Anda di halaman 1dari 31

Syahrul Mohon maaf bapak mengganggu waktunya, perkenalkan

saya Syahrul Mahasiswa UIN Jakarta. Kalau boleh saya


tau dengan siapa saya berbincara?
Yayang Nama Indonesia saya Adi Suherman
Syahrul Apakah bapak memiliki nama keturnan?
Yayang Ada, nama keturunan saya Go Keng Yang, tapi di KTP
tetap Adi Suherman, karena dulu kan tidak boleh pakai
nama keturunan
Syahrul bapak sendiri asli sini pak?
Yayang Iya, saya lahir disini dari kakek nenek saya juga emng asli
sini
Syahrul Kalau untuk usia bapak sendiri seaat ini berapa pak?
Yayang 57 tahun
Syahrul Bapak asli Ciampea, orang tua asli juga di Ciampea dan
dari kecil sudah disini. Berarti sudah tau bagaimana seluk
beluk kehidupan di Ciampeaya pak?
Yayang Iya, Bahkan nama anak saya juga tidak ada yang pakai
nama Tionghoa. Pakai nama indonesia semua
Syahrul Jadi begini bapak, ketika masa pemerintahan Orde baru
sempat ada pembatasan khusunya untuk aktifitas
keagamaan bagi warga keturunan Tionghoa, kira-kira
bagaimana penerapannya untuk di Ciampea sendiri pak?
Yayang Ya ketat, dulu kan dilarang. Aktifitas keagamaan dilarang
sama Satpol PP. Kalau dulu namanya apa ya, Kamtib.
Syahrul Apakah ada Kamtib yang mengawasi untuk di wilayah
Ciampea sendiri?
Yayang Kalau zaman dulu ada, kita di awasi terus dulu. Ya kalau
kita ikut-ikut acara yang dilarang, tau-tau tulis tonggong
lah (asal tulis nama orang) tiba-tiba ada nama kita terus
dapat surat panggilan. Orang tua saya dulu sempat di
tahan, jadi kan nama juga pakai indonesia semua.
Syahrul Untuk hak sipil pada masa pemerintahan Soeharto. Bapak
tadi sempat menjelaskan bahwa di wajibkan untuk ganti
nama, bagaimana prosesnya pak, apakah mengalami
kesulitan?
Yayang Iya, kan dulu yang tidak punya KTP Di tandain. Orang
ketrunan ditandain. Ya, karena era Gusdur aja bebas kan
kita, pemerintahan Gusdur ketika itu dia jadi Presiden ya
bebas. Agama konghucu di akui, kalau dulu kan kita
ibadah ngumpet-ngumpet, karena iman kita Konghucu
kan tidak bisa lari ke yang lain. Kaya di rumah atau
vihara, kalau vihara sendiri kan untuk budha. Untuk
mengganti nama enggak si, tidak sulit, biasa aja
Syahrul Bapak jadi dulu kan untuk warga keturunan juga di
wajibkan untuk punya surat tanda pengenal khusus, atau
SBKRI itu bapak sendiri punya atau tidak pak?
yayang SBKRI ya, enggak saya tidak punya. Kalau orang tua
saya ada, soalnya era kesini kan tidak ada. Mulai tahun
berapa itu udah tidak ada, karena tidak di wajibkan
Syahrul Syarat untuk memiliki SBKRI sendiri kan dulu harus
menentukan status kewarganegaraan ya pak?
Yayang Iya, kalau kita kan dari ibu aja, bapak kita udah WNI
berarti kan anaknya ikut WNI juga. Ya, mungkin dulu
kan tidak ada nikah di catatan sipil, ibu saya saja
ketrangannya anak ibu atau pribumi. Sedangkan kakek
saya aja kan keturunan tetapi istrinya lain, orang pribumi.
Jadi banyak yang begitu, banyak sekali jadi pribumi nikah
sama orang keturunan, jadi kan anak ibu otomatis ikut tuh
aturan-aturan. Dulu itu ketat sekali, kita aja kan
kepengurusan aja susah, seperti mau jadi pejabat aja
susah, mau jadi TNI, Polri, PNS. Bahkan sampai sekarang
juga masih ada kesulitan, mangkannya jarang sekali orang
keturnan jadi PNS, jarang. Paling jadi dokter yang di
karyakan oleh pemerintah
Syahrul Selama bapak tinggal di Ciampea, bagaiman interaksi
warga keturunan dengan masyarakat sekitar?
Yayng Sebenarnya kita warga keturunan, ada yang meninggal
kita ikut tahlil, apalagi saya RW. Kalau saya sih bergaul
lah, mau Ustadnya, Kiyainya, Pesatren juga kalau ada
pembangunan kita sumbang. Kita hidup kalau tidak
bergaul kan repot juga, tapi ada juga orang keturunan
yang gamau bergaul sama pribumi, ya karena kan tadinya.
Dikit-dikit cina lu cina, ya itu kan jeleknya. Jadi macam
Ustad saja kalau pendidikannya rendah jadi menghasud,
haram lu kalau bergaul sama ini. Kalau kita kan bergaul
sama siapa aja, silahkan aja selama untuk kebaikan
masyarakat
Syahrul Begini bapak, dulu syarat untuk mendapatkan kartu
identitas sendiri kan harus menetukan agama, sementara
untuk Konghucu belum di akui, itu bagaimana pak?
Yayang Tidak ada, dulu Konghucu belum ada jadi ngambil Budha
Tri Dharma.
Syahrul Apakah itu murni pilihan sendiri atau karena faktor aturan
dari pemerintah?
Yayang Ya jadi kita terkekang, karena aturan pemerintah kan
belum di akui. Karena era gusdur aja Konghucu di akui.
Sekarang kita umatnya aja makin berkurang, karena
menikah sama Kristen akhirnya masuk Kristen, ya
mungkin lebih simpel tidak mau ribet, kebanyakan larinya
ke kriesten. Orang-orang kristen sini kan tadinya orang
keturunan Tionghoa yang pindah dari Konghucu. Kalau
agama Konghucu, anak dalam satu keluarga aja bisa beda
agama. Contohnya anak saya nikah sama muslim, ya
silahkan. Iman kamu, pilihan kamu. Anak saya, mantu
saya Islam, yang Kristen ya Kristen yang Konghucu ya
Konghucu. Jadi gitu kalau di Tionghoa tidak ada yang
kukuh, tapi ada juga yang kukuh. Kalau saya tidak,
pilihan dia, hidup dia, jalan hidup dia. Ketika aqil balig,
ya bebas lah dia mau kemana, mantu saya mau shalat
magrib, ya solat lah silahkan
Syahrul Seperti itu pak, oh iya pak setelah Soeharto lengser.
Habibie sempat mengelurakan kebijakan untuk
mempermudah segala keperluan birokrasi tanpa
membedakan suku dan ras. Untuk impementasi atau
penerapannya sendiri di wilayah Ciampea bagaimana
pak?
Yayang Kalau untuk di Ciampea sendiri tidak begitu berpengaruh.
Karena kepala desanya juga ketika itu ngerti, karena kita
satu Rw ini 80% keturunan, baik Krisetn, Budha atau
Konghucu.
Syahrul Jadi dulu untuk birokrasi sendiri bagaimana pak?
Yayang Ya cukup mudah sih, Cuma teteap jaman dulu di ciriin
agamanya harus Budha dan di catatan sipil juga di
permudah. Ya kan mudah juga karena uang, ya itulah
birokrasi di negara kita seperti itu. Mungkin dari pusat
ada instruksi gini-gini, tapi kebawahnya kan ngaco. Ya
tapi tidak apa-apa, saya sih mikirnya selama kita tidak
diganggu ya tidak masalah. Mayoritas saling mengerti,
minoritas juga jangan kurang ajar juga. Kita juga kalau
ada yang meninggal ikut tahlilan, ya masing-masing aja
yang penting sama-sama nge do’ain. Model saya mau
nyumbang kain kafan ke Masjid, tapi saya tanya dulu
sama Ustadnya. Pak Ustad saya mau nyumbang kain
kafan boleh tidak? tapi saya warga keturunan. Kalau kata
Ustadnya, ohh silahkan koh, itu kan hak engkoh. Tapi
terkadang ada yang fanatik juga Ustadnya, tapi selama ini
saya tidak sih, sama Haji juga akrab, kita sopan aja Cium
tangan, saling menghormati, jadi dia juga menghormati
kita. Kalau kita songong, contoh kalau saya songong
sama si Aa, Akhirnya tidak seneng dan di songongin lagi
kan. Sebenernya kehidupan disini mah tidak ada gesekan
kaya gimana-gimana, aman-aman aja. Dulu waktu
Soeharto biasa-biasa aja, namanya di kampung. Itu yang
rusuh kan karena politik juga di atas. Kalau orang pinter
dan berpendidikan gak ada tuh yang namanya fanatik-
fanatik, tapi tergantung juga dengan siapa dia bergaul.
Kalau kita selalu fanatik kan kita negara Republik
Indonesia, Bhineka Tunggal Ika bukan negara agama kan.
Tetapi aturan-aturan di bawah Islam saya rasakan biasa-
biasa aja, lebih dipermudah enggak di persulit.
Syahrul Selain pembatasan pada aktifitas keagamaan, pemerintah
juga membatasi kegiatan kebudayaan, bagaimana upaya
warga keturunan untuk melestarikan kebudyaan agar
tidak hilang?
Yayang Kita selalu shareing aja sama tokoh-tokoh, kaya model
kalau ada acara Cap Go Meh kita setiap tahun sedekah
beras ama beberapa desa terdekat. Selama kordinasi kita
baik saya rasa aman-aman aja disini.

