Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PROJECT PENGANTAR SISTEM DINAMIK

ANALISIS DINAMIK MODEL PREDATOR-PREY PADA POPULASI ECENG DENGAN


ADANYA IKAN KOAN DAN PEMANENAN DI DANAU MANINJAU

Anggota Kelompok 4 :

1. Ifa Prastika (20030012)

2. Nur Azilah (20030016)

3. Mutia Syifa (20030042)

4. Muthiara Hazimah Putri (20030085)

5. Naurah Dwi Zulmi (20030086)

Dosen Pengampu : Rara Sandhy Winanda, S.Pd, M.Sc

Mata Kuliah : Pengantar Sistem Dinamik

DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN ALAM DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan tanaman air invasif yang

pertumbuhannya sangat cepat dan dapat menyebabkan ledakan populasi. Eceng gondok

(Eichhornia crassipes) merupakan spesies invasif diberbagai wilayah dunia (Penfound & Earle,

1948). Invasi eceng gondok terjadi sebagai akibat dari tingkat pertumbuhan eceng gondok yang

begitu tinggi. Akibatnya, eceng gondok menjadi salah satu limbah yang mengakibatkan

perairan Danau Maninjau menjadi tercemar. Di mana satu batang eceng gondok mampu

menghasilkan tumbuhan baru seluas 1 m dalam waktu 52 hari (Guti ́rrez et al., 2001). Menurut

Heyne sebagaimana dikutip oleh Sahwalita (2010), dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng

gondok dalam areal 1 ha dapat mencapai bobot basah seberat 125 ton. Saat ini, hamparan

eceng gondok di danau Maninjau mencapai 10 hektare yang tersebar di delapan dari sembilan

nagari atau desa adat di Kecamatan Tanjungraya. Dengan kondisi itu, permukaan danau harus

dibersihkan dari keberadaan eceng gondok. Apabila tidak dibersihkan, permukaan Danau

Maninjau bakal dipenuhi oleh tanaman itu sehingga danau akan mati akibat cahaya Matahari

tidak bisa masuk ke dasar danau.

Keberadaan eceng gondok yang berlebihan dapat menimbulkan masalah ekologis seperti

menurunkan kadar oksigen terlarut, menghambat produksi perikanan budidaya, mengganggu

transportasi air, dan merugikan infrastruktur. Pengendalian konvensional seperti pembakaran

dan pengerukan dinilai kurang efektif karena eceng gondok tumbuh kembali dengan cepat.

Diperlukan pendekatan pengendalian yang lebih efektif dan ramah lingkungan. Salah satu agen

pengendali hayati eceng gondok adalah ikan koan (Ctenopharyngodon idella) yang memakan

1
tanaman eceng gondok. Namun penggunaan ikan koan perlu dimodelkan secara matematis agar

efektif mengendalikan ledakan populasi eceng gondok.

Diperlukan model matematika yang tepat, yaitu model predator-prey, untuk

menggambarkan interaksi dinamis eceng gondok sebagai mangsa dan ikan koan sebagai

pemangsa. Model ini diharapkan dapat memberikan solusi pengendalian populasi eceng

gondok yang optimal.

B. Tujuan

1. Membangun model matematika predator-prey untuk menggambarkan dinamika populasi

eceng gondok dan ikan koan.

2. Menganalisis kestabilan titik ekuilibrium model.

3. Melakukan simulasi numerik untuk memverifikasi hasil analitis

2
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kajian Pendahuluan

Pemodelan tanaman eceng gondok telah dilakukan Gutierrez et al. (2001) dengan

pemanenan konstan terhadap populasi eceng gondok. Model ini diberikan oleh sistem

persamaan

𝑑𝑊 𝑟𝑊 2 𝑅
= 𝑟𝑊 − −𝐴 (1.1)
𝑑𝑡 𝐾

Dengan W kepadatan eceng gondok. Kepadatan eceng gondok akan berkurang jika
𝐴𝑟𝐾
kapasitas pemanena yang dilakukan (R) lebih dari 𝑅 ∗ = , dengan A luas penutupan eceng
4

gondok, r laju pertumbuhan, dan K daya dukung lingkungan.

B. Sistem persamaan differensial

Persmaan differensial merupakan persamaan yang memuat satu atau lebh turunan dari

fungsi yang diketahui. Beberapa persamaan differensial yang membentuk suatu system disebut

system persamaan differensial. Misalkan diberikan system persamaan diffrensial

𝑥1̇ = 𝑓1 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )

𝑥2̇ = 𝑓2 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )

𝑥𝑛̇ = 𝑓𝑛 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ) (2.1)

𝑑𝑥𝑖
Dengan kondisi awal 𝑥1̇ (𝑡0 ) = 𝑥𝑖0 , untuk I =1,2,…,n dan 𝑥1̇ = . Sistem (2.1) dapat
𝑑𝑡

juga ditulis menjadi

𝑥̇ = 𝑓(𝑥) (2.2)

3
Dengan 𝑥 = (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ) ∈ 𝐸, 𝑓 = (𝑓1 , 𝑓2 , … , 𝑓𝑛 ) , 𝑥̇ = (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ) dan kondisi

awal 𝑥(𝑡0 ) = (𝑥10 , 𝑥20 , … , 𝑥𝑛0 ) = 𝑥0 . Notasi 𝑥(𝑡) = (𝑥0 , 𝑡) merupakan solusi Sistem

(2.2) dengan nilai awal 𝑥0 . Solusi untuk system (2.2) diberikan melalui Definisi 1 dan

Teorema 2

Definisi 1

Diberikan 𝐸 ⊆ 𝑅 𝑛 , 𝐸 himpunan terbuka, dan 𝑓𝑖 ∈ 𝐶(𝐸), 𝑖 = 1,2, … , 𝑛. Vektor 𝑥(𝑡)

disebut penyelesaian Sistem (2.4) pada interval I jika 𝑥(𝑡) differensiabel pada I dan 𝑥 ′ =

𝑓(𝑥(𝑡)) untuk setiap 𝑡 ∈ 𝐼 dan 𝑥(𝑡) ∈ 𝐸 , dengan 𝐶(𝐸) merupakan himpunan semua

fungsi kontinu pada E dan I interval terbuka (Perko,1991)

