Anda di halaman 1dari 19

BAB I

A. Latar Belakang Masalah


Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 2 (2009:7)
dinyatakan: Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab. Konsekwensi logis dalam
penyelenggaraan sitem pendidikan nasional di Indonesia tentunya
berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional itu sendiri
sebagaimana diundangkan dalam Undang-Undang Sisdiknas
tersebut. Sistem penyelenggaraan yang harus dipahami artinya
semua pihak dan semua komponen yang mendukung terlaksnanya
proses pendidikan, termasuk di dalamnya evaluasi pembelajaran
(pendidikan) tentu mengacu kepada pencapaian tujuan pendidikan
nasional yang sudah diamanatkan.
Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia no. 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bab I ketentuan umum
pasal 1 ayat 3 (2010:57) dinyatakan: Standar kompetensi lulusan
adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. PP no. 19 tersebut dapat
dipahami bahwa standar kompetensi mengacu kepada hasil belajar
siswa yang mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Pernyataan ini agak bersesuaian dengan teori-teori
yang dikemukakan oleh ahli. Soedijarto (2008:118) menyatakan
pendidikan nasional diharapkan mampu melahirkan manusia
Indonesia yang: 1) religius dan bermoral, 2) yang menguasai
pengetahuan dan keterampilan, 3) yang sehat jasmani dan rohani,
dan 4) yang berkepribadian dan bertanggung jawab.

1
Pendapat yang dikemukakan oleh Soedijarto tentu diarahkan
kepada hasil belajar ideal yang harus diperoleh setelah siswa
mengalami proses belajar (pendidikan). Asep Jihad dkk. (2010:18)
mengemukakan hasil belajar adalah tingkah laku siswa secara
nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang dilakukan
sesuai dengan tujuan pengajaran. Dari teori-teori yang
dikemukakan dan penegasan secara konstitusional pendidikan
dapat diapahami bahwa evaluasi pembelajaran (pendidikan)
diarahkan kepada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan
demikian ketiga ranah tersebut merupakan kemampuan sekali gus
hasil belajar yang harus diperoleh siswa setelah menyelesaikan
suatu program pembelajaran (pendidikan) tertentu. Ketiga ranah
tersebut merupakan suatu kesatuan utuh hasil belajar yang harus
dicapai sehingga tercapai tujuan pendidikan nasional.
Selama ini evaluasi yang dilaksanakan baik ujian di sekolah
maupun ujian dalam skala nasional seperti Ujian Nasional (UN)
hanya mengukur kemampuan kognitif siswa dalam memahami
materi yang selama ini disuguhkan kepada mereka. Secara tegas
Suharsimi Arikunto (2009:21) mengatakan: “kecenderungan yang
ada sampai saat ini di sekolah adalah bahwa guru hanya menilai
prestasi belajar aspek kognitif atau kecerdasan saja. Aspek
psikomotorik, apalagi afektif, sangat langka dijamah oleh guru.
Akibatnya dapat disaksikan bahwa lulusan hanya menguasai teori
tetapi tidak terampil melakukan pekerjaan keterampilan, juga tidak
mampu mengaplikasikan pengetahuan yang sudah mereka kuasai.
Lemahnya pembelajaran dan evaluasi terhadap aspek afektif telah
berakibat merosotnya akhlak para lulusan, yang selanjutnya
berdapak luas pada merosotnya akhlak bangsa. Hal ini dapat
ditemukan tawuran antar pelajar bahkan mahasiswa terjadi baik di
daerah ataupun di kota-kota besar. Ironisnya polemik pertengkaran
mulut para elit politik di parlemen mengundang perhatian khusus