Wawancara 2 dengan Kristan atau Tan Tayang, Locu Kelenteng Hok


Tek Bio Ciampea

Syahrul Mohon maaf mengganggu waktunya bapak, perkenalkan nama


saya syahrul mahasiswa Uin Jakarta Jurusan Sejarah Peradaban
Islam. Jadi seperti ini bapak, saat ini saya sedang meneliti terkait
dampak kebijakan asimilasi terhadap kehidupan warga keturunan
khusunya yang tinggal di Kecamatan Ciampea. Kalau boleh saya
tau dengan siapa saya berbincang saat ini?
Kristan Saya Kristan
Syahrul Kalau bapak tinggalnya dimana sekarang pak?
Kristan Saya di Jalan Pabuaran, itu yang ke bawah. Kebetulan saya disini
sebagai Locu, Locu itu kalau di muslim Imam. Yayasan etnis
Cina, kalau kita disini Tionghoa Indonesia rul, itu dulu yang
harus digaris bawahi. Kenapa, karena secara genologi kita
keturnan kan, nenek buyut kita ituh orang Sunda. Di sini bahkan
ada tokoh Tionghoa yang namanya Tung Tiang Mih, mungkin
Arul pernah denger juga, dia muslim bahkan Tubagus Abdullah
Bin Moestopa. Pernah denger (bertanya), kuburannya disini
deket. Jadi kalau secara kulutur kita sebenernya lebih Tiongkok
dari orang Tiongkok. Pada tahun 1949 dihajar Komunis tuh dia,
udah gak pernah sembahyang, saya gak tau tuh. Kita justru
masih jaga itu berdasarkan literatuirnya Konfunsian Klasik.
Kita ada Formula book nya dari Konghucu, nah kita pakai kitab
Li Ji yang jadi rujukan, mulai dari ritual kelahiran, pernikahan
segala macam itu kita pakai semua. Tapi kalau asimilasi yang di
maksud, pertama ya, dampaknya sudah sangat berat.
Konsekuensi yang paling utama misalnya Inpres No.14 Tahun
1967, dimana disitu menunjukan, saya tidak hafal persisi tapi
melarang adat istiadat Cina, Budaya Cina dan Agama Cina.
Yang ditembak pasti Konghcu, iya kan. Konsekuensi itu panjang
sebenarnya, tapi ada Keyword sebenarnya, ya orang mungkin
lupa rul. Nah, ini bagus juga buat kamu, Orde Baru itu gak
pernah ngelarang kita buat beribadah rul, itu catatan yang
penting. Tapi yang gak boleh itu kalau dia nikah, nikah
mencacatkannya Konghcu, gak boleh. Jadi sebenarnya yang
dihantam Orde Baru itu adalah hak-hak sipil, jadi kalau
sembahyang segala macem boleh, tapi mungkin bedanya di depan
Publik tadi kalau bahasa Arul. Kalau kita, arak-arakan Kelenteng
ya gak boleh tuh di luar Kelenteng, di dalem masih boleh, artinya
ya gak bejat-bejat amat rul, gitu loh.
Artinya kalau hak beribadah belom kena, dulu kan
pengamanannya pakai tentara tuh. Koramil dateng, dibubarin ya
enggak juga. Saya kebetulan lahir tahun 1982, saya termasuk
salah satu produk yang hidup di dua generasi Orde Baru.
Soeharto 1998, saya masih SMA udah gede. Tapi
konsekuensinya nama kita pasti berubah tuh, gak bisa pake nama
tiga suku kata kaya Liem Siu Liong, Que Kian Kie, takut.
Akhirnya pakai nama-nama barat tuh yang dipakai, pinjam nama-
nama Bibel kaya Yohanes, saya aja namanya jadi Kritan, iya kan.
Syahrul Kalau untuk nama Tionghonya pak?
Kristan Kalau saya Tan Tayang, iya marganya Tan, Tanyang itu
matahari. Satu marga sebenarnya sama Hari Tanoe, Cuma beda
nasib tuh (tertawa) dia duitnya banyak tuh (tertawa).
Kita kan Patria niau, orang Tionghoa itu kaya orang Batak tuh.
Jadi Clan atau marga itu penting, jadi ikut garis ayah. Tapi
konsekuensi terbaru kalau dia menikah secara Koghucu, dia gak
boleh di catatkan di Catatan Sipil tapi tetap pada ngotot karena itu
soal Faith, dia tidak sah secara catatan sipil tapi dia sah secara
agama, kaya nikah sirih gitu loh. Dia diakui, dikeluarin sama
lembaga Majelis Agama Konghucu.
Cuma konsekuensinya anaknya, gak ada bapaknya tuh. Disebut
anak diluar nikah, karena negara tidak mencatat itu dan itu terjadi
kepada saya. “Akta lahir saya itu ditulis, telah lahir seorang anak
pada tanggal 2 Februari 1982, atas nama Kristan, ibunya si Lau
Him Yau. Itulah kejahatan negara terhadap warga negara,
menurut saya. Soal hak-hak sipil, jadi saya dianggap anak haram
sama negara.”
Padahal bapak saya secara publik, secara kultur agama dia
menikah sah. Kan negara harusnya Cuma mencatatn doang tuh,
mangkannya kalau kita kawin beda agama di Singapore,
Singapore gak mau pusing lu mau agama apa juga, gua catetin aja
pokoknya, nah kan gitu konsekuensinya. Saya gak ganti akte
saya, walaupun sempat ada pemutihan pasca Reformasi.
Gusdur cabut Inpres No.14 Tahun 1967 pake Inpres No. Tahun
2000. Semua boleh, dia bisa ralat segala macem, tapi saya tidak.
Karena itu penting buat history. Saya menikah 2007, Konghucu
udah boleh dicatatkan di Catatan Sipil. Anak saya sekarang ada
bapaknya tuh (tertawa).
Anak saya, saya kasih nama Tionghoa lagi. Ya, Cuma karena
saya sebagai aktifis, berani menghadapi situasi, bisa punya
argumentasi terhadap ini, ya itu 1000 pasangan banding 1
mungkin.
Yang lain teman-teman Tionghoa, you tau sifatnya pragmatis dia
gamau pusing. Orang Tionghoa itu gak bisa Militan, beda sama
orang Islam. Kalau agamanya dihina ngamuk dia, Kristen juga
segala macen, tapi orang Konghucu enggak. Udahlah kemana aja,
ke Gereja ok, iya bapaknya boleh pakai dupa atau apa tapi satu
generasi hilang. Anaknya udah tidak jelas tuh, matanya sipit tapi
namanya Gabriel (tertawa). Yang masih pantes tuh namanya
Kartika misalkan, Siti Aisyah. Ya, kalau kita mau fair nih, itu kan
nama-nama Yahudi, tidak ada hubungannya sama kita.
Ya, kalau kita mau jujur nih kita. Kita coba cerita tidak sebagai
Akademisi ya, tapi sebagai Fiktif iya kan. Apa yang saya alami
itu begitu. Tapi rul, itu semua buat teman-teman Tionghoa
dianggap tidak terlalu menghina, jadi mereka excuse ya kan, ya
yang penting gua bisa dagang, gua bisa usaha toh gua juga bukan
pribumi, kita tau diri lah, pakai prinsip-prisnip Konghucu tuh.
Jadi prinsip Konghucu kan gini ”apa yang diri sendiri tiada
inginkan, jangan diberikan kepada orang lain”. Kalau prinsip
Budha misalnya “semoga semua mahluk berbahagia”. Ngalah aja
dia.
Nah, hari ini itulah yang terjadi sama kita. Bahkan tidak terjadi di
Ciampea aja, di Citereup, di Cibinong, di Kantong-kantong
masyarakat yang kita sebut Cina Benteng tuh. Tapi mereka
secara ritual, secara apa mereka masih pakai praktik Konghucu.
Itu sih yang mungkin saya bisa ceirta, ya mungkin kalau kamu
mau elaborasi lebih dalam nanti bisa saya jawab sesuai dengan
agama. Kira-kira secara garis besarnya seperti itu, deskripsinya.
Syahrul Apa yang bapak telah jabarkan, telah menjawab beberapa
masalah yang ingin saya kaji pak. Dalam Inpres No.14 sempat
ditulis membatasi aktifitas kebudayaan, bagaimana upaya teman-
teman Tionghoa untuk menjaga kebudayaan Tionghoa agar tidak
hilang seperti apa pak untuk di Ciampea sendiri?
Kristan Khusunya dalam hal ini dalam momentum Imek ya, seperti
Barong. Ya, kita tetap jaga itu. Khusunya untuk wilayah
Ciampea ya, kita biacara konteks Ciampea dong. Latihan anak-
anak tetap secara internal, tapi tidak ekspos, itu tetap ada. Dulu
ada wushu basiknya itu Kungfunya tuh, ada di sini masih kita
lakukan. Ritual-ritual dirumah-rumah masih kita lakukan, di
Kelenteng besar-besaran sebenarnya, cuma bedanya kita tidak
bisa ekspos, acara internal, wartawan dateng mau ngeliput kita
tidak berani, nah tokoh-tokoh yang dulu kan gitu.
Kalau saya kan termasuk orang yang lahir mendekati masa
reformasi, jadi ya berani-berani dikit lah kita lawan. Kita demo
juga, kita lawan tuh Soeharto. Cuma di angkatan tua itu tidak,
apatis. Tapi yang pasti culture atau budaya, miasalnya kalau
Imlek itu sebenarnya sama kaya lebaran. Kita berkunjung
kerumah yang lebih tua, pay respect. Nah, dia kan biasanya ada
meja rumah abu atau meja abu leluhur, jadi pamannya paman
kita, sepupunya kakek kita itu kita sambangi dan itu terus terjadi
meskipun Orde Baru melarang itu.
Bahkan justru reformasi malah ilang sendiri, jadi tidak seru tuh
rul. (tertawa), mendingan dilarang jadi ada semangat beribadah,
sekarang justru udah tidak ada euforia, jadi udah tidak menarik
lagi tuh, kalau dilarang kan kita ada semangat buat fight iya kan.
Ini juga salah satu pengalaman yang saya lihat, jadi kempes tuh.
Seolah-olah anusiasmenya berkurang, dan problemnya lagi kita
orang Konghucu dan orang Ciampea itu kan Imlek itu
sebenarnya sakral atau religius. Maksudnya berbicara relasi kita
dengan yang maha kuasa walaupun beda sebutannya, tapi
belakangan jadi festifal. Nah, itu problem dan saya pikir itu
terjadi di semua agama. Contoh kaya di Jawa macam upaya
Gerebeg apa, itu kan awalnya untuk menghormati para wali, tapi
belakangan jadi acak-acakan ya pokoknya jadi festifal.
Kaya kita sekarang cap go meh itu tau tidak kamu kenapa Dewa-
dewa itu di gotong? (bertanya), mereka itu kan sebenarnya secara
historycall figur atau pejabat. Jadi pas saat purnama pertama di
tahun yang baru, karena mereka pejebat sebenarnya tujuan
mereka keluar itu untuk inspeksi, mengechek. cut bio itu
mangkannya dia keluar dia chek warganya yang mana yang
susah, mangkannya dia keliling arak-arakan. Nah, pada saat itu
semangatnya, yang susah siapa nah misal Cheng Sin, Wang
Kong De kan pejabat itu dibantu tuh. Kalu dibahasanya Jokowi
belusukan, nah sebenarnya itu kan semangatnya. Tapi kalau
sekarang tidak, digoyang aja asal macem-macem nah itu masalah
juga, jadi praktik keagamaan belakangan jadi festifal.
Saya pikir itu terjadi pada natal juga, orang Jepang itu agamanya
sinto. Tapi dia pasang pohon natal, tapi dia tidak ke Gereja. Dia
pakai kado natal segala macem, dia tidak kenal Yesusu padahal.
Tapi persitiwa natal yang memperingati kelahiran Yesus itu jadi
klaim pribadi, dan itulah yang terjadi pada kita. Orang Tionghoa
lucu, meskipun dia udah tidak beragama Budha, Konghucu
