1
Pendapat yang dikemukakan oleh Soedijarto tentu diarahkan
kepada hasil belajar ideal yang harus diperoleh setelah siswa
mengalami proses belajar (pendidikan). Asep Jihad dkk. (2010:18)
mengemukakan hasil belajar adalah tingkah laku siswa secara
nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang dilakukan
sesuai dengan tujuan pengajaran. Dari teori-teori yang
dikemukakan dan penegasan secara konstitusional pendidikan
dapat diapahami bahwa evaluasi pembelajaran (pendidikan)
diarahkan kepada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan
demikian ketiga ranah tersebut merupakan kemampuan sekali gus
hasil belajar yang harus diperoleh siswa setelah menyelesaikan
suatu program pembelajaran (pendidikan) tertentu. Ketiga ranah
tersebut merupakan suatu kesatuan utuh hasil belajar yang harus
dicapai sehingga tercapai tujuan pendidikan nasional.
Selama ini evaluasi yang dilaksanakan baik ujian di sekolah
maupun ujian dalam skala nasional seperti Ujian Nasional (UN)
hanya mengukur kemampuan kognitif siswa dalam memahami
materi yang selama ini disuguhkan kepada mereka. Secara tegas
Suharsimi Arikunto (2009:21) mengatakan: “kecenderungan yang
ada sampai saat ini di sekolah adalah bahwa guru hanya menilai
prestasi belajar aspek kognitif atau kecerdasan saja. Aspek
psikomotorik, apalagi afektif, sangat langka dijamah oleh guru.
Akibatnya dapat disaksikan bahwa lulusan hanya menguasai teori
tetapi tidak terampil melakukan pekerjaan keterampilan, juga tidak
mampu mengaplikasikan pengetahuan yang sudah mereka kuasai.
Lemahnya pembelajaran dan evaluasi terhadap aspek afektif telah
berakibat merosotnya akhlak para lulusan, yang selanjutnya
berdapak luas pada merosotnya akhlak bangsa. Hal ini dapat
ditemukan tawuran antar pelajar bahkan mahasiswa terjadi baik di
daerah ataupun di kota-kota besar. Ironisnya polemik pertengkaran
mulut para elit politik di parlemen mengundang perhatian khusus
2
rakyat Indonesia hingga terjadi benturan fisik atau pemukulan
sesama anggota dewan yang ada di parlemen. Kejadian ini paling
tidak menunjukkan rendahnya moral bangsa.
Pendidikan agama Islam diberikan kepada peserta didik
untuk mencapai kualitas agama Islam sebagai fondasi menjalankan
printah agama sekaligus dapat mengamalkannya di masyarakat.
Sebagaimana tujuan yang diinginkan oleh kurikulum PAI pada SMA
yaitu; berpengetahuan, berpahaman terhadap materi pelajaran
yang telah ditentukan dengan secara memdalam, berpotensi dalam
analisis, sistensis, dan berpraktisi dengan baik, menjadi tauladan
yang baik terhadap insan dengan berkreatif Islam, berfalsafah
Islam, hidup mengikut ajaran Islam, bersyariat Islam, dan berprinsip
pada ekonomi Islam. Berkarakteristik sebagai seorang muslim yang
baik mengikut tauladan Nabi Muhammad SAW dan berpegan teguh
pada al-Qur’an serta berpotensi dalam menyusunkan peristiwa-
peristiwa yang berlaku dalam sejarah Islam supaya menjadi asas
dalam kehidupan harian dan dalam pendidikan pada tingkat yang
lebih tinggi (Kementerian Pendidikan, 2010 : 3)
Dengan tidak melemahkan aspek lain dalam sistem
pendidikan di Indonesia, dapat dinyatakan lemahnya sistem
evaluasi pembelajaran dan pendidikan yang dilakukan. Evaluasi
pembelajaran tidak berorientasi penuh pada pencapaian tujuan
pendidikan nasional yang mengandung aspek pengetahuan,
keterampilan, dan akhlak atau moral para lulusan. Oleh sebab itu,
upaya mencapai tujuan pendidikan nasional secara utuh perlu
kajian terhadap sistem evaluasi pembelajaran (pendidikan) secara
integral sehingga memenuhi aspek pengetahuan, keterampilan,
dan akhlak atau moral para lulusan.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di
atas, maka dapat dirumuskan maslah dalam kajian ini yaitu:
Bagaimanakah perspektif terhadap sistem evaluasi pendidikan
nasional?
C. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Formulasi
Moral bangsa merupakan hasil proses pendidikan yang
terjadi pada suatu bangsa itu sendiri. Oleh sebab itu untuk
mencapai moral bangsa yang baik tentu harus memiliki sitem
pendidikan yang baik pula. Hampir disemua negara
menyelenggarakan pendidikan dengan karakteristik dan aturan
yang sesuai dengan ideologi negara tersebut. Tentu termasuk
Indonesia, proses pendidikanya diarahkan kepada pencapaian
moral bangsa sesuai dengan ideologinya yaitu Pancasila. Dengan
demikian hampir semboyan pendidikan di Indonesia dinyatakan
bertujuan menjadikan warganya menjadi manusia yang
Pancasilais. Pemahaman ini mengandung arti bahwa setiap
langkah dan proses pendidikan hendaknya berorientasi kepada
menjadikan manusia Indonesia yang memiliki nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila yaitu nilai-nilai yang dikandung oleh setiap sila
yang ada. Sehingga nilai Pancasila ini sudah disusun pada tujuan
pendidikan nasional dalam UU Sisdikanas no. 20 tahun 2003.
Sudah jelas ditegaskan dalam UU Sisdiknas no. 20 tahun
2003 Bab II (2003:7) mengenai dasar, fungsi, dan tujuan
pendidikan disebutkan sebagai berikut:
1. Pasal 2; pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasr Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pasal 3; Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
4
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Pernyataan tentang tujuan dasar, fungsi, dan tujuan
pendidikan di Indonesia seperti tertuang dalam UU Sisdiknas
tersebut di atas memiliki muatan besar pada aspek sikap, moral,
dan kegaamaan. Ini berarti bahwa pendidikan Indonesia memilki
bobot muatan yang sangat besar pada aspek afektif dan
psikomotorik. Kosekwensi logis penyelenggaraan pendidikan tentu
harus dapat diterima pada setiap sub sitem (kurikulum, metode,
dan evaluasi) dan pelaksana (tenaga kependidikan dan pendidik)
harus berorientasi kepada pembentukan watak dan peradaban
bangsa yang ditandai dengan keimanan, akhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab dalam sikap kehidupan manusia Indonesia sehari-hari.
Agaknya moral sikap keagamaan merupakan tujuan utama dari
proses pendidikan yang dilaksanakan oleh anak bangsa dan
setelahnya aspek pengatahuan atau kognisi. Hal ini tercermin dari
struktur tujuan pendidikan yang diamanat dalam UU Sisdiknas
tersebut.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia memerlukan
banyak sub sistem yang harus dilaksanakan dan dipenuhi sehingga
disebut sistem pendidikan nasional. Sub sistem ini dimulai dari
regulasi, pembiayaan, manajemen, infrastruktur, kurikulum, tenaga
kependidikan, pendidik, dan lain sebagainya sampai di dalamnya
sistem evaluasi pembelajaran (pendidikan) untuk mengukur
tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan yang dirumuskan baik di
dalam kurikulum ataupun di amanatkan dalam UU Sisdiknas
5
sebagaimana dimaksud di atas. Semua sub sistem tersebut pada
prinsipnya memilki peran yang sama pentingnya jika tinjauannya
berorientasi kepada kualitas dan pencapaian tujuan pendidikan.