2
rakyat Indonesia hingga terjadi benturan fisik atau pemukulan
sesama anggota dewan yang ada di parlemen. Kejadian ini paling
tidak menunjukkan rendahnya moral bangsa.
Pendidikan agama Islam diberikan kepada peserta didik
untuk mencapai kualitas agama Islam sebagai fondasi menjalankan
printah agama sekaligus dapat mengamalkannya di masyarakat.
Sebagaimana tujuan yang diinginkan oleh kurikulum PAI pada SMA
yaitu; berpengetahuan, berpahaman terhadap materi pelajaran
yang telah ditentukan dengan secara memdalam, berpotensi dalam
analisis, sistensis, dan berpraktisi dengan baik, menjadi tauladan
yang baik terhadap insan dengan berkreatif Islam, berfalsafah
Islam, hidup mengikut ajaran Islam, bersyariat Islam, dan berprinsip
pada ekonomi Islam. Berkarakteristik sebagai seorang muslim yang
baik mengikut tauladan Nabi Muhammad SAW dan berpegan teguh
pada al-Qur’an serta berpotensi dalam menyusunkan peristiwa-
peristiwa yang berlaku dalam sejarah Islam supaya menjadi asas
dalam kehidupan harian dan dalam pendidikan pada tingkat yang
lebih tinggi (Kementerian Pendidikan, 2010 : 3)
Dengan tidak melemahkan aspek lain dalam sistem
pendidikan di Indonesia, dapat dinyatakan lemahnya sistem
evaluasi pembelajaran dan pendidikan yang dilakukan. Evaluasi
pembelajaran tidak berorientasi penuh pada pencapaian tujuan
pendidikan nasional yang mengandung aspek pengetahuan,
keterampilan, dan akhlak atau moral para lulusan. Oleh sebab itu,
upaya mencapai tujuan pendidikan nasional secara utuh perlu
kajian terhadap sistem evaluasi pembelajaran (pendidikan) secara
integral sehingga memenuhi aspek pengetahuan, keterampilan,
dan akhlak atau moral para lulusan.

3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di
atas, maka dapat dirumuskan maslah dalam kajian ini yaitu:
Bagaimanakah perspektif terhadap sistem evaluasi pendidikan
nasional?

C. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Formulasi
Moral bangsa merupakan hasil proses pendidikan yang
terjadi pada suatu bangsa itu sendiri. Oleh sebab itu untuk
mencapai moral bangsa yang baik tentu harus memiliki sitem
pendidikan yang baik pula. Hampir disemua negara
menyelenggarakan pendidikan dengan karakteristik dan aturan
yang sesuai dengan ideologi negara tersebut. Tentu termasuk
Indonesia, proses pendidikanya diarahkan kepada pencapaian
moral bangsa sesuai dengan ideologinya yaitu Pancasila. Dengan
demikian hampir semboyan pendidikan di Indonesia dinyatakan
bertujuan menjadikan warganya menjadi manusia yang
Pancasilais. Pemahaman ini mengandung arti bahwa setiap
langkah dan proses pendidikan hendaknya berorientasi kepada
menjadikan manusia Indonesia yang memiliki nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila yaitu nilai-nilai yang dikandung oleh setiap sila
yang ada. Sehingga nilai Pancasila ini sudah disusun pada tujuan
pendidikan nasional dalam UU Sisdikanas no. 20 tahun 2003.
Sudah jelas ditegaskan dalam UU Sisdiknas no. 20 tahun
2003 Bab II (2003:7) mengenai dasar, fungsi, dan tujuan
pendidikan disebutkan sebagai berikut:
1. Pasal 2; pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasr Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pasal 3; Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

4
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Pernyataan tentang tujuan dasar, fungsi, dan tujuan
pendidikan di Indonesia seperti tertuang dalam UU Sisdiknas
tersebut di atas memiliki muatan besar pada aspek sikap, moral,
dan kegaamaan. Ini berarti bahwa pendidikan Indonesia memilki
bobot muatan yang sangat besar pada aspek afektif dan
psikomotorik. Kosekwensi logis penyelenggaraan pendidikan tentu
harus dapat diterima pada setiap sub sitem (kurikulum, metode,
dan evaluasi) dan pelaksana (tenaga kependidikan dan pendidik)
harus berorientasi kepada pembentukan watak dan peradaban
bangsa yang ditandai dengan keimanan, akhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab dalam sikap kehidupan manusia Indonesia sehari-hari.
Agaknya moral sikap keagamaan merupakan tujuan utama dari
proses pendidikan yang dilaksanakan oleh anak bangsa dan
setelahnya aspek pengatahuan atau kognisi. Hal ini tercermin dari
struktur tujuan pendidikan yang diamanat dalam UU Sisdiknas
tersebut.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia memerlukan
banyak sub sistem yang harus dilaksanakan dan dipenuhi sehingga
disebut sistem pendidikan nasional. Sub sistem ini dimulai dari
regulasi, pembiayaan, manajemen, infrastruktur, kurikulum, tenaga
kependidikan, pendidik, dan lain sebagainya sampai di dalamnya
sistem evaluasi pembelajaran (pendidikan) untuk mengukur
tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan yang dirumuskan baik di
dalam kurikulum ataupun di amanatkan dalam UU Sisdiknas

