Anda di halaman 1dari 25

Makalah

PERUBAHAN IKLIM
“ 5(Lima)Jurnal Mengenai Analisis Kerentanan “

oleh:

SUTIAH
M1B116129
ILMU LINGKUNGAN C

JURUSAN ILMU LINGKUNGAN


FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan ridhonya,
yang mengajari kita ilmu dan mengajari manusia atas apa-apa yang tidak diketahui,
dengan pemberian akal yang sempurna. Shalawat dan salam semoga tetap
terlimpahkan kepada junjungan kita, Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga
dan sahabat-sahabatnya. Atas selesainya penyusunan makalah ini, dengan judul:
“Analisis Kerentanan”.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah

berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari tentulah masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh
karenanya kritik dan saran konstruktif amat penulis nantikan. Semoga apa yang
tertulis dalam makalah ini dapat bermanfaat. Amin.

Kendari, 20 Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................... i

KATA PENGANTAR................................................................................................ ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................…..iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1

A. Latar Belakang........................................................................................................1

B. Rumusan masalah...................................................................................................2

C. Tujuan.................................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................3

BAB IV PEMBAHASAN............................................................................................6

BAB III PENUTUP....................................................................................................18

A. Kesimpulan............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia mempunyai karakteristik bencana yang kompleks, karena terletak pada

tiga lempeng aktif yaitu lempeng Euro-Asia di bagian utara, Indo-Australia di bagian

selatan dan lempeng Pasifik di bagian Timur. Ketiga lempeng aktif tersebut bergerak

dan saling bertumbukan sehingga menyebabkan rawan bencana seperti letusan

gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor.

Besarnya konsentrasi aktivitas manusia di wilayah ini harus diimbangi dengan

tindakan mitigasi bencana guna mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh banjir,

sehingga lahan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (Haryani, 2012; Ma’arif et

al., 2014; Widianto and Damen, 2014). Dalam melaksanakan tindakan mitigasi

bencana diperlukan informasi spasial berkaitan dengan bencana banjir (durasi,

kedalaman, ekstensi) dan tingkat kerentanan fisik dan sosial.

Kerentanan adalah tingkat kerugian yang dapat dialami oleh elemen terdampak

dengan tingkat keparahan tertentu yang dihasilkan oleh bahaya tertentu. Tingkat

kerentanan masyarakat terhadap dampak bencana ditentukan oleh beberapa kondisi

yaitu kondisi fisik, sosial, ekonomi, lingkungan, dan proses yang berlangsung di

dalamnya. Menurut Cutter (1996) dalam Dewi (2007) kerentanan suatu daerah

terhadap bencana berkaitan dengan kondisi geografisnya Potensi bencana suatu

wilayah akan berkurang ataupun meningkat bergantung pada kondisi fisik wilayah

serta struktur sosial penduduk di wilayah tersebut. Struktur sosial yang dimaksud
yaitu berkaitan dengan kearifan lokal dalam menghadapi bencana, respon penduduk

dalam mengatasi, pemulihan, dan beradaptasi terhadap bencana.

Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud bahaya ?

2. Apa yang di maksud dengan Kerentanan?

3. Bagaimana mengenai Analisis kerentanan dengan beberapa contoh jurnal?

B. Tujuan

1. Dapat Mengetahui Bahaya!

2. Dapat mengetahui Kerentanan!

3. Dapat mengetahui Analisis kerentanan dengan beberapa contoh jurnal!


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Bahaya (hazard) adalah suatu fenomena fisik, fenomena, atau aktivitas

manusia yang berpotensi merusak, yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa atau

cidera, kerusakan harta-benda, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan

lingkungan (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007) atau peristiwa kejadian potensial yang

merupakan ancaman terhadap kesehatan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat

atau fungsi ekonomi masyarakat atau kesatuan organisasi pemerintah yang selalu luas

(Lundgreen, 1986).

Kerentanan (vulnerability) adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh

faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang

meningkatkan kecenderungan (susceptibility) sebuah komunitas terhadap dampak

bahaya (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007). Kerentanan lebih menekankan aspek

manusia di tingkat komunitas yang langsung berhadapan dengan ancaman (bahaya)

sehingga kerentanan menjadi faktor utama dalam suatu tatanan sosial yang memiliki

risiko bencana lebih tinggi apabila tidak di dukung oleh kemampuan (capacity)

seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan, kemiskinan, kondisi sosial, dan

kelompok rentan yang meliputi lansia, balita, ibu hamil dan cacat fisik atau mental.

