Anggota Kelompok 4 :
DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN ALAM DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
pertumbuhannya sangat cepat dan dapat menyebabkan ledakan populasi. Eceng gondok
(Eichhornia crassipes) merupakan spesies invasif diberbagai wilayah dunia (Penfound & Earle,
1948). Invasi eceng gondok terjadi sebagai akibat dari tingkat pertumbuhan eceng gondok yang
begitu tinggi. Akibatnya, eceng gondok menjadi salah satu limbah yang mengakibatkan
perairan Danau Maninjau menjadi tercemar. Di mana satu batang eceng gondok mampu
menghasilkan tumbuhan baru seluas 1 m dalam waktu 52 hari (Guti ́rrez et al., 2001). Menurut
Heyne sebagaimana dikutip oleh Sahwalita (2010), dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng
gondok dalam areal 1 ha dapat mencapai bobot basah seberat 125 ton. Saat ini, hamparan
eceng gondok di danau Maninjau mencapai 10 hektare yang tersebar di delapan dari sembilan
nagari atau desa adat di Kecamatan Tanjungraya. Dengan kondisi itu, permukaan danau harus
dibersihkan dari keberadaan eceng gondok. Apabila tidak dibersihkan, permukaan Danau
Maninjau bakal dipenuhi oleh tanaman itu sehingga danau akan mati akibat cahaya Matahari
Keberadaan eceng gondok yang berlebihan dapat menimbulkan masalah ekologis seperti
dan pengerukan dinilai kurang efektif karena eceng gondok tumbuh kembali dengan cepat.
Diperlukan pendekatan pengendalian yang lebih efektif dan ramah lingkungan. Salah satu agen
pengendali hayati eceng gondok adalah ikan koan (Ctenopharyngodon idella) yang memakan
1
tanaman eceng gondok. Namun penggunaan ikan koan perlu dimodelkan secara matematis agar
menggambarkan interaksi dinamis eceng gondok sebagai mangsa dan ikan koan sebagai
pemangsa. Model ini diharapkan dapat memberikan solusi pengendalian populasi eceng
B. Tujuan
2
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Pendahuluan
Pemodelan tanaman eceng gondok telah dilakukan Gutierrez et al. (2001) dengan
pemanenan konstan terhadap populasi eceng gondok. Model ini diberikan oleh sistem
persamaan
𝑑𝑊 𝑟𝑊 2 𝑅
= 𝑟𝑊 − −𝐴 (1.1)
𝑑𝑡 𝐾
Dengan W kepadatan eceng gondok. Kepadatan eceng gondok akan berkurang jika
𝐴𝑟𝐾
kapasitas pemanena yang dilakukan (R) lebih dari 𝑅 ∗ = , dengan A luas penutupan eceng
4
Persmaan differensial merupakan persamaan yang memuat satu atau lebh turunan dari
fungsi yang diketahui. Beberapa persamaan differensial yang membentuk suatu system disebut
𝑥1̇ = 𝑓1 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )
𝑥2̇ = 𝑓2 (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )
𝑑𝑥𝑖
Dengan kondisi awal 𝑥1̇ (𝑡0 ) = 𝑥𝑖0 , untuk I =1,2,…,n dan 𝑥1̇ = . Sistem (2.1) dapat
𝑑𝑡
𝑥̇ = 𝑓(𝑥) (2.2)
3
Dengan 𝑥 = (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ) ∈ 𝐸, 𝑓 = (𝑓1 , 𝑓2 , … , 𝑓𝑛 ) , 𝑥̇ = (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ) dan kondisi
awal 𝑥(𝑡0 ) = (𝑥10 , 𝑥20 , … , 𝑥𝑛0 ) = 𝑥0 . Notasi 𝑥(𝑡) = (𝑥0 , 𝑡) merupakan solusi Sistem
(2.2) dengan nilai awal 𝑥0 . Solusi untuk system (2.2) diberikan melalui Definisi 1 dan
Teorema 2
Definisi 1
disebut penyelesaian Sistem (2.4) pada interval I jika 𝑥(𝑡) differensiabel pada I dan 𝑥 ′ =
𝑓(𝑥(𝑡)) untuk setiap 𝑡 ∈ 𝐼 dan 𝑥(𝑡) ∈ 𝐸 , dengan 𝐶(𝐸) merupakan himpunan semua
Teorema 2
terdapat 𝑎 > 0 sehingga masalah nilai awal 𝑥̇ = 𝑓(𝑥) dengan 𝑥(0) = 𝑥0 mempunyai
(Perko,1991)
Menurut Tucker (1989), model matematika adalah formulasi matematika dari berbagai
1. Menentukan usaha-usaha penelitian atau menguraikan garis besar suatu masalah untuk
Salah satu model yang dapat digunakan untuk mengukur populasi suatu spesies adalah
model pertumbuhan logistik (model Verhulst) yang melibatkan adanya daya dukung
4
lingkungan terhadap pertumbuhan populasi. Model pertumbuhan logistik diberikan oleh
persamaan
𝑑𝑃 𝑃
= 𝑟𝑃 (1 − 𝐾) (2.3)
𝑑𝑡
Dengan kepadatan populasi, laju pertumbuhan dan daya dukung lingkungan (Waluya,
2011).