5
sebagaimana dimaksud di atas. Semua sub sistem tersebut pada
prinsipnya memilki peran yang sama pentingnya jika tinjauannya
berorientasi kepada kualitas dan pencapaian tujuan pendidikan.
Oleh sebab itu dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan
pada prinsipnya adalah peningkatan tujuan pendidikan secara utuh
dari semua aspek kemampuan yang harus di dimiliki oleh para
lulusan setelah mengalami proses pendidikan.
Berkaitan dengan sistem evaluasi, Suharsimi Arikunto
(2009:24) mengemukakan beberapa prinsip evaluasi yaitu adanya
triangulasi atau hubungan erat tiga komponen yaitu:
1. Tujuan pembelajaran;
2. Kegiatan pembelajaran, dan
3. evaluasi.
Triangualasi tersebut digambarkan dalam bagan sebagai
berikut:
Tujuan

KBM Evaluasi

a. Hubungan antara Tujuan dengan KBM


Kegiatan belajar mengajar yang dirancang dalam bentuk
rencana mengajar disusun oleh guru dengan mengacu pada
tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian, anak panah
yang menunjukkan hubungan antara keduanya mengarah
kepada tujuan dengan makna bahwa KBM mengacu kepada
tujuan, tetapi juga mengarah dari tujuan ke KBM, menunjukkan
langkah dari tujuan dilanjutkan pemikirannya ke KBM.

6
b. Hubungan antara Tujuan dengan Evaluasi
Evaluasi adalah kegiatan pengumpulan data untuk
mengukur sejauh mana tujuan sudah tercapai. Dengan makna
demikian maka anak panah berasal dari evaluasi menuju ke
tujuan. Di lain sisi jika dilihat dari langkah, dalam menyusun alat
evaluasi mengacu pada tujuan yang sudah dirumuskan.
Sebagai misal, jika kegiatan belajar mengajar dilakukan oleh
guru dengan menitik beratkan pada keterampilan, evaluasi juga
mengukur tingkat keterampilan siswa, bukan hanya aspek
pengetahuan.
Evaluasi terhadap dokumen RPP berdasarkan standar proses,
setiap guru wajib menyusun RPP secara lengkap dan sistematis
agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif,
memotivasi peserta didik utuk berpartisipasi aktif. RPP yang
dievaluasi penulis dibatasi pada KD pada pembelajaran
Pendidikan gama Islam saat diobservasi atau diamati penulis.
Adapun metode pembelajaran, yaitu: 1) Pendekatan
pembelajaran Saintifik learning, 2) Metode pembelajaran:
iskusi, tanya jawab, observasi, 3) Metode pembelajaran project
based learning. etode pembelajaran telah sesuai dengan
standar proses namun masih ada guru yang mencantumkan
metode ceramah sebagai salah satu metode pembelajaran
dalam penyusunan RPP.( Yustiani: 2017)
Kecenderungan dalam praktek sekarang ini adalah
bahwa evaluasi hasil belajar hanya dilakukan dengan tes
tertulis, menekankan aspek pengetahuan saja. Hal-hal yang
berkaitan dengan aspek lain kurang mendapat perhatian dalam
evaluasi. Pemikiran ini sejalan dengan pernyataan Daryanto
(2007:20), ia mengemukakan prisip evaluasi harus mengacu
kepada aspek kepribadian. Di samping sebagai alat penilai
hasil/pencapaian belajar, evaluasi juga perlu diterapkan

7
sebagai upaya perbaikan sikap tingkah laku ditinjau dari segi
pedagogis.