Kapasitas (capacity) adalah suatu kombinasi semua kekuatan dan sumberdaya yang

tersedia di dalam sebuah komunitas, masyarakat atau lembaga yang dapat

mengurangi tingkat risiko atau dampak suatu bencana (ISDR, 2004 dalam MPBI,

2007). Dalam kajian risiko bencana ada faktor kerentanan (vulnerability) rendahnya
daya tangkal masyarakat dalam menerima ancaman, yang mempengaruhi tingkat

risiko bencana, kerentanan dapat dilihat dari faktor lingkungan, sosial budaya, kondisi

sosial seperti kemiskinan, tekanan sosial dan lingkungan yang tidak strategis, yang

menurunkan daya tangkal masyarakat dalam menerima ancaman.

Besarnya resiko dapat dikurangi oleh adanya kemampuan (capacity) adalah

kondisi masyarakat yang memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengkaji dan

menilai ancaman serta bagaimana masyarakat dapat mengelola lingkungan dan

sumberdaya yang ada, dimana dalam kondisi ini masyarakat sebagai penerima

manfaat dan penerima risiko bencana menjadi bagian penting dan sebagai aktor kunci

dalam pengelolaan lingkungan untuk mengurangi risiko bencana dan ini menjadi

suatu kajian dalam melakukan manajemen bencana berbasis masyarakat (Comunity

Base Disaster Risk Management).

Kerentanan suatu wilayah juga terkait dengan kondisi atau karakteristik

biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya dan teknologi suatu

masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi

kemampuan masyarakat tersebut dalam mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan

menanggapi dampak bahaya tertentu (GLG Jateng, 2008).

Menurut Permendagri No. 33 Tahun 2006 ada beberapa hal yang harus

diperhatikan dalam upaya mitigasi bencana, diantaranya: 1) penyediaan informasi dan

peta kawasan rentan bencana untuk setiap jenis bencana, 2) sosialisasi untuk

meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana,

3) memahami apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara
penyelamatan diri jika terjadi bencana, dan, 4) pengaturan dan penataan kawasan

rentan bencana.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Analisis Kerentanan Tanah Longsor Sebagai Dasar Mitigasi Di Kabupaten


Banjarnegara

Bencana tanah longsor merupakan bencana hidrometeorologi yang sering

terjadi di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat

kerentanan tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara. Metode penelitian yang

dilakukan adalah survey dan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

kerentanan longsor dengan parameter: faktor alami dan manajemen. Analisis yang

digunakan adalah overlay dari parameter yang telah ditentukan dan pembobotan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah dengan kelas kerentanan: 1) tidak

rentan seluas 44,88 ha (0,04%), 2) sedikit rentan 7.800,84 ha (7,29%), 3) agak rentan

88.505,80 ha (82,74%), 4) rentan 10.423,32 ha (9,74%), dan 5) sangat rentan 196,16

ha (0,18%).

Parameter yang dominan untuk tanah longsor di Banjarnegara adalah hujan,

geologi dan kedalaman regolith. Upaya mitigasi yang dapat diterapkan pada wilayah

yang dikategorikan rentan longsor ini adalah berbasis kemandirian masyarakat

melalui pembentukan desa tangguh bencana, yaitu desa yang tanggap dan dapat

meminimalkan risiko bencana melalui adaptasi atau penyesuaian diri terhadap

lingkungan yang rentan terhadap bencana tanah longsor. Beberapa hal yang harus

dilakukan secara mandiri oleh masyarakat adalah peningkatan kewaspadaan saat

musim hujan dan tindakan penutupan rekahan di permukaan tanah, serta konservasi

tanah (stabilisasi dan perlindungan lereng).


3.2. Kerentanan Masyarakat Perkotaan terhadap Bahaya Banjir di Kelurahan
Legok, Kecamatan Telanipura, Kota Jambi

Kerentanan adalah tingkat kerugian yang dapat dialami oleh elemen

terdampak dengan tingkat keparahan tertentu yang dihasilkan oleh bahaya tertentu.

