Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/264048884

PEMANFAATAN NANOTEKNOLOGI DALAM PENGEMBANGAN PUPUK DAN


PESTISIDA ORGANIK

Chapter · January 2014

CITATIONS READS

2 53,755

2 authors, including:

Mutiara Widawati
National Research and Innovation Agency (BRIN)
48 PUBLICATIONS 299 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Mutiara Widawati on 21 July 2014.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PEMANFAATAN NANOTEKNOLOGI
DALAM PENGEMBANGAN PUPUK DAN PESTISIDA ORGANIK

Firda Yanuar dan Mutiara Widawati


Loka Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang Ciamis, Litbang Kesehatan

ABSTRAK
Perkembangan teknologi dan pemanfaatannya tidak bisa dipungkiri terkait erat
dengan peningkatan daya saing industri suatu negara. Peningkatan pengetahuan dan
penguasaan terhadap teknologi baru sangat dibutuhkan untuk memenangkan persaingan di
era perdagangan global baik oleh pemerintah maupun industri. Salah satu contoh teknologi
yang sedang hangat diperbincangkan adalah nanoteknologi. Pemanfaatan nano teknologi
sudah dikenal baik diantaranya di bidang kesehatan, industri kosmetik dan pertanian. Pada
dasarnya prinsip penemuan nanoteknologi adalah untuk memaksimalkan hasil atau produksi
tanaman dengan meminimalkan penggunaan pupuk, pestisida dan kebutuhan lainnya dengan
melakukan monitoring kondisi tanah seperti perakaran dan mengaplikasikannya langsung ke
target sehingga tidak ada yang terbuang. Untuk pestisida, jika hal ini diterapkan akan dapat
meminimalisir penggunaan pestisida pada tanaman karena hanya serangga target saja yang
terkena dampaknya. Penggunaan teknologi nano pada pupuk akan memungkinkan pelepasan
nutrisi yang terkandung pada pupuk dapat dikontrol. Jadi hanya nutrisi yang benar-benar
akan diserap oleh tanaman saja yang dilepaskan, sehingga tidak terjadi kehilangan nutrisi ada
target yang tidak dikehendaki seperti tanah, air dan mikroorganisme. Pada pupuk nano,
nutrisi dapat berupa enkapsulasi nanomaterial, pelapisan oleh lapisan pelindung yang tipis
atau dilepaskan dalam bentuk emulsi dari nanopartikel.

Kata kunci : nano teknologi, pupuk, pestisida

Pendahuluan
Perkembangan teknologi dan pemanfaatannya tidak bisa dipungkiri terkait erat
dengan peningkatan daya saing industri suatu negara. Peningkatan pengetahuan dan
penguasaan terhadap teknologi baru sangat dibutuhkan untuk memenangkan persaingan di
era perdagangan global baik oleh pemerintah maupun industri. Salah satu contoh teknologi
yang sedang hangat diperbincangkan adalah nanoteknologi. Pemanfaatan nano teknologi
sudah dikenal baik diantaranya di bidang kesehatan, industri kosmetik dan pertanian.
Berdasarkan asal katanya , “nano” itu sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti
sesuatu yang sangat kecil (dwarf) atau satu per satu milyar (10 -9). Teknologi nano dapat
didefinisikan sebagai sebuah ilmu yang berhubungan dengan benda-benda yang berukuran 1
hingga 100 nm, memiliki sifat yang berbeda dari bahan asalnya dan memiliki kemampuan
untuk mengontrol atau memanipulasi dalam skala atom (Kuzma and Verhage, 2006).
Geliat perkembangan teknologi nano banyak berkontribusi pada pengembangan
material-material baru yang lebih kecil dan lebih detil. Di bidang kesehatan, teknologi ini
diarahkan pada pengembangan virus yang difungsikan sebagai nanokamera untuk melihat
dan mempelajari rangkaian kehidupan sel dan mekanisme kerja virus itu sendiri. Selain itu
sebuah perusahaan bioteknologi sedang berupaya mengembangkan Fullerenes atau Buckyball
yaitu sebuah benda berstruktur molekul dengan 60 atom karbon yang kedepannya diharapkan
dapat mematikan virus HIV maupun kanker.
Pengaplikasian teknologi nano di bidang pertanian diantaranya dalam rekayasa
genetika untuk mendapatkan bibit unggul. Beberapa ilmuwan dunia telah melakukan riset
untuk memperbaiki beberapa sifat tanaman misalkan untuk menghasilkan tanaman bebas
virus. Dalam sepuluh tahun terakhir aplikasi nanoteknologi pada pertanian lebih matang lagi
dengan ditemukannya sifat-sifat unik partikel yang berukuran beberapa nano atau bahkan
puluhan nanometer. Nanopertikel dan nanoemulsi dapat diaplikasikan pada pestisida, pupuk,
sensor untuk memantau tanah, Pakan ternak, obat hewan, Pangan, obat herbal dan kemasan
antibakteri serta komposit anti persesapan gas. Nanoteknologi juga banyak dimanfaatkan
dalam berbagai hal misalnya meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan bahan alami
dalam tanah, mempelajari mekanisme dan dinamika unsur-unsur nutrisi di dalam tanah.