2. Deskripsi Implementasi;
Soedijarto (2008:120) mengatakan berangkat dari
pemahaman tentang karakteristik masyarakat modern dalam
era globalisasi itu, yang perlu kita wujudkan di Indonesia adalah
kemampuan, nilai, dan sikap yang yang perlu dikuasai dan
dimiliki oleh manusia terdidik Indonesia, yaitu:
a. Memilki kemampuan, nilai, dan sikap yang
memungkinkannya berpartisipasi secara aktif dan cerdas
dalam proses politik;
b. Memiliki kemampuan, etos kerja, dan disiplin kerja yang
memungkinkan aktif dan produktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan ekonomi;
c. Memiliki kemampuan dan sikap ilmiah untuk dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
kemampuan penelitian dan pengembangan;
d. Memilki kepribadian yang mantap, berkarakter dan
bermoral, serta berakhlak mulia.
Paling tidak pemahaman yang dapat dipetik dari berbagai
kemungkinan pemikiran dalam pernyataan di atas yaitu
pentingnya pengetahaun yang diimbangi oleh nilai sikap
kepribadian yang mantap, berkarakter dan bermoral, serta
berakhlak mulia. Pemikiran ini sangat berlasan bagi pencapaian
tujuan pendidikan nasional agar terbentuknya manusia
Indonesia yang memiliki sikap moral yang bermartabat
sehingga mencerminkan karakter bangsa yang berakhlak
mulia. Berkaitan dengan nilai kompetensi dan tujuan, Wina
Sanjaya (2009:68) mengemukakan beberapa kompetensi
sebagai tujuan dalam membentuk siswa setelah mengalami

8
proses pembelajaran dan pendidikan, di dalamnya terdapat
beberapa aspek, yaitu: (a) pengetahuan; (b) pemahaman; (c)
kemahiran; (d) nilai; (e) sikap; dan (f) minat.
Dengan tidak mengabaikan aspek lainnya yang
dikemukakan di atas, di ambil beberapa aspek serta penjelasan
yang dikemuakkan oleh Wina Sanjaya sebagai berikut:
a. Nilai (value), yaitu norma-norma yang dianggap baik oleh
setiap individu. Nilai inilah yang selanjutnya akan menuntun
setiap individu dalam melaksnakan tugas-tugasnya.
Misalnya nilai kejujuran, nilai kesederhanaan, nilai
keterbukaan, dan lain sebagainya.
b. Sikap (attitude, yaitu pandangan individu terhadap sesuatu.
Misalnya senang-tidak senang, suka-tidak suka, dan lain
sebagainya. Sikap erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki
individu, artinya mengapa individu bersikap demikian? Itu
artinya disebabkan oleh nilai yang dimilikinya.
c. Minat (interest), yaitu kecenderungan individu untuk
melakukan sesuatu perbuatan. Minat adalah aspek yang
dapat menentukan motivasi seseorang untuk melakukan
sesuatu.
Pendapat yang dikemukakan oleh Wina Sanjaya
dapat dipahami bahwa penialaian kompetensi siswa
berorientasi kepada pentingnya nilai sikap yang merupakan
integrasi dari pengetahuan yang telah dimiliki siswa setelah
mengikuti pengalaman belajar. Kejujuran, kesederhanaan,
keadilan, dan sikap tangung jawab merupakan nilai
kebaikan yang harus dimiliki oleh setiap individu setelah
mengalami proses pmbelajaran atau pendidikan. Oleh
sebab itu alasan yang sangat penting dalam pelaksanaan
evaluasi tentu mengarah kepada penialain secara utuh yang