Teorema 2

Jika 𝐸 ⊆ 𝑅 𝑛 , 𝐸 himpunan terbuka, dan 𝑓𝑖 ∈ 𝐶(𝐸), 𝑖 = 1,2, … , 𝑛 dan 𝑥0 ∈ 𝐸 maka

terdapat 𝑎 > 0 sehingga masalah nilai awal 𝑥̇ = 𝑓(𝑥) dengan 𝑥(0) = 𝑥0 mempunyai

penyelesaian tunggal 𝑥(𝑡) pada interval [−𝑎, 𝑎 ]

(Perko,1991)

C. Model Pertumbuhan Logistik

Menurut Tucker (1989), model matematika adalah formulasi matematika dari berbagai

macam problem alam nyata. Tujuannya (Odum,1998) yaitu:

1. Menentukan usaha-usaha penelitian atau menguraikan garis besar suatu masalah untuk

pengkajian yang lebih mendetail, dan

2. Meramalkan perubahan dinamika terhadap waktu.

Salah satu model yang dapat digunakan untuk mengukur populasi suatu spesies adalah

model pertumbuhan logistik (model Verhulst) yang melibatkan adanya daya dukung

4
lingkungan terhadap pertumbuhan populasi. Model pertumbuhan logistik diberikan oleh

persamaan

𝑑𝑃 𝑃
= 𝑟𝑃 (1 − 𝐾) (2.3)
𝑑𝑡

Dengan kepadatan populasi, laju pertumbuhan dan daya dukung lingkungan (Waluya,

2011).

Jika pada persamaan (3.1) ditambahkan syarat awal 𝑃(0) = 𝑃0 , maka dapat diperoleh

solusi khusus dari persamaan diferensial tersebut, yakni


𝐾
𝑃(𝑡) = 𝐾 (2.4)
( −1)𝑒 −𝑟𝑡 +1
𝑃0

Untuk r>0 berlaku log 𝑡→∞ 𝑃(𝑡) = 𝐾 sehingga grafik dari persamaan (2.4) mempunyai

asimtot mendatar 𝑃(𝑡) = 𝐾.

Pada suatu spesies yang bermanfaat akan terjadi proses pemanenan sehingga kepadatan

populasinya akan berkurang. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan model

pertumbuhan populasi pada persamaan (2.3) menjadi

𝑑𝑃 𝑃
= 𝑟𝑃 (1 − 𝐾) − ℎ (2.5)
𝑑𝑡

dengan adalah laju pemanenan yang dilakukan (Barnes & Fulford, 2002).

D. Model Predator-Prey

Model Predator-Prey merupakan salah satu model interaksi antar makhluk hidup dalam

suatu ekosistem, dengan prey sebagai spesies yang dimangsa dan predator sebagai spesies yang

memangsa. Model ini disebut juga model Lotka-Volterra (Boyce & DiPrima, 1992). Asumsi

dasar dari model predator-prey adalah setiap populasi mengalami pertumbuhan atau peluruhan

secara eksponensial.

5
Interaksi yang terjadi antara mangsa dan pemangsa akan mengakibatkan terjadinya proses

makan dan dimakan yang berpengaruh terhadap kepadatan populasi masing-masing. Model

predator-prey diberikan oleh persamaan

𝑑𝑃 𝑃
= 𝑟𝑃 (1 − 𝐾) − 𝛽𝑃𝑋, (2.6)
𝑑𝑡

𝑑𝑋
= 𝛽𝑃𝑋 − 𝜑𝑋,
𝑑𝑡

Dengan 𝑃 dan 𝑋 masing-masing menyatakan kepadatan populasi prey dan predator,

sedangkan 𝐾, 𝛽, 𝑟, 𝜑 berturut-turut menyatakan carrying capacity, tingkat interaksi predator-

prey, laju pertumbuhan prey, serta tingkat kematian predator. Diasumsikan 𝐾, 𝛽, 𝑟, 𝜑 > 0 ,

karena setiap populasi berpotensi berkembang biak (Barnes & Fulford, 2002).

E. Fungsi Respon Holling

Fungsi respon Holling dalam ekologi merupakan jumlah makanan yang dimakan oleh

predator sebagai fungsi kepadatan makanan (Hunsicker et al., 2011). Berdasarkan

karakteristiknya, fungsi respon Holling terbagi dalam tiga tipe, yaitu Tipe I (linear), Tipe II

(perlambatan), dan Tipe III (sigmoid).

1. Fungsi Respon Holling Tipe I

Pada tipe ini, disumsikan bahwa waktu penanganan dan waktu pencarian prey dapat

diabaikan secara bersamaan (Jeschke et al., 2002). Hal ini menyebabkan tingkat konsumsi

predator meningkat secara linear dengan kepadatan prey, tetapi akan konstan jika predator

berhenti memangsa. Fungsi ini terjadi pada predator yang pasif atau lebih suka menunggu

mangsanya. Secara umum, fungsi tipe ini menurut Murray et al. (2013) diberikan oleh

persamaan:

𝐹 ′ (𝑁) = 𝑚𝑁 (2.7)

6
Keterangan:

𝑁 = Kepadatan prey (𝑁 ≥ 0)

𝑚 = Laju interaksi kedua populasi (𝑚 ≥ 0)

2. Fungsi Respon Holling Tipe II

Tipe ini menggambarkan rata-rata tingkat konsumsi predator, ketika predator

menghabiskan waktu untuk mencari prey (Murray et al., 2013). Fungsi respon Holling tipe II

terjadi pada predator dengan karakteristik aktif dalam mencari mangsanya. Menurut Jeschke et

al. (2002), fungsi respon Holling tipe II diberikan oleh persamaan:

𝑚𝑁
𝐹 ′′ (𝑁) = (2.8)
1 + 𝑏𝑁

Keterangan:

𝑏 = Titik jenuh predator (𝑏 ≥ 0).

3. Fungsi Respon Holling Tipe III

Pada tipe ini, hubungan tingkat pemangsaan dan kepadatan prey bersifat sigmoid, di mana

saat kepadatan prey rendah, efek pemangsaan juga rendah, tetapi jika ukuran populasi prey

meningkat, pemangsaan akan lebih intensif (Agarwal & Pathak, 2012). Fungsi ini terjadi pada

predator yang cenderung mencari mangsa lain ketika mangsa utamanya mulai berkurang

sehingga variabel prey menjadi dan menyebabkan laju populasi lebih cepat. Menurut Turchin

sebagai mana dikutip Agarwal & Pathak (2012), fungsi respon Holling tipe III diberikan

dengan persamaan

𝑚𝑁 2
𝐹 ′′ (𝑁) = 𝑎2+𝑁2 (2.9)

Keterangan:

𝑎 = Titik jenuh predator (𝑎 ≥ 0)

7
F. Titik Ekuilibrium

Berikut diberikan definisi dari titik ekuilibrium untuk Sistem (2.2).