Manfaat Nano Teknologi di Bidang Pertanian


Pada dasarnya prinsip penemuan nanoteknologi adalah untuk memaksimalkan hasil
atau produksi tanaman dengan meminimalkan penggunaan pupuk, pestisida dan kebutuhan
lainnya dengan melakukan monitoring kondisi tanah seperti perakaran dan
mengaplikasikannya langsung ke target sehingga tidak ada yang terbuang. Untuk pestisida,
jika hal ini diterapkan akan dapat meminimalisir penggunaan pestisida pada tanaman karena
hanya serangga target saja yang terkena dampaknya.
Penggunaan teknologi nano pada pupuk akan memungkinkan pelepasan nutrisi yang
terkandung pada pupuk dapat dikontrol. Jadi hanya nutrisi yang benar-benar akan diserap
oleh tanaman saja yang dilepaskan, sehingga tidak terjadi kehilangan nutrisi ada target yang
tidak dikehendaki seperti tanah, air dan mikroorganisme. Pada pupuk nano, nutrisi dapat
berupa enkapsulasi nanomaterial, pelapisan oleh lapisan pelindung yang tipis atau dilepaskan
dalam bentuk emulsi dari nanopartikel.
Contoh aplikasi nanoteknologi dalam bidang pertanian dalam upaya peningkatan
produktifitas pertanian dilaporkan antara lain nanoporous, nanonutrisi, slow-released,
nanoenkapsulasi, nanosensor untuk pupuk, air, herbisida, kestabilan tanah dan lain
sebagainya. Penggunaan teknologi nano pada pestisida dilakukan oleh Dr. Micaela Buteler
bekerja sama dengan Prof Weaver dari Montana State University. Kedua peneliti ini menguji
penggunaan NSA (nanostructured alumina) pada dua jenis serangga pengganggu yang biasa
ditemukan pada proses penggilingan, pengolahan dan penyimpanan gabah kering. Penelitian
menunjukan bahwa NSA dapat menyediakan alternatif insektisida yang murah dan
terjangkau.
Pengembangan nanoteknologi pada pestisida baik itu pestisida kimia maupun
pestisida organik akan dapat membantu meningkatkan efisiensi penggunaan pestisida
maupun insektisida. Lebih jauh lagi, penggunaan pestisida yang langsung pada target akan
meminimalisir berkembangnya mekanisme resistensi pada hama dan mengurangi kematian
serangga non target. Hal ini tentu akan membawa dampak positif bagi produksi pertanian,
karena banyak kasus sebelumnya dimana terjadi ledakan hama tertentu akibat penggunaan
pestisida yang kurang tepat.
Teknologi nano pada pestisida organik dapat dilakukan dengan mengembangkan
material toksik yang dikandung oleh tanaman atau bahan organik dalam ukuran nanopartikel
sehingga akan lebih mudah mengenai sasaran dan jumlah pestisida yang dibutuhkan pun jauh
lebih kecil. Namun seperti halnya teknologi yang lain, pemanfaatan nanoteknologi pada
pestisida memiliki dua sisi berbeda. Beberapa ahli berpendapat bahwa pestisida dalam
ukuran nano dapat menjadi berbahaya bagi manusia karena bisa menginfeksi kulit atau
terhirup dan masuk ke paru-paru kemudian sampai ke otak. Ini masih menjadi perdebatan
apakah teknologi ini bisa digunakan dan dikembangkan atau lebih baik tidak sama sekali.
Perkembangan pestisida organik meningkat pesat sejalan dengan meningkatnya
pemahaman masyarakat menegnai bahaya zat kimia sintetis dalam pestisida yang digunakan
pada saat ini. Nanoteknologi diharapkan mampu menjembatani persoalan ini. Efektivitas
pestisida yang dapat meningkat berkali lipat dengan mengubahnya menjadi nanopartikel bisa
dijadikan dasar untuk aplikasi pestisida organik berbahan dasar tanaman seperti rosemary,
cengkeh, lavender, kemangi dan beberapa minyak atsiri lain yang berotensi menjadi pestisida
nabati. Dengan pendekatan nanoteknologi, zat aktif dari bahan alam bisa menjadi senjata
ampuh dalam mengendalikan hama tanaman dan dapat menggantikan pestisida kimia.
Pestisida organik yang terbuat dari ekstrak beberapa tanaman seperti disebutkan
sebelumnya sangat potensial sebagai bahan alami pembuatan pestisida untuk diaplikasikan
pada bidang agrikultur sebagai pengendali hama tanaman. Sebuah studi yang dipresentasikan
oleh beberapa ilmuwan dalam pertemuan nasional American Chemical Society’s ke 238 di
Kanada menyebutkan bahwa beberapa kandungan zat alami dari beberapa tanaman yang
disebut “essential oils pesticides” atau “killer spices” merupakan pestisida alami potensial
yang ramah lingkungan dan relatif lebih tidak beresiko bagi kesehatan manusia dan hewan.
Hanya saja pestisida organik ini tidak tahan lama karena sifatnya yang volatil dan mudah
terdegradasi oleh cahaya matahari. Peranan nanoteknologi dalam pengembangan pestisida
organik diharapkan menjadi jawaban tentang bagaimana caranya agar pestisida organik ini
bisa bersaing dengan pestisida yang sudah lama beredar di masyarakat baik dari sifat
toksiknya maupun kemampuannya bertahan di alam dengan teknologi slow release.