Tingkat kerentanan masyarakat terhadap dampak bencana ditentukan oleh beberapa

kondisi yaitu kondisi fisik, sosial, ekonomi, lingkungan, dan proses yang berlangsung

di dalamnya. Menurut Cutter (1996) dalam Dewi (2007) kerentanan suatu daerah

terhadap bencana berkaitan dengan kondisi geografisnya (Gambar 1). Potensi

bencana suatu wilayah akan berkurang ataupun meningkat bergantung pada kondisi

fisik wilayah serta struktur sosial penduduk di wilayah tersebut. Struktur sosial yang

dimaksud yaitu berkaitan dengan kearifan lokal dalam menghadapi bencana, respon

penduduk dalam mengatasi, pemulihan, dan beradaptasi terhadap bencana.

Banjir adalah suatu peristiwa tingginya aliran sungai di mana air menggenangi

wilayah dataran banjir. Bencana banjir diukur dengan probabilitas terjadinya

kerusakan yang secara umum disebut sebagai risiko banjir, atau dampaknya terhadap

masyarakat seperti korban jiwa atau kerusakan material masyarakat (Dewi, 2007).

Bencana banjir merupakan ancaman bagi penduduk beserta aktivitasnya, dan risiko

bencana banjir meningkat di banyak tempat disebabkan oleh intensifnya

pembangunan pada wilayah dataran banjir (Sagala et al., 2012; Sakijege, 2013).

Perubahan penggunaan lahan menjadi kawasan terbangun dapat meningkatkan risiko

bencana banjir disebabkan oleh berubahnya karakteristik run off, dan jalur drainase

bagi air (Cahyadi et al., 2011; Cahyadi dkk., 2012).


Kondisi ini diperparah dengan terjadinya perubahan iklim di mana beberapa

tempat mengalami perubahan frekuensi curah hujan (Sene, 2008; Dibyosaputro dkk.,

2016). Kejadian banjir pada umumnya terjadi pada kawasan dataran banjir, di mana

wilayah ini berkembang sebagai wilayah perkotaan disebabkan oleh kebutuhan dan

melimpahnya ketersediaan sumberdaya air untuk beragam tujuan. Laju urbanisasi

yang tinggi mempercepat pembangunan infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan

penduduk kota. Perkembangan tersebut terus berlanjut meskipun aktivitas ini

meningkatkan kerentanan bencana jika aktivitas berlangsung melebihi kapasitas

wilayah terhadap perubahan (Genovese, 2006).

Kerentanan Fisik dan Sosial Ekonomi Kerentanan Fisik Pemetaan kerentanan

fisik dilakukan terhadap 90 sampel di wilayah penelitian. Jenis konstruksi/ material

fisik bangunan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mudahnya suatu

bangunan mengalami kerusakan (Guarin, 2003). kemampuan individu atau kelompok

orang dalam menanggulangi, bertahan, dan pulih dari dampak kejadian bencana.

Bencana akan terjadi ketika masyarakat menghadapi fenomena bahaya yang melebihi

kapasitas masyarakat dalam menghadapi bahaya tersebut. Kondisi ini bermakna

bahwa efek yang ditimbulkan suatu bencana dipengaruhi oleh tingkat kerentanan

masyarakat terhadap bahaya (Twigg, 2011). Kondisi sosial ekonomi masyarakat

merupakan salah satu aspek kerentanan yang perlu dikaji untuk mengetahui tingkat

kemampuannya dalam menghadapi bencana. Kerentanan sosial dalam penelitian ini

mencakup berbagai variabel yaitu pendapatan penduduk, jenis kelamin, pekerjaan,

dan tingkat pendidikan.


Berdasarkan hasil interpolasi kedalaman banjir tahun 2004 maka penelitian ini

menyimpulkan bahwa sebagian besar wilayah penelitian terkena dampak banjir

dengan kedalaman maksimum mencapai 3 meter di bagian timur wilayah penelitian.

Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi topografi yang lebih rendah

dibandingkan wilayah lainnya, terjadi penyempitan sungai dan kotornya saluran

sungai, sehingga menghambat air untuk tersalurkan ke outlet utama. Berdasarkan

analisis kerentanan fisik, maka penelitian ini menyimpulkan bahwa tingkat

kerentanan fisik tinggi ditemukan sebanyak 35 bangunan, kerentanan fisik sedang

sebanyak 46 bangunan, dan kerentanan rendah sebanyak 9 bangunan. Tingkat

kerentanan sedang hingga tinggi mendominasi wilayah penelitian karena jenis

bangunan berupa bangunan non tembok. Kerentanan sosial ekonomi lebih tinggi

ditemukan pada elemen tingkat pendidikan dengan sebagian besar tingkat pedidikan

rendah yaitu SD (44,4%) dan elemen penduduk rentan karena usia lanjut dan anak-

anak sebanyak 30,4%.

