Anda di halaman 1dari 22

BAB II

KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN

A. Kondisi Geografi dan Demografis

Studi ilmu geografi yang menggambarkan tentang ruang lingkup dan

ruang wilayah di permukaan bumi menggambarkan keadaan wilayah itu dan

bagaimana bisa sampai ke daerah tersebut. Hubungan ilmu geografi dan sejarah

dalam ruang lingkup regional akan menelaah tempat dan aktivitas penghuninya

pada aspek ruang dan waktu tertentu. Faktor geografis inilah yang membedakan

berupa iklim, lokasi morfologi permukaan bumi. Faktor tersebut akhirnya

diadaptasi oleh manusia sebagai objek tempat kegiatan kehidupan manusia sehari-

hari. Sebagai keadaan alam (landscape) sekarang telah banyak mengalami

perubahan secara terus-menerus dikarenakan kegiatan manusia di sepanjang

waktu.1

Mempelajari suatu lokasi geografis akan dapat diketahui mengenai

indikasi cara manusia dari waktu ke waktu yang telah mendapatkan manfaat setiap

kesempatan yang diberikan oleh ruang lingkupnya. Perbedaan kondisi geografis

yang akan menciptakan suatu tingkat keanekaragaman peradaban dunia. Keadaan

geografis pada suatu wilayah tidak akan hanya menjelaskan tentang suatu

fenomena atau gejala alam saja. Akan tetapi, secara luas juga menjelaskan

kondisi kehidupan yang berkaitan dengan masyarakat sekitarnya, misalkan

pengaruh tragedi alam seperti tsunami, banjir, letusan gunung berapi yang juga

1
Sukma Perdana Prasetya. “Telaah Intergratif Geografi Kesejarahan” . Researchaate (Juli
2018 h. 2

1
dapat merubah keadaan sosial wilayah yang awalnya sebagai pusat peradaban

menjadi daerah yang tertinggal maupun sebaliknya.

Letak kabupaten Musi Banyuasin diantara 1,5 derajat lintang Selatan 103

derajat Bujur Timur.2 Sebagian besar kabupaten Musi Banyuasin (MUBA)

merupakan aliran sungai yang bergantung dengan pasang surutnya air sungai

Musi, dan juga banyak anakan-anakan sungai Musi, terdapat juga rawa-rawa dan

sebagainya bukit-bukit kecil yang ketinggiannya berkisar antara 10-70 meter di

atas permukaan laut. Hal tersebut juga yang menjadikan daerah MUBA suhunya

tergolong panas pada saat memasuki musim kemarau. Daerah kabupaten MUBA

dapat disimpulkan merupakan daerah rawa-rawa, sungai besar dan sungai kecil,

wilayah Muba juga terdapat danau-danau kecil dan lebak-lebak.

Tanah di sebelah Timur pada umumnya berupa rawa-rawa (Lebak) yang

dipengaruhi oleh pasang surut air sungai. Pada umumnya airnya terasa asin.

Karena itulah kabupaten ini ditetapkan namanya memakai nama Musi Banyuasin.

Sebagai di daerah pasang surut ini banyak tumbuh nipah dan bakau yang

merupakan ciri khas tumbuh-tumbuhan daerah pantai. Makin darat tanahnya

bervariasi, terdiri dari dataran rendah dan lebak lebung yang merupakan daerah

persawahan tadah hujan. Semakin ke darat lagi tanahnya semakin meninggi dan

bergelombang atau berbukit-bukit.

Pantai sebelah timur semakin luas akibat terbentuknya delta-delta dan

tanah nyurung. Lumpur-lumpur yang dibawa oleh sungai-sungai berkumpul di

2
Yusman Haris,, Pergolakan-Pergolakan di Daeraah Musi Banyuasin (Pemda Musi
Banyuasin) h 1

2
Hilir atau di muara sungai, sehingga lama-lama membentuk daratan yang

kemudian ditumbuhi oleh nipah dan bakau. Delta tanah nyurung tersebut sesuai

dengan hukum adat merupakan milik warga atau pemerintah. Delta atau tanah

nyurung banyak terjadi di sebelah Timur, karena umumnya sungai-sungai yang

besar bermuara di sebelah Timur. Pantai sebelah Timur gelombang lautnya tidak

besar, sehingga memungkinkan terbentuknya delta atau tanah nyurung. Berbeda

dengan pantai Sumatra sebelah Barat, pada umumnya gelombang lautnya sangat

besar, sehingga tidak memukinkan terbentuknya delta atau tanah nyurung. Pantai

Timur semakin lama semakin meluas, sedangkan pantai Barat tidak bertambah

luas, bahkan terjadi Erosi atau terkikis oleh gelombang laut yang besar.