Definisi

Titik 𝑥̃ 𝜖 𝑅 𝑛 disebut titik ekuilibrium sistem jika 𝑓(𝑥̃) = 0 (Perko, 1991)

G. Vektor Eigen dan Nilai Eigen

Definisi dari vector eigen dan nilai eigen beserta penggunaannya dalam menentukan

kestabilan titik ekuilibrium.

Definisi 1

Vektor eigen dari matriks A merupakan vector tak nol 𝑥 sedemikian sehingga 𝐴𝑥 = 𝜆𝑥,

untuk suatu skalar 𝜆. Skalar 𝜆 disebut nilai eigen dari A jika terdapat solusi tak tak nol 𝑥 untuk

𝐴𝑥 = 𝜆𝑥 sehingga 𝑥 merupakan vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen 𝜆 (Barnes

& Fulford, 2002).

Definisi 2

Polinomial karakteristik dari A didefinisikan sebagai |𝜆𝐼 − 𝐴 |, sedangkan |𝜆𝐼 − 𝐴| = 0

disebut persamaan karakteristik dari A (Barnes & Fulford, 2002).

H. Matriks Jacobian

Diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear berikut.

𝑑𝑥
= 𝑓(𝑥, 𝑦)
𝑑𝑡

𝑑𝑦
= 𝑔(𝑥, 𝑦)
𝑑𝑡

Dengan 𝑥 dan 𝑦 adalah variabel yang bergantung terhadap 𝑡 . Sistem ini memiliki titik

kesetimbangan (𝑥0 , 𝑦0 ) . Oleh karena itu, sistem persmaan di atas merupakan sistem

8
persamaan nonlinear, maka diperlkan linearisasi sistem dengan menggunakan Matriks

Jacobian. Matriks Jacobian dari sistem diatas adalah sebagai berikut.

𝜕𝑓 𝜕𝑓
(𝑥, 𝑦) (𝑥, 𝑦)
𝜕𝑥 𝜕𝑦
𝐽(𝑥, 𝑦) =
𝜕𝑔 𝜕𝑔
(𝑥, 𝑦) (𝑥, 𝑦)
[ 𝜕𝑥 𝜕𝑦 ]

(Purnamasari, 2008)

Berikut diberikan teorema untuk kestabilan sistem (2.2) dengan nilai eigen dari Matriks

Jacobian 𝐽(𝑥̅ ).

Teorema

Diberikan matriks Jacobian 𝑓(𝑥) dari sistem (2.2), dengan nilai eigen 𝜆.

a. Jika semua bagian real nilai eigen dari matriks 𝐽(𝑥̅ ) bernilai negatif, maka titik

ekuilibrim 𝑥̅ dari sistem persamaan nonlinear (2.2) stabil asimtotik lokal.

b. Jika terdapat paling sedikit satu nilai eigen matriks 𝐽(𝑥̅ ) yang bagian realnya positif,

maka titik ekuilibrium 𝑥̅ dari sistem nonllinear (2.2) tidak stabil.

(Olsder, 1994).

I. Potret Fase

Pola pergerakan pada potret fase sistem persamaan diferensial ditentukan oleh nilai-nilai

eigennya. Secara umum, hubungan antara nilai eigen dan bentuk pola tersebut diklasifikasikan

ke dalam lima kasus berikut.

a. Kasus 𝝀𝟏 < 0 dan 𝝀𝟐 < 0

Pada kasus ini, nilai eigennya real dan negatif sehingga semua trayektori bergerak

mendekati titik ekulibrium. Titik ekuilibrium pada kasus ini disebut stable node point (Barnes

& Fulford, 2002).

Contoh trayektori kasus ini tersaji pada Gambar 2.1.

9
Gambar 2.1 Trayektori stable node point

b. Kasus 𝝀𝟏 > 0 dan 𝝀𝟐 > 0

Pada kasus ini, nilai eigennya real dan positif sehingga semua trayektori menuju ke

tak hingga dan menjauh dari titik ekulibrium. Titik ekuilibrium pada kasus ini disebut

unstable node point (Barnes & Fulford, 2002).

Contoh trayektori kasus initersaji pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Trayektori unstable node point

c. Kasus 𝝀𝟏 > 0 dan 𝝀𝟐 < 0

Pada kasus ini, nilai eigennya realdan berbeda tanda sehingga trayektori bergerak menuju

ke titik ekulibrium sepanjang salah satu sumbu dan ke tak hingga sepanjang sumbu lainnya.

Titik ekuilibrium pada kasus ini disebut unstable saddle point (Barnes & Fulford, 2002).

Contoh trayektori kasus initersaji pada Gambar 2.3.

10
Gambar 2.3 Trayektori unstable saddle point

d. Kasus 𝝀𝟏 = 𝜶 + 𝒊𝜷 dan 𝝀𝟐 = 𝜶 − 𝒊𝜷

Pada kasus ini, nilai eigennya kompleks konjugat dengan 𝛼 ≠ 0 dan 𝛽 ≠ 0 sehingga

trayektorinya berbentuk spiral dan mengelilingi titik ekulibrium. Jika 𝛼 < 0 maka trayektori

menuju titik ekulibrium dan disebut stable spiral point, sedangkan jika 𝛼 > 0 maka trayektori

menjauhi titik ekulibrium dan disebut unstable spiral point (Barnes & Fulford, 2002).

Contoh trayektori kasus ini tersaji pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Trayektori stable spiral (kiri) dan unstable spiral (kanan)

e. Kasus 𝝀𝟏 = 𝒊𝜷 dan 𝝀𝟐 = −𝒊𝜷

Pada kasus ini, nilai eigennya adalah imajiner murni sehingga semua trayektori akan

mengelilingi dan menutupi titik ekulibrium. Titik ekuilibrium pada kasus ini disebut center

11
point dan solusinya periodik yang merupakan osilator stabil secara alami (Barnes & Fulford,

2002). Contoh trayektori kasus ini diberikan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Trayektori center point

12
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

HASIL

A. Teknik Analisis dan Pemecahan Masalah

Metode penelitian yang digunakan untuk membangun model predator-prey pada populasi

eceng gondok akibat adanya ikan Grass carp dan pemanenan adalah kajian kepustakaan

(library research). Adapun langkah-langkah analisis dan pemecahan masalah pada penelitian

ini adalah sebagai berikut.