Jika pada persamaan (3.1) ditambahkan syarat awal 𝑃(0) = 𝑃0 , maka dapat diperoleh
Untuk r>0 berlaku log 𝑡→∞ 𝑃(𝑡) = 𝐾 sehingga grafik dari persamaan (2.4) mempunyai
Pada suatu spesies yang bermanfaat akan terjadi proses pemanenan sehingga kepadatan
populasinya akan berkurang. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan model
𝑑𝑃 𝑃
= 𝑟𝑃 (1 − 𝐾) − ℎ (2.5)
𝑑𝑡
dengan adalah laju pemanenan yang dilakukan (Barnes & Fulford, 2002).
D. Model Predator-Prey
Model Predator-Prey merupakan salah satu model interaksi antar makhluk hidup dalam
suatu ekosistem, dengan prey sebagai spesies yang dimangsa dan predator sebagai spesies yang
memangsa. Model ini disebut juga model Lotka-Volterra (Boyce & DiPrima, 1992). Asumsi
dasar dari model predator-prey adalah setiap populasi mengalami pertumbuhan atau peluruhan
secara eksponensial.
5
Interaksi yang terjadi antara mangsa dan pemangsa akan mengakibatkan terjadinya proses
makan dan dimakan yang berpengaruh terhadap kepadatan populasi masing-masing. Model
𝑑𝑃 𝑃
= 𝑟𝑃 (1 − 𝐾) − 𝛽𝑃𝑋, (2.6)
𝑑𝑡
𝑑𝑋
= 𝛽𝑃𝑋 − 𝜑𝑋,
𝑑𝑡
prey, laju pertumbuhan prey, serta tingkat kematian predator. Diasumsikan 𝐾, 𝛽, 𝑟, 𝜑 > 0 ,
karena setiap populasi berpotensi berkembang biak (Barnes & Fulford, 2002).
Fungsi respon Holling dalam ekologi merupakan jumlah makanan yang dimakan oleh
karakteristiknya, fungsi respon Holling terbagi dalam tiga tipe, yaitu Tipe I (linear), Tipe II
Pada tipe ini, disumsikan bahwa waktu penanganan dan waktu pencarian prey dapat
diabaikan secara bersamaan (Jeschke et al., 2002). Hal ini menyebabkan tingkat konsumsi
predator meningkat secara linear dengan kepadatan prey, tetapi akan konstan jika predator
berhenti memangsa. Fungsi ini terjadi pada predator yang pasif atau lebih suka menunggu
mangsanya. Secara umum, fungsi tipe ini menurut Murray et al. (2013) diberikan oleh
persamaan:
𝐹 ′ (𝑁) = 𝑚𝑁 (2.7)
6
Keterangan:
𝑁 = Kepadatan prey (𝑁 ≥ 0)
menghabiskan waktu untuk mencari prey (Murray et al., 2013). Fungsi respon Holling tipe II
terjadi pada predator dengan karakteristik aktif dalam mencari mangsanya. Menurut Jeschke et
𝑚𝑁
𝐹 ′′ (𝑁) = (2.8)
1 + 𝑏𝑁
Keterangan:
Pada tipe ini, hubungan tingkat pemangsaan dan kepadatan prey bersifat sigmoid, di mana
saat kepadatan prey rendah, efek pemangsaan juga rendah, tetapi jika ukuran populasi prey
meningkat, pemangsaan akan lebih intensif (Agarwal & Pathak, 2012). Fungsi ini terjadi pada
predator yang cenderung mencari mangsa lain ketika mangsa utamanya mulai berkurang
sehingga variabel prey menjadi dan menyebabkan laju populasi lebih cepat. Menurut Turchin
sebagai mana dikutip Agarwal & Pathak (2012), fungsi respon Holling tipe III diberikan
dengan persamaan
𝑚𝑁 2
𝐹 ′′ (𝑁) = 𝑎2+𝑁2 (2.9)
Keterangan:
7
F. Titik Ekuilibrium
Definisi
Definisi dari vector eigen dan nilai eigen beserta penggunaannya dalam menentukan
Definisi 1
Vektor eigen dari matriks A merupakan vector tak nol 𝑥 sedemikian sehingga 𝐴𝑥 = 𝜆𝑥,
untuk suatu skalar 𝜆. Skalar 𝜆 disebut nilai eigen dari A jika terdapat solusi tak tak nol 𝑥 untuk