Oleh sebab itu dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan
pada prinsipnya adalah peningkatan tujuan pendidikan secara utuh
dari semua aspek kemampuan yang harus di dimiliki oleh para
lulusan setelah mengalami proses pendidikan.
Berkaitan dengan sistem evaluasi, Suharsimi Arikunto
(2009:24) mengemukakan beberapa prinsip evaluasi yaitu adanya
triangulasi atau hubungan erat tiga komponen yaitu:
1. Tujuan pembelajaran;
2. Kegiatan pembelajaran, dan
3. evaluasi.
Triangualasi tersebut digambarkan dalam bagan sebagai
berikut:
Tujuan
KBM Evaluasi
6
b. Hubungan antara Tujuan dengan Evaluasi
Evaluasi adalah kegiatan pengumpulan data untuk
mengukur sejauh mana tujuan sudah tercapai. Dengan makna
demikian maka anak panah berasal dari evaluasi menuju ke
tujuan. Di lain sisi jika dilihat dari langkah, dalam menyusun alat
evaluasi mengacu pada tujuan yang sudah dirumuskan.
Sebagai misal, jika kegiatan belajar mengajar dilakukan oleh
guru dengan menitik beratkan pada keterampilan, evaluasi juga
mengukur tingkat keterampilan siswa, bukan hanya aspek
pengetahuan.
Evaluasi terhadap dokumen RPP berdasarkan standar proses,
setiap guru wajib menyusun RPP secara lengkap dan sistematis
agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif,
memotivasi peserta didik utuk berpartisipasi aktif. RPP yang
dievaluasi penulis dibatasi pada KD pada pembelajaran
Pendidikan gama Islam saat diobservasi atau diamati penulis.
Adapun metode pembelajaran, yaitu: 1) Pendekatan
pembelajaran Saintifik learning, 2) Metode pembelajaran:
iskusi, tanya jawab, observasi, 3) Metode pembelajaran project
based learning. etode pembelajaran telah sesuai dengan
standar proses namun masih ada guru yang mencantumkan
metode ceramah sebagai salah satu metode pembelajaran
dalam penyusunan RPP.( Yustiani: 2017)
Kecenderungan dalam praktek sekarang ini adalah
bahwa evaluasi hasil belajar hanya dilakukan dengan tes
tertulis, menekankan aspek pengetahuan saja. Hal-hal yang
berkaitan dengan aspek lain kurang mendapat perhatian dalam
evaluasi. Pemikiran ini sejalan dengan pernyataan Daryanto
(2007:20), ia mengemukakan prisip evaluasi harus mengacu
kepada aspek kepribadian. Di samping sebagai alat penilai
hasil/pencapaian belajar, evaluasi juga perlu diterapkan
7
sebagai upaya perbaikan sikap tingkah laku ditinjau dari segi
pedagogis.
2. Deskripsi Implementasi;
Soedijarto (2008:120) mengatakan berangkat dari
pemahaman tentang karakteristik masyarakat modern dalam
era globalisasi itu, yang perlu kita wujudkan di Indonesia adalah
kemampuan, nilai, dan sikap yang yang perlu dikuasai dan
dimiliki oleh manusia terdidik Indonesia, yaitu:
a. Memilki kemampuan, nilai, dan sikap yang
memungkinkannya berpartisipasi secara aktif dan cerdas
dalam proses politik;
b. Memiliki kemampuan, etos kerja, dan disiplin kerja yang
memungkinkan aktif dan produktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan ekonomi;
c. Memiliki kemampuan dan sikap ilmiah untuk dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
kemampuan penelitian dan pengembangan;
d. Memilki kepribadian yang mantap, berkarakter dan
bermoral, serta berakhlak mulia.
Paling tidak pemahaman yang dapat dipetik dari berbagai
kemungkinan pemikiran dalam pernyataan di atas yaitu
pentingnya pengetahaun yang diimbangi oleh nilai sikap
kepribadian yang mantap, berkarakter dan bermoral, serta
berakhlak mulia. Pemikiran ini sangat berlasan bagi pencapaian
tujuan pendidikan nasional agar terbentuknya manusia
Indonesia yang memiliki sikap moral yang bermartabat
sehingga mencerminkan karakter bangsa yang berakhlak
mulia. Berkaitan dengan nilai kompetensi dan tujuan, Wina
Sanjaya (2009:68) mengemukakan beberapa kompetensi
sebagai tujuan dalam membentuk siswa setelah mengalami
8
proses pembelajaran dan pendidikan, di dalamnya terdapat
beberapa aspek, yaitu: (a) pengetahuan; (b) pemahaman; (c)
kemahiran; (d) nilai; (e) sikap; dan (f) minat.
Dengan tidak mengabaikan aspek lainnya yang
dikemukakan di atas, di ambil beberapa aspek serta penjelasan
yang dikemuakkan oleh Wina Sanjaya sebagai berikut:
a. Nilai (value), yaitu norma-norma yang dianggap baik oleh
setiap individu. Nilai inilah yang selanjutnya akan menuntun
setiap individu dalam melaksnakan tugas-tugasnya.
Misalnya nilai kejujuran, nilai kesederhanaan, nilai
keterbukaan, dan lain sebagainya.
b. Sikap (attitude, yaitu pandangan individu terhadap sesuatu.
Misalnya senang-tidak senang, suka-tidak suka, dan lain
sebagainya. Sikap erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki
individu, artinya mengapa individu bersikap demikian? Itu
artinya disebabkan oleh nilai yang dimilikinya.
c. Minat (interest), yaitu kecenderungan individu untuk
melakukan sesuatu perbuatan. Minat adalah aspek yang
dapat menentukan motivasi seseorang untuk melakukan
sesuatu.
Pendapat yang dikemukakan oleh Wina Sanjaya
dapat dipahami bahwa penialaian kompetensi siswa
berorientasi kepada pentingnya nilai sikap yang merupakan
integrasi dari pengetahuan yang telah dimiliki siswa setelah
mengikuti pengalaman belajar. Kejujuran, kesederhanaan,
keadilan, dan sikap tangung jawab merupakan nilai
kebaikan yang harus dimiliki oleh setiap individu setelah
mengalami proses pmbelajaran atau pendidikan. Oleh
sebab itu alasan yang sangat penting dalam pelaksanaan
evaluasi tentu mengarah kepada penialain secara utuh yang
9
dapat mengukur integritas pengetahuan, sikap, dan
keterampilan sebagai tujuan pendidikan.
Nana Sudjana (2009:4) mengemukakan salah satu
tujuan penilaian adalah mengetahui proses pendidikan dan
pengajaran di sekolah yakni seberapa jauh keefektifannya
mengubah tingkah laku para siswa ke arah tujuan
pendidikan yang diharapkan. Keberhasilan pendidikan dan
pengajaran penting artinya mengingat perenannya sebagai
upaya memanusiakan atau membudayakan manusia, dalam
hal ini siswa agar menjadi manusia yang berkualitas dalam
aspek intelektual, sosial, emosional, moral, dan
keterampilan. Ada ketegasan makna yang dapat diambil
dalam pemikiran Nana Sudjana yaitu bahwa pentingnya
penilaian karena memiliki peranan yang strategis dalam
upaya memanusiakan atau membudayakan manusia. Aspek
intelektual, sosial, emosional, moral, dan keterampilan
menjadi acuan untuk melihat adanya perubahan positif
dalam tingkah laku manusia. Ini merupakan sasaran inti dari
proses belajar mengajar atau pendidikan.