Nano Teknologi dan Lingkungan


Nanoteknologi dapat digunakan untuk mendegradasi residu pestisida baik itu di air,
udara maupun di tanah melalui mekanisme fotokatalis oksida logam dengan menggunakan
materi berbahan oksida semikonduktor seperti titanium oksida (TiO2) dan Zinc oksida (ZnO).
Materi ini dapat menyerap foton dan menginisiasi proses reduksi oksidasi (redoks) sehingga
akan memecah molekul organik kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana. Melalui
proses fotokatalisis, residu pestisida dapat diubah menjadi mineral yang bermanfaat dan tidak
membahayakan lingkungan.
Fotokatalisis didefinisikan sebagai suatu proses kombinasi antara fotokimia dan
katalis yaitu suatu proses transformasi kimiawi dengan melibatkan cahaya sebagai katalisator
yang akan mempercepat transformasi tersebut. Proses yang terjadi adalah TiO2 yang
diradiasi sinar ultraviolet akan menghasilkan elektron e - dan H+. Rekombinasi keduanya
pada permukaan akan tereduksi oleh racun atau kontaminan atau mikroorganisme. e- akan
berinteraksi dengan O2 menghasilkan O2 - (reduksi) dan H+ akan berinteraksi dengan H2O
menghasilkan OH- dan H2O (oksidasi).
Daya oksidasi tersebut terbukti dapat menghancurkan polutan dan mikroorganisme
merugikan. Cara yang sama diharapkan mampu dilakukan untuk mendegradasi polutan dari
residu pestisida di lingkungan. Ketersediaan ultraviolet yang terbatas di alam menjadi salah
satu faktor yang menghambat penerapan teknologi ini. Upaya yang dikembangkan sebagai
alternatif adalah menambahkan dopen yaitu semi konduktor yang mempunyai celah pita
(bandgap) relatif lebih lebar misalnya dengan penambahan mangan, timah, sulfur dan
nitrogen. Semi konduktor ini akan mampu mentransfer elektron menuju ke sistem
fotokatalis. Dengan cara ini materi akan memiliki kemampuan untuk menyerap cahaya
tampak akan lebih tinggi sehingga tidak terlalu tergantung pada sinar ultraviolet.
Keistimewaan Nano Teknologi
Keistimewaan sifat nanomaterial adalah bahwa dia mampu melakukan penetrasi
lebih cepat dan sifatnya bisa sangat berbeda dengan sifat yang dimiliki ketika zat tersebut
masih dalam ukuran lebih besar. Sebagai contoh aurum (gold) akan sangat toksik ketika
berukuran nano, tembaga (Cu) memiliki sifat lebih keras dan feromagnetik akan menjadi
superparamagnetik pada ukuran 20 nm. Cara ini bisa diadaptasi untuk zat kimia dari bahan
organik seperti pyretrin yang dihasilkan oleh pyretrium dan banyak disintetis untuk
digunakan sebagai insektisida. Pyretrin dalam ukuran nano diharapkan dapat bersifat lebih
toksik dan melakukan penetrasi lebih optimal pada serangga target meskipun harus dilihat
lagi efek sampingnya pada manusia dan lingkungan seperti kemungkinan terhirup oleh
manusia dan sampai berapa lama dapat teregradasi di alam.