𝐴𝑥 = 𝜆𝑥 sehingga 𝑥 merupakan vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen 𝜆 (Barnes
Definisi 2
H. Matriks Jacobian
𝑑𝑥
= 𝑓(𝑥, 𝑦)
𝑑𝑡
𝑑𝑦
= 𝑔(𝑥, 𝑦)
𝑑𝑡
Dengan 𝑥 dan 𝑦 adalah variabel yang bergantung terhadap 𝑡 . Sistem ini memiliki titik
kesetimbangan (𝑥0 , 𝑦0 ) . Oleh karena itu, sistem persmaan di atas merupakan sistem
8
persamaan nonlinear, maka diperlkan linearisasi sistem dengan menggunakan Matriks
𝜕𝑓 𝜕𝑓
(𝑥, 𝑦) (𝑥, 𝑦)
𝜕𝑥 𝜕𝑦
𝐽(𝑥, 𝑦) =
𝜕𝑔 𝜕𝑔
(𝑥, 𝑦) (𝑥, 𝑦)
[ 𝜕𝑥 𝜕𝑦 ]
(Purnamasari, 2008)
Berikut diberikan teorema untuk kestabilan sistem (2.2) dengan nilai eigen dari Matriks
Jacobian 𝐽(𝑥̅ ).
Teorema
Diberikan matriks Jacobian 𝑓(𝑥) dari sistem (2.2), dengan nilai eigen 𝜆.
a. Jika semua bagian real nilai eigen dari matriks 𝐽(𝑥̅ ) bernilai negatif, maka titik
b. Jika terdapat paling sedikit satu nilai eigen matriks 𝐽(𝑥̅ ) yang bagian realnya positif,
(Olsder, 1994).
I. Potret Fase
Pola pergerakan pada potret fase sistem persamaan diferensial ditentukan oleh nilai-nilai
eigennya. Secara umum, hubungan antara nilai eigen dan bentuk pola tersebut diklasifikasikan
Pada kasus ini, nilai eigennya real dan negatif sehingga semua trayektori bergerak
mendekati titik ekulibrium. Titik ekuilibrium pada kasus ini disebut stable node point (Barnes
9
Gambar 2.1 Trayektori stable node point
Pada kasus ini, nilai eigennya real dan positif sehingga semua trayektori menuju ke
tak hingga dan menjauh dari titik ekulibrium. Titik ekuilibrium pada kasus ini disebut
Pada kasus ini, nilai eigennya realdan berbeda tanda sehingga trayektori bergerak menuju
ke titik ekulibrium sepanjang salah satu sumbu dan ke tak hingga sepanjang sumbu lainnya.
Titik ekuilibrium pada kasus ini disebut unstable saddle point (Barnes & Fulford, 2002).
10
Gambar 2.3 Trayektori unstable saddle point
d. Kasus 𝝀𝟏 = 𝜶 + 𝒊𝜷 dan 𝝀𝟐 = 𝜶 − 𝒊𝜷
Pada kasus ini, nilai eigennya kompleks konjugat dengan 𝛼 ≠ 0 dan 𝛽 ≠ 0 sehingga
trayektorinya berbentuk spiral dan mengelilingi titik ekulibrium. Jika 𝛼 < 0 maka trayektori
menuju titik ekulibrium dan disebut stable spiral point, sedangkan jika 𝛼 > 0 maka trayektori
menjauhi titik ekulibrium dan disebut unstable spiral point (Barnes & Fulford, 2002).
Gambar 2.4 Trayektori stable spiral (kiri) dan unstable spiral (kanan)
Pada kasus ini, nilai eigennya adalah imajiner murni sehingga semua trayektori akan
mengelilingi dan menutupi titik ekulibrium. Titik ekuilibrium pada kasus ini disebut center
11
point dan solusinya periodik yang merupakan osilator stabil secara alami (Barnes & Fulford,
12
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
HASIL
Metode penelitian yang digunakan untuk membangun model predator-prey pada populasi
eceng gondok akibat adanya ikan Grass carp dan pemanenan adalah kajian kepustakaan
(library research). Adapun langkah-langkah analisis dan pemecahan masalah pada penelitian
1. Kontruksi model predator-prey populasi eceng gondok akibat adanya ikan Grass carp dan
pemanenan.
