Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKAN

2.1 Mikroalga
Mikroalga pada umumnya merupakan tumbuhan renik berukuran
mikroskopik (diameter antara 3-30 μm) yang termasuk dalam kelas alga dan hidup
sebagai koloni maupun sel tunggal di seluruh perairan tawar maupun laut.
Morfologi mikroalga berbentuk uniseluler atau multiseluler tetapi belum ada
pembagian fungsi organ yang jelas pada sel-sel komponennya. Hal itulah yang
membedakan mikroalga dari tumbuhan tingkat tinggi (Romimuhtarto, 2004 dalam
Amini, 2010).
Menurut Amini 2019 menyatakan bahwa penyebaran habitat mikroalga
biasanya di air tawar (limpoplankton) dan air laut (haloplankton). Berdasarkan
distribusi vertikal di perairan, mikroalga dikelompokkan menjadi tiga yaitu hidup
di zona euphotik (ephiplankton), hidup di zona disphotik (mesoplankton), hidup di
zona aphotik (bathyplankton) dan yang hidup di dasar perairan/ bentik
(hypoplankton) 3dalam kondisi yang optimal (Metzger, 2005 dalam Cheng, 2013).
Keragaman mikroalga di dunia diperkirakan berada dalam kisaran jutaan
species,sebagian besar belum dikenali dan belum bisa dikultivasi (dibiakkan
sendiri). Diperkirakan 200,000-800,000 spesies hidup di alam, 35,000 spesies
dapat dikenali, dan 15,000 komponen kimia penyusun biomas nya telah diketahui
(Hadiyanto, et al. 2012).
Mikroalga memiliki efisiensi pertumbuhan yang lebih tinggi dengan
intensitas penerimaan cahaya yang normal tidak lebih dari sekitar 100 μE / (m2s),
sedangkan pada daerah tropis dengan intensitas cahaya yang lebih tinggi dapat
menunjukkan nilai hingga 2000 μE / (m2s). Bila dibandingkan dengan yang lain
tanaman yang lebih tinggi, mikroalga dapat menunjukkan nilai produktivitas
yang lebih tinggi (Hadiyanto, et al. 2012).

