Document 1
Document 1
Nur
tirto.id - 22 Jan 2024 11:43 WIB Memasuki sesi tanya jawab dan saling tanggap, silat lidah makin panas usai Gibran mulai
melakukan sentilan provokatif ke Cak Imin dan Mahfud. tirto.id - Debat keempat Pilpres 2024 yang dilakoni para calon wakil
presiden (cawapres) diwarnai saling serang gagasan dan strategi provokatif. Debat yang digelar di Jakarta Convention Center,
Minggu (21/1/2024) malam, mengangkat tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi,
pangan, agraria, masyarakat adat dan desa.
Sejumlah isu seperti dampak aktivitas bisnis pada lingkungan, konflik agraria, pemenuhan hak
masyarakat adat, kesejahteraan petani, hingga tambang ilegal disinggung dalam debat. Dalam
segmen awal debat, ketiga cawapres masih tampak fokus mengangkat persoalan dan tawaran
gagasan yang ingin dihadirkan. Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin,
dalam penyampaian visi-misi, menyoroti pemerintah saat ini yang masih abai terhadap nelayan
dan petani. Dia juga menilai krisis iklim sudah terjadi di mana-mana dan menimbulkan bencana
ekologi. Cak Imin juga mengkritik tawaran pemerintah saat ini atas masalah tersebut, seperti
rencana pembangunan Giant Sea Wall dan anggaran krisis iklim yang dinilai rendah.
“Negara harus serius mengatasinya tidak hanya mengandalkan proyek Giant Sea Wall yang
tidak mengatasi masalahnya. Kita harus sadar bahwa krisis iklim kenyataan krisis iklim harus
dimulai dengan etika, sekali lagi etika, etika lingkungan,” kata Cak Imin. Sementara cawapres
nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, menyatakan cadangan nikel Indonesia terbesar di
dunia, sementara timah urutan terbesar kedua. Oleh karena itu, kata dia, program hilirisasi
pemerintah saat ini harus dilanjutkan dan diperluas. Seperti hilirisasi pertanian, sektor maritim,
dan hilirisasi digital. Lebih lanjut, Gibran menyebut Indonesia tidak boleh lagi mengirim barang
mentah.
Dia juga bicara soal transisi penggunaan bahan bakar fosil menuju energi hijau seperti bioavtur,
biodiesel, dan bioetanol. “Jika agenda hilirisasi, pemerataan pembangunan, transisi menuju
energi hijau, ekonomi kreatif, UMKM, bisa kita kawal. Insyaallah akan terbuka 19 juta lapangan
pekerjaan untuk generasi muda dan kaum perempuan,” ujar Gibran dalam pemaparan visi-misi.
Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, menyoroti sumber daya alam Indonesia yang kaya, namun
kesejahteraan petani memprihatinkan serta pangan yang belum berdaulat.
Dia juga menilai kerusakan lingkungan sudah terjadi akibat ulah-ulah investor dan terjadi
sengketa sumber daya alam di level rakyat dan pemerintah. “Investor masuk, industrialisasi
terjadi, lingkungan rusak, rakyat menderita, kemudian sumber daya alam menjadi sumber
sengketa di antara rakyat dengan rakyat, antara pemerintah dengan pemerintah,” tutur Mahfud.
Solusi yang Ditawarkan Belum Konkret Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia,
Khalisah Khalid, menyayangkan belum adanya komitmen yang jelas dan terukur dari ketiga
cawapres dalam melakukan adaptasi dan mitigasi krisis iklim. Komitmen ketiga cawapres soal
transisi energi untuk menekan emisi karbon juga dinilai hanya berisi solusi-solusi palsu.
“Demikian juga dengan deforestasi, tidak ada target nol deforestasi dari ketiganya. Hilirisasi
justru semakin memicu deforestasi dan pencemaran lingkungan hidup,” kata Khalisah kepada
reporter Tirto, Senin (22/1/2024). Lebih lanjut, perspektif pembahasan ketiga cawapres masih
bias darat. Padahal, Indonesia merupakan negara maritim yang masih memiliki masalah ancaman
bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. “Belum lagi ditambah dengan gempuran industri
ekstraktif yang mengakibatkan laut tercemar,” ujar Khalisah.
Gagasan ingin melindungi masyarakat adat juga terkesan kecap belaka karena ruang hidup dan
wilayah adat masih terancam dengan regulasi saat ini. Janji menyelesaikan RUU Masyarakat
Adat dan melindungi mereka hanya sebatas retorika. “Mereka bilang mau melindungi
masyarakat adat, mau melindungi lingkungan, tetapi tidak berani statement untuk mencabut UU
problematik seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU Minerba yang justru mengancam
ruang hidup masyarakat adat dan akan memperparah krisis iklim,” tegas Khalisah.
Sementara itu, Kepala Departemen Kampanye dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),
Benny Wijaya, menyatakan secara garis besar Cak Imin dan Mahfud MD terlihat lebih
menguasai dan memahami isu reforma agraria dan masyarakat adat dalam debat. Catatan kritis
perlu diberikan kepada Gibran, kata dia, karena akan melanjutkan food estate dan melaksanakan
reforma agraria melalui bank tanah. “Sejak Orde Baru, food estate telah banyak mengalami
kegagalan. Selain itu, food estate menambah eskalasi konflik agraria akibat menarget tanah-tanah
petani,” kata Benny kepada reporter Tirto. Soal Bank Tanah, Benny menilai metode redistribusi
tanah merupakan sesat pikir dalam menjalankan reforma agraria. Sebab secara spirit, Bank Tanah
adalah pengadaan tanah untuk investasi. Sementara reforma agraria adalah upaya untuk menata
kembali penguasaan, pemanfaatan, penggunaan dan pemilikan tanah melalui penyelesaian
konflik agraria.
“Dan perombakan ketimpangan penguasaan tanah agar lebih berkeadilan,” jelas dia. Debat tadi
malam, kata Benny, masih belum menempatkan reforma agraria sebagai pondasi pembangunan
nasional di bidang agraria. Reforma agraria tidak hanya membutuhkan narasi dalam Visi-Misi,
namun membutuhkan keberanian dan komitmen politik yang kuat untuk menjalankannya. Benny
menambahkan, pekerjaan rumah besar reforma agraria adalah mengatasi ketimpangan struktur
agraria melalui jalan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah kepada rakyat. Sehingga,
dapat terjadi transformasi sosial di pedesaan.
“Dengan begitu, akan terjalin relasi baru antara pertanian, perikanan, perkebunan rakyat, dengan
industri yang saling menyokong dan relasi desa-kota yang semakin menguatkan,” tutur dia.