Teori Out of Africa sering juga disebut sebagai Replacement Theory adalah Teori yang
menganggap bahwa Homo erectus tertentu di Afrika adalah nenek moyang manusia
modern.
Model ini mengatakan bahwa manusia modern ini berevolusi di suatu daerah di Afrika
kemudian para keturunannya bergerak dengan cepat ke seluruh pelosok dunia,
menggantikan populasi yang telah ada sebelumnya.
Di Afrikalah jalur Homo sapiens dilahirkan, dan sejak saat itu mereka keluar dan Afrika
dalam berbagai gelombang migrasi, mendiami sudut-sudut dunia yang belum
terjangkau sebelumnya. Konsekuensi dari pendapat ini adalah Homo sapiens paling
awal hanya ada di Afrika, dan bentuk-bentuk peralihan dari Homo erectus menjadi
Homo sapiens hanya ditemukan di Afrika juga. Bentuk-bentuk Homo sapiens awal di
luar Afrika hanya dianggap sebagai spesies terpisah yang kemudian punah.
BAGIAN PERTAMA
Tersebutlah dalam kitab-kitab suci bangsa Timur Tengah bahwa Adam, yang dianggap
sebagai manusia pertama dan Nabi pertama, mulai mengembangkan generasinya
bersama Siti Hawa, Nenek Moyang Manusia yang ditemukan kembali setelah
didamparkan di daerah India dari Surga.
Bangsa Semetik kemudian menurunkan Bangsa Arab dan Israel yang selalu berperang.
Khabarnya perpecahan kedua bangsa ini dimulai sejak Nabi Ibrahim.
Bangsa Syam yang kemudian dikenal sebagai ras Aryan, menurunkan Bangsa Yunani
dan Roma yang menjadi cikal bakal Eropa (Hitler merupakan tokoh ras ini yang ingin
memurnikan bangsa Aryan di samping Bangsa Braminik yang chauvinistik dan menjadi
penguasa kasta tinggi di agama Hindu), Nordik, Patan, Kaukasian, Slavia, Persia (Iran)
dan India Utara (semisal Punjabi, Kashmir dan Gujarat) berkulit putih serta bule-bule lain
sebangsanya.
Bangsa Negroid menurunkan bangsa Afrika dan beberapa bangsa berkulit hitam
lainnya di dunia seperti Bangsa Dravidian (India berkulit Hitam), Papua, Samoa, Aborigin
di Autralia, Asmat dan bangsa lain yang hidup di kepulauan Polinesia, Samudera Pasifik.
Bangsa Tatar menurunkan Ras Mongoloid yang terdiri dari bangsa Mongol; Cina,
Korea, Uzbek, Tazik, Kazakh, Kazan di Rusia, bangsa Nomad penghuni Kutub Utara dan
Selatan bermata cipit, Hokkian yang menjadi Konglomerat dan Mafia di Indonesia serta
Bangsa Maya, Suku Indian dan lain sebagainya yang menjadi penduduk asli benua
Amerika dan yang kedua; Ras Austronesia, yang menyebar di Madagaskar, Afrika, Batak;
Proto Malayan dan Neo Malayan; Melayu, Jawa dan lain-lain.
Penyebaran populasi manusia terjadi paska “Tsunami” pertama atau dikenal sebagai
Banjir Bah di jaman Nabi Nuh AS. Di jaman ini pula ada sebuah komunitas manusia yang
konon mempunyai tinggi badan 15-30 meter punah ditelan banjir karena
kesombongannya. Peneliti antropologi Amerika di awal abad 20 menemukan kembali
bangsa ini di pedalaman Afrika, namun lokasinya dirahasiakan oleh pihak militer yang
tertarik untuk mengambil sampel komunitas ini untuk rekayasa gen tentara AS.
Penelitian juga diarahkan untuk menghidupkan kembali Bangsa Dinosaurus, sejenis
binatang purba, yang juga mati tenggelam karena tidak sempat dan tidak ‘muat’
dimasukkan di kapal Nabi Nuh.
BAGIAN KEDUA
TAHUN 3000-1000 SM
Bangsa Batak yang merupakan bagian dari Ras Proto Malayan hidup damai bermukim di
perbatasan Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas tersebut yang
kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah kelompok Bangsa Karen, Toradja, Tayal,
Ranau, Bontoc, Meo serta trio Naga, Manipur, Mizoram. Tiga yang terakhir ini sekarang
berwarga negara India. Adat istiadat mereka dan aksesoris pakaian yang dimiliki sampai
sekarang masih mirp dengan pakaian Batak, misalnya pernik dan warna ulos.
Sifat dominan dari ras ini adalah kebiasaan hidup dalam splendid isolation di lembah
lembah sungai dan di puncak-puncak pegunungan. Mereka sangat jarang membuat
kontak bersifat permanen dengan pendatang yang berasal dari komunitas lainnya
misalnya komunitas yang berada di tepi pantai, pesisir, yang saat itu banyak dipengaruhi
oleh ideologi yang berbeda dengan mereka, misalnya Hinduisme (Yang disinyalir
sebagai ajaran turunan dari agama Nabi Nuh AS), Zoroaster, Animisme gaya Yunani dan
Romawi dan juga paham-paham baru seperti Buddha, Tao dan Shintoisme
Sifat tersebut masih membekas dan terus dipertahankan oleh orang-orang Batak hingga
abad 19. Sampai saat ini, diperkirakan suku bangsa yang berasal dari ras ini masih
mempertahankan kebiasaan ini, terutama Bangsa Tayal, bangsa pribumi di Taiwan,
Orang-orang Bontoc dan batak Palawan penghuni pertama daerah Filipina.
TAHUN 1000 SM
Bangsa Mongol yang dikenal bengis dan mempunyai kemajuan teknologi yang lebih
tinggi berkat hubungan mereka yang konsisten dengan berbagai bangsa mulai bergerak
ke arah selatan. Di sana, keturunan mereka menyebut dirinya Bangsa Syan dan
kemudian menciptakan komunitas Burma, Siam (Thai) dan Kamboja yang kemudian
menjadi cikal-bakal negara.
Ras Proto Malayan mulai terdesak. Ketertutupan mereka menjadi bumerang karena
teknologi mereka tidak up to date. Sebagian dari mereka kemudian mulai meninggalkan
daerah-daerah tersebut, menempuh perjalanan untuk mencari daerah baru bahkan ke
seberang lautan, di mana mereka akan menikmati hidup dalam ‘splendid isolation’
kembali.
Yang lain, Bangsa Ranau terdampar di Lampung. Bangsa Karen tidak sempat
mempersiapkan diri untuk migrasi, mereka tertinggal di hutan belantara
Burma/Myanmar dan sampai sekarang masih melakukan pemberontakan atas dominasi
Suku Burma atau Myamar yang memerintah.
Yang pertama mendarat di Nias, Mentawai, Siberut dan sampai ke Pulau Enggano.
Gelombang kedua terdampar di muara Sungai Simpang. Mereka kemudian bergerak
memasuki pedalaman Pulau Andalas menyusuri sungai Simpang Kiri dan mulai
mendirikan tempat di Kotacane. Komunitas ini berkembang dan membuat identitas
sendiri yang bernama Batak Gayo. Mereka yang menyusuri Sungai Simpang Kanan
membentuk Komunitas Batak Alas dan Pakpak. Batak Gayo dan Alas kemudian
dimasukkan Belanda ke peta Aceh.
BAGIAN KETIGA
Mainstream dari Suku bangsa Batak mendarat di Muara Sungai Sorkam. Mereka
kemudian bergerak ke pedalaman, perbukitan. Melewati Pakkat, Dolok Sanggul, dan
dataran tinggi Tele mencapai Pantai Barat Danau Toba. Mereka kemudian mendirikan
perkampungan pertama di Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong Mulana di seberang
kota Pangururan yang sekarang. Mitos Pusuk Buhit pun tercipta.
Masih dalam budaya ‘splendid isolation’, di sini, Bangsa Batak dapat berkembang
dengan damai sesuai dengan kodratnya. Komunitas ini kemudian terbagi dalam dua
kubu. Pertama Tatea Bulan yang dianggap secara adat sebagai kubu tertua dan yang
kedua; Kubu Isumbaon yang di dalam adat dianggap yang bungsu.
Sementara itu komunitas awal Bangsa Batak, jumlahnya sangat kecil, yang hijrah dan
migrasi jauh sebelumnya, mulai menyadari kelemahan budayanya dan mengolah hasil-
hasil hutan dan melakukan kontak dagang dengan Bangsa Arab, Yunani dan Romawi
kuno melalui pelabuhan Barus. Di Mesir hasil produksi mereka, kapur Barus, digunakan
sebagai bahan dasar pengawetan mumi, Raja-raja tuhan Fir’aun yang sudah meninggal.
Tentunya di masa inilah hidup seorang pembawa agama yang dikenal sebagai Nabi
Musa AS.
Dinasti Sorimangaraja terdiri dari orang-orang bermarga Sagala cabang Tatea Bulan.
Mereka sangat disegani oleh Bangsa Batak di bagian selatan yang keturunan dari Tatea
Bulan.
Dengan bertambahnya penduduk, maka berkurang pula lahan yang digunakan untuk
pertanian, yang menjadi sumber makanan untuk mempertahankan regenerasi. Maka
perpindahan terpaksa dilakukan untuk mencari lokasi baru. Alasan lain dari perpindahan
tersebut adalah karena para tenaga medis kerajaan gagal membasmi penyakit menular
yang sudah menjangkiti penduduk sampai menjadi epidemik yang parah.
Satu kerajaan lain yang berdiri di era ini adalah Kerajaan Hatorusan yang didirikan oleh
Raja Uti di Sianjur Mula-mula. Pusat kerajaan kemudian dipindahkan ke Barus dan Sigkil.
Raja Uti adalah cucu langsung Si Raja Batak dari anaknya Guru Tatebulan.
Orang-orang Mesir (masa Ramses) mengunjungi tanah Batak, tepatnya, Barus untuk
membeli kapur barus. Sumber-sumber sejarah Yunani, misalnya dari Ptolomeus abad
ke-2 SM mengatakan bahwa kapal-kapal Athena telah singgah di kota Barus pada abad-
abad terakhir sebelum tibanya tarikh Masehi.
Ptolomeus membicarakan Barus sebanyak lima kali di dalam laporannya dengan
pandangan negatif terhadap penduduk pribumi Sumatera, khususnya orang Batak yang
dikatakannya sebagai orang-orang kanibal (Wolters hal. 9; Krom h. 57-59)
Begitu pula rombongan kapal Fir’aun dari Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus
antara lain untuk membeli kapur barus (kamper), bahan yang sangat diperlukan untuk
pembuatan mummi. Mereka adalah orang-orang Arab pra-Islam Funisia, Kartago yang
sekarang menjadi Libya dan Mesir, Afrika Utara.
TAHUN 100 SM
Sementara itu di pedalaman Batak, Sianjur Mula-mula beberapa kerajaan huta telah
berdiri. Tahun 100 SM Kerajaan Batahan Pulo Morsa eksis. Kerajaan ini memakai
sistem raja na opat atau raja berempat yang terdiri; Pulo Morsa Julu, dengan Raja Suma
Hang Deha, Pulo Morsa Tonga, Raja Batahan Jonggi Nabolon, Pulo Morsa Jau dengan
Raja Situan I Rugi-rugi dan Pulo Morsa Jae dengan Raja Umung Bane. Kerajaan ini
bertahan selama 24 keturunan.
TAHUN 450
Daerah Toba telah diolah dan dikelola secara luas oleh rakyat kerajaan tersebut. Mereka
yang dominan terutama dari kubu Isumbaon, kelompok marga Si Bagot Ni Pohan, Di
daerah ini bermukim juga kaum Tatea Bulan yang membentuk kelompok minoritas
terutama dari marga Lubis.
Sebagian dari Lubis terdesak ke luar Toba dan merantau ke selatan. Sebagain lagi
menetap di Toba dan Uluan hingga kini. Keturunannya di Medan mendirikan banyak
lembaga sosial terutama Pesantren Modern Darul Arafah di Pinggiran Kota Medan.
TAHUN 497
Para pengikut parmalim menyakini bahwa tahun 497 M atau 1450 tahun Batak,
merupakan tahun kebangkitan pemikiran keagamaan di kepemimpinan Raja-raja Uti.
Raja Uti dinobatkan sebagai Tokoh Spiritual Batak dan Rasul Batak
Orang-orang Cina datang ke Barus. Orang Cina mengenal Barus dengan istilah P’o-lu-
shih yang berarti pelabuhan peng-expor kapur. Sebuah itilah yang berasal dari kata Cina
yang berarti harum: “P’o-lu” (Drakard 1993:3). Dalam teks-teks Cina pada zaman Dinasti
Liang (502-557), saat itu, kapur dikenal dengan nama “obat salap dari P’o-lu atau Barus”
atau P’o-lu-shih .
Pada abad ke-7, utusan dagang kerajaan Barus Hatorusan berangkat dari barus menuju
ke Cina membicarakan perdagangan bilateral antara Sumatera dan Cina (Wolters 33).
Simalungun merupakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan
magma tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra
sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil
membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak;
Pohon Karet.
Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid lainnya yang
mengusir mereka dari daratan benua Asia; orang-orang Cina yang sudah pintar
berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan yang
sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku
bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi
bajak laut di Lautan Cina Selatan.
Di daerah pesisir Barat, Barus, kota maritim yang bertambah pesat yang sekarang masuk
di Kerajaan Batak mulai didatangi pelaut-pelaut baru, terutama Cina, Pedagang Gujarat,
Persia dan Arab. Pelaut-pelaut Romawi Kuno dan Yunani Kuno sudah digantikan oleh
keturunan mereka pelaut-pelaut Eropa yang lebih canggih, dididikan Arab Spanyol.
Islam mulai diterima sebagai kepercayaan resmi oleh sebagian elemen pedagang
Bangsa Batak yang mengimpor bahan perhiasan dan alat-alat teknologi lainnya serta
mengekpor kemenyan komoditas satu-satunya tanah Batak yang sangat diminati dunia.
Islam mulai dikenal dan diterima sebagai agama resmi orang-orang Batak di pesisir;
khusunya Singkil dan Barus.
TAHUN 600 - 700
Sriwijaya menjajah Barus. Sementara itu laporan Cina yang lain mengatakan bahwa
Sriwijaya pada abad ke-7 dan 8 merupakan kerajaan ganda satu diantaranya ialah Barus
(Wolters 9). Diyakini lokasi strategis Barus dan volume perdagangan di wilayah tersebut
membuat kerajaan Hatorusan terlibat dalam pertikaian politik dengan kerajaan Sriwijaya
dari Sumatera Selatan dan Jawa, sehingga saling menganeksasi.
Hubungan Barus dengan Sriwijaya dibicarakan di dalam kitab Sunda lama “Carita
Parahyangan” yang mengatakan bahwa Barus merupakan daerah taklukan dari Raja
Sanjaya, raja Sumatera dari Sriwijaya yang berkuasa di Jawa dan mendirikan candi
Borobudur (Krom 126).
Dari prasasti prasasti Kerajaan Sriwijaya, yaitu Prasasti Kota Kapur, diketahui bahwa
kerajaan ini berdiri pada abad ke-7 dan pendirinya disebut Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
Sejak awal didirikan, Sriwijaya diperkirakan telah berhasil menguasai Sumatera bagian
selatan, Bangka dan Belitung, dan Lampung. Sri Jayanasa bahkan mencoba untuk
melancarkan ekspedisi militer menyerang Jawa yang dianggap tidak mau berbakti
kepada raja Sriwijaya.
Pada masa kejayaannya, Sriwijaya mengontrol perdagangan di jalur utama Selat Malaka
dan daerah kekuasaannya meliputi Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya,
Sumatera, dan sebagian Jawa
Berikut ini daftar raja-raja yang diduga kuat pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya.
Puncak kejayaan Kerajaan Sriwijaya dapat diraih pada masa pemerintahan Raja
Balaputradewa. Kejayaan Sriwijaya dapat dilihat dari keberhasilannya di beberapa
bidang, seperti bidang maritim dengan menguasai jalur perdagangan melalui Selat
Malaka, Selat Sunda, dan Semenanjung Malaya. Rakyatnya pun hidup dengan makmur
karena kerajaan mendapatkan banyak pemasukan dari pajak kapal-kapal dagang yang
melintas. Untuk menjaga stabilitas kerajaan, dibangunlah armada laut yang kuat supaya
dapat mengatasi gangguan di jalur pelayaran. Sriwijaya juga menjalin menjalin
hubungan perdagangan dengan India, Cina, dan bangsa-bangsa lain. Selain menonjol di
bidang maritim, Kerajaan Sriwijaya juga maju di bidang politik, ekonomi, dan agama. Di
bidang politik, Sriwijaya dianggap sebagai kerajaan nasional pertama karena wilayah
kekuasaannya sangat luas. Raja Balaputradewa juga menjalin hubungan erat dengan
Kerajaan Benggala yang kala itu dipimpin oleh Raja Dewapala Dewa. Raja ini
menghadiahkan sebidang tanah kepada Balaputradewa untuk mendirikan asrama bagi
para pelajar dan siswa yang sedang belajar di Nalanda. Hal tersebut menandakan
Balaputradewa memerhatikan ilmu pengetahuan bagia generasi mudanya.
Setelah itu, Kerajaan Medang dari Jawa menyerang Sriwijaya pada 990-an. Munoz (2006)
menerangkan, serangan ini terjadi pada 988 hingga 992, tepat ketika Sri Cudamani
Warmadewa memimpin. Akan tetapi, Sriwijaya berhasil memukul mundur musuhnya
saat itu. Memasuki abad ke-11, Sriwijaya mendapatkan serangan lagi oleh pihak
Kerajaan Chola dari India Selatan.
Turunnya kekuatan Sriwijaya dalam bertahan hidup lebih diperparah ketika masuknya
Islam di Aceh. Pada abad ke-13, Kerajaan Samudera Pasai hadir di bagian Sumatera
bagian utara dan menjadi pusat perdagangan. Menurut catatan Cina, Sriwijaya
menyisakan kekuasaan di sekitar Palembang yang saat itu bernama Kerajaan
Palembang. Kabar terakhir dari kerajaan ini ke pihak luar ketika mengirim utusan ke Cina
pada 1374 dan 1375. Faktanya, kerajaan di Palembang ini akhirnya hancur pada 1377
karena diserang oleh Kerajaan Majapahit.
TAHUN 850
Kelompok Marga Harahap dari Kubu Tatea Bulan, bekas populasi Habinsaran bermigrasi
massal ke arah Timur. Menetap di aliran sungai Kualu dan Barumun di Padang Lawas.
Kelompok ini sangat hobbi berkuda sebagai kendaraan bermigrasi.
Karena ini, dalam jangka waktu yang singkat, sekitar dua tahun, mereka sudah
menguasai hampir seluruh daerah Padang Lawas antara sungai Asahan dan Rokan.
Sebuah daerah padang rumput yang justru sangat baik untuk mengembangbiakkan
kuda-kuda mereka.
Sebagain dari kelompok marga ini, melalui Sipirok, menduduki daerah Angkola dan di
sini tradisi mengembala dan menunggang kuda hilang, mereka kembali menjadi
komunitas agraris. Sementara di Padang Lawas mereka menjadi penguasa feodalistik
dan mulai memperkenalkan perdagangan budak ke Tanah Batak Selatan.
TAHUN 851
Laporan Sulaiman pada tahun 851 M membicarakan tentang penambangan emas dan
perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36).
TAHUN 900
Marga Nasution mulai tebentuk di Mandailing. Beberapa ratus tahun sebelumnya, sejak
tahun-tahun pertama masyarakat Batak di sini, disinyalir saat itu zaman Nabi Sulaiman
di Timur Tengah (Buku Ompu Parlindungan), perbauran penduduk dengan pendatang
sudah menjadi tradisi di beberapa tempat, khusunya yang di tepi pantai.
Penduduk dataran tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu (dikenal
dengan sebutan Singkuang atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan terutama elemen-
elemen bangsa Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang singgah sebelum berlayar berdagang
menuju Madagaskar, telah berasimilasi dengan penuh toleransi dengan bangsa Batak.
Para pendatang tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat Dalihan Natolu
agar dapat mempersunting wanita-wanita setempat setelah puluhan tahun di tengah
laut. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan dari Toba, seorang yang disegani saat itu,
menyatukan mereka; campuran penduduk peribumi dan pendatang tersebut,
membentuk marga Nasution.
Sementara itu perebutan kekuasaan terjadi di Pusat Pemerintahan Kerajaan batak,
martua Raja Doli dari Siangjur Sagala Limbong Mulana dengan pasukannya merebut
wilayah Lottung di Samosir Timur. Percampuran keduanya membentuk kelompok Marga
Lottung Si Sia Marina, yang terdiri atas; Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Pandiangan,
Simatupang, Aritonang dan Siregar.
Ibnu Rustih, mengunjungi Barus kurang lebih pada tahun 900 M, menyebut Fansur,
nama kota di Barus, sebagai negeri yang paling masyhur di kepulauan Nusantara
(Ferrand 79).
TAHUN 902
Raja Rajendra Chola I mengirim pasukan dan berhasil menduduki beberapa daerah
kekuasaan Sriwijaya. Penyerangan ini terjadi ketika Sangrama-Vijayottunggawarman
memimpin Sriwijaya. Secara perlahan, Chola berhasil mempengaruhi kekuasaan raja
baru. Menurut Sastri K. A. N dalam The Cholas (1935), beberapa kerajaan bawahan
Sriwijaya yang telah ditaklukan boleh memerintah, namun tetap harus tunduk pada
pihak Chola. Akibatnya, kekuatan Sriwijaya berkurang.
TAHUN 1024
Raja Rajendra Cola Dewa dari negeri Cola menyerbu negeri Batak, hal ini kabarnya
disebabkan ketersinggungan Raja Cola Dewa I atas hubungan dagang antara Kerajaan
Batak Tua dengan Kerajaan Ming pada waktu itu, dan pada tahun 1029 Kerajaan Batak
Tua dapat ditaklukkan setelah berperang selama 5 tahun. Raja negeri Batak ditangkap,
tetapi tidak dibunuh; negeri itu ditinggalkan begitu saja tanpa pemerintahan.
TAHUN 1030
Barus di sebut sebagai kota tertua di Nusantara, karena mengingat dari seluruh kota di
Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal masehi oleh
literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan sebagainya
Raja Mula digantikan oleh anaknya, yaitu Raja Donia, kemudian Raja Donia digantikan
oleh anaknya Raja Sorimangaraja Batak I (Sorimangaraja = Sri Maharaja). Raja
Sorimangaraja Batak I digantikan oleh anaknya yang kedua bernama Nasiak
Dibanuadan Nasiak Dibanua digantikan oleh anaknya, bergelar Sorimangaraja Batak II.
Tradisi awal para Raja Batak Barus selalu mengambil isteri dari keluarga Raja Malim;
kebiasaan ini bertujuan demi menjaga keserasian pemerintahan (Konstelasi politik); Raja
Sorimangaraja Batak II memperisterikan putri Raja Malim juga, yang melahirkan lima
orang putra baginya;
1. Siraja Bahar
2. Sinambeuk
3. Si Pakpak
4. Jonggolnitano
5. Raja Mangisori yang juga disebut Nagaisori.
Dari 5 orang putra Raja Sorimangaraja Batak II, hanya Sinambeuk yang mengambil
isteri dari keluarga Raja Malim, yaitu saudara perempuan dari Raja Malim Mutiaraja.
Dari perkawinannya itu, Sinambeuk memperoleh seorang putra yang dinamakan Si Raja
Batak; dia inilah yang kelak dikemudian hari mendirikan perkampungan Sianjur
Mulamula di tanah Toba.
Pada masa pemerintahan Raja Sorimangaraja Batak II, orang Melayu Pagarruyung
menyerbu Kerajaan Batak Barus; mereka dibantu oleh para saudagar Islam yang
datang dari Gujarat ;perang itu memakan banyak korban. Melihat situasi yang tidak
menguntungkan itu, Raja Sorimangaraja Batak II telah memperhitungkan, bahwa dia
akan kalah perang, dengan cepat dialihkan kekuasaan pemerintahannya kepada Raja
Malim Mutiaraja keponakannya itu (Paraman), dengan perjanjian setelah situasi sudah
kondusif, kerajaan itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Mereka mengikat perjanjian
itu dengan suatu ikhar tanda barang pusaka, yang mereka namakan
“Tabutabu sitara pullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang,” (Dari
mana datangnya, harus kesitu juga kembalinya)
Sejak peristiwa pengalihan kekuasaan itu, Raja Mutiaraja memegang dua tampuk
kepemimpinan, yaitu: selaku pimpinan agama disebut Raja Malim dan selaku Kepala
pemerintahan (Sirajai Jolma), disebut Raja Uti. Pada awalnya, gelaran Kepala
pemerintahan itu disebut Raja Unte (baca: Utte), hal ini berkaitan dengan kebiasaan
Raja Mutiaraja selaku pimpinan agama (Raja Malim) yang selalu mempergunakan Jeruk
purut (Unte pangir) didalam upacara-upacara keagamaan. Disebut juga Mutiaraja itu
dengan sebutan Raja Mangalambung yang arti harfiahnya, menyamping/dari samping,
karena dia bukan dari ahli waris.
Keturunan Jonggol ni Tano yang memperanakkan Raja Pandudu dan Raja Mante
(Mantela) bermukim di Aceh Pidie (apakah Pidie dari kata Pudi ? ).
Keturunan Nagaisori (Raja Mangisori), bermukim di Daerah Singkil & Tapak Tuan.
Dan perkembangan agama Islam di Barus sangat pesat. Orang Batak yang pertama
masuk agama Islam di Barus adalah seorang guru pencak silat, bernama Guru
Marnangkok; dan banyaklah orang Batak masuk memeluk agama Islam di Barus. Setelah
penaklukan Kerajaan Barus, penguasa negeri itu dan para saudagar Islam negeri baru
berbasis Islam yang mereka namakan Negeri Fansur, orang Batak meyebutnya Pansur.
(baca: Paccur).
TAHUN 1050
Kemasyhuran Barus juga mengundang imigran asing bermukim dan berdagang serta
menjadi buruh di beberapa sentral industri. Sebuah inskripsi Tamil bertarikh 1088 M dari
zaman pemerintahan Kulottungga I (1070-1120) dari kerajaan Cola menyebut Barus
terletak di Lobu Tua, dan banyak orang Tamil tinggal di kota ini sebagai saudagar dan
pengrajin (Krom 59-60).
Guru Marsakkot Pardosi, Salah satu Dinasti Pardosi di Barus menjadi Raja di Lobu Tua,
Barus. Nenek moyangnya berasal dari Tukka, Pakkat di Negeri Rambe yang datang dari
Balige, Toba.
Pada permulaan abad ke-12, seorang ahli geografi Arab, Idrisi, memberitakan mengenai
ekport kapur di Sumatera (Marschall 1968:72). Kapur bahasa latinnya adalah camphora
produk dari sebuah pohon yang bernama latin dryobalanops aromatica gaertn. Orang
Batak yang menjadi produsen kapur menyebutnya hapur atau todung atau haboruan.
Beberapa istilah asing mengenai Sumatera adalah al-Kafur al-Fansuri dengan istilah latin
Canfora di Fanfur atau Hapur Barus dalam bahasa Batak dikenal sebagai produk terbaik
di dunia (Drakard 1990:4) dan produk lain adalah Benzoin dengan bahasa latinnya
Styrax benzoin. Semua ini adalah produk-produk di Sumatera Barat Laut dimana
penduduk aselinya dalah orang-orang Pakpak dan Toba.
Kerajaan Nagur tetap eksis di hulu sungai Pasai. Marah Silu, Raja huta Kerajaan Nagur,
mantan prajurit/pegawai Kesultanan Daya Pasai saat itu, masuk Islam dan mengganti
namanya menjadi Sultan Malik Al Shaleh. Di atas puing-puing kerajaan Nagur tersebut,
sang Raja, yang aseli Batak Gayo, berhasil melakukan ekspansi dan mendirikan Kerajaan
Samudera Pasai sekaligus menjadikannya sebagai Sultan pertama.
Kerabat Sultan Malik Al Shaleh, yakni Syarif Hidayat Fatahillah merupakan tokoh yang
mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan
Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang
berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis.
Sultan Malik Al Shaleh sendiri lahir di Nagur, di tanah Batak Gayo. Dia adalah mantan
prajurit Kesultanan Daya Pasai, sebuah kerajaan yang berdiri di sisa-sisa kerajaan Nagur
atau tanah Nagur. Nama lahirnya adalah Marah Silu. Marah berasal dari kata Meurah
yang artinya ketua. Sedangkan Silu adalah marga Batak Gayo.
Sepeninggalannya (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-
1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di Barumun dan
mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299.
Sultan Marah Pangsu Pardosi naik tahta, memerintah di Barus Hulu yang mencakup
beberapa negeri diantaranya Negeri Rambe, menggantikan ayahnya Sultan Mualif
Pardosi, (700 - 710 H). Kakeknya Sultan Kadir Pardosi merupakan turunan pertama, dari
Dinasti Pardosi, dari Tukka, yang masuk Islam.
Dinasti Pardosi sejak dahulu kala sampai abad ke-19 adalah:
TAHUN 1292
Pada abad-13 Ibnu Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan dagang
utama untuk wilayah Sumatera (Ferrand 112). Marco Polo mengunjungi Sumatera pada
tahun 1292 M, dan menulis bahwa Barus merupakan sebuah kerajaan, yang agak
tergantung kepada Cina, tetapi merupakan pelabuhan rempah-rempah yang penting
dan memiliki otonomi (Krom 339).
TAHUN 1293 – 1339
Prapanca, seorang pujangga Majapahit abad ke-14, yang masyhur mengatakan di dalam
Negara Kertagama bahwa Barus merupakan salah satu negeri melayu yang penting di
Sumatera. Negeri Barus menjadi terkenal karena masyarakat Batak di Sumatera saat itu,
Batak Pesisir, menggunakan bahasa melayu sebagai Lingua Franca.
TAHUN 1339
Pasukan Majapahit di bawah komando Perdana Menteri Gajah Mada, mengamuk dan
menghancurkan beberapa kerajaan lain; Kerajaan Haru Wampu serta Kesyahbandaran
Tamiang (sekarang Aceh Tamiang) yang saat itu merupakan wilayah kedaulatan
Samudra Pasai.
Pasukan Samudra Pasai, di bawah komando Panglima Mula Setia, turun ke lokasi dan
berhasil menyergap tentara Majapahit di rawa-rawa sungai Tamiang. Gajah Mada
bersma pengawal pribadinya melarikan diri ke Jawa meninggalkan tentaranya terkepung
oleh pasukan musuh.
TAHUN 1339
Kerajaan Dolok Silo dan Raya Kahean berakulturasi menjadi kerajaan Batak Simalungun,
namun tetap berciri khas Hindu Jawa absolut. Konon kerajaan ini mampu berdiri selama
600 tahun. Menjadi dinasti tertua di kepulauan Indonesia di abad 20. Sekitar 250 tahun
lebih tua dari Dinasti Mataram di Pulau Jawa.