Kalau melihat jenisnya, maka tanah-tanah di daerah Kabupaten MUBA

(Musi Banyuasin) terdiri dari:

1. Seri Aluvial Hidromorf

Jenis tanah ini terdapat di muara sungai Upang, sungai Saleh dan

garis pantai muara sungai banyuasin serta sepanjang daerah

Sungsang.

2. Seri Hydromorfit Kelabu

Jenis tanah ini terdapat pada dataran rendah sepanjang jalur sungai

Madakdan sungai Bahar.

3. Seri Podsolik Coklat

Penyebaran jenis tanah ini terdapat di sebelah Selatan sungai

Batang Hari Leko, sungai sungai Salek dan sungai Banyuasin.

4. Seri Organosol

3
Jenis tanah ini banyak terdapat di daerah-daerah sekitar sungai

Lilin sungai Banyuasin dan sungai Salek.

5. Seri Gley Humus. 3

Jenis tanah ini banyak terdapat di daerah-daerah yang relatif datar.

Daerah Kabupaten MUBA (Musi Banyuasin) Mempunyai sifat tata air

yang berbeda wilayah dataran kering, wilayah ini merupakan daerah tadah hujan

artinya daerah tergantung dengan turunya hujan atau curah hujan. Kalau musim

kemarau di daerah ini akan mengalami kekeringan. Wilayah dataran rawa, daerah

ini pada umumnya selalu digenangi air sepanjang tahun. dan merupakan wilayah

yang dipengaruhi oleh pasang surut dari sungai-sungai yang berdekatan.

Para transmigrasi yang menempati daerah dataran kering mereka kurang

berhasil bilamana mereka hanya mengutamakan tanaman pangan, sebab biasanya

rakyat di daerah ini bertanam padi di ladang dengan berpindah-pindah. Mereka

terpaksa berpindah, karena tanah yang sudah ditanami sekali maka tanaman yang

kedua kali tidak akan subur lagi. Sedangkan para transmigrasi tidak berpindah-

pindah, sehingga hasil panen mereka tidak sebagus yang pertama.

Penduduk asli biasanya setelah lahanya atau ladangnya di tanami padi,

mereka menanami karet, sayur-sayuran dan buah-buahan. Dengan begitu mereka

dapat melanjutkan penghidupan ekonomi mereka dengan hasil kebun tersebut.

Begitu pula dengan transmigran, kalau mau berhasil mereka harus menanami

karet dan sawit juga dan juga mereka telah banyak berhasil menanam karet dan

3
Ibid. h 13

4
sawit. Lain halnya transmigrasi di daerah pasang surut, mereka lebih beruntung

karena mereka tetap mengusahakan tanaman pangan, sebab daerah mereka tidak

tergantung dengan tadah hujan melainkan tergantung dengan pasang surut.

Perbatasan daerah MUBA (Musi Banyuasin) sebelah Utara Berbatasan

dengan Provinsi Jambi, sebelah Selatan Berbatasan dengan Kabupaten Muara

Enim, sebelah Barat Berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas, sebelah Timur

Berbatasan dengan Selat Bangka, Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kota

Palembang. 4 Setelah pemekaran Kabupaten MUBA (Musi Banyuasin, maka

terbentuk Kabupaten Banyuasin, sehingga Sebelah Timur Berbatasan pula

dengan Kabupaten Banyuasin. Pada mula pertama daerah kabupaten MUBA

(Musi Banyuasin) berasal dari dua daerah kewedanan, yaitu Kewedanan Musi Ilir

dan Kewedanan Banyuasin. Penduduk kedua Kewedanan pada waktu itu kurang

dari 300.000 jiwa penduduk, sedangkan salah satu syarat untuk membentuk

sebuah Kabupaten sekurang-kurangnya Berpenduduk 300.000 jiwa.