1. Kontruksi model predator-prey populasi eceng gondok akibat adanya ikan Grass carp dan

pemanenan.

2. Mencari solusi dari model predator-prey yang dikontruksi.

Langkah-langkah pencariannya yaitu:

a. Menentukan titik ekuilibrium

Titik 𝑥0 ∈ 𝑅 𝑛 disebut titik ekuilibrium system 𝑥̇ = 𝑓(𝑥) jika 𝑓(𝑥0 ) = 0.

b. Tentukan Matriks Jacobian

𝜕𝑓 𝜕𝑓
(𝑥, 𝑦) (𝑥, 𝑦) 𝑑𝑥 𝑑𝑦
𝜕𝑥 𝜕𝑦
𝐽(𝑥, 𝑦) = [𝜕𝑔 𝜕𝑔
] dengan = 𝑓(𝑥, 𝑦), = 𝑔(𝑥, 𝑦).
𝑑𝑡 𝑑𝑡
(𝑥, 𝑦) (𝑥, 𝑦)
𝜕𝑥 𝜕𝑦

c. Tentukan Nilai Eigen

Misalkan 𝐴 matriks dan 𝑛 × 𝑛 dan 𝑋 ∈ 𝑅 𝑛 , 𝑋 ≠ 0 . Jika 𝐴𝑋 = 𝜆𝑋 , untuk suatu 𝜆 ∈ 𝑅 ,

bilangan 𝜆 disebut nilai eigen atau nilai karakteristik dan vector 𝑋 disebut vektor eigen

yang bersesuaian dengan 𝜆.

d. Analisis Titik Ekuilibrium dari Sifat Eigen

Misalkan 𝛿 = det 𝐴 dan 𝜏 = 𝑡𝑟𝑎𝑐𝑒 𝐴 serta diberikan system linear 𝑥̇ = 𝐴𝑥,

13
1) Jika 𝛿 < 0 maka sistem 𝑥̇ = 𝐴𝑥 mempunyai titik pelana (saddle point) pada titik

ekuilibrium.

2) Jika 𝛿 > 0 dan 𝜏 2 − 4𝛿 ≥ 0 maka sistem 𝑥̇ = 𝐴𝑥 mempunyai titik simpul (node

point) pada titik ekuilibrium. Titik tersebut stabil jika 𝜏 < 0 dan tidak stabil jika 𝜏 >

0.

3) Jika 𝛿 > 0 , 𝜏 2 − 4𝛿 ≥ 0 , dan 𝜏 ≠ 0 maka sistem 𝑥̇ = 𝐴𝑥 mempunyai titik spiral

(spiral point) pada titik ekuilibrium. Titik tersebut stabil jika 𝜏 < 0 dan tidak stabil

jika 𝜏 > 0.

4) Jika 𝛿 > 0 dan 𝜏 = 0 maka sistem 𝑥̇ = 𝐴𝑥 mempunyai titik pusat (center point) pada

titik ekuilibrium.

(Perko, 1991)

14
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Model predator-prey

Dinamika populasi eceng gondok merupakan fluktuasi kepadatan eceng gondok yang

dipengaruhi oleh ekosistemnya, dalam hal ini adalah ikan koan dan pemanenan yang dilakukan.

Laporan ini membahas tentang analisis dinamik model predator-prey pada populasi eceng

gondok dengan adanya ikan koan dan pemanenan di danau Maninjau.

Berdasarkan analisis data yang dilakukan terkait eceng gondok dan ikan koan, berikut

fakta-fakta yang diperoleh.

1. Eceng gondok adalah makanan bagi ikan koan(Soeprobowati, 2012).

2. Faktor utama yang mempengaruhi tingginya pertumbuhan eceng gondok adalah

kandungan nutrien dan fosfor dalam perairan (Wilson et al., 2005).

3. Ikan koan dapat mengkonsumsi tanaman lain selain eceng gondok, seperti Rumput Gajah,

Azolla & Kiapu (Babo et al., 2013). Namun, ketika bahan makanan yang dalam hal ini

adalah eceng gondok dalam kondisi yang cukup, menurut Kordi sebagai mana dikutip oleh

Babo et al. (2013), ikan koan lebih memilih salah satu jenis pakan yang diminatinya saja.

4. Adanya pemanenan eceng gondok untuk berbagai macam keperluan seperti bahan baku

pembangkit listrik (Wibisono, 2014) dan kertas seni (Pasaribu & Sahwita, 2006).

5. Ikan koan merupakan salah satu ikan yang dibudidayakan sehingga terjadi pemanenan

pada ikan koan (Soeprobowati, 2012).

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, berikut diberikan asumsi-asumsi yang berkaitan.

1) Laju pertumbuhan eceng gondok mengikuti pertumbuhan logistik.

𝑑𝑧 𝑧
= 𝑟𝑧 (1 − 𝐾)
𝑑𝑡

15
2) Interaksi kedua populasi mengikuti fungsi respon Holling tipe III.

𝑚𝑧 2
𝑓```(𝑧) = 2
𝛼 + 𝑧2

3) Laju pemanenan Eceng gondok dan ikan koan sebanding dengan populasinya.

ℎ=𝑧

Berdasarkan asumsi yang digunakan, sistem persamaan differensial dari model predator-prey,

yakni:

𝑑𝑍 𝑍 𝑚𝑍 2
= 𝑟𝑍 (1 − ) − ℎ𝑧 − 2 𝑆
𝑑𝑡 𝐾 𝛼 + 𝑧2

𝑑𝑆 𝑚𝑍 2
=𝑆 ( 2 − (𝜌 + 𝜇)) (4.1)
𝑑𝑡 𝛼 + 𝑍2

Keterangan:

Z : kepadatan biomas eceng gondok (𝑍 ≥ 0)

S : kepadatan biomas ikan koan (𝑆 ≥ 0)

r : laju pertumbuhan eceng gondok (𝑟 > 0)

K : daya dukung lingkungan terhadap pertumbuhan eceng gondok (𝐾 > 0)

m : tingkat konsumsi maksimum ikan koan (𝑚 > 0)

α : tingkat kejenuhan ikan koan (𝛼 > 0)

µ : laju kematian ikan koan (µ > 0)

ρ : laju pemanenan ikan koan (ρ > 0)

h : laju pemanenan eceng gondok (ℎ ≥ 0)

