Anda di halaman 1dari 26

Telaah Unsur Intrinsik & Ekstrinsik Prosa Millenium Pada Novel

Berjudul “Nun Pada Sebuah Cermin” Karya Afifah Afra

Sebagai Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Kajian Prosa

Dosen Pengampu :

Moh. Atikurrahman, M.A

Disusun Oleh :

Ahmad Fatih Fridani Rizqi

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nun Pada Sebuah Cermin adalah sebuah novel terbitan tahun 2015 yang

ditulis oleh Afifah Afra dan diterbitkan oleh Republika Penerbit. Novel tersebut

memiliki halaman sekitar 370 halaman, dengan sampul berwarna biru muda yang

menyematkan sebuah ilustrasi seorang perempuan dan sebuah cermin didepannya.

Pertanyaan mendasar pada sebuah novel dengan judul yang tak lazim didengar itu,

tidak lain adalah mengapa harus cermin dan apa maksud sebuah kata nun didalamnya.

“Cermin itu selalu apa adanya. Jika yang bercermin di depannya memang punya

keburukan, dia akan pantulkan tanpa enggan, sehingga orang yang bercermin menjadi

tahu apa yang salah darinya, dan tentunya akan timbul kesadaran untuk

memperbaikinya.” (halaman 51).

Cermin adalah sebuah pantulan yang mampu memantulkan apa saja yang

berada tepat didepannya. Maka sejatinya kehidupan merupakan replika dari sebuah

cermin, keberadaannya berguna untuk berkaca, intropeksi diri, sekaligus bermanfaat

dalam mengambil pelajaran. Kisah fiksi yang tidak hanya bersumber dari khalayan

saja, tetapi juga juga berdasarkan kehidupan nyata juga bisa menjadi sarana berkaca,

sekaligus memperbaiki diri. Seperti halnya prosa bergenre fiksi karya Afifah Afra

yang berjudul Nun Pada Sebuah Cermin ini, pembaca justru dapat langsung

bercermin pada kehidupan yang terjadi di dalam novel tersebut. Terdapat hal lain

yang mampu mendasari daripada terbentuknya novel tersebut, tentunya penulis tidak

hanya menyematkan sedikit isu pada novel tersebut.


Ketertarikan pembaca dalam menelaah novel tersebut, diuji pada konsep

tersebut. Disamping itu, terdapat banyak hal menarik lainnya yang perlu ditelaah pada

novel tersebut. Maka dari itu, penulis akan menjabarkan berbagai hal yang tersirat di

dalam novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifah ini, dengan mempertimbangkan

unsur-unsur intrinsik maupun bahasan eksternal (ekstrinsik).

1.2 Rumusan Masalah

1. Isu atau topik apakah yang terkandung dalam Novel Nun Pada Sebuah Cermin.

2. Bagaimana unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terletak di dalam Novel Nun Pada

Sebuah Cermin?

1.3 Tujuan

1. Pembaca mengetahui isu atau topik yang terkandung dalam Novel Nun Pada

Sebuah Cermin.

2. Pembaca mengetahui unsur-unsur intrinsik maupun ekstrinsik yang terletak di

dalam Novel Nun Pada Sebuah Cermin.


BAB II
PEMBAHASAN

Nun Walqolami adalah anak yatim yang semasa kecilnya tinggal bersama ibu dan

kedua adiknya. Sejak kecil Ia telah ditinggal oleh bapaknya meninggal terlebih dahulu,

sebelum memberikan atau mewasiatkan harta apapun, sehingga Nun dan keluarganya mau

tidak mau harus hidup di rumah-rumah ilegal di sekitaran sungai. Ibunya rela bekerja mati-

matian sebagai seorang pemulung. Namun dari semua itu, ada kelebihan yang Nun miliki. Ia

dianugerahkan lahir sebagai anak yang kepintarannya di atas rata-rata, namun saat lulus SMP

dia harus menyadari bahwa orangtuanya sudah tidak mampu untuk membiayainya lagi untuk

melanjutkan ke bangku SMA, meski pada hatinya yang paling dalam, dia sangat ingin terus

melanjutkan sekolahnya itu.

Akhirnya, dia pun turut bekerja sebagai pemulung membantu ibunya. Namun,

Wiratno Sri Kameswara yang bekerja sebagai pemain ketoprak mengajak Nun untuk memain

ketoprak bersama dia. Wiratno melihat Nun memiliki bakat dan kebetulan Tantri yang biasa

menjadi pemeran utama kepincut bayaran menjadi penyanyi dangdut. “Siapa bilang? Kamu

berbakat, sangat berbakat. Ayo kuajak kau menghadap Denmas Daruno. Biar nanti kau bisa

menggantikan Tantri, berperan sebagai Galuh Condrokirono.” Wiratno yang juga penduduk

di bantaran kali sebenarnya orang yang pintar, dia seorang sarjana budaya bahasa Jawa.

Tetapi, dia memang tidak mendapat pekerjaan yang bagus. Dia menjadi guru, tetapi hanya

sebentar karena sekolah bubar.

Kemudian dia bergabung menjadi pemain ketoprak di grup yang legendaris sejak

zaman Belanda bernama Chandra Poernama (halaman 56). Wiratno sebenarnya sudah

memiliki istri yang bernama Mekarsari. Sari cantik namun pemarah, kasar, dan cemburuan.

Meski ketika di panggung Wiratno tidak romantis secara fisik, namun romantisme kata-kata
Wiratno kepada pemeran utama wanita membuat Sari cemburu, terlebih nafkah yang

diberikan Wiratno sedikit, Akhirnya, Sari menceraikan dia dan menjadi TKW. Sudah lama

Nun menyukai Wiratno yang terpaut jauh dari umurnya. Ditambah lagi Wiratno sangat

memperhatikan dirinya dan keluarga. Namun, setelah Wiratno menikah, dan semakin lama

Nun mengerti bahwa Wiratno menyayangi keluarga Nun sebagai seorang paman. Nun

berusaha mengubur harapannya. Nun kembali berharap kepada seorang pemuda yang

bernama Naya. Dia baru menyelesaikan studinya di Australia, ibunya adalah seorang dosen

dan bapaknya adalah pengusaha yang memiliki media, salah satunya media Tribun

Bengawan. Tribun Bengawan mengalami kemerosotan dan ini menjadi ajang Naya untuk

mengerahkan semua ilmunya, untuk menaikkan lagi. Naya mencari berita tentang budaya

tentang ketoprak dan dia hadir saat pementasan ketoprak Chandra Poernama. Dia terkesan

dengan penampilan tokoh utama, yaitu Wiratno dan Nun. Dia mewawancarai Wiratno

terlebih dahulu, cuma sebentar.