2.2 Faktor Pembatas Pertumbuhan Mikroalga


Faktor pertumbuhan mikroalga mempengaruhi hasil biomassa, maupun jenis
produk yang diinginkan. Terkadang biomassa yang sedikit menghasilkan produk
yang diinginkan dalam jumlah banyak, untuk itu diperukan optimasi komposisi
yang seimbang antara banyaknya biomassa dan banyaknya produk dalam
biomassa mikroalga. Beberapa faktor pertumbuhan mikroalga yang dapat
menaikkan laju pertumbuhan biomass di antaranya
1. Cahaya
cahaya menjadi faktor penting dalam pertumbuhan mikroalga karena
dibutuhkan dalam proses fotosintesis. Intensitas cahaya sering disebutkan
dalam satuan microEinsteins/m2s atau setara dengan satu mol photons.
Beberapa satuan lain seperti micromol/ m2s, Lux dan W/m2 juga digunakan
(Hadiyanto, 2012). Cahaya sangat berperan penting dalam aktivitas
fotosintesis. Aktivitas fotosintesis akan naik seiring dengan kenaikan
intensitas cahaya yang ada. Hal ini menjadi sangat penting apabila mikroalga
akan dibiakkan dalam kedalaman tertentu, semakin dalam medium biakan
mikroalga, makan intensitas cahaya yang dibutuhkan juga akan semakin
tinggi (Jeon ,2005).
Sebagian besar mikroalga yang dibiakan dalam suatu medium tidak dapat
tumbuh dengan baik dalam keadaan pencahayaan yang sangat konstan, oleh
sebab itu dalam pengkulturan mikroalga sangat membutuhkan waktu
instirahat dari penyinaran untuk menyimpan makanan. Terkadang dalam
mengatsi hal tersebut dapat dilakukan dengan memanipulasi durasi
pencahayaan light-dark (L/D) antara lain 16:8, 14:10 atau 12:12 waktu
pencahayaan (Haryanto, 2012)
2. Temperatur
Temperatur menjadi salah satu parameter pertumbuhan dari mikroalgae
yang cukup penting karena didasarkan pada tempat tumbuhnya, baik dalam
iklim tropis maupun sub tropis. Sebagian besar algae dapat tumbuh pada
kisaran suhu antara 15 sampai 400 C. pada beberapa mikroalga dapat tumbuh
dengan subur pada kondisi suhu kisaran 24-260 C. Pada suhu di bawah 160 C,
mikroalga masih dapat tumbuh naun dalam keadaan sangat lambat. Namun
pada suhu di atas 350 C, beberapa mikroalga dapat mati atau lysis (pemecahan
dinding sel) (Haryanto. et al, 2012).
Lannan (2011) menunjukkan bahwa dengan meningkatkan suhu di pagi
hari memungkinkan ganggang tumbuh lebih cepat
3. Nutrien
Nutrien merupakan salah satu faktor yang penting dalam produksi
biomass alga. Sebagian besar mikroalga akan membutuhkan makronutrien
seperti karbon, (C), nitrogen (N), hidrogen (H), sulfur (S), kalium (K),
magnesium (Mg), dan fosfor (P) Sedangkan mikronutrient digunakan untuk
meningkatkan pertumbuhan sel dan metabolisme. Keberadaan mikronutrien
tidak bisa diganti oleh zat lain. Kebutuhan mikronutrien juga berbeda-beda
dan didasarkan pada habitat dari mikroalga (air laut, payau, tawar). Beberapa
unsur mikronutrien di antaranya, zat besi (Fe), boron (B), mangan (Mn),
vanadium (Va), silikon (Si), selenium (Se), cuprum (Cu), nikel (Ni), dan
molybdinum (Mo) (Haryanto, 2012).
4. Oksigen
Oksigen menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
algae. Oksigen dapat dihasilkan dari reaksi fotosintesis algae. Kandungan
oksigen terlarut dalam dalam media air yang semakin tinggi dapat
membahayakan proses fotosintesis dan dapat menghambat pertumbuhan serta
dapat merusak dinding sel algae (Lannan, 2011).
5. Karbon dioskida
Karbon dioksida digunakan mikroalgae untukdapat melakukan proses
fotosintetis layaknya jjenis tumbuhan berklorofil lainnya. Ugwu et al (2008)
dalam lannan (2011) telah melakukan penelitian tentang transfer massa CO2
pada medium mempengaruhi laju pertumbuhan mikroalgae. apabila kadar
CO2 dalam medium sangat tingggi maka akan dapat mempengaruhi pH.
Kong et al (2010) dalam Lannan (2011) juga telah melakukan penelitian
tersebut dan mendapatkan hasil bahwa semakin tinggi kadar CO2 yang ada
didalam media diatas 33% dari komposisi udara normal, laju pertumbuhan
mikroalgae akan terhambat.
7. pH
Sebagian besar algae tumbuh pada kondisi pH normal antara 6 sampai 8.
namun pada beberapa jenis alga cyanobacteria seperi Spirulina platensis
hanya dapat tumbuh pada kondisi lingkungan alkali/basa dengan pH > 7,
sedangkan pada jenis alga Chlorella sp. secara umum dapat bertahan hidup
dalam kondisi lingkungna dengan pH 7-8 (Haryanto, 2012).
8. Salinitas
Salinitas sangat berpengaruh dalam tekanan osmosis dan mekanisme
osmoregulasi pada algae yang secara langsung mempengaruhi proses
metabolisme, proses respirasi serta menghambat perkembangbiakkan dan
pertumbuhan sel vegetatif sehingga akan mempengaruhi kepadatan sel
populasi mikroalga ataupun ukuran dari algae (Rao, 2007).
2.3 Botryococcus braunii
Botryococcus braunii merupakan tanaman sel tunggal berwarna hijau, banyak
dijumpai di perairan danau, tambak ataupun perairan payau sampai laut.
Kandungan klorofil (zat hijau daun) B. braunii mencapai ±1,5–2,8%, terdiri dari
klorofil a, b, dan c, sehingga di permukaan perairan tampak berwarna hijau-coklat
kekuningan B. braunii memiliki inti sel dengan ukuran ±15–20 μm dan berkoloni,
bersifat non motil dan setiap pergerakannya sangat dipengaruhi oleh arus perairan
(Amini, 2010).
Botryococcus braunii akan memebentuk suatu kolonial yang bewarna hijau
degan kemampuan biosintesis cair-hidrokarbon yang unik. Sel-sel Botryococcus
braunii koloni disatukan selaput ekstraseluler matriks yang tersusun dari polimer-
polimer aldehida asam lemak rantai panjang. Meskipun zat hidrokarbon pada
Botryococcus braunii pada selaput intraseluler, namun sebagian besar hidrokarbon
cair disimpan di dalamnya matriks ekstraseluler (Weiss, 2010).

