Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Nun Pada Sebuah Cermin adalah sebuah novel terbitan tahun 2015 yang
ditulis oleh Afifah Afra dan diterbitkan oleh Republika Penerbit. Novel tersebut
memiliki halaman sekitar 370 halaman, dengan sampul berwarna biru muda yang
Pertanyaan mendasar pada sebuah novel dengan judul yang tak lazim didengar itu,
tidak lain adalah mengapa harus cermin dan apa maksud sebuah kata nun didalamnya.
“Cermin itu selalu apa adanya. Jika yang bercermin di depannya memang punya
keburukan, dia akan pantulkan tanpa enggan, sehingga orang yang bercermin menjadi
tahu apa yang salah darinya, dan tentunya akan timbul kesadaran untuk
Cermin adalah sebuah pantulan yang mampu memantulkan apa saja yang
berada tepat didepannya. Maka sejatinya kehidupan merupakan replika dari sebuah
dalam mengambil pelajaran. Kisah fiksi yang tidak hanya bersumber dari khalayan
saja, tetapi juga juga berdasarkan kehidupan nyata juga bisa menjadi sarana berkaca,
sekaligus memperbaiki diri. Seperti halnya prosa bergenre fiksi karya Afifah Afra
yang berjudul Nun Pada Sebuah Cermin ini, pembaca justru dapat langsung
bercermin pada kehidupan yang terjadi di dalam novel tersebut. Terdapat hal lain
yang mampu mendasari daripada terbentuknya novel tersebut, tentunya penulis tidak
tersebut. Disamping itu, terdapat banyak hal menarik lainnya yang perlu ditelaah pada
novel tersebut. Maka dari itu, penulis akan menjabarkan berbagai hal yang tersirat di
dalam novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifah ini, dengan mempertimbangkan
1. Isu atau topik apakah yang terkandung dalam Novel Nun Pada Sebuah Cermin.
2. Bagaimana unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terletak di dalam Novel Nun Pada
Sebuah Cermin?
1.3 Tujuan
1. Pembaca mengetahui isu atau topik yang terkandung dalam Novel Nun Pada
Sebuah Cermin.
Nun Walqolami adalah anak yatim yang semasa kecilnya tinggal bersama ibu dan
kedua adiknya. Sejak kecil Ia telah ditinggal oleh bapaknya meninggal terlebih dahulu,
sebelum memberikan atau mewasiatkan harta apapun, sehingga Nun dan keluarganya mau
tidak mau harus hidup di rumah-rumah ilegal di sekitaran sungai. Ibunya rela bekerja mati-
matian sebagai seorang pemulung. Namun dari semua itu, ada kelebihan yang Nun miliki. Ia
dianugerahkan lahir sebagai anak yang kepintarannya di atas rata-rata, namun saat lulus SMP
dia harus menyadari bahwa orangtuanya sudah tidak mampu untuk membiayainya lagi untuk
melanjutkan ke bangku SMA, meski pada hatinya yang paling dalam, dia sangat ingin terus
Akhirnya, dia pun turut bekerja sebagai pemulung membantu ibunya. Namun,
Wiratno Sri Kameswara yang bekerja sebagai pemain ketoprak mengajak Nun untuk memain
ketoprak bersama dia. Wiratno melihat Nun memiliki bakat dan kebetulan Tantri yang biasa
menjadi pemeran utama kepincut bayaran menjadi penyanyi dangdut. “Siapa bilang? Kamu
berbakat, sangat berbakat. Ayo kuajak kau menghadap Denmas Daruno. Biar nanti kau bisa
menggantikan Tantri, berperan sebagai Galuh Condrokirono.” Wiratno yang juga penduduk
di bantaran kali sebenarnya orang yang pintar, dia seorang sarjana budaya bahasa Jawa.
Tetapi, dia memang tidak mendapat pekerjaan yang bagus. Dia menjadi guru, tetapi hanya
Kemudian dia bergabung menjadi pemain ketoprak di grup yang legendaris sejak
zaman Belanda bernama Chandra Poernama (halaman 56). Wiratno sebenarnya sudah
memiliki istri yang bernama Mekarsari. Sari cantik namun pemarah, kasar, dan cemburuan.