Kemudian giliran mewancarai Nun dengan waktu yang agak lama, dalam perjalanan

pulang. Naya semakin terkesan dengan Nun, dengan kepiawaiannya sebagai pemain

ketoprak, dengan namanya, kepintarannya dan kecantikan yang mungkin bukan dari tubuh

tetapi cantik yang ada dalam perangai dirinya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan

terjadinya sebuah konflik kehidupan yang melibatkan berbagai persoalan, baik itu berupa

persoalan meliputi kisah cinta, pengorbanan, ekonomi, keluarga dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan konsep cermin yang telah disinggung pada pendahuluan tadi, peristiwa

demi peristiwa akan berkesinambungan. Pada umumnya dalam sebuah novel akan

mengandung berbagai unsur, seperti unsur-unsur intrinsik dan unsur-unsur ekstrinsik.

Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang

berada di dalam novel dan ekstrinsik sebaliknya, yaitu berasal dari luar novel yang berperan

sebagai pemicu adanya konflik dan faktor-faktor tertentu pada sebuah novel.
2.1 Unsur - Unsur Intrinsik

Novel Nun Pada Sebuah Cermin adalah sebuah bentuk kreatifitas dunia sastra

dalam mengangkat berbagai isu kehidupan menjadi satu tema. Secara garis besar,

tema tersebut mengandung tema perjuangan meliputi orang-orang kecil dan

masyarakat miskin. Dalam membangun sebuah tema pada sebuah karya sastra prosa

seperti novel, perlu adanya unsur-unsur yang disematkan didalamnya. Dua unsur

tersebut antara lain ialah intrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur intrinsik lumrahnya

meliputi tema, plot, tokoh penokohan, setting, narasi dan gaya bahasa (Sumasari,

2014). Maka dari itu, penulis akan membongkar sekaligus menjabarkan unsur-unsur

intrinsik yang terkandung pada novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifah Afra.

Tema

Tema yang diangkat oleh Afifah pada novelnya yang berjudl Nun Pada

Sebuah Cermin ini, merupakan tema yang membahas isu-isu sosial secara general.

Kehidupan bermasyrakat Ia sematkan pada novelnya tersebut, dimulai dengan lingkup

kecil, yaitu sebuah keluarga. Perjuangan dalam menjalani sebuah kehidupan adalah

tema yang tentunya bisa diangkat sebagai tema secara garis besar pada Novel yang

mengangkat tokoh Nun tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan sebuah perjuangan,

meliputi kemiskinan dan realitas sosial.

“Cermin itu selalu apa adanya. Jika yang bercermin di depannya memang

punya keburukan, dia akan pantulkan tanpa enggan, sehingga orang yang bercermin

menjadi tahu apa yang salah darinya, dan tentunya akan timbul kesadaran untuk

memperbaikinya.” (halaman 51) Kutipan dialog tersebut, kiranya telah membuktikan

apa maksud dibalik judul yang diangkat oleh Afifah, dan tema apa yang sebenarnya

dibangun olehnya.
Plot

Karya sastra adalah sebuah hasil dari sebuah karangan dengan berbagai

rancangan yang mengacu pada peristiwa ataupun perasaan seorang penulisnya. Pada

setiap karya sastra yang berbentuk prosa, tentu setiap penulisnya melalukan

rancangan pada penulisan rangkaian peristiwa yang akan terjadi. Hal yang berkaitan

dengan rangkain peristiwa pada sebuah cerita, biasanya disebut sebagai alur atau plot.

Plot akan memunculkan urutan peristiwa dengan hubungan sebab-akibat, yang

kemudian memunculkan berbagai tokoh didalamnya (Purba et al., 2021).

Novel karya Afifah yang berjudul Nun Pada Sebuah Cermin merupakan

sebuah karya sastra dengan genre prosa, yang tentunya menggunakan urutan dan

rangkaian peristiwa didalam penceritaannya. Hubungan sebab-akibat tentu

tersematkan pada seluruh tahapan cerita didalam novel tersebut, sebab tidak mungkin

Afifah tidak memberikan alasan pada setiap konflik yang terjadi didalamnya. Alur

yang terdapat pada novel tersebut, bisa dibilang tidak terlalu berlebihan dengan

memajukan atau bahkan memundurkan sebuah konflik ke konflik yang lain.

Sederhananya, terdapat tiga tahapan yang bisa dikelompokkan mengenai alur

yang terjadi pada novel karya Afifah ini. Tahapan pertama, yaitu perkenalan seorang

tokoh yang domainnya diangap sebagai tokoh utama. Nun Walqolami, sebagai tokoh

yang dikenalkan oleh penulis diawal cerita. Latar belakang tokoh Nun dijelaskan

diawal cerita, dengan menceritakan masa lalu tokoh dan lain sebagainya. Pada tahap

tersebut, jelas tokoh Nun dikenalkan dengan rinci dan teratur. Nun digambarkan

sebagai seorang pemulung yang sebenarnya memiliki tingkat kecerdasan lebih

daripada anak-anak seusia Nun lainnya.


Tahap berikutnya, yaitu memicu datangnya konflik yang melibatkan tokoh

Nun dan tokoh lainnya. Nun terpaksa menjadi pemulung, sehingga keinginannya

untuk tetap melanjutkan sekolahnya harus dipendam dan dikubur. Namun, terdapat

tawaran untuk melanjutkan sekolah yang Ia dapatkan dari tokoh Wiratno. Hal

tersebut, mengundang konflik baru sebab kondisi dan keadaan Nun yang dicap

sebagai pemulung dan tidak pantas untuk masuk SMA Cahaya. Pada tahap ini, konflik

demi konflik terus berdatangan dengan urutan yang berangsur-angsur.