𝜕𝑓 𝜕𝑓
(𝑥, 𝑦) (𝑥, 𝑦) 𝑑𝑥 𝑑𝑦
𝜕𝑥 𝜕𝑦
𝐽(𝑥, 𝑦) = [𝜕𝑔 𝜕𝑔
] dengan = 𝑓(𝑥, 𝑦), = 𝑔(𝑥, 𝑦).
𝑑𝑡 𝑑𝑡
(𝑥, 𝑦) (𝑥, 𝑦)
𝜕𝑥 𝜕𝑦
bilangan 𝜆 disebut nilai eigen atau nilai karakteristik dan vector 𝑋 disebut vektor eigen
13
1) Jika 𝛿 < 0 maka sistem 𝑥̇ = 𝐴𝑥 mempunyai titik pelana (saddle point) pada titik
ekuilibrium.
point) pada titik ekuilibrium. Titik tersebut stabil jika 𝜏 < 0 dan tidak stabil jika 𝜏 >
0.
(spiral point) pada titik ekuilibrium. Titik tersebut stabil jika 𝜏 < 0 dan tidak stabil
jika 𝜏 > 0.
4) Jika 𝛿 > 0 dan 𝜏 = 0 maka sistem 𝑥̇ = 𝐴𝑥 mempunyai titik pusat (center point) pada
titik ekuilibrium.
(Perko, 1991)
14
BAB 4
A. Model predator-prey
Dinamika populasi eceng gondok merupakan fluktuasi kepadatan eceng gondok yang
dipengaruhi oleh ekosistemnya, dalam hal ini adalah ikan koan dan pemanenan yang dilakukan.
Laporan ini membahas tentang analisis dinamik model predator-prey pada populasi eceng
Berdasarkan analisis data yang dilakukan terkait eceng gondok dan ikan koan, berikut
3. Ikan koan dapat mengkonsumsi tanaman lain selain eceng gondok, seperti Rumput Gajah,
Azolla & Kiapu (Babo et al., 2013). Namun, ketika bahan makanan yang dalam hal ini
adalah eceng gondok dalam kondisi yang cukup, menurut Kordi sebagai mana dikutip oleh
Babo et al. (2013), ikan koan lebih memilih salah satu jenis pakan yang diminatinya saja.
4. Adanya pemanenan eceng gondok untuk berbagai macam keperluan seperti bahan baku
pembangkit listrik (Wibisono, 2014) dan kertas seni (Pasaribu & Sahwita, 2006).
5. Ikan koan merupakan salah satu ikan yang dibudidayakan sehingga terjadi pemanenan
𝑑𝑧 𝑧
= 𝑟𝑧 (1 − 𝐾)
𝑑𝑡
15
2) Interaksi kedua populasi mengikuti fungsi respon Holling tipe III.
𝑚𝑧 2
𝑓```(𝑧) = 2
𝛼 + 𝑧2
3) Laju pemanenan Eceng gondok dan ikan koan sebanding dengan populasinya.
ℎ=𝑧
Berdasarkan asumsi yang digunakan, sistem persamaan differensial dari model predator-prey,
yakni:
𝑑𝑍 𝑍 𝑚𝑍 2
= 𝑟𝑍 (1 − ) − ℎ𝑧 − 2 𝑆
𝑑𝑡 𝐾 𝛼 + 𝑧2
𝑑𝑆 𝑚𝑍 2
=𝑆 ( 2 − (𝜌 + 𝜇)) (4.1)
𝑑𝑡 𝛼 + 𝑍2
Keterangan:
Titik ekuilibrium terjadi apabila masing-masing persamaan dalam Sistem (4.1) bernilai
16
𝑑𝑍 𝑍 𝑚𝑍 2
= 𝑟𝑍 (1 − 𝑘 ) − ℎ𝑍 - ∝2+ 𝑍 2 𝑆 = 0
𝑑𝑡
𝑑𝑆 𝑚𝑍 2
= 𝑆 (∝2 + 𝑍 2 − (𝜌 + 𝜇)) = 0 (4.2)
𝑑𝑡
𝑚𝑍 2
𝑆 = 0 atau − (𝜌 + 𝜇))= 0
∝2 + 𝑍 2
Kasus 𝑺 = 𝟎
𝑍
𝑟𝑍 (1 − ) – ℎ𝑍 = 0
𝑘
Diperoleh
𝑍 = 0
Atau
𝑍
𝑟 (1 − ) –ℎ = 0
𝑘
Sub kasus 𝒁 = 𝟎
𝑍
Sub kasus 𝒁 ≠ 𝟎 sehingga 𝑟 (1 − ) – ℎ = 0
𝑘
Diperoleh
ℎ
𝑍1 = 𝐾 (1 − 𝑟 ),
17
Didapatkan titik ekuilibrium 𝐸1 (𝑍1 , 0).