Meski ketika di panggung Wiratno tidak romantis secara fisik, namun romantisme kata-kata
Wiratno kepada pemeran utama wanita membuat Sari cemburu, terlebih nafkah yang
diberikan Wiratno sedikit, Akhirnya, Sari menceraikan dia dan menjadi TKW. Sudah lama
Nun menyukai Wiratno yang terpaut jauh dari umurnya. Ditambah lagi Wiratno sangat
memperhatikan dirinya dan keluarga. Namun, setelah Wiratno menikah, dan semakin lama
Nun mengerti bahwa Wiratno menyayangi keluarga Nun sebagai seorang paman. Nun
berusaha mengubur harapannya. Nun kembali berharap kepada seorang pemuda yang
bernama Naya. Dia baru menyelesaikan studinya di Australia, ibunya adalah seorang dosen
dan bapaknya adalah pengusaha yang memiliki media, salah satunya media Tribun
Bengawan. Tribun Bengawan mengalami kemerosotan dan ini menjadi ajang Naya untuk
mengerahkan semua ilmunya, untuk menaikkan lagi. Naya mencari berita tentang budaya
tentang ketoprak dan dia hadir saat pementasan ketoprak Chandra Poernama. Dia terkesan
dengan penampilan tokoh utama, yaitu Wiratno dan Nun. Dia mewawancarai Wiratno
Kemudian giliran mewancarai Nun dengan waktu yang agak lama, dalam perjalanan
pulang. Naya semakin terkesan dengan Nun, dengan kepiawaiannya sebagai pemain
ketoprak, dengan namanya, kepintarannya dan kecantikan yang mungkin bukan dari tubuh
tetapi cantik yang ada dalam perangai dirinya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan
terjadinya sebuah konflik kehidupan yang melibatkan berbagai persoalan, baik itu berupa
persoalan meliputi kisah cinta, pengorbanan, ekonomi, keluarga dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan konsep cermin yang telah disinggung pada pendahuluan tadi, peristiwa
demi peristiwa akan berkesinambungan. Pada umumnya dalam sebuah novel akan
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang
berada di dalam novel dan ekstrinsik sebaliknya, yaitu berasal dari luar novel yang berperan
sebagai pemicu adanya konflik dan faktor-faktor tertentu pada sebuah novel.
2.1 Unsur - Unsur Intrinsik
Novel Nun Pada Sebuah Cermin adalah sebuah bentuk kreatifitas dunia sastra
dalam mengangkat berbagai isu kehidupan menjadi satu tema. Secara garis besar,
masyarakat miskin. Dalam membangun sebuah tema pada sebuah karya sastra prosa
seperti novel, perlu adanya unsur-unsur yang disematkan didalamnya. Dua unsur
tersebut antara lain ialah intrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur intrinsik lumrahnya
meliputi tema, plot, tokoh penokohan, setting, narasi dan gaya bahasa (Sumasari,
2014). Maka dari itu, penulis akan membongkar sekaligus menjabarkan unsur-unsur
intrinsik yang terkandung pada novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifah Afra.
Tema
Tema yang diangkat oleh Afifah pada novelnya yang berjudl Nun Pada
Sebuah Cermin ini, merupakan tema yang membahas isu-isu sosial secara general.
kecil, yaitu sebuah keluarga. Perjuangan dalam menjalani sebuah kehidupan adalah
tema yang tentunya bisa diangkat sebagai tema secara garis besar pada Novel yang
mengangkat tokoh Nun tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan sebuah perjuangan,
“Cermin itu selalu apa adanya. Jika yang bercermin di depannya memang
punya keburukan, dia akan pantulkan tanpa enggan, sehingga orang yang bercermin
menjadi tahu apa yang salah darinya, dan tentunya akan timbul kesadaran untuk
apa maksud dibalik judul yang diangkat oleh Afifah, dan tema apa yang sebenarnya
dibangun olehnya.
Plot
Karya sastra adalah sebuah hasil dari sebuah karangan dengan berbagai
rancangan yang mengacu pada peristiwa ataupun perasaan seorang penulisnya. Pada
setiap karya sastra yang berbentuk prosa, tentu setiap penulisnya melalukan
rancangan pada penulisan rangkaian peristiwa yang akan terjadi. Hal yang berkaitan
dengan rangkain peristiwa pada sebuah cerita, biasanya disebut sebagai alur atau plot.