3.3. Model Spasial Kerentanan Sosial Ekonomi Dan Kelembagaan Terhadap

Bencana Gunung Merapi

Gunung Merapi merupakan salah gunung yang masih aktif yang ada di

Indonesia dan terletak diantara empat Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah

dan DIY. Gunung merapi tergolong gunung yang berbahaya karena mengalami erupsi

dalam jangka waktu yang relatif pendek dan disekitarnya terdapat kawasan

pemukiman sehingga dapat mengancam keselamatan penduduk. Letusan gunung

merapi banyak memakan korban jiwa dan harta benda, salah satu penyebabnya adalah
kerentanan sosial, ekonomi dan kelembagaan masyarakat pada kawasan rawan

bencana gunung merapi. Penelitian dengan judul “Model Spasial Kerentanan Sosial

Ekonomi dan Kelembagaan Terhadap Bencana Gunung Merapi” ini diangkat dari

latar belakang kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan masyarakat yang rentan

terhadap bencana gunung merapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kerentanan

sosial dan ekonomi masyarakat serta kelembagaan yang dimodelkan secara spasial

untuk mengetahui tingkat kerentanan masyarakat dengan bantuan alat sistem

informasi geografis.

Penelitian ini dilakukan pada Kawasan Rawan Bencana III Gunung Merapi

Kecamatan Dukun dan Srumbung Kabupaten Magelang yang terdiri dari 16 Desa dan

124 Dusun. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kuantitatif dengan

metode analisis data berupa scoring analysis, deskriptif kuantitatif dan analisis

spasial. Scoring analysis dilakukan dengan pemberian skor pada setiap variabel yang

digunakan dalam penelitian, analisis deskriptif kuantitatif menggambarkan deskripsi

penjelasan dan gambaran mengenai data kuantitatif yang digunakan dalam analisis

dan analisis spasial yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk pemetaan

variabel dan overlay variabel. Kerentanan sosial yang merupakan kajian dalam

penelitian ini diukur dengan kepadatan penduduk, penduduk usia tua dan balita,

penduduk wanita dan pemahaman masyarakat terhadap bencana.

Sedangkan kerentanan ekonomi diukur dari persentase tingkat kemiskinan

penduduk dan kerentanan kelembagaan diukur dari keberadaan lembaga

penanggulangan bencana dan forum pengurangan risiko bencana. Output dari


penelitian ini adalah kerentanan sosial, ekonomi dan kelembagaan masyarakat

terhadap bencana gunung merapi yang dimodelkan secara spasial dengan

menggunakan bantuan alat sistem informasi geografis dengan hasil akhir berupa peta

kerentanan sosial, ekonomi dan kelembagaan. Hasil analisis kerentanan sosial,

ekonomi dan kelembagaan menunjukkan bahwa dari 124 dusun yang ada di KRB III

Kecamatan Dukun dan Srumbung, 37 dusun diantaranya merupakan kerentanan

rendah. Sedangkan 81 dusun dengan kerentanan sedang dan 6 dusun dengan

kerentanan tinggi.

Kerentanan suatu wilayah juga terkait dengan kondisi atau karakteristik

biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya dan teknologi suatu

masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi

kemampuan masyarakat tersebut dalam mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan

menanggapi dampak bahaya tertentu (GLG Jateng, 2008). Bila suatu bahaya

merupakan suatu fenomena atau kondisi yang sulit diubah maka kerentanan

masyarakat relatif dapat diubah. Oleh karena itu pengurangan risiko bencana dapat

dilakukan dengan cara memperkecil kerentanan. Kerentanan dikaitkan dengan

kemampuan manusia untuk melindungi dirinya dan kemampuan untuk

menanggulangi dirinya dari dampak bahaya/ bencana alam tanpa bantuan dari luar.

Kompleksitas arti kerentanan bencana maka dapat didefinisikan dan dijabarkan

kriteria kerentanan bencana berdasarkan pada karakteristik dampak yang ditimbulkan

pada obyek tertentu. Kerentanan, ketangguhan, kapasitas, dan kemampuan merespon


dalam situasi darurat, bisa diimplementasikan baik pada level individu, keluarga,

masyarakat dan institusi (Sunarti, E. 2009).