9
dapat mengukur integritas pengetahuan, sikap, dan
keterampilan sebagai tujuan pendidikan.
Nana Sudjana (2009:4) mengemukakan salah satu
tujuan penilaian adalah mengetahui proses pendidikan dan
pengajaran di sekolah yakni seberapa jauh keefektifannya
mengubah tingkah laku para siswa ke arah tujuan
pendidikan yang diharapkan. Keberhasilan pendidikan dan
pengajaran penting artinya mengingat perenannya sebagai
upaya memanusiakan atau membudayakan manusia, dalam
hal ini siswa agar menjadi manusia yang berkualitas dalam
aspek intelektual, sosial, emosional, moral, dan
keterampilan. Ada ketegasan makna yang dapat diambil
dalam pemikiran Nana Sudjana yaitu bahwa pentingnya
penilaian karena memiliki peranan yang strategis dalam
upaya memanusiakan atau membudayakan manusia. Aspek
intelektual, sosial, emosional, moral, dan keterampilan
menjadi acuan untuk melihat adanya perubahan positif
dalam tingkah laku manusia. Ini merupakan sasaran inti dari
proses belajar mengajar atau pendidikan.
3. Deskripsi Evaluasi

a. Kekuatan
b. Kelemahan
c. Peluang
d. Tantangan
e. Dampaknya
D. Pembahasan
Beberapa tinjauan dan kajian teori yang dikemukakan
menunjukkan sistem evaluasi yang harus dilaksanakan secara
integral. Pemahaman terhadap integrasi pelaksanaan evaluasi
memilki makna bahwa evaluasi diarahkan kepada semua aspek

10
kemampuan yang harus dicapai setelah siswa mengikuti proses
pembelajaran. Adapun aspek-aspek yang diamksud adalah ranah
kognitif, afaektif, dan psikomotorik.

Pelaksanaan evaluasi hendaknya mengukur ketiga ranah


yang disebutkan di atas. Oleh karena itu jika evaluasi dilaksnakan
hanya tertuju pada satu ranah saja maka evaluasi menunjukkan
kelemahan yang nyata. Secara teori ketegasan untuk melakukan
evaluasi secara komprehensi merupakan suatu prinsip yang dapat
memberikan jaminan kepada apakah tujuan pendidikan dan
pembelajaran sudah tercapai secara menyeluruh ataupun tidak.

Bertolak dari pernyataan tentang lemahnya sistem evaluasi


pendidikan nasional dapat ditunjukkan bahwa evaluasi terhadap
hasil belajar hanya mengukur ketercapaian penguasaan bahan
pembelajaran yang sudah disajikan kepada peserta didik. Ini
artinya evaluasi hanya tertuju pada pengukuran aspek kemampuan
kognitif atau pengetahuan saja. Hal ini ditandai dengan
pelaksanaan ujian baik yang dilakukan di sekolah ataupun ujian
yang dilaksanakan secara nasional yang disebut ujian nasional
(UN) hanya menguji kemampuan siswa menjawab pertanyaan atau
soal ujian yang telah disediakan sebelumnya baik oleh sekolah
ataupun disediakan oleh pemerintah yaitu Kemdiknas untuk
sekolah umum dan Kemenag untuk sekolah agama. Indikasi lain
juga ditunjukkan bahwa pentuan kelulusan baik kenaikan kelas
maupun kelulusan siswa dalam menamatkan satu jenjang satuan
pendidikan lebih dominan ditentukan oleh kelulusan siswa dalam
menjawab soal ujian yang diberikan sebelumnya kepada mereka.
Siswa yang dapat menjawab soal mencapai target batas nilai
kelulusan yang ditentukan maka siswa tersebut dinyatakan lulus
untuk satu mata pelajaran tertentu dan seterusnya sampai kepada
kemampuan siswa menyelesaikan soal dengan baik untuk semua

11
mata pelajaran. Kejadian seperti ini dapat dinyatakan lemahnya
sistem evaluasi baik dalam satuan pendidikan ataupun pendidikan
secara nasioanal.