Novel karya Afifah yang berjudul Nun Pada Sebuah Cermin merupakan
sebuah karya sastra dengan genre prosa, yang tentunya menggunakan urutan dan
tersematkan pada seluruh tahapan cerita didalam novel tersebut, sebab tidak mungkin
Afifah tidak memberikan alasan pada setiap konflik yang terjadi didalamnya. Alur
yang terdapat pada novel tersebut, bisa dibilang tidak terlalu berlebihan dengan
yang terjadi pada novel karya Afifah ini. Tahapan pertama, yaitu perkenalan seorang
tokoh yang domainnya diangap sebagai tokoh utama. Nun Walqolami, sebagai tokoh
yang dikenalkan oleh penulis diawal cerita. Latar belakang tokoh Nun dijelaskan
diawal cerita, dengan menceritakan masa lalu tokoh dan lain sebagainya. Pada tahap
tersebut, jelas tokoh Nun dikenalkan dengan rinci dan teratur. Nun digambarkan
Nun dan tokoh lainnya. Nun terpaksa menjadi pemulung, sehingga keinginannya
untuk tetap melanjutkan sekolahnya harus dipendam dan dikubur. Namun, terdapat
tawaran untuk melanjutkan sekolah yang Ia dapatkan dari tokoh Wiratno. Hal
tersebut, mengundang konflik baru sebab kondisi dan keadaan Nun yang dicap
sebagai pemulung dan tidak pantas untuk masuk SMA Cahaya. Pada tahap ini, konflik
perisitiwa yang baru. Seperti yang telah dijelaskan tadi, hubungan sebab-akibat terus
berlanjut pada tahap penyelesain masalah. Hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan
salah satu tokoh pada kutipan dialog berikut ini “Hm... begini, dik. Kami
mendapatkan laporan dari beberapa pemulung di Kawasan TPA Putri empo, bahwa
mereka melihat sosok jenazah tertimbun, atau mungkin sengaja ditimbun, dengan
sampah di sana. Tak ada identitas apa pun di sana. Tetapi beberapa pemulung
Setting
Berkaitan dengan tempat dan waktu, tentunya setiap novel memiliki kedua hal
tersebut. Sehingga kedudukan sebuah latar pada sebuah novel, seyogyanya akan
menjadi peran paling penting dalam menumbuhkan imajinasi pada setiap pembaca.
Pada umumnya, setiap karya sastra prosa baik itu novel ataupun cerpen pasti
memerlukan latar didalamnya. Latar atau yang biasanya disebut setting merupakan
bagian cerita yang menggambarkan keadaan tempat, waktu, dan lingkungan sosial
bertepatan dengan aksi atau perbuatan yang dilakukan oleh suatu tokoh.
Berdasarkan telaah yang telah dilakukan, Novel Nun Pada Sebuah Cermin
2. Latar Waktu
erat dengan nalar. Artinya latar waktu yang dimaksud, bukan waktu yang
menyebutkan jam ataupun menit. Latar waktu yang disebutkan antara lain
ialah; Waktu kecil, Siang, Sore, Malam hari, Zaman dulu dan Masa depan.
3. Lingkungan
perlu melewati beberapa kesedihan terlebih dahulu. Kondisi seperti itu bisa
tokoh yang ada pada Karya sastra. Tokoh sendiri adalah orang atau suatu karakter
didalam suatu cerita maupun suatu karya sastra yang dimana masing-masing dari
mereka memiliki suatu standar moral yang berbeda (Purba et al., 2021). Penokohan
yang ditekankan kepada setiap tokoh, tentunya akan memiliki ciri khas dan karakter
1) Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis merupakan watak yang baik dan digemari oleh pembaca
yang membacanya.
2) Tokoh Antagonis
3) Tokoh Tritagonis
Novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifa Afra kurang lebih memiliki
sekitar 24 tokoh, dan memiliki tokoh utama yaitu Nun Walqolami yang berwatak
protagonis. Tokoh Nun memiliki karakter yang khas dan tidak dimiliki oleh tokoh
lain, meskipun sebagai tokoh yang berwatak protagonis sekalipun. Nun seorang
protagonis yang idealis dan merupakan sosok yang religius. Setiap hal yang
tokoh-tokoh seperti Ibunya memiliki karakter protagonis, belum bisa seperti Nun.
