Anda di halaman 1dari 14

MUSIBAH, ISLAM DAN

KEARIFAN LOKAL
KELOMPOK : 12
1. Nurul Alda Vera 11200150000005
2. Dhia Zahrah T.S 11200150000020
3. Laila Nur Karimah 11200150000006
Pendahuluan
Musibah dalam Al-Qur’an, tidak hanya mengacu pada terjemahan Teks dan
konteks sosial. Beberapa ulama telah menupas masalah ini, Seperti Imam
Baidawi, dalam tafsir Anwar at-Tanzil wa Asror at-Ta’wil Mengatakan bahwa
musibah adalah semua kemalangan yang dibenci Dan menimpa umat manusia.
Mustafa dalam tafsir al-Maraghi menyebut Musibah adalah semua peristiwa
yang menyedihkan, seperti korban Gempa, banjir, kehilangan harta benda, dan
tersebarnya penyakit dalam Waktu yang singkat, cepat dan menelan korban.
Ali Mustafa Ya’qub menjelaskan musibah apapun yang menimpa Umat Nabi
Muhammad SAW. Dikarena beberapa hal :

● Ujian keimanan.
● Meningkatkan derajat keimanan.
● Cinta Allah pada hamba-Nya.
● Teguran atau peringatan.
Musibah, Ujian, dan
Hikmah
Dalam sejarah, berbagai musibah diartikan sebagai sesuatu yang
Kedatangannya tidak disukai oleh manusia. Manusia dalam kehidupan di
dunia ini tidak akan luput dari Berbagai macam musibah, cobaan dan ujian.
Ujian yang diberikan oleh Allah kepada hambanya yang saleh Bukan
bertujuan untuk menghinakannya, melainkan untuk menaikkan Derajatnya.
Dalam Hadis riwayat al-Hakim, Nabi Muhammad SAW. Bersabda, “Ketika Allah
SWT. Menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, Maka disegerakan baginya
hukuman (di dunia ini) atas dosanya. Dan Apabila Allah SWT. Menghendaki
keburukan pada hamba-Nya, Dia tahan Hukuman dosanya di dunia, sehingga
disiksa-Nya pada hari kiamat”.
Setiap orang telah Allah siapkan ujian baginya, ujian itu berbeda-beda,
bisa melalui bencana alam, kecelakaan, kehilangan orang yang Di sayang,
kehilangan harta benda, dan lain sebagainya. Oleh karena Itu, tidak
pantas bagi manusia yang memiliki keterbatasan untuk Menghakimi bahwa
ujian yang sedang menimpa saudaranya adalah Azab. Musibah dan bencana
justru merupakan bukti cinta Allah Kepadanya. Musibah dan bencana yang
menimpa adalah sebagai sarana Introspeksi diri, bukan bahan penyesalan
tanpa berkesudahan, berkeluh kesah, sehingga harus berputus asa dari
rahmat-Nya. Allah mengganti musibah dan bencana dengan kemudahan,
kebaikan, dan keberkahan.
Ridha dan Ihtishab
Bencana telah menjadi isu pembangunan karena hasil pembangunan yang
telah dirintis puluhan bahkan ratusan tahun dapat musnah atau rusak
seketika dengan adanya bencana. Perekonomian masyarakat dan negara
pun banyak mengalami kemunduran serta banyak prasarana dan sarana
ekonomi, sosial dan budaya yang rusak. Masyarakat yang terkena
bencana seringkali harus menata ulang kehidupannya dari awal,
mereka harus pindah ke tempat lain, dan mulai penghidupan di tempat
baru.
Sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap
sabar dan ihtisab. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban
musibah. Setiap kali menyaksikan musibah (mengingat) dan balasan
(kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi
kesusahan dan musibah.
Ibnul Qayyim menjelaskan, Allah telah mengingatkan akan
semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allah
memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba –
Nya:

“Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang


beriman dalam (menjalankan agama) Allah senantiasa disertai
dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan pahala dari-Nya).
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu).
Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun
menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya,
sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka
harapkan” (QS. an-Nisa: 104).
Bencana dan Kearifan Lokal
Kesiap siagaan menghadapi bencana adalah suatu kondisi masyarakat, baik
secara invidu maupun kelompok, yang memiliki kemampuan fisik dan
psikis dalam menghadapi bencana. Setelah orang mengetahui stimulus atau
objek proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus
atau objek tersebut.

Kearifan lokal adalah salah satu sarana dalam mengolah kebudayaan dan
mempertahankan diri dari kebudayaan asing yang tidak baik. Kearifan
lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah komunitas,
masyarakat dan bangsa yang menyebabkan mereka mampu menyerap, bahkan
mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak
dan kemampuan sendiri.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas masyarakat lokal
dalam menjawab berbagai masalah pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan
lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang berada di suatu
wilayah dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat itu sendiri. Kearifan
lokal diwariskan secara turun-temurun melalui cerita, syair, dongeng,
pitutur, dan kisah. Kearifan lokal bisa dijadikan pendidikan siaga
bencana yang sesuai dengan karakteristik lokal dan diperbarui sesuai
dengan bencana terbaru.
Tidak semua kearifan lokal diketahui masyarakat dan menjadi
bahan rujukan ketika musibah dan bencana. Banyak korban akibat
tsunami. Komunitas adat tersebut memiliki pengetahuan cara
menyelamatkan diri ketika ada bencana, terutama gempa bumi dan
tsunami. Pengelolaan tanggap darurat bencana, rekonstruksi, atau
rehabilitasi pasca bencana dengan memperhatikan kearifan lokal.
Peningkatan kapasitas masyarakat dalam menanggulangi risiko
bencana urgen dilakukan, di antaranya dengan melakukan pelatihan
penanggulangan bencana atau dengan simulasi-simulasi yang dapat
meningkatkan pemahaman masyarakat dalam menanggulangi risiko
bencana.
Kesimpulan
Setiap daerah bencana mempunyai karakteristik geografi, geologi, dan sosial
budaya tertentu. Maka, mitigasi bencana selalu disesuaikan dengan karakter
lokal. Keterlibatan masyarakat dan peran kearifan lokal sangat penting
disertakan dalam usaha mitigasi bencana. Dengan partisipasi tokoh dan
masyarakat awam, sosialisasi peringatan dini bencana diharapkan dapat
optimal dan mampu menarik minat masyarakat setempat untuk ikut berperan
aktif dalam mitigasi Di Indonesia cukup banyak organisasi–organisasi sosial
dan keagamaan yang sekarang belum terorganisir yang dapat menjadi kekuatan
dalam gerakan penanggulangan risiko bencana. Budaya,
gotong royong, toleransi dan semangat keswadayaan berjalan baik di desa dan hal
ini menjadi satu kekuatan penting dalam penanganan bencana.
Dari berbagai bencana gempa dan tsunami Aceh (2004), gempa di Yogyakarta dan Jawa
Tengah (2006), gempa dan tsunami Palu (2018), dan lain-lainnya membuat semua
komponen masyarakat untuk merubah pola pikir masyarakat desa maupun kota
menjadi relawan dan melakukan refleksi diri ada relasi dan keterkaitan Tuhan,
manusia, dan alam semesta.
Terima Kasih…

Anda mungkin juga menyukai