B. Eksistensi Titik Ekuilibrium

Titik ekuilibrium terjadi apabila masing-masing persamaan dalam Sistem (4.1) bernilai

nol, sehingga Sistem (4.1) dapat ditulis menjadi

16
𝑑𝑍 𝑍 𝑚𝑍 2
= 𝑟𝑍 (1 − 𝑘 ) − ℎ𝑍 - ∝2+ 𝑍 2 𝑆 = 0
𝑑𝑡

𝑑𝑆 𝑚𝑍 2
= 𝑆 (∝2 + 𝑍 2 − (𝜌 + 𝜇)) = 0 (4.2)
𝑑𝑡

Dari persamaan kedua pada Sistem (4.2) didapatkan

𝑚𝑍 2
𝑆 = 0 atau − (𝜌 + 𝜇))= 0
∝2 + 𝑍 2

Kasus 𝑺 = 𝟎

Substitusikan 𝑆 = 0 ke persamaan pertama pada Sistem (4.2) sehingga didapatkan

𝑍
𝑟𝑍 (1 − ) – ℎ𝑍 = 0
𝑘

Diperoleh

𝑍 = 0

Atau

𝑍
𝑟 (1 − ) –ℎ = 0
𝑘

Sub kasus 𝒁 = 𝟎

Oleh Sebab 𝑍 = 0 dan 𝑆 = 0, maka didapatkan titik ekuilibrium 𝐸0 (0,0)

𝑍
Sub kasus 𝒁 ≠ 𝟎 sehingga 𝑟 (1 − ) – ℎ = 0
𝑘

Diperoleh


𝑍1 = 𝐾 (1 − 𝑟 ),

Dengan asumsi ℎ < 𝑟.

17
Didapatkan titik ekuilibrium 𝐸1 (𝑍1 , 0).

𝑚𝑍 2
Kasus 𝑺 ≠ 𝟎 sehingga − (𝜌 + 𝜇)) = 0
𝛼2 + 𝑍 2

Diperoleh

𝑚𝑍 2 = 𝛼 2 (𝜌 + 𝜇) + 𝑍 2 (𝜌 + 𝜇) ,

sehingga

ρ+ μ
𝑍 ∗ = 𝛼√𝑚−( ρ+ μ)′

Dengan asumsi 𝑚 > 𝜌 + 𝜇 > 0.

Substitusikan Z ∗ ke persamaan pertama pada Sistem (4.2) sehingga didapatkan

ρ+ μ 𝛼𝑟 ρ+ μ
𝛼 √𝑚−( ρ+ μ) (r – h − 𝐾
√𝑚−( ρ+ μ) ) - (ρ + μ) S = 0.

Jelas ρ + μ ≠ 0 sehingga

∝ ρ+ μ ∝𝑟 ρ+ μ
S ∗ = ρ+ μ √𝑚−( ρ+ μ) (r – h − √𝑚−( ρ+ μ) ),
𝐾

𝛼𝑟 ρ+ μ
Dengan asumsi 𝑟 > ℎ + 𝐾
√𝑚−( ρ+ μ) . Diperoleh titik ekuilibrium 𝐸2 (𝑍 ∗ , 𝑆 ∗ )

Berikut dibangun teorema eksistensi titik ekuilibrium dari sistem (4.1)

Teorema 1

Dari sistem (4.1) diperoleh :

1. Titik Ekuilibrium 𝐸0 (0,0) untuk setiap kondisi

2. Titik Ekuilibrium 𝐸1 (𝑍1 ,0) jika ℎ < 𝑟 , dan

18
∝𝑟 ρ+ μ
3. Titik Ekuilibrium 𝐸2 (Z ∗ , S ∗ ) jika m > ρ + μ > 0 dan 𝑟 > ℎ + √𝑚−( ρ+ μ)
𝐾

ℎ ρ+ μ
Dengan 𝑍1 = 𝐾 (1 − 𝑟 ), 𝑍 ∗ = 𝛼√𝑚−( ρ+ μ)′ dan

𝛼 ρ+ μ 𝛼𝑟 ρ+ μ
𝑆 ∗ = ρ+ μ √𝑚−( ρ+ μ) (r – h − √𝑚−( ρ+ μ) )
𝐾

C. Kestabilan Titik Ekuilibrium

Analisis kestabilan titik ekuilibrium dilakukan dengan memanfaatkan sistem yang telah

dilinearkan. Sesuai dengan sistem pada (4.1), pelinearan sistem dilakukan dengan matriks

Jacobian berordo 2 × 2, yang diberikan oleh sistem (4.3).

𝐽11 𝐽12
𝐽(𝑥̅ ) = [ ] (4.3)
𝐽21 𝐽22

𝑍 𝑚𝑍2 𝑆
𝜕[𝑟𝑍(1− )−ℎ𝑍− 2 2 ]
𝐾 𝑎 +𝑍
Jelas 𝐽11 = 𝜕𝑍

2𝑍 2𝑚𝑎2 𝑆
= 𝑟 (1 − ) − ℎ − 𝑎2+𝑍 2 (4.4)
𝐾

𝑍 𝑚𝑍2
𝜕[𝑟𝑍(1− )−ℎ𝑍− 2 2 𝑆]
𝐾 𝑎 +𝑍
Jelas 𝐽12 = 𝜕𝑆

𝑚𝑍 2
= − 𝑎2+𝑍 2 (4.5)

𝑚𝑍2
𝜕[𝑆( 2 2 (𝜌+𝜇))]
𝑎 +𝑍
Jelas 𝐽21 = 𝜕𝑍

2𝑚𝑎2 𝑍𝑆
= (𝑎2+𝑍 2)2 (4.6)

𝑚𝑍2
𝜕[𝑆( 2 2 (𝜌+𝜇))]
𝑎 +𝑍
Jelas 𝐽22 = 𝜕𝑃

19
𝑚𝑍 2
= 𝑎2 +𝑍 2 − (𝜌 + 𝜇) (4.7)

Berdasarkan persamaan (4.4), (4.5), (4.6), dan (4.7), diperoleh matriks Jacobian (4.8)

2𝑊 2𝑚𝛼 2 𝑊𝑃 𝑚𝑊 2
𝑟 (1 − )−ℎ− 2 − 2
𝐾 (𝛼 + 𝑊 2 )2 𝛼 + 𝑊2
)
𝐽(𝑥̅ = 2 2 (4.8)
2𝑚𝛼 𝑊𝑃 𝑚𝑊
− (𝜌 + 𝜇)
[ (𝛼 2 + 𝑊 2 )2 𝛼 + 𝑊2
2 ]