Narasi
Novel Nun Pada Sebuah Cermin merupakan sebuah novel yang erat
hubungannya dengan realitas sosial dan juga nilai-nilai budaya. Afifah Afra sudah
banyak menuliskan novel-novel yang sedemikian rupa, tapi tidak semnarik Novel
yang satu ini. Narasi yang dituliskan oleh Afifah pada novel tersebut, merupakan
orang miskin dalam berkehidupan (Saddhono et al., 2017). Dalam novel tersebut,
Afra menjadikan Nun sebagai seorang pemain ketoprak. Kehidupan Nun menjadi
potret kehidupan yang nyata. Melalui novel ini, Afra telah menunjukkan realitas yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat di sekitar terminal dan seorang pemain ketoprak.
Permasalahan yang terdapat pada novel tersebut, sangat relevan dengan apa
yang terjadi di kehidupan sosial saat ini. Permasalahan sosial selalu berkaitan erata
dengan eksistensi dan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, yang seharusnya
memiliki sikap toleransi yang tinggi dan dinomersatukan. Perjuangan hidup seorang
kecil yang berperan sama halnya dengan orang-orang lain sebagai makhluk sosial.
Lumrahnya, setiap manusia akan senantiasa dilibatkan dengan persoalan sosial yang
melibatkan makhluk sosial lainnya. Masalah sosial tersebut, tentu timbul sebab
adanya keterkaitan dan hubungan dari manusia ke manusia yang lain (Hafizha, 2018).
Menariknya lagi, selain sebagai makhluk sosial Nun juga memposisikan dirinya
sebeagai makhluk yang sejati. Artinya, Ia tidak melupakan esensi yang sebenarnya ia
miliki sebagai makhluk yang diciptakan oleh Maha dari seluruh makhluk di Alam
Semesta, yaitu Tuhan. Integritas beragama dimiliki oleh Nun, dengan kerelaan dan
Amanat adalah sebuah ajaran moral ataupun seperangkat pesan yang hendak
pentingnya dengan tema yang melandasi sebuah cerita, amanat dapat disampaikan
secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral ataupun pesan di dalam
tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan
dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan pcnyampaian seruan, saran,
peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama
Novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifah ini memiliki banyak pesan yang
cerita tertentu. Disamping itu, motif kepenulisan novel ini tentunya berperan sebagai
edukasi berkhazanah sastra dengan mengangkat berbagai isu yang telah dijabarkan
tadi. Amanat yang terkandung dalam novel ini, tidak lain memberikan edukasi kepada
pembaca agar tidak mudah menyerah dalam menghadapi kekerasan yang terjadi
terdapat pada novel tersebut, ketimpangan toleransi pada kelas sosial menjadi salah
Disamping itu, novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifa Afra ini juga
ditekankan pada kewajiban setiap anak untuk bersekolah, sebab peran sekolah dalam
mencapai cita–cita adalah sebagai salah satu syarat, sehingga putus sekolah bisa
menjadi masalah bagi siapa saja yang ingin menggapai cita–cita, tapi tidak memiliki
pemulung yang tak berdaya. Ia tidak mampu untuk melanjutkan sekolahnya yang
sempat terputus di bangku SMP, padahal dalam hatinya yang paling dalam ia bercita-
cita untuk tetap melanjutkan sekolahnya tersebut ke bangku yang lebih tinggi
setelahnya, yaitu bangku SMA. Hal tersebut seharusnya perlu untuk diamati dan
Faktanya, hari ini banyak anak-anak yang memiliki orang tua berada dan
bertingkat, mulai dari bangku SD sampai pada Perguruan Tinggi. Namun, semangat
yang dimiliki oleh anak-anaknya justru kalah jauh dengan seangat yang dimiliki oleh
Tokoh Nun dalam novel Nun Pada Sebuah Cermin tersebut. Anak-anak yang biasa
tinggal di Lingkungan serba ada dan biasa dimanjakan oleh orang tuanya cenderung
memiliki sifat pemalas dan tidak ada mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Edukasi
yang sengaja disampaikan lewat cerita Nun oleh Afifah, harus direnungi dan
Perjuangan seorang Nun jelas bukan lah perjuangan yang sepele, dan tidak
sepantasnya direndahkan. Apalagi tokoh Nun ditakdirkan menjadi seorang tokoh yang
dengan sengaja dibuat oleh Afifah sebagai sosok perempuan. Tidak mudah
menemukan seorang perempuan yang kuat dalam menghadapi penderitaan seperti itu
dalam hidupnya. Namun dengan semangat Nun yang tetap hidup pada hatinya, Ia
mendapatkan ruang untuk belajar, melatih batin dan kelihaiannya dalam bermain
peran, Ia menjadi seorang pemain ketoprak. Sungguh, Nun tetap belajar disana.