Upaya menyikapi persoalan ini mestinya evaluasi harus


berorientasi kepada penilaian terhadap hasil belajar yang
mencakup semua aspek kemampuan yang harus dicapai siswa
setelah mengikuti pembelajaran atau pendidikan dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang
diamanatkan dalam UU Sisdiknas no. 20 Tahun 2003. Untuk
menentukan kelulusan siswa baik terhadap satu mata pelajaran
ataupun satu jenjang satuan pendidikan hendaknya teruji
kemampuan sikap dan keterampilan yang merupakan perpaduan
dan keseimabangan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Maka
dalam tujuan pendidikan nasional yang menyebutkan untuk
menjadikan manusia Indonesia yang beriman, bertkwa kepada
Tuhan Yang maha Esa, bermoral, bermartabat dan lain sebagainya
pada prinsipnya lebih menyangkut kepada aspek afektif dan
psikomotorik.

Jika disadari dapat dinyatakan ada kerancuan antara


evaluasi yang dilakukan dengan tujuan pendidikan nasional yang
hendak dicapai. Tujuan pendidikan nasional lebih banyak
menekankan kemampuan di bidang kepribadian, sosial emosional
(afektif dan psikomotorik), baru berikutnya aspek kemampuan
pengetahuan (kognitif). Sedangkan pelaksnaan evaluasi hasil
belajar lebih dominan mengukur aspek kemampuan kognitif yang
ditandai dengan pelaksnaan ujian dalam menilai hasil belajar
kemampuan pengetahuan atau pun hapalan atau pemahaman
materi yang sudah diikuti siswa. Akan tetapi penilaian hasil belajar
yang mengacu kepada kemampuan sikap kepribadian yang
ditampilakn siswa dalam berkalak mulia, sosial, keagamaan kurang

12
ditunjukkan dalam penilaian atau evaluasi. Pernyataan ini dapat
dibuktikan hampir semua guru ataupun sekolah tidak melaksnakan
penilaian yang menguji kemampuan kepekaan emosional, moral,
sosial, dan keagamaan belum ditunjukkan secara nyata. Kalupun
ada misalnya ditemukan di buku raport siswa yang memuat aspek
sikap dan keterampilan namun kurang dijalankan secara
proporsional dan sistematis. Kenyataan ini penilaian untuk menguji
kemampuan sikap dan keterampilan penyiapannya tidak
dilaksanakan secara terstruktur dan sistematis sebagaimana
pelaksnaaan ujian untuk menguji aspek kognitif.

Ada suatu hal yang ironis dan kontroversional antara tujuan


pendidikan nasional yang hendak dicapai dengan sitem evaluasi
yang dilakukan dalam ujian nasional. Tujuan pendidikan nasional
dinyatakan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Artinya tujuan pendidikan nasional ini lebih berorientasi
kepada penciptaan manusia yang berkepribadian yang religius.
Pernyataan ini memiliki arti bahwa tujuan pendidikan ini menitik
beratkan pada aspek pembentukan sikap kepribadian yang tinggi
(afeksi). Dari pemahaman ini tentu dapat dinyatakan bahwa salah
satu kurikulum mata pelajaran yang dapat mengantarkan siswa
menjadi manusia yang memiliki kepribadian yang religius tidak lain
adalah mata pelajaran agama. Namun kenyataannya dalam
pelaksanaan sistem evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah
dalam ujian nasional tidak memasukkan mata pelajaran agama ke
dalam komponen mata pelajaran yang diujikan secara nasional
atau tidak masuk ke dalam ujian nasional.

13
Kenyataan ini memungkinkan tidak tercapainya tujuan
pendidikan nasional seperti yang diamanatkan dalam UU
Sisdiknas. Jika hal ini terus berlanjut ini artinya terjadinya
kontroversi antara tujuan yang hendak dicapai dengan evaluasi
yang dilakukan oleh pemerintah. Bagaimana mungkin bisa
diketahui tujuan pendidikan nasional tercapai atau tidaknya jika
evaluasi yang mengukur kepribadian yang religius tidak dilakukan.
Kenyataan ini cukup beralasan dijadikan asumsi mengapa moral
kepribadian siswa bahkan manusia Indonesia yang sudah
mengalami proses pendidikan menunjukkan kepribadian dan moral
bangsa yang masih rendah. Peristiwa ini mudah ditemukan melalui
pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik, terjadinya
tawuran antar pelajar, mahasiswa, masyarakat, bahkan anggota
perwakilan rakyat di parlemen menunjukkan sikap yang tidak
berkepribadian baik.

