Anda di halaman 1dari 6

GEJALA OBESITAS MAHASISWA

(Disampaikan dalam Intermediate Training BEM FBS UNM, pada 9 September 2022)
Oleh: Dwi Rezki Hardianto PR, S.S., M.A
Mungkin kalian pernah mendengar atau menonton film Money Heist (2017-2021). Sebuah
film yang terdiri dari lima season dengan kisaran durasi kurang lebih satu jam di setiap
episodenya. Dengan kisaran durasi yang panjang itu, mungkin film ini akan menyita waktu kita
selama dua hari, sebagaimana pengakuan dari kebanyakan orang—termasuk saya sendiri.
Secara garis besar, film ini menceritakan tentang sekelompok orang yang dipimpin oleh
profesor dalam melakukan perampokan di dua tempat. Pertama, merampok uang negara di Pusat
Percetakan Uang Spanyol. Kedua, merampok persediaan 90 ton emas negara di brangkas bawah
tanah Bank Nasional Spanyol. Kedua misi perampokan itu berhasil. Namun, sebagai alarm, saya
tidak akan secara detail membahas secara utuh film itu, melainkan saya akan membas satu scene
menarik yang terdapat di akhir season lima film ini dengan menjadikan simbol “emas” sebagai
penanda dan negara sebagai subje interpretasi.
Kita mungkin akan membayangkan bagaimana
jika persediaan 90 ton emas negara dirampok, padahal
emas itu adalah kartu joker untuk menutupi krisis negara
apabila mengalami goncangan ekonomi? Di dalam film
ini, “emas” menjadi simbol penentu perekonomian
spanyol. “Emas” menjadi penanda bangkrut atau
tidaknya Spanyol. Jika Spanyol bangkrut, maka krisis
keuangan akan terjadi. Apabila krisis terjadi, maka
kekacauan di Spanyol tidak akan terkendali. Sebab,
“emas” dapat menjadi jaminan yang menohok untuk
menambah utang negara. Artinya, “emas” adalah
penanda untuk menutupi utang negara. Ia ibarat perekat
ilutif yang mampu menutupi lubang kosong di jantung
negara.

Di akhir film, ditampakkan scene yang


memperlihatkan kondisi prekonomian sangat terjepit.
Maka, Profesor mengusulkan kepada negara—melalui
kolonel Tamayo—untuk mengembalikan “emas”
tersebut. Namun, “emas” yang diusulkan itu hanyalah
“kuningan dengan lapisan emas”. Hal itu tentu menjadi
jalan keluar terhormat bagi krisis negara. Konklusinya,
“emas” adalah topeng ekonomi bagi Spanyol. Artinya,
“emas” adalah fakta ilutif negara. Dengan demikian, Gambar 1. Profesor menjelaskan kepada Martin
kembalinya “kuningan dengan lapisan emas” menjadi tentang makna emas. Sumber: “Money Heist:
tanda stabilnya ekonomi di Spanyol. Season 5” (2021) dir. Pina.
Dari film tersebut, “emas” adalah ironi bagi negara: demi mempertahankan
perekonomiannya agar tetapi stabil, negara rela mati-matian mempertahankan emasnya,
meskipun paradoksnya hal itu hanyalah emas palsu. “Emas”—baik asli dan palsu—hanyalah
sebagai bahasa yang berefek bagi diri negara. Negara menggunakannya sebagai bahasa untuk
menarasikan kondisi kediriannya.