Amanat lain yang Afifah sematkan pada tokoh Nun dan perilakunya adalah
kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat kepada perintah Tuhannya, yaitu
setiap umat beragama adalah bentuk penghambaan seperti apa yang mereka lakukan.
Sebagai seorang muslim, tentunya sholat menjadi wujud penghambaan paling utama
Nun juga digambarkan sebagai seorang perempuan yang sangat peduli dan
menjaga harga dirinya, dari apapun yang bisa menjatuhkan reputasinya sebagai
seorang perempuan muslim. Pada novel tersebut, tokoh Nun kerap kali menghentikan
upaya-upaya berbau kekerasan seperti pelecehan yang hendak dilakukan oleh tokoh
lain. Sebagai seorang perempuan yang biasanya dianggap lemah dan tidak berdaya,
Nun berusaha untuk menghapus asumsi tersebut. Ia percaya bahwa dirinya juga berani
untuk melawan, seberani orang yang berupaya untuk berbuat jahat kepadanya.
Disamping itu, ada pesan lain yang disampaikan oleh Novel Nun Pada Sebuah
Cermin tersebut. Nun sebagai seorang muslim yang taat, Ia tidak fasik dan tidak
melanggar aturan sekaligus perintah Tuhannya untuk selalu hormat kepada kedua
orang tua. Nun sangat menghormati Ibunya, bagi Nun sosok Ibunya merupakan
pahlawan terbaik bagi kehidupannya. Sosok Ibu yang rela menjadi pemulung untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Kondisi sesulit apapun yang Nun dan Ibunya rasakan,
Nun tetap menganggap Ibunya sebagai sosok yang disayangi dan dihormati. Ia sama
Gaya bahasa merupakan suatu susunan kata yang digunakan seorang penulis
penyusun kata bisa saja gaya bahasa disebut sebagai majas. Nurgiyantoro (2009:272)
dalam sastra.
Penggunaan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra, tentu memiliki tujuan
tertentu. Tujuan tersebut adalah untuk menghidupkan suatu cerita agar dapat
mengekspresikan perasaan yang diungkapkan melalui tulisan (Agus, 2020). Selain itu,
Dalam sebuah gaya bahasa biasanya juga terdapat beberapa unsur seperti,
leksikal, struktur kalimat, retorika, dan penggunaan kohesi. Gaya Bahasa merupakan
cara pemakaian bahasa yang berbeda dari bahasa keseharian yang ditulis oleh setiap
pengarang cerita dalam mengungkapkan gagasan yang ada dalam pikiran dan
perasaannya. Disamping itu, gaya bahasa juga dapat memberikan efek lebih kepada
para pembaca sebab bisa mencerminkan sifat pribadi seorang penulis. Efek tersebut
secara objektif maupun subjektif dan menimbulkan pemaknaan yang estetis bagi
setiap pembaca tadi (Muhammad, Fathia, n.d.). Diantara gaya bahasa yang terdapat
pada Novel karya Afifah ini antara lain ialah sebagai berikut;
1. Metafora
2. Personifikasi
barang mati ataupun tidak bernyawa yang bersifat seolah memiliki sifat
dialog novel Nun Pada Sebuah Cermin berikut; “Bagaimana hujan rinai
(Afra, 2015:306).