Gambar 1. Botryococcus braunii


Koloni Botryococcus braunii dapat menghasilkan kandungan hidrokarbon
yang sangat tinggi. Botryococcus braunii dapat tumbuh dalam berbagai media yang
mengandung cukup unsur hara makro seperti N, P, K dan unsur mikro lainnya
dalam jumlah relatif sedikit yaitu besi (Fe), tembaga (Cu), mangan (Mn), seng
(Zn), silicon (Si), boron (B), molibdenum (Mo), vanadium (V), dan kobalt
(Manahan, 1984 dalam Amini, 2010).
Menurut Susilowati (2009), B. braunii dapat tumbuh pada kisaran kadar
garam 0–25 ppt dan tumbuh subur pada 10 ppt. Dalam penelitian lebih lanjut
dikemukakan bahwa kelimpahan dan laju pertumbuhan B. braunii tertinggi terjadi
pada salinitas 5 ppt yaitu dengan kelimpahan 6,9 log sel/mL dan laju pertumbuhan
1,9/hari.

2.4 Kandungan minyak Botryococcus braunii


Botryococcus braunii mengandung hidrokarbon C17-C34 dalam jumlah yang
cukup dan berpotensi sebagai BBM yang terbarukan. Alga tersebut mempunyai
kemampuan untuk mengubah sebagian hasil fotosintesanya menjadi hidrokarbon
C34H58 yang dinamai botryococcene. Dalam kondisi pertumbuhan eksponensial,
Botryococcus menghasilkan 20% hidrokarbon C27 dan C31 Bila dibiarkan
sampai fase pertumbuhan stasioner, kandungan hidrokarbon Botryococcus
meningkat menjadi 90 % dan rantai karbon menjadi lebih panjang, yaitu C35-
(botryococcene dan cis-botryococcene) (Panngabean, 1998).
Kandungan dari lipid Botryococcus braunii selain senyawa hidrokarbon
botryococene juga megandung, senyawa alkadiene, dan alkatrien. Minyak dari
Botryococcu braunii juga mengandung trigliserida asam lemak yang bukan
termasuk kedalam minyak nabati (Sengul, 2018).
Jenis Komponen Prresentase (%)
Isobotryococcene 4
Botryococcene 9
C34H58 11
C36H62 34
C36H62 4
C37H64 20
Other hydrocarbons 18
(Hillen, 1982)
2.5 Potensi Botryococcus braunii sebagai bahan baku energi alternatif
biofeul
B. braunii adalah mikroalga planktonik berbentuk piriform berwarna hijau,
dengan koloni yang tumbuh membentuk suatu cluster dan dapat ditemukan di
danau dan muara sungai beriklim atau tropis serta tersebar luas di perairan tawar
dan danau payau, waduk ataupun kolam. Strain B. braunii dapat tumuh pada
semua iklim kecuali pada daerah Antartik (Tasic, 2016).
Botryococcus braunii akan membentuk koloni yang disatukan oleh lipid
dengan kandungan lipid dalam bentuk hidrokarbon yang dapat dikonversikan
sebagai bahan baku utama untuk biofuel (Berberoglu, 2009).
Di antara berbagai mikro dan spesies ganggang makro, B. braunii telah
diidentifikasi sebagai yang paling banyak menjanjikan untuk produksi biofuel,
karena lipidnya yang sangat baik kemampuan produksi (konten hingga 65% dari
berat kering), Meskipun B.braunii kenal dengann jumlah hidrokarbon yang tinggi
dan eter lipid, kandungan lipid jenuh dan tak jenuh tunggal yang tinggi
membuatnya cocok untuk dijadikan bahan baku untuk biodiesel (Tasic, 2016).
Sekresi lipid yang dilakukan oleh Botryococcus braunii pada membran
ekstraseluler dari membran sel dimulai pada plastid yang mulai memanjang
kedalam bagian retikulum endoplasma. Selanjutnya lipid akan ditransfer melalui
badan Golgi dan kemudian akan dikeluarkan ke permukaan sel. Lipid akan
terlihatdi bagian permukaan sel. Komposisi penyususn lipid dari Botryococcus
braunii sangat bervariasi sesuai dengan strain, kondisi pertumbuhan dan penuaan
sel yang ada (Tasic, 2016).
Selain itu Botryococcus memiliki profil asam lemak utama seperti asam oleat
(C18: 1, 54,9%), asam palmitat (C16: 0, 12.2%), asam linolenat (C18: 3, 5.5%),
asam stearat (C18: 0, 3,9%) dan asam linoleat (C18: 2, 5,5%), asam lemak ini
dapat digunakan untuk bahan baku biodiesel (Ermavitalini, 2017).
Botryococcus menghasilkan minyak yang memiliki struktur kimia yang
sangat berbeda dari minyak lainnya dan tidak memiliki atom oksigen bebas.
Miyak hasil ekstraksi dapatdigunakan sebagai bahan baku hydrocracking untuk
membuat minyak tanah, minyak biodiesel, dan oktan (bensin) (Sengul,, 2018).

Anda mungkin juga menyukai