enggak tau dia udah Kristen tapi tetep aja di ke Kelenteng. Itu
juga menarik, lucu itu walaupun miasalnya ada teman-teman kita
yang Protestan udah jelas dia gak boleh beda agama, doktrinnya
murtad tapi dia tetap aja.
Banyak sekali kalau kita lihat, KTP nya Kristen, Katholik tapi dia
tetap sembahyang di Kelenyeng juga. Tidak bisa hilang, dan
sisatu sisi kan sebenarnya, menurut saya ya keren juga budaya
Tionghoa, kaya banget dan dia juga bangga jadi orang Tionghoa.
Karena Orde Baru, jadi begini kalau kamu mau lebih dalam lagi
asimilasi. Itu sebenarnya “pertarungan antara Tionghoa dengan
Tionghoa” pake teorinya CSIS itu Sofyan Wanandi. Ya,
Tionghoa Non-Konghucu dan Budha di gebukin supaya pindah,
You bayangin Inpres 14 itu secara politik, siapa yang paling di
untungin? Katholik lah.
Kita bukan bicara secara agama, agama semuanya baik tapi
secara organize ya Katholik. Semua orang Tionghoa pindah ke
Katholik, kensekuensinya duit duit orang Tionghoa Gereja pada
bagus. Saya berani itu ngomong dimana juga, itu asli dikerjain
itu, dibelakang keluarnya Inpres No.14 tahun 1967 itu orang
Tionghoa. teorinya CSIS ya switch itu di hantem itu, rusak itu,
kacau semua. Cuma yang Konghucu pada nekat tuh, dia lawan
terus dipenjara semua. Dituduh PKI, padahal gatau PKI segala
macem.
Jadi dulu ada yang namanya BAPKERI, nah Siaw Giok Tjhan.
Dia dekat sama Bung Karno, dekat sama G30S disikat semua.
Banyak Cina mati padahal tidak tau apa-apa, tidak tau PKI atau
apa
Syahrul Kalau konsep BAPERKI dulu mengusung Integritas pak
Kristan Iya, Integritas nah itu baru fine tuh. Mangkannya kan teori
asimilasi sebenarnya teori punya orang-orang Katholik. BAKOM
PKB tujuannya apa? Cina jangan jadi Cina lu, karena ini
Komunis. Integrasi, gak mau biarlah secara natural. Kawin
campur ya kawin campur aja, tidak ada masalah. Gak usah
secara paksa di lapangan Banteng disuruh baris harus ganti nama,
kan dilapangan Banteng itu Ncek tahun 78 disuruh baris,
ditendangin disuruh ganti nama dia, ganti agama. Kita punya ko
datanya, dipukulin. Lu gak ganti nama, gua sikat lu. Itu sampai
seperti itu, kalau mau riset lebih dalam nanti lah kalau S2
(tertawa)
Syahrul Siap pak
Kristan Itu ngeri, itu ngeri rul. Maksud saya ini kita berbiacara sebagai
akademisi, kita tidak lagi memusuhi Soeharto atau apa. Gusdur
sadar rul, Gusdur perneh ngomong begini. Bapak saya kan dulu
di MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia),
bahasanya Gusdur kaya gini “Ular disawah dimatiin, Tikusnya
jadi banyak” itu yang ngeri. Saya sih kalau ngomong ama orang-
orang terdidik terang-terangan, ya semua Tingtengnya Orde Baru,
Pengusaha-pengusaha Orde Baru, siapa Pangestu segala macem
itu. Kita Konghucu Tionghoa yang miskin, tapi dibabat abis.
Sekolah-sekolah kita, sekolah Kwe Kwan. SMAN itu punya kita.
Gara-gara G30S itu diambil ama negara, ya salah. Kalah udah
kita ya ngalah aja dah.
Syahrul Apakah sekolah Tionghoa yang di Ciampea juga terdampak pak?
Kristan Yang di Budhi Bakti sini? Nah itu justru setelah 65 itu. Yang
pasti kalau disini begini rul, Temen-temen Tionghoa itu
sebenarnya deket ama orang muslim tuh deket. Bahkan ada yang
saudaranya kawin sama ini, udah tidak ada kecurigaan. Ini yang
paling clear di Ciampea ini. Dibanding kita lihat Cibinong,
segregasinya terlalu jelas, kalau disini tidak. Orang muslim itu
sangat familiar disini, bergaul segala macem. Nah karena
kedekatannya itu, ama lurah dekat, ama birokrat birokratnya
dekat. Mereka tidak terlalu mengalami kesulitan kalau di
Ciampea. Kaya beliu nih, beliau punya relasi dengan tokoh-tokoh
muslimnya baik, jadi relatif tidak ada gangguan. Itu juga menarik
di Ciampea, di Ciampea itu bisa orang Tionghoa sama Muslim
duduk bareng main kartu, ngopi bareng, jadi relatif kecil
sentimen rasisme itu, dan wellcome.
Mangkannya kalau disini, kalau mau cap go meh itu tidak boleh
tuh ama orang-orang Non-Tionghoa. tapi kalau disini unik,
lurahnya bisa ngomong begini, kalau bisa ampe sono noh arak-
arakannya biar agak jauh kata teman-teman pribuminya. Kita
juga mau nonton, dan tidak ada itu yang namanya distrust atau
kecurigaan, nah itu menarik tuh Ciampea. Ya kalau menurut saya
itu, relasi tokoh-tokoh yang tuanya baik dan tidak ada sekat. Kita
juga akhirnya tertular sama gaya mereka, mereka itu suppel tidak
pilih-pilih orang dalam bergaul.
Ciampea kan termasuk daerah yang tidak ada bakar-bakaran
tahun 65 ama Mei 98. Kalau di daerah lain nah itu juga tidak bisa
generalisasi, Mei 1998 Jakarta ancur, Bogor, Cibinong, Citereup
tidak ada. Depok, Cimanggis aja tidak ada, Pasar Rebo tuh
batesnya. Sebenarnya gini rul, masalahnya tidak ada Eklusifisme
disini dari teman-teman Tionghoanya. Tidak ada yang namanya
dia mengkotakkan dirinya kaya Wijkenstelsel kaya Belanda
punya.
Walaupun ok, disitu mereka dikotakan dalam Kampung Cina,
kaya di Empang itu ada Kampung Arab. Dikotakin tapi mereka
berhubungan baik, mereka berbisnis, pasar kan. Kan orang
pedagang itu tidak bisa rasis. Kalau Ciampea memang agak unik,
saya berbicara Ciampea ya, kira-kira begitu rul
Syahrul Terima kasih pak atas penjelasannya, semua yang bapak
paparkan sudah menjawab masalah yang ingin saya kaji
Kristian Nah satu lagi tambahan, Kelenteng-kelenteng yang dibangun
dibawah tahun 1965. Ini berdasarkan hipotesa saya, mereka
selalu punya petilasan Eyang Surya Kencana. Eyang Surya
Kencana kan muslim, relasinya sama Padjajaran segala macam
jadi kalau di kita Muludan ya muludan rul, Shalawat. Kita
ngundang muarif tuh, artinya Kelenteng yang memfasilitasi,
Kelenteng yang jadi house dan itu tradisi yang dilakukan secara
turun temurun di kita.
Ya, semua balik lagi sama identitas kita sebagai bagian dari
Indonesia. Kita orang-orang Tionghoa, bikin rumah itu kaya
Orang Sunda. Kamu orang Sunda?orang kemang asli? (bertanya)
Kita bikin Ancak di empat penjuru, pakai kelapa, pakai bendera,
pakai apa kaya orang-orang dulu orang karuhun Sunda.
Dibalik tembok ini ada petiliasan Eyang, kita sembahyang sampai
situ Cuma beda cara pakai dupa dan segala macem. Jadi kaya
banget sebenarnya rul, ya menarik lah berbicara tentang
Indonesia ini. Kita harus bangga jadi warga Indonesia.
Syahrul Ohh iya pak satu lagi, ketika masa pemerintahan Soeharto teman-
teman Tionghoa yang pindah agama karena unsur keterpaksaan?
Kristan Iya, terpaksa tidak ada yang mau sebenarnya pindah agama.
Tidak ada yang mau tapi takut, orang Tionghoa juga kadang-
kadang iltrage tidak sekolah juga, buat mereka sekolah tidak
penting yang penting lu udah bisa baca, nulis yaudah dagang aja
tuh, sekolah tinggi-tinggi pada akhirnya dagang juga. Karena
kalau mau kaya perinsipnya itu dagang, kerja tidak bakal kaya.
Nah itu teori itu berlaku buat orang Padang juga, terus kalau
orang Tionghoa pelit itu karena prejudice. Semua orang
perantauan itu harus pelit, kenapa orang Betawi royal, biar tekor
asal tersohor.
Ya, orang dia tidak merantau. Tanahnya banyak dia tinggal jual,
coba lihat orang padang kalau sudah di Jawa, hemat tidak. Kita
bukannya bilang pelit, hemat tidak?(bertanya)
Hemat, karena you tinggal diperantauan. You tidak punya
saudara, ya orang Tionghoa di Tiongkok royal juga. Prejudice
nya orang yang tinggal di perantauan itu seperti itu, mangkannya
mentalnya jadi kaya gitu, karena mereka tinggal di perantauan.
Tidak punya tempat, tidak punya saudara tidak punya tanah. Iya
kan, teorinya antropologi kan begitu kira-kira.
Balik lagi, semua karena unsur terpaksa. Cuma akhirnya tadi, itu
Katholik udah mempersiapkan semuanya, sekolah Tionghoa
dibantai dia pake sekolah Katholik dituntut bayar mahal segala
macem, mereka untung dari berbagai sisi. Puluhan ribu donasi
larinya kesitu semua, dulu orang Ktholik ya orang Belanda doang
ama orang Manado paling.
Gatau kalau orang Cina, Gusdur bilang semua orang Cina semua
agamanya Konghucu tuh sebelum tahun 1967. Kira-kira 99%,
sekarang coba jadi kaya gitu, karena mereka tinggal di
perantauan. Tidak punya tempat, tidak punya saudara tidak punya
tanah. Iya kan, teorinya antropologi kan begitu kira-kira.
Balik lagi, semua karena unsur terpaksa. Cuma akhirnya tadi, itu
Katholik udah mempersiapkan semuanya, sekolah Tionghoa
dibantai dia pake sekolah Katholik dituntut bayar mahal segala
macem, mereka untung dari berbagai sisi. Puluhan ribu donasi
larinya kesitu semua, dulu orang Ktholik ya orang Belanda doang
ama orang Manado paling.
Gatau kalau orang Cina, Gusdur bilang semua orang Cina semua
agamanya Konghucu tuh sebelum tahun 1967. Kira-kira 99%,
sekarang coba you chek data orang Konghucu paling 100 ribu di
Indonesia.
Karena begini, banyak orang-orang Konghucu yang KTP nya
pakai agama Islam, namanya diganti pakai nama-nama Islam
kaya Munajat, Muslim Linggo padahal dia Cina loh. Kenapa itu
bisa terjadi, biasanya orang Medan lebih pragmatis, nggapain
gua jadi Kristen, tetep aja gua di diskriminasi, mendingan gua
jadi Islam. Mendingan gua ikut mayoritas, pragmatis kan cara
berfikirnya. Mereka ngakunya punya Iman, tapi makan Babi
mereka, ya KTP doang. Tapi kan dalam rangka urusan birokrasi
segala macam, itu kan stigma problemnya.
Dan juga rul, kalau kamu mau riset lebih dalam, anak-anak
Tionghoa yang lahir sebelum tahun 1997. Itu akte kelahirannya
keciri tuh, meskipun namanya tidak nama Tionghoa. Dari nomor
statbladnya udah beda, you boleh chek tuh, itu riset menarik
juga, pasti beda jadi ketauan. Misalnya kalau saya jadi Islam
misalnya, namanya diganti Abdul Karim misalnya tapi di aktenya
kalau di chek ketauan, nomornya beda tuh, nomor statblad, kalau