“Aku piye? Aku piye?” (Afra, 2015:22) dan “Memang kenapa kalau
4. Hiperbola
mengabaikan unsur ekstrinsiknya. Jadi unsur intrinsik adalah dasar dari suatu karya
sastra dan tidak dapat dipisahkan dari unsur ekstrinsik. Maka dari itu, setelah
penjabaran terkait unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam novel Nun Pada
Sebuah Cermin, penulis akan menjabarkan pula persoalan terkait unsur ekstrinsik.
Karya sastra sebenarnya dapat diartikan sebagai sebuah kendaraan untuk ide, refleksi
Dengan demikian, tentu setiap penulis karya sastra akan membangun sebuah
cerita yang mereka inginkan dengan membutuhkan berbagai dorongan baik dari
dalam maupun dari luar. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan unsur ekstrinsik,
pembangun sebuah cerita yang berfungsi sebagai pembangun sebuah cerita pada
sebuah karya sastra. Namun, ia sendiri tidak akan ikut menjadi bagian di dalamnya
(Mahaputra Yamin, 2017). Novel Nun Pada Sebuah Cermin merupakan salah satu
karya yang memiliki nilai-nilai kehidupan, diluar penceritaan novel itu sendiri. Pada
cerita daripada sebuah karya sastra itu sendiri. Adapun nilai-nilai yang terkandung
1. Nilai Religius
dengan Tuhannya, tidak akan pernah lepas kaitannya dengan aturan dan
Pada Sebuah Cermin, tentu hubungan seorang makhluk dan khaliq akan
bukan dilakukan atas dasar agama itu sendiri, melainkan atas dasar
menjadi seperti itu. Hal tersebut, sama sekali tidak menggangu stabilitas
Mengapa saat merias diri dia memilih tempat yang agak terpisah,
yakni sudut ruang. Itu pun selalu setelah para pemain usai atau minimal
telah mulai berdandan. Itu juga berkaitan dengan kebiasaan Nun untuk
shalat maghrib terlebih dahulu. (Afra, 2015: 5). Disitu terlihat jelas
muslim yang taat kepada perintah Tuhannya. Nilai agama yang tersurat
dalam peristiwa ini adalah taat dalam beribadah. Seruan sholat dalam al-
quran sudah banyak dituliskan, salah satunya dalam surat al-baqarah ayat
Nun sebagai tokoh utama pada Novel Nun Pada Sebuah Cermin
memiliki sifat menghormati dan menghargai orang yang lebih tua dan
senior dari dirinya yang ditunjukkan dari penggunaan bahasa dan tingkah
sekitarnya pun juga baik, hal ini ditunjukkan dengan banyak yang menaruh
mencerminkan sosok perempuan Jawa. Selain itu, Nun juga kerap kali
mengenalkan budaya Jawa yang berupa kesenian ketoprak, yang turut serta
dijadikan salah satu pembahasan dalam novel tersebut. Hal ini tentu saja
Apabila ditinjau dari segi setting, novel ini memiliki seting tempat dan
adalah suasana kegelisahan dan kasmaran yang dialami oleh Nun. Dalam
novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifah Afra, terdapat sebuah
keunikan lain yang khas mengangkat isu sosial. Secara tidak langsung Nun
ketoprak. Ketoprak sendiri merupakan salah satu dari jutaan budaya yang
terhadap pembaca yang memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh
sosial yang diciptakan karya sastra. Sedangkan Novel karya Afifah ini,
yang mengangkat isu seperti ini, dengan acuan yang seperti ini pula.
pada novel yang lain, seorang tokoh yang menderita diawal ceritanya tiba-
banyak yang menyadari apa yang telah dilakukan oleh Afifah dalam
3.1 Kesimpulan
Novel Nun Pada Sebuah Cermin adalah sebuah bentuk kreatifitas dunia sastra
dalam mengangkat berbagai isu kehidupan menjadi satu tema. Secara garis besar,
masyarakat miskin. Tema yang diangkat oleh Afifah pada novelnya yang berjudl Nun
Pada Sebuah Cermin ini, merupakan tema yang membahas isu-isu sosial secara
Terdapat tiga tahapan yang bisa dikelompokkan mengenai alur yang terjadi
pada novel karya Afifah ini. Tahapan pertama, yaitu perkenalan seorang tokoh yang
domainnya diangap sebagai tokoh utama. Nun Walqolami, sebagai tokoh yang
dikenalkan oleh penulis diawal cerita. Tahap berikutnya, yaitu memicu datangnya
konflik yang melibatkan tokoh Nun dan tokoh lainnya. Nun terpaksa menjadi
dipendam dan dikubur. Tahapan yang terakhir, yaitu penyelesaian masalah. Berbagai
konlfik yang telah terjadi pada tahap sebelumnya, perlahan-lahan diselesaikan dengan
urutan perisitiwa yang baru. Seperti yang telah dijelaskan tadi, hubungan sebab-akibat
Latar atau yang biasanya disebut setting merupakan bagian cerita yang
Novel Nun Pada Sebuah Cermin ini bisa ditekankan bahwas Afifah menggunakan
beberapa nama kota dalam memberikan latar yang menunjukkan keterangan tempat.