Tahapan yang terakhir, yaitu penyelesaian masalah. Berbagai konlfik yang

telah terjadi pada tahap sebelumnya, perlahan-lahan diselesaikan dengan urutan

perisitiwa yang baru. Seperti yang telah dijelaskan tadi, hubungan sebab-akibat terus

berlanjut pada tahap penyelesain masalah. Hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan

salah satu tokoh pada kutipan dialog berikut ini “Hm... begini, dik. Kami

mendapatkan laporan dari beberapa pemulung di Kawasan TPA Putri empo, bahwa

mereka melihat sosok jenazah tertimbun, atau mungkin sengaja ditimbun, dengan

sampah di sana. Tak ada identitas apa pun di sana. Tetapi beberapa pemulung

mengenalinya” (Afra 2015:209).

Setting

Berkaitan dengan tempat dan waktu, tentunya setiap novel memiliki kedua hal

tersebut. Sehingga kedudukan sebuah latar pada sebuah novel, seyogyanya akan

menjadi peran paling penting dalam menumbuhkan imajinasi pada setiap pembaca.

Pada umumnya, setiap karya sastra prosa baik itu novel ataupun cerpen pasti

memerlukan latar didalamnya. Latar atau yang biasanya disebut setting merupakan

bagian cerita yang menggambarkan keadaan tempat, waktu, dan lingkungan sosial

(Brier & lia dwi jayanti, 2020).


1. Latar Tempat

Pada umumnya, latar tempat selalu diartikan sebagai latar yang

menunjukkan keterangan suatu tempat. Keterangan tersebut, biasanya

bertepatan dengan aksi atau perbuatan yang dilakukan oleh suatu tokoh.

Berdasarkan telaah yang telah dilakukan, Novel Nun Pada Sebuah Cermin

ini bisa ditekankan bahwas Afifah menggunakan beberapa nama kota

dalam memberikan latar yang menunjukkan keterangan tempat. Seperti

misalnya; Kota Medan, Kota Surakarta, begitupun nama pulau seperti

Jawa. Tidak lupa pula dengan tempat-tempat esklusif, seperti gedung.

2. Latar Waktu

Tokoh-tokoh yang menjalankan kehidupannya pada novel tersebut,

biasanya memunculkan dialog yang menunjukkan waktu. Disamping itu

waktu yang disebutkan, cenderung menggunakan waktu yang berkaitan

erat dengan nalar. Artinya latar waktu yang dimaksud, bukan waktu yang

menyebutkan jam ataupun menit. Latar waktu yang disebutkan antara lain

ialah; Waktu kecil, Siang, Sore, Malam hari, Zaman dulu dan Masa depan.

3. Lingkungan

Secara garis besar, kondisi dan keadaan lingkungan disekitar tokoh

yang ada pada novel tersebut cenderung memunculkan nuansa sedih.

Artinya, kegembiraan yang seharusnya menjadi impian dari seorang tokoh

perlu melewati beberapa kesedihan terlebih dahulu. Kondisi seperti itu bisa

dibuktikan dengan kutipan berikut “Nun berbalik, lari. Napasnya

tersengal. Dadanya perih. Dia berjalan cepat menuju belakang rumah,

pinggir Kali Anyar” (Afra, 2015:49).


Penokohan

Penokohan merupakan pemberian suatu karakteristik yang terlihat pada setiap

tokoh yang ada pada Karya sastra. Tokoh sendiri adalah orang atau suatu karakter

didalam suatu cerita maupun suatu karya sastra yang dimana masing-masing dari

mereka memiliki suatu standar moral yang berbeda (Purba et al., 2021). Penokohan

yang ditekankan kepada setiap tokoh, tentunya akan memiliki ciri khas dan karakter

yang berbeda. Umumnya, penekohan dibagi menjadi beberapa karakter. Seperti

misalnya, protagonis, antagonis dan tritagonis.

1) Tokoh Protagonis

Tokoh protagonis merupakan watak yang baik dan digemari oleh pembaca

yang membacanya.

2) Tokoh Antagonis

Tokoh antagonis merupakan watak yang jahat dan wataknya tersebut

sangat dibenci oleh pembaca.

3) Tokoh Tritagonis

Tokoh tritagonis merupakan tokoh tambahan yang membantu tokoh

protagonis ataupun tokoh antagonis.

Novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifa Afra kurang lebih memiliki

sekitar 24 tokoh, dan memiliki tokoh utama yaitu Nun Walqolami yang berwatak

protagonis. Tokoh Nun memiliki karakter yang khas dan tidak dimiliki oleh tokoh

lain, meskipun sebagai tokoh yang berwatak protagonis sekalipun. Nun seorang

protagonis yang idealis dan merupakan sosok yang religius. Setiap hal yang

menimpanya, Ia selalu mengembalikannya pada Tuhan dan agamanya. Meskipun

tokoh-tokoh seperti Ibunya memiliki karakter protagonis, belum bisa seperti Nun.
Narasi

Novel Nun Pada Sebuah Cermin merupakan sebuah novel yang erat

hubungannya dengan realitas sosial dan juga nilai-nilai budaya. Afifah Afra sudah

banyak menuliskan novel-novel yang sedemikian rupa, tapi tidak semnarik Novel

yang satu ini. Narasi yang dituliskan oleh Afifah pada novel tersebut, merupakan

sebuah keberanian yang Ia sematkan dengan mengangkat tema perjuangan orang-

orang miskin dalam berkehidupan (Saddhono et al., 2017). Dalam novel tersebut,

Afra menjadikan Nun sebagai seorang pemain ketoprak. Kehidupan Nun menjadi

potret kehidupan yang nyata. Melalui novel ini, Afra telah menunjukkan realitas yang

terjadi dalam kehidupan masyarakat di sekitar terminal dan seorang pemain ketoprak.

Permasalahan yang terdapat pada novel tersebut, sangat relevan dengan apa

yang terjadi di kehidupan sosial saat ini. Permasalahan sosial selalu berkaitan erata

dengan eksistensi dan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, yang seharusnya

memiliki sikap toleransi yang tinggi dan dinomersatukan. Perjuangan hidup seorang

Nun menggambarkan bagaimana bentuk keprihatinan yang terjadi pada orang-orang

kecil yang berperan sama halnya dengan orang-orang lain sebagai makhluk sosial.