tahun 1997 ketahuan. Cuma Problemnya untuk arsip di
Kabupaten Bogor sangat sulit untuk di lacak.
Itu juga berpengaruh rul, sampai saat ini Konghucu belum
terdaftar di BPS. Kita juga sampai sekarang masalahnya, dirjen
Konghucu belum dikasih. Alasannya Bappenas sederhana, gua
mau ngasih anggaran jumlah lu berapa orang, kan gitu. Sekarang
kan gini, paradigma pemerintah kita itu ngabisin anggaran, beda
sama paradigmanya Ahok, ya bukan karena Ahok ya. Kalau
Ahok dia kalau tidak habis ya gua pulangin ke negara. Kalau
pemerintah kita kan enggak, ya harus habis, kalau tidak habis ya
tahun depan gua kurangin. Itu kan kacau itu paradigma begitu
sebenarnya, Cuma kan masalahnya kalau di balikik nanti ujung-
ujungnya dikorup juga sama yang di atas, jadi memang sangat
domino.
Ngeri negara kita, kalau terlalu pragmatis rusak ini negara.
Syahrul Mungkin dulu orang-orang yang sekarang di atas memiliki
paradigma Idealis juga pak, ingin merubah bangsa tapi ketika
bertemu dengan uang (tertawa)
Kristan Tapi kan bisa Idealis pragmatis juga, kalau kata orang Tionghoa
yang penting Cheng Li atau jangan tengt-euingeun (berlebihan)
kata orang Sunda mah. Oke lah, lamun keur teu boga mah
saeutik-saeutik mah cing cai lah, tapi namun loba siga pejabat-
pejabat ayeuna mah keterlaluan. Ya, kan hidupmah begitu kan
sebenarnya, jadi halal sama haram jadi beda-beda tipis ujung-
ujungnya. Apalagi rul? (bertanya)
Syahrul Terima kasih bapak atas waktunya, semua yang sudah bapak
jelaskan sudah menjawab rasa ingin tau saya
Kristan Kalau butuh data lagi dateng aja rul, tidak usah sungkan. Tapi
kalau disini kita adanya malam, sebenarnya Kelenteng itu
harusnya berfungsi sama kaya Masjid. Kelenteng loyalnya tidak
boleh tutup, jadi kalau ada orang kemalaman di jalan itu boleh
nginep. Itu kan faham yang di ajarkan sama histroticall figur kita,
sama kaya kita menghormati Diponegoro, Imam Bonjol atau
Sudirman. Itu kan tokoh-tokoh sejarah yang hidupnya berbuat
baik buat masyarakat.
Jadi kalau di Konghucu, you bisa jadi Dewa terus patung You
bisa ditaro di Kelenteng. Syaratnya ada tiga, You berbuat untuk
negara dan bangsa, terus menyelamatkan bencana, bencana alam
segala macem atau wabah, terus You jadi martir buat membela
kepentingan bangsa. You punya hak buat jadi Sin Beng (Dewa
dalam ajaran Konghucu).
Kemarin itu Gusdur, kalau semisalkan tidak dilarang sudah ada
Kelenteng Gusdur. Jadi bukan meminta do’a ke dia orang,
tujuannya biar anak-anak generasi berikutnya meneladani dia.
Kita orang kalau meminta kesitu tuh, ke meja situ. Tidak ada
gambarnya, tidak ada patungnya,tidak ada muka siapa-siapa,
itulah yang kita sebut Tien atau Allah kalau di kamu. Dafinisinya
begini ”Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun
tiap wujud tiada yang tanpa dia” Tien Ti Kong.
Langit, jadi tidak menyembah berhala. Cuma zaman dinasti
Ta’ang mulailah patung-patung dari India, segala macem. Dulu
itu tidak ada patung, nama aja tulisan nama tokohnya, papan
arwah. Belakangan karena patung dilihat bagus juga, seni. Terus
dianggap juga dah, karena dia di sembahyangin setiap hari, ya
ada aura positifnya lah sebenarnya itu, jadi kalau You minta do’a
sama dia orang ya you salah, tidak nyampe.
Itu dalilnya ada “tiada tempat meminta doa selain kepada Tien”.
Udah clear itu, Cuma ya itu kan prejudice, kita disangka
nyembah patung, sebenarnya kalau dalam bahasa Tionghoa
bukan dewa ini, kalau orang Tionghoa ini artinya Sien atau orang
gunung, orang yang bermeditasi di gunung, yang menyendiri.
Bahasa lainnya itu Shen Ming (Shen itu roh, atau spirit sementara
Ming itu gemilang). Jadi ketika kamu menyelamatkan bangsa,
negara segala macem, ketika kamu mati roh kamu jadi gemilang
maksudnya dan itu ada di kanan kiri tuhan, itu Sorga mungkin
kalau bahasanya kalau di kamu.
You jadi punya hak untuk diberi papan peringatan, kahormtan itu
tinggi sebenarnya. Cuma sayangnya orang Tionghoa itu
pragmatis, kalau ada batu keluar nomor togel dia anggap batu itu
sakti, ya itu juga terjadi di semua agama. (tertawa)
Sebenarnya tujuan utama dari Konghucu menempatkan patung
atau papan kehormatan agar menjadi contoh arat role model bagi
generasi berikutnya, supaya bisa mencontoh sifat baiknya. Tapi
ujung-ujungnya begitu, peringatan keagamaan ya dianggap
sebagai festifal. Budaya kan begitu sifatnya, revolutif,
transformatif, berubah-ubah. Cuma tugas kita agamawan menjaga
itu, minimal seimbang lah, versi begini-begini.
Sama kaya sejarah, minimal dari empat versi ya kalau tidak salah
begitu kan. Tidak bisa kita rujuk dari satu presfektif kan, kira-kira
begitu. Ya, itu yang banyak orang keliru. Saya terus terang bukan
kecewa, ya kita kasih tau itu sulit juga. Ya, namanya orang mau
smebahyang dia percaya sama itu ya susah juga, kita tidak punya
hak untuk melarang, lu gak boleh.
Terus dia baca apalah itu, keluar tuh oracel atau ramalan. Keluar
tuh nomor 0 Sampai 100. Ramalannya macem-macem, kalau ama
kuncen dia bilang wah ini proyek nih, tolak bala segala macem
biar keluar duit. Tapi kalau saya yang baca angka 0 sampai 100
semuanya bagus, itu konsep Yin dan Yang. Jadi kita tau kapan
harus ngerem atau kapan harus nge gas. Terlalu kencang You
harus rem, you kurang kenceng ya harus gas, jadi balance.
Apatuh kalau di Islam namanya, Mizan atau tengah-tengah,
Moderat.
Susah kalau di Kelenteng dia mau jadi juru kunci, karena ini
proyek dia dapet angpau masa mesti kita larang. Ya, itu juga jadi
problem, tidak bisa kita membenarkan socity tapi minimal
hantem ama data, atau minimal kita adu presfktif. Tidak bisa kita
ngadu kebenaran, kan susah. Apalagi religius experiance, orang
Agnostik itu dia belom pernah dia mau nyebrang, tidak jadi
ketabrak. Kalau kita orang yang biasa berdo’a atau shalat, aku
berlindung kepada Allah, kalau orang yang tidak punya
pengalaman itu gak ada, ya susah. Akhirnya dia jadi Agnostik
atau Atheis, jadi seharusnya kita tidak usah ngambek tuh sama
orang Atheis. Ya dia kebetulan belum punya pengalaman
keagamaan yang sama kaya kita.
Kalau pakai teori sosiologi sederhana, kenapa Karl Marx bilang
agama candu. Bokapnya Karl Marx itu Patur, dia bikin Dask
Kapital kan ada beberapa statement agama candu, bokapnya
pastur, temen-temen bokapnya korupsi duitnya. Dia keki, nah
akhirnya dia kecewa, dan itu terjadi sama semua organize
religion. Berapa banyak Ustad yang memperkosa santri, berapa
banyak biksu yang melecehkan umatnya, berapa banyak pastur,
sama. Yang salah kan bukan agamanya bos, orangnya.
Kalau kita punya pengalaman buruk sama polisi suruh bayar
tilang, kita keki tuh sama polisi. Tapi kalau ada orang yang
pengalamannya ditolongin sama polisi, oh dia tidak keki sama
polisi, betul tidak?
Ya gudur fair juga, dia bilang ada Polisi Tidur, ada Patung Polisi,
dan ada Hugeng kan. Kapolri yang betul-betul orang jujur, tapi
kalau kamu punya pengalaman dengan polisi yang meres kamu,
pasti kesel sama polisi. Tapi kalau kamu lagi di rampok, tiba-tiba
polisi dateng nolongin, pasti langsung berfikir oh ini polisi
penyelamat. Sama menurutku begiutu, mangkannya kita harus
luas itu Presfektifnya, kalau tidak gagal kita jadi Mahasiswa.
Kan kalau Mahasiswa itu tau tidak, pinjem istilah tuhan tuh
Maha. Iya dong, jadi siswa yang paling tinggi. Cara berfikirnya
tidak boleh kaya anak SD, tidak boleh dari satu Presfektif, begitu.
Aku itu ngajar karakter building di Binus, anak-anak orang kaya
yang kita ajar, tapi aku cuci otaknya kaya begitu tuh rul.
Ya tidak bisa, kamu hidup kamu merasa paling Pure kalau rasis.
Tidaklah kita semua itu hybrid, coba chek tujuh generasi ke atas,
jangan-jangan lu ada Cinanya juga.(tertawa)
Atau ada arabnya juga, tidak tau kan kita. Pakai teori persebaran
misalnya, mangkannya tidak bisa kita rasis, kita ini hybrid. Kita
itu produk budaya kan, produk peradaban yang ber evolusi,
bertransformasi, kalau aku sih begitu menjelaskan bagaimana
kalau orang itu harus punya sirkulan project.
Ya, karena kita orang Ushuludin tau sendiri kan. Belajarnya teori
Emanuel Kant, kata dia tuhan itu pamrih. Dia ciptain kita,
supaya kita hormat sama dia. Di Ushuludin perdebatannya begitu,
jadi tuhan pamrih kan gila, padahal tuhan kan tidak pernah
nyuruh kita supaya hormat sama dia. Itu urusan kita berterima
kasih sama dia, ada lagi Zaenudin Kamal tuh yang paling ngeri.
Prof. Zaenudin Kamal yang dari Padang, wah kacau itu otaknya.
Tapi Shalatnya rajin lima waktu, Cuma kalau kita ngomong sama
dia di bantai abis tuh. Kita sebagai orang Ushuludin gitu rul, kita
gugat semuanya, saya jurusan Perbandingan Agama. Saya sama
Prof. Komar, waktu beliau masih Rektor. Beliau juga ngajar saya,
terus Amirnurdin, Kautsar.
Kita itu tidak bisa rasis, kita itu hybrid. Kalau kita tarik teori
persebaran Picantropus ke Nusantara jadi isinya orang-orang itu
yang asli kalau kata Gusdur orang-orang di Flores. Yang model-
moedl orang ambon ditariknya ke Papua Nugini terus ke Hawai,
kaya Aborogin. Kita mah yah kalau ditelusuri udah sama tuh
kaya di Vietnam kaya Kamboja sama Laos, coba kita nongkrong
di Laos kalau bisa bahasa Laos udah pasti disangka orang Laos.
Kamu bayangin santri di kita pakai sarung, saya pergi seminggu
di Yangon, Myanmar. Orang Budha disana pakai sarung, persis
kaya santri di Tebu Ireng, nyarung cuman bedana teu make peci,
pan lobana orang Budha kabeh didinya mah. Ada gendulnya,
sama can baju koko, can bedug. Coba di Arab aya teu Bedug?
(bertanya)
Akulturasi pan mereun, tahlilan, 100 hari segala macem kita kan
akulturasi dari ajarah Hindu, Budha, udah kita ini tidak ada yang