3.4. Analisis Kerentanan Fisik Permukiman Di Kawasan Rawan Bencana

Tsunami Wilayah Parangtritis, Yogyakarta)

Secara etimologi, permukiman dalam istilah bahasa inggris adalah settlement,

berasal dari kata settle yang berarti menetap. Menetap yang dimaksud dalam arti

menatapnya sesuatu yang kompleks, bukan hanya menetap sebagai tempat tinggal

tetapi juga menetapnya segala aktivitas manusia lain seperti sekolah, bekerja, dan

berinteraksi sosial pada suatu wilayah. Berbeda dengan perumahan (housing) sebagai

sarana tempat tinggal, permukiman (settlement) menekankan pada suatu area tempat

menetap dan berlangsungnya kegiatan dasar manusia, seperti tempat tinggal, sekolah,

dan sarana mata pencaharian.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan tingkat kerentanan fisik

permukiman berada pada klasifikasi rendah, tinggi, dan sangat tinggi. Kerentanan

kelas Tinggi mendominasi dengan 14 kluster seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Karakteristik permukiman di Parangtritis terdiri dari bangunanbangunan yang cukup

homogen. Homogenitas desain bangunan tersebut dapat mempengaruhi karakteristik

kerentanan yang homogen pula. Dominasi nilai kerentanan cenderung terkonsentrasi

pada kelas kerentanan tinggi. Homogenitas kerentanan bangunan terhadap tsunami di

Parangtritis menunjukkan keseragaman karaktersistik bangunan pada

parameterparameter penentu kerentanan.


Parameter parameter kerentanan bangunan meliputi jenis material bangunan,

lantai dasar bangunan, jumlah lantai bangunan, dan orientasi bangunan. Berdasarkan

parameter kerentanan bangunan, material bangunan didominasi oleh material

bata/batako, kondisi lantai dasar bangunan didominasi berupa tertutup pada kawasan

hunian dan bangunan lantai dasar terbuka banyak ditemukan pada kawasan pariwisata

(Pantai Depok dan Pantai Parangtritis), jumlah lantai bangunan didominasi oleh

bangunan 1 lantai, dan orientasi bangunan cenderung heterogen. Kondisi lantai dasar

bangunan tertutup dan 1 lantai bangunan yang mendominasi mengakibatkan

tingginya tingkat kerentanan terhadap bencana tsunami di permukiman wilayah

parangtritis. Tingkat kerentanan bangunan permukiman di kawasan rawan tsunami

wilayah Parangtritis, Yogyakarta cukup homogen dengan dominasi berupa tingkat

kerentanan tinggi. Tingkat kerentanan tinggi tersebut dipengaruhi oleh tingginya

jumlah bangunan dengan karakteristik bangunan tertutup pada lantai dasar dan

dominasi berupa bangunan satu lantai, khususnya pada kawasan hunian penduduk.

3.5. Kajian Kerentanan Sosial Dan Ekonomi Terhadap Bencana Banjir (Studi

Kasus: Wilayah Pesisir Kota Pekalongan)

Bencana adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan

menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh beberapa

faktor alam dan faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga dapat

mengakibatkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak

psikologis (BNPB, 2013).Salah satu bencana yang sering terjadi di kota-kota

berkembang di Indonesia adalah bencana banjir. Banjir adalah peristiwa atau keadaan
dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat

(UU No.24 Tahun 2007), yang disebabkan oleh perubahan iklim, peningkatan

frekuensi dan intensitas curah hujan yang tinggi atau akibat banjir kiriman dari daerah

lain yang berada di tempat lebih tinggi. Banjir di wilayah pesisir.

Kriteria kerentanan bencana berdasarkan pada karakteristik dampak yang

ditimbulkan pada obyek tertentu.Kerentanan, ketangguhan, kapasitas, dan

kemampuan merespon dalam situasi darurat, bisa diimplementasikan baik pada level

individu, keluarga, masyarakat dan institusi (Sunarti, 2009). Sumber : Bakornas PB,

2007 Pengurangan Resiko Bencana Dengan Memperkecil Kerentanan Faktor-faktor

kerentanan meliputi (Bakornas PB, 2007) : a. Kerentanan fisik: Prasarana dasar,

konstruksi, bangunan b. Kerentanan ekonomi: Kemiskinan, penghasilan, nutrisi c.

Kerentanan sosial: Pendidikan, kesehatan, politik, hukum, kelembagaan d.