Menurut hasil penelitian material ukuran nanometer memiliki sejumlah sifat kimia
dan fisika yang lebih unggul dari material ukuran besar seperti mikro. Sifat tersebut dapat
diubah-ubah melalui pengontrolan ukuran material, pengaturan komposisi kimiawi,
modifikasi permukaan, dan pengontrolan interaksi antar partikel. Kekayaan sumber daya
alam Indonesia menyimpan potensi yang sangat besar untuk pengembangan teknologi nano.
Keanekaragaman sumber daya alam hayati Indonesia , alam tropis dan gunung api yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia merupakan penyedia iklim dan mineral penyubur tanah
yang ideal untuk tumbuhnya berbagai tanaman baik tanaman pangan, kayu keras dan obat.
Melalui rekayasa nanoteknologi, bahan alam berkhasiat obat (herbal) dapat dimanfaatkan
sebagai obat (biofarmaka) . Begitu pula bahan tanaman yang berpotensi sebagai pengedali
hama dapat dimanfaatkan sebagai pestisida organik yang efektif, efisien dan ramah
lingkungan dengan memanfaatkan teknologi nano.
Pestisida nabati yang sudah dibuat dalam bentuk nanoparticle diantaranya yaitu
pestisida nabati mimba (Azadirachta indica) (Forim, 2011). Banyaknya penggunaan pestisida
mimba tidak terlepas dari kemanjuran pestisida tersebut terhadap beberapa jenis hama
tanaman (Kardinan, 1999). Forim membuat nanokapsul (gambar 1) dengan diameter rata-rata
mulai 150 hingga 250 nm.
Gambar 1. Nanokapsul berisi ekstrak mimba dengan berbagai perbesaran menggunakan SEM

Kapsul yang sudah diisi rata-rata memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan
kapsul yang belum diisi, seperti yang diperlihatkan penelitian Kalyanasundaram (gambar 2a
dan b), Kalyanasundaram menggunakan emulsi PVP (Polivinilpirrolidone) sebagai bahan
pembuat nanokapsul. Dapat dilihat berdasarkan gambar bahwa kapsul yang telah diisi
larvasida berukuran lebih besar dibandingkan dengan kapsul kosong (Kalyanasundaram,
2013).

Gambar 2. Nanokapsul PVP tanpa larvasida dan berisi temefos

Beberapa Metode Untuk Menghasilkan Nanopartikel

A. Metode Kopresipitasi
Merupakan metode sintetis senyawa organik yang didasarkan pada pengendapan lebih
dari satu substansi secara bersama-sama ketika melewati titik jenuhnya. Prosesnya
menggunakan suhu rendah dan mudah untuk mengontrol ukuran partikel sehingga
waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Biasanya zat pengendap yang digunakan
adalah hidroksida, karbonat, sulfat dan oksalat. Penggunaan metode ini diharapken
menghasilkan partikel dengan ukuran lebih kecil dan lebih homogen dari metode
solid-gel dan lebih besar dari metode sol-gel.
Ada dua jenis kopresipitasi yang penting yaitu yang berkaitan dengan adsorpsi pada
permukaan partikel yang terkena larutan dan yang kedua adalah yang berhubungan
dengan oklusi zat asing sewaktu proses pertumbuhan kristal dari partikel primer.