3. Deskripsi Evaluasi
a. Kekuatan
b. Kelemahan
c. Peluang
d. Tantangan
e. Dampaknya
D. Pembahasan
Beberapa tinjauan dan kajian teori yang dikemukakan
menunjukkan sistem evaluasi yang harus dilaksanakan secara
integral. Pemahaman terhadap integrasi pelaksanaan evaluasi
memilki makna bahwa evaluasi diarahkan kepada semua aspek
10
kemampuan yang harus dicapai setelah siswa mengikuti proses
pembelajaran. Adapun aspek-aspek yang diamksud adalah ranah
kognitif, afaektif, dan psikomotorik.
11
mata pelajaran. Kejadian seperti ini dapat dinyatakan lemahnya
sistem evaluasi baik dalam satuan pendidikan ataupun pendidikan
secara nasioanal.
12
ditunjukkan dalam penilaian atau evaluasi. Pernyataan ini dapat
dibuktikan hampir semua guru ataupun sekolah tidak melaksnakan
penilaian yang menguji kemampuan kepekaan emosional, moral,
sosial, dan keagamaan belum ditunjukkan secara nyata. Kalupun
ada misalnya ditemukan di buku raport siswa yang memuat aspek
sikap dan keterampilan namun kurang dijalankan secara
proporsional dan sistematis. Kenyataan ini penilaian untuk menguji
kemampuan sikap dan keterampilan penyiapannya tidak
dilaksanakan secara terstruktur dan sistematis sebagaimana
pelaksnaaan ujian untuk menguji aspek kognitif.
13
Kenyataan ini memungkinkan tidak tercapainya tujuan
pendidikan nasional seperti yang diamanatkan dalam UU
Sisdiknas. Jika hal ini terus berlanjut ini artinya terjadinya
kontroversi antara tujuan yang hendak dicapai dengan evaluasi
yang dilakukan oleh pemerintah. Bagaimana mungkin bisa
diketahui tujuan pendidikan nasional tercapai atau tidaknya jika
evaluasi yang mengukur kepribadian yang religius tidak dilakukan.
Kenyataan ini cukup beralasan dijadikan asumsi mengapa moral
kepribadian siswa bahkan manusia Indonesia yang sudah
mengalami proses pendidikan menunjukkan kepribadian dan moral
bangsa yang masih rendah. Peristiwa ini mudah ditemukan melalui
pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik, terjadinya
tawuran antar pelajar, mahasiswa, masyarakat, bahkan anggota
perwakilan rakyat di parlemen menunjukkan sikap yang tidak
berkepribadian baik.
14
Pengamatan dan monitoring secara kontinue mutlak dilakukan oleh
setiap pendidik terhadap perkembangan pola sikap dan prilaku
siswa untuk melihat perubahan prilaku ke arah positif. Daftar
observasi merupakan salah satu alat yang paling tepat digunakan
untuk mengetahui pola sikap prilaku siswa sehari-hari.
15
penilaian yang mengacu kepada pencapaian hasil belajar yang
ditunjukkan dengan penilaian sikap kepribadian sangat rendah
dilakukan oleh guru, sekolah, bahkan pemerintah.
16
BAB II
4. Rekomendasi
Upaya mencapai tujuan pendidikan nasional secara
efektif, maka disarankan kepada:
17
1. Pemerintah; mengatur sistem evaluasi pendidikan secara
nasional yang berorientasi pada pencapaian semua aspek
kemampuan dalam pendidikan yaitu aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
2. Sekolah; melaksanakan sistem evaluasi pendidikan yang
diatur oleh pemerintah secara berkesinambuangan dan
terintegrasi.
3. Guru; merupakan ujung tombak pelaksanaan pembelajaran/
pendidikan di sekolah mutlak sebagai aktor pelaksana dan
penilai keberhasilan pembelajaran/pendidikan anak di
sekolah selalu mengintegrasikan hasil-hasil pembelajaran
yang diperoleh siswa secara komprehensip.
F. Daftar Pustaka
18
Fauzan dkk,l Analisis Kurikulum Pendidikan Agama Islam di
Indonesia dan Thailand, ( Jurnal: 2019)
19