Kerentanan lingkungan: Tanah, air, tanaman, hutan, lautan Jenis bencana alam yang

tidak bias dikontrol dan dicegah manusia, besarnya resiko dan dampak bencana selain

dipengaruhi oleh besarnya bahaya (termasuk bahaya ikutan karena kerentanan yang

bersifat fisik), juga dipengaruhi oleh ketangguhan manusia dalam meminimalkan

resiko sebelum bencana, dalam mengelola resiko pada saat bencana, dan mengelola

resiko setelah terjadinya bencana (Sunarti, 2009). Pemodelan Dalam bidang

keruangan, karakteristik dunia nyata sangat kompleks dan selalu berubah, maka akan

sulit merencanakannya secara absolute.Oleh karena itu, perlu adanya suatu bentuk

yang lebih sederhana dari kondisi di dunia nyata tersebut.Pemodelan merupakan

suatu bentuk yang tepat untuk menyederhanakan kerja yang berkaitan dengan data-

data komplek yang selalu berubah, seperti dalam merencanakan jalur evakuasi untuk
bencana banjir. Beberapa dari model digunakan untuk menjelaskan atau

memperkirakan apa yang terjadi, tidak hanya pada satu tempat namun juga pada

semua tempat dimana model tersebut dapat diterapkan. Oleh karena itu model pada

umumnya bersifat kuantitatif dan berhubungan dengan dinamika dan proses dari

lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi (Brimicombe, 2003).

Variabel Skor Kriteria

3 ≤ 33 % responden

mampu menjawab

pertanyaan inti

1 11,54% - 23,00%

2 23,01% - 34,47%

Persentase tingkat 3 34,48% - 45,94%

kemiskinan

Sumber: Hasil Analisis Penyusun, 2015.

Dari kategori skor kerentanan di atas kemudian dilakukan penjumlahan pada

setiap variabel di setiap Kelurahan. Hasil dari penjumlahan skor setiap variabel

dilakukan perhitungan dan didapatkan tingkat kerentanan seperti berikut: Kerentanan

Rendah : 8 Kerentanan Sedang : 9 – 10 Keentanan Tinggi : 11 – 12 Metode analisi

berikutnya adalah metode analisis deskriptif kuantitatif yaitu menggambarkan

deskripsi penjelasan dan gambaran mengenai data-data kuantitatif yang digunakan

dalam analisis yang dilakukan.Data kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini
berupa angka yaitu jumlah penduduk dan luas wilayah di setiap Kelurahan di wilayah

pesisir Kota Pekalongan. Pemodelan dilakukan untuk mengetahui kerentanan sosial

dan ekonomi terhadap bencana banjir dalam bentuk yang paling sederhana yaitu peta

kerentanan sosial dan ekonomi melalui alat Sistem Informasi Geografis yaitu ArcGIS

9.3.

1. Berdasarkan hasil identifikasi kerentanan sosial dan ekonomi yang

dilakukan, dari 6 kelurahan yang terdapat di wilayah pesisir Kota Pekalongan

terdapat 1 kelurahan dengan kerentanan rendah yaitu Kelurahan Krapyak Lor, 4

kelurahan dengan kerentanan sedang yaitu Kelurahan Bandengan, Kandang Panjang,

Panjang Wetan dan Dengayu. Sedangkan 1 kelurahan yaitu Kelurahan Panjang Baru

memiliki tingkat kerentanansosial dan ekonomi yang tinggi terhadap bencana banjir .

2. Dari variabel Kerentanan Sosial dan Ekonomi yang diidentifikasi, dapat diketahui

bahwa semua variabel mempunyai pengaruh terhadap kerentanan sosial dan ekonomi.

Hal tersebut dapat dilihat dari persentase kerentanan sedang hingga tinggi yang

diperoleh dari variabel-variabel tersebut termasuk dalam persentase kerentanan yang

cukup besar.

3. Dari hasil validasi model, setelah diambil sampel pada 6 kelurahan

berdampak banjir di wilayah pesisir Kota Pekalongan didapat hasil bahwa 83,34%

memiliki kesamaan antara data input model dengan kondisi dilapangan sehingga

validasi model output juga sesuai dengan asumsi peneliti didalam melakukan

penilaian kerentanan sosial dan ekonomi di wilayah pesisir Kota Pekalongan. 16,66%

lainnya memiliki perbedaan antara data output model dengan kondisi di lapangan

yaitu berupa output dengan kerentanan rendah namun asumsi peneliti berupa
kerntanan sedang yaitu pada Kelurahan Krapyak Lor. 4. Dari hasil survey primer,

dapat diketahui bahwa potensi wilayah, kearifan lokal, tanah kelahiran, tempat tinggal

dan tingkat ekonomi masyarakat adalah beberapa alasan kuat dari masyarakat untuk

memilih hidup berdampingan dengan resiko bencana banjir .