Pada saat yang sama dua kerajaan lain muncul kepermukaan; Kerajaan Siantar dan
Tanah Jawa. Raja di Kerajaan Siantar merupakan keturunan Indrawarman, sementara
Pulau Jawa, dipimpin oleh Raja Marga Sinaga dari Samosir. Penamaan tanah Jawa untuk
mengenang Indrawarman.
BAGIAN KEEMPAT
TAHUN 1345
Si Raja Batak lahir sekitar tahun 1345; dan jika Si Raja Batak berumur 19 tahun
pada waktu menyingkir dari Barus, maka Si Raja Batak diperkirakan tiba di Toba
sekitar tahun 1364.
TAHUN 1350
TAHUN 1364
Si Raja Batak diperkirakan tiba di Toba (dan tinggal menetap di Sianjur Mula
Sagala Limbong)
Pasukan Cina dibawah komando Laksamana Haji Sam Po Bo, Ceng Ho, dalam armada
kapal induk mendarat di Muara Labuh di muara Sungai Batang Gadis. Salah satu misi
mereka yakni mengejar para bandit dari suku Hokkian tercapai. Sebelum berangkat,
pasukan Cengho yang berjumlah ribuah itu mendirikan industri pengolahan kayu dan
sekaligus membuka pelabuhan Sing Kwang atau Singkuang dalam lidah lokal yang
berarti Tanah Baru.
Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam mulai berdatangan ke Sing Kwang dan
berasimilasi dengan penduduk khususnya kelompok marga Nasution. Para Tionghoa
tersebut membeli Kayu Meranti dari pengusaha setempat dan mengirimkannya ke Cina
daratan untuk bahan baku tiang istana, kuil dan tempat ibadah lainnya.
TAHUN 1419 - 1444
Nicolo Di Conti dari Venesia tahun 1419-1444 mengadakan perjalanan ke Barus dan
menyebutkan kapur dalam bukunya. Seorang navigator atau mualim Arab Ahmad bin
Majid menulis dalam bukunya Kitab al-Fawa’id fi usul al-Bahr wa al-Qawaid (c 1489-
1490) bahwa kapur Barus ada di bagian utara Sumatera yaitu antara garis katulistiwa
sampai tiga derajat lintang utara (Marsden 1811: 149f)
Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba, khususnya dari kelompok marga
Marpaung yang bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak
Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau,
Bedagai, Bangun Purba dab Sungai Karang.
Perubahan terjadi di konstalasi politik dunia. Para bajak laut Eropa mulai mencari target
operasi baru di kepulauan Nusantara yang hilir mudik dilalui para pedagang-pedagang
Internasional; Arab, Afrika, India, Gujarat, Punjabi, Yunnan dan tentunya kelompok bajak
laut lokal; Hokkian.
Kelompok Marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas garam ke Tanah Batak
di pantai timur. Splendidi isolation Bangsa batak mulai terkuak. Yang positif bisa masuk
namun tidak yang negatif.
Mesjid pribumi pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak;
Porsea, lebih kurang 400 tahun sebelum mesjid pertama berdiri di Mandailing.
Menyusul setelah itu didirikan juga mesjid di sepanjang sungai Asahan antara Porsea
dan Tanjung Balai. Setiap beberapa kilometer sebagai tempat persinggahan bagi
musafir-musafir Batak yang ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang,
selain sebagai termpat ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan.
Siapapun berhak membeli, tidak ada diskriminasi agama. Toleransi antara Islam dan
agama orang Batak yakni parmalim berlangsung begitu erat dan hangat.
TAHUN 1451
Mazhab Syafii berkembang pesat di Tanah Batak. Khusunya bagi mereka yang mendiami
area Padang Lawas, di daerah Sungai Rokan dan Sungai Barumun. Didirikan mesjid-
mesjid di Daludalu, Tambusai, Langgapayung dan Sunggam.
TAHUN 1508
Kerajaan Haru Wampu yang berpopulasi orang-orang Batak Karo diinvasi oleh
Kesultanan Aceh. Dalam perkembangan politik berikutnya para keturunan Raja Haru
Wampu mendirikan kerajaan baru yang menjadi cikal bakal Kesultanan Langkat.
Kesultanan Haru Delitua tetap eksis di daerah pengairan sungai Deli namun
kedulatannya berada dalam otoritas Kesultanan Aceh. Penduduknya merupakan Batak
Karo yang sudah memeluk agama Islam. Setelah melemahnya dominasi Kesultanan
Aceh, Kesultanan ini bertransformasi menjadi Kesultanan Deli.
Kelompok bajak laut Eropa setelah beberapa lama dikucilkan karena perangai
‘garongnya’ mulai memperkenalkan diri kepada kerajaan-kerajaan nusantara sebagai
‘pedagang damai’. Taktik ini diambil agar mereka dapat melakukan penetrasi ke wilayah
kerajaan untuk pemetaan dan penentuan titik-titik serangan untuk devide et impera.
TAHUN 1510
Dinasti Sori Mangaraja, yang berpusat di Sianjur Limbong Mulana, dikudeta oleh
Kelompok Marga Manullang. Kejayaan dinasti ini, setelah 90 generasi berturut-turut
memerintah, lenyap. Dinasti ini sendiri terdiri dari Kelompok Marga Sagala dari kubu
Tatea Bulan.
TAHUN 1511
Pada permulaan abad-16, Tome Pires-seorang pengembara Portugis- yang terkenal dan
mencatat di dalam bukunya Suma Oriental bahwa Barus merupakan sebuah kerajaan
kecil yang merdeka, makmur dan ramai didatangi para pedagang asing.
Dia menambahkan bahwa di antara komoditas penting yang dijual dalam jumlah besar
di Barus ialah emas, sutera, benzoin, kapur barus, kayu gaharu, madu, kayu manis dan
aneka rempah-rempah.
Seorang penulis Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga mengunjungi Barus pada awal
abad ke-16 dan menulis di dalam bukunya Al-Umdat Al-Muhriya fi Dabt Al-Ulum Al-
Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama pelayaran orang-orang Arab,
Persia dan India. Barus, tulis al-Muhri lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat
terkemuka di pantai Barat Sumatera.
Pada pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi Ali Syalabi juga
berkunjung ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan kota pelabuhan yang
penting dan ramai di Sumatera.
Sebuah misi dagang Portugis mengunjungi Barus pada akhir abad ke-16, dan di dalam
laporannya menyatakan bahwa di kerajaan Barus, benzoin putih yang bermutu tinggi
didapatkan dalam jumlah yang besar. Begitu juga kamfer yang penting bagi orang-
orang Islam, kayu cendana dan gaharu, asam kawak, jahe, cassia, kayu manis, timah,
pensil hitam, serta sulfur yang dibawa ke Kairo oleh pedagang-pedagang Turki dan
Arab. Emas juga didapatkan di situ dan biasanya dibawa ke Mekkah oleh para pedagang
dari Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi, Kanpur, Pidie dan Lampung.
TAHUN 1516 - 1816
Di Daerah Batak Selatan, dengan populasi Tatea Bulan, Dinasti Sori Mangaraja
meneruskan pengaruhnya di Sipirok. Secara de jure diakui oleh masyarakat Marga
Siregar, Harahap dan Lubis. Secara mayoritas masyarakat marga Nasution juga
memberikan pengakuan sehingga Dinasti Sisingamagaraja yang memerintah tanah
Batak seterusnya, berpusat di Bakkara, tidak mendapat pengakuan yang menyeluruh.
Dinasti Sorimangaraja:
TAHUN 1513
Kelompok Marga Tanjung di Pansur, marga Pohan di barus, Batu Bara di Sorkam kiri,
Pasaribu di Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang
merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan Islam dengan kaffah.
Di Jerman, Kaum Protestan melepaskan diri dari hegemoni Gereja Katolik Roma.
TAHUN 1513
Puncak perkembangnya mazhab syiah di Tanah Batak. Dengan ciri khasnya; perayaan
Tabut Hassan dan Hussein. Mereka itu adalah orang-orang Batak di tanah pesisir barat,
Barus, Teluk Sibolga dan Natal. Mereka kebanyakan dari marga Pohan.
Juga pada komunitas Hutagalung, pedagang garam di tepi teluk Sibolga. Pada tahun
921H/1514 didirikan mesjid syiah di kampung Hutagalung, Horian di Silindung.
Komunitas Hutagalung yang menguasai alur perdagangan di teluk Sibolga, sampai ke
daerah Silindung, Humbang dan Pahae ini, mendirikan banyak mesjid di Silindung
sebelum akhirnya diruntuhkan Belanda saat menjajah tanah Batak. Tokoh Hutagalung
yang terkenal saat ini, yang terdokumentasi, adalah Amir Hussin Hutagalung, bergelar
Tuanku Saman lahir 1819 dan meninggal tahun 1837, yang semasa dengan Tuanku Rao;
Amiruddin Sinambela. Ayah dari Tuanku Saman adalah Kulipah Abdul Karim Hutagalung
yang menjadi imam mesjid di Silindung. Yang terakhir ini diyakini telah berubah menjadi
Sunni
Mazhab Syiah juga berkembang di komunitas Batak Karo Dusun di Deli Tua
TAHUN 1520
Raja Manghuntal lahir pada tahun 1520, dan dinobatkan menjadi Raja
Sisingamangaraja I pada tahun 1550 oleh Raja Uti VII di Pulau Munsung Babi.
Berdasarkan silsilah yang sudah baku dikalangan orang Batak Toba, Raja
Manghuntal adalah generasi yang ketujuh dari Si Raja Batak; jika di hitung-hitung satu
generasi adalah 25 (dua puluh lima ) tahun, dalam arti sudah pantas punya anak, maka
Si Raja Batak tentulah sudah lahir, 175 tahun lebih dahulu dari Raja Manghuntal, yaitu
sekitar tahun 1345; dan jika Si Raja Batak berumur 19 tahun pada waktu menyingkir dari
Barus, maka Si Raja Batak diperkirakan tiba di Toba sekitar tahun 1364.
TAHUN 1523
Orang-orang Eropa tidak sabar untuk menjarah Nusantara. Kesultanan Karo Muslim di
Haru Delitua dimusnahkan oleh kaum Portugis. Ratu Putri Hijau, yang mempunyai
hubungan kekeluargaan dengan raja-raja Aceh, tewas. Sambil berzikir sang ratu diikat di
mulut meriam lalu diledakkan. Kebrutalan perang diperkenalkan oleh bangsa Eropa.
Dari Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat Raja Na Opat untuk daerah ini.
Perbedaan institusi perwakilannya tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
geografis dan politik saat itu. Hal yang sama dia melakukannya untuk daerah-daerah
yang lain. Satu instusi lainnya adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai atau
homogen akan berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang berbatasan
langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat kerajaan mendapat
perwakilan yang berbeda.
Insting kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istana Raja-raja Uti
membuatnya memahami betul langkah-langkah politik yang sesuai dengan karakter
sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat menyatukan masyarakat Batak yang
berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan
fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan
harmoni dan kebersamaan.
Selain di bidang politik, Manghuntal juga mendapat sambutan yang positif dari
masyarakat. Masa kecil Manghuntal di Bakkara sebelum dididik di Istana Raja Uti VII
yang baik sangat diingat oleh penduduk sebagai orang yang baik hati, tegas, suka
menjauhi perbudakan, membayar utang orang-orang yang tidak mampu dan lain
sebagainya membuat kharismanya menanjak.
Divine dan Holy; Sisingamangaraja dan keturunanya dianggap sebagai seorang yang
mempunyai sifat ketuhanan dan suci. Dia juga dianggap sebagai maha sakti dan
mempunyai banyak kelebihan.
Immortalitas juga disandingkan kepadanya sebagai raja yang “yang tidak pernah mati
dan tua”-na so olo mate na so olo matua.
Omniscient; Orang Batak percaya bahwa Sisingamangaraja mengetahui semua hal yang
dikatakan dan dilakukan. Mempunyai sahala yang tinggi. Sahala yang dimaksud adalah
kekuatan untuk menunjukkan kemampuan yang tinggi.
TAHUN 1581
TAHUN 1590
Guru Patimpus, cucu dari Sisingamangaraja di Tanah Karo, masuk Islam dan pada
tanggal 1 Juli 1590 atau tahun 998 H, mendirikan kota Medan. Tanggal 1 Juli 1590
menjadi haru jadi kota Medan. Cucu Sisingamangaraja menjadi raja-raja huta di tanah
Karo di bawah bayang-bayang hegemoni Batak Karo (Haru) dan Batak Gayo (Samudera
Pasai dan Kesultanan Aru Barumun).
Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama
Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke
beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung:
Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian
Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan
Datuk Kota Bangun.
Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai dokumen tua
dalam bentuk lempeng–lempeng. Menurut trombo yang ada padanya Raja–raja 12 Kuta
(Hamparan Perak) adalah :
Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap
Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang
ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei.
Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh,
kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab). Orang yang datang dari Jawi itu
adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat
dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun
yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.
Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu
kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura,
akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal
selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun.
Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang
memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan
dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.
Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala
Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang
waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam
persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri
Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu,
kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan.
Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan
Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya
disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.
Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki,
seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus
ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal Al
Qur’an, karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya
Kecik Hafiz.
Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda
kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera
Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari
ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam
daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit
diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit
dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta
berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli
sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz
Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.
Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama
Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah
seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah
Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli
sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan
menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.
Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin
Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dari
Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590)
Angka tahun ini adalah masa pemerintahan Sisingamangaraja II, yang bernama Raja
Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan.
TAHUN 1581
Intelektual lokal mulai tampil ke permukaan. Abdulrauf Singkil terkenal sebagai ulama
dan intelektual di dalam ilmu fiqih, politik dan ilmu sosial lainnya.
Beberapa teorinya antara lain; Penghapusan perbedaan antara Kepala Negara dan
Agama. Raja merupakan otoritas kerajaan dan juga agama. Dia mensyaratkan bahwa
Raja yang akan memangku jabatan ini bukan turun temurun melainkan dipilih langsung
oleh rakyat. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Teori ini kemudian diterima oleh
Kesultanan Aceh dan jawa.
Eropa mulai bangkit melewati masa kegelapan. Ibarat bangsa kelaparan mereka
berhamburan ke penjuru dunia untuk membangun negara-negaranya. Bangsa Inggris
mulai membuat pertapakan pertama di Pelabuhan Tapian Na Uli di tepi teluk Sibolga.
Titik ini sangat mendukung untuk pemenuhan logistik mereka untuk menjarah bagian-
bagian lain di Nusantara. Ambisi jahat yang tidak bisa ditebak oleh penduduk lokal.
Budaya perbudakan mendapat eksploitasi yang parah oleh hadirnya pihak Eropa.
Keramahan bangsa Batak di Batang Toru, Puli, Situmandi serta Sigeaon dimanipulasi,
mereka kemudian diperdagangkan sebagai Budak.
Beberapa wilayah di Nusantara mulai ditundukkan dengan tipu muslihat Eropa. Perang
antar kerajaan menjadi sangat intens; akibat Devide Et Impera. Belanda mulai
memetakan target operasi mereka di tanah Batak setelah menguasai Jawa dan beberapa
kerajaan kecil di Nusantara.
Gadis-gadis dengan baju kurung yang anggun dan di leher mereka bergantung kalung
emas penuh untaian permata, yang bila usia nikah hampir tiba akan dipingit di rumah-
rumah anjung yang pintu-pintunya dihiasi berbagai ukiran yang indah.
Pada bagian lain syair-syairnya juga memperlihatkan kekecewaanya terhadap perilaku
politik sultan Aceh, para bangsawan dan orang-orang kaya yang tamak dan zalim.
Sebagaimana para sarjana Batak, Hamzah Fansuri mendapat pengaruh besar di Aceh.
Van Nieuwenhuijze (1945) dan Voerhoeve (1952) berpendapat bahwa Hamzah Fansuri
memainkan peran penting di dalam kehidupan kerohanian di Aceh sampai akhir
pemerintahan Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1590-1604).
TAHUN 1610
Sultan Ibrahimsyah Pasaribu, pendiri kembali Dinasti Hatorusan (Pasaribu), wafat dalam
serbuan pasukan Aceh, kepalanya dipancung dan oleh itu dia dikenal dengan nama
Sultan Tuanku Badan. Perang tersebut dimulai tahun 785 H. Ibrahimsyah Pasaribu
adalah keturunan Raja Uti, putra Guru Tatea Bulan, pendiri kerajaan Hatorusan yang
berpusat di Singkel dan Barus.
TAHUN 1630
TAHUN 1641
Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli, Medan, tahun 1641, ketika sebuah kapal
yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak.
Pada tahun 1050 H/1644 M, Belanda datang ke pantai barat Sumatera dan meminta ijin
untuk bermukim dan mendirikan koloni perdagangan di Barus. Ijin tinggal kepada orang
Belanda diberikan pada tahun 1668 . Belanda, akhirnya, mengadu domba dualitas
kesultanan Barus (Hulu dan Hilir) yang berujung kepada penjajahan tanah air Barus,
tanah batak pesisir di bagian barat Sumatera di abad ke-19.
Penduduk Barus, khususnya Sorkam dan Korlang, mengusir VOC, perusahaan Belanda
yang banyak meresahkan (monopoli) perekonomian setempat . Mereka dipimpin oleh
Raja Simorang dari Tapanuli dan Raja Bukit.
Masa pemerintahan Sisingamangaraja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu.
Diduga ada permasalahan politik sehingga baru pada tahun 1819 adanya suksesi
kepada Sisingamangaraja X.
TAHUN 1790
Haji Hassan Nasution dengan gelar Qadhi Malikul Adil menjadi orang Batak pertama
yang naik haji di Mekkah.
TAHUN 1809 - 1900
TAHUN 1812
TAHUN 1816
Elemen mata-mata Belanda mulai menyusup ke Tanah batak dengan misi; memetakan
daerah serta kekuatan dan menentukan titik-titik penembakan artileri di pusat-pusat
kekuasaan tanah Batak.
Jenderal Muhammad Fakih Amiruddin Sinambela, Gelar Tuanku Rao, panglima Paderi,
meluaskan pengaruhnya di Tanah Batak Selatan.
TAHUN 1818
Orang-orang Batak yang miskin dan putus asa dengan penyakit kolera dimanipulasi
Belanda sebagai kekuatan anti-otoritas Sisingamangaraja. Beberapa kerajaan-kerajaan
huta dihadiahi dengan pengakuan sehingga mejadi raja-raja boneka yang
membangkang. Kredibilitas kedaulatan Sisingamangaraja di akar rumput menipis,
dikempesi orang-orang Eropa.
Fakih Sinambela menolak tawaran pamannya menjadi Sultan di Tanah batak. Mereka
mundur ke Selatan. Yang Mulia Sisingamangaraja XI naik tahta.
Hampir semua isteri pertama raja-raja Singamangaraja berasal dari marga Situmorang,
jadi diberikan nama Boru Situmorang. Jadi ibunya bernama Boru Situmorang. Ayahnya
Raja Sisingamangaraja IX .
TAHUN 1820
TAHUN 1821
Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir Sumatera Barat seperti Pariaman, Tiku, Air
Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah
membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah tersebut. Dalam menghadapi
serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di
bawah pimpinan Fakih Sinambela (Tuanku Rao) dan Tuanku Tambusi dikirim untuk
menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Fakih Sinambela
gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasukan
Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.
TAHUN 1823
Kebijakan ini ditiru oleh Raffles dari Lord Moira, Gubernur Jenderal Inggris di Kalkutta
yang berhasil melemahkan Kerajaan “Dehli” Islam di India; Burma yang Budda serta
Thailand yang Buddha harus dipisah dengan bangsa Karen yang Kristen. (Aljunied:2004)
Untuk itu, pihak Inggris mengirimkan tim-tim pendeta kerajaan ke lokasi tersebut. Di
Tapanuli saja ada diutus beberapa orang, sbb;
Ketiganya merupakan tim ekspedisi dalam infiltrasi pasukan Inggris di Tanah batak
yang akan berprofesi sebagai pendeta agar tidak terlalu mendapat penolakan di
sebagian besar mayarakat Batak yang telah menganut agama Parmalim, agama
Sisingamangaraja, di pusat-pusat kerajaan Batak.
BAGIAN KELIMA
Sisingamangaraja XI, setelah naik tahta mulai menata kehidupan rakyatnya. Ada yang
menyebutkan angka tahunnya adalah 1841-1871. Di beberapa wilayah dilakukan
pembangunan. Hubungan diplomasi luar negeri dengan Kesultanan Aceh dijalin
kembali. Sang Raja mulai menyadari kehadiran elemen-elemn penyusup yang
bermaksud untuk menguasai dan meniadakan Kedaulatan Bangsa Batak. Belanda yang
meneruskan kebijakan Raffles tidak bisa menerima; Bangsa Batak malah melakukan
kerjasama militer dengan Aceh.
Arsip tersebut dijilid setebal lima sentimeter dengan jumlah jilidan 23. Bila ditumpukkan
akan mempunyai lebar sekitar satu setengah meter. Ditulis dengan menggunakan pena
yang terbuat dari pohon Aren. Tidak diketahui siapa penulisnya tapi yang pasti
penulisannya diperintahan oleh Sisingamangaraja XI dalam sebuah usaha untuk
memajukan peradaban Batak pada era pemerintahannya.
Jilid 1 sampai dengan 10, berupa kitab raja-raja kerajaan atau “Book of Kings” seperti
Pararaton, Tambo atau Sejarah Melayu dan lain sebagainya.
Jilid 11 sampai dengan 23, merupakan annals (dokumentasi tahunan) perihal
pemerintahan Sisingamangaraja XI di Bakkara. Bila buku ini diterbitkan kembali maka
kemasyhurannya dipastikan akan menyamai kitab-kitab Majapahit ala Prapanca.
Secara rinci mulai dari jilid 1 sampai dengan 3 berisikan informasi mengenai
pemerintahan Dinasti Sorimangaraja selama 90 generasi di Sianjur Sagala Limbong
Mulana di kaki gunung Pusuk Buhit.
Jilid 2 berisi kisah pemisahan diri orang-orang Batak Simalungun dari kekuasaan Dinasti
Sorimangaraja dan mendirikan kerajaan Nagur. Menyusul pula orang-orang Batak Karo
yang mendirikan kerajaan Haru Wampu serta kesetiaan orang Mandailing, Angkola dan
Sipirok terhadap pemerintah berkuasa saat itu.
Jilid 3 berisi tentang file-file mengenai keistimewaan dan kesaktian raja-raja Batak.
Legenda-legenda mengenai raja misalnya Sorimangaraja XC yang diyakini dapat
menerbangkan benda mati ke udara, demikian juga dari pihak marga Simanullang dan
Sinambela yang dapat menerbangkan pedangnya. Semuanya menjelaskan peristiwa
konstalasi politik kuno dalam sebuah cerita perumpamaan dimana Dinasti
Sorimangaraja dijatuhkan oleh orang-orang marga Simanullang dan dijatuhkan lagi oleh
pihak Sinambela
Di jilid ini juga diceritakan bahwa Sultan Alauddin Muhammad Syah, seorang Sultan
Aceh, mengadakan perjanjian kenegaraan dengan pihak Singamangaraja IX dalam
kerjasama pertahanan. Sisingamangaraja IX melepaskan pengaruhnya dari Singkil serta
daerah Uti Kiri definitif kepada pihak Aceh. Sebagai imbalannya pihak Aceh
menyerahkan pengaruhnya di daerah Uti Kanan dengan ibukotanya Lipatkajang ke
pihak Singamangaraja IX. Barus yang dikuasai oleh pihak Dinasti Pardosi dan Dinasti
Pasaribu Hatorusan (Tuanku Hulu dan Hilir) ditetapkan sebagai zona netral. Sementara
itu pihak Aceh mengakui pengaruh Sisingamangaraja IX atas wilayah Simalungun dan
kawasan Karo berada dalam pengaruh Aceh.
Dikisahkan juga perihal peristiwa suaka politik Pangeran Gindoparang Sinambela yang
diusir oleh Singamangaraja IX ke wilayah Uti. Gindoporang Sinambela sekarang ini
menjadi leluhur komunitas muslim Sinambela di Singkil. Perihal keluarga Gindoparang
dan anaknya Faqih Sinambela yang menjadi seorang Jenderal di pihak Padri didapat
oleh sejarawan Sutan Martua Raja dari sebuah catatan keluarga orang-orang muslim
marga Sinambela di Singkil. Di sana kebanyakan mereka menjadi guru-guru agama
Islam yang menikah dengan orang-orang marga Pohan dari Barus.
Di jilid 10 ini pula diinformasikan mengenai kedatangan orang Eropa yang disebut
sebagai Si Bontar Mata oleh bahasa Batak yang memasuki Silindung tapi tidak melalui
Bukit Sigompulon. Agama yang mereka bawa, katanya, ditolak oleh orang-orang Batak.
Tidak disebutkan mengapa.
Jilid 11 berisi mengenai informasi penobatan Sisingamangaraja XI dalam usia 10 tahun
akan tetapi telah bersikap sangat bijaksana.
Jilid 11 sampai dengan 23, merupakan file-file pemerintahan Ompu Sohahuaon yakni
Sinagamangaraja XI. Juga mengenai penanggalan pemerintahan yang dimulai dari
penobatannya sebagai raja. Menyerupai angka tahun Jepang.
Sementara itu jilid 23 ditutup dengan tahun ke-37 dari pemerintahan Sisingamangaraja
yang berarti tahun 1866 M.
Permulaan bulan dihitung degan naiknya bulan. Sehingga tula yakni malam terang
bulan purnama selamanya jatuh pada tanggal 15 seperti penanggalan tahun Hijriyah.
Sepuluh bulan pertama tidak diberi nama akan tetapi hanya penomoran seperti bulan
sapaha sada sampai dengan bulan sapaha sappulu. Sementara itu bulan yang ke-11
bernama bulan hala dan bulan ke-12 bernama bulan hurung.
Para ahli astronomi kerajaan mengerti bahwa penanggalan berdasarkan bulan berbeda
dengan penanggalan berdasarkan bintang selama 11 hari setiap tahun. Akibatnya,
permulaan dari bulan sapaha sada yang begitu penting untuk mencangkul sawah turut
pula bergeser 11 hari dari timbulnya bintang na pitu. Singamangaraja XI juga
mengadakan bulan na badia yakni bulan ketigabelas yang diselipkan antara bulan
hurung dan bulan sapaha sada. Tujuannya, agar perhitungan waktunya tepat pada
permulaan tahun dengan timbulnya bintang na pitu, tepat dengan permulaan musim
hujan dan permulaan musim mencangkul sawah.
Jilid 11 dan 12 kondisinya sangat rusak.
Jilid 13 sampai dengan jilid 16 mengenai periode pembangunan ibukota Bakkara dan
daerah Toba dalam periode 1835-1846. Termasuk penataan pertanian, peternakan,
penetapan geografis negeri-negeri dan juga pembangunan yang bersifat sosial dan
poltik.
Di sini juga disebutkan nama Teku Nangta Sati, ayah dari Cut Nya’ Dien dan mertua dari
Teuku Umar, yang ikut ke Bakkara bersama Singamangaraja XI selaku ‘Chief Aceh
Military Mission’ yang pertama. Selama Singamangaraja XI di luar negeri, pemerintahan
kerajaan di dalam negeri dipegang oleh Panglima Panibal Simorangkir, putra dari
Panglima Jomba Simorangkir, pengawal setia Singamangaraja XI.
Dalam jilid 16 dicatat bahwa telah lahir putra mahkota Parobatu di tahun ke-16 dari
pemerintahan Singamangaraja XI yakni tahun 1845 M. (Dia kelak memerintah antara
tahun 1867-1907)
Jilid 17 menceritakan datangnya dua orang Eropa, Si Junghun dan Si Pandortuk – the
big nose yakni Dr. Junghuhn dan Dr. van der Tuuk. Momen inilah yang membuat adanya
kesempatan bagi orang asing mengabadikan foto Singamangaraja XI. Van der Tuuk
merupakan orang kulit putih satu-satunya yang pernah diijinkan menginap di Bakkara
karena dia menyampaikan salam kepada Sinagamangaraja XI, dari abangnya Putra
Mahkota Lambung Sinambela di Roncitan, Sipirok.
TAHUN 1833
Tentara Belanda mulai mendaratkan pasukan ekspedisi dibawah Komando Mayor Eiler,
di daerah Natal dan mengangkat rajanya menjadi raja boneka dengan gelar; Regent van
Mandailing. Elemen-elemen padri Minang dibasmi.
Pasukan Kolonel Elout menguasai Angkola dan Sipirok. Sipirok menjadi batu loncatan
untuk menggempur Toba. Peta-peta sasaran tembak sudah dikumpulkan sebelumnya
oleh tim penyusup dan orang-oramg Eropa yang bergerak bebas di Tanah Batak
Eliot melalui kakaknya, saudara perempuannya, di Boston, AS, meminta tambahan tim
misi dari American Baptist Mission (ABM). Permintaan ini mendapat dukungan dana
oleh Clipper Millionairs yang berpusat di Boston dengan kompensasi mereka dapat
menguasai kegiatan ekspor dan impor di Tanah Batak yang sangat potensial saat itu.
TAHUN 1834
ABM mengirimkan tiga orang pendeta ke Tanah Batak. Yakni; Pendeta Lyman, Munson
dan Ellys. Kolonel Elout menempatkan Ellys di Mandailing untuk mengkristenkan
masyarakat muslim di sana. Lyman dan Munson melanjutkan jejak Burton dan Ward.
Lyman dan Munson memasuki Toba dengan seorang penerjemah dari Batak Muslim,
Jamal Pasaribu. Di sana mereka disambut baik. Namun setelah insiden penembakan
mati seorang wanita tua oleh Lyman, raja setempat, Raja Panggulamau menolak
kehadiran mereka.
Penembakan wanita tua, yang kebetulan, namboru sang raja tidak dapat diterima oleh
raja. Lyman dan Munson mendapat hukuman mati oleh pengadilan lokal.
Kekuatan militer Belanda bertambah kuat. Sumatera Barat dapat dikuasai. Mandailing,
Angkola dan Sipirok menjadi Direct Bestuurd Gebied, Raja Gadumbang tidak jadi
dijadikan Sultan oleh Pemerintah Penjajahan Belanda, akan tetapi dibohongi dan hanya
diberikan gelar Regent Voor Her Leven.
BAGIAN KEENAM
Pemimpin-pemimpin masyarakat Batak Islam yang tidak mau tunduk dengan Belanda di
berbagai daerah, dibasmi. Silindung masuk ke dalam “Residente Air Bangis” tahun 1973
dan Toba, yang belum takluk, dimasukkan pada tahun 1881. Kerajaan-kerajaan lain yang
berhubungan dengan Kerajaan Batak di Toba tidak dapat berbuat banyak untuk
membantu. Hegemoni Eropa tidak dapat terbendung. Manusia di nusantara hanya
menunggu waktu untuk menjadi mangsa Eropa. Kerajaan Batak terisolir dan melemah.
Rakyat sudah banyak yang pro Belanda.
Belanda kembali lagi dengan sebuah kekuatan perang ke Barus. Sebelumnya elemen
Belanda yang memonopoli dan membuat kesukaran bagi penduduk Barus berhasil
dideportasi oleh penduduk dan kerajaan. VOC dibenci oleh rakyat dan perdagangannya
di Barus dikalahkan oleh pedagang-pedagang Aceh. Paska pendirian kantor resmi
penjajah Belanda di Barus, para pedagang dan elemen Aceh diusir. Pemerintah Belanda
memonopoli kembali perekonomian Kesultanan Barus .