𝑚𝑍 2
Kasus 𝑺 ≠ 𝟎 sehingga − (𝜌 + 𝜇)) = 0
𝛼2 + 𝑍 2
Diperoleh
𝑚𝑍 2 = 𝛼 2 (𝜌 + 𝜇) + 𝑍 2 (𝜌 + 𝜇) ,
sehingga
ρ+ μ
𝑍 ∗ = 𝛼√𝑚−( ρ+ μ)′
ρ+ μ 𝛼𝑟 ρ+ μ
𝛼 √𝑚−( ρ+ μ) (r – h − 𝐾
√𝑚−( ρ+ μ) ) - (ρ + μ) S = 0.
Jelas ρ + μ ≠ 0 sehingga
∝ ρ+ μ ∝𝑟 ρ+ μ
S ∗ = ρ+ μ √𝑚−( ρ+ μ) (r – h − √𝑚−( ρ+ μ) ),
𝐾
𝛼𝑟 ρ+ μ
Dengan asumsi 𝑟 > ℎ + 𝐾
√𝑚−( ρ+ μ) . Diperoleh titik ekuilibrium 𝐸2 (𝑍 ∗ , 𝑆 ∗ )
Teorema 1
18
∝𝑟 ρ+ μ
3. Titik Ekuilibrium 𝐸2 (Z ∗ , S ∗ ) jika m > ρ + μ > 0 dan 𝑟 > ℎ + √𝑚−( ρ+ μ)
𝐾
ℎ ρ+ μ
Dengan 𝑍1 = 𝐾 (1 − 𝑟 ), 𝑍 ∗ = 𝛼√𝑚−( ρ+ μ)′ dan
𝛼 ρ+ μ 𝛼𝑟 ρ+ μ
𝑆 ∗ = ρ+ μ √𝑚−( ρ+ μ) (r – h − √𝑚−( ρ+ μ) )
𝐾
Analisis kestabilan titik ekuilibrium dilakukan dengan memanfaatkan sistem yang telah
dilinearkan. Sesuai dengan sistem pada (4.1), pelinearan sistem dilakukan dengan matriks
𝐽11 𝐽12
𝐽(𝑥̅ ) = [ ] (4.3)
𝐽21 𝐽22
𝑍 𝑚𝑍2 𝑆
𝜕[𝑟𝑍(1− )−ℎ𝑍− 2 2 ]
𝐾 𝑎 +𝑍
Jelas 𝐽11 = 𝜕𝑍
2𝑍 2𝑚𝑎2 𝑆
= 𝑟 (1 − ) − ℎ − 𝑎2+𝑍 2 (4.4)
𝐾
𝑍 𝑚𝑍2
𝜕[𝑟𝑍(1− )−ℎ𝑍− 2 2 𝑆]
𝐾 𝑎 +𝑍
Jelas 𝐽12 = 𝜕𝑆
𝑚𝑍 2
= − 𝑎2+𝑍 2 (4.5)
𝑚𝑍2
𝜕[𝑆( 2 2 (𝜌+𝜇))]
𝑎 +𝑍
Jelas 𝐽21 = 𝜕𝑍
2𝑚𝑎2 𝑍𝑆
= (𝑎2+𝑍 2)2 (4.6)
𝑚𝑍2
𝜕[𝑆( 2 2 (𝜌+𝜇))]
𝑎 +𝑍
Jelas 𝐽22 = 𝜕𝑃
19
𝑚𝑍 2
= 𝑎2 +𝑍 2 − (𝜌 + 𝜇) (4.7)
Berdasarkan persamaan (4.4), (4.5), (4.6), dan (4.7), diperoleh matriks Jacobian (4.8)
2𝑊 2𝑚𝛼 2 𝑊𝑃 𝑚𝑊 2
𝑟 (1 − )−ℎ− 2 − 2
𝐾 (𝛼 + 𝑊 2 )2 𝛼 + 𝑊2
)
𝐽(𝑥̅ = 2 2 (4.8)
2𝑚𝛼 𝑊𝑃 𝑚𝑊
− (𝜌 + 𝜇)
[ (𝛼 2 + 𝑊 2 )2 𝛼 + 𝑊2
2 ]
Berdasarkan teorema 1, titik 𝐸0 eksis untuk setiap kondisi. Berikut ini disibstitusikan 𝐸0 ke
matriks (4.8)
Diperoleh
𝑟−ℎ 0
=[ ] (4.9)
0 −(𝜌 + 𝜇)
𝜆−𝑟+ℎ 0 𝑧 0
=[ ][ ] = [ ] (4.10)
0 𝜆+𝜌+𝜇 𝑠 0
Sistem (4.10) mempunyai solusi nontrivial jika dan hanya jika 𝑑𝑒𝑡(𝜆𝐼 − 𝐴) = 0,
Sehingga didapatkan
𝜆−𝑟+ℎ 0
| | = (𝜆 − 𝑟 + ℎ)(𝜆 + 𝜌 + 𝜇) = 0
0 𝜆+𝜌+𝜇
Diperoleh
𝜆1 = 𝑟 − ℎ 𝑑𝑎𝑛
20
𝜆2 = −(𝜌 + 𝜇)
Kasus ℎ < 𝑟