pure, Bohong aja kita kalau merasa paling Pure, kecuali orang
Yahudi yang Ortodoks. Dia kan tidak boleh kawin sama orang
Non-Yahudi.
Ya, kan Ortodoks ada yang kawin campur. Ya, tidak bisa lah
namanya lelaki buaya darat, kawin boga anak. Ya, ga bisa lah
pakai teori persebaran mah. Kalau saya, di Konghucu doktrin
yang baru, di kita mah Indonesia Tionghoa. Kita juga tidak bisa
munafik, masa kita harus hilangkan ketionghoaan. Orang kita
bagian dari itu, begitu juga sebaliknya, ke sundaan kita juga tidak
bisa kita hilangkan. Tapi kalau kita dituduh Cina, enak aja lu.
Orang kita makan, tidur disini. Doktrin di Konghucu dan Di
Budha jelas “Dimana dia tempat tidur, makan disitu dia harus
mengabdi”. Mau apa lagi, dalil agama? Dalil history segala
macem?
Gusdur kan enak, aja saya keturunan Raden Fatah. Ya, raden
Fatah kan Cina juga. Nyengir-nyengir aja tuh Gusdur, Islam di
Jawa itu saya sempat percaya walaupun selamet mulyanto sempat
di anggap aneh. Teori dia kan masuknya Islam dari Tiongkok,
beda dengan Aceh kalau dia dari Gujarat. Bener tidak, ada
perjumpaan kan disana, belum lagi kan teorinya Cheng Ho.
Cheng Ho itu muslim, marga dia itu Ma yang memiliki arti
kependekan dari Muhammad, nama mualaf dia tuh, panjang
ceritanya. Ya, kalau saya bilang mungkin kakek buyut kita waktu
Cheng Ho mau berlayar ke Afrika, mereka tidak mau ikut tuh.
Terus kawin tuh ama perempuan-perempuan lokal, nah terus
jadilah kita kan, soalnya tidak bawa bini. Jadilah kita yang
disebut Cina Benteng.
Beda sama Cina Toktok, kalau Totok ditelusuri 3 generasi ke atas
masih daratan. Mereka maen land, kalau kita di Ciampea udah 8
generasi loh. Udah jauh, generasi pertama bapaknya udah orang
sini. Itu bedanya mangkannya secara genetik teman-teman kita
yang di Medan atau Kalimantan itu lebih sipit. Kalau kita, kaya
saya siapa yang nyebut saya Cina? tidak bisa udah, Cina dari
mana? orang paling ngira saya Manado, apalagi nama saya
Kristan.
Nanti kalau semsal masih kurang, dateng lagi kesini. Jadi saudara
lah kita, kalau tidak kaya gini gimana mau berjumpa kita. Orang
kita kerjanya dagang doang, ya karena warisan kolonial.
Dikerjain kita, dia bikin dulu yang namanya Wijkenstelsel yang
pengkotakan, mangkannya dikita itu ada istilah kampung
Ambon, Kampung Arab, Kampung Cina supaya apa? Supaya You
tidak gabung. Kalau kita gabung, Belanda itu di keroyok mati,
makannya dia dibikin Segregasi atau pemisahan. Di adu
dombanya gampang, noh Cina gua kasih enak, gebukin noh.
Ya, emang begitu Belanda. Kalau di pikir-pikir Belanda kita
keroyok, mati dia. Kita dikerjain sama itu, Belnada di Afrika
Selatan juga gitu. Dia kan rasisi itu, itu kolonial paling rasisi itu
Belanda, Inggris tidak terlalu, sama Portugal. Kacau itu, You
bayangin kalau kita kompak pakai teori sapu lidi kan, bersatu
kita teguh, bercerai kita runtuh. Ya, orang kita di adu domba, ya
kaya gimana.
Itu Orde Baru juga pakai itu, jadi begini rul. Semua diktator
harus punya satu musuh, yang buat di adui. Salah satu contohnya
kaya Khadafi di Libiya, Sadam Husen, Amerika kan melihat
celah itu dengan isu human roght. Mana lagi sekarang Syuriah,
Bosnia itu di adu domba semua, dikerjain kita ini. Jadi Soeharto
kalau mau di demo kan gampang, tinggal lempar handuk. Noh
Cina lihat noh pada enak, di gebukin Cina.
Kamu pernah baca tidak, kalau kerusuhan anti Cina itu terjadi
setiap 10 tahun. You baca setelah Inpres 67, tahun 75 Malari itu
Cina yang di gebukin, terus 85 Bandung, Solo wah cheos itu. 95
udah langsung ke 97, setiap 10 tahun itu udah di setting,
pokoknya ketika stabilitas politik ngeri. Langsung cari kambing
hitam black sheep.
Jadi kamu kalau mau jadi Presiden memang harus begitu, kalau
tidak ya engga bisa berkuasa lama. Bayangin Soeharto
kebijakannya itu Dobel, disatu sisi kebijakan sosial politik anti
Cina. tapi urusan bisnis dia sama keluarganya semua Cina yang
ngurus, Liem Soe Liong, Eka Cipta. Maling-maling BUMN, duit-
duitnya disimpan di dompet Cina. Sementara Cina yang kaya kita
ini nih yang di gebukin yang tidak tau apa-apa. (tertawa)
Itu kan gila, jangan salah. Kita lawan Cina-cina itu yang maling
BUMN, gara-gara dia negara rugi. Tapi yang di gebukin kita,
mereka tinggal kabur ke Singapur duitnya banyak.
Ya, kalau mau jadi diktator emang harus kaya gitu. You bayangin
semua bisnis Soeharto semenja Supersemar dia megang tanah,
perhutani itu semua Cina itu. Itu Cina yang kaya gitu harus di
gebuk, tidak ada urusan dia Cina atau Arab, karena dia yang
merugikan negara.
Ini fair aja kita ngomong, Cuma Cina-cina yang kaya kita yang
bayar pajak, membela Indonesia. PP 10 Tahun 59 atau 60 kan
disuruh pindah lu mau milih Tiongkok apa Indonesia. Sodara
kakek saya ada yang pindah Painan dulu, tapi Kakek saya tidak
mau, kakek saya dulu TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Mayor
oking itu dia punya Foto sama Mayor Oking, saya tau Mayor
Oking itu tangannya buntung.
Kakek saya dekat sama Mayor Oking, wah saya kalau disebut
Cina saya lawan itu orang. Cina dari mana bapak gua bela
Indonesia, engkong gua bela Indonesia. Susah kan, tapi kaum-
kaum konglomerat kita fair aja, jujur yang nemenin Jokowi juga
sama. Ini bukan soal bagaimana dia asal usulnya, ya tapi
memang orang-orang Cina itu begitu.
problem rul, Jusuf Kala bener semua orang Cina tidak punya
kesempatan mereka mau jadi birokrat, dia mau jadi tentara, jadi
Jendral. Tidak ada sejarah yang bilang, paling juga bintang satu
itu juga jebolan Dokter Gigi yang di rumah sakit. Tentara di
meja, tidak punya pasukan. Justru banyak sekali orang Tionghoa
yang nasionalis.
Merka ini yang secara ekonomi di bawah rata-rata. Saya pengen
bilang sama orang-orang yang Mis Reading dan Mis
Understanding kalau tidak begitu cara mukunya. Kacamat kita
tiidak boleh tertutup, banyak ko Cina yang nasionalis kalau kita
tidak Cinat Indonesia udah cabut waktu dikeluarin PP No.10.
Kita enak itu, transmigrasi sudah disedian rumah sama tanah.
Nah justru yang harus kita gebuk itu Cina-cina yang malingin
BUMN itu yang harus kita lawan. Saya ini termasuk slah satu
Cina yang dicari sama Cina, jujur saja. Karena kita lawan, tapi ya
tetap Oligarki maenannya begitu rul. Kalau jadi pengusaha juga
harus dekat sama penguasa, termasuk preman. You bayangin
kelakuan yang punya Agung Sedayu, udah terseret KPK dia bisa
lolos.
Gua kan aktif nih di KNPI, gua bilang kekayaan gua bukan dari
hasil ngerampok negara. Kalau hasil ngerampok itu harus kita
gebukin itu, tidak ada urusan asal usul sukunya. Tau tidak,
kenapa Voc dengan mudahnya menguasai Jawa. Ya raja-raja di
Jawa disogok, Cuma yang gak mau ya Jawa. Belakangan tetap
aja dia jadi Komporador, lewat lah dikerjain kita. Sejarah kan
meskipun pahit harus dibuka.
Jadi konsep Sejarah sebenarnya begini rul, pengungkapan masa
lalu kalau menurutku, untuk generasi berikutnya supaya tidak
melakukan masalah yang sama. Tujuannya refleksi, visinya kita
jadi sejarawan atau mengolah sejarah itu begitu, menrutku ya. Itu
kan aktualisasi diri dari sejarawan itu gitu. Ya, jangan juga jadi
sejarawan yang menghalakan segala cara, kaya pakai dalil-dalil
yang dipakai TNI. Clear kan,
Jadi kita tahu tuh malam sebelum pem,bunuhan G30S angkatan
66 itu kumpul, Ngobrol-ngobrol dulu dirumah Soeharto tuh
dirumah. You chek itu arsipnya CIA, jadi kalau saya bukan
katena saya Cina saya PKI. Tapi menurut saya itu partai Komunis
paling goblok di seleuruh bumi tuh, bisa di bantai dalam satu
malam. Komunis itu, kenpa kita benci Komunis. Mereka itu
dimana-mana kalau bikin pemberontakan korbannya banyak.
Inimah Komunis yang di gebukin, itumah konflik angkatan darat
itu. ABRI Hitam sama ABRI Merah itu. Saya tidak percaya itu,
jadi siapa yang menang kalau pakai teori konspirasi? Yang
menang itu yang maen. Tau tidak, Letkol Untung itu yang You
nonton di G30S waktu dia kawin, itu Soeharto dateng. Clear itu
Foto, temennya bos. Cuma kaya Ken Arok, Empu Gandring
terus ditusuk. Ya, You kan yang bikin keris, kalau tidak You
yang cerita dong.
Jadi kalau saya begini rul, kalau CIA itu, arsip-arsip yang udah
berusia 25 tahun harus keluar itu Arsip. Ya, tapi oke lah itu
sejarah nasional, tapi ada Different Opinion, balik lagi sama
konsep yang tadi kita tidak bisa melihat sejarah dalam satu
presfektif, dan sejarah Indonesia Sorry aja, kita itu di acak-acak
itu sama Orde Baru.
Oke kita tidak Idealis, tapi kita anak cucu kita gamau di bego-
begoin. Ya, kaya kamu kan bakal punya anak, jadi harus pintar
lah. Harus melihat segala hal dalam bermacam presfektif, jangan
you telan mentah-mentah suatu prespektif.
Dalam ajaran Konforsius tuh begini kalau mau terima murid, You
berhenti di suatu sudut. Setelah itu You cari lagi tuh sudut yang
lain, kalau bisa nunjukin baru bisa diterima menjadi murid.
Pedagogik Game itu pendekatannya.
Jangan sampai kita menjadi orang yang matanya ditutup serapat
gajah. Kalau you matanya di tutup, you pegang badannya oh ini
tembok, oh ini kipas. You tidak hanya holeisik, nah ilmuan tidak
boleh matanya ditutup, dia harus holistik baru dia ambil
conclution jadi kalau ada Profesor rasisi pasti nyogok tuh. Dia
udah pasti gagal di pelajaran komunikasi antar budaya, atau
MKDU itu tidak ada, jadi begitulah rul, klita juga sulit. Mungkin
sudah selesai ya. Nanti kalau masih kurang data datang aja lagi,
kite terbuka ko.
Syahrul Baik bapak terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk
berbincang dengan saya, mohon maaf jika kedatangan saya kesini
mengganggu
Kristan Iya, sama-sama rul