TAHUN 1841
Raja Sisingamangaraja X Ompu Tuan Nabolon mangkat karena dipenggal oleh Si Pokki
Nangolngolan atau Tuanku Rao, yang dengan akal liciknya mengundang Raja
Sisingamangaraja X untuk datang ke Butar. Pada pertemuan di Butar itulah si Pokki
memenggal leher Raja Sisingamangaraja X. Kepala Raja ini terbang menghilang, terbang
ke pangkuan ibundanya boru Situmorang. Oleh ibunya, secara diam-diam
dikuburkannya di dalam batu besar yang ada di Lumban Raja, karena sebelumnya ia
sudah berfirasat akan kejadian yang akan menimpa anaknya.
Isteri Raja Sisingamangaraja X yang pertama yaitu boru Situmorang dengan 2 orang
anaknya yang masih kecil melarikan diri ke Lintong Harian Boho ke kampung
orangtuanya Situmorang. Sedang isterinya yang kedua bermarga boru Nainggolan
beserta anaknya Raja Mangalambung diculik si Pokki bersama anak-anak yang lain yang
diduganya sebagai anak Raja Sisingamangaraja X.
Perbatasan Tanah Batak yang relatif aman hanya pelabuhan Singkil dan Barus serta
perbatasan darat dengan Aceh. Sisingamangaraja XI mengikuti Pendidikan Militer di
Indrapuri, Kesultanan Aceh.
Aceh mengirimkan satu balayon tentara di bawah komando Teuku Nangsa Sati ke Toba.
Bersama Yang Mulia Sisingamangaraja XI, Teuku menyiapkan perencanaan strategi
gerilya. Pasukan komando gerilya dibentuk. Pertahanan dengan menggelar pasukan
sudah tidak memungkinkan. Siasat ini pada tahun 1873-1907 sangat membingungkan
pihak imperialis Belanda.
TAHUN 1848
Putra Mahkota, Pangeran Parobatu, satau-satunya anak laki-laki Sisingamangaraja XI
lahir.
TAHUN 1849
Neubronner van der Tuuk, atau yang dikenal di masyarakat Batak dengan nama
Pandortuk (Big Nose), diberangkatkan oleh Dutch Bible Society ke Barus untuk
mempelajari peradaban Batak agar dapat memberi masukan kepada misionaris,
mengatakan:
TAHUN 1852
Barus berhasil dikerdilkan oleh Belanda sebagai kota pelabuhan. Posisisnya terkurung
dengan dibangunnya Sibolga sebagai pelabuhan penyaing oleh Belanda.
Sebab lain menurunnya popularitas Barus sebagai pusat perdagangan di Tanah Batak
adalah ditemukannya senyawa kimia yang dapat menandingi kualitas kemenyan atau
kapur barus di Jerman. Produk konvensional dari Barus menjadi sangat usang.
TAHUN 1856
Sultan Marah Tulang naik tahta Kesultanan Barus Hulu pada tahun 1270 H atau sekitar
tahun 1856. Dia merupakan Sultan terakhir dari Dinasti Pardosi yang masih memangku
jabatan kerajaan. Setelah kepeninggalannya, keturunannya hanya menjadi ‘kepala kuria’
atau pegawai gajian penjajah Belanda.
Zending Calvinist Belanda dari “Gereja Petani Ermeloo/Holland” (GPE) dengan gencar
melakukan misi di Tanah Batak Selatan. Mereka antara lain; Pendeta Van Asselt di
Parausorat, Sipirok, pendeta Dammerboer di Hutarimbaru, Angkola, Pendeta Van Danen
di Pangarutan, Angkola dan Pendeta Betz di Bungabondar, Sipirok.
Misinya gagal. Masyarakat Muslim Batak yang sudah tidak berdaya dalam penguasaan
Belanda menolak untuk dikristenkan. Belanda, tidak habis akal, mempercayakan misi
pengkristenan Batak Selatan dan Utara kepada pendeta-pendeta Jerman, “Reinische
Missions Gesselschaft” (RMG), yang menganggur di Batavia, sejak diusir keluar dari
Kalimantan Selatan oleh Pangeran Hidayat.
TAHUN 1861
Pada tanggal 7 Oktober 1861, di dalam rumah pendeta van Asselt diadakan rapat
bersama oleh pendeta-pendeta Belanda yang sudah aktif di tanah Batak bersamam
pendeta-pendeta Jerman yang baru datang. Rapat ditutup oleh pendeta Klammer
hasilnya; Pimpinan pengkristenan tanah Batak sudah berpindah dari tangan Pendeta
Belanda ke tangan Pendeta Jerman. Pendeta Belanda Dammerboer serta van Dalen tidak
menyukai posisinya menjadi bawahan seorang “Moffen”, Jerman. Mereka berhenti
menjadi pendeta.
TAHUN 1861 – 1907
Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah Batak yang masih
dimiliki Sisingamagaraja XI. Untuk menyerangnya secara frontal Belanda belum mampu
karena dipihak lain dan di dalam negeri mereka banyak menghabiskan tenaga untuk
menumpas pemberontakan-pemberontakan, sementara itu, kerajaan-kerajaan pribumi
tidak menyadari keunggulan mereka.
Belanda kemudian menerapkan Devide et Impera dari pantai timur dengan kebijakan
Zelbestuur, artinya swapraja. Tanah Batak dipecah menjadi:
Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah
sebagai berikut:
Perbedaan identitas juga terdapat di dalam komunitas Karo sendiri. Mereka yang
bermukim di tanah Karo pegunungan hingga tahun 1905 tetap masih menganut agama
tradisional Batak. Dalam abad ke-20 mereka banyak menganut Kristen Protestan
Kalvinis. Sementara itu orang Karo Dusun kebanyakan adalah muslim sejak masa
kesultanan Haru Delitua (1508-1523).
Akibat penurunan identitas Karo menjadi Melayu banyak orang Karo yang muslim yang
tidak mencantumkan marganya saat lahir. Kebangkitan identitas Karo akhirnya terjadi
lagi pada era tahun 1950-an. Di mana banyak muslim Karo sudah mengenakan
marganya kembali.
TAHUN 1863
TAHUN 1867
Penyakit Kolera menjangkiti lagi. Para tenaga medis Kerajaan gagal membendung
epidemik ini. Yang Mulia Sisingamangaraja XI wafat karena kolera. Pangeran Parobatu
naik tahta menjadi Sisingamangaraja XII dengan gelar Patuan Bosar. Ada yang
menyebutkan angka tahun masa pemerintahan Sisingamangaraja yang juga dikenal
dengan nama Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu adalah 1871-1907.
Akibat epidemik ini, intensitas misi pengkristenan bertambah tinggi. Rakyat yang frustasi
berduyun-duyun mendatangi Christian Community di Hutadame.
Selanjutnya, para penulis itu menuduh Sisingamangaraja XII secara totaliter menentang
Pemerintah Belanda, serta menentang infiltrasi dari Agama Kristen yang dibawa oleh
pendeta-pendeta Jerman. Mereka menambahkan bahwa karena itulah orang-orang
Batak yang sudah Kristen (dan lebih-lebih lagi yang sudah Islam) tentulah tidak mau
mengakui seorang Batak Pagan Priest King.
Di tanah Batak Utara didirikan sekolah-sekolah dengan jumlah besar; Sekolah Dzending.
Namun, demi misi imperialis, diskriminasi diterapkan. Anak-anak dari Sintua, tetua
Gereja, mendapat prioritas masuk sekolah Zending. Untuk menjadi Sintua, seseorang
harus membuktikan diri patuh terhadap Kristen. Orang-oranng tanah Batak Utara
belomba-lomba menjadi Sintua. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
Penduduk Dairi, Pakpak dan Simsim masih menjadi pengikut setia Sisingamangaraja XII.
Dalam pertempuran dengan Belanda, Ibukota kerajaan yang sudah ditandai oleh tim
penyusup sebelumnya menjadi sasaran empuk pasukan Belanda. Serangan-serangan
artileri memaksa Sisingamangaraja XII, dengan pengawalan khusus dari rakyatnya
orang-orang Gayo yang menjadi pasukan komando dari Aceh, pasukan yang diberikan
Kesultanan Aceh, mengungsi di Dairi dan melancarkan serangan dari hutan belantara
sana. (1884-1907). Sementara itu panglima-panglimanya yang masih setia, melakukan
upaya defensif untuk menahan laju tentara Belanda.
TAHUN 1869
Dinasti Romanov, di Rusia beragama. Kristen Ortodoks Katolik. Akan tetapi di Ukraina
terdapat sedikit aliran Baptist keturunan Belanda yang disebut; Mennoniets, karena
mereka adalah keturunan dari Menno Simons. Baptist, Doopsgezinden, di Negeri
Belanda habis dibasmi oleh Protestan, di dalam periode 1568-1648.
Orang-orang Baptist Belanda melarikan diri ke Ukarina. Di sana, mereka dilindungi oleh
Dinasti Romanov, karena kepandaian mereka di bidang pertanian dan peternakan.
Dinasti Romanov saat itu sedang asyik menanam pengaruh di Seluruh Asia, mulai dari
Selat Dardanella, sampai ke Vladiwostok. Romanov kemudian mengatur kepergian
Pendeta-pendeta Mennoniet dari Ukraina ke Mandailing 1869-1918.
Gereja yang di Mandailing didirikan pada tahun 1838 dirombak dan diganti dengan
Gereja model Basilyk Rusia, lengkap dengan atas yang berbentuk “bawang” , 1869. Misi
pendeta Mennoniet inipun berakhir karena jatuhnya Tsar Rusia yang dibantai oleh kaum
Komunis. Pendeta Iwan Tissanov, pendeta yang teakhir dari aliran ini kemudian pindah
ke Bandung 1918. (Pedersen 1970:56; Elkhart:2001)
Keturunan pasukan Padri bermarga Lubis, Kalirancak Lubis dan Jamandatar Lubis, yang
pernah merebut Toba dan menguasai Ibukota Bakkara, di bawah pimpinan Panglima
Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, kemenakan Sisingamangaraja X, menjadi
Kristen Protestan Luteran di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Salah satunya adalah
Martinus Lubis pahlawan Medan 1947.
TAHUN 1870
Peta politik populasi Tanah Batak: Di Tanah Batak Selatan; 90% Beragama Islam, 10%
lagi terdiri dari Muslim Syiah, Kristen Protestan dan Baptist. Di Tanah Batak Utara; 90%
Beragama Monoteis Adat Sisingamangaraja (Parmalim atau Sipelebegu) dengan
Sisingamangaraja sebagai Raja dan Pemimpin Agama dan Debata Mula Jadi Nabolon
(Tuhan, Maha Pencipta serta Maha Agung) sebagai Tuhan. Sementara 10 persen lagi;
Muslim dan Protestan di Silindung.
TAHUN 1873
Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-
orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka
mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim
Batak.
Di periode yang sama, dengan bala tentara yang lebih banyak, kebanyakan terdiri dari
pasukan paksaan dari daerah-daerah jajahan lainnya; Halmahera, Madura dan Jawa,
Belanda melumpuhkan kekuatan tempur Sisingamangaraja. Sisa-sia kekuatan hanya
untuk defensif. Dari dataran tinggi Humbang (sekarang di Kab. Humbang Hasundutan)
Bakkara dibombardir dengan senjata Artileri Berat, namun Belanda masih takut untuk
melakukan serangan infanteri.
Perang Batak. Pemerintah Kolonial Belanda mampu menguasai wilayah Sumatera pada
pertengahan abad ke-19, kecuali daerah Aceh dan tanah Batak. Interaksi antara Belanda
dengan orang-orang Batak mulai terjadi pada sekitar tahun 1870-an. Pada masa
tersebut, kaum misionaris (pendakwah Kristen) banyak melakukan upaya penyebaran
agama Kristen di wilayah Batak. Latar belakang perang Batak Sisingamangaraja XII
sebagai raja Batak menolak adanya upaya penyebaran agama Kristen yang dilakukan
oleh misionaris Belanda di wilayah Batak. Hal tersebut dilakukan karena
Sisingamangaraja khawatir kepercayaan dan tradisi animisme rakyat Batak akan terkikis
oleh perkembangan agama Kristen.
Perlawanan Sisingamagaraja dalam Perang Batak mulai meredup semenjak wilayah Huta
Paong diduduki oleh Belanda pada September 1889. Pasca pendudukan Huta Paong,
Belanda terus memburu Sisingamangaraja dan pasukannya hingga terjadi pertempuran
di daerah Tamba. Baca juga: Perang Tondano Melawan Belanda Dalam pertempuran
tersebut pasukan Batak mengalami kekalahan dan melarikan diri menuju daerah Horion.
Belanda terus melacak arah pelarian Sisingamangaraja dan pasukannya. Bahkan, pihak
Belanda menggunakan orang-orang dari Senegal, Afrika untuk membantu pelacakan.
Tahun 1907, Belanda mampu mengepung Sisingamangaraja XII di daerah Dairi, namun
ia tak mau menyerahkan diri. Sisingamangaraja beserta pasukannya bertarung hingga
titik darah penghabisan dan meninggal pada pengepungan tersebut.
TAHUN 1881
Toba resmi diduduki Belanda. Di Balige ditempatkan Controleur B.B. Di Laguboti
ditempatkan sebuah detasemen tentara Belanda. Pendeta Pilgram di Balige dan Pendeta
Bonn di Muara mulai mengkristenkan penduduk yang sudah menyerah dan tak berdaya.
Sementara itu, tentara Belanda diperkuat dan Laguboti menjadi garnizon Tetap.
Pasukan Sisingamangaraja mulai kehilangan pasokan senjata dan amunisi dari dua
pabrik senjata di kedua tempat tersebut, yang dibangun atas alih teknologi dari
Kesultanan Aceh.
Yang Mulia, Patuan Bosar, menjanjikan uang sebanyak 300 ringgit burung untuk setiap
orang yang memancung seorang pendeta Jerman dengan membawa bukti berupa
kepala yang dipancung (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan). Terutama Pendeta Bonn di
Muara, yang lalu lalang dan mengintai di daerah antara Bakkara dan Balige dan terlalu
dekat dengan pusat kekuasaan Patuan Bosar.
TAHUN 1883
Destor Nasution, putera dari Jarumahot Nasution alias Hussni bin Tuanku Lelo, menjadi
pendeta. Tuanku Lelo merupakan salah satu panglima tentara Islam Padri yang merebut
Bakkara di era Sisingamangaraja X.
Destor merupakan orang Batak pertama yang ditahbiskan menjadi pendeta dari Marga
Nasution. Ayah Tuanku Lelo merupakan Qadi Malikul Adil, Menteri Kehakiman di
pemerintahan Padri, dan orang Batak pertama yang naik haji ke Mekkah, 1790.
Pasukan Sisingamangaraja XII dengan sisa-sisa kekuatannya melancarkan serangan
frontal ke Muara. Tujuannya. Merebut kembali tanah Toba, dan mengusir Belanda di
Laguboti. Pendeta Bonn dan Istrinya berhasil melarikan diri.
Belanda membalas, Bakkara dikepung dengan bombardir artileri dan serangan infanteri.
Ibu kota Bakkara, hancur lebur.
Sisingamangaraja hijrah ke Tamba dan mengatur serangan dari sana. Pasukan khusus
dari Aceh masih setia melindungi ‘Sri Maharaja’ Patuan Bosar.
Dukungan rakyat muncul kembali tatkala mendengar patriotisme Putri Lopian Boru
Sinambela yang sejak usia 11 tahun selalu mendampingi ayahnya, Sisingamangaraja XII,
Pahlawan Nasional Indonesia. Secara khusus sang putri selalu melakukan ritual untuk
memintakan pertolongan dari Debata Mulajadi Na Bolon.
Melihat opini rakyat yang mulai menentang, Belanda tidak terima. Karisma sang Putri di
bendung dengan tangan besi. Pembicaraan mengenai Sisingamangaraja dan putrinya
akan mendapat hukuman penjara. Akibatnya lambat laun rakyat lupa kembali, apakah
rajanya masih berjuang atau tidak. Rakyat terintimidasi untuk berbicara mengenai
rajanya. Perang Ideologi.
TAHUN 1905
Ibukota Keresidenan Tapanuli, Belanda, dipindahkan ke Sibolga. Pada tahun ini penjajah
Belanda di Indonesia mengeluarkan Ordonansi Guru, yang mengharuskan setiap guru
Islam untuk melapor setiap tahun kepada Belanda, tidak terkecuali di tanah Batak,
sejalan dengan usul K.F. Holle. Akibatnya, di lapangan banyak guru-guru Islam diburu,
diusir dan diasingkan. (Lihat: Politik Islam Hindia Belanda, H. Aqib Suminto, LP3ES,
Jakarta, Hal 184). Hal ini menjadikan perimbangan kekuatan elemen pribumi yang anti
dan pro penjajahan semakin timpang.
Sejak tahun 1849 Asisten Residen Mandailing Ankola berusaha memecah masyarakat
Batak dalam kotak-kotak agama, sesuai dengan misi Devide et Impera penjajah Belanda
dengan menerapkan gagasannya untuk memisahkan orang-orang Batak yang sudah
Islam dengan mengkristenkan orang-orang Batak pelebegu. A.P. Godon yang sudah
pensiun sejak tahun 1857 menyatakan dalam suatu diskusi: “Dalam laporan umum
tahun 1849 selaku Asisten Residen Mandailing Angkola, saya menyatakan bahwa guru
agama Kristen pada saat itu masih bisa bekerja dengan dengan baik. Saya sarankan agar
antara suku (Batak Islam, atau) Melayu dan Batak harus dipisahkan dengan jelas.
Metode yang paling baik adalah menyeru orang-orang Batak pelebegu agar masuk
Kristen.” (Lihat O.J.H. Graaf van Limburg Stirum, hal. 126)
Pada tahun 1889, Gubernur Jenderal pemerintah penjajah Belanda mengeluarkan surat
keputusan rahasia yang menentukan bahwa di daerah yang penduduknya tidak
memeluk agama Islam, tidak boleh diangkat kepala desa atau pegawai muslim.
Peraturan atau kebiasaan yang mendukung Islam pun tidak dibenarkan. (lihat: Beslit
Rahasia Gubernur Jenderal No. 1,3 Juni 1889).
Dua orang residen Tapanuli bernama Westenberg dan Barth kemudian membuktikan
bahwa pemerintah kolonial tidak senang melihat perubahan kepada Islam, bahkan
Westenberg memberi contoh memecat kepala desa yang masuk Islam. Pemerintah
penjajahan Belanda menyetujui hal itu karena sesuai dengan jiwa beslit rahasia 1889
tersebut. (M. C. Jongeling, Het Zendingconsulaat in Nederlands Indie, 1906-1942,
(Arnheim, 1966) Hal. 112). Namun dukungan penjajah seperti ini tidak mampu
menghentikan kekuatan pribumi yang anti-penjajahan.
Pada tahun 1903, Kepala Kampung Janji Angkola, Aman Jahara Sitompul, yang telah
menjadi Kepala Kampung selama 23 tahun, masuk Islam berkat anaknya Syeikh H.
Ibrahim Sitompul. Akibatnya Aman Jahara Sitompul diberhentikan sebagai Kepala
Kampung atas dasar beslit rahasia 1889.
Syeikh H Ibrahim Sitompul melakukan perlawan dan melakukan aksi politik dengan
menayakannya kepada Dr. Hazeu, Adviseur voor Islandsche zaken. Alih-alih mendapat
tanggapan, laporannya baru resmi diterima enam tahun kemudian, yaitu pada tahun
1909. Dr. Hazeu berusaha melakukan himbauan kepada kekuatan penjajah yang ditolak
mentah-mentah oleh Residen Westenberg dengan penegasan sekali lagi bahwa
pegawainya telah melaksanakan kebijakan yang digariskan pada tahun 1889.
Di lain pihak pada tahun 1903, Janji Angkola Pabea Sitompul, saudara Syeikh Ibrahim
Sitompul, berusaha keras untuk mengembalikan kehormatan ayahnya. Namun kali ini
tanggapan keras datang dari pihak penjajah. Dia terbentur tembok dengan adanya surat
keputusan dari pimpinan tertinggi penjajah di Indonesia yakni keputusan Gubernur
Jenderal Penjajah tanggal 5 Juni 1919 yang tidak mengabulkan pengaduan tersebut.
(Lihat; “Christelijke Zending en Islam in Indonesia”, dalam Koleksi GAJ. Hazeu, No. 42,
KITLV, Leiden. Bandingkan dengan Lance Castles, The Political Life of Sumatran
Residency: Tapanuli 1915-1940, disertasi, Yale University, 1972, Hal. 91-93.
Sementara itu, pada bulan Maret 1919, di Janji Angkola diadakan pemilihan kepala
kampung baru. Sekalipun jumlah warga Batak yang beragama Kristen sebanyak 400
orang, sedang warga Batak yang muslim hanya 60 orang, namun ternyata Syeikh
Ibrahim Sitompul yang menang dalam pemilihan tersebut. Tapi Kontrolir Silindung
Heringa menyarankan agar residen mengangkat Aristarous, bukan Syeikh Ibrahim
Sitompul.
Dalam pada itu hubungan perdagangan antara daerah Singkel dan Dairi juga diputus
dengan alasan Devide et Impera. Dengan demikian orang-orang Batak di tanah Batak
pusat akan terisolir dan mudah untuk ditaklukkan.
Usaha penjajah Belanda untuk mengkotak-kotakkan orang Batak dalam agama dan
teritori agar mudah dijajah juga dilakukan di Silindung. Pada tahun 1915. Lulofs
memberikan instruksi sektarian kepada bawahannya agar dibuat batas baru di sebelah
utara Janji Angkola, dan politik anti-Islam hanya boleh dilaksanakan disebelah utara
desa tersebut. Dalam suratnya kepada Direktur Pendidikan dan Agama tanggal 16 Mei
1916, Lulofs menjelaskan bahwa dengan adanya garis pemisah, maka bisa diadakan
tindakan tegas dalam daerah tertutup. Misalnya dengan menggunakan Ordonansi Guru
1905 untuk menghindari pendidikan Islam di daerah tersebut. Ordonansi Guru ini
memungkinkan penjajah dapat memburu, mengusir dan mengasingkan guru-guru
Batak Islam.
Namun, pihak zending menentang instruksi- yang dinilai terlalu menguntungkan Islam-
ini. Dan menyatakan keheranannya mengapa sikap seorang pegawai demikian simpati
kepada Islam. Karena menurut mereka di daerah ini terdapat 15.000 orang Kristen,
30000 orang Batak Islam dan masih banyak animis yang akan diserahkan kepada nabi
palsu. (Lihat surat Lulofs kepada Direktur BB tanggal 16 Mei 1916).
Terhadap pemisahan daerah Islam-Kristen semacam ini Hazeu tidak setuju, karena dia
tidak membenarkan terjadinya pengusiran seseorang dari daerah tertutup. Dalam
suratnya kepada Direktur Pendidikan dan Agama tanggal 29 Desember 1916, Hazeu
menyatakan, “Saya memperingatkan dengan keras bahwa Ordonansi Guru tidak boleh
digunakan untuk tujuan mengusir haji sebagaimana dibenarkan oleh tuan Lulofs”
(Koleksi G.A.J.)
Namun, pengusiran dan pemburuan tersebut tetap saja terjadi di tanah Batak
Dalam rangka menghalangi gerak pedagang Batak Islam yang sejak abad 15 telah eksis
dan menjadi tulang punggung perekonomian tanah Batak, khususnya dari marga
Hutagalung, Hasibuan, Pasaribu dan Marpaung serta marga-marga lainnya, Asisten
Residen Fraser mengusulkan dibentuknya koperasi antar sesama orang Batak yang tidak
menentang kehadiran penjajah saat itu, di samping menganjurkan agar peternakan babi
digalakkan di sana. Saran semacam ini pernah dikemukakan pula oleh seorang tokoh
Lembaga Bijbel pertengahan abad lalu, yang ditujukan kepada propagandis Kristen di
tanah Batak.
Dia adalah H.N. vander Tuuk tang pada tahun 1851 sampai tahun 1857 menetap di
tanah Batak sebagai petugas dari Lembaga Bijbel. Ia memberikan beberapa saran,
bagaimana seharusnya petugas Kristen bersikap di tanah Batak, yaitu:
1. Harus disebut Guru, bukan pendeta atau paderi; karena istilah pendeta kurang
disukai, baik orang Eropa maupun orang Batak.
2. Harus kawin dengan wanita Eropa, karena pembicaraan antara wanita lebih intim
dan seorang wanita lebih berpengaruh daripada pendeta biasa.
3. Harus mendapat gaji yang baik, lebih tinggi dari gaji pegawai pemerintah.
4. Harus berpakaian seperti biasa, tidak memakai jas hitam pendeta.
5. Harus bisa menerima gaji dengan mudah, tanpa dipotong dua setengah persen.
6. Langsung masuk daerah Batak, tidak perlu lama-lama menunggu di Padang agar
cepat bisa berbahasa Batak.
7. Harus tinggal jauh dari orang Eropa, karena mereka pada umumnya tidak akrab
dengan pribumi.
8. Dalam taraf permulaan hanya omong-omong, Secepat mungkin mengajar agar
bisa cepat belajar bahasa pribumi. Hanya mengajar kalau diminta oleh mereka.
9. Bersama murid-murid sekolah, harus membaca cerita Batak, baru kemudian
membacakan Bijbel.
10. Harus bergaul akrab dengan orang Batak, tapi jangan meminjam uang.
11. Hendaknya tidak menerima hadiah, karena dia harus memberikan hadiah.
12. Hendaknya tidak menghina orang Islam, tapi harus menunjukkan orang kafir
sama baiknya dengan orang Islam.
13. Andaikata mengetahui ilmu teknik, harus mengajarkan ilmu tersebut hanya
kepada orang bukan Islam.
14. Sebagai peternak harus memelihara babi.
15. Andaikata mempunyai anak, harus hati-hati agar mereka tidak menghina pribumi.
16. Dalam pelaksanaan vaksinasi hendaknya jauh dari pengawasan pegawai.
17. Hendaknya tidak menggunakan pemadat sebagai pembantu atau murid.
18. Andaikata memiliki toko, dia tidak hanya akan mendapatkan banyak uang, tapi
juga pengaruh yang cukup besar.
Sumber Lihat: R. Nieuwenhuys, H.N. van Der Tuuk: De, Pen in Gal Gedoopt,
(Amsterdam, 1962) hal: 81-84.
Pada tahun 1919, pihak zending mengeluarkan brosur dalam dialek Angkola berjudul
Ulang Hamu Lilu (jangan sesat), untuk memperkenalkan Islam secara negatif kepada
orang Kristen Batak, berdasarkan buku-buku Gottfried Simons yang biasa menentang
Islam.
Gottfried Simons adalah seorang zendeling Jerman yang pernah bertugas di Sumatera
dari tahun 1896 sampai tahun 1907, dikirim oleh RMG (Rheinische Mission Gesellschaft).
Karyanya antara lain;
Asisten Residen bermaksud memanggil pihak zending ke pengadilan, tapi Jaksa Agung
di Batavia melarangnya. Kemudian pusat Zending di Tarutung meminta agar brosur
yang disita itu dikembalikan secara resmi.
Pada tanggal 12 Juli 1919 brosur tersebut akan dikembalikan dan pihak zending
mengumumkan hal itu sebelumnya, meskipun sudah diminta untuk merahasiakannya.
Akibatnya timbul kehebohan sehingga zendeling Ameler meminta agar kontrolir tidak
jadi datang, karena sudah memancing perhatian pelbagai organisasi beribadatan suluk
di tanah Batak.
Brosur seharga f.0,15 per buah itu bisa laku f.2,-, (Lance Castle, Hal 110-112). Selama ini
harapan demikian tinggi untuk bisa mengikis pengaruh Islam dari tanah Batak dengan
jalan mempercepat kristenisasi.
Dalam perjuangan kemerdekaan antara orang Batak dengan penjajah Belanda di tanah
Batak ini nampaklah kesan bahwa di satu pihak agama Islam berkembang dengan
segala kesederhanaannya, sedang di pihak lain agama Kristen dengan segala
kelebihannya ditunjang oleh para pejabat dan pegawai kolonial pada umumnya. (Aqib
Suminto; Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES).
Cepat berkembangnya Kristen di daerah ini jelas bukan semata-mata karena “gereja-
gereja di sana memiliki semangat missioner yang besar” seperti pendapat Dr. F. Ukur
yang menyatakan bahwa satu ciri gereja-gereja di Sumatera adalah memiliki semangat
missioner yang besar, sehingga dapat berkembang cepat dalam waktu yang relatif
singkat. Lihat: Walter Lempp, Benih Yang Tumbuh, XII (Jakarta, 1976), hal. 110.
Agaknya memang perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiosis
yag paling menunjang. Lihat: H. Kraemer, “De Zending en Nederlands Indie”, dalam H.
Baudet, & I.J. Brugmans, op.cit., hal 294.
Karena itu zending Kristen harus dianggap sebagai faktor penting dalam proses
penjajahan, walaupun tujuan zending hanya rohani. Semua yang menguntungkan pihak
Batak yang Islam di Hindia Belanda berarti merugikan bagi kekuasaan moril
pemerintahan penjajah Hindia Belanda. Lihat, Alb. C. Kruyt, “De Inlandsche Staat en de
Zending”, dalam Indisch Genootschap, 23 Oktober 1906, hal 98).
Simbiosis ini nampak jelas di tanah Batak. Seorang Haji Batak asal Pangaribuan
dilaporkan datang ke Huta Lumban. Ketika enam orang Batak pelebegu berkomunikasi
dengannya dan menyatakan keinginannya masuk Islam dan zending Muller tidak
berhasil memurtadkannya kembali, Residen Tapanuli memanggil keenam orang
tersebut, tetapi mereka tetap tidak mau keluar dari Islam meskipun diancam akan
dibuang. Lihat Buku Harian zendeling Muller di Toba, Juni 1916. Catatan buku harian
tersebut dikutip oleh Residen Tapanuli dalam suratnya kepada pimpinan tertinggi
penjajah Gubernur Jenderal tanggal 22 Juli 1916 No. 246 (Koleksi G.A.J Hazeu, op cit)
Dilaporkan pula, adanya lima orang Batak Islam, yang menerima kesaksian syahadat
para Batak pelebegu, yang dihukum. Dikatakan, berdasarkan beslit rahasia 3 Juni 1889
tersebut hal ini memang tidak bisa dibenarkan. Sebuah beslit yang berusaha
menghilangkan Islam sebagai elemen anti-penjajahan dari tanah Batak.
Mereka dituduh telah menyebarkan agama Islam dan dihukum dengan hukuman satu
bulan, karena tidak menaati peraturan pemerintahan penjajah Hindia Belanda. Lihat:
Surat asisten Residen Bataklanden Fraser ke Residen Tapanuli, 16 Juli 1916. Gubernur
Jenderal lebih keras dengan memerintahkan penghentian apa yang disebutnya
propagandis Islam tersebut.
Para petani Batak di Sipakpaki Sibolga ada yang dikenakan kerja paksa sebulan, karena
menerima syahadat Islamnya beberapa orang di Huta Husor. Penduduk Huta Husor
bernama Hurlang dikenai hukuman tiga bulan, karena menyediakan rumahnya untuk
acara tersebut. Lihat, Laporan penelitian anggota Desan Penasehat Hindia Belanda
tahun 1917. (Lihat Lance Castle, op cit., hal 101).