Oleh sebab itulah dua Kewedanan tersebut digabungkan Menjadi satu

sehingga terbentuk Kabupaten Musi BAnyuasin (MUBA) dengan ibu kotanya

Sekayu lebih kurang 125 Km dari kota Palembang.5 Kabupaten Musi Banyuasin

waktu itu terdiri dari 31 marga dan 20 kecamatan yaitu 9 di Musi Ilir dan 11

Kecamatan di daerah Banyuasin. Walaupun ibu kota Kabupaten MUBA (Musi

Banyuasin) ditetapkan di Sekayu, namun tetapi pusat pemerintahan Kabupaten

Musi Banyuasin berkedudukan di Kota Palembang, Sehingga dengan demikian

4
Ibid. h. 1.
5
Ibid. h.1

5
Sekayu sebagai Ibu kota Kabupaten menjadi terbengkalai dalam segi

pembangunan.

Dalam rentang waktu lebih kurang 45 tahun penduduk kabupaten MUBA

(Musi Banyuasin) bertambah banyak, meningkat dengan tajam, sebab daerah

MUBA ditetapkan sebagai daerah penerima transmigrasi dari pulau Jawa, Bali

dan sebagainya. Karena timbulnya pergolakan-pergolakan daerah, maka ibu kota

dari Palembang dipindahkan ke Sekayu, yaitus semejak Usman Bakar terpilih

menjadi Bupati MUBA (Musi Banyuasin). Oleh karena daerah Musi Banyuasin

sangat luas, hampir seluas Provinsi Jawa Tengah dan penduduknya meningkat

pesat satu juta jiwa lebih, maka sudah saatnya Kabupaten Musi Banyuasin ini

dimekarkan menjadi dua Kabupaten. Lantas terbentuklah Kabupaten Musi

Banyuasin. Wilayah kedua Kabupaten itu kembali lagi ke wilayah eks

Kewedanaan Musi Ilir dan wilayah eks Kewedanaan Banyuasin.

6
Gambar
Peta wilayah Kabupaten Musi Banyuasin tahun 1998

Sumber: Katalog BPS Musi


Banyuasin Tahun 1998

Daerah Kabupaten musi Banyuasin ibukotanya tetap di Sekayu sedangkan

ibu kota Kabupaten Banyuasin ditetapkan di Pangkalan Balai. Setelah Pemekaran,

malaka Kabupaten MUBA (Musi Banyuasin) hanya terdiri dari 9 kecamatan saja.

Penduduk Kabupaten MUBA (Musi Banyuasin) lebih Kecil jika dibandingkan

dengan Kabupaten Banyuasin. Namun demikian walaupun Musi Banyuasin lebih

kecil akan tetapi pendapatan penghasilan Kabupaten MUBA (Musi Banyuasin)

7
jauh lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Banyuasin dikarenakan daerah

MUBA ini banyak mengandung tambang minyak, gas bumi dan batu bara.

Tabel : Luas Kabupaten Musi Banyuasin

Tahun 1998

No. Kecamatan Luas (KM2) Persentase (%)


1. Babat Toman 3.877,79 14,86
2. Sanga Desa 317,00 1,21
3 Sekayu 1.457,13 5,58
4. Sungai Keruh 629,00 2,41
5. Sungai Lilin 1.285,85 4,48
6. Bayung Lencir 6.699,19 25,67
7. Banyuasin III 1.818,22 6,97
8. Rantau Bayur 593,00 2,27
9. Betung 794,00 3,04
10. Talang Kelapa 1.175,82 4,51
11. Banyuasin II 3.831,34 14,68
12. Makarti Jaya 736,34 2,82
13. Banyuasin I 2.884,57 11,05
Jumlah 26.099,25 100,00

Sumber: Katalog BPS Tahun 1998

Kabupaten Musi Banyuasin Terdiri dari 9 Kecamatan, yaitu :