Seperti misalnya; Kota Medan, Kota Surakarta, begitupun nama pulau seperti
Jawa. Tidak lupa pula dengan tempat-tempat esklusif, seperti gedung. Latar waktu
yang disebutkan antara lain ialah; Waktu kecil, Siang, Sore, Malam hari, Zaman dulu
dan Masa depan. Secara garis besar, kondisi dan keadaan lingkungan disekitar tokoh
yang ada pada novel tersebut cenderung memunculkan nuansa sedih. Artinya,
kegembiraan yang seharusnya menjadi impian dari seorang tokoh perlu melewati
Penokohan yang ditekankan kepada setiap tokoh, tentunya akan memiliki ciri
khas dan karakter yang berbeda. Umumnya, penekohan dibagi menjadi beberapa
karakter. Seperti misalnya, protagonis, antagonis dan tritagonis. Novel Nun Pada
Sebuah Cermin karya Afifa Afra kurang lebih memiliki sekitar 24 tokoh, dan
memiliki tokoh utama yaitu Nun Walqolami yang berwatak protagonis. Tokoh Nun
memiliki karakter yang khas dan tidak dimiliki oleh tokoh lain, meskipun sebagai
tokoh yang berwatak protagonis sekalipun. Nun seorang protagonis yang idealis dan
. Narasi yang dituliskan oleh Afifah pada novel tersebut, merupakan sebuah
miskin dalam berkehidupan (Saddhono et al., 2017). Dalam novel tersebut, Afra
menjadikan Nun sebagai seorang pemain ketoprak. Kehidupan Nun menjadi potret
kehidupan yang nyata. Melalui novel ini, Afra telah menunjukkan realitas yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat di sekitar terminal dan seorang pemain ketoprak. Selain
itu Tokoh Nun memliki Integritas beragama yang kuat, dengan kerelaan dan sama
kepada pembaca agar tidak mudah menyerah dalam menghadapi kekerasan yang
terjadi dalam kehidupan. Kekerasan tersebut dikorelasikan dengan realitas sosial yang
terdapat pada novel tersebut, ketimpangan toleransi pada kelas sosial menjadi salah
satu tolak ukur pada masalah tersebut. Disamping itu, novel Nun Pada Sebuah Cermin
karya Afifa Afra ini juga memberikan pernyataan yang tegas terhadap pendidikan.
Penggunaan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra, tentu memiliki tujuan
tertentu. Tujuan tersebut adalah untuk menghidupkan suatu cerita agar dapat
bahasa biasanya juga terdapat beberapa unsur seperti, leksikal, struktur kalimat,
retorika, dan penggunaan kohesi. Disamping itu, gaya bahasa juga dapat memberikan
efek lebih kepada para pembaca sebab bisa mencerminkan sifat pribadi seorang
berfungsi sebagai pembangun sebuah cerita pada sebuah karya sastra. Namun, ia
sendiri tidak akan ikut menjadi bagian di dalamnya (Mahaputra Yamin, 2017). Novel
Nun Pada Sebuah Cermin merupakan salah satu karya yang memiliki nilai-nilai
kehidupan, diluar penceritaan novel itu sendiri. Pada umumnya, unsur ekstrinsik akan
memunculkan nilai-nilai yang dapat membangun cerita daripada sebuah karya sastra
itu sendiri. Tokoh Nun Walqolami, seorang perempuan yang bekerja sejak usia SMA
keadaan yang memaksanya untuk menjadi seperti itu. Hal tersebut, sama sekali tidak
telah disibukkan dengan pekerjaan barunya sebagai seorang pemain ketoprak, ia tetap
Tuhannya. Nilai agama yang tersurat dalam peristiwa ini adalah taat dalam beribadah.