Dalam menghadapi masalah sosial yang timbul, sikap para pejabat penjajah Belanda
nampak jelas memihak zending. Residen Tapanuli mengakui bahwa sikap netral di
bidang agama akan berakibat gagal totalnya zending di daerah ini. Sebaliknya
kemengangan kristen pasti terwujud, bila dibantu sepenuhnya oleh pemerintah Hindia
Belanda. (Lihat: Surat Residen Tapanuli kepada Gubernur Jenderal Van Heutsz tanggal
31 Maret 1909. Ia menyatakan; Kita boleh memilih antara netral seratus persen terhadap
agama dengan hasil pasti menurut matematika bahwa pekerjaan zending akan gagal
total, dan lambat atau cepat seluruh daerah Batak akan masuk Islam. Atau membantu
sepenuhnya kepada zending untuk menghindari propaganda Islam di daerah Batak.
Dengan demikian kemenangan Kristen di daerah ini pasti terwujud. Andaikata
pemerintah bersikap netral, akan berakibat seperti di daerah padang Sidempuan.
Walaupun zending di sana cukup rajin di antara penduduk yang waktu itu masih
pelebegu namun Islam ternyata menang di Mandailing, Angkola dan sebagian besar
Sipirok. Justru pegawai-pegawai kita memegang politik nonintervensi (Koleksi G.A.J
Hazeu, op. cit,. Hal 102).
Pasukan Sisingamangaraja XII bersama panglima dan pengawal pribadinya dari Aceh
terkepung di hutan belantara Dairi. Pertempuran berlangsung sangat sengit. Dalam
upaya menolong putrinya yang terluka, Sisingamangaraja XII, gelar Patuan Bosar, Ompu
Raja Pulo Batu, tewas diberondong Belanda. Jenazahnya dicincang dan dibuang begitu
saja di hutan agar tidak dilihat oleh warga Batak yang pasti akan menimbulkan
kemarahan besar. Menurut sumber lain, Jenazahnya dikuburkan di Balige atau Parlilitan.
Masih perlu didebatkan. Keturunan Sisingamangaraja yang masih hidup ditawan dan
dijauhkan dari masyarakat untuk tidak memancing pertalian emosi dengan warga Batak.
Mereka di tawan dan dibuang ke sebuah Biara terpencil. Di sana mereka mati satu per
satu. Menurut cerita lain, sebelum mati mereka sudah dipabtis.
TAHUN 1912
Haji Mustofa Husein Purba Baru, dari marga Nasution, merupakan penggagas
perguruan ini. Dia, yang dikenal sebagai Tuan Guru, merupakan murid dari Syeikh
Muhammad Abduh, seorang reformis dan rektor Universitas Al Azhar.
HKBP sendiri pernah menjadi gereja protestan terbesar di Asia. Para turunannya
mendirikan gereja Angkola, Karo dan Dairi di berbagai tempat di Indonesia. Demikian
pula di Kesultanan Langkat, para keturunan Jatengger Siregar gelar Tuanku Ali Sakti
mendirikan ‘Lilbanaad College’.
TAHUN 1923
TAHUN 1923
TAHUN 1928
Jong Batak merupakan elemen sumpah pemuda. Orang-orang Batak tanpa beda
wilayah, marga dan agama bersatu mengusir Belanda dan Jepang yang datang
kemudian.
Pada tahun 1928, di tanah Batak selatan mulai memodernisasi sistem pendidikan oleh
para sarjana Batak yang belajar dari berbagai universitas di luar negeri. Di antaranya
Maktab Ihsaniyah di Hutapungkut Kotanopan oleh Muhammad Ali bin Syeikh Basyir.
Maktab merupakan transformasi partungkoan, sebuah sistem pendidikan tradisional
Batak yang berubah menjadi sikola arab dan madrasah di era berikutnya. (lihat:
Pesantren Musthofawiyah Purba Baru Mandailing, Dr. H. Abbas Pulungan, Cita Pustaka
Media Bandung, 2004).
Para lulusan Maktab Islamiyah Tapanuli mendirikan “Debating Club” pada tahun 1928.
Dua tahun kemudian anggota “Debating Club” ikut serta dalam mendirikan Jamiatul
Washliyah sebuah organisasi pendidikan dan sosial di Sumatera Utara.
Diniyah School didirikan di Botung Kotanopan tahun 1928 oleh sarjana Batak lainnya,
Haji Fakhruddin Arif. Berikutnya berdiri Madrasah Islamiyah di Manambin Kotanopan
tahun 1928 oleh Tuan Guru Hasanuddin.
TAHUN 1929
Madrasah Subulussalam berdiri di Sayur Maincat Kotanopan pada tahun 1929 oleh Haji
Muhammad Ilyas. Berikutnya Madrasah Syariful Majalis di Singengu Kotanopan pada
tahun 1929 oleh Haji Nurdin Umar. Di Hutanamale, Maga, Kotanopan Syeikh Juneid
Thala mendirikan sebuah Madrasah Islamiyah pada tahun yang sama.
TAHUN 1930
Tiga tokoh penting dalam organisasi Al Washliyah adalah Abdurrahman Syihab, seorang
organisatoris yang dapat menghimpun khalayak ramai, Udin Syamsuddin, seorang yang
ahli administrasi dan Arsyad Thalib Lubis, mufti organisasi.
TAHUN 1933
TAHUN 1934
Penyusunan peraturan yang mengatur hubungan antar sekolah di Alwashliyah
TAHUN 1935
Pada tahun ini Madrasah Mardiyatul Islamiyah didirikan di Penyabungan oleh Syeikh
Ja’far Abdul Qadir. Sebelumnya, sejak tahun 1929, madrasah ini dikenal dengan nama
madrasah mesjid karena kegiatan pendidikannya dilakukan di sekitar sebuah mesjid
sebelum dimodifikasi menjadi sistem madrasah.
TAHUN 1936
TAHUN 1937
TAHUN 1940
TAHUN 1945
Dalam peradaban Batak yang telah eksis dan terstruktur sejak ribuan tahun sebelum
kelahiran Yesus Alaihissalam, terdapat beberapa dinasti yang turut serta dalam
memperkaya khazanah sejarah bangsa Batak
Dinasti ini berdiri di pusat tanah Batak, Sianjur Sagala Limbong Mulana (SSLM) sejak
berabad-abad sebelum masehi dan kemudian berkembang di tanah Batak selatan atau
Mandailing, Angkola dan Natal.
Dinasti ini pernah mengalami guncangan politik dalam negeri yang hebat saat pihak
komunitas Batak di Simalungun memisahkan diri pada tahun antara 600-1200 M dan
mendirikan Kerajaan Nagur yang menjadi fondasi terhadap kesultanan Islam di tanah
Batak perbatasan Aceh dan di Aceh sendiri.
Melihat luasnya cakupan kerajaan ini, kalangan komunitas Batak di tanah karo dusun,
juga akhirnya memilih untuk memisahkan diri dan mendirikan kerajaan Haru Wampu.
Pemisahan diri tersebut juga berakibat kepada pemisahan sistem sosial dan identitas.
Pada tahun 1510, pemerintahan Sorimangaraja XC dikudeta oleh orang-orang marga Si
Manullang. Informasi ini didapat dengan menganalisa legenda dan cerita rakyat di
Kerajaan Dolok Silo di Simalungun yang menyebutkan bahwa Dinasti Sorimangaraja
dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang hanya dua tahun paska kemenangan
Sultan Aceh yang pertama dalam mengalahkan Raja Haru Wampu yang keempatbelas.
Dalam peristiwa tersebut, atas perintah Sultan Ali Mughayat Syah, Panglima Manang
Sukka (Seorang Batak Karo) merebut daerah Haru Wampu pada tahun 914 H atau 1508
M. Banyak kisah dan sejarah Batak yang sangat kaya tersebut tidak dilengkapi dengan
tarikh dan penanggalan yang jelas. Namun karena kejadian-kejadian tersebut selalu
berhubungan dengan kesultan dan kerajaan-kerajaan Aceh, yang sudah banyak tenaga
ahlinya menuliskan sejarah yang bertanggal, maka sangat mudah untuk memastikan
tahun-tahun kejadian di kerajaan Batak tersebut.
Orang-orang marga Simanullang sempat berkuasa di tanah Batak pada tahun 1510-
1550 M, Namun akhirnya kekuasaan mereka redup dan digantikan oleh Dinasti
Sisingamangaraja. Kekuasaan orang-orang marga Simanullang direbut oleh seorang
Datu marga Sinambela.
Saat kejatuhan dinasti Sorimangaraja, mereka kemudian, pindah ke tanah Batak Selatan.
Di sana mereka berusaha untuk menampilkan kembali kejayaan mereka yang dulu.
Mereka sangat disegani oleh raja-raja lokal di Tapanuli Selatan sekarang ini.
Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI. Dia migrasi ke selatan melewati
tanah Batak yang aman dalam kekuasaan Dinasti Hatorusan (Pasaribu) dan Dinasti
Pardosi.
Raja Soambaton diikuti oleh dua orang pengawal pribadinya; Tahi Sitanggang dan
Bonggar Simbolon. Di daerah ini Tahi Sitanggang dan Bonggar Simbolon dalam sebuah
perayaan Tabut Hassan Hussein memeluk agama Islam dan keduanya menikah dengan
putri-putri Batak Syiah di teluk Sibolga.
Pada tahun 1816, Sorimangaraja CI (ke-101) menjadi pemeluk agama Islam dengan
ajakan Raja Gadumbang. Dia mengucapkan syahadat dan mengganti namanya menjadi
Syarif Sagala. Pada tahun 1834, hegemoni raja-raja Batak yang menjadi kaum adat
mendapat tantangan dari kaum Padri yang berasal dari Sumatera Barat.
Dua orang saudara Syarif Sagala yakni; Jamaluddin Sagala dan Bakhtiar Sagala kembali
menganut agama tradisional Batak. Sejarah Batak pada tahap ini seakan berhenti
dengan intrusi orang-orang Eropa; Inggris dan Belanda.
Orang-orang marga Sagala yang kembali menganut agama tradisional Batak tersebut
akhirnya dikristenkan oleh Pendeta Gerrit van Asselt menjadi penganut protestan
kalvinist. Paska kemerdekaan RI, orang-orang marga Sagala yang kristen yang
jumlahnya sedikit hidup dengan aman penuh toleransi dari saudara-saudara mereka di
Sipirok, tepatnya di kampung Sampean yang praktis seluruhnya beragama Islam.
Dinasti ini didirikan oleh Raja Uti putra Tateabulan. Bila Dinasti Sorimangaraja berakhir
di tanah Batak bagian selatan (Tapsel), maka Dinati Hatorusan ini berakhir di Barus, atau
tanah Batak bagian barat.
Ibukotanya sendiri berada di kota-kota pesisir. Di antaranya Singkel, Fansul dan Barus.
Raja Uti yang mendirikan kerajaannya di wilayah Limbong Sagala memerintahkan
pemindahan kekuasaan ke wilayah fansur.
Sejarah regenerasi Raja Uti, mulai dari 1000 tahunan sebelum masehi sampai salah satu
keturunanya yang bergelar Raja Uti VII di tahun 1500-an, tidak terdokumentasi dalam
penanggalan yang jelas. Namun secara umum, dia memiliki beberapa keturunan, yang
sempat diketahui namanya. Namun mungkin saja antara satu nama dengan nama yang
lain berjarak puluhan sampai ratusan tahun. Karena kerajaan Hatorusan selalu hilang
dan mucul kembali sesuai dengan percaturan politik.
Selama pemerintahan Raja Uti VII, abad ke-16, pemerintahan kerajaan mulai goyah.
Ekspansi kerajaan telah meluas sampai ke beberapa wilayah di Aceh. Raja Uti VII
diceritakan memindahkan ibu kota kerajaan ke wilayahnya di bagian utara yang
sekarang masuk kedalam pesisir Aceh.
Tidak diketahui secara pasti alasan pemindahan ibukota kerajaan. Namun diduga
bahwa, telah ada sebuah gerakan oposisi yang bermaksud untuk mengkudeta Raja.
Kekuatan pemberontak tersebut berasal dari pedalaman Batak. Kerajaan memang sudah
mengalami kegoncangan setelah sebelumnya bebeberapa kerajaan kecil yang menjadi
subordinat telah memilih memisahkan diri.
Sang Raja VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang
sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang
saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang
dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang datu bermarga
Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang
menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.
Sementara itu, komunitas Pasaribu di Barus, para keturunanan Raja Uti, meneruskan
hegemoni Dinasti Pasaribu dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi Sultan
di Barus Hilir. Ada pendapat sejarah yang mengatakan bahwa Sultan Ibrahimsyah
Pasaribu adalah orang yang memberi kekuasaan kepada Manghuntal, Mahkuta, untuk
mendirikan kerajaannya di Bakkara. Dengan demikian dialah yang bergelar Raja Uti VII
tersebut (?).
Dinasti yang memerintah di Barus Hulu yang mencakup beberapa daerah tanah Batak
bagian barat termasuk Negeri Rambe (Pakkat). Didirikan oleh Raja Alang Pardosi
dengan penahunan yang tidak jelas namun diyakini berdiri sejak awal-awal berdirinya
kerajaan si Raja Batak di Tanah Batak, yakni lebih kurang tahun 1000 SM.
Kisah dalam buku tersebut dimulai dengan kata-kata “Bermula dihikayatkan suatu raja
dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan,
suku Pohan .” Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian dan dalam kisah itu
tercatat bahwa anaknya, Alang Pardoksi (Pardosi), meninggalkan jantung tanah Toba
untuk merantau.
Alang Pardosi meninggalkan keluarga dan rumahnya sesudah bertikai dengan ayahnya;
bersama istri dan pengikutnya dia berjalan ke barat. Dalam sepuluh halaman pertama
diceritakan perbuatan-perbuatan Alang Pardosi yang gagah berani, tanah yang
dinyatakannya sebagai haknya di rantau, jaringan pemukiman baru yang didirikannya,
dan perbenturannya dengan kelompok perantau lain dari Toba.
Alang Pardosi mengklaim hak atas sebidang tanah yang luas, yang merentang dari
Kampung Tundang di Rambe (Pakkat sekarang), tempat ia menetap, ke barat sampai
Singkil, ke timur sampai perbatasan Pasaribu, ke hilir sampai ke tepi laut. Termasuk di
dalamnya Barus.
Si Namora berputera tiga orang yang beristrikan ketiga puteri Alang Pardosi. Akhirnya
yang sulung dari ketiga putera Si Namora yaitu Si Purba, mengambil keputusan untuk
mempermasalahkan hubungan antara kedua keluarga sebagai pemberi dan penerima
upeti. Maksudnya itu dilaksanakan dengan mengakali Pardosi.
Untuk itu dia harus kembali ke kampung ayahnya di Toba; dia harus mengumpulkan
kekayaan keluarga berupa kain dan pusaka. Lalu dari kain-kain itu Purba membuatkan
patung seekor rusa yang rupanya bukan main hebatnya dan kepalanya dipersembahkan
kepada Pardosi sebagai Upeti. Alang Pardosi begitu takut melihat persembahan
tersebut dan membebaskan keluarga Si Purba dari ikatan memberi upeti.
Namun ada pembalasan dari pihak raja yang terusir. Saat kepemimpinan Si Purba
pemukiman dirundung kelaparan. Raja yang sah, Alang Pardosi, diminta kembali untuk
mengobati keadaan. Namun dia menolak dan meminta supaya si Purba
membuatkannya rumah di Gotting, sebuah bukit antara Pakkat ke Barus, bukit tersebut
dibelah oleh sebuh jalan yang menyempit di antara dinding batu napal yang keras,
sekita lima kilometer dari Pakkat menuju Barus, di atas sebuah jalan sehingga semua
orang yang ingin melalui jalan tersebut harus lewat di bawah rumahnya. Kedudukannya
di persimpangan jalan-jalan penting memberi kekuasaan besar kepada Alang Pardosi
yang menjadi raja yang paling berkuasa dari raja-raja Negeri Batak. Si Purba, kemudian,
tinggal di tanah yang dibuka ayahnya yaitu Tanah Rambe atau Pakkat.
Jadi dalam kronik, Raja Alang Pardosi dengan demikian ditentukan sebagai pendiri garis
keturunan baru. Proses ini berlanjut terus seusai dia wafat. Kedua anaknya, dari istri
kedua puteri Aceh; Pucara Duan Pardosi dan Guru Marsakot Pardosi berpisah dan
pindah ke arah yang berlainan supaya tidak bertikai.
Pucara Duan tinggal pindah ke arah pantai dan menetap di daerah Tukka yang pada
abad ke-19 merupakan pusat besar untuk penghimpunan persediaan kapur barus dan
kemenyan dan dari sana dibawa ke Barus.
Guru Marsakot pindah lebih dekat lagi ke tepi laut, ke suatu tempat yang dinamakan
Lobu Tua. Di sana dia berjumpa dengan komunitas Tamil dan Hindu yang kapalnya
terdampar. Guru Marsakot dijadikan raja mereka berdasarkan tuntunanya bahwa
keluarganya mempunyai tanah tersebut. Maka tanah tersebut berkembang menjadi
negeri yang makmur dengan nama Pancur atau Fansur menurut istilah Arab dikenal juga
bernama Fanfur, yang didatangi orang India, Arab dan Aceh untuk berdagang.
Kedua cabang keluarga tersebut tetap berhubungan sampai dalam generasi berikutnya.
Maka ketika anak Pucaro Duan, Raja Tutung (Raja Tuktung), terlibat dalam perselisihan
dengan anak dan pengganti Si Purba, cabang keluarga dari Lobu Tua datang
membantunya.
Saat Guru Marsakot wafat, ia digantikan oleh anaknya, Tuan Namura Raja. Anaknya, Raja
Kadir, adalah raja pertama yang menjadi Muslim. Akhirnya Fansur diserang oleh orang
“Gergasi” dan penduduk lari menyeberangi sungai untuk mendirikan dua pemukiman
baru, Kuala Barus dan Kota Beriang.
Pada masa inilah, seorang putera Pasaribu, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu mendirikan
pemukiman di Barus bersama pengikutnya yang datang dari negeri Tarusan, di
Minangkabau dan singgah terlebih dahulu di Bakkara. Mereka adalah keturuna Dinasti
Hatorusan yang didirikan oleh Raja Uti, putera Tatea Bulan. Saat pemukiman Sultan
Ibrahimsyah telah berkembang, dia baru menyadari bahwa tanah tersebut sudah ada
yang menguasainya.
Anak dari Sultan Mualif, pengganti Raja Kadir setelah wafat, Sultan Marah Pangsu
Pardosi, menggugat Ibrahimsyah yang menetap di negerinya. Namun Ibrahimsyah
mengangkat sumpah untuk membuktikan bahwa dialah yang menjadi pemiliknya.
Kompromipun terjadi dan didirikan dua pemukian di barus, yang satu di Hulu dan yang
lain di Hilir.
Sultan Ibrahimsyah kemudian menikah dengan Putri Sultan Marah Pangsu. Dalam
perkembangan politik berikutnya, saat wafatnya Sultan Marah Pangsu, Ibrahimsyah
membunuh semua anak laki-laki Marah Pangsu agar dia bisa menjadi satu-satunya raja
di Barus.
Ternyata otoritas kerajaan hulu dipegang oleh saudara Marah Pangsu yaitu Sultan
Marah Sifat yang telah mengungsi dan membuka wilayah baru bernama Si Antomas
(Manduamas?) pada tahun 710 Hijriyah. Marah Sifat berkoalisi dengan Aceh untuk
memerangi Ibrahimsyah Pasaribu. Sultan Aceh menyatakan perang kepda penguasa
tunggal Barus, Ibrahimsyahpun dipenggal dalam sebuah perang penyerbuan ke Barus
pada tahun 785 Hijriyah.
Kepalanya dibawa ke Aceh dan Raja Aceh menendang dan menghinanya. Sebagai akibat
perlakukan Ibrahimsyah yang marah dan tidak mau menyesal. Namun, karma terjadi
kepara penguasa Aceh tersebut dan dia jatuh sakit. Supaya sembuh, dia memutuskan
untuk membayar kerugian kepada kepala tersebut.
Kepala Sultan Ibrahimsyah dikirim kembali ke Barus dengan kekhidmatan dan upacara
kerajaan, diiringi sepucuk surat yang membebaskan Barus dari keharusan membayar
upeti kepada Aceh.
Sesudah itu kedua keluarga raja Barus; Pardosi dan Pasaribu, hidup berdampingan
selaman beberapa generasi dalam hubungan yang kurang lancar. Marah Sifat digantikan
oleh anaknya Raja Bongsu, Sultan Marah Bongsu. Ibrahimsyah digantikan oleh Sultan
Yusuf dengan gelar Raja Uti yang kemudian gugur di Aceh ketika membalas dendam
atas kematian ayahnya. Dia digantikan oleh Sultan Alam Syah yang mempunyai dia anak
Raja Marah Sultan dan Sultan Nan Bagonjong Pasaribu.
Pada masa ini peraturan dan undang-undang negara dikodifikasi. Termasuk adat dan
tatacara upacara dan pengangkatan pembesar. Hukum dan undang-undang yang
berlaku adalah perpaduan adat Batak, adat Melayu, adat Aceh, adat Hindu dan adat
orang Islam. Lebih jelas mengenai detail undang-undang tersebut lihat naskah asli dari
hikayat tersebut.
Pada tahun 1050 Hijriyah atau atahun 1644 M, Belanda datang dan meminta ijin untuk
bermukim dan mendirikan koloni perdagangan di Barus.
Kronik dalam buku hikayat ini juga menceritakan bahwa kepemimpinan raja-raja belia
dari hulu dengan bendahara (perdana menteri) berasal dari hilir selama mereka belum
akil balig.
Yang pertama dari bendahara itu ialah Marah Sultan, wali untuk anak Maharaja Bongsu,
Raja Kecil. Sultan Maharaja Bongsu sendiri pada tahun 1054 Hijriyah berhasil
memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan politiknya. Pada waktu itu Marah
Sultan beristrikan saudari Raja Kecil. Sesudah Marah Sultan wafat, anaknya, Sultan
Marah Sihat, memfitnah Raja Kecil; kepada Daulat, raja Minang, diceritakan bahwa Raja
Kecil tidak mengenal agama dan tidak mau mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan.
Termakan oleh fitnah jahat tersebut, Daulat membunuh Raja Kecil. Pendukung
Kesultanan Pardosi, yakni orang-orang marga Manullang mengajak Belanda untuk
memerangi Raja Daulat. Dia akhirnya melarikan diri.
Meskipun demikian Sultan Marah Sihat menyarankan agar Raja Muda di Hulu Sultan
Marah Pangkat Pardosi yang diangkat menjadi pengganti raja dan bukan anaknya
sendiri yang bernama Sultan Larangan Pasaribu. Sultan Pangkat dianggapnya layak
menjadi raja tunggal sebab dialah yang memegang pusaka-pusaka yang tepat.
Sultan Marah Pangkatpun diangkat menjadi raja pada tahun 1170 Hijriyah. Setelah dia
wafat dia digantikan oleh putera mahkota Sultan Baginda Pardosi pada tahun 1213
Hijriyah. Di masa kepemimpinan Marah Pangkat, dia melakukan banyak pembaharuan
politk dan hukum. Diantaranya, beberapa peraturan mengenai hak tanah, perbatasan
kerajaan dan adat yang berlaku kepada rakyatnya di Barus.
Pada tahun 1194 Hijriyah, perusahaan Belanda hengkang dari Barus karena tumpur dan
bangkrut. Beberapa tahun sebelum abad ke-20 mereka kembali lagi.
Raja di Hilir, Sultan Larangan marah dan kecewa dengan sikap ayahnya tersebut. Maka
dia meninggalkan Barus dan menetap di Sorkam. Di sana dia menamakan diri Tuanku
Bendahara meskipun dia tidak memegang tampuk pemerintahan.
Kompetisi kekuasaan antara penguasa Hulu dan Hilir yang digambarkan sebagai
pertikaian Barus dan Sorkam berlangsung beberapa generasi. Di Barus, putera Sultan
Marah Pangkat yakni Raja Adil, menggantikan ayahnya dan memperkukuh perjanjian-
perjanjian yang ada antara Barus dan berbagai daerah Batak pedalaman. Raja Adil
diangkat menjadi raja pada tahun 1213 Hijriyah (1789 M). Pada tahun 1241 H (1824 M)
digantikan oleh anaknya sendiri Sultan Sailan Pardosi.
Sultan Kesyari wafat dan digantikan oleh puteranya Sultan Main Alam. Dia terlibat
perselisihan dengan kesultanan Pardosi, Sultan Sailan yang bergelar Tuanku Raja Barus.
Tuanku Raja Barus tidak mengijinkan Sultan Main Alam Pasaribu untuk menggunakan
alat-alat dan simbol-simbol kerajaan dalam pernikahannya.
Sultan Pasaribu ini meminta pertolongan politik dengan komunitas Meulaboh (Aceh)
yang berdomisili dalam koloni mereka di Kota Kuala Gadang, Barus. Main Alam
mendapatkan keinginanya saat dia diakui menjadi raja mereka dan memberinya gelar
Tuanku Bendahara. Perang meletus. Antara Pasukan Pardosi dengan Pasukan Pasaribu
yang didukung prajurit-prajurit Meulaboh dan Aceh dari Kuala Gadang. Dikisahkan,
orang Meulaboh ternyata juga ingin mendapat pembagian kekuasaan di Barus.
Sultan Baginda Pardosi wafat pada tahun 1241 Hijriyah dan digantikan oleh Putera
Sultan Sailan. Setelah Sultan Sailan wafat dia digantikan oleh putranya Sultan Limba Tua.
Di era ini Belanda sudah mulai berkuasa. Mereka berhasil menduduki Barus dengan
mengadu domba antara penguasa Hilir dan Hulu Barus yang selama beberapa generasi
saling bunuh-bunuhan walau mereka sudah terikat tali perkawinan satu sama lain.
Selama tiga generasi berikutnya Kesultanan Batak yang dipegang oleh Kesultanan
Pardosi dari Tukka dan Kesultanan Pasaribu keturunan Kerajaan Hatorusan, Raja Uti, pun
akhirnya punah. Kesultanan Pardosi berakhir ditangan generasi terakhir Sultan Marah
Tulang yang menjadi raja pada tahun 1270 H atau sekitar tahun 1856.
Kesultanan Pardosi, mulai dari Raja Kadir Pardosi yang masuk agama Islam sampai
generasi terakhir berasal dari satu keluarga dan pewarisan tahta yang dipegang oleh
satu keluarga. Yaitu orang Batak yang berasal dari Tukka.
1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal
memerintah tahun 1540 s.d. 1550
2. Sisingamangaraja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan
memerintah 1550 s.d 1595
3. Sisingamangaraja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4. Sisingamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5. Sisingamangaraja V, Raja Pallongos, 1667-1730
6. Sisingamangaraja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7. Sisingamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. Sisingamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. Sisingamangaraja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. Sisingamangaraja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. Sisingamangaraja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. Sisingamangaraja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907
Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas, memerintah kerajaan Hatorusan di tanah
Batak pesisir. Selama pemerintahan Raja Uti VII yang berkedudukan di Aceh (Singkil
sekitarnya), berbagai pemberontakan dari dalam negeri meningkat.
Sang Raja Uti VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang
sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang
saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang
dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang ayah bermarga
Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang
menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.
Panglima tersebut yang diangkat sebagai putra mahkota kerajaan dikenal juga sebagai
Manghuntal karena proses kelahirannya yang persis saat badai dan gempa melanda
Bakkara, sebuah kota di pedalaman Batak.
Ayahnya marga Sinambela, merupakan seorang intelektual lokal, Datu Sinambela, yang
menguasasi berbagai disiplin ilmu astronomi, hukum dan undang-undang adat dll, dan
ibunya boru Pasaribu merupakan elit di kota tersebut. Sinambela merupakan raja huta di
daerah tersebut. Keanehan terjadi ketika Boru Pasaribu mengandung Manghuntal
selama bertahun-tahun. Tidak seperti normalnya bayi selama sembilan bulan. Suaminya
kemudian menghubungi seorang Datu dan diketahui bahwa ada keajaiban pada jabang
bayi, dan akan melahirkan setelah empat tahun. Empat tahun kemudian, sang bayi
dilahirkan pada saat angin topan dan gempa bumi terjadi di huta tersebut. Dia
kemudian dinamakan Manguntal atau yang bergetar. Dia kemudian dibesarkan di istana
Raja Uti VII.
Ketika Portugis pertama sekali menyerang Kerajaan Hatorusan, Panglima Mahkuta atau
Manghuntal memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut.
Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak.
Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan
perebutan kekuaraan. Praktis Dinasti Uti pun berakhir dan lenyap. Pusat Kerajaan
Hatorusan di Aceh diperkirakan berakuisisi dengan Kesultanan Aceh. Di Singkil sampai
sekarang masih terdapat kelompok-kelompok keturunan Batak.
Mahkuta yang kemudian mendengar berita tersebut tidak senang dengan perubahan
politik ini. Apalagi dia mendapat berita bahwa tahta kerajaan Batak telah diberikan
kepadanya. Setelah berhasil menumpas pemberontakan di tanah Batak, dia memilih
untuk mendirikan kerajaan baru di wilayah tersebut dengan ibukota Bakkara, tempat
muasal leluhurnya.
Transfer kedaulatan Batak dimanifestasikan dalam tujuh simbol kerajaan yang diberikan
kepada Manghuntal. Ketujuh simbol tersebut adalah pisau (knife), spear (tombak),
sorban atau surban (turban), ikat-scarf, mat (sejenis lapik), jug (kendi) dan gajah putih.
Legenda gajah putih ini sebagai lambang kebesaran Raja-raja Uti juga terkenal sampai
ke Aceh. Legenda tersebut sekarang ini diabadikan menjadi nama sebuah universitas:
Universitas Gajah Putih di Takengon.
Peta politik di masyarakat terpecah dua. Kompetisi dan persaingan antara dua kubu
Batak; Kubu Sumba dan Tatea Bulan. Kubu Tatea Bulan sebagai tertua dan banyak
keturunannya menjadi raja-raja di luar pedalaman Batak.
Di samping itu, di juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada para pembantunya;
di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas sebagai penasehat dan juga
sebagai fasilitator antar daerah di dalam kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan diberikan
kepada marga Sihite. Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu kesatuan
yang utuh, dia melakukan berbagai pendekatan antara lain secara spiritual dengan
membawa air dan tanah dari Bakkara.
Insting kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istama Raja-raja Uti
membuatnya memahami betul langkah-langkh politik yang sesuai dengan karakter
sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat menyatukan masyarakat Batak yang
berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan
fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan
harmoni dan kebersamaan.
Selain di bidang politik, Manghuntal juga mendapat sambutan yang positif dari
masyarakat. Masa kecil Manghuntal di Bakkara sebelum dididik di Istana Raja Uti VII
yang baik sangat diingat oleh penduduk sebagai orang yang baik hati, tegas, suka
menjauhi perbudakan, membayar utang orang-orang yang tidak mampu dan lain
sebagainya membuat kharismanya menanjak.