Lampiran 3 wawancara dengan bapak Unki

Syahru Selamat siang Bapak, mohon maaf mengganggu waktunya,


l perkenalkan nama saya Syahrul Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Saat ini saya sedang melaksanakan
penelitian tentang percepatan asimilasi yang digagas oleh
pemerintah Orde Baru. Saat ini saya bermaksud untuk
mewawancarai bapak selaku pengurus rumah ibadah dan warga
keturunan Tionghoa yang tinggal di Ciampea. Sebelum saya
lanjutkan, dengan siapa saya berbicara saat ini?
Unki Nama saya Unki, tapi sehari-hari biasa dipanggil Uki
Syahru Bapak Unki kalau boleh saya tau apakah bapak warga asli
l Ciampea pak?
Unki Saya lahir di Jakarta, tetapi orang tua saya asli sini dari kakek
nenek juga sudah tinggal disini. Waktu kecil saya tinggal di
Jakarta ikut sama Orang tua, terus masuk sini lagi sekitar tahun
1979.
Syahru
l Bapak sendiri usianya berapa saat ini ?
Unki Sekarang 62 Tahun
Syahru Jadi begini bapak, ketika masa pemerintahan Presiden Soeharto
l pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk membatasi
kegiatan keagamaan bagi warga keturunan Tionghoa, untuk di
dareah Ciampea sendiri dampaknya seperti apa ?
Unki Awalnya sih biasa saja, tetapi kita selaku warga hanya mengikuti
kata atasan aja, tidak pernah melawan. Ketika zaman Soeharto
meskipun sudah ada larangan, tapi ada aja yang ibadah mah, disini
tidak terlalu ketat.
Syahru Selain pembatasan dalam kegiatan keagamaan, pada periode 70-80
l an pemerintah pernah mewajibkan bagi warga keturunan Tionghoa
untuk memiliki surat bukti kewarganegaraan Indonesia atau
SBKRI, bapak sendiri dulu punya atau tidak?
Unki Iya saya punya, seperti surat keterangan lahir, surat tanda pengenal
khusus saya ada
Syahru Selain pembatasan pada aktifitas keagamaan, pemerintah juga
l membatasi aktifitas kebudayaan bagu warga keturunan Tionghoa.
Untuk di darah Ciampea bagaimana dampak dari pembatasan
tersebut?
Unki Memang ketika dulu sempat ada larangan, warga disini juga tidak
ada yang berani kalau untuk mengadakan pertunjukan barong, jadi
setiap hari raya biasa aja gitu, ibadahnya juga masing-masing.
Paling kita ngundang beberapa orang untuk berbagi kaya sembako.
Syahru
l Apakah bapak bisa membaca dan berbicara bahasa Cina?
Unki Kalau saya tidak bisa, paling tau sedikit saja, tapi dulu orang tua
saya bisa bahasa Cina. kalau Saya sendiri lebih lancar bahasa
Sunda
Syahru Apakah bapak mengalami kesulitan ketika mengajukan untuk
l mendapatkan surat bukti kewarganegaraan?
Unki Tergantung juga sih, untuk warga keturunan Tionghoa yang aktif
sebagai anggota PKI itu berat, tetapi untuk warga biasa tidak
terlalu sulit.
Syahru Selain diwajibkan memiliki SBKRI, pemerintah juga pernah
l menutup sekolah khusus bagi warga keturunan Tionghoa, untuk
bapak sediri dulu sekolahnya dimana pak, apakah ada sekolah
khusus untuk warga keturunan Tionghoa di Ciampea?
Unki Kalau dulu sih iya, saya dulu masuk sekolah umum tapi yang bisa
masuk sekolah umum hanya waraga asli keturunan Ciampea. Saya
kan memang asli keturunan dari sini ditambah tidak bisa bahasa
Cina jadi saya bisa masuk
Syahru setelah masa pemerintahan Orde Baru berakhir, bagaimana
l kondisi warga keturunan Tionghoa di Ciampea , apakah lebih
leluasa dalam beribadah dan menjalankan budaya?
Unki setelah ganti pemerintah sih tidak jauh beda, karena dari dulu di
Ciampea tidak terlalu ketat. Hanya umatnya asaja yang berkurang.
Syahru
l berkurang bagaimana pak maksudnya ?
Unki Iya kan dulu Konghucu bukan agama resmi, terus buat dapet surat
izin tinggal kan harus memilih agama jadi banyak yang akhirnya
milih agama lain seperti Kriseten dan Budha.
Syahru Kalau untuk kasus yang pindah agama itu karena unsur
l keterpaksaan atau pilihan sendiri pak?
Unki Tidak, rata-rata karena pilihan sendiri tidak ada unsur pemksaan.
Keluarga saya sendiri tidak semunya memeluk agama Konghucu,
anak saya yang perempuan masuk Islam soalnya nikah ama orang
sini. Saya tidak pernah memaksa keluarga saya untuk masuk
agama tertentu yang penting jalannya bener dan bisa hiudp rukun.