Kenyataan di atas dapat diberikan upaya agar pencapaian


tujuan pendidikan nasional bisa kelihatan wajahnya apakan sudah
tercapai atau belum tercapai. Untuk mengetahui keadaan tersebut
tentulah secara formal harus memasukkan mata pelajaran agama
dan PKn sebagai bagian mata pelajaran yang diikutsertakan dalam
komponen mata pelajaran yang diujikan secara nasional atau
masuk ke dalam ujian nasional. Pemikiran ini jika ingin mengetahui
apakah tujuan pendidikan nasional bidang moral keagamaan telah
tercapai atau tidak tentulah harus dievaluasi materi mata pelajaran
yang mempelajari moral keagamaan. Tentunya untuk melihat hasil
belajar berkaitan dengan sikap kepribadian tidak bisa disamakan
dengan ujian untuk mengetahui kemampuan intelektual yang
dimiliki siswa. Mestinya ada instrumen khusu yang dapat mengukur
secara cermat dan sistematis perubahan sikap dan prilaku siswa
sebagai manusia yang memiliki kepribadian moral yang baik.

14
Pengamatan dan monitoring secara kontinue mutlak dilakukan oleh
setiap pendidik terhadap perkembangan pola sikap dan prilaku
siswa untuk melihat perubahan prilaku ke arah positif. Daftar
observasi merupakan salah satu alat yang paling tepat digunakan
untuk mengetahui pola sikap prilaku siswa sehari-hari.

Jika penilaian moral kepribadian siswa terintegrasi dalam


penilaian pada aspek sikap dan keterampilan untuk menentukan
keberhasilan siswa dalam belajar maka dimungkinkan tujuan
pendidikan nasional dapat dilihat ketercapaiannya dengan baik.
Barangkali pemikiran inilah dapat dijadikan dasr mengapa moral
bangsa tetap masih merosot? Padahal pendidikan nasional
sekarang secara terstruktur pengaturannya lebih baik dibandingkan
pada tahun-tahun sebelumnya. Ini artinya bahwa hasil
pembelajaran dan pendidikan lebih mengutamakan aspek moral
kepribadian dan keagamaan dibandingkan dengan aspek
pengetahuan. Walaupun kita tidak mungkin dapat menyatakan
bahwa pengetahuan itu tidak lebih baik dari pada aspek moral
kepribadian dan keagamaan. Paling tidak integralisasi semua
aspek hasil belajar dari semua ranah meliputi pengetahuan, sikap,
dan keterampilan harus terpadu dan berimbang.

Selama ini sistem evaluasi yang dilakukan ditingkat sekolah


bahkan sampai kepada evaluasi secara nasional menunjukkan
penilaian yang tertuju kepada penilaian pada aspek pengetahuan
saja. Hal ini diketahui dari rumusan evaluasi yang dirancang dan
dilaksanakan. Evaluasi disekolah banyak menekankan pada aspek
pengetahuan. Sejauh mana siswa dalam penguasaan materi yang
diketahui melalui evaluasi atau penilaian dalam bentuk formatif
ataupun sumatif ini hanya tercermin dari bentuk dan soal ujian yang
disusun oleh guru ataupun sekolah yang kemudian diujikan pada
siswa pada pertengahan semster dan akhir semester. Sedangkan

15
penilaian yang mengacu kepada pencapaian hasil belajar yang
ditunjukkan dengan penilaian sikap kepribadian sangat rendah
dilakukan oleh guru, sekolah, bahkan pemerintah.