Immortalitas juga disandingkan kepadanya sebagai raja yang “yang tidak pernah mati
dan tua”-na so olo mate na so olo matua
Omniscient; Orang Batak percaya bahwa Sisingamangaraja mengetahui semua hal yang
dikatakan dan dilakukan. Mempunyai sahala yang tinggi. Sahala yang dimaksud adalah
kekuatan untuk menunjukkan kemampuan yang tinggi.
Manghuntal memerintah tidak dalam waktu lama. Sebelum putra mahkotanya,
Manjolong, berumur dewasa, masih berusia 12 tahun, Manghuntal dikabarkan
menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Pada tahun 1540 M, Mahkuta atau Manghuntal yang menjadi Panglima di Kerajaan
Hatorusan yang berpusat di Barus dan Singkel–ditugaskan menumpas pemberontakan
di pedalaman Batak, setelah sebelumnya berhasil mengusir Portugis dari perairan
Singkel, memerintah di tanah Batak sebagai Sisingamangaraja I. Kedaulatannya
ditransfer oleh Raja Uti VII yang kehilangan kekuasaannya.
Pemerintahan Sisingamangaraja I, hanya berlangsung sepuluh tahun. Sebelum putra
mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan
menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Belakangan dari kitab-kitab kuno bangsa Batak Karo diketahui bahwa Sisingamangaraja
I ternyata berada di tanah Karo paska menghilangnya raja dari Bakkara. Tidak
disebutkan sebab-sebab migrasi Sisingamangaraja. Apakah dia frustasi dengan keadaan
rakyatnya yang terus bertikai dan bertengkar, walau sudah dibujuk untuk damai dengan
benda-benda pusaka Raja-raja Uti, tidak diketahui dengan pasti.
Paska kepindahannya ke tanah Karo salah satu cucunya yang bernama Guru Patimpus
mendirikan huta yang sekarang menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara.
Nama medan merupakan sebuah desa yang dibangun oleh Guru Patimpus. Desa
tersebut yang berfungsi sebagai ‘onan’ tempat berkumpulnya orang-orang dari
berbagai penjuru untuk tujuan ekonomi, politik dan sosial. Onan itu berada di sebuah
lapangan besar di mana diatasnya keramaian orang melakukan transaksi. Orang-orang
Arab yang melihat peristiwa itu menyebut lapangan tersebut sebagai Maidan, lapangan
luas, yang akhirnya menjadi Medan dalam lidah melayu.
Nama Medan dikenal berbeda-beda dalam sejarah, sesuai dengan perubahan penguasa
atas kawasan ini. Kesultanan Haru, terdiri dari orang Karo yang menjadi prajurit Aceh,
pernah menguasasinya dan medan lebih dikenal dengan Haru. Dominasi orang Haru
diruntuhkan oleh orang Aceh dan mengangkat orang melayu menjadi pemimpin di
daerah tersebut. Maka kemudian dikenal juga nama Ghuri dan Deli di tangan orang
Melayu yang diangkat oleh Aceh dan dipengaruhi oleh budaya India Dehli sekarang
dikenal Delhi.
Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama
Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke
beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung:
Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian
Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan
Datuk Kota Bangun.
Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai dokumen tua
dalam bentuk lempeng–lempeng. Menurut trombo yang ada padanya Raja–raja 12 Kuta
(Hamparan Perak) adalah :
Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap
Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang
ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei.
Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh,
kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu
adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat
dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun
yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.
Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu
kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura,
akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal
selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun.
Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang
memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan
dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.
Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala
Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang
waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam
persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri
Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu,
kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan.
Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan
Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya
disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.
Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki,
seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus
ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal Al
Qur’an, karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya
Kecik Hafiz.
Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda
kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera
Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari
ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam
daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit
diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit
dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta
berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli
sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz
Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.
Menurut tarombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama
Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah
seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah
Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli
sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan
menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.
Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin
Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dari
Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590)
BELANDA tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang
dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak.
Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal
Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya
Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli.
Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat
konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga
kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda.
Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno di
situ sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring,
dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai
desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau.
Medan sebagai embrio sebuah kota, di era penjajahan Belanda, secara kronologis
berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota
Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah
kewenangan penguasa Hindia Belanda.
Kota Administratif Medan dibentuk melalui lembaga bernama “Komisi Pengelola Dana
Kotamadya”, yang dikenal dengan sebutan Negorijraad. Berdasarkan “Decentralisatie
Wet Stbl 1903 No 329″, lembaga lain dibentuk yaitu “Afdeelingsraad Van Deli” (Deli
Division Council) yang berjalan bersama Negorijraad sampai dihapuskan tanggal 1 April
1909, ketika “Cultuuraad” (Cultivation Council) dibentuk untuk daerah di luar kota.
Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai
dengan tahun 1975.
Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No
180) adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang.
Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/ DPRD/1975 yang didasari
banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590.
Melihat sekilas sejarah Kota Medan, tampak bahwa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan
Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo,
Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun. Sebagaimana terlihat dalam paparan
di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya
perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari
India, Cina, maupun Jawa.
Hingga saat ini, Medan, yang berarti tempat berkumpul tersebut, masih menjadi tempat
berkumpul berbagai ras dan kultur yang berbeda-beda. Mengingat pengalamannya
yang panjang sebagai melting pot, tidak heran jika hingga saat ini Medan masih dikenal
sebagai daerah yang aman dari berbagai kerusuhan antaretnis. Semua ras dan etnis di
sini tidak ada yang ingin menonjol atau saling menjatuhkan.
Dalam buku The History of Medan tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan
bahwa menurut “Hikayat Aceh”, Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590,
dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil
kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar
Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli.
Sejak akhir abad ke-16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal
abad ke-17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh
mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak
warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar.
Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini juga tercatat sering terlibat
pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka. Juga dengan kerajaan
dari Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini antara lain tercatat dalam kitab Pararaton yang
dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu.
Dalam Negarakertagama, Mpu Prapanca juga menuliskan bahwa selain Pane (Panai),
Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru).
Berkurangnya penduduk daerah pantai timur Sumatera akibat berbagai perang ini, lalu
diikuti dengan mulai mengalirnya suku-suku dari dataran tinggi pedalaman Sumatera.
Suku Karo yang bermigrasi ke daerah pantai Langkat, Serdang, dan Deli. Suku
Simalungun ke daerah pantai Batubara dan Asahan, serta suku Mandailing ke daerah
pantai Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah.
DINASTI NAGUR (Simalungun & Gayo)
Simalungun merupakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan
marga tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra
sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil
membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak;
Pohon Karet.
Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid lainnya yang
mengusir mereka dari daratan benua Asia; orang-orang Cina yang sudah pintar
berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan yang
sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku
bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi
bajak laut di Lautan Cina Selatan.
Kerajaan Nagur pernah dihancurkan oleh orang-orang Batak Karo yang mendirikan
kerajaan Haru Wampu pada tahun 1200-1508 M. Namun, kerajaan Nagur tetap eksis di
hulu sungai Pasai antara tahun 1200-1285. Marah Silu, Raja huta Kerajaan Nagur saat itu
masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Malik Al Shaleh. Di atas puing-
puing kerajaan Nagur tersebut, sang Raja, yang aseli Batak Gayo, berhasil melakukan
ekspansi dan mendirikan Kerajaan Samudera Pasai sekaligus menjadikannya sebagai
Sultan pertama.
Kerabat Sultan Malik Al Shaleh, yakni Syarif Hidayat Fatahillah merupakan tokoh yang
mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan
Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang
berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis.
Sultan Malik Al Shaleh sendiri lahir di Nagur, di tanah Batak Gayo. Dia adalah mantan
prajurit Kesultanan Daya Pasai. Sebuah kerajaan yang berdiri di sisa-sisa kerajaan Nagur
atau tanah Nagur. Nama lahirnya adalah Marah Silu. Marah berasal dari kata Meurah
yang artinya ketua. Sedangkan Silu adalah marga Batak Gayo.
Sepeninggalannya (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-
1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di barumun dan
mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299.
Malik Al Mansyur sangat berbeda keyakinannya dengan keluarganya yang sunni. Dia
adalah penganut taat syiah yang kemudian menjadikan kesultanannya sebagai daerah
syiah. Dengan demikian dia dapat dijadikan sebagai tokoh Batak Syiah (Gayo).
Kekuasaan Kesultanan Aru Barumun terletak di sekitar area sungai Barumun yang
menjadi titik penting perdagangan antara Padanglawas sampai Sungai Kampar.
Penghasilan negara didapat dari ekspor dan impor merica dan lain sebagainya.
Kesultanan Aru barumun berhubungan baik dengan pihak Cina pada era Dinasti Ming
(1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari Cina pernah singgah, di
antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji Kung Wu Ping.
Mengenai Kerajaan Lingga di tanah Batak Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam
bukunya “Gajah Putih” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959,
Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar abad 11, Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-
orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud
Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan
anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja
Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai
beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang
lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan
membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan
mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau
Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini
berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah
Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun.
Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai.
Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan
Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah
Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja
Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya
yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Meurah Silu, yang menjadi prajurit kesultanan Daya, saat itu masuk Islam dan
mengganti namanya menjadi Iskandar Malik dengan gelar Sultan Malik al-Shaleh
sebagai sultan pertama pribumi dan pendiri Samudera Pasai. Samudera Pasai berdiri di
atas Kesultanan Daya yang dihancurkan oleh Laksamana Ismail al-Siddiq, panglima
Dinasti Mamluk, Mesir, yang menggantikan Dinasti Fatimiyah pendukung Kesultanan
Daya.
Dikatakan bahwa Kesultanan Pasai di tangan orang Batak Gayo yang kemudian
menghancurkan Kerajaan Hindu Aceh, yang terdiri dari Batak-Mante dan imigran Hindu
India, yang sudah melemah dengan tumbuhnya komunitas-komunitas muslim dengan
kedaulatan sendiri-sendiri.
Sepeninggalan Malik al-Saleh (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al
Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di
Barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299 dengan corak
mazhab syiah.
4. Sultan Zain al-Abidin (1383-1405), pernah diculik dan selama tiga tahun ditawan di
Thailand (Siam)
9. Sultan Abdullah (1511-1524). Lihat: J.I. Moens, “Rijken der Parfum en specerijen”, BKI,
1955
Setelah tahun ini, Samudera Pasai mengalami kemunduran. Salah satu keturunan Marah
Silu, Syarif Hidayat Fatahillah merantau ke Jawa, menjadi penyebar agama Islam mazhab
syafii. Dia merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten
(Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai
Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari
amukan bangsa Portugis. Kesultanan Samudera Pasai merupakan kesultanan Islam yang
pertama tumbuh dalam skala nasional dan sekaligus pelopor mazhab syafii di
Nusantara.
Sementara itu, pada tahun 1293-1339, Kerajaan Silo berdiri di Simalungun. Di Pihak lain,
dengan dukungan dari Sultan Mansyur Syah I, Sultan Malakka 1441-1467, agama Islam
mulai dikenal di Simalungun pada abad-15. Media pengenalan adalah melalui
perdagangan dan interaksi sosial antar pedagang.
Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Banten (Sumber: Ismail
Muhammad 1978). Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang
sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon,
salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren “Abah Anom” di Buntet,
Cirebon.
Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Cirebon sebagai berikut: Ada
yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya
menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya
yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren “Abah Anom” Buntet di Cirebon. Garis
turunannya juga mendirikan Kesultanan Kanoman, Keluarga Kecirebonan dan Keluarga
Keprabonan, selain Kesultanan Kesepuhan di bawah ini:
Kerajaan Haru Wampu berdiri di tanah Karo antara tahun 1200-1508 selama 14
generasi. Pada tahun 1339, kerajaan ini pernah dijajah oleh Milisi Majapahit dari Jawa.
Setelah pihak Majapahit diusir, giliran Sultan Ali Mukayyat Syah dari Aceh yang datang
untuk menancapkan hegemoninya pada tahun 1508.
Pada tahun 1853, masyarakat Karo bangkit kembali mendirikan Kesultanan Langkat di
puing-puing Haru Wampu atas pengakuan dari Sultan Ibrahim Mansyur Syah
Sementara itu di tahun 914 H/1508M, seorang pemuda Karo/Dusun yang masuk
sebagai tentara Aceh dan sudah beragama Islam bernama Manang Sukka mendirikan
Kerajaan Haru Delitua. Dia memakai gelar Sultan Makmun Al Rasyid I. Permaisurinya
bernama Putri Hijau, saudara perempuan dari Sultan Mughayat Syah.
Angkatan Bersenjata Portugis dari Malakka pata tahun 930 H/1523 M menggempur
Kesultanan Haru Delitua. Mereka bergerak dan menyisir daerah yang bernama Labuhan
Deli sampai Deli Tua sambil menembaki siapa saja manusia yang hidup di daerah
tersebut.
Pasukan pengawal istana kerajaan habis dibantai yang terdiri dari semua penduduk
yang berjenis kelamin laki-laki. Permaisuri Putri Hijau dengan lima orang putrinya
ditawan oleh pasukan keling di bawah tentara Portugis ini. Para kaum keling India ini
berasal dari provinsi Goa di India barat. Pasukan tersebut juga didukung oleh orang-
orang Macao, Cina. Para putri-putri tersebut menjadi korban kebiadaban perkosaan dari
tentara-tentara bayaran tersebut.
Putri Hijau sambil berzikir diikat ke mulut sebuah meriam lalu diledakkan. Tubuhnya
hancur lebur tanpa bentuk. Puntung dari meriam Portugis itu menjadi “Keramat Meriam
Puntung”, sebuah relik bagi orang-orang Karo Dusun yang muslim.
Pada tahun 1853, Sultan Ibrahim Mansyur Syah, Sultan Aceh, mengangkat Wan Usman
di Labuhan Deli dengan nama Sultan Usman Perkasa Alam menjadi Sultan Deli yang
pertama. Diperkirakan identitas Batak Karo di kerajaan tersebut setelah itu mulai
menurun. Identitas Melayu mulai diperkenalkan.
Sementara itu di tanah Karo pegunungan didirikan kerajaan Sibayak oleh pihak Belanda.
Sebenarnya di pegunungan Sibayak telah berdiri kerajaan-kerajaan huta yang kecil yang
otoritasnya hanya pada penduduk di satu kampung.
Upaya untuk menciptakan Kerajaan Sibayak yang bersatu dimulai oleh Belanda dalam
rangka kebijaksanaan Devide Et Impera.
Di sana terdapat kerajaan yang bernama Kerajaan Lingga yang sejak dahulu kala eksis
namun pengaruhnya tidak besar. Kerajaan Lingga ini juga kut serta dalam membentuk
komunitas Batak Gayo dan Alas di Aceh.
Keduanya dipilih oleh Belanda dari beberapa raja lingga yang telah eksis berabad-abad
tapi dalam bentuk kecil kerajaan-kerajaan desa.
Perbedaan identitas juga terdapat di dalam komunitas Karo. Mereka yang bermukim di
tanah Karo pegunungan hingga tahun 1905 tetap masih menganut agama tradisional
Batak. Dalam abad ke-20 mereka banyak menganut Kristen Protestan Kalvinis.
Sementara itu orang Karo Dusun kebanyakan adalah muslim sejak masa kesultanan
Haru Delitua (1508-1523).
Akibat penurunan identitas Karo menjadi Melayu banyak orang Karo yang muslim yang
tidak mencantumkan marganya saat lahir. Kebangkitan identitas Karo akhirnya terjadi
lagi pada era tahun 1950-an. Di mana banyak muslim Karo sudah mengenakan
marganya kembali.
Sejarah marga Tanjung di tanah Batak sangat istimewa. Mereka ini kebanyakan menjadi
bangsawan dan kesatria. Dalam sejarah Sisingamangaraja diketahui bahwa orang-orang
marga Tanjung menempati posisi panglima daerah militer, seperti Syarief Tanjung,
panglima Sisingamangaraja di Dairi.
Sejarah menulis bahwa tahun 1700-an, marga Tanjung dapat mencapai tampuk
kekuasaan dan menjadi raja di Sorkam dengan raja pertamanya Raja Junjungan Tanjung
Gelar Datuk Bungkuk (Datoek Boengkoek). Sorkam memisahkan diri dari kesultanan
Barus, paska konflik keluarga di istana Barus.
Junjungan Tanjung berasal dari Sipultak, Humbang, Toba. Dia berkuasa di Kerajaan
Sorkam pada tahun 1757 Masehi. Sebagai sebuah daerah yang otonom dari pengaruh
Kesultanan Barus, Sorkam selalu berada dalam bayang-bayang hegemoni raja-raja
Barus.
Pada awal tahun 1992, dalam sebuah upaya pencarian sejarah, dibentuklah panitia
pemugaran makam dan penyusunan silsilah sembilan tarombo di Sorkam. Keturunan
Raja Junjungan Gelar Datuk Bungkuk Tanjung bertugas merajut kembali sejarah para
raja-raja Sorkam. Namun usaha ini belum tuntas melakukan usaha pencarian jejak
tersebut.
Yang berhasil ditemukan dalam pemakaman kuno tersebut adalah sebuah prasasti Raja
Janko Gelar Datuk Raja Amat Tanjung, yang wafat sekitar tahun 1269 H. Kemudian
makam Muhammad Amin Tanjung, wafat sekitar tahun 1926 M di Laut Sakutra tak lama
berselang menunaikan ibadah haji.
Juga ditemukan sebuah nisan tergeletak di semak belukar dalam posisi miring. Besar
dugaan, nisan ini adalah nisan raja Sorkam lain yang hidup pada tahun 1645 M. Selain
ini ada beberapa nisan lain yang masih dalam tahap identifikasi.
Dinasti Tanjung adalah sebagai berikut:
Rakyat Batak Muslim yang dianggap sebagai golongan adat juga mendukung
kekuasaan Sisingamangaraja X di berbagai tempat. Salah satu putra terbaik mereka
telah menjadi panglima Sisingamangaraja X di Benteng Salak Dairi yaitu Panglima Syarif
Tanjung, seorang yang menjadi teman dekat Raja. Benteng ini merupakan sistem
pertahanan Sisingamangaraja X untuk mengamankan Salak Dairi sebagai ibukota kedua
pemerintahan Sisingamangaraja X
Benteng Tanjungbunga dipimpin oleh Raja Baganding Sagala. Benteng Dolok Sanggul
dipimpin oleh Raja Humirtok Rambe, seorang Raja daerah Tukka dekat Barus yang
sering bertindak sebagai duta besar ke Aceh. Benteng Laguboti dipimpin oleh Raja
Sahala Simatupang.
Perang ini dimenangkan oleh Fakih Amiruddin dengan pasukan Padri Bataknya dan
mendirikan pemerintahannya dengan ibukota Siborong-borong.
Istana pemerintahan Fakih Amiruddin berpusat di Siborong-borong pada sebuah
gedung yang setelah kepergian Fakih Amiruddin, tahun 1800-an, istana tersebut
menjadi rumah kediaman pegawai Controleur/BB Belanda.
Wilayah kekuasaan Fakih Amiruddin di Uluan, Porsea diberikan dalam tanggung jawab
Mansur Marpaung. Mansur Marpaung sendiri selain sebagai panglima pasukan Fakih
Amiruddin, juga merupakan putra daerah Porsea. Paska perang, dia menduduki Asahan
dan menjadi Tuanku Asahan. Kantor pemerintahan Mansur Marpaung sekarang menjadi
sebuah mesjid di Porsea. Di Uluan juga, yang bukan wilayah Mansur, memerintah
Alamsyah Dasopang kantornya berada dalam sebuah rumah yang kini menjadi sebuah
pasar.
Wilayah Toba dipimpin oleh Idris Nasution dan kantornya berada di Laguboti yang
kemudian di zaman Belanda menjadi sekolah pertukangan. Panglima lain, Jagorga
Harahap menjadi penanggung jawab daerah Pahae Silindung, dan kantor
pemerintahannya berada di Sigompulon yang pada jaman Belanda berubah menjadi
HIS/Sigompulon. Di wilayah Silindung yang lain memerintah Raja Gadumbang yang
berkantor di Pearaja sebuah tempat milik Jagorga Harahap dalam bisnis garam dan di
zaman Belanda dirampas menjadi kantor pusat HKBP.
Panglima yang lain yakni Pemasuk Lubis memimpin sebuah sekolah di bawah
pemerintahan Fakih Sinambela di Sipoholon yang sekarang menjadi Sekolah Pendeta
HKBP. (Sumber: Tuanku Rao, Ompu Parlindungan).
DINASTI PANE
Berikut adalah Dinasti Pane yang pernah direkam oleh sejarah sejak tahun 1700-an
“Pelabuhan Pane ini dari mana ‘banyak kamper bermutu” dikeluarkan, terletak di pantai
timur di bawah Perlak dan tidak lain dari Pane.” Tampaknya persamaan fonetik dengan
Langsa, Tamiang, Kompe, Aru atau Labuhan Deli tindak mungkin, sama juga dengan
Kota Cinayang berkembang antara akhir abad ke-12 M dan akhir abad ke-14 M: E.
McKinnon, “Research at Kota Cina, a Sung-Yang period trading site in East Sumatra”,
Archipel, 14, 1977, hal. 19-31.
Salah satu dari dua kuala yang terletak sesudah Tanjung balai, serta sungai yang
berkuala di sini (Aek Pane atau Sungai Pane alias Batang/Sungai Barumun) dinamakan
Pane. Selain itu, sebuah kampung di sebelah kanan anak sungainya yang pertama, yaitu
Sungai Bila, bernama Pane. Mungkin bagian hilir anak sungai ini juga dinamakan Pane
karena merupakan salah satu dari perpanjangannya. (Pada 2′ 22′ U 100′ 5′ T: Residentien
Sumatra’s Oostkust…, dimana terdapat tempat-tempat lain yang bernama Pane.
Dalam peta Residentien Sumatra’s Oostkust…nama Pane diberikan kepada kuala dan
bagioanm hilir Batang atau Sungai Barumun yang bermuara dengan Sungai Bila. Hal
yang sama dalam Atlas van de gewesten der buitenbezittingen, peta Tropisch
Nederland, Batavia, 1938, lembar 2a, sungainya dinamakan Sungai Barumun sampai
Kuala Pane. Sama juga dalam Indonesia 1:250000, lembar “Tanjung Balai”, 1960. Diduga
nama Pane diberikan untuk bagian hilir Sungai Bila, yang kadang kala juga dinamakan
Pane, serupa dengan bagian hilir Sungai Barumun dalam beberapa peta. Di Kampung
Pane, jarak antara kedua sungai ini beberapa kilometer saja.
Dalam suratnya kepada Jacques I, Iskandar Muda mencatat Pane sebagai jajahan Aceh
di pantai timur Sumatra. Sedangkan dalam Negarakertagama terdapat nama Pane. Juga
dalam prasasti Rajendra I di Tanjavur mencatat “Pane di tepi Sungai” di antara kota atau
daerah yang diserang oleh tentara Cola pada tahun 1025 M. (Lombard, hal 98-99).
Lokasi ini diduga bernama Kuala Pane. Sekarang di bagian selatannya terdapat
pelabuhan Labuhan Bilik.
Namun hipotesisi tentang lokasi ini, sebagaimana sering diusulkan, diragukan karena di
gabian hulu sungai Barumun, di dataran tinggi Padang Lawas, terdapat sekumpulan
candi dan kebanyakan terletak di tepi sungai yang juga bernama Pane (Batang Pane),
anak Sungai Barumun.
Berdasarkan epigrafi dan tanda-tanda pengaruh Jawa, candi-candi ini diduga dari abad
ke-10 hingga abad ke-14 M dan merupakan peninggalan dari sebuah kerajaan besar
beragama Buddha dan berpusat di daerah pedalaman.
Nama Pane juga terdapat di tempat lain: Sebuah Kota dan sebuah daerah di sebelah
timur Danau Toba dan daerah pedalaman kota Tanjung Balai. Wheatly berpendapat
bahwa sal kata nama Pane berasal dari bahasa Tamil yang berarti “ladang”, tapi ini
hanya merupakan sebuah usulan saja. Pane juga nama marga orang Batak di Pantai
Barat dan karena Padang Lawas lebih dekat dengan pantai ini, R. Mulai mengusulkan
bahwa Pelabuhan Sibolga dan Barus merupakan pintu masuk kerajaan tersebut yang
berpusat di daerah candi-candi.
Jelas bahwa Padang Lawas dahulu berhubungan dengan pantai barat. Mungkin daerah
Toba di selatan Danau Toba, tercatat dalam NegaraKertagama, berperan juga dalam
hubungan ini. Namun menurut Prasasti Tanjavur, “Pane terletak di tepi sungai”, dan
kurang dari seabad kemudian teks kita mencatat Pane sebagai pelabuhan. Akhirnya
pada abad ke-17, sebuah surat dari Iskandar Muda menyebut Pane dalam daftar
tempat-tempat di pantai timur, di antara Tanjung Balai dan Rokan.
Pelabuhan Pane dahulu benar-benar dekat dengan kuala sungai Pane dan kemungkinan
besar terletak di tempat yang dinamakan Pane sekarang. Hipotesisi ini diperkuat oleh
keadaan dimana sebuah anak sungai Barumun di bagian hulu, Sungai Barumun dan
kualanya dinamakan Pane. Mengenai Padang Lawas tidak ada halangan bahwa itu
termasuk dalam sebuah kerajaan yang bernama Pane dan berpusat di pantai atau
sebaliknya berpusat di daerah pedalaman dan berpintu di pantai.
Daerah-daerah yang paling kaya dengan kamper terletak di antara pelabuhan Barus dan
pelabuhan Pane, yakni Bukit Barisan. Maka adanya dua pelabuhan utama untuk kamper
yaitu di tepi Lautan Hindia dan tepi Selat Malaka adalah akibat dari konteks geografi
saja.
Namun untuk mengekspor kamfer dalam jumlah yang besar pada abad ke-12 M, Pane
semestinya berhubungan dengan daerah-daerah yang terletak di bagian hulu Sungai
Barumun, dan kalau sungai ini juga dinamakan sungai Pane, maka sungai inilah yang
sejak dahulu merupakan jalan utama untuk kamfer dan bahan-bahan dari pedalam ke
pantai timur.
Ini mungkin konfirmasi bahwa kerajaan Pane meliputi seluruh daerah aliran sungai
Barumun termasuk Padang Lawas. Walaupun Pane tidak disebut kemudian dalam
sumber Cina, termasuk Ma Huan, tidak berarti kerajaan ini telah hilang seperti yang
ditunjukkan oleh Millsm karena Ma Huan juga tidak menyebutkan kerajaan Lampung
dan Kampar.
Pane juga merupakan salah satu dari dua kerajaan yang tidak dicatat oleh Marco Polo,
mungkin karena Pane terletak di salah satu daerah yang tidak dikunjunginya. Namun
kemerosotan Sriwijaya sejak abad ke-13 M akibat serangan Siam dan Jawa, serta
hilangnya kekuasaan atas kawasan selat, pasti juga melemahkan Padang Lawas-Pane.
Berdasarkans sebuah prasasti dari abad ke-14 yang ditemukan di bagian hulu daerah
aliran sungai Rokan, yang dipercayai diperuntukkan bagi seorang tuan tanah yang
tunduk kepada Raja Adityawarman dari Minangkabau, diduga bahwa zaman itu di
Padang Lawas masih terdapat sebuah pusat kerajaan.
Pada abad ke-16 sewaktu Malaka dan Aceh berkembang, Sulayman al-Mahri mengenal
sebuah pelabuhan saja untuk kamfer di seluruh Sumatera, yakni Fansur dan tidak
mencatat Pane di antara Aru dan Rokan yang dideskripsikan sebagai dua pelabuhan
kecil. Pires meletakkan kerajaan Arcat, yang tunduk pada Aru, di daerah yang diduga
bernama Pane pada zaman sebelumnya. Selain itu, Pires menambahkan bahwa Aru
menyediakan sejenis kamfer yang kualitasnya lumayan dan berbagai jenis barang.
Sebagian dari barang dagangan itu beredar di Minangkabau sedangkan sebagain
lainnya dibawa ke Fansur , seperti jaman dahulu. (Cortesao hal 148).
DINASTI TARUMON di Singkil
Sebuah kerajaan Batak di Singkil. Bendera Kerajaan tarumon inilah yang mengilhami
bendera Dinasti Sisingamangaraja.
Sejarah Singkil
Pada permulaan abad ke 16 Kerajaan Aceh berada pada masa puncak kejayaannya,
dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda ( 1607 – 1638 ). Daerah kekuasaannya meliputi
pantai barat pulau Sumatera dari Bengkulu hingga ke pantai timur pulau Sumatera yang
meliputi Riau. Pada masa itu terdapat pula Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Aceh itu
sendiri, salah satunya terdapat di wilayah Aceh Singkil.
Dari peninggalan-peninggalan sejarah yang ada serta cerita rakyat yang berkembang
menunjukkan bukti adanya kerajaan-kerajaan di wilayah Singkil itu sendiri. Beberapa
peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut dapat dilihat dari ditemukannya situs-
situs bangunan serta alat-alat perlengkapan hidup seperti senjata, peralatan makan,
perhiasan, perlengkapan pertanian, adat istiadat. Hal ini menunjukkan adanya struktur
masyarakat berlapis yang ditunjukkan dengan terdapanya nama (gelar) Raja, pembantu-
pembantu raja dan rakyat biasa. Sewaktu kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar
Muda, didudukkanlah Syeikh Abdul Rauf as Singkili yang berasal dari wilayah Singkil
sebagai tempat orang merujuk hukum agama atau hukum Syara.
Lahir di Singkil dari keluarga yang ada hubungannya dengan Hamzah Fansuri seorang
tokoh kepenyairan di Indonesia. Pada masa itu masyarakat Aceh Singkil sudah memiliki
peradaban yang tinggi serta mempunyai pemerintahan, hal ini dikuatkan dengan
adanya Kerajaan Batu-batu, Penanggalan, Binanga dan lain-lainnya.
Pada masa itu banyak didatangkan pekerja (buruh) dari daerah pulau Jawa yang
dipekerjakan diperkebunan milik Belanda dengan cara sistem kontrak yang lebih dikenal
dengan “Kuli Kontrak”. Seiring dengan dibukanya perkebunan milik pemerintah kolonial
Belanda ini maka semakin terbukalah wilayah Singkil bagi masuknya penduduk lain
diluar wilayah Singkil.
Ada beberapa etnis awal atau asal dari penduduk yang menetap di wilayah Singkil, dan
dengan penelusuran jejak asalnya secara global maka terdapat berbagai etnis
didalamnya yaitu : Etnis Aceh, Etnis Batak, Etnis Minangkabau, Etnis Nias, dan Etnis-etnis
lainnya dalam jumlah kecil.
Pengelompokan ini didasarkan karena dari setiap etnis masih dapat dirinci asal muasal
etnis tersebut datang ke Singkil.Faktor-faktor yang menjadi tujuan utama etnis-etnis
tersebut datang ke wilayah Singkil adalah karena faktor ekonomi serta faktor-faktor
sekunder lainnya.
Etnis Aceh
Dimasa yang lalu kelompok etnis Aceh ini terkelompokkan dalam komunitas wilayah
tertentu. Diantara komunitas Aceh yang ada di wilayah Singkil adalah di Kuala Baru.