Lumrahnya, setiap manusia akan senantiasa dilibatkan dengan persoalan sosial yang

melibatkan makhluk sosial lainnya. Masalah sosial tersebut, tentu timbul sebab

adanya keterkaitan dan hubungan dari manusia ke manusia yang lain (Hafizha, 2018).

Menariknya lagi, selain sebagai makhluk sosial Nun juga memposisikan dirinya

sebeagai makhluk yang sejati. Artinya, Ia tidak melupakan esensi yang sebenarnya ia

miliki sebagai makhluk yang diciptakan oleh Maha dari seluruh makhluk di Alam

Semesta, yaitu Tuhan. Integritas beragama dimiliki oleh Nun, dengan kerelaan dan

sama sekali tidak memiliki keterpaksaan didalamnya.


Amanat

Amanat adalah sebuah ajaran moral ataupun seperangkat pesan yang hendak

disampaikan oleh pengarang melalui karya yang ditulisnya. Kedudukannya sama

pentingnya dengan tema yang melandasi sebuah cerita, amanat dapat disampaikan

secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral ataupun pesan di dalam

tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan

dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan pcnyampaian seruan, saran,

peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama

pada sebuah jalan cerita (Djuanda & Prana, 2006).

Novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifah ini memiliki banyak pesan yang

disampaikan kepada para pembacanya, dengan menyiratkannya pada bagian-bagian

cerita tertentu. Disamping itu, motif kepenulisan novel ini tentunya berperan sebagai

edukasi berkhazanah sastra dengan mengangkat berbagai isu yang telah dijabarkan

tadi. Amanat yang terkandung dalam novel ini, tidak lain memberikan edukasi kepada

pembaca agar tidak mudah menyerah dalam menghadapi kekerasan yang terjadi

dalam kehidupan. Kekerasan tersebut dikorelasikan dengan realitas sosial yang

terdapat pada novel tersebut, ketimpangan toleransi pada kelas sosial menjadi salah

satu tolak ukur pada masalah tersebut.

Disamping itu, novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifa Afra ini juga

memberikan pernyataan yang tegas terhadap pendidikan. Penegasan tersebut

ditekankan pada kewajiban setiap anak untuk bersekolah, sebab peran sekolah dalam

mencapai cita–cita adalah sebagai salah satu syarat, sehingga putus sekolah bisa

menjadi masalah bagi siapa saja yang ingin menggapai cita–cita, tapi tidak memiliki

syarat untuk bisa sampai disana.


Pendidikan adalah salah satu hal yang mendasar dan setiap orang berhak

mendapatkannya. Melihat kembali kondisi seorang gadis bernama Nun sebelum

menemukan profesinya sebagai seorang pemain ketoprak, Ia hanyalah seorang

pemulung yang tak berdaya. Ia tidak mampu untuk melanjutkan sekolahnya yang

sempat terputus di bangku SMP, padahal dalam hatinya yang paling dalam ia bercita-

cita untuk tetap melanjutkan sekolahnya tersebut ke bangku yang lebih tinggi

setelahnya, yaitu bangku SMA. Hal tersebut seharusnya perlu untuk diamati dan

direnungi bersama, sebab tidak selamanya impian akan menjadi kenyaatan.

Faktanya, hari ini banyak anak-anak yang memiliki orang tua berada dan

pastinya mampu untuk membuat putra-putrinya untuk menempuh pendidikan secara

bertingkat, mulai dari bangku SD sampai pada Perguruan Tinggi. Namun, semangat

yang dimiliki oleh anak-anaknya justru kalah jauh dengan seangat yang dimiliki oleh

Tokoh Nun dalam novel Nun Pada Sebuah Cermin tersebut. Anak-anak yang biasa

tinggal di Lingkungan serba ada dan biasa dimanjakan oleh orang tuanya cenderung

memiliki sifat pemalas dan tidak ada mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Edukasi

yang sengaja disampaikan lewat cerita Nun oleh Afifah, harus direnungi dan

disadarkan untuk khayak umum.

Perjuangan seorang Nun jelas bukan lah perjuangan yang sepele, dan tidak

sepantasnya direndahkan. Apalagi tokoh Nun ditakdirkan menjadi seorang tokoh yang

dengan sengaja dibuat oleh Afifah sebagai sosok perempuan. Tidak mudah

menemukan seorang perempuan yang kuat dalam menghadapi penderitaan seperti itu

dalam hidupnya. Namun dengan semangat Nun yang tetap hidup pada hatinya, Ia

tetap menemukan ruang untuk belajar sekaligus memberikan pelajar. Ia masih

mendapatkan ruang untuk belajar, melatih batin dan kelihaiannya dalam bermain

peran, Ia menjadi seorang pemain ketoprak. Sungguh, Nun tetap belajar disana.
Amanat lain yang Afifah sematkan pada tokoh Nun dan perilakunya adalah

bentuk ketakwaan seorang hamba kepada Tuhannya. Terlihat jelas bagaimana

kebiasaan seorang Nun dalam kehidupan sehari-harinya, meskipun Ia telah disibukkan

dengan pekerjaan barunya sebagai seorang pemain ketoprak, ia tetap melaksanakan

kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat kepada perintah Tuhannya, yaitu

Sholat. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang hari ini harusnya dipertanyakan kepada

setiap umat beragama adalah bentuk penghambaan seperti apa yang mereka lakukan.

Sebagai seorang muslim, tentunya sholat menjadi wujud penghambaan paling utama

daripada ibadah-ibadah lainnya.

Nun juga digambarkan sebagai seorang perempuan yang sangat peduli dan

menjaga harga dirinya, dari apapun yang bisa menjatuhkan reputasinya sebagai

seorang perempuan muslim. Pada novel tersebut, tokoh Nun kerap kali menghentikan

upaya-upaya berbau kekerasan seperti pelecehan yang hendak dilakukan oleh tokoh

lain. Sebagai seorang perempuan yang biasanya dianggap lemah dan tidak berdaya,

Nun berusaha untuk menghapus asumsi tersebut. Ia percaya bahwa dirinya juga berani

untuk melawan, seberani orang yang berupaya untuk berbuat jahat kepadanya.