1. Kesetimbangan Titik ekuilibrium 𝑬𝟎 (𝟎, 𝟎)

Berdasarkan teorema 1, titik 𝐸0 eksis untuk setiap kondisi. Berikut ini disibstitusikan 𝐸0 ke

matriks (4.8)

Diperoleh

2.0 2𝑚𝑎2 . 0.0 𝑚. 02


𝑟 (1 − )−ℎ− 2 −
𝑘 (𝑎 + 02 )2 𝑎2 + 02
𝐽(𝐸0 ) =
2𝑚𝑎2 . 0.0 𝑚. 02
− (𝜌 + 𝜇)
[ (𝑎2 + 02 )2 𝑎2 + 02 ]

𝑟−ℎ 0
=[ ] (4.9)
0 −(𝜌 + 𝜇)

Dengan menguunakan persamaan (𝜆𝐼 − 𝐴) = 0 didapatkan

𝜆−𝑟+ℎ 0 𝑧 0
=[ ][ ] = [ ] (4.10)
0 𝜆+𝜌+𝜇 𝑠 0

Sistem (4.10) mempunyai solusi nontrivial jika dan hanya jika 𝑑𝑒𝑡(𝜆𝐼 − 𝐴) = 0,

Sehingga didapatkan

𝜆−𝑟+ℎ 0
| | = (𝜆 − 𝑟 + ℎ)(𝜆 + 𝜌 + 𝜇) = 0
0 𝜆+𝜌+𝜇

Diperoleh

𝜆1 = 𝑟 − ℎ 𝑑𝑎𝑛

20
𝜆2 = −(𝜌 + 𝜇)

Jelas 𝜌 + 𝜇 ≠ 0 sehingga 𝜆2 < 0

Kasus ℎ < 𝑟

Diperoleh 𝑟 − ℎ > 0 sehingga 𝜆1 > 0

Oleh sebab𝜆1 > 0 dan 𝜆2 < 0, maka titik ekuilibrium 𝐸0 merupakan titik pelana yang tidak

stabil (unstable saddle point)

Kasus ℎ > 𝑟

Diperoleh 𝑟 − ℎ < 0 sehingga 𝜆1 > 0

Oleh sebab 𝜆1 < 0 dan 𝜆2 < 0, maka titik ekuilibrium 𝐸0 merupakan titik simpul yang

stabil (stable node point)

Berikut dibangun teorema untuk kestabilan titik ekuilibrium 𝐸0

Teorema 2

Misalkan 𝐸0 (0,0) titik ekuilibrium Sistem (4.1),maka

1. 𝐸0 (0,0) merupakan titik pelana yang tidak stabil (unstable saddle point) jika ℎ < 𝑟

2. 𝐸0 (0,0) merupakan titik simpul yang stabil (stable node point) jika ℎ > 𝑟

3.

2. Kestabilan Titik Ekilibrium 𝑬𝟏 (𝑾𝟏 , 𝟎)

Matriks jacobian dari titik 𝐸1 yakni

−𝑟 + ℎ −𝐶
𝐽(𝐸1 ) = [ ]
0 𝐶 − (𝜌 + 𝜇)

ℎ 2
𝑚𝐾2 (1− )
Dengan 𝐶 = 𝑟
ℎ 2
2 2
𝑎 +𝐾 (1− )
𝑟

21
Persamaan karakteristik adalah

(𝜆 + 𝑟 − ℎ)(𝜆2 − 𝐶 + 𝜌 + 𝜇) = 0

DIperoleh nilai eigennya

𝜆1 = −𝑟 + ℎ dan 𝜆2 = 𝐶 − (𝜌 + 𝜇)

Jelas ℎ < 𝑟 sehingga 𝜆1 < 0

𝑎 𝜌+𝜇 ℎ
Kasus √𝑚−(𝜌+𝜇) < 𝐾 (1 − 𝑟 )

maka didapatkan

ℎ 2
2 2 2
ℎ 2
𝑚𝐾 (1 − ) − (𝜌 + 𝜇) [𝑎 + 𝐾 (1 − ) ] < 0
𝑟 𝑟

ℎ 2
𝑚𝐾2 (1− )
Sehingga 𝑟
ℎ 2
− (𝜌 + 𝜇) > 0
𝑎2 +𝐾2 (1− )
𝑟

Jadi diperoleh

𝜆2 = 𝐶 − (𝜌 + 𝜇) > 0

Oleh sebab 𝜆1 < 0 dan 𝜆1 > 0 , maka dapat disimpulkan bahwa titik merupakan titik pelana

yang tidak stabil, sehingga 𝐸1 unstable saddle point.

𝑎 𝜌+𝜇 ℎ
Kasus √𝑚−(𝜌+𝜇) > 𝐾 (1 − 𝑟 )

maka didapatkan

ℎ 2 ℎ 2
𝑚𝐾 2 (1 − ) − (𝜌 + 𝜇) [𝑎2 + 𝐾 2 (1 − ) ] > 0
𝑟 𝑟

22
ℎ 2
𝑚𝐾2 (1− )
Sehingga 𝑟
ℎ 2
− (𝜌 + 𝜇) < 0
2 2
𝑎 +𝐾 (1− )
𝑟

Diperoleh 𝜆2 = 𝐶 − (𝜌 + 𝜇) < 0

Oleh sebab 𝜆1 < 0 dan 𝜆1 < 0 , maka dapat disimpulkan bahwa titik merupakan titik pelana

yang tidak stabil, sehingga 𝐸1 stable node point.