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kerentanan (vulnerability) adalah tingkatan suatu sistem yang rentan terhadap dan

mempu mengatasi efek dari perubahan iklim, termasuk variabilitas iklim dan

ekstream.Kerentanan merupakan fungsi dari karakter, jarak dan laju perubahan iklim

dan variasi sistem yang terbuka, kepekaan dan kapasitas adaptif (IPCC,

2007).Kerentanan adalah sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor

fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya

pencegahan dan penanggulangan bencana (Bakornas PB, 2009).Bila suatu bahaya

merupakan suatu fenomena atau kondisi yang sulit diubah maka kerentanan

masyarakat relative dapat diubah. Oleh karena itu pengurangan resiko bencana dapat

dilakukan dengan cara memperkecil kerentanan. Kerentanan dikaitkan dengan

kemampuan manusia untuk melindungi dirinya dan kemampuan untuk

menanggulangi dirinya dari dampak bahaya/bencana alam tanpa bantuan dari luar

Kesimpulan untuk setiap jurnal yaitu :

a. Kabupaten Banjarnegara merupakan wilayah yang rentan terhadap longsor.

Wilayah yang masuk pada kelas sangat rentan meliputi Kecamatan Wanayasa

(64,41 ha), Pagedongan (43,78 ha), Banjarnegara (38,84 ha), Bawang (18,65 ha),

Kalibening (1,21 ha), Karangkobar (3,58 ha), Pandanarum (21,34 ha), Susukan

(4,03 ha), dan Mandiraja (0,30 ha). Faktor alami seperti kemiringan lereng yang

tinggi, curah hujan tinggi, adanya sesar, kondisi geologi serta kedalaman regolith

merupakan faktor yang berpengaruh di wilayah ini. Potensi kerentanan longsor


pada wilayah ini semakin meningkat dengan adanya infrastruktur yaitu bangunan

akibat kepadatan penduduk pada wilayahwilayah yang rentan terhadap longsor.

Berdasarkan kondisi tersebut, sangat disarankan untuk meningkatkan upaya

mitigasi dengan pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan Desa Tangguh

Bencana pada semua lapisan masyarakat. Diharapkan dengan adanya mitigasi

berbasis kesadaran dan kemandirian masyarakat, maka dampak bencana tanah

longsor dapat diantisipasi dengan baik. Hasil analisis terhadap wilayah rentan

longsor di Kabupaten Banjarnegara menggunakan metode Paimin et al., (2009)

ini, menghasilkan informasi wilayah rentan longsor yang didominasi oleh “agak

rentan". Untuk meningkatkan tingkat akurasi kelas kerentanan longsor di

Banjarnegara, maka perlu dilakukan modifikasi dalam penetapan parameter

kerentanan longsor, terutama klasifikasi kelerengan dan luasan daerah terdampak

sesar. Selain itu, dalam parameter manajemen, sebaiknya ditambah dengan faktor

beban lereng yaitu adanya bangunan air seperti kolam ikan atau empang, karena

bangunan tersebut berpotensi meningkatkan kerentanan longsor.

b. Berdasarkan hasil interpolasi kedalaman banjir tahun 2004 maka penelitian ini

menyimpulkan bahwa sebagian besar wilayah penelitian terkena dampak banjir

dengan kedalaman maksimum mencapai 3 meter di bagian timur wilayah

penelitian. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi topografi yang

lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya, terjadi penyempitan sungai dan

kotornya saluran sungai, sehingga menghambat air untuk tersalurkan ke outlet

utama. Berdasarkan analisis kerentanan fisik, maka penelitian ini menyimpulkan

bahwa tingkat kerentanan fisik tinggi ditemukan sebanyak 35 bangunan,


kerentanan fisik sedang sebanyak 46 bangunan, dan kerentanan rendah sebanyak

9 bangunan. Tingkat kerentanan sedang hingga tinggi mendominasi wilayah

penelitian karena jenis bangunan berupa bangunan non tembok. Kerentanan

sosial ekonomi lebih tinggi ditemukan pada elemen tingkat pendidikan dengan

sebagian besar tingkat pedidikan rendah yaitu SD (44,4%) dan elemen penduduk

rentan karena usia lanjut dan anak-anak sebanyak 30,4%.

c. Kerentanan sosial diukur dengan kepadatan penduduk, persentase penduduk usia

tua dan balita, penduduk wanita dan pemahaman masyarakat terhadap bencana.