Budaya etnis Aceh berada dalam kehidupan bersama di kelompok yang telah ada acuan
kebersamaannya. Kelompok ini dipimpin oleh seoarang yang berwibawa dan
terpandang. Tetapi pimpinan ini tidak lantas menjadi pimpinan yang absolut. Pemimpin
etnis ini ditunjuk untuk mengurus soal adat (kepala adat), yang sangat erat
hubungannya dengan pemerintahan, ekonomi, politik dan kegiatan masyarakat lainnya.
Pemimpin didampingi oleh pemuka agama atau imam, yang menuntun kehidupan
keagamaan. Hukum yang dibuat oleh pimpinan dan masyarakat harus sesuai dengan
hukum agama. Oleh karena itu kedudukan seorang pimpinan keagamaan sama dengan
pimpinan kelompok.
Keadaan ini sama antara gampong (kampung), kerajaan besar atau kecil. Tradisi ini
memungkinkan adanya kerajaan kecil yang muncul di Kabupaten Aceh Singkil pada
waktu yang lalu, atas inisiatif etnis Aceh.
Sistem kemasyarakatan etnis Aceh adalah menurut garis keturunan Ayah dan juga Ibu.
Perpaduan patrilineal dan matrilineal ini dalam hubungan kekerabatan yang
mengakibatkan terjadinya pembauran etnis ini dengan etnis lainnya sehingga terjadinya
asimilasi sehingga menumbuhkan bentuk ke-Singkil-an suku. Terlebih lagi mencairnya
pemisahan antara berbagai etnis maka terjadilah perkawinan antar etnis yang
memunculkan kehidupan harmonis saling menghargai serta timbulnya rasa kesatuan
wilayah SINGKIL dan bahasa pergaulan tidak mutlak lagi dengan menggunakan bahasa
Aceh.
Etnis Batak
Wilayah Singkil merupakan bagian dari wilayah Aceh secara keseluruhan, tetapi wilayah
Singkil pada masa yang lalu jauh lebih sulit untuk dicapai atau didatangi oleh
masyarakat /penduduk Aceh lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya kendala-kendala
hubungan, keterikatan pada adat istiadat dan kendala lainnya yang menyebabkan
perpindahan penduduk dari etnis Aceh ini menjadi sedikit. Kendala utama yang menjadi
penghambat utama masuknya etnis Aceh ini adalah karena faktor keadaan alam Singkil
pada masa lalu.
Sebaliknya dari etnis Batak kendalanya lebih kecil, dan didorong untuk mendapat
kehidupan yang lebih baik karena keterbatasan tanah suku (adat) yang ada didaerah
asalnya yang menyebabkan lebih mudahnya mereka datang ke wilayah Aceh Singkil.
Terjadinya perpindahan penduduk (migrasi) dari daerah wilayah Batak telah
berlangsung sejak lama. Migrasi etnis Batak ini datang dengan cara berkelompok di
suatu lokasi yang kemudian menjadi Huta atau Kota/Kampung. Tradisi etnis batak,
marga pertama yang membuka huta adalah yang menjadi penguasa daerah
itu.Pendatang baru yang datang kemudian akan menempati daerah yang bertetangga
dengan penduduk yang datang sebelumnya, sehingga tersusun suatu tatanan
kemasyarakatan yang telah dihuni oleh masyarakat batak diatas.
Daerah yang telah ditempati diatas diatur oleh raja setempat, seperti Raja Penyusunan
Bulung merupakan raja yang menguasai pemerintahan Huta, Raja Torbin Balok yang
berkuasa di daerah tetangga Raja Penyusunan Bulung. Kedua kerajaan saling mengakui
kekuasaan masing-masing, sampai akhirnya kerajaan-kerajaan ini mengembangkan
kekuasaan ke daerah lain dan membuat sistem pemerintahan yang lebih teratur di
daerah masing-masing.
Secara psikologis penduduk batak (yang biasanya memakai marga di akhir namanya)
dengan penduduk lainnya tidak memakai marga bergaul harmonis diantara sesama
mereka. Karena marga itu sebuah nama, yang membedakan pemanggilan antara
seseorang dengan lainnya. Banyak juga dari etnis Batak ini sudah tidak memakai marga,
tetapi hanya menjadi pegangan dalam silsilah keturunan dan pergaulan sesama
marganya.
Etnis Minangkabau
Etnis ini lebih lazim disebut orang Padang. Migrasi etnis ini lebih di dorong oleh faktor
dagang. Orang Padang terkenal sebagai pedagang ulung dan gigih. Kedatangan etnis
ini ke wilayah Singkil berdagang membawa barang kebutuhan penduduk dan juga
merupakan penjaja jasa seperti tukang emas, tukang pangkas (cukur), penjahit pakaian
laki-laki dan perempuan serta jasa lainnya yang diminati penduduk.
Orang padang lebih banyak mendatangi /menetap di wilayah singkil sekitar pantai/laut,
karena mudah dihubingi dengan perahu layar/kapal laut. Budaya orang padang yang
dibawa oleh pedagang-pedagang yang datang ke wilayah Singkil ikut terlarut
berasimilasi dengan kebudayaan-kebudayaan setempat, sehingga menghasilkan
kebudayaan yang unik, tidak sama dengan kebudayaan asli yang dibawa oleh etnis-etnis
yang datang ke wilayah Singkil. Perkawinan yang menurunkan generasi penerus telah
membaurkan penduduk dalam wajah orang Singkil.
Etnis Nias
Etnis ini mempunyai Bahasa sendiri dan dikenal oleh penduduk wilayah Singkil, tapi
tidak digunakan secara umum dengan etnis lainnya. Etnis nias bermigrasi ke Singkil
melalui laut dengan perahu layar. Etnis Nias terkenal juga dengan Pelaut-nya, karena
etnis ini merupakan penduduk dari sebuah Pulau di samudera Hindia, di sebelah barat
daya wilayah Singkil.
Dari segi fisik etnis ini pada umumnya mempunyai ciri khusus kuning langsat. Asli etnis
ini tidak menggunakan huruf n, m ng (sengau) dalam menyebutkan kata-kata.
Etnis lainnya
Di wilayah Singkil terdapat juga beberapa etnis lain, seperti Bugis, Jawa, Cina, Arab dan
Keling. Migrasinya etnis-etnis ini ke wilyah Singkil berlatar belakang perdagangan dan
mencari pekerjaan.
Pembuktian etnis Bugis di Aceh Singkil adalah adanya nama-nama benda yang sama
dengan bahasa Bugis asli, dendang bugis yang irama dan kata-katanya mirip (walau
tidak sama) dengan dendang singkil begitu pula adat istiadatnya.
Untuk etnis Cina, di Singkil terdapat kampung yang bernama kampung Cina, walau
sekarang tidak lagi dihuni oleh orang-orang Cina.
Untuk Etnis Arab, salah satu buktinya terdapat nama said, syarifah dan makanan khas
arab yang telah disesuaikan dengan lidah orang Singkil.
Untuk etnis Keling (India), dulu terdapat kampung keling terdapat penjual susu murni.
Untuk etnis Eropa, tidak jelas apakah mereka meninggalkan keturunan di Singkil, karena
mereka dulunya berdiam di lokasi khusus perumahan perkebunan sawit dan karet milik
perusahaan Eropa di onderneming Lae Butar Rimo.
Etnis Jawa yang berada di Aceh Singkil, terutama bekerja di perkebunan dan karet di
wilayah Simpang Kanan yang disebut Perkebunan Lae Butar bergabung dalam PT
Socfindo.Perpindahan etnis Jawa ini berlangsung sejak jaman kolonial Belanda. Saat itu
diperlukan banyak tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit. Transmigrasi ini berlanjut
pada masa pemerintahan Republik Indonesia. Generasi keturunan lanjut mereka yang
telah menciptakan gerak sosial ( social mobility ) dalam kehidupan di Aceh Singkil.
Selanjutnya adalah Etnis Aceh yang mempunyai hubungan dengan penduduk wilayah
Singkil yang berasal dari Kuta Cane dan Blangkejeren (Aceh Tenggara).
_________________________
· Kesultanan Trumon merupakan bagian dari kerajaan Batak yang diakuisisi oleh
Kesultanan Aceh setelah rajanya masuk Islam. Bendera Kerajaan Trumon merupakan
cikal-bakal bendera yang dipakai oleh Sisingamangaraja XII.
Kesultanan Barus di Kawasan Fansur, bukan yang Hulu, didirikan oleh Keturunan Raja Uti
dimana Raja Uti diyakini masih merupakan "paman adat" Dinasti Sisingamangaraja di
Bakkara. Sekarang ini masih terdapat bangunan benteng di Trumon sebagai bukti
sejarah kerajaan ini.
Bangunan benteng Kuta Batee dibangun ketika Kerajaan Trumon dipimpin atau di
bawah pemerintahan Teuku Raja Fansuri Alamsyah yang juga dikenal dengan sebutan
Teuku Raja Batak. Dalam masa ini pula, Trumon meraih kejayaannya hingga berhasil
mencetak mata uang sendiri sebagai alat tukar yang sah.
Teuku Raja Batak ini merupakan raja ketiga, menggantikan ayahnya bernama Teuku Raja
Bujang yang sebelumnya menerima tahta dari kakeknya (ayah Raja Bujang) yaitu Teuku
Djakfar selaku pendiri Kerajaan Trumon dan Kerajaan Singkil.
Selain berfungsi sebagai benteng pertahanan ketika diserang musuh (penjajah), benteng
ini juga digunakan sebagai kantor pusat pengendalikan pemerintahan oleh raja. Di
dalamnya juga terdapat istana raja dan sebuah gudang tempat menyimpan barang-
barang penting milik kerajaan.
Luas bangunannya sekitar 60 x 60 meter dengan tinggi sekira empat meter. Sedangkan
tebal dindingnya mencapai satu meter dengan tiga lapisan. Dinding bagian luar terbuat
dari batu bata, kemudian pasir setebal tiga puluh sentimeter dan dinding bagian dalam
terbuat dari batu bata tanah liat.
Di sekeliling benteng terdapat balai sidang. Balai ini biasanya digunakan untuk kegiatan
rapat atau sidang-sidang adat kerajaan yang dipimpin langsung oleh raja. Selain itu juga
terdapat rumah sula (penjara). Sula adalah besi-besi yang diruncingkan dan terpancang
di tanah sebagai tempat hukuman mati bagi penjahat yang divonis hukuman mati.
[sunting] Pendiri kerajaan
Dengan demikian tidak heran, kalau Benteng Kuta Batee ini akhirnya selamat dan
terhindar dari bencana gelombang tsunami, berkat doa Raja-raja Trumon yang terkenal
alim heroik itu.
Wilayah Singkil saat ini merupakan bagian dari wilayah Provinsi Aceh Darussalam (NAD).
Penduduk dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil secara garis besar dapat
dikelompokkan berdasarkan asal-usulnya, walaupun sekarang ini sudah samar (tidak
kentara lagi).
Ada beberapa etnis awal atau asal dari penduduk yang menetap di wilayah Singkil, dan
dengan penelusuran jejak asalnya secara global maka terdapat berbagai etnis
didalamnya yaitu : Etnis Aceh, Etnis Batak, Etnis Minangkabau, Etnis Nias, dan Etnis-etnis
lainnya dalam jumlah kecil.
Pada masa yang lalu daerah Singkil pernah berjaya dengan Kesultanan Singkel/Singkil
yang berbudaya Batak Singkil. Budaya Batak Singkil ini hampir mirip dengan budaya
Batak Pakpak yang memang berbatasan langsung dengan Wilayah Singkil. Salah satu
Sub Suku Batak Pakpak yaitu Pakpak Boang sejak dahulu kala bermukim di Tanah yang
kini masuk dalam wilayah administrative Singkil. Secara adat dan bahasa mereka
memiliki kemiripan. bahkan mereka tetap mempertahankan budaya Batak. Etnis Batak
biasanya memakai marga di ujung nama mereka. Walaupun begitu saat ini sudah
banyak yang tidak memakai marga di ujung nama mereka, namun mereka berpegang
pada silsilah.
Etnis Batak Merupkan Etnis Mayoritas di Subulussalam dan Aceh Singkil. Di wilayah
Singkil, Etnis Batak ini sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu: Suku Pakpak dan Suku
Boang.
Secara umum keduanya memiliki banyak persamaan dari segi bahasa dan akar budaya,
akan tetapi ada perbedaan kedua bagian ini diantaranya sebagai berikut :
- Suku Boang adalah mereka yang pada awalinya yang Tinggal di Daerah Aliran
Sungai (DAS). Walaupun saat ini mereka sudah menyebar ke daerah perkotaan. Ada
juga yang mengatakan inilah penduduk asli Aceh Singkil, tapi berita ini masih
simpang siur.
- Sedangkan Batak Pakpak adalah Mereka yang tinggal lebih dekat ke daerah
perbatasan Sumut. Dalam keseharian mereka ini lebih sering dikenal dengan istilah
Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Boang. Antara lain
marga Sambo, Penarik, dan Saraan.
Adapun perbedaan yang jelas terlihat adalah dari segi bahasa yang di gunakan oleh
mereka. Bahasa Pakpak pengucapan konsonan ‘R’ sedangkan dalam Bahasa Singkil
diucapkan secara uvular sebagai ‘Kh’. Misalnya Orang Pakpak Mengucapkan ROH KE
WEH. Dan orang Boang Mengucapkan KHO KENE KAUM. Atau arti sopannya dalam
basasa Indonesia adalah Selamat Datang.
Walaupun ada perbedaan seperti itu kedua suku mayoritas yang ada di Aceh Singkil dan
Subulussaam, namun mereka tetap hidup harmonis dan tidak pernah
mempermasalahkan suku antara satu dengan yang lain.
Pada masa perang ini Gubernur militer Belanda dari Sumatra's Oostkust (Sumatera
Timur) meminta bantuan kepada Gubernur mIliter Belanda di Atjeh untuk memotong
kekuatan Sisingamangaradja yang bertahan di Tanah Dairi dari arah Utara. Bantuan dari
Utara (Aceh) dmaksudkan untuk memotong jalur bantuan dari Kesultanan Batak Singkil
sekutu setia Sisingamangaradja yang memiliki akses ke pesisir pantai Barat. Juga
dimaksudkan untuk memotong jalur masuknya bantuan paramiliter dari Kesultanan
Aceh via pengiriman para penglima perang beretnis Batak Gayo dan Batak Alas yang
telah berlangsung cukup lama.
Akibat dari perang ini penaklukan kerajaan Singkil dn bertekuk lutut kepada pasukan
Belanda yang menyerang dari Utara.
Daerah Batak Singkil, Batak Gayo, Batak Kluet, dan Batak Alas atas permintaan
komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam wiklayah Keresidenan
Atjeh sebagai bagian kompensasi bantuan mereka sekaligus pelaksanaan Politik Devide
et impera. Di sana mereka menjadi suku-suku Batak minoritas dalam lingkungan budaya
mayoritas suku Aceh.
Dimana pada saat yang hampir bersamaan wilayah Batak lainnya dibagi pula ke dalam
beberapa wilayah Keresidenan yang berbeda yakni :
Pada masa abad ke-16M (1590-1604 M) Tanah Singkil pernah melahirkan tokoh Batak
terkenal yang banyak meninggalkan karya seni berupa syair-syair yaitu Hamzah Fansur.
Seorang tokoh inteletual Batak pesisir yang berasal dari kota Pansur di Sungkil. Beliau
menggambarkan keindahan kota Barus saat itu. Keramaian dan kesibukan kota
pelabuhan dengan pasar-pasar dan pandai emasnya yang cekatan mengubah emas
menjadi “ashrafi”, kapal-kapal dagang besar yang datang dan pergi dari dan ke negeri-
negeri jauh, para penjual lemang tapai di pasar-pasar, proses pembuatan kamfer dari
kayu barus dan keramaian pembelinya, lelaki-lelaki yang memakai sarung dan
membawa obor yang telah dihiasi dalam kotak-kotak tempurung bila berjalan malam.
Gadis-gadis dengan baju kurung yang anggun dan di leher mereka bergantung kalung
emas penuh untaian permata, yang bila usia nikah hampir tiba akan dipingit di rumah-
rumah anjung yang pintu-pintunya dihiasi berbagai ukiran yang indah.
Pada bagian lain syair-syairnya juga memperlihatkan kekecewaanya terhadap perilaku
politik Sultan Aceh, para bangsawan dan orang-orang kaya yang tamak dan zalim yang
saat itu pernah menguasai bandar Barus hingga Singkil.
Sebagaimana para sarjana Batak, Hamzah Fansuri mendapat pengaruh besar di Aceh.
Van Nieuwenhuijze (1945) dan Voerhoeve (1952) berpendapat bahwa Hamzah Fansuri
memainkan peran penting di dalam kehidupan kerohanian di Aceh sampai akhir
pemerintahan Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1590-1604).
Sekitar tahun 1630 M murid Hamzah Fansuri bernama Syamsuddin al-Sumatrani
kemudian merantau ke Aceh dan menjadi penasihat politik dan agama di Pasai bagi
Sultan Iskandar Muda. Dia wafat tahun 1630 M. Dia satu angkatan dengan Abdulrauf
Fansuri, tokoh lain inteletual Batak.
Pada masa yang lalu daerah Singkil jauh dan sulit untuk dicapai atau didatangi oleh
masyarakat / penduduk etnis Aceh dari daerah Utara. Hal ini disebabkan karena adanya
kendala-kendala hubungan, keterikatan pada adat istiadat dan kendala lainnya yang
menyebabkan perpindahan penduduk dari etnis Aceh ini menjadi sedikit. Kendala utama
yang menjadi penghambat utama masuknya etnis Aceh ini adalah karena faktor
keadaan alam Singkil pada masa lalu.
Sebaliknya dari etnis Batak kendalanya lebih kecil, dan didorong untuk mendapat
kehidupan yang lebih baik karena keterbatasan tanah suku (adat) yang ada di daerah
asalnya yang menyebabkan lebih mudahnya mereka datang ke wilayah Singkil.
Terjadinya perpindahan penduduk (migrasi) dari daerah wilayah Batak telah
berlangsung sejak lama. Migrasi etnis Batak ini datang dengan cara berkelompok di
suatu lokasi yang kemudian menjadi Huta atau Kota/Kampung. Tradisi etnis Batak,
marga pertama yang membuka huta adalah yang menjadi penguasa daerah itu.
Pendatang baru yang datang kemudian akan menempati daerah yang bertetangga
dengan penduduk yang datang sebelumnya, sehingga tersusun suatu tatanan
kemasyarakatan yang telah dihuni oleh masyarakat Batak di atas.
Daerah yang telah ditempati diatas diatur oleh raja setempat, seperti Raja Penyusunan
Bulung merupakan raja yang menguasai pemerintahan Huta, Raja Torbin Balok yang
berkuasa di daerah tetangga Raja Penyusunan Bulung. Kedua kerajaan saling mengakui
kekuasaan masing-masing, sampai akhirnya kerajaan-kerajaan ini mengembangkan
kekuasaan ke daerah lain dan membuat sistem pemerintahan yang lebih teratur di
daerah masing-masing.
Pada tahun 1814, John Canning, seorang penyusup dan pegawai perusahaan Inggris
berhasil memasuki Barus setelah sebelumnya perusahaan Inggris telah membuka kantor
cabangnya di kota pelabuhan Natal. Canning diberi misi untuk memata-matai dan
mengukur kekuatan pengusaha Aceh dan pengaruh Kesultanan Aceh di Barus. Menurut
informasi orang-orang Eropa saat itu, pasukan Aceh telah ditempatkan secara temporer
di Taruman, sebuah wilayah Barus perbatasan antara Kesultanan Barus dan Aceh.
Wilayah Taruman itu mencakup Singkil sampai Meulaboh. Paska bercokolnya kembali
Belanda, wilayah Taruman berhasil memproklamirkan diri menjadi Kesultanan Tarumon
dengan sultan yang berasal dari Batak Singkil serta dengan pengakuan dari Aceh.
Secara psikologis penduduk etnis Batak (yang biasanya memakai marga di akhir
namanya) dengan penduduk lainnya tidak memakai marga bergaul harmonis diantara
sesama mereka. Karena marga itu sebuah nama, yang membedakan pemanggilan
antara seseorang dengan lainnya. Banyak juga dari etnis Batak ini sudah tidak memakai
marga, tetapi hanya menjadi pegangan dalam silsilah keturunan dan pergaulan sesama
marganya.
- Kombih (Kumbi)
- Ramin
- Buluara
- Palis
- Melayu
- Goci,
- dll
- Sambo
- Penarik
- Seraan,
- dll
Disamping itu juga banyak marga Batak pendatang yang telah menjadi pengusung
budaya Singkil, diantaranya :
- Sinambela
- Bakkara
- Manik
- Sigalingging
- Mukkur
- Sitorus
- Pasaribu
- Pardosi,
- -dll.
Misteri Prasasti Dolok Tolong
Tidak banyak literatur yang membahas eksistensi prasasti Dolok Tolong di Balige,
Kabupaten Toba Samosir ini. Seperti prasasti dan inskripsi lain yang berada di Tanah
Batak di Tapanuli, prasasti Dolok Tolong seakan tenggelam dengan eksistensi ribuan
prasasti di Indonesia. Walaupun prasasti ini tidak akan berpengaruh besar terhadap
sejarah Indonesia secara keseluruhan, namun diyakini keanehan tetap ada karena
prasasti ini tepat berada di sekitar jantung Tanah Batak. Bahkan Balige merupakan
pusat perdagangan kerajaan Batak sejak dahulu kala dengan istilahnya; ‘Onan Bolon’.
Di Onan Bolon inilah berbagai bentuk hukum dan konstitusi diamandemen dengan
keterlibatan langsung rakyat dan masyarakat yang juga memanfaatkan onan sebagai
pusat transaksi dagang yang memang menjadi tujuan utama.
Prasasti Dolok Tolong ini seakan menjelaskan sekali lagi pluralisme masyarakat Tapanuli
dan Batak yang menjadi cikal bakal budaya toleransi dan tenggang rasa yang tinggi
yang dianut oleh setiap orang Tapanuli sampai sekarang ini. Sikap itu tampak dari
bentuk pemikiran yang terbuka atas segala bentuk ide dan konsep. Tentunya, terdapat
juga kemungkinan adanya bagian kecil orang Batak yang berpikiran picik seperti halnya
di berbagai tempat lainnya di Indonesia.
Tapanuli, seperti halnya daerah lain di Indonesia, merupakan daerah yang juga banyak
mendapat pengaruh dari dunia luar. Beberapa manuskrip kuno seperti Sejarah Raja-jara
Barus, Hikayat Raja Tuktung dan Hikayat Hamparan Perak dan lain sebagainya, banyak
menceritakan struktur masyarakat dan sosial Batak di zaman dahulu. Baik itu penjelasan
mengenai saat-saat pembentukan sistem hukum dan perundangan-undangan maupun
penjelasan mengenai peran orang Batak sebagai penyebar agama Islam di sekitar
daerah yang sekarang menjadi bagian dari Sumatera Utara.
Dari berbagai manuskrip itu didapat sejarah Kerajaan Balige di tahun 1500-an yang saat
itu diperintah oleh putra bungsu dari Si Raja Hita, putera Sisingamangaraja I yang
menghilang dari Bakkara. Abang sulung dari Raja Balige tersebut bernama Guru
Patimpus, seorang Raja dan Ulama, yang kemudian bermigrasi ke pesisir Timur
Sumatera. Dia, yang memiliki anak-anak yang hafizd al-Qur’an, dikenal sebagai pendiri
Kota Medan di tahun 1590.
Selain bukti sejarah tersebut, eksistensi prasasti Dolok Tolong diyakini merupakan bukti
utama atas persinggungan budaya Batak dengan peradaban Hindu dan Buddha di
Indonesia.
Menurut berbagai literatur yang secara terpecah-pecah menyinggung bukti sejarah ini,
prasati ini merupakan prasasti atas eksistensi orang Majapahit di Tanah Batak. Saat itu,
pasukan marinir Majapahit mengalami kekalahan pahit di Selat Malaka. Melalui sungai
Barumun mereka menyelamatkan diri ke daratan Sumatera sampai ke suatu daerah di
Portibi. Di sana, mereka dicegat masyarakat sehingga membuat mereka terpaksa
melanjutkan pelarian sampai ke Bukit Dolok Tolong di Balige. Di Gunung inilah mereka
meminta suaka politik kepada seorang Raja di tempat dari sub-rumpun marga Sumba
(Isumbaon) yang saat itu menguasai wilayah tersebut.
Dolok Tolong, yang juga dikenal dengan nama Tombak Longo-longo Sisumbaon, ini
merupakan sebuah pegunungan yang lumayan tinggi, dari puncaknya pandangan dapat
di arahkan ke tanah Asahan, Labuhan Batu dan Angkola Sipirok dengan pemandangan
yang sangat mempesona.
Pendapat lain mengatakan bahwa Pangeran tersebut juga menikahkan seorang putri
yang ikut dalam rombongan pelarian kepada seorang raja Batak di tempat. Putri
tersebut bernama Si Boru Baso Paet. Ada yang menafsirkan bahwa Si Boru Paso Paet
sebenarnya merupakan perusakan kata dari Si Boru Majapahit yang artinya Srikandi
Majapahit.
Lebih jauh lagi ada pula yang mengatakan bahwa Si Boru Baso Paet itulah yang menjadi
nenek moyang orang Batak. Namun keterangan ini menjadi membingungkan karena
eksistensi orang Batak di berbagai literatur telah ada berabad-abad sebelumnya dan
bahkan ada pada ke-2 M telah berinteraksi dengan pelaut asing seperti yang diceritakan
oleh Ptolemeus, tapi dengan nada negatif.
Tapi bila dilihat dari nama penamaan tempat itu oleh orang setempat, Tombak Longo-
longo Sisumbaon, ada kemungkinan bahwa bukit tersebut merupakan pusat religi kaum
animisme dan paganisme Batak dahulu kala. Arti harfiah dari kalimat tersebut adalah
Hutan Rimba Yang Menjadi Tempat Persembahan. Eskistensi nama tempat ini sepertinya
mirip dengan nama Dolok Partangisan di sebuah daerah antara Dolok Sanggul dan Tele
yang merupakan tempat tradisional untuk memberikan sesajen berupa manusia
(korban) untuk memuja roh atau dikenal dengan istilah mamele begu.
Yang sangat disayangkan adalah tidak adanya sebuah penelitian yang menyeluruh atas
apa isi dan arti sebenarnya dari tulisan atau tanda yang terdapat di prasasti tersebut.
Bukan tidak mungkin, selain dari dugaan kedatangan orang Majapahit, sebenarnya
terdapat bentuk kebudayaan di Balige yang selama ini tidak dikenal. Atau kemungkinan-
kemungkinan lainnya.
Tentu yang paling disayangkan lagi adalah rendahnya peran pemerintah daerah dalam
menghormati eksistensi bukti-bukti sejarah ini. Padahal tidak sedikit dana APBD
dikucurkan untuk membangun objek-objek wisata, konvensional maupun rohani, yang
tampaknya sangat berlebihan dan terkesan mubazzir serta tidak produktif. Pemerintah
seharusnya tidak terjebak dalam sebuah kebijakan yang malah menghilangkan nilai-nilai
pluralisme budaya dan adat.
Bukan tidak mungkin apabila prasasti ini dapat diungkap lebih mendalam lagi, banyak
kearifan lokal yang banyak diambil hikmahnya oleh generasi muda sekarang ini.
Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam bernama Manuk
Manuk Hulambujati (MMH) berbadan sebesar kupu-kupu besar, namun telurnya
sebesar periuk tanah. MMH tidak mengerti bagaimana dia mengerami 3 butir telurnya
yang demikian besar, sehingga ia bertanya kepada Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta)
bagaimana caranya agar ketiga telur tsb menetas. Mulajadi Na Bolon berkata, "Eramilah
seperti biasa, telur itu akan menetas!" Dan ketika menetas, MMH sangat terkejut karena
ia tidak mengenal ketiga makhluk yang keluar dari telur tsb. Kembali ia bertanya kepada
Mulajadi Nabolon dan atas perintah Mulajadi Na Bolon, MMH memberi nama ketiga
makhluk (manusia) tsb:
SIBORU PAREME untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki laki
diberi nama TUAN SORI MUHAMMAD, dan DATU TANTAN DEBATA GURU
MULIA dan 2 anak perempuan kembar bernama SIBORU SORBAJATI dan SIBORU
DEAK PARUJAR.
Anak kedua MMH, Tuan Soripada diberi istri bernama SIBORU PAROROT yang
melahirkan anak laki-laki bernama TUAN SORIMANGARAJA
Anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama SIBORU PANUTURI
yang melahirkan TUAN DIPAMPAT TINGGI SABULAN.
Dari pasangan Ompu Tuan Soripada-Siboru Parorot, lahir anak ke-5 namun karena
wujudnya seperti kadal, Ompu Tuan Soripada menghadap Mulajadi Na Bolon (Maha
Pencipta). "Tidak apa apa, berilah nama SIRAJA ENDA ENDA," kata Mulajadi Na Bolon.
Setelah anak-anak mereka dewasa, Ompu Tuan Soripada mendatangi abangnya, Tuan
Batara Guru menanyakan bagaimana agar anak-anak mereka dikawinkan.
"Kawin dengan siapa? Anak perempuan saya mau dikawinkan kepada laki-laki mana?"
tanya Tuan Batara Guru.
"Bagaimana kalau putri abang SIBORU SORBAJATI dikawinkan dengan anak saya Siraja
Enda Enda. Mas kawin apapun akan kami penuhi, tetapi syaratnya putri abang yang
mendatangi putra saya," kata Tuan Soripada agak kuatir, karena putranya berwujud
kadal.
Akhirnya mereka sepakat. Pada waktu yang ditentukan Siboru Sorbajati mendatangai
rumah Siraja Enda Enda dan sebelum masuk, dari luar ia bertanya apakah benar
mereka dijodohkan. Siraja Enda Enda mengatakan benar, dan ia sangat gembira atas
kedatangan calon istrinya. Dipersilakannya Siboru Sorbajati naik ke rumah. Namun
betapa terperanjatnya Siboru Sorbajati karena lelaki calon suaminya itu ternyata
berwujud kadal. Dengan perasaan kecewa ia pulang mengadu kepada abangnya Datu
Tantan Debata.
"Lebih baik saya mati daripada kawin dengan kadal," katanya terisak-isak.
"Jangan begitu adikku," kata Datu Tantan Debata. "Kami semua telah menyetujui
bahwa itulah calon suamimu. Mas kawin yang sudah diterima ayah akan kita kembalikan
2 kali lipat jika kau menolak jadi istri Siraja Enda Enda."
Permintaan itu dipenuhi Tuan Batara Guru. Maka sepanjang malam, Siboru Sorbajati
manortor di hadapan keluarganya. Menjelang matahari terbit, tiba-tiba tariannya
(tortor) mulai aneh, tiba-tiba ia melompat ke "para-para" dan dari sana ia melompat ke
"bonggor" kemudian ke halaman dan yang mengejutkan tubuhnya mendadak
tertancap ke dalam tanah dan hilang terkubur!
Keluarga Ompu Tuan Soripada amat terkejut mendengar calon menantunya hilang
terkubur dan menuntut agar Keluarga Tuan Batara Guru memberikan putri ke-2 nya,
Siboru Deak Parujar untuk Siraja Enda Enda.
