
Paramita. 15 (1),pp. 1-21.
Widja, I.G. (1989). Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
.(1989). Pengantar Ilmu Sejarah dalam Perspektif Pendidikan.
Semarang: Satya Wacana.
Wiriaatmadja, R. (1998). Landasan Filosofis Kurikulum Pembelajaran Sejarah
(SMU) Tantangan dan Harapan. Simposium Pembelajaran Sejarah.
Jakarta: Depdikbud.
Wiraatmadja. Rochiati. (2017). Pendidikan Nilai Dalam Pembelajaran Sejarah.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Tim Pengembang Kurikulum. (2014). Kurikulum ke PUI an Tingkat SMA/MA/SMK.
Dinas Pimpinan Daerah Kabupaten Majalengka.

31

Anda mungkin juga menyukai