Teorema 3

Misalkan 𝐸1 (𝑊1 , 0) titik ekuilibrium dari system (2),maka

𝑎 𝜌+𝜇 ℎ
1. 𝐸1 unstable saddle point jika √𝑚−(𝜌+𝜇) < 𝐾 (1 − 𝑟 ) dan

𝑎 𝜌+𝜇 ℎ
2. 𝐸1 stable node point jika √𝑚−(𝜌+𝜇) > 𝐾 (1 − 𝑟 )

3. Kestabilan Titik Ekilibrium 𝑬𝟐 (𝑾∗ , 𝑷∗ )

Matriks Jacobian titik 𝐸2 yakni

𝐹1 −(𝜌 + 𝜇)
𝐽(𝐸2 ) = [ ]
𝐹2 0

Dengan

2(𝜌 + 𝜇) 𝛼𝑟 𝜌+𝜇
𝐹1 = −𝑟 + ℎ + (𝑟 − ℎ − √ )
𝑚 𝐾 𝑚 − (𝜌 + 𝜇)

(𝜌 + 𝜇) 𝛼𝑟 𝜌+𝜇
𝐹2 = 2 (1 − ) (𝑟 − ℎ − √ )
𝑚 𝐾 𝑚 − (𝜌 + 𝜇)

Persamaan karakteristik yakni

23
𝜆2 − 𝐹1 𝜆 + 𝐹2 (𝜌 + 𝜇) = 0

Diperoleh nilai eigennya

𝐹1 1
𝜆1,2 = ± √𝐷
2 2

Dengan

𝐷 = 𝐹1 2 − 4𝐹2 (𝜌 + 𝜇)

Telah diasumsikan

𝑎𝑟 𝜌+𝜇
𝑚 > 𝜌 + 𝜇 > 0 dan 𝑟 > ℎ + √𝑚−(𝜌+𝜇) sehingga didapatkan
𝐾

2(𝜌 + 𝜇) > 0,

𝜌+𝜇
1− > 0 dan
𝑚

𝑎𝑟 𝜌+𝜇
𝑟−ℎ− √
𝐾 𝑚 − (𝜌 + 𝜇)

Akibatnya 𝐹2 = (𝜌 + 𝜇) > 0

Kasus 𝑚 > 2(𝜌 + 𝜇) atau 𝑚 < 2(𝜌 + 𝜇) dan ℎ > 𝑟(1 − 𝐿)

Diperoleh

2(𝜌+𝜇) 2(𝜌+𝜇) 𝑎𝑟 𝜌+𝜇


(−1 + ) (𝑟 − ℎ) − √𝑚−(𝜌+𝜇) < 0
𝑚 𝑚 𝐾

Sehingga 𝐹1 < 0

Jika 𝐷 < 0 maka

𝐹1 𝑖
𝜆1,2 = ± √|𝐷|
2 2

24
𝐹1
Jelas bagian real dari 𝜆1,2 yakni <0
2

Sehingga titik 𝐸2 stable spiral point.

Dan jika 𝐷 ≥ 0 maka


𝐹1 1
𝜆1,2 = ± 2 √𝐷
2

Jelas 𝐹1 < √𝐷 < −𝐹1 sehingga

𝐹1 1 𝐹1 1
− 2 √𝐷 < 0 dan + 2 √𝐷 < 0
2 2

Dengan demikian, diperoleh 𝜆1 < 0 dan 𝜆2 < 0, akibatnya titik 𝐸2 𝑆𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 𝑛𝑜𝑑𝑒 𝑝𝑜𝑖𝑛𝑡

Kasus 𝑚 < 2(𝜌 + 𝜇) dan ℎ < 𝑟(1 − 𝐿)

Diperoleh

2(𝜌+𝜇) 2(𝜌+𝜇) 𝑎𝑟 𝜌+𝜇


(−1 + ) (𝑟 − ℎ) − √𝑚−(𝜌+𝜇) > 0
𝑚 𝑚 𝐾

Sehingga 𝐹1 < 0

Jika 𝐷 < 0 maka

𝐹1 𝑖
𝜆1,2 = ± √|𝐷|
2 2

𝐹1
Jelas bagian real dari 𝜆1,2 yakni >0
2

Sehingga titik 𝐸2 unstable spiral point

Dan jika 𝐷 ≥ 0 maka


𝐹1 1
𝜆1,2 = ± 2 √𝐷
2

Jelas −𝐹1 < √𝐷 < 𝐹1 sehingga

25
𝐹1 1 𝐹1 1
− 2 √𝐷 < 0 dan + 2 √𝐷 < 0
2 2

Dengan demikian, diperoleh 𝜆1 > 0 dan 𝜆1 > 0, akibatnya titik 𝐸2 unstable spiral point

Kasus 𝑚 < 2(𝜌 + 𝜇) dan ℎ = 𝑟(1 − 𝐿)

2(𝜌+𝜇) 2(𝜌+𝜇) 𝑎𝑟 𝜌+𝜇


(−1 + ) (𝑟 − ℎ) − √𝑚−(𝜌+𝜇) = 0
𝑚 𝑚 𝐾

Sehingga 𝐹 = 0

Jelas nilai eigennya adalah

−4𝐹2 (𝜌 + 𝜇)
𝜆1,2 = ±√
2

= ±√𝐹2 (𝜌 + 𝜇)

Dengan demikian, diperoleh 𝜆1, dan 𝜆2, merupakan imajiner murni, maka titik 𝐸₂ center
point.
Teorema 4

Diberikan 𝐸2 (𝑊 ∗ , 𝑃∗ ) titik ekuilibrium dari system (2)

1. Jika 𝑚 > 2(𝜌 + 𝜇) atau 𝑚 < 2(𝜌 + 𝜇) dan ℎ > 𝑟(1 − 𝐿) maka 𝐸2 stable spiral point

atau stable node point.

2. Jika 𝑚 < 2(𝜌 + 𝜇) dan ℎ < 𝑟(1 − 𝐿), maka 𝐸2 unstable spiral point atau unstable

node point, serta

3. Jika 𝑚 < 2(𝜌 + 𝜇) dan ℎ = 𝑟(1 − 𝐿), maka 𝐸2 center point,

2𝑎(𝜌+𝜇) 𝜌+𝜇
Dengan 𝐿 = 𝐾[2(𝜌+𝜇)−𝑚] √𝑚−(𝜌+𝜇) < 1

26
Pembahasan

Berdasarkan model predator-prey yang telah dibangun pada Sistem (4.1), dapat

diinterpretasikan bahwa populasi eceng gondok, , akan meningkat hingga mencapai kapasitas

maksimal dari daya dukung lingkungan, . Populasi eceng gondok akan menurun ketika proses

pengontrolan dengan menggunakan ikan koan dan pemanenan dilakukan. Efek pengurangan

𝑚𝑍 2 𝑆
populasi eceng gondok digambarkan melalui persamaan ℎ𝑍 + 𝛼2 +𝑊 2 . Di sisi lain, populasi

𝑚𝑍 2
ikan koan, , akan meningkat pada laju maksimal − (𝜌 + 𝜇) ketika terdapat banyak
𝛼2 +𝑊 2

eceng gondok, dan akan menurun pada laju maksimal 𝜌 + 𝜇 ketika terdapat sedikit eceng

gondok dan pemanenan ikan koan yang signifikan.