1. Kecamatan sekayu dengan ibukotanya Sekayu.

2. Kecamatan Babat Toman dengan ibukotanya Babat.

3. Kecamatan Sanga Desa dengan ibukotanya Ngulak.

4. Kecamatan Batanghari Leko dengan ibu kotanya Tanah Abang.

5. Kecamatan Sungai Keruh dengan ibukotanya Tebing Bulang.

6. Kecamatan Lais dengan ibukotanya Lais.

7. Kecamatan Keluang dengan ibukotanya Keluang.

8. Kecamatan Sungai Lilin dengan ibukotanya Sungai Lilin.

8
9. Kecamatan Bayung Lencir dengan Ibu kota Bayung Lencir.6

Berhubung kecamatan Babat Toman dan Kecamatan Bayung lencir sangat

luas daerahnya dan penduduknya banyak maka dua Kecamatan itu dimekarkan,

sehingga terbentuklah tiga kecamatan lagi, yaitu kecamatan Plakat Tinggi dengan

ibukotanya Sidorahayu, kecamatan Lalan dengan ibukotanya Bandar agung dan

Kecamatan Lawang Wetan dengan ibukotanya Ulak Paceh.

Berhubung dengan kemajuan zaman , maka perlu dibentuk beberapa

kelurahan di wilayah kecamatan:

Kecamatan Sekayu Babat Toman Sanga Desa Sungai Bayung Lincir


Lilin

1. Kelurahan serasan Jaya Kelurahan Babat Kelurahan Kelurahan Kelurahan


Ngulak Sungai Bayung Lincir
Lilin

2. Kelurahan Soak Baru Kelurahan


Mangun Jaya

3. Kelurahan Soak Baru

4. Kelurahan Kayuara

B. Ekonomi dan Aktivitas Perekonomian Penduduk

6
Ibid. h 2.

9
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas mengenai gambaran wilayah
geografis yang secara tidak langsung mempunyai hubungan dengan kondisi
perekonomian rakyat MUBA (Musi Banyuasin). Wilayah Sumatera Selatan
merupakan daerah maritim yang berpusat kegiatan pasar bergantung pada sungai
Musi ataupun anakan sungai Musi baik sebagai jalur perdagangan maupun
transportasi. Palembang merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan
penghubung daerah pedesaan yang ada di pelosok/pedalaman dengan pasar
bangsa Eropa. Tidak heran Palembang menjadi penghubung penjualan merica dan
lain-lainnya. Sedangkan daerah Iliran banyak berupa sayur-sayuran, padi yang
merupakan tanaman umum di dataran rendah. 7
Masyarakat pedesaan dan perkotaan pada dasarnya mempunyai lapisan-
lapisan sosial seperti yang didapat daerah-daerah lain, sehingga ada yang
dihargai (disegani) di masyarakat. Sesuatu yang dihargai dapat berbentuk materi
dan non materi. Oleh sebab itu di daerah pedesaan yang pada umumnya
masyarakat petani tradisional mengenal dua macam golongan petani, golongan
pemilik kebun atau tanah dan golongan pengolah tanah (buruh tanah). Besarnya
pengaruh lingkungan terhadap pola perilaku kehidupan seseorang, walaupun
faktor demografis, penduduk yang sedikit yang di wilayah luas, perjuangan yang
dihadapi masyarakat Musi Banyuasin yang pada umumnya petani tradisional,
itulah sebab nya masyarakat pedesaan pada dasarnya hampir seluruh orang
bercocok tanam terutama berladang dan bersawah.
Adanya dua golongan tersebut di atas, terdapat juga kelompok yang
menggantungkan hidupnya sebagai buruh perkebunan dan pegawai pemerintahan ,
yang umumnya mendapatkan pendidikan, pegawai pemerintahan yang termasuk
golongan elit atau “priyayi”. 8 Stratifikasi sosial yang berdasarkan kelahiran,
terutama di wilayah masyarakat palembang asli,9 yang kita tidak dijumpai di

7
Desta Rahmadoni, “ Dinamika Muhammadiyah di Kabupaten Musi Banyuasin
Provinsi Sumatera Selatan 1926-1998 M / 1344-1418 H”, Skripsi, (Palembang: UIN raden Fatah
Palemban, 2021), h. 38.
8
Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (terjemahan oleh Ny.Zahara
DElier Noer), Pustaka jaya , Jakarta, 1984, h 30
9
D.G Stibbe,Encylopedia Van Nederlandshe-indei (TweedeDruk), Gravenhage-Martinus
Nijhoff, Laaiden, 191, h 27.