Oleh sebab𝜆1 > 0 dan 𝜆2 < 0, maka titik ekuilibrium 𝐸0 merupakan titik pelana yang tidak
Kasus ℎ > 𝑟
Oleh sebab 𝜆1 < 0 dan 𝜆2 < 0, maka titik ekuilibrium 𝐸0 merupakan titik simpul yang
Teorema 2
1. 𝐸0 (0,0) merupakan titik pelana yang tidak stabil (unstable saddle point) jika ℎ < 𝑟
2. 𝐸0 (0,0) merupakan titik simpul yang stabil (stable node point) jika ℎ > 𝑟
3.
−𝑟 + ℎ −𝐶
𝐽(𝐸1 ) = [ ]
0 𝐶 − (𝜌 + 𝜇)
ℎ 2
𝑚𝐾2 (1− )
Dengan 𝐶 = 𝑟
ℎ 2
2 2
𝑎 +𝐾 (1− )
𝑟
21
Persamaan karakteristik adalah
(𝜆 + 𝑟 − ℎ)(𝜆2 − 𝐶 + 𝜌 + 𝜇) = 0
𝜆1 = −𝑟 + ℎ dan 𝜆2 = 𝐶 − (𝜌 + 𝜇)
𝑎 𝜌+𝜇 ℎ
Kasus √𝑚−(𝜌+𝜇) < 𝐾 (1 − 𝑟 )
maka didapatkan
ℎ 2
2 2 2
ℎ 2
𝑚𝐾 (1 − ) − (𝜌 + 𝜇) [𝑎 + 𝐾 (1 − ) ] < 0
𝑟 𝑟
ℎ 2
𝑚𝐾2 (1− )
Sehingga 𝑟
ℎ 2
− (𝜌 + 𝜇) > 0
𝑎2 +𝐾2 (1− )
𝑟
Jadi diperoleh
𝜆2 = 𝐶 − (𝜌 + 𝜇) > 0
Oleh sebab 𝜆1 < 0 dan 𝜆1 > 0 , maka dapat disimpulkan bahwa titik merupakan titik pelana
𝑎 𝜌+𝜇 ℎ
Kasus √𝑚−(𝜌+𝜇) > 𝐾 (1 − 𝑟 )
maka didapatkan
ℎ 2 ℎ 2
𝑚𝐾 2 (1 − ) − (𝜌 + 𝜇) [𝑎2 + 𝐾 2 (1 − ) ] > 0
𝑟 𝑟
22
ℎ 2
𝑚𝐾2 (1− )
Sehingga 𝑟
ℎ 2
− (𝜌 + 𝜇) < 0
2 2
𝑎 +𝐾 (1− )
𝑟
Diperoleh 𝜆2 = 𝐶 − (𝜌 + 𝜇) < 0
Oleh sebab 𝜆1 < 0 dan 𝜆1 < 0 , maka dapat disimpulkan bahwa titik merupakan titik pelana
Teorema 3
𝑎 𝜌+𝜇 ℎ
1. 𝐸1 unstable saddle point jika √𝑚−(𝜌+𝜇) < 𝐾 (1 − 𝑟 ) dan
𝑎 𝜌+𝜇 ℎ
2. 𝐸1 stable node point jika √𝑚−(𝜌+𝜇) > 𝐾 (1 − 𝑟 )
𝐹1 −(𝜌 + 𝜇)
𝐽(𝐸2 ) = [ ]
𝐹2 0
Dengan
2(𝜌 + 𝜇) 𝛼𝑟 𝜌+𝜇
𝐹1 = −𝑟 + ℎ + (𝑟 − ℎ − √ )
𝑚 𝐾 𝑚 − (𝜌 + 𝜇)
(𝜌 + 𝜇) 𝛼𝑟 𝜌+𝜇
𝐹2 = 2 (1 − ) (𝑟 − ℎ − √ )
𝑚 𝐾 𝑚 − (𝜌 + 𝜇)
23
𝜆2 − 𝐹1 𝜆 + 𝐹2 (𝜌 + 𝜇) = 0
𝐹1 1
𝜆1,2 = ± √𝐷
2 2
Dengan
𝐷 = 𝐹1 2 − 4𝐹2 (𝜌 + 𝜇)
Telah diasumsikan
𝑎𝑟 𝜌+𝜇
𝑚 > 𝜌 + 𝜇 > 0 dan 𝑟 > ℎ + √𝑚−(𝜌+𝜇) sehingga didapatkan
𝐾
2(𝜌 + 𝜇) > 0,
𝜌+𝜇
1− > 0 dan
𝑚
𝑎𝑟 𝜌+𝜇
𝑟−ℎ− √
𝐾 𝑚 − (𝜌 + 𝜇)
Akibatnya 𝐹2 = (𝜌 + 𝜇) > 0
Diperoleh
Sehingga 𝐹1 < 0
𝐹1 𝑖
𝜆1,2 = ± √|𝐷|
2 2
24
𝐹1