Pada dasarnya negara (spanyol) adalah makrosubjektivitas, atau sebagai bentuk makro
dari manusia. 1 Ia adalah komunitas yang juga dikomodifikasi oleh manusia melalui kontrak
sosialnya, sebagaimana dalam konsep negara a la Jean Jacques Rousseau. Kontrak sosial itu
dimediasi oleh bahasa konsensus, sehingga kehadiran negara hanyalah komodifikasi bahasa.
Berangkat dari studi kasus film itu, saya akan mencoba untuk mlihat pada kasus mikro.
Tentunya dengan studi kasus keberadaan mahasiswa. Apakah keberadaan mahasiswa adalah
sebuah hal yang nyata atau itu hanyalah sebuah efek bahasa?
Bergesernya (Identitas) Mahasiswa dan Paradoksnya

Dalam forum-forum pengaderan, identitas mahasiswa merupakan satu materi yang


biasanya wajib untuk didudukkan. Di materi itu, kita akan menemukan bahwa mahasiswa harus
menjadi sosok yang terpelajar. Konsep terpelajar ini dapat diartikan sebagai sosok intelektual.
Selain itu, mahasiswa perlu menjadi sosok pengontrol sosial, agen perubahan, dan agen-agen
lainnya. Membahas tentang intelektualitas, saya tiba-tiba teringat dengan Edward Said, bahwa
sosok intelektual itu tidak mudah menerima konsensus, tetapi mampu menerabas konsensus
tersebut melalui daya kritisnya. Artinya, mahasiswa intelektual bukan sebagai sosok pasif atas
kebohongan realitas yang ada, tetapi mereka mampu bersedia untuk meneriakkan kebenaran di
muka umum.2
Paradoksnya, mahasiswa juga mampu menjadi gamers sejati, konsumen sejati, atau
menjadi agen-agen kultural populer lainnya. Nahasnya, kebanyakan mahasiswa menjadikannya
sebagai identitas lainnya. Namun, keberadaan dirinya di titik identitas itu, sebenarnya tidak
menjadi masalah. Sebab, pada dasarnya manusia memiliki kekuatan untuk menerabas ruang dan
waktu. Tentu menjadi pertanyaan mendasar, mengapa kebanyakan mahasiswa memilih identitas
seperti itu? Pertanyaan ini mesti dijawab dengan hati-hati. Implikasinya sangat sederhana,
mahasiswa mungkin tidak mendapatkan “kenyamanan”, “kenikmatan”, dan “kesenangan”
sebagai sosok intelektual atau bisa saja mereka tidak siap berhadapan dengan realitas yang ada.
Mereka justru mendapatkan itu semua melalui identitas kultural yang lain, sebagai gamers,
konsumen, dan lain sebagainya. Seolah-olah dirinya trauma apabila kenyamanan, kenikmatan dan
kesenangan itu tidak ia genggam.

1
Lihat, Polimpung, H. Y. S. 2010. “Psikoanalisis Paradoks Kedaulatan Kasus Kebijakan Global War on Terror
Amerika Serikat Semasa Pemerintahan George W. Bush, Jr”. Tesis Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Indonesia.
2
Said, E. W. 1996. Representations of Intellectual: The 1993 Reith Lectures. New York: Vintage Books., hlm.
23.
Maka tidak heran apabila sudut-sudut kampus tidak lagi dihuni oleh (sebenar-benarnya)
mahasiswa intelek, yang terparah kampus hanya dijadikan sebagai check point untuk
mendapatkan gelar dan ijazah semata dengan tujuan prestise dan status sosial. Saya tidak
sepenuhnya menyalahkan mereka, sebab hal itu adalah upaya untuk menghindar dari kondisi
traumatisnya. Sebab, kondisi itu tidak terlepas dari konstruksi kultural—baik yang dilakukan oleh
kampus sendiri, atau tatanan kehidupan mereka di luar kampus—sebagai vis a vis cermin mereka.