Disamping itu, ada pesan lain yang disampaikan oleh Novel Nun Pada Sebuah

Cermin tersebut. Nun sebagai seorang muslim yang taat, Ia tidak fasik dan tidak

melanggar aturan sekaligus perintah Tuhannya untuk selalu hormat kepada kedua

orang tua. Nun sangat menghormati Ibunya, bagi Nun sosok Ibunya merupakan

pahlawan terbaik bagi kehidupannya. Sosok Ibu yang rela menjadi pemulung untuk

memenuhi kebutuhan mereka. Kondisi sesulit apapun yang Nun dan Ibunya rasakan,

Nun tetap menganggap Ibunya sebagai sosok yang disayangi dan dihormati. Ia sama

sekali tidak pernah malu memiliki Ibu seperti itu.


Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan suatu susunan kata yang digunakan seorang penulis

dalam menghidupkan tulisan-tulisan yang dibuat, dengan melibatkan perasaan

tertentu sehingga mengundang perhatian seorang pembaca untuk memahami perasaan

tersebut. Gaya bahasa memiliki berbagai bentuk, dengan kedudukannya sebagai

penyusun kata bisa saja gaya bahasa disebut sebagai majas. Nurgiyantoro (2009:272)

juga berpendapat bahwa bahasa merupakan sarana pengungkapan yang komunikatif

dalam sastra.

Penggunaan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra, tentu memiliki tujuan

tertentu. Tujuan tersebut adalah untuk menghidupkan suatu cerita agar dapat

mengekspresikan perasaan yang diungkapkan melalui tulisan (Agus, 2020). Selain itu,

adanya gaya bahasa memudahkan pembaca dalam menikmati bacaan yang

disampikan oleh pengarang. Melalui gaya bahasa inilah seorang pengrang

menyampaikan ide, gagasan secara tidak langsung.

Dalam sebuah gaya bahasa biasanya juga terdapat beberapa unsur seperti,

leksikal, struktur kalimat, retorika, dan penggunaan kohesi. Gaya Bahasa merupakan

cara pemakaian bahasa yang berbeda dari bahasa keseharian yang ditulis oleh setiap

pengarang cerita dalam mengungkapkan gagasan yang ada dalam pikiran dan

perasaannya. Disamping itu, gaya bahasa juga dapat memberikan efek lebih kepada

para pembaca sebab bisa mencerminkan sifat pribadi seorang penulis. Efek tersebut

berkaitan dengan upaya memperkaya sebuah makna, penggambaran objek, peristiwa

secara objektif maupun subjektif dan menimbulkan pemaknaan yang estetis bagi

setiap pembaca tadi (Muhammad, Fathia, n.d.). Diantara gaya bahasa yang terdapat

pada Novel karya Afifah ini antara lain ialah sebagai berikut;
1. Metafora

Metafora merupakan salah satu gaya bahasa yang tujuannya adalah

membandingkan dua hal secara langsung, tanpa harus menggunakan kata

pembanding. Kedudukannya bisa mengabungkan dua kalimat sekaligus,

yang kemudian membandingkan dua kalimat tersebut dengan sangat

singkat. “Mobil Denmas Daruno ada beberapa, dan sebagian sepertinya

lebih mahal dari mobile Naya” (Afra, 2015:39).

2. Personifikasi

Personafikasi yaitu gaya bahasa yang merupakan gambaran benda,

barang mati ataupun tidak bernyawa yang bersifat seolah memiliki sifat

atau tingkahlaku seperti manusia. Penggunaannya lebih intensif untuk

melukiskan sesuatu benda, barang, organ, atau apapun yang dianggap

dapat berperilaku sebagai manusia. Hal tersebut terletak pada bagian

dialog novel Nun Pada Sebuah Cermin berikut; “Bagaimana hujan rinai

menyirami rambutnya, refleks Nun mengangkat tangan kanannya. Terlihat

di permukaan cermin itu, si bayangan maya mengangkat tangan kirinya”

(Afra, 2015:306).

3. Anafora yaitu perulangan kata pada suatu kalimat.

“Aku piye? Aku piye?” (Afra, 2015:22) dan “Memang kenapa kalau

aku lelaki?” perulangan gatra dengan sangat keras “Memang kenapa

kalau aku lelaki?” (Afra, 2015:23).

4. Hiperbola

Hiperbola merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk melukiskan

sesuatu kondisi ataupun keadaan tertentu, dengan berlebihan dan tidak

sesuai dengan makna sebenarnya. “kata-kata yang bisa terbang”.


2.2 Unsur - Unsur Ekstrinsik

Eksistensi sebuah karya sastra terletak pada unsur instrinsiknya tanpa

mengabaikan unsur ekstrinsiknya. Jadi unsur intrinsik adalah dasar dari suatu karya

sastra dan tidak dapat dipisahkan dari unsur ekstrinsik. Maka dari itu, setelah

penjabaran terkait unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam novel Nun Pada

Sebuah Cermin, penulis akan menjabarkan pula persoalan terkait unsur ekstrinsik.

Karya sastra sebenarnya dapat diartikan sebagai sebuah kendaraan untuk ide, refleksi

sosial, maupun perwujudan dari kebenaran transedental (Agustina, 2020).

Dengan demikian, tentu setiap penulis karya sastra akan membangun sebuah

cerita yang mereka inginkan dengan membutuhkan berbagai dorongan baik dari

dalam maupun dari luar. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan unsur ekstrinsik,

seperti yang telah dijelaskan tadi. Unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur

pembangun sebuah cerita yang berfungsi sebagai pembangun sebuah cerita pada

sebuah karya sastra. Namun, ia sendiri tidak akan ikut menjadi bagian di dalamnya

(Mahaputra Yamin, 2017). Novel Nun Pada Sebuah Cermin merupakan salah satu

karya yang memiliki nilai-nilai kehidupan, diluar penceritaan novel itu sendiri. Pada

umumnya, unsur ekstrinsik akan memunculkan nilai-nilai yang dapat membangun

cerita daripada sebuah karya sastra itu sendiri. Adapun nilai-nilai yang terkandung

pada Novel Nunn Pada Sebuah Cermin antara lain ialah;

1. Nilai Religius

Nilai religius selalu berhubungan dengan ikatan seorang manusia

sebagai hamba dan Tuhan sebagai penciptanya. Hubungan antara manusia

dengan Tuhannya, tidak akan pernah lepas kaitannya dengan aturan dan

agama sebagai bentuk ketakwaan. Pembahasan mengenai Tuhan, tentu

tidak akan jauh dari pembicaraan soal agama.