Jelas bagian real dari 𝜆1,2 yakni <0
2
𝐹1 1 𝐹1 1
− 2 √𝐷 < 0 dan + 2 √𝐷 < 0
2 2
Dengan demikian, diperoleh 𝜆1 < 0 dan 𝜆2 < 0, akibatnya titik 𝐸2 𝑆𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 𝑛𝑜𝑑𝑒 𝑝𝑜𝑖𝑛𝑡
Diperoleh
Sehingga 𝐹1 < 0
𝐹1 𝑖
𝜆1,2 = ± √|𝐷|
2 2
𝐹1
Jelas bagian real dari 𝜆1,2 yakni >0
2
25
𝐹1 1 𝐹1 1
− 2 √𝐷 < 0 dan + 2 √𝐷 < 0
2 2
Dengan demikian, diperoleh 𝜆1 > 0 dan 𝜆1 > 0, akibatnya titik 𝐸2 unstable spiral point
Sehingga 𝐹 = 0
−4𝐹2 (𝜌 + 𝜇)
𝜆1,2 = ±√
2
= ±√𝐹2 (𝜌 + 𝜇)
Dengan demikian, diperoleh 𝜆1, dan 𝜆2, merupakan imajiner murni, maka titik 𝐸₂ center
point.
Teorema 4
1. Jika 𝑚 > 2(𝜌 + 𝜇) atau 𝑚 < 2(𝜌 + 𝜇) dan ℎ > 𝑟(1 − 𝐿) maka 𝐸2 stable spiral point
2. Jika 𝑚 < 2(𝜌 + 𝜇) dan ℎ < 𝑟(1 − 𝐿), maka 𝐸2 unstable spiral point atau unstable
2𝑎(𝜌+𝜇) 𝜌+𝜇
Dengan 𝐿 = 𝐾[2(𝜌+𝜇)−𝑚] √𝑚−(𝜌+𝜇) < 1
26
Pembahasan
Berdasarkan model predator-prey yang telah dibangun pada Sistem (4.1), dapat
diinterpretasikan bahwa populasi eceng gondok, , akan meningkat hingga mencapai kapasitas
maksimal dari daya dukung lingkungan, . Populasi eceng gondok akan menurun ketika proses
pengontrolan dengan menggunakan ikan koan dan pemanenan dilakukan. Efek pengurangan
𝑚𝑍 2 𝑆
populasi eceng gondok digambarkan melalui persamaan ℎ𝑍 + 𝛼2 +𝑊 2 . Di sisi lain, populasi
𝑚𝑍 2
ikan koan, , akan meningkat pada laju maksimal − (𝜌 + 𝜇) ketika terdapat banyak
𝛼2 +𝑊 2
eceng gondok, dan akan menurun pada laju maksimal 𝜌 + 𝜇 ketika terdapat sedikit eceng
Kondisi kesetimbangan yang dapat dicapai yakni, kesetimbangan trivial (kepunahan kedua
populasi), kesetimbangan kepunahan ikan koan, dan kesetimbangan interior (kelestarian kedua
populasi). Di mana kedua populasi akan menuju titik kesetimbangan jika titik tersebut bersifat
stabil.