Secara naluriah, keberadaan kampus adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia


adalah artefak kecil negara untuk melahirkan mahasiswa yang cerdas. Namun, alih-alih
mencerdaskan mahasiswa, kampus malah menjadikan mahasiswa sebagi konsumen pasif atau
sebagai pasar gelap gelar akademik bagi oligarki. Kampus hanyalah impostor dengan brand-brand
manipulatifnya—seperti akreditasi, gedung megah, gelar, dan lain sebagainya. Artinya, kampus
tidak lagi seperti keberadaan naluriahnya. Akan tetapi, kampus memiliki fungsi yang hanya
menawarkan tanda-tanda semata. Kondisi ini sama dengan pemahaman Baudrillard, bahwa saat
ini kebanyakan objek (komoditas) tidak lagi memiliki fungsi naluriah (nilai guna), melainkan
semuanya telah dikomodifikasi dan bergeser menjadi fungsi tanda. 3

Status komoditas dari kampus tidak lagi dinafikkan. Ia ibarat industri yang sangat
menggiurkan. Nahasnya, tanda-tanda itulah yang dikonsumsi oleh mahasiswa sebagai bentuk
kebanggaan (pride) atas dirinya. Padahal apa yang konsumsi oleh mahasiswa sebagai kebanggan,
bukanlah sebagai kenyataan, tetapi tidak lebih dari tanda-tanda fantasmatik. Artinya, kampus
bukanlah menjadi tempat untuk memperlihatkan kebenaran realitas yang sesungguhnya, tetapi
malah menjadikan mahasiswa terekslusi secara tragis dari realitasnya. Parahnya mahasiswa
seperti domba-domba yang sabar, patuh, dan penurut pada otoritas (tanda) yang diproduksi oleh
kampus.4 Padahal yang diproduksi oleh kampus, tidak lebih sekadar ilusi semata, dan sekali lagi
itu adalah fantasi.
Konsep fantasi di sini tidaklah diartikan secara umum, sebagaimana seseorang berfantasi
meminum kopi sturbucks, tetapi minuman itu tidak ada di hadapannya. Akan tetapi fantasi di sini
dideskripsikan ketika kopi sturbucks itu ada di hadapannya, tetapi malah memfantasikan sesuatu
yang ada di balik minuman itu. Misalnya, Roim X meminum kopi sturbucks karena melalui
minuman itu maka Roim X akan mendapatkan kenikmatan, status sosial lebih tinggi, ketrendinan,
dan lain sebagainya. Padahal apa yang dianggapnya ketrendinan, kenikmatan, satatus sosial dan
lain sebagainya, hanyalah merupakan fatamorgana belaka. Keberadaan dari itu semua hanya
eksis, ketika seseorang mengisinya melalui penanda seperti kopi sturbucks. Padahal sejauh
seseorang mengejarnya, bahkan hingga ke ujung dunia pun, maka keberadaan ketrendinan,
kenikmatan dan lain sebagainya, ternyata tidak ada. Anehnya, keberadaan itu semua mampu

3
Lihat, Baudrillard, J. 1996. The System of Objects. London & New York: Verso., hlm. 4-21.
4
Khayati, M. 2017. Tentang Kemiskinan Hidup Mahasiswa. Salatiga: Federasi Mahasiswa Libertarian., hlm.
5.
menjadi kekuatan untuk menarik hasrat subjek, atau Lacan menyebutnya object petit a atau objek
penyebab hasrat.
Saya pernah mewawancarai salah satu mahasiswa bernama AM5. Dia adalah sosok yang
sangat gemar bermain game dan mengakui kemalasannya dalam membaca buku. Menurutnya
Tujuan dari bermain game adalah mendapatkan kesenangan dan untuk menghindarkan dirinya
dari kedepresian. Namun, ketika saya mewawancarainya lebih jauh, jawabannya sangat
membingungkan sekaligus paradoks. Justru ketika dirinya bermai game kesenangan ini semakin
perlahan berubah menjadi kebosanan. Artinya, AM tidak mendapatkan kesenangan yang hakiki,
tetapi malah bertemu dengan rasa yang lain, dan begitulah seterusnya. Dalam konsep Lacanian,
hal ini disebut sebagai gejala Jouissance.
Pada dasarnya Jouissance adalah kenikmatan (enjoyment).6 Kenikmatan di sini bukanlah
seperti prinsip kenikmatan a la Freud yang menjadi hukum tertentu dari realitas untuk mengatur
kenikmatan subjek. Namun, kenikmatan di sini justru apa yang disebut oleh Freud sebagai
“beyond the pleasure principle”. Ketika subjek melampaui prinsip kesenangan dengan apa yang
ditawarkan oleh tatanan simbolis melalui penanda kenikmatan (seperti game), maka yang
ditemukan oleh subjek adalah sebuah kenikmatan yang menyakitkan. Dengan demikian,
Jouissance bukan sekedar kenikmatan tapi juga sebagai penderitaan subjek (masokistik).7 Sebab,
kenikmatan, kenyamanan, dan kesenangan adalah surga dengan kobaran api yang membakar diri
kita sendiri.
Gelaja Obesitas (Mahasiswa)