Apabila diukur pada realitas kehidupan tokoh Nun di dalam novel Nun

Pada Sebuah Cermin, tentu hubungan seorang makhluk dan khaliq akan

tergambar jelas dan memiliki keterkaitan yang kuat. Agama selalu

memberikan ruang kepada setiap pemeluknya untuk mematuhi aturan-

aturan yang telah ditetapkan. Kepatuhan terhadap norma-norma agama,

bukan dilakukan atas dasar agama itu sendiri, melainkan atas dasar

ketakwaan yang tinggi kepada Tuhan sebagai penciptanya.

Hal tersebut dibuktikan oleh Tokoh Nun Walqolami, seorang

perempuan yang bekerja sejak usia SMA yang mengalami berbagai

penderitaan dalam kehidupannya. Beranjak dari usia kecilnya yang pernah

menjadi seorang pemulung karena keadaan yang memaksanya untuk

menjadi seperti itu. Hal tersebut, sama sekali tidak menggangu stabilitas

keimanan tokoh Nun dalam melanjutkan hidupnya. Dalam kehidupan yang

serba sempit itu, Nun tidak pernah meninggalkan sholatnya.

Mengapa saat merias diri dia memilih tempat yang agak terpisah,

yakni sudut ruang. Itu pun selalu setelah para pemain usai atau minimal

telah mulai berdandan. Itu juga berkaitan dengan kebiasaan Nun untuk

shalat maghrib terlebih dahulu. (Afra, 2015: 5). Disitu terlihat jelas

bagaimana kebiasaan seorang Nun dalam kehidupan sehari-harinya.

Meskipun Ia telah disibukkan dengan pekerjaan barunya sebagai seorang

pemain ketoprak, ia tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang

muslim yang taat kepada perintah Tuhannya. Nilai agama yang tersurat

dalam peristiwa ini adalah taat dalam beribadah. Seruan sholat dalam al-

quran sudah banyak dituliskan, salah satunya dalam surat al-baqarah ayat

110 yang isinya merupakan perintah sholat dan berdzikir.


2. Nilai Sosial Budaya

Nun sebagai tokoh utama pada Novel Nun Pada Sebuah Cermin

memiliki sifat menghormati dan menghargai orang yang lebih tua dan

senior dari dirinya yang ditunjukkan dari penggunaan bahasa dan tingkah

laku yang selalu andhap asor. Perilaku sosial terhadap masyarakat di

sekitarnya pun juga baik, hal ini ditunjukkan dengan banyak yang menaruh

simpati bahkan empati kepada dirinya dan keluarganya. Sedangkan aspek

sosio-budaya dalam novel ini ditunjukkan pada watak Nun yang

mencerminkan sosok perempuan Jawa. Selain itu, Nun juga kerap kali

mengenalkan budaya Jawa yang berupa kesenian ketoprak, yang turut serta

dijadikan salah satu pembahasan dalam novel tersebut. Hal ini tentu saja

secara langsung maupun tidak langsugn memberikan informasi atau ajakan

kepada pembaca untuk mengenal kembali kearifan dan budaya lokal,

kesenian ketoprak, lengkap dengan segala bentuk lika-likunya.

Apabila ditinjau dari segi setting, novel ini memiliki seting tempat dan

suasana yang seringkali dimunculkan. Setting tempat dalam novel ini

berlokasi di Kota Surakarta, meliputi gedung ketoprak, permukiman

sekitar terminal, dan gedung pertunjukan Taman Budaya Jawa Tengah.

Sedangkan seting suasana yang disematkan dan kerap kali dimunculkan

adalah suasana kegelisahan dan kasmaran yang dialami oleh Nun. Dalam

novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifah Afra, terdapat sebuah

keunikan lain yang khas mengangkat isu sosial. Secara tidak langsung Nun

berhasil memperkenalkan salah satu kebudayaan Indonesia seperti

ketoprak. Ketoprak sendiri merupakan salah satu dari jutaan budaya yang

ada di Indonesia, khususnya di Daerah Jawa Tengah


Pada umumnya, aspek sosial dalam sebuah karya sastra dilakukan

dalam rangka untuk memahami dan memaknai hubungannya dengan

keadaan sosial masyarakat di luarnya, sekaligus memperhatikan keadaan

sosiologis para pembacanya. Artinya ada sebuah kajian pada sosiologi

terhadap pembaca yang memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh

sosial yang diciptakan karya sastra. Sedangkan Novel karya Afifah ini,

tidak henti-hentinya menghubungkan persoalan-persoalan sosial dengan

melibatkan budaya didalamnya.

Menariknya lagi, keadaan tokoh Nun sebagai seorang perempuan yang

tengah berjuang untuk mengubah takdir hidupnya itu dibuat harus

mengunakan jalan tradisional untuk itu. Hal tersebut dibuktikan dengan

penawaran yang Ia terima sebagai pemain ketoprak. Tidak banyak novel

yang mengangkat isu seperti ini, dengan acuan yang seperti ini pula.

Penulis lain mungkin mengubah takdir seorang tokoh yang awalnya

terpuruk menjadi lebih baik, dengan memberikannya ruang-ruang

modernitas sehingga yang miskin, bisa menjadi benar-benar kaya. Apabila

pada novel yang lain, seorang tokoh yang menderita diawal ceritanya tiba-

tiba menjadi seorang pengusaha sukses, Afifah tidak memberlakukan itu

pada novelnya. Diluar ekspektasi, justru Ia menjadikan tokoh Nun sebagai

seorang pemain ketoprak sebagai bentuk melestarikan kebudayaan

Indonesia, khususnya budaya yang terdapat di daerah Jawa Tengah. Tidak

banyak yang menyadari apa yang telah dilakukan oleh Afifah dalam

merancang dan menyusun novel tersebut. Menghidupkan permasalahan-

permasalahan sosial dengan melibatkan budaya didalamnya, adalah sebuah

inisiatif yang fantastis terjadi pada khazanah sastra.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Novel Nun Pada Sebuah Cermin adalah sebuah bentuk kreatifitas dunia sastra

dalam mengangkat berbagai isu kehidupan menjadi satu tema. Secara garis besar,

tema tersebut mengandung tema perjuangan meliputi orang-orang kecil dan

masyarakat miskin. Tema yang diangkat oleh Afifah pada novelnya yang berjudl Nun

Pada Sebuah Cermin ini, merupakan tema yang membahas isu-isu sosial secara

general. Kehidupan bermasyrakat Ia sematkan pada novelnya tersebut, dimulai

dengan lingkup kecil, yaitu sebuah keluarga.

