Anda di halaman 1dari 8

WORKSHEETS (LEMBAR KERJA)

MATA KULIAH Kegawatdaruratan dalam Kebidanan


MATERI Kegawatdaruratan dalam kehamilan, bersalin,
dan Nifas
NAMA ANGGI YULIANT AVRIGIA
NIM/KELAS 1610104057/A4

N Keterangan Pembahasan
O
1 Judul Kasus Jurnal Faktor-Faktor Risiko Kejadian Abortus di RS SMC
Samarinda Tahun 2016
2 Latar belakang World Health Organization (WHO) melaporkan
terdapat 210 kematian wanita tiap 100.000 kelahiran hidup
akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di tahun 2013.
Sedangkan jumlah total kematian wanita di tahun 2013
adalah sebesar 289.000 kematian. Jumlah ini telah
menurun sebesar 45% bila dibandingkan tahun 1993
dimana Maternal Mortality Ratio (MMR) pada tahun
tersebut sebesar 380 dan jumlah kematian wanita sebesar
523.000. Negara berkembang memiliki jumlah MMR
empat belas kali lebih tinggi dibandingkan negara maju
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan barometer
pelayanan kesehatan ibu di suatu Negara. Bila AKI masih
tinggi berarti pelayanan kesehatan ibu belum baik.
Sebaliknya bila AKI rendah berarti pelayanan kesehatan
ibu sudah baik.2 Berdasarkan survey terakhir tahun 2012
yang dilakukan oleh Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI), AKI menunjukkan kenaikan dari 228 di
tahun 2007 menjadi 359 kematan ibu per 100.000
kelahiran hidup di tahun 2015. Hal ini menarik untuk
diangkat sebagai masalah karena di wilayah Kalimantan
Selatan kasus abortus di Kalimantan masih tinggi.
3 Tinjauan Teori A. Pengertian
Menurut Dorland (2012) abortus adalah janin
yang dikeluarkan dengan berat kurang dari 500 gram
atau memiliki usia gestasional kurang dari 20 minggu
pada waktu dikeluarkan dari uterus sehingga tidak
memiliki angka harapan untuk hidup.
B. Patofisiologi
Pada permulaan abortus terjadi perdarahan
dalam desidua basalis diikuti oleh nekrosis jaringan
di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil
konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga
merupakan bagian benda asing dalam uterus.
Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk
mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang dari 8
minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena villi koriales belum menembus
desidua secara mendalam.
C. Klasifikasi Abortus
Menurut terjadinya, Prawirohardjo (2008) membagi
abortus menjadi tiga jenis yaitu:
1. Abortus provokatus
2. Abortus Terapeutik
3. Abortus Spontan
D. Etiologi
Penyebab abortus merupakan gabungan dari
beberapa faktor. Umumnya abortus didahului oleh
kematian janin. Menurut Sastrawinata, dkk (2005)
penyebab abortus antara lain:
1. Faktor janin
2. Faktor maternal
3. Faktor psikosomatik
4. Faktor eksternal
5. Faktor resiko