B. Metode sol-gel
Merupakan proses pembentukan senyawa anorganik melalui reaksi kimia dalam
larutan pada suhu rendah, dimana terjadi perubahan fase dari suspensi koloid (sol)
membentuk fase cair kontinyu (gel). Keuntungan dari metode ini adalah tingkat
stabilitas termal yang baik, stabilitas mekaniknya tinggi, daya tahan pelarut yang baik
dan modifikasi permukaan dapat dilakukan dengan berbagai kemungkinan.
Prekursor yang biasa digunakan pada umumnya adalah logam organik atau logam
anorganik yang dikelillingi oleh ligan yang reaktif seperti alkosida yang banyaj
digunakan karena sifatnya yang mudah bereaksi dengan air.

Tahapan proses sol-gel:


a. Hidrolisis: pada tahap ini prekursor dilarutkan dalam alkohol dan terhidrolisis
dengan penambahan air pada kondisi asam, netral atau basa dan menghasilkan sol
koloid. Proses ini dipengaruhi oleh rasio air/prekursor dan jenis katalis yang
digunakan.
b. Kondensasi: terjadi proses transisi dari sol menjadi gel melibatkan ligan
hidroksil untuk menghasilkan polimer dengan ikatan M-O-M
c. Pematangan (ageing): terjadi reaksi pembentukan jaringan gel yang lebih kuat,
kaku dan menyusut didalam larutan
d. Pengeringan: proses penguapan laruutan dan cairan yang tidak diinginkan untuk
mendapatkan struktur sol-gel yang memiliki luas permukaan tinggi.
Dibandingkan metode konvensional, metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu:
kehomogenan yang lebih baik, kemurnian lebih tinggi, suhu proses relatif rendah,
tidak terjadi reaksi dengan senyawa sisa, kehilangan pelarut bisa diperkecil dan
pencemaran udara bisa dikurangi. Kekurangannya adalah harga bahan mentah yang
mahal, terjadi penyusutan bahan yang cukup besar pada saat pengeringan,
menggunakan senyawa organik yang bisa membahayakan kesehatan dan
menghasilkan residu hidroksil dan karbon serta proses yang membutuhkan waktu
lama.
Agar hasil yang didapatkan sesuai dengan yang diinginkan ada beberapa faktor yang
harus diperhatikan yaitu:
1. Senyawa: prekursor harus dapat larut dalam media reaksi dan harus cukup reaktif
dalam pembentukan gel
2. Katalis: biasanya digunakan katalis asam atau basa meskipun ada beberapa yang
tidak menggunakan katalis
3. Pelarut: yang banyak digunakan adalah alkohol karena memiliki tekanan uap
yang lebih tinggi pada suhu kamar
4. Temperatur: temperatur yang lebih tinggi dari suhu kamar akan menghasilkan
laju hidrolisis lebih cepat dan gel akan lebih cepat terbentuk.

C. Metode Mikroemulsi
Awal tahun 1943 Hoar dan Schulman melaporkan bahwa kombinasi air, minyak,
surfaktan dan alkohol atau amina yang merupakan ko-surfaktan menghasilkan larutan
yang jernih dan homogen yang dinamakan mikroemulsi. Secara umum mikroemulsi
dapat dibedakan atas mikroemulsi langsung (minyak dalam air) dan mikroemulsi
balik (air dalam minyak).