Terdapat tiga tahapan yang bisa dikelompokkan mengenai alur yang terjadi

pada novel karya Afifah ini. Tahapan pertama, yaitu perkenalan seorang tokoh yang

domainnya diangap sebagai tokoh utama. Nun Walqolami, sebagai tokoh yang

dikenalkan oleh penulis diawal cerita. Tahap berikutnya, yaitu memicu datangnya

konflik yang melibatkan tokoh Nun dan tokoh lainnya. Nun terpaksa menjadi

pemulung, sehingga keinginannya untuk tetap melanjutkan sekolahnya harus

dipendam dan dikubur. Tahapan yang terakhir, yaitu penyelesaian masalah. Berbagai

konlfik yang telah terjadi pada tahap sebelumnya, perlahan-lahan diselesaikan dengan

urutan perisitiwa yang baru. Seperti yang telah dijelaskan tadi, hubungan sebab-akibat

terus berlanjut pada tahap penyelesain masalah.

Latar atau yang biasanya disebut setting merupakan bagian cerita yang

menggambarkan keadaan tempat, waktu, dan lingkungan sosial. Perannya dalam

memberikan keterangan, tentunya sangat dibutuhkan dalam seubah karya sastra.

Novel Nun Pada Sebuah Cermin ini bisa ditekankan bahwas Afifah menggunakan

beberapa nama kota dalam memberikan latar yang menunjukkan keterangan tempat.
Seperti misalnya; Kota Medan, Kota Surakarta, begitupun nama pulau seperti

Jawa. Tidak lupa pula dengan tempat-tempat esklusif, seperti gedung. Latar waktu

yang disebutkan antara lain ialah; Waktu kecil, Siang, Sore, Malam hari, Zaman dulu

dan Masa depan. Secara garis besar, kondisi dan keadaan lingkungan disekitar tokoh

yang ada pada novel tersebut cenderung memunculkan nuansa sedih. Artinya,

kegembiraan yang seharusnya menjadi impian dari seorang tokoh perlu melewati

beberapa kesedihan terlebih dahulu.

Penokohan yang ditekankan kepada setiap tokoh, tentunya akan memiliki ciri

khas dan karakter yang berbeda. Umumnya, penekohan dibagi menjadi beberapa

karakter. Seperti misalnya, protagonis, antagonis dan tritagonis. Novel Nun Pada

Sebuah Cermin karya Afifa Afra kurang lebih memiliki sekitar 24 tokoh, dan

memiliki tokoh utama yaitu Nun Walqolami yang berwatak protagonis. Tokoh Nun

memiliki karakter yang khas dan tidak dimiliki oleh tokoh lain, meskipun sebagai

tokoh yang berwatak protagonis sekalipun. Nun seorang protagonis yang idealis dan

merupakan sosok yang religius. Setiap hal yang menimpanya, Ia selalu

mengembalikannya pada Tuhan dan agamanya. Meskipun tokoh-tokoh seperti Ibunya

memiliki karakter protagonis, belum bisa seperti Nun.

. Narasi yang dituliskan oleh Afifah pada novel tersebut, merupakan sebuah

keberanian yang Ia sematkan dengan mengangkat tema perjuangan orang-orang

miskin dalam berkehidupan (Saddhono et al., 2017). Dalam novel tersebut, Afra

menjadikan Nun sebagai seorang pemain ketoprak. Kehidupan Nun menjadi potret

kehidupan yang nyata. Melalui novel ini, Afra telah menunjukkan realitas yang terjadi

dalam kehidupan masyarakat di sekitar terminal dan seorang pemain ketoprak. Selain

itu Tokoh Nun memliki Integritas beragama yang kuat, dengan kerelaan dan sama

sekali tidak memiliki keterpaksaan didalamnya.


Amanat yang terkandung dalam novel ini, tidak lain memberikan edukasi

kepada pembaca agar tidak mudah menyerah dalam menghadapi kekerasan yang

terjadi dalam kehidupan. Kekerasan tersebut dikorelasikan dengan realitas sosial yang

terdapat pada novel tersebut, ketimpangan toleransi pada kelas sosial menjadi salah

satu tolak ukur pada masalah tersebut. Disamping itu, novel Nun Pada Sebuah Cermin

karya Afifa Afra ini juga memberikan pernyataan yang tegas terhadap pendidikan.

Penggunaan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra, tentu memiliki tujuan

tertentu. Tujuan tersebut adalah untuk menghidupkan suatu cerita agar dapat

mengekspresikan perasaan yang diungkapkan melalui tulisan. Dalam sebuah gaya

bahasa biasanya juga terdapat beberapa unsur seperti, leksikal, struktur kalimat,

retorika, dan penggunaan kohesi. Disamping itu, gaya bahasa juga dapat memberikan

efek lebih kepada para pembaca sebab bisa mencerminkan sifat pribadi seorang

penulis. Efek tersebut berkaitan dengan upaya memperkaya sebuah makna,

penggambaran objek, peristiwa secara objektif maupun subjektif dan menimbulkan

pemaknaan yang estetis bagi setiap pembaca tadi.

Unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur pembangun sebuah cerita yang

berfungsi sebagai pembangun sebuah cerita pada sebuah karya sastra. Namun, ia

sendiri tidak akan ikut menjadi bagian di dalamnya (Mahaputra Yamin, 2017). Novel

Nun Pada Sebuah Cermin merupakan salah satu karya yang memiliki nilai-nilai

kehidupan, diluar penceritaan novel itu sendiri. Pada umumnya, unsur ekstrinsik akan

memunculkan nilai-nilai yang dapat membangun cerita daripada sebuah karya sastra

itu sendiri. Tokoh Nun Walqolami, seorang perempuan yang bekerja sejak usia SMA

yang mengalami berbagai penderitaan dalam kehidupannya.