Seruan sholat dalam al-quran sudah banyak dituliskan, salah satunya dalam surat al-
baqarah ayat 110 yang isinya merupakan perintah sholat dan berdzikir.
Dalam novel Nun Pada Sebuah Cermin karya Afifah Afra, terdapat sebuah
keunikan lain yang khas mengangkat isu sosial. Secara tidak langsung Nun berhasil
merupakan salah satu dari jutaan budaya yang ada di Indonesia, khususnya di Daerah
Jawa Tengah. Menariknya lagi, keadaan tokoh Nun sebagai seorang perempuan yang
tengah berjuang untuk mengubah takdir hidupnya itu dibuat harus mengunakan jalan
tradisional untuk itu. Hal tersebut dibuktikan dengan penawaran yang Ia terima
sebagai pemain ketoprak. Tidak banyak novel yang mengangkat isu seperti ini,
Penulis lain mungkin mengubah takdir seorang tokoh yang awalnya terpuruk
miskin, bisa menjadi benar-benar kaya. Apabila pada novel yang lain, seorang tokoh
yang menderita diawal ceritanya tiba-tiba menjadi seorang pengusaha sukses, Afifah
tokoh Nun sebagai seorang pemain ketoprak sebagai bentuk melestarikan kebudayaan
ketangguhan diri. Nun juga digambarkan sebagai seorang perempuan yang sangat
peduli dan menjaga harga dirinya, dari apapun yang bisa menjatuhkan reputasinya
sebagai seorang perempuan muslim. Pada novel tersebut, tokoh Nun kerap kali
dilakukan oleh tokoh lain. Sebagai seorang perempuan yang biasanya dianggap lemah
dan tidak berdaya, Nun berusaha untuk menghapus asumsi tersebut. Ia percaya bahwa
dirinya juga berani untuk melawan, seberani orang yang berupaya untuk berbuat jahat
kepadanya.
Disamping itu, ada pesan lain yang disampaikan oleh Novel Nun Pada Sebuah
Cermin tersebut. Nun sebagai seorang muslim yang taat, Ia tidak fasik dan tidak
melanggar aturan sekaligus perintah Tuhannya untuk selalu hormat kepada kedua
orang tua. Nun sangat menghormati Ibunya, bagi Nun sosok Ibunya merupakan
pahlawan terbaik bagi kehidupannya. Sosok Ibu yang rela menjadi pemulung untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Kondisi sesulit apapun yang Nun dan Ibunya rasakan,
Nun tetap menganggap Ibunya sebagai sosok yang disayangi dan dihormati. Ia sama
Agus, W. (2020). GAYA BAHASA DALAM NOVEL AYAH. FKIP Untan Pontianak, 1–
12.
Agustina, H. N. (2020). Kekhasan Konflik Novel The Kite Runner. Pena Pesada.
Brier, J., & lia dwi jayanti. (2020). Pengertian Setting. 21(1), 1–9. http://journal.um-
surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203
Hafizha, N. (2018). Nilai Agama Dalam Perjuangan Hidup Novel Nun, Pada Sebuah Cermin
https://doi.org/10.22219/jinop.v4i1.5663
Mahaputra Yamin, M. (2017). Analisis unsur ekstrinsik novel sang pemimpi karya andrea
Purba, C. A., Siagian, G., & Simanjuntak, M. (2021). Unsur-Unsur Intrisik Dalam Novel Nun
Pada Sebuah Cermin Karya Afifa Afra. Jurnal Bastaka (JBT), 4(1), 22–29.
Saddhono, K., Waluyo, H. J., & Raharjo, Y. M. (2017). Kajian Sosiologi Sastra Dan
Pendidikan Karakter Dalam Novel Nun Pada Sebuah Cermin Karya Afifah Afra Serta
Relevansinya Dengan Materi Ajar Di Sma. JPI (Jurnal Pendidikan Indonesia), 6(1), 16–
27. https://doi.org/10.23887/jpi-undiksha.v6i1.8627