Sedangkan kerentanan ekonomi diukur dari tingkat kemiskinan penduduk dan

kerentanan kelembagaan diukur dari kelembagaan penanggulangan bencana yang

terdiri dari lembaga penanggulangan bencana daerah Kabupaten Magelang dan

forum pengurangan risiko bencana desa di KRB III Kecamatan Dukun dan

Srumbung

d. parameterparameter kerentanan bangunan meliputi jenis material bangunan,

lantai dasar bangunan, jumlah lantai bangunan, dan orientasi bangunan.

Berdasarkan parameter kerentanan bangunan, material bangunan didominasi oleh

material bata/batako, kondisi lantai dasar bangunan didominasi berupa tertutup

pada kawasan hunian dan bangunan lantai dasar terbuka banyak ditemukan pada

kawasan pariwisata (Pantai Depok dan Pantai Parangtritis), jumlah lantai

bangunan didominasi oleh bangunan 1 lantai, dan orientasi bangunan cenderung

heterogen. Kondisi lantai dasar bangunan tertutup dan 1 lantai bangunan yang

mendominasi mengakibatkan tingginya tingkat kerentanan terhadap bencana

tsunami di permukiman wilayah parangtritis. Tingkat kerentanan bangunan


permukiman di kawasan rawan tsunami wilayah Parangtritis, Yogyakarta cukup

homogen dengan dominasi berupa tingkat kerentanan tinggi. Tingkat kerentanan

tinggi tersebut dipengaruhi oleh tingginya jumlah bangunan dengan karakteristik

bangunan tertutup pada lantai dasar dan dominasi berupa bangunan satu lantai,

khususnya pada kawasan hunian penduduk.

e. Berdasarkan hasil identifikasi kerentanan sosial dan ekonomi yang dilakukan,

dari 6 kelurahan yang terdapat di wilayah pesisir Kota Pekalongan terdapat 1

kelurahan dengan kerentanan rendah yaitu Kelurahan Krapyak Lor, 4 kelurahan

dengan kerentanan sedang yaitu Kelurahan Bandengan, Kandang Panjang,

Panjang Wetan dan Dengayu. Sedangkan 1 kelurahan yaitu Kelurahan Panjang

Baru memiliki tingkat kerentanansosial dan ekonomi yang tinggi terhadap

bencana banjir
DAFTAR PUSTAKA

Arsiadi Wisnu Hapsoro dan Imam Buchori. 2015. Kajian Kerentanan Sosial Dan
Ekonomi Terhadap Bencana Banjir .Studi Kasus: Wilayah Pesisir Kota
Pekalongan. Teknik PWK; Vol. 4; No. ; 2015; hal. 542-553

Danis Arbabun Naja Dan Djati Mardiatno. 2017. Analisis Kerentanan Fisik
Permukiman Di Kawasan Rawan Bencana Tsunami Wilayah Parangtritis,
Yogyakarta.

Dian Adhietya Arif , Djati Mardiatna , dan Sri Rum Giyarsih. 2017. Kerentanan
Masyarakat Perkotaan terhadap Bahaya Banjir di Kelurahan Legok,
Kecamatan Telanipura, Kota Jambi. Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31,
No. 2, September 2017 : 79 – 87

Good Local Governance (GLG) Jawa Tengah. 2008. Pedoman Penyusunan Rencana
Aksi Daerah (RAD) Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Bagi
Kabupaten/Kota. Semarang.

Karnawati.D, 2002 Manajemen Bencana Alam Gerakan Tanah di Indonesia: Evaluasi


dan Rekomendasi, Workshop PMBA, Jurs.T.Geologi FT-UGM BAPPEDA
Bali, Yogyakarta

Marbruno Habibi Dan Imam Buchori. 2013. Model Spasial Kerentanan Sosial
Ekonomi Dan Kelembagaan Terhadap Bencana Gunung Merapi.
Universitas Diponegoro. Teknik Pwk; Vol. 2; No. 1; 2013; Hal. 1-10

Pranatasari Dyah Susanti , Arina Miardini Dan Beny Harjadi. 2017. Analisis
Kerentanan Tanah Longsor Sebagai Dasar Mitigasi Di Kabupaten
Banjarnegara. 1 Balai Penelitian Dan Pengembangan Teknologi
Pengelolaan (Bpptpdas). Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Vol. 1 No. 1 April 2017 : 49-59

Anda mungkin juga menyukai