Kesetimbangan ini akan tercapai jika laju pemanenan eceng gondok yang dilakukan
lebih besar dari laju pertumbuhan eceng gondok (ℎ > 𝑟). Di sini diasumsikan laju
Kesetimbangan ini akan tercapai jika laju pemanenan eceng gondok kurang dari laju
𝑎 𝜌+𝜇 ℎ
pertidaksamaan √𝑚−(𝜌+𝜇) < 𝐾 (1 − 𝑟 ), dengan 𝜌 dan 𝜇 parameter ikan koan sedangkan
diasumsikan semua parameter konstan dan bernilai positif selain 𝜌 yang dapat bernilai nol.
27
Kepadatan populasi eceng gondok pada kesetimbangan ini dipengaruhi oleh laju
pertumbuhan, laju pemanenan, dan daya dukung lingkungan eceng gondok. Semakin
tinggi daya dukung lingkungan, kepadatan populasi eceng gondok akan semakin besar.
Dan semakin tinggi laju pemanenan, kepadatan populasi eceng gondok akan semakin
berkurang.
Syarat ketercapaiannya yakni laju. pertumbuhan eceng gondok lebih dari laju
𝑎𝑟 𝜌+𝜇
pemanenan eceng gondok ditambah dengan √𝑚−(𝜌+𝜇) dan memenuhi salah satu dari
𝐾
dua kondisi berikut, yakni laju interaksi lebih dari dua kali laju pengurangan ikan koan
(m > 2p + 2u) atau laju interaksi kurang dari dua kali laju pengurangan ikan koan
(m < 2p + 2µ) dengan laju pemanenan eceng gondok (ℎ) lebih dari r𝑟(1 − 𝐿) dimana
2𝑎(𝜌+𝜇) 𝜌+𝜇
𝐿 = 𝐾[2(𝜌+𝜇)−𝑚] √𝑚−(𝜌+𝜇) < 1.
Dari ketiga kondisi kesetimbangan yang dapat dicapai, kesetimbangan interior merupakan
solusi yang paling efektif dalam menanggulangi populasi eceng gondok yang setiap saat dapat
kembali melakukan invasi. Keberadaan ikan koan akan selalu membatasi populasi eceng
gondok sehingga pertumbuhan eceng gondok yang terlampau besar dapat dihindari
28
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, berikut simpulan yang diperoleh.
1. Model predator-prey pada populasi eceng gondok dengan adanya ikan koan dan
pemanenan, yakni
𝑑𝑍 𝑍 𝑚𝑍 2
= 𝑟𝑍 (1 − 𝑘 ) − ℎ𝑍 - ∝2+ 𝑍 2 𝑆 = 0
𝑑𝑡
𝑑𝑆 𝑚𝑍 2
= 𝑆 (∝2 + 𝑍 2 − (𝜌 + 𝜇)) = 0
𝑑𝑡
2. Titik ekuilibrium yang eksis yakni 𝐸0 untuk setiap kondisi, untuk 𝐸1 , dan untuk ℎ < 𝑟 dan
𝛼𝑟 𝜌+𝜇
𝐸2 untuk 𝑚 > 𝜌 + 𝜇 > 0, dan 𝑟>ℎ+ √𝑚−(𝜌+𝜇) dengan demikian, titik
𝐾
kesetimbangan yang dapat dicapai yakni kepunahan populasi, kepunahan ikan koan, dan
29
DAFTAR PUSTAKA
Zhang, X., Xu, R., & Gan, Q. (2011). Periodic solution in a delayed predator prey model with
Holling type III functional response and harvesting term. World Journal of Modelling
Ilmiawan, D. F., Kharis, M., & Supriyono, S. (2019). ANALISIS MODEL PREDATOR-
60.
Hunsicker, M.E., et al. 2011. Function Response and Scaling in Predator-Prey Interactions of
Jeschke, J.M., M. Kopp, & R. Tollrian. 2002. Predator Functional Responses: Discriminating
Babo, D., J. Sampekalo, & H. Pangkey. 2013. Pengaruh Beberapa Jenis Pakan Hijauan
1(3): 1-6.
Barnes, B & G.R. Fulford. 2002. Mathematical Modelling with Case Studies (a Differential
Boyce, W.E. & DiPrima, R.C. 2000. Elementary Differential Equations and Boundary Value
Institute.
Penfound, W.T. & T.T. Earle. 1948. Biology of the Water Hyacinth. Ecological Monographs.
18: 447–472.
Perko, L. 1991. Differential Equation and Dynamical System. New York: Springer-Verlag
Berlin Heidelberg. Purnamasari, D., Faisal., & A.J. Noor. 2009.Kestabilan Sistem
30
Predator-Prey Leslie. Jurnal Matematika Murni danTerapan, 3(2): 51-59.
31