Kekuatan yang mengganggu kenikmatan mahasiswa tidak lain berasal dari tatanan
simbolik (seperti ideologi). Tatanan simbolik hari ini disabotase oleh kapitalisme (melalui kroni-
kroninya) bahkan komunisme dengan corak produksi kapitalismenya. Kapitalisme hari ini tidaklah
segarang dahulu, sebagaimana pada abad ke 19. Kapitalisme tidak lagi menindas kita secara
langsung dan represif, sebagaimana yang dideskripsikan oleh Karl Marx. Akan tetapi, kapitalisme
memiliki wajah baru atau advanced capitalism—sebuah istilah yang dicetuskan oleh Herbert
Marcuse.
Wajah baru itu tentu lebih humanis. Topeng humanis yang dipakai dan dibawa oleh
kapitalisme saat ini tentu menjadikan masyarakat kelas bawah—khususnya para pekerja—seolah-
olah mendapatkan kesejahteraan. Misalnya, para pekerja diberikan berupa jaminan kesehatan,
tunjangan, dan bahkan diberi akses untuk menikmati produk mewah yang biasanya digunakan
oleh kelas borjuis. Akibatnya, mereka (para pekerja) tidak merasa teralienasi dengan apa yang

5
Wawancara dengan Mahasiswa Sastra Inggris FBS UNM angkatan 2021 pada 27 Agustus 2022.
6
Kata Jouissance adalah bahasa prancis. Makna kenikmatan dari jouissance, bukanlah kenikmatan pada
umunya yang bermakna positif. Namun, kenikmatan yang dimakud adalah kenikmatan yang juga dapat membawa
kesengsaraan, kesakitan (pain). Singkatnya, Jouissance adalah kenikmatan paradoks.
7
Lacan, Jacques. 1992. Book VII: The Ethics of Psychoanalysis (1959-1960). New York: W.W. Norton &
Company, Inc., hlm. 184.
diproduksinya. Padahal tujuan akhir dari kapitalis adalah memupuk keuntungan sebanyak-
banyaknya untuk dirinya sendiri. Ketika kelas bawah telah mampu setara dalam laku atau gaya
hidup seperti borjuis. Maka di sinilah keberhasilan pertama dari kapitalisme lanjut. Masyarakat
secara tidak sadar digiring untuk mengejar fatamorgana kebutuhan yang telah dikonstruksi oleh
kaptalisme.