Sama seperti Siboru Sorbajati, ia menolak keras. "Sorry ya, apa lagi saya," katanya.
Namun karena didesak terus, ia akhirnya mengalah tetapi syaratnya orang tuanya harus
menggelar "gondang" semalam suntuk karena ia ingin "manortor" juga. Sama dengan
kakaknya, menjelang matahari terbit tortornya mulai aneh dan mendadak ia melompat
ke halaman dan menghilang ke arah laut di benua tengah (Banua Tonga). Di tengah
laut ia digigit lumba-lumba dan binatang laut lainnya dan ketika burung layang-layang
lewat, ia minta bantuan diberikan tanah untuk tempat berpijak. Sayangnya, tanah yang
dibawa burung layang-layang hancur karena digoncang NAGA PADOHA. Siboru Deak
Parujar menemui Naga Padoha agar tidak menggoncang Banua Tonga.
"OK," katanya. "Sebenarnya aku tidak sengaja, kakiku rematik. Tolonglah sembuhkan."
Siboru Deak Parujar berhasil menyembuhkan dan kepada Mulajadi Na Bolon dia
meminta alat pemasung untuk memasung Naga Padoha agar tidak mengganggu.
Naga Padoha berhasil dipasung hingga ditimbun dengan tanah dan terbenam ke
benua tengah (Banua Toru). Bila terjadi gempa, itu pertanda Naga Padoha sedang
meronta di bawah sana.
Alkisah, Mulajadi Na Bolon menyuruh Siboru Deak Parujar kembali ke Benua Atas.
Karena lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus
RAJA ODAP ODAP untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di SIANJUR MULA
MULA di kaki gunung Pusuk Buhit.
Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki laki:
Raja Miok Miok tinggal di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau
karena mereka berselisih paham. Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama
ENGBANUA, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu:
1. RAJA UJUNG.
2. RAJA BONANG BONANG.
3. RAJA JAU.
Konon Raja Ujung menjadi leluhur orang Aceh dan Raja Jau menjadi leluhur orang
Nias. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama RAJA
TANTAN DEBATA, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut SI RAJA BATAK, Yang
menjadi leluhur orang batak dan berdiam di Sianjur Mula Mula di kaki gunung Pusuk
Buhit.
LEGENDA RAJA SISINGAMANGARAJA XII.
Pada tahun 1875 Patuan Bosar yang kemudian digelari dengan Raja Ompu Pulo Batu,
ditabalkan menjadi Sisingamangaraja XII di Bakara. Sisingamangaraja XI (Ompu
Sohahuaon), ayahanda Sisingamangaraja XII, nyatanya telah berfungsi sebagai Raja-
Imam Batak dalam tenggang waktu yang lama sekali (50 tahun), yaitu dari tahun 1825
hingga tahun 1875, yakni setelah Tuanku Rau, penganjur aliran wahhabi itu membunuh
Sisingamangaraja X (Ompu Tuan Nabolon) pada tahun 1825 di dekat Siborong-borong.
Menurut adat istiadat Batak, putra tertua dari suatu keluargalah yang diutamanakan
melanjutkan pekerjaan dan fungsi orang-tuanya, khususnya di bidang adat dan
pemerintahan. Karena itulah maka penduduk di Bakara dan sekitarnya ingin menabalkan
Ompu Parlopuk menjadi Sisingamangaraja XII. Tetapi karena untuk dapat menjadi
Sisingamangaraja, seseorang harus mempunyai ciri-ciri kharismatis pula. Persyaratan itu
harus dapat dipenuhi oleh orang yang akan ditabalkan menjadi penerus pimpinan
kerajaan dan keimanan Sisingamangaraja. Kepemimpinan Kharimatis harus ada pada
setiap Sisingamangaraja, yang pada masa lampau, di yakini selalu syarat mutlak
daripada kepemimpinan dalam kerajaan, oleh penduduk yang masih dipengaruhi oleh
suasana magis dan mystis, Calon Sisingamangaraja harus dapat mencabut PISO GAJA
DOMPAK dari sarungnya, menurunkan hujan dan membuat tanda-tanda luar biasa
(mukjizat).
Persyaratan ini nyatanya tidak dapat dipenuhi oleh Ompu Parlopuk tetapi dapat
dipenuhi oleh adiknya, yaitu Patuan Bosar. PISO GAJA DOMPAK itu ada sejak
Sisingamangaraja I yaitu sekitar pertengahan abad XVI masehi. PISO GAJA DOMPAK
adalah lambang kerajaan Sisingamangaraja. Keris itu bukanlah sembarang keris. Keris
panjang ini adalah salah satu terpenting di kerajaan Sisingamangaraja yang di mulai dan
berpusat di Bakara, ditepi Danau Toba, hanya sekitar 8 km dari Pulau Samosir yang
indah itu.
Setelah melalui suatu proses yang berliku-liku, patuan Bosar pun, yang sebenarnya
masih muda belia (sekitar 17 tahun) ditabalkan pada tahun 1875 menjadi
Sisingamangaraja XII, karena ia mampu mencurahkan hujan pada musim kemarau yang
parah waktu itu.
Selaku singa yang melampaui dan singa yang terlampaui "beliau mempunyai fungsi
sebagai pengatur kerajaan manusia bermata hitam" di Sumatra. Ini ditambah lagi
dengan fungsi kepemimpinannya dalam bidang agama, adat istiadat, hukum, ekonomi,
pertanian pendidikan, kebudayaan dan militer. Jadi jelas bukan hanya sebagai PRIESTER
KONING sebagaimana dikemukakan oleh pihak kolonial Belanda.
Sisingamangaraja diakui sebagai raja dan imam besar (DATU BOLON) oleh semua suku
Batak. Akan tetapi selain dia, rakyat masih mempunyai imam-imam di daerah- daerah
dan kampung-kampung. Mereka inilah yang mempunyai hak untuk melakukan upacara
pengorbanan dan pemujaan di tempat masing-masing, seperti pada saat sebelum dan
sesudah anak lahir, waktu pemberian nama, pada pesta perkawinan dan upacara
kematian.
Perang yang berlangsung selama 30 tahun di Sumatra Utara itu berakhir secara tragis,
bukan bagi keluarga Sisingamangaraja XII dan rakyat Sumatra Utara, melainkan juga
bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia di seluruh Nusantara. Hal ini demikian
mengingat bahwa perjuangan Raja Sisingamangaraja XII bukan saja demi kepentingan
dirinya, atau kepentingan keluarganya sendiri, melainkan berupa perjuangan Nasional
yang dilakukan bersama-sama dengan suku bangsa lain untuk melawan para penjajah
Belanda yang datang merebut negeri dan kekayaan penduduk Indonesia.
Pada tanggal 17 Juni 1907, hari yang naas, Raja Sisingamangaraja XII telah gugur di
tembak oleh anak buah Christoffel. Raja Sisingamangaraja XII tidak gugur sendirian.
Bersama dengan beliau turut juga gugur dua orang putra kendungnya, para pejuang
yang tidak kenal kata menyerah dalam kamusnya, yakni Patuan Nagari dan Patuan
Anggi. Pun seorang putrinya yang berusia 17 tahun yang bernama Boru Lopian, seorang
srikandi sejati yang selama ini dilupakan - turut juga tewas oleh berondongan peluru
Belanda di suatu jurang yang ditumbuhi hutan rimba yang kelam, di Sindias di kaki
gunung Sitopangan, kira-kira 9 - 10 km dari Pearaja, Sionomhudon, Tapanuli, Sumatra
Utara. Seorang tokoh lain bernama Ompu Parlopuk, abang Sisingamangaraja XII, telah
meninggal sebelumnya ketika mengadakan perang gerilya menghadapi Belanda.
Permaisuri Sisingamangaraja XII, Boru Situmorang, menjelang tertembaknya
Sisingamangaraja XII meninggal pula karena bergerilya di tengah hutan rimba Sumatra
Utara. Bahkan cucunya yang sangat dicintainya, Pulo Batu, Putra Patuan Nagari telah
menutup usia pada umur amat muda karena kelaparan ketika berkecamuknya perang
gerilya dan dalam keadaan dikejar-kejar oleh Belanda. Ucapan terakhir
Sisingamangaraja XII ketika gugur di jurang Sindas, Sitopangan, di Sumatra Utara ialah
"AHU SISINGAMANGARAJA".
Dikutip dari :
MAKNA WIBAWA JABATAN DALAM GEREJA BATAK Oleh : Dr. Andar M. Lumbantobing
Apa yang paling mengesankan yang pernah Anda alami sebagai cucu Raja
Sisingamangaraja XII?
Ketika di Bandung semasa kuliah tahun 60-an. Pernah ada sandiwara Sisingamangaraja
XII, saya ditunjuk memerankan Sisingamangaraja. Tidak ada yang tahu saya adalah
cucu Sisingamangaraja XII. Lalu, saat pergelaran berlangsung, undangan dari Jakarta
melihat saya. “Kalian tahu siapa yang memerankan Sisingamangaraja itu?” kata salah
satu undangan. Waktu itu sutradaranya orang Jawa, tidak mengenal saya.
Mereka heran, “pantas dia sangat tahu sejarahnya,” kata mereka. Mengapa saya tidak
mengenalkan diri? Karena saya inginkan masyarakat mengenal Sisingamangaraja
bukan saya. Itu yang mengesankan.
Saat itu, ada seorang pelukis melukis Sisingamangaraja di tembok. Lukisannya persis.
Sampai sekarang saya tidak tahu dimana lukisan itu. Yang saya ingat waktu itu seorang
pejabat tentara orang Batak menyimpannya. Sebelum dilukis, pelukis ini mewawancarai
saya seperti apa Sisingamangaraja itu. Acara diadakan di Gedung Nusantara Bandung.
Itulah penghargaan mereka. Tetapi di Bandung tidak ada jalan Sisingamangaraja,
hanya di Yogya yang ada (tertawa).
Sebagai keturunan Raja Sisingamangaraja XII apakah Anda pernah mengalami hal-hal
yang misteri?
Saya kira tidak pernah. Hanya Raja Sisingamangaraja yang bisa melakukan mujizat,
bukan keturunannya. Namun, jika ada hanya orang lainlah yang bisa melihat itu, bukan
kami.
Sebenarnya yang membuat itu adalah Soekarno. Tahun 1953 Soekarno datang ke Balige
naik helikopter. Dia berpidato di Lapangan yang sekarang disebut Stadion Balige. Dalam
pidatonya yang terakhir ia mangatakan bahwa “Balige ini bagi saya sangat
mengesankan. Pertama, karena ia sangat indah. Kedua, di Balige ini yang pertama
dicetuskan orang Batak perang melawan Belanda”.
Jadi, dibuatlah rapat. Sebab kuburan di Tarutung dianggap sebagai makam tawanan.
Jadi, Sisingamangaraja XII tidak lagi dilihat sebagai Sisingamangaraja XII, tetapi
Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional.
Anda masih ingat prosesi pemindahan makam itu; umur berapa Anda waktu itu?
Saya masih ingat ketika itu saya berumur sekitar 12 tahun. Sejak dari Tarutung
rombongan pembawa tulang belulang itu dikawal haba-haba (hujan deras disertai
puting beliung). Sementara rombongan hampir tiba di Balige, angin puting beliung itu
berjalan mendahului prosesi yang membawa tulang-belulang sang raja. Dan menyapu
bersih semua kotoran yang ada di sekitar makam. Lalu angin itu menunjukkan tempat
yang menjadi makam Sisingamangaraja XII. Ini fakta karena saya melihat sendiri
kejadian itu. Tidak banyak orang tahu tentang hal itu.
Ketika prosesi pemindahan tulang belulang raja Sisingamangaraja XII itu Soekarno
datang?
Oh nggak. Hanya waktu itu ia mengirim telegramnya mengucapkan selamat. Waktu itu
kami hanya empat orang cucu laki-laki. Saya dan dua adik saya tambah Raja Patuan Sori,
ayah dari Raja Tonggo. Katika itu hanya tinggal satu anak, ayah saya Raja Barita.
Jadi, istri Sisingamangaraja XII ada lima; boru Simanjuntak, boru Situmorang, boru
Sagala, boru Nadeak, boru Siregar. Boru Siregar sebenarnya adalah istri dari
abangnya, setelah Raja Parlopuk. Yang ada keturunannya sampai sekarang hanya dari
raja Buntal dan Raja Barita. Sementara dari Patuan Anggi anaknya Pulo Batu meninggal
saat umur tiga tahun. Ia meninggal dalam pengungsian, jatuh ke jurang dengan
penjaganya.
Saat itu, rombongan Sisingamangaraja XII pisah-pisah. Namun, beberapa kali ada
datang pada kami mengaku-gaku “Ahu do Pulo Batu” (Sayalah si Pulo Batu). Tetapi tidak
masuk akal. Masih muda mengaku-ngaku. Sebab, kalaulah ia benar seharusnya sudah
lebih tua dari ayah saya. Jadi kami tidak percaya. Jadi sekarang cucu Sisingamangaraja
XII hanya 5 orang lagi. Sayalah yang paling tua.
Sebenarnya, menurut cerita bahwa Sisingamangaraja XII tertangkap karena ada tiga
orang yang berhianat. Kalau dulu Pollung, Hutapaung terkenal sebagai pendukung
Sisingamangaraja XII. Maka tidak pernah Belanda bisa berhasil tembus ke daerah ini.
Lalu, di Samosir Ompu Babiat Situmorang, ia dengan pasukannya juga raja yang dengan
teguh melawan Belanda. Kalau mereka bertemu Belanda, mereka bunuh. Kulitnya
dijadikan tagading. Sampai sekarang masih ada di Harianboho. Jadi merekalah Panglima
pasukan Sisingamangaraja XII untuk menghancurkan Belanda. Lalu di Dairi. Disana ada
gua Simaningkir, Parlilitan. Ia di bawah air terjun. Dari tengah-tengahnya ada pintu
masuk. Inilah dipercaya sebagai Benteng Sisingamangaraja XII melatih semua
pasukannya.
Dulu, beberapa kali rohnya si Lopian datang ke orang-orang tertentu. Sejak kami
memindahkan saring-saring (tulang belulang) Sisingamangaraja XII ke Soposurung,
Balige. “Pasombuon muna do holan ahu di tombak on (tegakah kalian membiarkan aku
sendiri di hutan ini,” katanya. Sebab, semua keturunan Sisingamangaraja XII yang
meninggal di pembuangan baik di Kudus, di Bogor, Jawa Barat kami sudah satukan di
makam keluarga persis di belakang Tugu Sisingamangaraja XII. Oleh karena itu, kami
pergi ke Dairi, ke Aek Sibulbulon untuk mengambil tulang-belulangnya Lopian.
Tetapi tidak mungkin lagi diambil kan? Karena, konon dia juga ditenggelamkan ke
dalam sungai Sibulbulon dan ditimbun dengan tanah. Kami hanya mengambil secara
adat, hanya segumpal tanah untuk dibawah ke Soposurung. Sejak itu tidak pernah lagi
boru Lopian trans pada siapapun.
Saat pengambilan, kami juga mendapat ancaman bupati dan masyarakat setempat.
Mereka tidak mau bahwa kuburan Lopian dipindahkan. “Sampe adong do istilah tikkini
sian harungguan ikkon seketton nami angka namacoba mambuat i. (Kami akan
bertindak jika ada yang mencoba mengambil kuburan Lopian).” Namun, akhirnya
setelah kita berikan pengertian mereka minta kami untuk mangulosi mereka. 43
margalah mereka yang harus diulosi. Sebenarnya mereka mau minta, perjuangan
Sisingamangaraja XII di Dairi tidak boleh dilupakan. Saya jawab, sebenarnya bukan
kami yang menentukan. Tetapi kalau Bupati meminta kuburan Lopian di Dairi kami tidak
menolak.
Sementara beberapa tahun yang lalu Tarnama Sinambela mendirikan patung Si Boru
Lopian di Porsea. Bisa anda ceritakan bagaimana prosesi pengangkatan Raja
Sisingamangaraja XII?
Jadi Sisingamangaraja XI lah yang menulis pustaha kerajaan 24 jilid. Hanya pada
kepemimpinan Sisingamangaraja XI lah ada penulisan tentang sejarah. Dan buku ini
sudah dibawa ke Belanda dan masih ada di museum Belanda. Kami pernah meminta ke
Belanda. Tapi menurut mereka, mereka ingin memberikan itu jika sudah ada gedung
yang ber- AC. Tetapi karena belum ada kemampuan keluarga, hal ini masih terkatung-
katung.
Sebenarnya karena tidak ada yang meminta. Sebab jabatan Sisingamangaraja itu
ditentukan oleh enam marga tadi. Biasanya dilakukan penunjukan di Onan Bale, Di
Bakara. Biasanya dalam acaranya, dibunyikan gondang. Pengangkatan
Sisingamangaraja juga selalu karena ada masalah genting; ada penyakit atau musim
paceklik. Ketika itu menurut mereka hanya jabatan Sisingamangaraja yang bisa
menyelesaikan masalah tersebut.
Bukan. Yang disebut Sionom Ompu di Bakkara itu adalah marga Bakkara, Sinambela,
Sihite, Simanullang dan tambah dua marga lain Marbun dan Purba. Itulah marga
penghuni Bakkara. Bukan Siraja Oloan. Sebab Naibaho dan Sihotang itu di Samosir.
Dan mereka itulah raja-raja di Bakkara.
Bisa jadi. Hanya dari 1 sampai duabelas jelas semuanya dari marga Sinambela. Memang
sejak semula kelahiran Sisingamangaraja pertama hasil pernikahan Bona Ni Onan
dengan boru Pasaribu, ia lahir setelah 19 bulan. Tetapi kalau disebut tidak mesti
Sinambela, saya kira harus dari keturunan Sisingamangaraja. Saya kira harus dari
induknya.
Apakah benar keluarga Sisingamangaraja XII dipaksa memeluk agama Kristen?
Raja Buntal ketika itu lulus dari sekolah hukum. Setelah mereka selesai masa belajar
mereka pulang lagi ke Tapanuli. Raja Buntal ditempatkan sebagai wakil Zending
Tapanuli mewakili Belanda di Daerah Toba. Sementara Ayah saya (Raja Barita)
ditempatkan menjadi camat di Teluk Dalam Nias.
Sepulang dari Teluk Dalam, ayah saya menikah dan ditempatkan di Tarutung. Dan
perkawinannya dibiayai Belanda di Porsea. Dengan semua resepsi Adat Batak. Belanda
membawa es cream dari Pematang Siantar. Jadi semua undangan makan es cream
waktu itu. Sementara Raja Buntal menikah juga dibiayai Belanda hanya dengan gaya
Belanda.
Jadi karena terimakasih dari ompung boru Sagala terhadap kebaikan Raja Henokh
Tobing, diberikanlah putrinya Sunting Mariam menikah dengan putranya. Sementara
Raja Pontas Tobing memberikan tanah tahanan keluarga di Pearaja Tarutung.
Raja Pontas dianggap mengkhianati Sisingamangaraja XII. Satu waktu, Raja Pontas
memanggil Sisingamangaraja XII untuk mendamaikan Raja Pontas dengan
saudaranya. Begitu Sisingamangaraja XII muncul yang datang ternyata Belanda.
Sebenarnya bukan masalah Kristen, tetapi karena ia menjadi mata-mata Belanda.
Dengan Raja Pontas-lah Sisingamangaraja XII bermasalah. Sekarang, keturunan dari
raja ini minta tanah ini kembali digugat (bersebelahan dengan Pusat HKBP), dekat
Rumah Raja Pontas. Saya bilang, itu tanah yang diberikan Belanda, tetapi tanah itu kami
yang meninggali. Berikutnya pemerintah memberikan bahwa yang menempatilah yang
memiliki hak kepemilikan. Maka itu hak kami.
Sejak kapan Sisingamangaraja XII melakukan perang terhadap Belanda?
Dari sanalah dimulai perang melawan Belanda. Itulah yang disebut Perang Pulas.
Dimulai di Bahal Batu daerah Humbang, Lintong Nihuta. Dilanjutkan di Tangga Batu,
Balige. Pertempuran Pertama Sisingamangaraja XII masih bisa mengalahkan Belanda.
Lalu perang di Balige Sisingamangaraja XII mundur menjadikan perang Gerilya. Tahun
1883 hampir seluruh daerah Toba dikuasai Belanda. Menyingkirlah Sisingamangaraja
XII ke arah Dairi.
Masa Nippon ini pernah dicoba selidiki. Tali ini diulurkan dua gulung, tali diikatkan
sampai habis tidak sampai menyentuh tanah. Konon setiap kerbau yang disembelih
darahnya dimasukkan ke dalam Batu Siungkap-Ungkapon. Sementara Tombak Sulu-
sulu itu berada di lokasi perkampungan marga Marbun. Saat ini mereka sudah berikan
tanda-tanda Tombak Sulu-sulu. Jadi ada disana disebut tempat pemujaan. Jadi kalau
marpangir (keramas) di batu inilah berjemur. Lalu dekat pantai ini ada Aek Sipangolu
(air kehidupan).
Di dekat Aek Sipangolu ada namanya Batu Hudulhundulan dikenal tempat istirahat
Raja Sisingamangaraja. Dan didekatnya ada Hariara. Katanya kalau cabangnya patah
menandakan telah meninggal Sisingamangaraja. Kalau ada rantingnya yang patah itu
berarti keturunannya yang meninggal. Katanya kalau ada dari keluarga raja ini berpesta,
maka daun-daunnya akan menari-nari terbalik. Sisingamangaraja XI makamnya ada di
Bakkara.
Apa arti lambang Sisingamangaraja itu?
Di Museum Nasional. Saya juga baru tahun lalu melihat itu. Sebelum acara pesta 100
tahun Sisingamangaraja XII kami diajak melihat Piso Gaja Dompak itu. Kami diantar
ke tempatnya Piso Gaja Dompak itu, saya kenalkan diri. Saya melihat sarungnya sudah
lapuk. Gajah itu memang ada. Saya ingat dulu yang menyimpan Piso Gaja Dompak ini
Sunting Mariam putrinya yang nomor dua. Dia meninggal 1979. Dulu saya ingat
pesannya bahwa di ujung pangkal pisau ini ada permata merah. Lalu kepala museum
mengelap dan memang kelihatan mutiara merah.
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan
lebar 30 kilometer di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat
sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain
Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan
merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan
Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-
bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2800km3, dengan 800km3
batuan ignimbrit dan 2000km3 abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat
selama 2 minggu. Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi,
dari cina sampai ke afrika selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan lontaran
debunya mencapai 10 KM diatas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti
kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah
manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu yaitu sekitar 60
juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para
ahli masih memperdebatkan soal itu.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi
yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum
keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Dalam sebuah karya tulisnya, Jaime Errazuriz menyebutkan bahwa terdapat peradaban
produksi kertas yang berlipat di Amerika Tengah. Kemampuan membuat kertas tulis
tersebut sangat mirip atau hampir sama dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang
Batak. Michael Coe, memberikan data yang lebih detail mengenai masalah ini. Setelah
melakukan studi atas tulisan Dr. Paul Tolstoy dari Montreal University (‘Paper Route'
published in Natural History 6/91).
Terdapat bukti-bukti yang sangat kuat mengenai eksistensi pelayaran kuno Bangsa
Batak ke berbagai penjuru dunia yang menandakan abad keemasan ilmu pengetahuan
dan peradaban Batak saat itu.
Tolstoy telah melakukan studi yang sangat mendetail mengenai teknik dan peralatan
yang digunakan dalam pembuatan kertas dari kulit pohon tersebut di wilayah Pasifik.
Menurutnya, teknik tersebut sudah sangat umum diketahui di peradaban Batak kuno,
Asia Tenggara, Cina dan Amerika Tengah. Diyakini teknologi tersebut menyebar ke
daerah-daerah Indonesia bagian timur menuju ke Amerika Tengah.
Dugaan sentuhan peradaban Batak tersebut, diperkuat dengan bukti bahwa fungsi
utama dari kertas-kertas kulit kayu tersebut adalah untuk dokumentasi ritual, kalender,
informasi-informasi astronomi yang memang seperti itu adanya dalam kebudayaan
Batak.
Diduga kuat bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh orang Amerika Tengah didapat
melalui kertas tersebut yang dibawa oleh ekspedisi maritim Batak dan mengakibatkan
pertukaran budaya antara dua Bangsa; Batak dan Maya.
Kesimpulan yang digariskan oleh Paul Tolstoy tersebut sangat menarik dan memberikan
sebuah teka-teki: “Jika memang tidak ada yang membawa teknologi tersebut kesana
(Mesoamerika) lalu siapa yang membawanya?”
Pemukul bundelan kertas pohon pertama yang sama digunakan oleh penduduk Maya
pernah ditemukan di daerah Pasifik yang berumur 2500 tahun atau sekitar 200 tahun
lebih muda dibandingkan yang ditemukan di Asia Tenggara.
Dari studi mengenai maritim kuno Batak (antara 3000-1500 SM) dan studi pelayaran
bangsa-bangsa Cina Asia lainnya serta eksistensi mereka di Benua Amerika sebelum si
Colombus, dapat diketahui bahwa telah terjadi sebuah hubungan kultural yang sangat
harmonis antara Asia, khususnya Batak, dengan Benua Amerika serta benua-benua
lainnya. Masa-masa tersebut diyakini telah mengalami globalisasi kuno dengan
klimaksnya dalam sebuah titik sejarah dan selanjutnya mengalami penurunan sampai
datangnya Bangsa Arab dan Eropa.
Apabila peradaban Mesir, Yunani, Romawi, Cina, Arab dan Harappa telah banyak
berkontribusi kepada peradaban dunia, maka sebenarnya peradaban Batak, tentu
bersama suku lainnya seperti Bugis dan Kalimantan, telah berkontribusi banyak kepada
peradaban Bumi lainnya, khusunya impak kebudayaan mereka terhadap belahan bumi
Pasifik, Amerika, Madagaskar, bangsa-bangsa di Samudera India dan lain sebagainya.
Peradaban Batak sendiri diyakini banyak berkontribusi kepada peradaban Amerika Kuno,
khususnya Bangsa Maya Yucatan. Di samping alih teknologi kertas, ilmu pengetahuan
lainnya nampaknya diserap oleh peradaban kuno Amerika, seperti sistem kalender,
metode pengukuran gerhana bulan dan matahari dan lain sebagainya.
Dalam sejarah Batak sendiri telah banyak dikenal personalitas-personalitas yang menjadi
pioner peradaban maritim Batak. Di antaranya adalah Raja Uti, yang melakukan
terobosan mendasar dengan memindahkan kerajaannya dari Sianjur Mula-mula atau
dari kebudayaan agraris ke daerah pantai Barus sampai Singkil yang kemudian
membentuk peradaban maritim Batak.
Teknologi kertas telah menjadi sesuatu yang umum dalam komunitas-komunitas Batak.
Apatah lagi disemarakkan oleh penulisan Kitab Pustaha Agung dan Pustaha Tumbaga
Holing oleh Guru Tatea Bulan dan Guru Isumbaon.
Hanya saja masih terdapat kekurangan dalam menafsir mitos-mitos tersebut dalam
pengertian sejarah. Diyakini berbagai mitologi tersebut tidak terbentuk begitu saja
sebagai karangan cerita semata, melainkan terdapat sebuah peristiwa sejarah yang
sangat menarik yang membuat para nenek moyang Batak merasa bangga untuk selalu
menceritakannya kepada para keturunannya.
By Julkifli Marbun
Marga-marga Simalungun
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR,
yaitu:
Sinaga
Saragih
Damanik
Purba
Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar)
antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan
(marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).
4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga atau Tanduk Banua (terletak di perbatasan
Simalungun dengan tanah Karo)
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai
penebab Gempa dan Tanah Longsor.
Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.
Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan
dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou
dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.
Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja
Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya
Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah
(Sibijaon).Tideman, 1922
Beberapa Sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal
dari India, salah satunya adalah menrurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan
Djorlang Hatara.
MARGA-MARGA PERBAURAN
Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi
kadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga,
Manurung, Butar-butar dan Sirait.
Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja
disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Fenomena sosial ini
diakibatkan adanya hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya
dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun.
Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski
demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni
Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba.
Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring
(Perjanjian Pendek) tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi
Revolusi Sosial tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu
hapus di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke
sukunya semula.
PENAMBAHAN MARGA
Pada tahun 1930, Pdt. J. Wismar Saragih pernah menuliskan surat permohonan pada
kumpulan Raja-Raja Simalungun yang berkumpul di Pematang Siantar yang meminta
agar Raja-Raja tersebut menetapkan marga-marga baru sebagai tambahan kepada
marga resmi Simalungun dengan maksud agar semakin banyak marga Simalungun
seperti pada suku lain. Walaupun ide tersebut diterima oleh Raja-Raja tersebut namun
permohonan J. Wismar Saragih belum disetujui karena belum tepat waktunya.
Karena alasan tersebut di atas, sebagian orang berpandangan bahwa masih ada
kemungkinan bertambahnya Marga-marga di Simalungun. Hal ini senada dengan apa
yang pernah dituliskan mengenai asal-usul beberapa Marga. Semisal Marga Saragih
Garingging, yang disebut beberapa sumber berasal dari keturunan Pinangsori, dari
Ajinembah (sebuah daerah di Kabupaten Karo) dan bermigrasi ke Raya sehingga
bertemu dengan Raja Nagur dan dijadikan marga Saragih Garingging.
[5] Begitupun marga Purba Tambak, disebutkan berasal dari penduduk daerah
Pagaruyung yang bermigrasi ke daerah Natal, kemudian ke Singkel, hingga tiba di
daerah Tambak, Simalungun. Keturunannya kemudian menikah dengan keturunan Raja
Nagur dan mereka dijadikan sebagai bagian dari Purba, yaitu Purba Tambak. [6] Marga
Damanik juga disebut sebagai pendatang yang menikah dengan keturunan Tuan
Silampuyang yang bermarga Saragih dan kemudian diberi marga.
Penduduk Batak, khususnya, di Kesultanan Barus terdiri dari berbagai bangsa. Bila
diklasifikasi area tanah Batak, maka didapatlah dua bagian yang sangat penting. Bagian
pertama adalah Tanah Tertutup dan yang kedua Tanah Terbuka.
Tanah Tertutup adalah bagian geografi Batak yang didiami oleh bangsa Batak dan
begitu terisolirnya sehingga hanya orang-orang Batak saja yang mendiaminya. Tanah
Tertutup ini seringkali disebut juga pedalaman Batak atau Pusat Tanah Batak.
Kehidupan di Tanah Tertutup masih sangat terisolir dan bahkan banyak yang
beranggapan bahwa sistem sosial masyarakat Batak di daerah ini masih dalam bentuk
‘splendid isolation”.
Persepsi orang Batak saat itu adalah bahwa Tanah Tertutup-yang identik dengan rural
land- ini adalah milik nenek moyang dan orang-orang asing sangat dicurigai masuk ke
dalamnya. Keuntungan ekonomi dengan kebijakan Tanah Tertutup ini adalah bahwa
hanya orang-orang Batak yang dapat menikmati hasil buminya. Orang-orang Batak
tanpa persaingan dari bangsa lain, dengan leluasa dapat mengambil kamper, hasil
tambang dan hasil hutan dari tanah mereka sendiri. Sehingga beberapa komoditas
benar-benar dimonopoli oleh orang Batak.