D. Metode hidrothermal/solvothermal
Ahli kimia berkebangsaan Jerman Robert Whilhelm Busen (1839) menggunakan
larutan encer sebagai media dan menempatkannya dalam tabung pada temperatur
diatas 2000C dan tekanan di atas 100 barr. Proses solvothermal melibatkan
penggunaan pelarut di atas suhu dan tekanan titik didihnya sehingga akan
mengakibatkan terjadi peningkatan daya larut dari padatan dan kecepatan reaksi antar
padatan. Proses ini harus terjadi dalam keadaan tertutup untuk mencegah hilangnya
pelarut pada saat diuapkan. Post hidrothermal merupakan perlakuan pada amterial
setelah mengalami proses sol-gel dengan tujuan meningkatkan kristalisasi dari
partikel tersebut. Metode ini menggunakan pelarut superkritis dengan beberapa
pertimbangan yaitu:
1. Memiliki tegangan permukaan rendah sehingga kemampuan daya larutnya tinggi
2. Viskositasnya rendah
3. Difusitas tinggi sehingga memberikan pengaruh terhadap peningkatan daya larut.
E. Metode cetakan (templated synthesis)
Cetakan yang digunakan disebut nanoreaktor. Ukuran pori yang halus dan seragam akan
membantu nano partikel terbentuk sesuai dengan ukurannya dan mengontrol distribusi
ukuran pada produk akhir. Ada dua macam metode yang digunakan untuk memasukan
nanopartikel semikonduktor kedalam pori dari material mesopori yaitu:
1. Proses in situ/ post treatment yaitu mencampurkan prekursor nanopartikel dengan
misel sebelum terbentuknya material mesopori.
2. Grafting/penempelan secara langsung nanopartikel ke dalam permukaan pori.

F. Nanopartikel semi konduktor organik


Merupakan semikonduktor yang menggunakan material organik sebagai material
aktifnya. Semikonduktor organik lebih mudah untuk disintesis dan lebih fleksibel secara
mekanik. Mekanisme utama semikonduktor ini adalah melibatkan hantaran melalui
elektron pi atau elektron yang tidak berpasangan. Metode yang dipakai untuk membuat
nanopartikel organik adalah metode represipitasi dengan mekanisme larutan zat terlarut
dari starting material di dalam air diinfeksikan ke dalam air yang distirer sehingga
kelarutan zat akan berubah secara endadak dan mengakibatkan terbentuk nanokristal dari
zat terlarut.

Referensi
Anonim. 2014. Potensi Riset Nano Kimia Bahan Alam. http://nanotech-
indonesia.blogspot.com/2012/08/potensi-riset-nano-kimia-bahan-alam-di.html
diakses tanggal 3 maret 2014.
Fernandez, B. R. 2011. Sintesis Nanopartikel. Makalah. Pasca sarjana Universitas Andalas.
Padang.
Forim M.R., da Silva M.F.G.F, Fernandes J.B. 2011. Secondary Metabolism as a Measure of
Efficacy of Botanical Extracts: The use of Azadirachta indica (Neem) as a Model.
In: Perveen F. (ed.) Insecticides - Advances in Integrated Pest Management. Rijeka:
In‐ Tech. p367-390.
Jones, Angela. Jeane Nye and Andrew Greenberg. Nanotechnology in Agriculture and Food
Technology. http://www.ice.chem.wisc.edu. Diakses tanggal 3 maret 2014.
Kardinan, A. 1999. Mimba (Azadirachta indica) pestisida nabati yang sangat menjanjikan.
Perkembangan Teknologi Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 11(2): 5-13
Kuzma, J. and Peter Verhage. 2006. Nanotechnology In Agriculture and Food Production.
Anticipated Application. Woodrow Wilson International Center For Scholar.
M. Kalyanasundaram, dan K. Gunasekaran. 2013. Synthesis, characterization and evaluation
of nanoparticles of public health larvicides for mosquito control. Journal of Vector
Borne Diseases(50): 225-228.
Purnobasuki, H. 2005. Teknologi Nano untuk Kenali Virus. Tohoku University.
http://www.nano.lipi.go.id. Diakses tanggal 3 maret 2014.
Suwarda, R. Dan M. S. Maarif. 2012. Pengembangan Inovasi Teknologi Nanopartikel
Berbasis Pat Untuk Menciptakan Produk Yang Berdaya Saing. Jurnal Teknik
Industri: 1411-6340: 104-120.
Rohimatun. 2012. Penerapan Teknologi Nano Fotokatalis untuk Degradasi Pestisida.
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Vol 18(1): 15-20.
Widowati, R.L. 2011. Pengembangan Teknologi Nano dengan Memanfaatkan Bahan
Batuan Alami dan Bahan Organik. Laporan Riset Teknologi Terapan. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Yanto. 2005. Nanoteknologi. MIPA UGM. http://www.nano.lipi.go.id. Diakses tanggal 3
maret 2014.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai