Anda di halaman 1dari 3

Bab III Penyebab dikeluarkannya inpres dan instruksi mendagri

Indonesia merupakana sebuah bangsa dengan beragam etnis dan budaya, cita-cita
untuk membangun sebuah negara yang bersatu tampak tergambar dalam
semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dipatrikan pada tahun 1945. Jatuhnya suharto
pada tahun 1998 membuat ideologi Orde Baru dan kebijakan Asimlilasi berakhir,
sekaligua membuka ruang baru bagi kebangkitan kembali politik identitas di
seluruh indonesia. Pada saat yang sama, masalah multikulturalisme muncul yang
kemudian diperbincangkan dan di perdebatkan dikalangan pada aktivis sosial dan
akademisi.

Antara tahun 1966 sampai 1997, prsiden suharto menciptakan budaya nasional
baru dengan menegaskan kembali bahwa pentingnya ideologi Pancasila yang
terdiri dari Lima sila yakni, ketuhanan, prikemanusiaan, Nasionalisme, kedaulatan
Rakyat dan keadilan Sosial maka untuk mencapai cita-cita luhur bangsa,
pemerintah mempromosikan pancasila sebagai sebuah ideologi nasional yang
menjadi azas atau dasar dari semua lapisan organisasi kemasyarakatan (ormas)
dan organisasi sosial politik (orsospol) dibawah kepemipinan rezim Orde Baru
(Morfit 1986:42)

Tujuan pemerintah menerapkan ideologi ini bertujuan agar pengamalan dari setiap
sila dapat meresap ke setiap sendi kehidupan bangsa dan negara (elson 2001:241).
Baginya pengamalan ideologi ini merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan
tujuan pokok stabilitas dab keamanan politik yang diperlukan dalam pembangunan
nasional, dalam artian bagi siapa saja yang menyeleweng atau keluar dari ideologi
pancasila berarti ia telah melemahkan usaha pembangunan stabilitas nasional dan
kepribadian rakyat indonesia (Morfit 1986:43)

Selain ideologi pancasila, masalah utama yang menjadi sorotan pemerintahan


demokrasi konstitusional pada medio 1950-an adalah prulaitas dan prulaisme,
menurut rezim Orde baru hal itu dianggap sebagai suatu ancaman terhadap
pembangunan dan keamanan bangsa, maka dari itu pada medio tahun 1970,
pemerintah berupaya untuk menekan melalui selogan yang dikenal sebagai SARA
(Suku, Agamq, Ras Antargolongan). Hal ini ditujukan untuk menjaga ketertiban dan
stabilitas, semua pembicaraan pubilk yang menyangkut isu SARA dilarang, selama
periode orde Baru semua warga negara, apapun suku, agama, ras, gender
dibayangkan berada di dalam identisa yang sama yakni Pancasila yang di
konstruksikan secara Homogen.

Meski memiliki maksud dan tujuan yang baik, akan tetapi ideologi nasional yang di
usung oleh pemerintah Orde Baru tidak pernah berjalan secara efektif. Dalam
upaya untuk mendefinisikan identitas nasional, pemerintah berupaya mewadahi
kehadiran etnis Tionghoa yang hidup sebagai kaum minoritas, akan tetapi dalam
prakteknya pemerintah seakan mengabaikak kehadirannya. Penerpan identitas
nasional menurut pemerintah harus diterapkan atas dasar keaslian atau
merupakan warga pribumi. Kehadiran etnis Tionghoa dianggap sebagai
pengganggu solidaritas bangsa, hal ini tak lain karena dominasi ekonomi atas
ekonomi bangsa yang dilakukan etnis tionghoa, hal itu merupakan suatu masalah.
Maka dari itu pemerintah berupaya untuk melakukan program pembubaran yang
didukung oleh militer. Program ini merupakan penghapusan secara total segala
tanda dan penanda ketionghoaan, selain itu upaya ini diharapkan dapat
mendorong kelompok etnis Tionghoa agar dapat membarukan diri kedalam buaya
yang telah dikonstruksikan oleh pemerintah.

Budya yang dikonstrukiskan ini, menurut pandangan dan pengamatan Ariel


Heryanto merupakan “satu-satunya budaya etnis yang sah” di indonesia pada
masa pemerintahan soeharto (1997:103). Dalam artian, hal itu merupakan upaya
dalam penghapusan ketionghoaan yang dilakukan oleh pemerintah orde baru.
Menurut Soenarsono , seoranh Jendral militer yang bertugas pada masa
pemerintahan soeharto, memperlihatkan seberapa besar upaya dalam program
penghapusan ketionghoaan: “Jika anada mempunyai tubuh asing di dalam sistem
anda, anda memiliki beberapa pilihan. Anda bisa saja mengabaikaj begitu saja,
dan mungkin bisa menimbulkan berbagai akibat yang mengerikan, atau anda
mungkin mengoprasikannya dan mengelurkan tubuh asing itu, atau mencoba
mencerca dan menyerapnya kedalam sistem. Kami memilih pilihan yang
terakhir”(1997:166)

Pandangan ini layaknya gaung atau aksi dari apa yang digambarkan Zygmunt
Bauman dengan istilah Asimilasi : yakni suatu upaya untuk membuat yang berbeda
manjadi mirip dengan diri kita sendiri melalui “pembasmian orang-orang asing
dengan cara Mengganyang mereka dan kemudian secara simbolis
mentransformasikan mereka ke dalam suat urat daging yang tak bisa dibedakan
dari urat daging kita sendiri” (1997:47). Dalam prakteknya, kebijakan asimilasi
budaya ini memaksa orang-orang asing untuk meninggalkab identitas budaya
mereka, asumsi umumnya adalah bahwa identitas itu bersifat tunggal daripada
plural. Dalam hal ini, orang-orang asing (etnis Tionghoa) dihadapkan kepada
pilihan untuk menjadi warga negara indonesia yaitu dengan meninggalkan segala
unsur ketionghoaan nya atau meninggalkan indonesia. Karena hal itu juga,
seseorang bisa menjadi either Indonesia atau Tionghoa. Dalam artian , semakin
ketionghoaan seseorang ditonjolkan maka semakin kurang keindonesiaan orang
tersebut, begitupula berlaku sebaliknya.

(Chang-Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca Suharto, Budaya, Politik dan Media,
Jakarta, Yayasan Nabil dan LP3S, 2012)3-7

Anda mungkin juga menyukai