Secara formal, evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah


dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan nasional hanya
mengacu kepada aspek kemampuan pengetahuan (kognisi).
Walaupun ada penilaian yang diarahkan kepada aspek afektif dan
psikomotorik, tetapi itu hanya dilakukan untuk memenuhi
perimbangan aspek kognisi saja. Persoalan demikin bisa terjadi
ketidakadilan dalam memberikan evaluasi secara berimbang.
Perlakuan seperti ini memungkinkan sulitnya diketahui moral sikap
kepribadian peserta didik sebagai cerminan moral bangsa dalam
pencapaian tujuan pendidikan nasional. Jika evaluasi tidak
dilakukan secara integral, jangankan pencapaian tujuan pendidikan
nasional secara makro, melainkan juga pencapaian pendidikan dan
pembelajara yang ada ditingkat sekolah kurang bisa didapati. Oleh
sebab itu untuk mengetahui sejauh mana hasil proses belajar
mengajar telah dicapai oleh perserta didik atau anak bangsa
setelah mengenyam pendidikan harus dilakukan evalusi secara
menyeluruh dan integral kepada siswa.

16
BAB II

E. Simpulan dan Rekomendasi


1. Simpulan
2. Beberapa pemikiran dan kajian yang dikemukakan dapat
ditegaskan bahwa untuk mengetahui tercapainya hasil belajar
secara komprehensip mestilah sistem evaluasi dilaksanakan
secara terpadu dan diarahkan kepada semua aspek
kemampuan yaitu pengetahuan (kognisi), sikap moral
kepribadian (afektif), dan keterampilan (psikomotorik).
3. Pencapaian tujuan pendidikan nasional yang mengacu kepada
perubahan sikap moral keagamaan menunjukkan perlunya
evaluasi dilaksanakan terhadap materi-materi pelajaran yang
disajikan dalam kurikulum yang memuat materi moral
keagamaan. Ini berarti mata pelajaran pendidikan agama dan
pendidikan kewarganegaraan mesti diikut sertakan dalam ujian
nasional. Logika ini sangat beralasan karena mengetahui moral
kepribadian peserta didik dari sisi moral keagamaan tentu harus
ada evaluasi secara formal. Namun perlu ditegaskan bahwa
pelaksnaan evaluasi yang mengacu kepada penilaian moral
kepribadian keagamaan tidaklah cukup dilakukan dalam bentuk
ujian tertulis saja, melainkan pengamatan dan monitoring
terhadap prilaku siswa secara kontinue dan komprehensip
mutlak dilakukan untuk mengetahui secara nyata prilaku yang
baik dari aspek moral keagamaan.

4. Rekomendasi
Upaya mencapai tujuan pendidikan nasional secara
efektif, maka disarankan kepada:

17
1. Pemerintah; mengatur sistem evaluasi pendidikan secara
nasional yang berorientasi pada pencapaian semua aspek
kemampuan dalam pendidikan yaitu aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
2. Sekolah; melaksanakan sistem evaluasi pendidikan yang
diatur oleh pemerintah secara berkesinambuangan dan
terintegrasi.
3. Guru; merupakan ujung tombak pelaksanaan pembelajaran/
pendidikan di sekolah mutlak sebagai aktor pelaksana dan
penilai keberhasilan pembelajaran/pendidikan anak di
sekolah selalu mengintegrasikan hasil-hasil pembelajaran
yang diperoleh siswa secara komprehensip.

F. Daftar Pustaka

Anonim. Undang-Undang Republik Indonesi No. 20 tentang


Sisdiknas, (Bandung: Citra Umbara, 2003)

Anonim, Peraturan Pemerintah RI no. 19 tahun 2005 tentang


Standar Nasional Pendidikan, (Bandung: Citra Umbara,
2010)

Asep Jihad dkk. Evaluasi Pembelajaran, (Jogjakarta: Multi Press,


2010)

Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rinneka Cipta, 2007)

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung:


Remaja Rosda Karya, 2009)

Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta:


PT. Kompas Media Nusantara, 2008)

Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta:


Bumi Aksara, 2009)

Wina sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses


Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2009)

18
Fauzan dkk,l Analisis Kurikulum Pendidikan Agama Islam di
Indonesia dan Thailand, ( Jurnal: 2019)

Yustiani, EvaluasiI Pembelajaran Pendidikan Agama Islamdi SMA


NEGERI 3 Surakarta Jawa Tengah ( Jurnal: 2017)

19

Anda mungkin juga menyukai