Lampiran 4 wawancara dengan bapak Bilih atau Unyan


Syahru Bapak usianya saat ini berapa ?
l
Bilih 66 tahun
Syahru Kalau orang tua asli sini pak?
l
Bilih Iya, saya dari lahir sudah disini, orang tua juga asli sini Cuma udah
Almarhum
Syahru Seperti ini bapak, saat ini saya sedang melaksanakan peneltian
l tentang proses percepatan asimilasi yang digagas oleh Pemerintah
Orde Baru bagi warga keturunan Tionghoa. Saya ingin bertanya,
pada tahun 1979 pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan
tentang pembatasan kegiatan keagamaan untuk warga keturunan
Tionghoa agar tidak melaksankan ibadah dan kebudyaan di depan
umum, untuk di Ciampea sendiri bagaimana dampak dari kebijakan
tersebut?
Bilih Orang sini kan dulunya menganut ajaran Kawisme, atau
kepercayaan yang menyembah para dewa. Setelah Soeharto jadi
Presiden dulu kan ada larangan tentang acara barong itu, terus
masalah ibadah juga, akhirnya kepercayaan Tawisme sendiri di
ubah menjadi Tri dhrama yang terdiri dari Budha, Konghucu dan
Wetu. Setelah diganti sama Presiden Gusdur baru mulai dibuka lagi,
jadi tetap selama masa pemerintahan Soeharto terkena dampak jadi
tidak leluasa.
Bilih Seain membatasi aktifitas kegamaan, pemerintah juga membatasi
kegiatan kebudyaan bagi warga keturunan Tionghoa, untuk di
Ciampea sendiri bagaimana upaya warga keturunan untuk
mempertahankan keyakinan dan kebudyaan yang telah di wariskan
secara turun temurun agar tidak hilang?
Bilih Kalau dulu ketika zaman Soeharto tidak bisa bebas karena memang
ada larangan barong, jadi kita disini kalau mau ibadah terkadang
sendiri-sendiri. Untuk tradisi lain seperti tarian terus barong juga
latihannya tidak di kelenteng jadi di rumah aja. Mangkannya setelah
masa pemerintahan Orde Baru kan kebudayaan sedang di tekankan,
itu contohnya sekarang lagi pada latihan di depan Kelenteng, itu
latihannya setiap hari.
Syahru Pada perode 70-80 an pemerintah pernah mewajibkan untuk warga
l keturunan Tionghoa agar memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan
Indonesia atau SBKRI. Apakaha bapak memiliki surat tersebut dan
bagaimana cara mendapatkannya apakah mengalami ksulitan?
Bilih Saya sempat punya, tidak terlalu sulit untuk mendapatkan surat itu

Syahru Selain mewajibkan untuk memiliki SBKRI, pemerintah sempat


l menutup sekolah khusus bagi warga keturnan Tionghoa, untuk di
daerah Ciampea sendiri ketika ada larangan tersebut anak-anak
disekolahkan dimana pak?
Bilih Kalau dulu saya dimasukan ke sekolah susata, kaya PGRI, jadi
berbaur aja gitu ama warga sekitar.
Syahru Selama bapak tinggal disini apakah pernah ada gesekan dengan
l warga sekitar?
Bilih Tidak pernah ada, kita rukun-rukun aja disini. Saling menghargai,
Lampiran 5 wawancara dengan Ibu Dewi

Syahrul Ibu sendiri sudah lama tinggal disini ?


Dewi Saya sudah lama, dari kecil sudah disini kira-kira dari kelas 5 SD
Syahrul kalau usia ibu sekarang berapa?
Dewi usia aku 48 Tahun
Syahrul Pada periode tahun 70-80 pemerintah sempat memwajibkan kepada
warga keturunan Tionghoa untuk memiliki tanda pengenal khusu atau
SBKRI, apakah keita itu ibu sempat memilikinya?
Dewi Aku gak punya si mas, pada saat itu kan ibu aku yang mengurus
semuanya. Awalnya kami tinggal di Cipete, Jakarta terus pindah ke
Bogor. Akan tetapi ketika itu aku pindahnya diam-diam, karena kan
pas Orde Baru orang Cina itu benar-benar banyak yang di dzholimi
meskipun aku udah muslim tapi tetap ada saja yang ngeta-ngatain
segala macem. Berhubung ayah orang sunda dan ibu aku udah jadi
muslim jadi pakaiannya sama kaya warga lokal, dan Alhamdulillah
aman, kita juga tidak buat surat SBKRI, jadi langsung buat KTP.
Syahrul Pada masa pemerintahan Soeharto pemerintah sempat menutup
sekolah khusus bagi warga keturunan Tionghoa, apakah ibu sebagai
warga keturunan Tionghoa muslim terkena dampaknya?
Dewi Kalau aku tidak, soalnya dari awal ibu mesukin aku ke Pondok
Pesantren Al-Ahzan.
Syahrul Kalau boleh tau apakah ibu aktif di organisasi keagamaan Islam
Tionghoa?
Dewi Tidak, karena ibu aku nikah tidak secara Tionghoa. jadi tidak direstui
oleh keluarga. Ibu saya itu kan mualaf jadi dia benar-benar belajar
Islam dan tidak pernah mengikuti segala macam kegiatan keislam
Tionghoa.
Syahrul Selama masa pemerintahan orde baru pemerintah sempat
mengeluarkan kebijakan agar setiap warga keturunan Tionghoa
mengganti nama dengan nama pribumi, apakah ibu memiliki nama
Tiongoa?
Dewi Tidak, kalau ibu saya punya. Dia namanya Chen Sin Moy akan tetapi
setelah peraturan itu keluar ibu saya langsung mengganti namanya
manjadi Siti Nurhayati.
Syahrul Selama tinggal disini bagaimana hubungan dengan masyarakat
sekitar?
Dewi Alhamdulillah normal, bisa saja, malah senang tidak ada yang nge
beda-bedain dan tidak pernah ada yang nanya macam-macam. Kan
lama-lama aku item jadi gak kelihatan orang keturunan Tionghoa.
Syahrul Apakah ibu masih menjaga kepercayaan dan tradisi Tionghoa?
Dewi Berhubung dari dulu orang tua aku Islamnya kental, jadi sejak kecil
kami anak-anaknya tidak pernah ada yang di ajarkan tentangf tradisi
dan kebudayaan Cina. tidak ada yang namanaya Gong Xi Fa Cai atau
bagi-bagi angpau, sama sekali tidak di ajarkan. Akan tetapi ketika ibu
saya bertemu dengan warga Tionghoa yang lain beliau tetap
menggunakan adat dan tradisi Tionghoa seperti mengobrol dengan
bahasa Cina dan mahir menulis kanji juga, akan tetapi tidak ada yang
diturunkan kepada kami.

Transkip 6 wawancara dengan bapak Yusuf atau Tan Kang Sui

Syahrul Perkenalkan bapak, nama saya syahrul Mahasiswa Uin Jakarta.


Kalau boleh saya tau dengan bapak siapa saya sekarang?
Yusuf Nama saya Yusuf
Syahrul Apakah bapak memiliki nama keturunan?
Yusuf Nama keturunan saya dari marga Tan nama saya Tan Kang Sui.
Terus kita kan dulu disuruh bikin WNI jadi ganti nama, dan
digantinya pake nama Islam biar dipermudah semuanya (tertawa).
Mangkannya kenapa orang Cina gua itemin, biar hararideung ,
jadi beradaptasi hidupmah jangan di ambil pusing, ngapain yah.
Syahrul Bapak sendiri asli keturunan sini pak?
Yusuf Iya, emang asli sini saya mah
Syahrul Kalau boleh saya tahu, berapa usaia bapak saat ini
Yusuf 65 saya
Syahrul Jadi begini bapak, ketika masa pemerintahan Soeharto pemerintah
pernah menerapkan kebijakan asimilasi untuk warga keturunan
Tionghoa , kira-kira bagaimana dampak dari kebijakan tersebut
untuk warga keturunan Tionghoa di Kecamatan Ciampea?
Yusuf Intinya terkekang, pokoknya waktu zaman Gus Dur jadi Presiden,
kemari baru bebas, ya udah begitu aja.
Syahrul Ketika masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah sempat
mewajibkan bahwa warga keturunan diharuskan memiliki tanda
pengenal khsusus atau SBKRI, apakah bapak mengalami dan
bagaimana untuk pengajuannya apakah mengalami kesulitan?

Yusuf Ohh iya saya ngalamin, kalau dulu namanya bikin WNI. Untuk
pengajuannya sendiri ya agak sulit lah, kalau ada uang mudah, ya
gitu aja udah.
Syahrul Pada periode 80 an pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan
untuk mempermudah agar warga keturunan dapat mendapatkan
kartu identitas, bagaimana pengeruhnya bagi warga keturunan di
Ciampea?
Yusuf Ya pengaruh mah ada, di pemerintah di atas mah bener tapi tetep
aja di pertengahanmah lama prosesnya, yang kaya gitumah tau
sendiri lah yah sistem di kita mah yah
Syahrul Kalau untuk pengajuannya sendiri dulu melalui siapa ya pak?
Yusuf Kalau disini ada yang ngurus dari perangkat pemerintah, jadi ada
yang ngurus surat-suratnya sendiri jadi nanti dia yang berangkat,
jad ada orang dateng kerumah terus kita di data yang penting kita
terima beres, tapi tetap biayaya mahal
Syahrul Selain mewajibkan untuk memiliki tanda pengenal khusus. Pada
masa Soeharto pemerintah sempat menutup sekolah khusus bagi
warga keturunan, ketika itu anak-anak sekolah dimana pak?
Yusuf Iya, dulu sempat ada larangan kaya nutup les les bahasa Cina,
umumnya untuk di Bogor udah gak bisa bahasa Cina sampai
sekarang, dan gak berani kita buat ikut les kaya gitu.
Syahrul Selain menutup sekolah, pemerintah sempat membatasi ritual
keagamaan untuk warga keturunan Tionghoa, ketika
penerapannya dulu bagaimana pak?
Yusuf Iya, tahun berapa ya dulu Orde Baru. Ya, jadi begitu aja
pelaksanaan nya rame gak rame, ada Cuma kurang tapi ada aja
yang ibadahmah.
Syahrul Kalau semilas ketika mengadakan acara keagamaan seperti Imlek
atau hari raya bagaimana pelaksanaan nya pak?
Yusuf Ya, agak tertutup sih. Rame sih rame, tradisi sih tetep posisinya
kalau di kampung mah lumayan rame tapi kalau di Kota mah tidak
tau
Syahrul Untuk pertunjukan budaya seperti barongsai bagaimana pak?
Yusuf Waduh kalau itu dulu gak bisa, dilarang itu. Tapi pas masa Gusdur
baru di bebasin, karena kan kebijakannya sudah ditarik, zaman
Orde Baru mah gak ada, gak boleh. Terakhir ada itu sebelum
tahun 67 tuh di Bogor acara apa Cap Go Meh, itu terakhir tuh saya
inget saya masih kecil nonton
Syahrul Mohon maaf bapak, dulu Konghucu belum di akui sebagai agama
untuk status keagamaan di tanda pengenal sendiri bagaimana pak?
Yusuf Ya , kita Budha ngambilnya, paling deket soalnya
Syahrul Bapak sendiri memilih budha karena murni pilhan pribadi?
Yusuf Karena peraturannya begitu kan, agama yang di akui Islam,
Katholik, Hindu ama Budha , ya kita ngambilnya ke Budha karena
Konghucu itu tidak ada, Konghucu itu ajaran kebaikan. Jadi mau
gak mau
Syahrul Apakah pernah terjadi gesekan dengan masyarakat sekitar pak?
Yusuf Dari dulu enggak, disini kita bersatu enggak ada gesekan masalah
agama, ras itu gak ada.