Kapitalisme tidak segan-segan berupaya menghadirkan surga, seperti kebebasan,


kesetaraan, dan lain sebagainya. Bentuk kebebasan dan kesetaraan itu tentu diasosiasikan
melalui komoditasnya Nahasnya, ia kemudian menegasikan ide-ide komunisme. Artinya,
kegarangan kapitalisme pun juga diubah menjadi kegarangan yang baru dan lebih buas dari
sebelumnya. Ia tidak menyerang secara langsung pada ruang kesadaran kita, tetapi
menyabotasenya melalui ketidaksadaran.
Marcuse kemudian mengatakan bahwa salah satu oposisi yang dapat menerabas mereka
adalah kaum intelektual atau Mahasiswa. 8 Akan tetapi, asumsi ini tentu tidak sepenuhnya
berlaku di Indonesia. Sebab, bagaimana mungkin mahasiswa ingin menjadi oposisi radikal
sedangkan mayoritas di antaranya turut dipermainkan oleh kapitalisme? Bukannya saya tidak
percaya, tetapi itulah faktanya. Fakta bahwa identitasnya telah dikonstruksi secara ideologis,
sehingga identitas itu bergeser bukan lagi sebagai mahasiswa tapi sebagai identitas ideologis
sekaligus ilutif—seperti konsumen, gemers, dan lain sebagainya. Parahnya, mahasiswa menyerap
dan menyusun (yang dianggap) realitas keberadannya melalui ideologi yang diserapnya.9 Dengan
kata lain, mereka menjadikannya sebagai medium untuk mendapatkan surga-surga yang
ditawarkan oleh ideologi.
Untuk mempermudah penjelasan di
atas dan sebagai penutup pada bagian
ini, maka saya akan menggunakan film
They Live (1998) sebagai contoh. Di
dalam film ini, kita akan melihat
bagaimana ideologi berperan sebagai
optik dalam melihat sesuatu. Nada
sebagai aktor dalam film tersebut
mendapatkan beragam kacamata
Gambar 2. Nada melihat tuhan di dalam uang. Sumber: “They Live”
(metafora ideologi). Ketika dirinya (1998) dir. Carpenter.
berjalan-jalan di Los Angel dengan
memakai kacamata itu, maka yang terjadi ia justru melihat sesuatu yang melampaui sebuah
komoditas. Sebagaimana potongan scane di samping. Nada melihat penanda uang, sebagai tuhan
(God). Seolah-olah tuhan terasosiasikan di dalam uang itu. Paradoknys ketika Nada

8
Lihat, Marcuse, H. 1970. Five Lectures: Psychoanalysis, Politics, and Utopia. London: Allen Lane The
Penguin Press , hlm. 71.
9
Lihat, Zizek, S. 1989. The Sublime Object of Ideology. London: Verso., hlm. 27.
membenturkannya dengan realitas, ternyata uang bukanlah sebagai tuhan, melainkan hanya
sebagai simbol yang tak memiliki apa-apa vis a vis fantasi.
Penanda “uang” itu, sama dengan “game” atau “produk-produk branded” yang pada
dasarnya hanya menjadi penanda untuk mendapatkan kesenangan, kebahagiaan, dan lain
sebagainya. Padahal di balik “game” atau “produk-produk branded” itu, kita hanya menemukan
kehampaan dan ilusi. Ketika, kita mengonsumsinya, maka secara otomatis identitas yang melekat
pada diri gamers atau konsumen hanya mengonsumsi tanda-tanda belaka—dan juga kehampaan.
Dengan kata lain, identitas gamers hanya tubuh yang dipenuhi oleh tanda-tanda ilutif dan itulah
yang dikonsumsi dan membuatnya obesitas. Lalu bagaimana mengatasinya? Jika Zizek
menawarkan “Enjoy your Symptom!”, maka saya mengatakan syukurilah identitas asalimu di
kampus sebagai mahasiswa dan nikmatilah itu.
Referensi

Baudrillard, J. 1996. The System of Objects. London & New York: Verso.

Khayati, M. 2017. Tentang Kemiskinan Hidup Mahasiswa. Salatiga: Federasi Mahasiswa


Libertarian.

Lacan, Jacques. 1992. Book VII: The Ethics of Psychoanalysis (1959-1960). New York: W.W. Norton
& Company, Inc.

Marcuse, H. 1970. Five Lectures: Psychoanalysis, Politics, and Utopia. London: Allen Lane The
Penguin Press.

Polimpung, H. Y. S. 2010. “Psikoanalisis Paradoks Kedaulatan Kasus Kebijakan Global War on Terror
Amerika Serikat Semasa Pemerintahan George W. Bush, Jr”. Tesis Program Pascasarjana
Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Said, E. W. 1996. Representations of Intellectual: The 1993 Reith Lectures. New York: Vintage
Books.

Zizek, S. 1989. The Sublime Object of Ideology. London: Verso.

Anda mungkin juga menyukai