Kondisi kesetimbangan yang dapat dicapai yakni, kesetimbangan trivial (kepunahan kedua

populasi), kesetimbangan kepunahan ikan koan, dan kesetimbangan interior (kelestarian kedua

populasi). Di mana kedua populasi akan menuju titik kesetimbangan jika titik tersebut bersifat

stabil.

1. Titik Kesrimbangan Trivial (Kepunahan Kedua Populasi)

Kesetimbangan ini akan tercapai jika laju pemanenan eceng gondok yang dilakukan

lebih besar dari laju pertumbuhan eceng gondok (ℎ > 𝑟). Di sini diasumsikan laju

pemanenan dan laju pertumbuhan eceng gondok konstan.

2. Titik Kesetimbangan Kepunahan Ikan Koan

Kesetimbangan ini akan tercapai jika laju pemanenan eceng gondok kurang dari laju

pertumbuhan eceng gondok (ℎ < 𝑟) dan parameter-parameter yang berlaku memenuhi

𝑎 𝜌+𝜇 ℎ
pertidaksamaan √𝑚−(𝜌+𝜇) < 𝐾 (1 − 𝑟 ), dengan 𝜌 dan 𝜇 parameter ikan koan sedangkan

𝑚 dan 𝛼 parameter interkasi, serta 𝐾, 𝑟 dan ℎ parameter eceng gondok. Di sini

diasumsikan semua parameter konstan dan bernilai positif selain 𝜌 yang dapat bernilai nol.

27
Kepadatan populasi eceng gondok pada kesetimbangan ini dipengaruhi oleh laju

pertumbuhan, laju pemanenan, dan daya dukung lingkungan eceng gondok. Semakin

tinggi daya dukung lingkungan, kepadatan populasi eceng gondok akan semakin besar.

Dan semakin tinggi laju pemanenan, kepadatan populasi eceng gondok akan semakin

berkurang.

3. Titik Kesetimbangan Interior (Kelesatarian Kedua Populasi)

Syarat ketercapaiannya yakni laju. pertumbuhan eceng gondok lebih dari laju

𝑎𝑟 𝜌+𝜇
pemanenan eceng gondok ditambah dengan √𝑚−(𝜌+𝜇) dan memenuhi salah satu dari
𝐾

dua kondisi berikut, yakni laju interaksi lebih dari dua kali laju pengurangan ikan koan

(m > 2p + 2u) atau laju interaksi kurang dari dua kali laju pengurangan ikan koan

(m < 2p + 2µ) dengan laju pemanenan eceng gondok (ℎ) lebih dari r𝑟(1 − 𝐿) dimana

2𝑎(𝜌+𝜇) 𝜌+𝜇
𝐿 = 𝐾[2(𝜌+𝜇)−𝑚] √𝑚−(𝜌+𝜇) < 1.

Dari ketiga kondisi kesetimbangan yang dapat dicapai, kesetimbangan interior merupakan

solusi yang paling efektif dalam menanggulangi populasi eceng gondok yang setiap saat dapat

kembali melakukan invasi. Keberadaan ikan koan akan selalu membatasi populasi eceng

gondok sehingga pertumbuhan eceng gondok yang terlampau besar dapat dihindari

28
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, berikut simpulan yang diperoleh.

1. Model predator-prey pada populasi eceng gondok dengan adanya ikan koan dan

pemanenan, yakni

𝑑𝑍 𝑍 𝑚𝑍 2
= 𝑟𝑍 (1 − 𝑘 ) − ℎ𝑍 - ∝2+ 𝑍 2 𝑆 = 0
𝑑𝑡

𝑑𝑆 𝑚𝑍 2
= 𝑆 (∝2 + 𝑍 2 − (𝜌 + 𝜇)) = 0
𝑑𝑡

Dengan 𝑍(0) ≥ 0, 𝑃(0) ≥ 0.

2. Titik ekuilibrium yang eksis yakni 𝐸0 untuk setiap kondisi, untuk 𝐸1 , dan untuk ℎ < 𝑟 dan

𝛼𝑟 𝜌+𝜇
𝐸2 untuk 𝑚 > 𝜌 + 𝜇 > 0, dan 𝑟>ℎ+ √𝑚−(𝜌+𝜇) dengan demikian, titik
𝐾

kesetimbangan yang dapat dicapai yakni kepunahan populasi, kepunahan ikan koan, dan

kelesatarian kedua populasi

29
DAFTAR PUSTAKA

Zhang, X., Xu, R., & Gan, Q. (2011). Periodic solution in a delayed predator prey model with

Holling type III functional response and harvesting term. World Journal of Modelling

and Simulation, 7(1), 70-80.

Ilmiawan, D. F., Kharis, M., & Supriyono, S. (2019). ANALISIS MODEL PREDATOR-

PREY ECENG GONDOK DENGAN IKAN GRASS CARP DAN

PEMANENAN. Indonesian Journal of Mathematics and Natural Sciences, 42(1), 52-

60.

Hunsicker, M.E., et al. 2011. Function Response and Scaling in Predator-Prey Interactions of

Marine Fishes: Contemporary Issues and Emerging Concepts. Ecology Letters.

Jeschke, J.M., M. Kopp, & R. Tollrian. 2002. Predator Functional Responses: Discriminating

Between Handling and Digesting Prey. Ecological Monographs, 72(1): 95–112.

Babo, D., J. Sampekalo, & H. Pangkey. 2013. Pengaruh Beberapa Jenis Pakan Hijauan

terhadap Pertumbuhan Ikan Grass carp Stenopharyngodon Idella. Budidaya Perairan,

1(3): 1-6.

Barnes, B & G.R. Fulford. 2002. Mathematical Modelling with Case Studies (a Differential

Equation Approach Using Maple). London: Taylor & Francis.

Boyce, W.E. & DiPrima, R.C. 2000. Elementary Differential Equations and Boundary Value

Problems. New York: Department of Mathematical Sciences Rensselaer Polytechnic

Institute.

Penfound, W.T. & T.T. Earle. 1948. Biology of the Water Hyacinth. Ecological Monographs.

18: 447–472.

Perko, L. 1991. Differential Equation and Dynamical System. New York: Springer-Verlag

Berlin Heidelberg. Purnamasari, D., Faisal., & A.J. Noor. 2009.Kestabilan Sistem

30
Predator-Prey Leslie. Jurnal Matematika Murni danTerapan, 3(2): 51-59.

31

Anda mungkin juga menyukai