Transkip 7 wawancara dengan bapak supandi atau Tan Tek Kong

Syahrul Kalau boleh saya tau dengan siapa sekarang saya berbincang?
Supand Nama saya Supandi
i
Syahrul Bapak usainya berapa sekarang?
Supand Sekarang 73
i
Syahrul Apakah bapak merupakan warga keturunan asli Ciampea/
Supand Iya, asli Ciampea dari tahun 50. Dari kecil udah di sini
i
Syahrul ketika masa pemerintahan Orde Baru pemerintah sempat
melakukan pembatasan untuk aktifitas keagamaan, kebudayaan
dan adat istiadat Tionghoa, menurut bapak bagaimana dampak
dari peraturan tersebut?
Supand Jadi khusus di Ciampea ini kita masih biasa-biasa aja, malah kan
i kaya misalnya Cap Go Meh dulu kan tidak boleh, tapi di sini
masih bisa. Cuma kita ditegor sama sospol (kamtib). Dulu banyak
larangan, kaya ini kan kelenteng hampir mau di tutup, tapi tetep
aja
Syahrul Kalau untuk pengajuan hak sipil, semisal dulu kan pernah di
wajibkan untuk memiliki kartu identitas khusus, pengajuan akte
kelahiran itu bagaimana prosedurnya pak, apakah mengalami
kesulitan?
Supand Enggak sih ya, kita SMP di Bogor sekolah masih biasa aja. Gatau
i kalau di daerah-daerah luar. Kalau mau ngajuin akte enggak sulit
di Ciampea. Emang sempat di tuduh Ciampea, BAPERKI dulu,
kan kalau mau bikin WNI melalui BAPERKI. Jadi di cap anggota
kita
Syahrul Terus bagaimana bapak ketika ada klaim dari BAPERKI,
bagaimana pengaruhnya?
Supardi Jadi dulu orang tua saya nih, pribadi ngebubarin diri tapi tidak
ada teguran dari atas. Orang udah stress, emang orang tua dulu
teman-temannya Veteran semua, jadi pada bingung kenapa masuk
ke BAPERKI. Jadi ketika kita ngajuin WNI jadi tercantum,
soalnya kalau lewat BAPERKI kan cepat
Syahrul Ketika itu pemerintah sempat mewajibkan untuk teman-teman
Tionghoa agar mengganti nama, apakah bapak memiliki nama
Tionghoa?
Supardi Punya, diganti nama semua. Nama saya Tan Tek Kong, saya
ketika ganti nama sekitar tahun 80 an
Syahrul Ketika masa Reformasi, Habibie sempat mengeluarkan kebijakan
untuk mempermudah segala bentuk pengajuan administrasi tanpa
membeda-bedakan ras, bagaimana dampak dari kebijakan
tersebut?
Supand Sama aja, tidak ada perbedaan masih biasa, masih belum ada
i perubahan.
Syahrul Ketika itu Konghucu belum di akui sebagai agama resmi,
bagaimana bapak mencantumkan agama dalam kartu identitas
pak?
Supand Kalau keyakinan Konghucu, kalau di identitas Budha. Tapi terus
i sih mskipun di KTP Budha setiap minggu kita ke kebaktian.
Tidak ada teguran
Syahrul Kalau dari aparatur desa apakah pernah ada teguran?
Supand Tidak, biasa aja. Tidak pernah ada yang negur
i
Syahrul Untuk sosialisasi kebijakan sendiri bapak, ketika tahun 80 an
pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk mempermudah
pengajuan WNI, apakah setelah kebijakan itu keluar
pengajuannya jadi mudah?
Supand Tidak, sama aja. Soalnya kita sama pribumi deket, dari orang tua
i kita baik hubungannya dengan masyarakat sekitar. Saya aja dulu
pernah kemaleman di jalan di daerah Sadeng sempat ada yang
nawarin disuruh istirahat di Pesantren, Kyiai apa itu lupa saya,
Beliau mantan pejuang juga dulu.
Syahrul Apakah bapak masih bisa berbicara bahasa Tionghoa?
Supand Enggak bisa kita, dulu kan tidak boleh karena ada larangan. Kalau
i kakak saya tamatan kelas 2 SMP, bisa ngomong dia, baca bisa,
nulis bisa. Dari keluarga juga tidak ada yang mewariskan karena
orang tua juga enggak ada yang bisa
Syahrul Bagaimana upaya warga keturunan untuk menjaga kebudayaan
Tionghoa agar tidak hilang?
Supand Kalau kebudayaan kita tetap jalan, kaya latihan segala macem.
i Ya, Cuma begitu kita cukup di dalem aja, tidak boleh di depan
umum

Wawncara 8

Syahrul Kalau bapak sendiri asli Ciampea?


Jatmiko Iya saya asli sini
Syahrul Kalau nama bapak sendiri siapa pak?
Jatmiko Nama saya Jatmiko
Syahrul Kalau usia bapak sekarang berapa?
Jatmiko Saya 75 tahun
Syahrul Bapak saat ini tinggal dimana pak?
Jatmiko Saya di sini, Kampung Pasar Ciampea. Engga jauh dari
Kelenteng
Syahrul Ketika Soeharto menjabat sebagai Presiden, sempat ada larangan
untuk warga keturunan agar tidak melakukan Ibadah secara
terbuka, bagaimana dampaknya untuk di Kecamatan Ciampea
sendiri pak?
Jatmiko Ya, namanya udah ada aturan dari atas kita mah ikut aja udah.
Gimana lagi, orang kita takut. Ya, paling kita ibadah mah ibadah
aja, cuma ya itu tadi paling kita ibadahnya masing-masing.
Syahrul Apakah pernah ada teguran dari pemerintah setempat seperti RT
atau RW mungkin ketika sedang beribadah?
Jatmiko Ah engga, tidak pernah di sini mah. Soalnya kita kan keal sama
RT/RW nya, orang tua kita dulu juga pada deket sama orang-
irang desa, jadi tidak pernah ada teguran. Tapi kalau dulu sih
pernah ada petugas yang ngontrol, tapi tidak pernah ditegur pas
sembahyang. Di sini mah biasa aja sih, tapi engga tau kalau di
tempat lain ya.
Syahrul Ketika dulu, kalau mau sekolah itu biasanya dimana pak?
Jatmiko Kalau kami dulu pas SD masuk sekolah biasa, gabung aja ama
orang-orang sini. Pas SMP temean-teman kita sekolahnya ke
Bogor, dulu masih zaman Oplet. Kalau dulu di sini tidak ada
SMP atau SMA, seinget saya dulu pas tahun 69 kita SD. Kalau
kita gabisa jelasin banyak, orang kita sekolah Cuma sampai SD .
Kan kalau orang terpelajar mah beda sama orang yang sekolah,
kalau kita mah bisanya segini, jadi cara ngomongnya juga kurang
mantep.
Syahrul Tapi kan yang namanya pengalaman tidak bisa bohong pak,
bapak tadi cerita berdasarkan pengalaman pribadi kan (tertawa)
Jatmiko Iya, ya paling gitu aja yang bisa saya bantu

Wawancara 9 dengan bapak Husen atau Law Kwan Seng

Syahrul Dengan siapa saya berbincang saat ini?


Husen Saya bapak Husen
Syahrul Kalau usia bapak saat ini berapa?
Husen Saya 65
Syahrul Apakah bapak asli lahir di sini?
Husen Iya, orang tua asli sini. Saya tidak punya tempat, jadi tinggal di
sini aja rame-rame. Istilahnya numpang lah
Syahrul Ketika masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah pernah
mengeluarkan kebijakan asimilasi. Bagaimana dampak dari
kebijakan tersebut untuk warga keturunan Tionghoa?
Untuk di sini sih biasa-biasa aja ya, di sini tidak pernah
membeda-bedakan masalah agama. Kita di sini hidup selalu
rukun, dari tahu ke tahun, dari zaman ke zaman. Mudah-mudahan
aja sampai saya tutup usia juga masih dalam keadaan rukun
Syahrul Pemerintah sempat mewajibkan kepada warga keturnan Tionghoa
untuk memiliki karu identitas khusus, apakah ketika
pengajuannya mengalami kesulitan?
Husen Enggak, biasa-biasa aja. Dulu waktu pengajuan buat bikin WNI
kan. Kalau dulu kan yang ngurus orang desa, kita tau siapa dia
dan dia tau siapa kita, jadi biasa-biasa aja. Kalau hidup di sini
selalu tenang
Syahrul Apakah bapak memiliki nama keturunan?
Husen Ada, nama saya Law Kwan Seng. Dulu kan pemerintah
ngewajibin buat ganti nama, saya pakai nama muslim jadi Husen
kan dekat
Syahrul Apakah bapak bisa berbahasa Cina?
Husen Ya, karena dulu kan dilarang dan kita juga takut. Jadi enggak
belajar dan orang tua saya juga tidak izinkan. Orang tua kita dulu
kan pengecut ya, jadi kita selaku anak manut lah, pasti orang tua
ngajarin yang terbaik, kalau orang tua saya bisa. Tapi tidak berani
mengajarkan sama anaknya, karena kan waktu itu dilarang. Jadi
orang tua juga nyari yang terbaik untuk anaknya.
Syahrul Ketika pemerintah menutup sekolah khusus warga keturunan,
bapak sekolah dimana pak?
Husen Ohh saya sekolah ikut di SD umum, ikut yang lain aja. Itu sekitar
tahun 72 saya, tahun 72 itu kita tidak kenal sepatu. Istilahnya kita
punya potlot satu juga untuk rame-rame. (tertawa)
Syahrul Kalau dulu untuk mengajukan izin usaha bagaimana pak, apakah
mengalami kesulitan?
Husen Saya tidak usaha, ya gini-gini aja. Saya bercocok tanam, itu juga
ngurusin sawah orang. Jadi kita hidup biasa-biasa saja, saya juga
ngajari ke anak-anak saya meskipun kita sukses jangan pernah
taruh tangan di ketiak, biasa-biasa saja. Kalau hidup biasa-biasa
saja insya Allah kita hidup tidak akan punya musuh
Syahrul Baik bapak, terima kasih atas waktnya
Husen Iya, sama-sama

Anda mungkin juga menyukai