Beranjak dari usia kecilnya yang pernah menjadi seorang pemulung karena

keadaan yang memaksanya untuk menjadi seperti itu. Hal tersebut, sama sekali tidak

menggangu stabilitas keimanan tokoh Nun dalam melanjutkan hidupnya. Meskipun Ia

telah disibukkan dengan pekerjaan barunya sebagai seorang pemain ketoprak, ia tetap

melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat kepada perintah

Tuhannya. Nilai agama yang tersurat dalam peristiwa ini adalah taat dalam beribadah.

Seruan sholat dalam al-quran sudah banyak dituliskan, salah satunya dalam surat al-

baqarah ayat 110 yang isinya merupakan perintah sholat dan berdzikir.

Dalam novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifah Afra, terdapat sebuah

keunikan lain yang khas mengangkat isu sosial. Secara tidak langsung Nun berhasil

memperkenalkan salah satu kebudayaan Indonesia seperti ketoprak. Ketoprak sendiri

merupakan salah satu dari jutaan budaya yang ada di Indonesia, khususnya di Daerah

Jawa Tengah. Menariknya lagi, keadaan tokoh Nun sebagai seorang perempuan yang

tengah berjuang untuk mengubah takdir hidupnya itu dibuat harus mengunakan jalan

tradisional untuk itu. Hal tersebut dibuktikan dengan penawaran yang Ia terima

sebagai pemain ketoprak. Tidak banyak novel yang mengangkat isu seperti ini,

dengan acuan yang seperti ini pula.

Penulis lain mungkin mengubah takdir seorang tokoh yang awalnya terpuruk

menjadi lebih baik, dengan memberikannya ruang-ruang modernitas sehingga yang

miskin, bisa menjadi benar-benar kaya. Apabila pada novel yang lain, seorang tokoh

yang menderita diawal ceritanya tiba-tiba menjadi seorang pengusaha sukses, Afifah

tidak memberlakukan itu pada novelnya. Diluar ekspektasi, justru Ia menjadikan

tokoh Nun sebagai seorang pemain ketoprak sebagai bentuk melestarikan kebudayaan

Indonesia, khususnya budaya yang terdapat di daerah Jawa Tengah.


Amanat lain yang Afifah sematkan pada tokoh Nun dan perilakunya adalah

ketangguhan diri. Nun juga digambarkan sebagai seorang perempuan yang sangat

peduli dan menjaga harga dirinya, dari apapun yang bisa menjatuhkan reputasinya

sebagai seorang perempuan muslim. Pada novel tersebut, tokoh Nun kerap kali

menghentikan upaya-upaya berbau kekerasan seperti pelecehan yang hendak

dilakukan oleh tokoh lain. Sebagai seorang perempuan yang biasanya dianggap lemah

dan tidak berdaya, Nun berusaha untuk menghapus asumsi tersebut. Ia percaya bahwa

dirinya juga berani untuk melawan, seberani orang yang berupaya untuk berbuat jahat

kepadanya.

Disamping itu, ada pesan lain yang disampaikan oleh Novel Nun Pada Sebuah

Cermin tersebut. Nun sebagai seorang muslim yang taat, Ia tidak fasik dan tidak

melanggar aturan sekaligus perintah Tuhannya untuk selalu hormat kepada kedua

orang tua. Nun sangat menghormati Ibunya, bagi Nun sosok Ibunya merupakan

pahlawan terbaik bagi kehidupannya. Sosok Ibu yang rela menjadi pemulung untuk

memenuhi kebutuhan mereka. Kondisi sesulit apapun yang Nun dan Ibunya rasakan,

Nun tetap menganggap Ibunya sebagai sosok yang disayangi dan dihormati. Ia sama

sekali tidak pernah malu memiliki Ibu seperti itu.


DAFTAR PUSTAKA

Agus, W. (2020). GAYA BAHASA DALAM NOVEL AYAH. FKIP Untan Pontianak, 1–

12.

Agustina, H. N. (2020). Kekhasan Konflik Novel The Kite Runner. Pena Pesada.

Brier, J., & lia dwi jayanti. (2020). Pengertian Setting. 21(1), 1–9. http://journal.um-

surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203

Djuanda, D., & Prana, I. (2006). Apresiasi sastra indonesia.

Hafizha, N. (2018). Nilai Agama Dalam Perjuangan Hidup Novel Nun, Pada Sebuah Cermin

Sebagai Bahan Ajar. JINoP (Jurnal Inovasi Pembelajaran), 4(1), 71.

https://doi.org/10.22219/jinop.v4i1.5663

Mahaputra Yamin, M. (2017). Analisis unsur ekstrinsik novel sang pemimpi karya andrea

hirata. Jurnal Kata : Penelitian Bahasa Dan Sastra, 137–143.

Muhammad, Fathia, F. (n.d.). ANALISIS GAYA BAHASA DALAM NOVEL SRIMENANTI

KARYA BAHASA INDONESIA DI SMA.

Purba, C. A., Siagian, G., & Simanjuntak, M. (2021). Unsur-Unsur Intrisik Dalam Novel Nun

Pada Sebuah Cermin Karya Afifa Afra. Jurnal Bastaka (JBT), 4(1), 22–29.

Saddhono, K., Waluyo, H. J., & Raharjo, Y. M. (2017). Kajian Sosiologi Sastra Dan

Pendidikan Karakter Dalam Novel Nun Pada Sebuah Cermin Karya Afifah Afra Serta

Relevansinya Dengan Materi Ajar Di Sma. JPI (Jurnal Pendidikan Indonesia), 6(1), 16–

27. https://doi.org/10.23887/jpi-undiksha.v6i1.8627

Sumasari, Y. J. (2014). Analisis Unsur-Unsur Intrinsik Dalam Hikayat Cerita Taifah.

Desember, 4(2), 2089–3973.

Anda mungkin juga menyukai