4 Asuhan Kebidanan DIAGNOSA DAN PENANGANAN


1. Abortus Imminens
Diagnosis : Terjadi perdarahan melalui ostium uteri
eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama sekali,
uterus membesar sebesar usia kehamilan, serviks belum
terbuka, dan tes kehamilan positif.
Penanganan
a. Istirahat – berbaring
b. Tentang pemberian hormone progesterone pada
abortus immines belum ada persesuaian faham.
Sebagian besar ahli tidak menyetujuinya, dan
mereka yang menyetujuinya menyatakan bahwa
harus ditentukan dahulu adanya kekurangan
hormon progesterone. Apa bila difikirkan bahwa
sebagian besar abortus didahului oleh kematian
hasil konsepsidan kematian ini dapat disebabkan
oleh banyak faktor, maka pemberian hormon
progesteron memang tidak banyak manfaatnya.
c. Pemeriksaan ultrasonografi pening dilakukan
untuk menentukan apakah janin masih hidup.
2. Abortus Insipiens
Diagnosis : Terjadi perdarahan disertai rasa mules
yang sering dan kuat, dan terjadi dilatasi serviks yang
meningkat.
Penanganan : Proses abortus dipercepat dengan
pemberian infuse oksitosin. Apabila janin sudah keluar
tetapi plasenta masih tertinggal, sebaiknya pengeluaran
plasenta dikerjakan secara digital yang dapat disusul
dengan kerokan bila masih ada sisa plasenta yang
tertinggal.
3. Abortus Inkompleus
Diagnosis : Pada pemeriksaan vaginal, kanalis
servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam
kavum uteri atau kadang – kadang sudah menonjol dari
ostum uteri eksternum dan perdarahan biasanya banyak
sekali.
Penanganan : Apabila disertai syok karena perdarahan,
segera diberikan infuse cairan naci fisiologik atau cairan
ringer yang disusul dengan transfuse, kemudian
dilakukan curetase. Pasca tindakan disuntikkan
intramuskulus eigometri untuk dipertahankan kontraksi
otot uterus.
4. Abortus Kompletus
Diagnosis : Hasil konsepsi dapat diperiksa dan dapat
dinyatakan bahwa semua hasil konsepsi sudah keluar
dengan lengkap.
Penanganan : Tidak memerlukan pengobatan khusus,
hanya apabila menderita anemia perlu diberi sulfas
ferrosus atau transfuse.
5. Abortus Servikalis
Diagnosis : Ditemukan serviks membesar dan diatas
ostium uteri eksternum teraba jaringan.
Penanganan : Terapi terdiri atas dilatasi serviks dengan
busi hegar dan curetase untuk mengeluarkan hasil
konsepsi dari kanalis servikalis.
6. Missed Abortion
Diagnosis : Biasanya didahului dengan aborus
imminens yang kemudian menghilang secara spontan
atau setelah pengobatan. Gejala subyekif, kehamilan
menghilang, mammae agak mengendur, uterus tidak
membesar lagi malah mengecil, tes kehamilan menjadi
negative, kadang – kadang disertai dengan gangguan
pembekuan darah.
Penanganan : Mengeluarkan hasil konsepsi, pada
uterus yang besarnya tidak melebihi 12 minggu
sebaiknya dilakukan pembukaan serviks uteri dengan
memasukkan laminaria selama kira – kira 12 jam
dengan kanalis servikalis, yang kemudian dapat
diperbesar dengan busi hegar sampai cunam ovum atau
jari dapat masuk ke dalam catum uteri.
Jika kebesaran uterus melebihi 12 minggu, maka
pengeluaran hasil konsepsi yang diusahakan dengan
infus intravena oksitoksin dosis cukup tinggi. Dosis
oksitoksin dapat dimulai dengan 12 tetes/menit dari
cairan 500 ml glucose 5 % dengan 10 satuan oksitoksin,
dosis ini dapat dinaikan sampai ada kontraksi.
7. Abortus Habitualis
Diagnosis : Terdapat pembukaan serviks tanpa disertai
rasa mules, ketuban menonjol, dan pada suatu saat
pecah kemudian timbul mules diikui pngeluaran janin
yang biasanya masih hidup dan normal, biasanya
pengeluaran vaginal juga dapat berupa lendir.
Penanganan : Memperbaiki keadaan umum ibu,
pemberian makan yang sempurna, anjurkan untuk
istirahat yang cukup, larangan coitus dan olahraga.
Terapi dengan hormon progesterone, vitamin, hormone
thyroid.
8. Abortus Infeksiosus
Diagnosis : Adanya abortus yang disertai gejala
dan tanda infeksi alat genital, seperti panas, takikardia,
perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang
membesar, lembek, nyeri tekan dan leukositosis.
Penanganan : Bila mengalami banyak
perdarahan diberikan infus dan transfusi darah. Pasien
diberikan antibiotika (pilihan).
a. Gentamycin 3 x 80 mg dan penicillin 4 x 1,2 juta
b. Chioromycetin 4 x 500 mg
c. Cephalosporin 3 x 1 gr
d. Sulbenicillin 3 x 1-2 gr
Kuretase dilakukan dalam 6 jam dan pemberian
antibiotika diteruskan sampai febris tidak ada lagi
selama 2 hari.
9. Abortus septik
Diagnosis : Penderita tampak sakit berat, kadang
menggigil, demam tinggi, tekanan darah menurun.
Penanganan : Diberikan antibiotika dalam dosis yang
lebih tinggi, diberikan suntikan sulbenicillin 3 x 2 gr.
5 Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara usia ibu, paritas, dan riwayat abortus
sebelumnya dengan kejadian abortus. Berdasarkan
hasil analisis dan pengujian statistik maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Usia dengan kejadian abortus tidak menunjukkan
hubungan yang bermakna dengan nilai p = 0,265
dengan signifikansi 0,05. Kelompok Ibu hamil
dengan usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari
35 tahun tidak mempunyai kecenderungan untuk
mengalami kejadian abortus.
2. Paritas dengan kejadian abortus menunjukkan
hubungan yang bermakna dengan nilai p = 0,001
dengan signifikansi 0,05. Kelompok ibu hamil
dengan paritas primipara dan multigrande lebih
memiliki kecenderungan untuk mengalami
kejadian abortus dibandingkan dengan multipara.
3. Riwayat abortus dengan kejadian abortus
menunjukkan hubungan yang bermakna dengan
nilai p = 0,009 dengan signifikansi 0,05.
Kelompok ibu hamil yang mempunyai riwayat
abortus sebelumnya mempunyai kecenderungan
untuk mengalami abortus.
B. Saran
Dengan melihat hasil dan kesimpulan terhadap faktor
risiko ibu hamil yang berkaitan dengan kejadian
abortus, penulis menyarankan:
1. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan untuk
meneliti kelainan menetap pada ibu yang
mempengaruhi kejadian abortus sehingga dapat
menurunkan angka kejadian abortus dan meneliti
beberapa variabel lain yang belum terdapat pada
penelitian ini untuk mendapatkan informasi
lebih dalam mengenai faktor-faktor risiko
kejadian abortus.
2. Untuk masyarakat diharapkan dapat berperan
serta dalam upaya penurunan kejadian abortus
dengan ikut serta dalam program keluarga
berencana, sehingga waktu untuk hamil dan
jumlah anak dapat direncanakan dengan baik.

6 Daftar Pustaka Kebidanan J, Mahakam M, Iv V. Jurnal kebidanan mutiara


mahakam volume iv, nomor 2, september 2016.
2016;IV(September):31-40.

Anda mungkin juga menyukai