Keuntungan politik dari sistem Tanah Tertutup ini adalah sebagai tempat ‘pengasingan’
bagi Raja-raja Batak yang mungkin saja mengalami kegagalan atau sedang dalam
upaya untuk kontemplasi atau dapat juga dalam upaya menggalang kekuatan. Bila kita
pelajari intrik-intrik politik di Kesultanan Batak, maka didapatlah kesimpulan bahwa
beberapa kali raja-raja Batak sering kali harus bersembunyi ke Tanah Tertutup dari
ancaman asing dan ada yang bertujuan untk menggalang kekuatan dari komunitas asal
mereka dan ada juga yang bertujuan untuk meditasi (kerohanian).
Tanah Terbuka, yang kehidupannya lebih mirip dengan urban land- ini merupakan
wilayah Batak yang dapat diakses oleh orang asing. Biasanya terdapat di pesisir, atau di
pedalaman tapi sudah urban dan bersifat kota karena keberadaan onan-onannya yang
ramai di pusat-pusat perekonomian seperti Silindung, Pakkat, Balige dan lain
sebagainya. Anehnya Bakkara sebagai pusat politik Dinasti Sisingamangaraja dari dulu
menganut sistem tanah tertutup yang dilarang didatangi oleh orang asing. Tamu-tamu
kerajaan biasanya disambut di Balige atau Dolok Sanggul.
Sistem budaya di Tanah Terbuka sangat sesuai dengan karakternya saat itu. Di mana
orang-orang Batak dengan tujuan ekonomi dan politik biasanya tidak ingin
memonopoli segala sesuatu di Tanah Terbuka. Bahkan cenderung orang-orang Batak
akan mengajak berbicara pedagang-pedagang asing dengan bahasa Melayu, sebuah
bahasa yang menjadi Lingua Franca saat itu.
Orang-orang Batak, sangat pintar dalam memainkan peran mereka dalam persaingan
komunitas di bandar-bandar (pelabuhan-pelabuhan atau terminal-terminal, pasar-pasar
dan pusat perekonomian). Tujuannya adalah agar komunitas pedagang Batak tidak
terisolir dan teralienasi dari perkembangan perekonomian saat itu.
Oleh karena itulah Belanda seing kali menuliskan dalam laporan mereka bahwa bandar-
bandar ekonomi tanah Batak di pesisir dan kota-kota besar Batak lainnya sebagai
berciri khas Melayu. Laporan VOC di abad ke-17 mengatakan bahwa Barus merupakan
tanah pesisir yang berkarakter Melayu dengan jumlah penduduk yang sebagian besar
adalah orang Batak. Penduduknya, menurut Arendt Silvus, terdiri dari “Orang-orang
Melayu dari pesisir ini dan pesisir lain yang bercampur dengan orang-orang Batak.”
[Lihat Surat, Silvius to Pitt (1677), VOC 1322, f. 1328r.
Francois Backer, seorang pegawai pertama perusahaan VOC, perusahaan Belanda yang
telah mendapat izin berdagang dari Sultan Barus (1672), dan orang pertama yang
melihat pelabuhan Barus, mengatakan bahwa menurut penglihatan dan pemahaman
umum yang didapatnya, penduduk Barus terlihat sangat superior atau lebih tinggi
kelasnya dari komunitas-komunitas pesisir lainnya: “Mereka lebih mirip seperti Ketua-
ketua ulama dari pada pribumi yang brutal,” sambungnya. [Lihat, backer to Pits (1669),
VOC 1272, f.1066v] Bahkan Silvius mengatakan bahwa penduduk Barus sebagai orang
yang penuh taktik, mempunyai kepentingan sendiri, tegar dan diplomatis…” Silvius to
Pits (1677), VOC 1322, f. 1328 r.
Penduduk Barus pada tahun 1600-an merupakan penduduk yang terdiri dari berbagai
komuitas pedagang asing, Aceh, Minang, Tamil, Hindu, Kerinci, Siak dan lain sebagainya
selaian dari komunitas-komunitas pedagang. Sehingga orang-orang Batak dalam hal ini
pemerintahan Kesultanan barus, lebih memilih untuk menggunakan kebiasaan dan
bahasa yang sangat umum saat itu, yakni Melayu, agar dapat mempertahankan para
saugadar-saudagar kaya tersebut untuk menetap secara permanen di Barus. Kehadiran
mereka dapat terus memutar roda perekonomian makro di Kesultanan Barus. Sebuah
strategi dan taktik ekonomi yang sangat jitu untuk mempertahankan Barus sebagai kota
pelabuhan tersibut dan paling banyak diminati asing saat itu.
Bentuk dari pemerintahan Batak di Kesultanan Barus, yang pada saat itu dibuat dengan
nuansa Melayu, bersifat republik dan demokratik. Pusat urusan pemerintahan terdapat
disebuah istana dan tempat pertemuan publik yang disebut “balai”. Istana ini sangat
berbeda dengan istana kesultanan yang lebih kepada urusan administrasi dan kediaman
Sultan. Di Balai inilah segala urusan kerakyatan dilakukan. Dilaporkan juga bahwa di
sinilah setiap penduduk, asing maupun lokal, melakukan protes dan komplen atau
mengadukan permasalahan mereka maupun untuk menyampaikan aspirasi politik
kepada Sultan yang diwakili oleh hulubalangnya di Balai. Para warga negara atau
gemeente, seperti yang dipahami Belanda, telah memainkan peran yang aktif dalam
urusan-urusan politik Kesultanan. [Lihat, Milner, Kerajaan, hlm. 25]
Penduduk Kesultanan Barus yang terdiri dari kaum bangsawan atau Orang Kaya dan
kaum middle class, kelas menengah selalu melibatkan diri dengan kebijakan-kebijakan
pemerintahan. Para pelaut Belanda dengan cepat dapat mengenal sistem politik
Kesultanan ini dan berhasil menyogok para warga untuk mendapat rekomendasi dan
tanda persetujuan atas kehadiran mereka. Melalui rekomendari kelas menengah inilah
VOC, atau perusahaan Belanda dapat diizinkan oleh Sultan untuk melakukan kegiatan
ekspor impor di Kesultanan.
Melman mengatakan bahwa adalah tekanan dari gemeente yang membuat pemerintah
mengizinkan Kompeni Belanda untuk beroperasi di Barus walaupun mendapat
penolakan maupun oposisi dari perusahaan-perusahaan dan pengusaha-pengusaha
Aceh. (Backer to Pits (1669), VOC 1272, f.1066r.
Namun, tampaknya, VOC sudah mengenal sistem pemerintahan di Barus yang saat itu
mempunyai kelemahan yang sangat krusial. Pemerintahan Kesultanan Barus saat itu
dipegang oleh pemerintahan dualitas antara Dinasti Pardosi dengan Pasaribu.
Dahulunya, kedua dinasti ini memerintah di Kesultanan yang berbeda namun dengan
bertambahnya penduduk dan jumlah kota-kota perekonomian, wilayah keduanya yang
sama-sama di Barus dan sekitarnya menjadi menyatu. Konsensus kedua dinasti telah
banyak dicapai dalam perjanjian-perjanjian antar penguasa dengan melakukan
klasifikasi kekuasaan dan demografi. Namun, dalam praktek, pemerintahan dualitas
tersebut sangat sulit direalisasikan dan rentan dengan konflik dan korban adu domba.
Taktik pertama yang dilakukan oleh VOC adalah dengan menimbulkan kecemburuan
antar dua dinasti dengan mengistimewakan Raja di Hulu dari Raja di Hilir walau
keduanya sama-sama mengeluarkan dan menandatangani Keputusan Bersama Sultan
saat mengeluarkan surat izin beroperasi bagi VOC. Kadang-kadang juga, atas dasar
kepentingan ekonomi dan politik mengitimewakan yang Hilir daripada yang di Hulu.
Walaupun pada awalnya taktik pecah belah ini tidak terlalu dirasakan oleh kedua dinasti
karena Raja Hulu dipanggil oleh VOC dengan sebutan sebagai Raja dan yang Hilir
sebagai perdana menteri. Atau berbagai sebutan lain, yang kurang bermakna bagi
pemerintahan Barus seperti opper-Regent bagi Sultan Hulu dan mede opper-Regent
untuk yang di Hilir. [Backer to Pits (1669)]. Karena dalam pergulatan kedua dinasti dalam
sejarah memang sering terjadi saling merebut kekuasaan bahkan dengan perang yang
pada akhirnya terciptalah sebuah konvensi politik bahwa Raja di Hulu merupakan Raja
Tunggal dan di Hilir memegang posisi Bendahara alias Perdana Menteri yang disetujui
oleh kedua Dinasti.
PETA POLITIK
Secara umum peta politik di Kesultanan Barus yang dihuni oleh rakyat yang plural dan
beragam, sangatlah komplek dan rumit. Kerumitan tersebut semakin parah saat
pemerintahan tetangga juga memback-up dan mendukung jaminan keamanan bagi
para komunitas dagangnya di ibukota Kesultanan.
Silvius mengatakan bahwa pemerintahan Aceh telah melakukan langkah politik yang
sangat jitu dengan menggandeng Sultan Di Hulu dengan memberinya gelar
kehormatan [Silvius to Pits (1677). Sedangkan pemerintahan Minang lebih suka untuk
menggandeng Sultan Di Hilir yang merupakan orang Batak yang dilahirkan di Tarusan,
Minangkabau. Dari laporan-laporan Belanda dan manuskrip-manuskrip Kesultanan
ditemuan bahwa pemerintahan Aceh bahkan seringkali mengirim ekspedisi militernya
untuk melindungi para pengusaha Aceh di Barus. Diyakini kompetisi Belanda kontra
para saudagar Aceh telah sampai kepada persaingan bisnis yang sangat brutal yang
menghancurkan dan mengganggu seluruh sistem tatanan perekenomian pemerintahan
Kesultanan Barus.
Kedua bangsa, Aceh dan Belanda telah saling tuduh menuduh dan saling mencurigai
satu sama lain sebagai bangsa brutal, pembunuh dan pembantai. Diyakini hal ini
disebabkan antar kedua bangsa ini telah terlibat dalam peperangan dan persaingan
ekonomi yang berujung kepada pembantaian antar keduanya. Propaganda saling
menyudutkan ini merupakan implikasi dari persaingan dagang yang sangat brutal.
Friksi antar kedua Dinasti yang memerintah di Barus dilaporkan semakin meningkat saat
Sultan di Hulu mulai, mau atau tidak mau, terlibat dalam persaingan tersebut. Sultan di
Hulu mulai menarik persetujuannya dengan menolak kehadiran Kompeni (VOC) yang
mulai terlihat sangat bermusuhan dan tidak bersahabat dengan para saudagar-saudagar
di Barus. Mereka memboikot transaksi dagang dengan VOC. [Kroeskamp, De Weskust,
Hlm 153 dan Backer to Pits (1669).
Sementara itu, Kompeni atau VOC berhasil menyelamatkan muka dengan berlindung
atas nama Sultan di Hilir yang lebih memilih untuk bersikap fleksibel dengan Kompeni
yang dimusuhi oleh saingannya yang Di Hulu. Orang-orang Belanda mengklaim bahwa
kehadiran mereka didukung oleh Sultan Hilir untuk menciptakan keseimbangan
kekuatan dengan hadirnya pasukan Aceh Di Hulu. [ibid., f. 1067v]
Sultan Hulu lebih mempunyai legitimasi kepada para saudagar kelompok pertama yang
Sultan Hilir lebih dilegitimasi oleh kelopom kedua. Kelopok pertama, yakni mereka yang
berasal dari pegunungan sekitar Barus terdiri dari mereka yang berasal dari Dairi, Marga
Mukkur, Meha, Simbolon, Marbun, Simanullang, Simamora, Pardosi, Sigalingging,
Pohan, Naipospos dan lain sebagainya. Sementara yang kedua lebih banyak dari
Mandailing, Pasaribu, Hutagalung dan lain sebagainya.
Menurut Melman, peperangan antara dua kelompok saudagar Batak seringkali terjadi.
Namun kedua kelompok tersebut akan sangat menahan diri untuk memerangi
pemerintahan Barus. Satu kelompok akan mencegah kelompok lainnya untuk
memerangi Barus. Walau seandainya pada saudagar Batak itu ingin melakukannya,
seperti kudeta, dapat saja mereka lakukan, namun para pelaku pasar dan ekonomi
Batak sangat sadar atas perlunya keamanan dan ketertiban untuk mendukung kegiatan
ekonomi.
Posisi inilah yang kemudian dipahami oleh para saudagar asing. Banyak pengusaha
Aceh, Melayu dan Arab yang melakukan kontak dagang langsung ke pegunungan-
pegunungan yang biasanya didominasi dan dimonopoli oleh para saudagar Batak.
Kehadiran mereka di sana dihormati oleh para pelaku ekonomi Batak asal saja patuh
dengan etika-etika ekonomi yang ditentukan oleh adat.
Tampaknya Kompeni Belanda juga ingin ikut-ikutan. Namun kehadiran perusahaan VOC
di pedalaman Batak dengan tegas ditolak oleh para saudagar Batak dan raja-raja huta
karena melihat perangai dan perilaku orang Kompeni yang sudah dikenal brutal dan
kasar apalagi sangat rasialis dengan menganggap ras mereka lebih tinggi dari pribumi
yang diejeknya sebagai primitif, budak dan pemakan orang.
Hubungan dagang antara pedalaman Batak dengan VOC sama sekali tidak ada kecuali
dengan perantara para saudagar di Barus yang lebih dipercaya oleh orang-orang Batak.
[Mengenai lebih percayanya orang Batak dengan Sultan di Barus dari pada Kompeni
lihat Melman to Pits (1669)]. Hal itulah yang ditemukan Melman di Barus dan dia
melaporkan kondisi tersebut kepada atasannya di kantor pusat VOC di Padang tentang
keengganan orang Batak pedalaman melakukan hubungan dagang dengan Kompeni.
Namun, Kompeni dengan strategi jitunya tetap saja mendapat komoditas yang mereka
inginkan dengan membeli komoditas-komoditas Batak melalui Sultan Hilir yang lebih
bersikap lunak kepada Kompeni. Sementara itu dari pihak Sultan Hulu sama sekali masih
memboikot perdagangan dengan Belanda.
Walau bagaimanapun, boikot dan embargo ekonomi yang dilakukan oleh Sultan Di
Hulu terhadap Kompeni atas kebrutalan dan kecurangannya telah berhasil mengurangi
keuntungan perusahaan yang selama ini selalu didapat secara berlipat ganda.
Pada tahun 1671, perubahan konstelasi politik regional mulai bergeser. Kekuatan Aceh
mulai menarik pasukannya dari Barus seiring dengan mulai membaiknya peta politik
saat itu. Belanda mulai mengambil langkah untuk memperbaiki perangai mereka
dengan pihak penguasa. Backer seorang pegawai Kompeni, setelah dengan susah payah
berhasil mendapat simpati dari Sultan Di Hulu untuk menjamin supplai produk-produk
dari pedalaman Batak. Sultan, menerima iktikad baik tersebut dan bahkan menjamin
akan meningkatkan pengaruhnya di pedalaman Batak untuk segera mengirim
komoditas yang diinginkan oleh Kompeni. [Backer to Pits (1671)].
Dalam dokumentasi Belanda pada tahun 1694, mereka mulai sadar bahwa mereka tidak
akan bisa bertahan di Barus, di tengah arus kompetisi ekonomi yang mulai ketat, tanpa
dukungan dan kemurahan hati Sultan di Hulu. Hal itu dipahami oleh Belanda, karena
dalam sebuah langkah brutal untuk melenyapkan Sultan di Hulu oleh Belanda, telah
mengalami kegagalan karena dukungan sebuah pasukan ekspedisi militer yang terdiri
dari kepala-kepala huta orang-orang Dairi yang setia kepada Sultan Hulu pada tahun
1693, setahun sebelum pengakuan Kompeni tersebut.
Setelah supremasi dan otoritas Sultan Di Hulu kembali ke semula, Sultan Minuassa,
Sultan di Hulu yang memerintah saat itu, dilaporkan bermusafir ke Dairi untuk
pengasingan sementara di pegunungan di belakang Singkil.
Dukungan yang diberikan oleh para raja-raja huta Dairi terhadap Sultan Di Hulu
mengejutkan orang-orang Belanda, padahal sebelumnya telah ada perjanjian antara
Kompeni dengan orang-orang yang dilakimnya sebagai tetua Dairi untuk memindahkan
loyalitas mereka dari Sultan Hulu ke Hilir.
Dalam pengasingan Sultan, pihak Belanda yang tidak pernah putus asa untuk merusak
tatanan hidup orang Batak di Kesultanan Barus mulai mendekrasikan Sultan di Hilir
menjadi Raja Barus. Untuk mendukung kebijakan mereka, orang-orang Dairi mulai
didekati untuk menghianati kembali Sultan mereka. Hal ini tampaknya mendapat
keberhasilan.
Pada tahun 1698, Sultan Minuassa yang mengasingkan diri sementara di Dairi kembali
ke Barus, namun dia mendapati kekuasaanya telah hilang dan lenyap. Belanda
bersikukuh bahwa dia bagi mereka hanyalah bara-antara bagi orang Dairi. Belanda
berhasil mengangkat Sultan Hilir sebagai pemerintah boneka yang dapat disetir oleh
perusahaan VOC.
Sultan Minuassa tidak menerima kecurangan yang dialaminya. Pada tahun 1706, dia
berhasil menggalang kekuatan, khususnya dari semarganya di Dairi dan Singkel, untuk
mengembalikan kehormatan dan harga diri sebagai Sultan penguasa Barus. Orang-
orang Batak di pegunungan sekitar Barus juga mendukungnya. Usaha ini berhasil
mengembalikan tahta dan istananya. Pada tahun 1709, paman Sultan Minuassa yang
bernama Megat Sukka atau Sultan Bongsu Pardosi berhasil melakukan gempuran
mematikan terhadap lawan-lawannya, atas nama kedaulatan dan tahta Sultan Hulu, dan
berhasil menguasai seluruh Barus. Usaha ini mencapai kemenangan yang fantastis sejak
sebelumnya pihak Sultan di Hulu berhasil melobbi pihak Kerajaan Aceh untuk
mengirimkan pasukan pendukung.
Namun pihak Sultan di Hulu tidak ingin memerintah secara egois di Barus. Kedaulatan
Sultan di Hilir juga dikembalikan. Sekali lagi kombinasi Hulu dan Hilir dalam memerintah
Barus seperti dahulu kala berhasil dikembalikan. Sultan Hilir dalam suratnya kepada
Kompeni di Padang mengatakan bahwa Barus telah kembali ke sistem pemerintahan
semula, yakni pemerintahan yang dikuasasi oleh dua dinasti. [Lihat surat Raja Barus
(hilir) kepada VOC (1709), VOC 1777].
Pada 1736-1740 merupakan tahun yang sangat krusil bagi bangsa Batak. Pada saat ini
orang-orang Dairi membulatkan tekadnya untuk mendukung tahta dan kedaulatan
Sultan Di Hulu yang mencakup semua wilayah Dairi, Sionom Hudon, Pakpak dan
Simsim.
Demikian pula halnya dengan raja-raja Batak dari pedalaman. Para raja-raja Batak ini
berkenan pula mengirimkan pasukannya ke Barus untuk menghalau teror yang
dilakukan oleh kompeni dan Belanda.
Penduduk Sorkam dan Korlang, berhasil dimobilisasi oleh Raja Simorang dari Silindung
untuk bersatu dan bersama-sama mengusir Kompeni atau VOC. Beberapa kali perang
terjadi antara kedua belah pihak.
Sementara itu, Dinasti Sisingamangaraja VIII, yang bernama Ompu Sotaronggal dan
bergelar Raja Bukit memimpin pasukannya dari tanah Batak untuk mendukung pasukan
Barus bersama pasukan Kerajaan Aceh untuk memberi perlindungan kepada Sorkam
dari pembunuhan oleh Kompeni. Begitu heroiknya Raja Bukit dalam pertempuran
tersebut, sehingga orang-orang Eropa yakin bahwa Raja Bukit adalah orang Aceh.
Aliansi beberapa pasukan yang dipimpin oleh Raja Bukit ini berhasil menggetarkan
pihak Belanda sehingga namanya dikenal sampai ke Inggris. [Anne Lindsey, “The Private
Trade Of The British In West Sumatera” 1735-1770” [Ph.D Disssertation, University of
Hull, 1977], p. 122.
Diyakini bala bantuan dari Bakkara tersebut direalisir karena kedua kerajaan, Kerajaan
Batak dan Kesultanan Barus merupakan dua negara yang merdeka yang saling
mengakui kedaulatan satu sama lain. Kerjasama keduanya sudah terjadi sejak dahulu
kala, khususnya dalam hubungan ekonomi dan adat budaya. Keduanya semakin
menyatu setelah keduanya merupakan sekutu dekat Kerajaan Aceh untuk mengatasi
berbagai masalah.
Pada tahun 1814, John Canning, seorang penyusup dan pegawai perusahaan Inggris
berhasil memasuki Barus setelah sebelumnya perusahaan Inggris telah membuka kantor
cabangnya di kota pelabuhan Natal. Canning diberi misi untuk memata-matai dan
mengukur kekuatan pengusaha Aceh dan pengaruh Kesultanan Aceh di Barus. Menurut
informasi orang-orang Eropa saat itu, pasukan Aceh telah ditempatkan secara temporer
di Taruman, sebuah wilayah Barus perbatasan antara Kesultanan Barus dan Aceh.
Wilayah Taruman itu mencakup Singkil sampai Meulaboh. Paska bercokolnya kembali
Belanda, wilayah Taruman berhasil memproklamirkan diri menjadi Kesultanan Tarumon
dengan sultan yang berasal dari Batak Singkil serta dengan pengakuan dari Aceh.
Pada tahun 1814 penguasa Barus yang tunggal dari Hulu bernama Sultan Baginda Raja
dengan perdana menteri dari Hilir. Menurut Canning, perusahaan dan pengusaha-
pengusaha Aceh berdomisili di Tapus. Sementara itu Taruman bagian utara Barus telah
diangkat seorang Aceh untuk menjadi gubernur oleh Sultan Baginda yang bernama
“Lebbe Dappah”. Menurut Canning pula bahwa Kesultanan Barus merupakan negara
yang sangat penting untuk menahan pengaruh Aceh ke Selatan, khususnya Natal.[lihat
Captain J. Canning, 24 November 1814, Sumatra Factory Record., vol.27]
Laporan-laporan mata-mata ini berhasil melihat secara jelas peta perpolitikan di Barus
paska hengkangnya Belanda. Menurutnya, Sultan di Hilir, sebenarnya sudah tidak
berdaulat lagi, sejak mereka hanya bagian dari pemerintahan Sultan Barus (Di Hulu)
berbeda dengan laporan-laporan Belanda yang saat itu masih terus saja berhipotesa
mengenai kondisi kontemporer Kesultanan.
Pada tahun 1820, Belanda kembali lagi ke Barus kali ini maksud mereka bukan untuk
berdagang tapi menjajah sepenuhnya Barus. Selang lima tahun Belanda berhasil
menguasai para pejabat pemerintahan dengan maksud untuk memperkuat jaringanya.
Kali ini Belanda masuk dengan pasukan yang sangat dan canggih saat itu. Kehadiran
mereka di dipegunungan juga mendapat tantangan oleh orang-orang Batak Padri yang
tidak setuju dengan konsep hisap darah dan penjajahan ala Belanda tersebut.
Pada tahun 1825, perpecahan antara kedua penguasa di Barus berhasil diciptakan,
Ridder de Steurs mengklaim bahwa salah satu Sultan telah meminta Bantuan dari
Belanda di Padang untuk mengirim pasukan membela salah satu Sultan. Hal inilah yang
menjadi alasan bagi Belanda untuk mengirim pasukan lebih banyak tanpa mendapat
perlawanan dan protes dari raja-raja Batak di berbagai tempat. Walaupun Belanda telah
datang dengan pasukan bersenjata lengkap tetap saja mereka harus mengambil
langkah yang jitu agar langkah tersebut tidak mengalami kegagalan yang fatal.
Usaha untuk menjajah dan mencaplok secara total Barus terus dilakukan namun selalu
mendapat perlawanan dari Rakyat. Pergulatan, peperangan dan pertikaian terus terjadi
sampai tahun 1839. Pada tahun ini Belanda berhasil menguasasi Barus setelah
sebelumnya Belanda berhasil menguasai Bonjol pada tahun 1837. Setelah menguasasi
Bonjol, pusat pasukan Padri Minang dan setelah banyaknya orang-orang Padri Batak
tewas dan gugur mempertahankan Air Bangis, pasukan Belanda dapat mengumpul
kekuatan penuh untuk menguasasi Barus dua tahun kemudian yakni 1839-1840.
Walaupun begitu, Kesultanan Barus masih tetap eksis di bawah penjajahan dengan gelar
Tuanku dan bukan Sultan.
Seorang penyusup Belanda yang bekerja untuk kepentingan militer, H.N. van der Tuuk
yang pada tahun 1851, berhasil menyusup sampai ke pedalaman Batak. Walaupun Barus
dikuasasi, namun pedalaman Batak tetap merdeka sampai tahun 1907.
Para penyusup tersebut diinfiltrasikan oleh Belanda dengan tujuan mengkeroposkan
sistem sosial dan adat orang-orang Batak. Penguasaan terhadap tanah Batak adalah
sangat penting untuk menyempurnakan kekuasaan Belanda di Sumatera yang hanya
tinggal Aceh dan Batak tersebut.
H.N. van der Tuuk, dengan bantuan para ketua-ketua kampung di Barus yang terdiri dari
pada Batak muslim yang menjadi pemandu, berhasil memasuki tanah Batak. Dari sana
dia berhasil memetakan dan menarik kesimpulan yang mesti diperhatikan oleh para
penyusup Belanda berikutnya. Di antaranya adalah keharusan memelihara babi dan
mengisolasi masyarakat Batak Muslim dan kelompok “pitu hali malim pitu hali solam”
dari yang pelebegu. [Lihat Lihat: R. Nieuwenhuys, H.N. van Der Tuuk: De, Pen in Gal
Gedoopt, (Amsterdam, 1962) hal: 81-84] Dengan begitu orang Batak akan mudah
ditaklukkan.
Pada tahun 1851, Sultan Di Hulu, dari Dinasti Pardosi mulai secara pelan-pelan dikurangi
otoritasnya. Dia mulai dilarang untuk menggunakan stempel kerajaan dalam membuat
surat. Ini berarti kekuasaannya sudah tumpul dan puntung karena sudah tidak boleh
mengeluarkan perintah dan keputusan. Kondisi ini membuat Tuanku di Hilir merasa
bahagia menjadi penguasa tunggal yang tersisa dengan dukungan Belanda. Namun
belum lengkap kebahagiaan yang dirasakan olehnya, Belanda menetapkan keputusan
sama pada tahun 1852 terhadap Tuanku di Hilir.
Para keturunan Sultan dan Tuanku Barus hanya boleh dikenal oleh penduduk dengan
sebutan kepala kampung atau desa atau kepala kuria. Sedapat mungkin Belanda
membatasi gerak dan usaha mereka untuk berbicara.
Batak Sebagai Nama Etnik Dikonstruksi Jerman dan Belanda
Nama Batak sebagai identitas etnik ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri, tapi
diciptakan atau dikonstruksi para musafir barat. Hal ini kemudian dikukuhkan misionaris
Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an. Simpulan ini dikemukakan
sejarahwan Unversitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan Azhari yang baru usai melakukan
penelitian di Jerman.
Di Jerman, sejarahwan bergelar doktor ini memeriksa arsip-arsip yang ada di Wuppertal,
Jerman. Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha, atau
tulisan tangan asli Batak, tidak ditemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang
atau etnik Batak. Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam
kebudayaan Batak, tetapi diciptakan dan diberikan dari luar.
"Kata Batak awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke wilayah Pulau Sumatera
dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di
pegunungan dengan nama bata. Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini
berkonotasi negatif bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk
pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan," kata Ichwan Azhari
di Medan, Minggu (14/11/2010).
Dalam penelitiannya yang dimulai sejak September lalu, selain memeriksa arsip-arsip di
Jerman, Ichwan juga melengkapi datanya dengan mendatangi KITLV (Koninklijk Instituut
voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau the Royal Institute of Southeast Asian and
Caribbean Studies) di Belanda. Dia juga mewawancari sejumlah pakar ahli Batak di
Belanda dan Jerman seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner.
"Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakan
label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatera Utara label itu terus
dipakai karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi
konstruksi dan makna baru atas kata itu," katanya.
Disebutkan Ichwan, para misionaris itu sendiri awalnya ragu-ragu menggunakan kata
Batak sebagai nama etnik, karena kata Batak tidak dikenal oleh orang Batak itu sendiri
ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Para misionaris awalnya
menggunakan kata bata sebagai satu kesatuan dengan lander, jadi bata lander yang
berarti tanah Batak, merupakan suatu nama yang lebih menunjuk ke kawasan geografis
dan bukan kawasan budaya atau suku.
Di arsip misionaris yang menyimpan sekitar 100 ribu dokumen berisi informasi penting
berkaitan dengan aktivitas dan pemikiran di tanah Batak sejak pertengahan abad ke-19
itu, Ichwan menemukan dan meneliti puluhan peta, baik peta bata lander yang dibuat
peneliti Jerman Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan
setelah peta Junghuhn dibuat.
"Peta-peta itu memperlihatkan adanya kebingungan para musafir barat dan misionaris
Jerman untuk meletakkan dan mengkonstruksi secara pas sebuah kata Batak dari luar
untuk diberikan kepada nama satu kelompok etnik yang heterogen yang sesungguhnya
tidak mengenal kata ini dalam warisan sejarahnya," tukas Ichwan.
Dalam peta-peta kuno itu, kata bata lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di
dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung,
Rajah, Pac Pac, Karo, dan tidak ada nama batak sama sekali. Dalam salah satu peta kata
Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau.
Kebingungan para misionaris Jerman untuk mengkonstruksi kata Batak sebagai nama
suku juga nampak dari satu temuan Ichwan terhadap peta misionaris Jerman sendiri
yang sama sekali tidak menggunakan judul bata lander sebagai judul peta dan
membuang semua kata Batak yang ada dalam edisi penerbitan peta itu di dalam
laporan tahunan misionaris. Padahal sebelumnya mereka telah menggunakan kata Batak
itu.
Kata Batak yang semula nama ejekan negatif penduduk pesisir kepada penduduk
pedalaman, kemudian menjadi nama kawasan geografis penduduk dataran tinggi
Sumatera Utara yang heterogen dan memiliki nama-namanya sendiri pada awal abad
20, bergeser menjadi nama etnik dan sebagai nama identitas yang terus mengalami
perubahan.
"Setelah misionaris Jerman berhasil menggunakan nama Batak sebagai nama etnik,
pihak pemerintah Belanda juga menggunakan konsep Jerman itu dalam pengembangan
dan perluasan basis-basis kolonialisme mereka. Nama Batak juga digunakan sebagai
nama etnik para elit yang bermukim di Tapanuli Selatan yang beragama Islam,"
tukasnya.
Foto bertahun 1894, sebuah keluarga besar Batak Toba