10
masyarakat uluan walaupun adanya kelas penguasa turun-temurun yang
diciptakan oleh pemerintahan belanda sebagai penguasa waktu itu. tetapi setelah
terjadi revolusi kemerdekaan, golongan penguasa yang selama ini merupakan
golongan elit di pandangan masyarakat petani, mulai pudar, dan stratifikasi sosial
yang baru digolongkan dengan tinggi rendahnya pangkat dan pendidikan. Daerah
Musi Banyuasin, tanah pada umumnya punya perorangan yang diakui oleh marga.
Orang-orang pedesaan pemilik tanah yang cukup luas, pada umumnya orang kaya
di desa itu. Kepala desa, khotib, pegawai dan guru-guru, pemimpin agama yang
termasuk juga orang-orang yang berdiri di atas rakyat jelata.

Sebagaimana gambaran awal ekonomi biasanya bergantung pada komoditas yang


dapat dijual, sehingga daerah-daerah juga memiliki komoditasnya sendiri untuk
mencukupi kebutuhan pasar. Sedikit menarik di wilayah Iliran terkhususnya
daerah Musi Hilir (Musi Banyuasin) sebagai wilayah dataran rendah namun juga
wilayah yang ditumbuhi gambut dan sebagian besar rawa-rawa. Komoditi yang
ditawarkan bukan berupa padi atau semacamnya namun berupa getah damar dan
kayu menyan. 10 Sumber daya erat mempunyai hubungan dengan keadaan letak
wilayah, iklim cuaca dan kontur tanah yang menjadi penunjang penting dalam
menentukan mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar menggantungkan
hidupnya dengan bercocok tanam, hutan dengan segala isinya dan sungai lebak
lebung termasuk dalam faktor penunjang yang dianggap masyarakat sebagai hasil
(Nilai Tambah). Hasil hutan yang dimaksud merupakan, kayu yang berkualitas,
rotan sebagai bahan anyaman kerajinan tangan seperti tikar dan kerajinan tangan
lainya, madu lebah, getah gambir, gula aren (pohon enau), getah damar hewan-
hewan liar, umbut-batang dan pucuk-pucukan sebagianya.
Sungai Musi dengan anakan sungai dan lebak-lebung yang dapat dimanfaatkan
oleh warga, yang menghasilkan ikan segar, ikan salai, ikan asin dan jenis-jenis
olahan pengawetan ikan yang dapat diperjual belikan. Daerah yang berbukit-bukit
dan datar ditanami oleh warga desa dengan pohon karet. karet sebagai komoditi

10
Dedi Irwanto, dkk, Iliran dan Huluan: Dinamika dan Dikotomi sejarah Kulturan
Palembang…,h. 54.

11
ekspor non migas paling utama di daerah Musi Banyuasin Sebelum Perang dunia
II. perkebunan karet yang diusahakan oleh warga dikenal namanya “ Perkebunan
karet Warga” di jaman Hindia Belanda perna menjadi jalan kemakmuran oleh
warga yang lazim disebut “Zaman Kupon”, suatu zaman dimana warga oleh
pemerintah untuk membuat kebun karet yang diberi upah insentif. sebagian besar
hasil karet berasal dari wilayah Musi Banyuasin, terutama karet yang dihasilkan
oleh rakyat sendiri. Pelabuhan Palembang (Boom Baru) mengekspor karet
±320.214; dalam tahun 1948 sebanyak 279.788 ton; dalam tahun 1949 sebanyak
408.265 ton; dalam tahun 1959 sebanyak 631.889 ton dan pada tahun 1951 ±
756.935 ton.11
Pada saat jaman revolusi kemerdekaan aktivitas produksi karet di daerh

Musi Banyuasin tidak Hanya sebagai mata pencarian warga, akan tetapi juga

sebagai salah sumber pendapatan daerah Musi Banyuasin yang pernah memegang

peranan penting untuk membiayai perjalanan waktu itu. Tanaman karet telah

menjadi ciri khas daerah Musi Banyuasin.

Selain itu, wilayah Kabupaten MUBA merupakan daerah yang memiliki

potensi yang besar dalam pertambangan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya

pertambangan baik yang bersifat swasta maupun negeri, setidaknya hingga akhir

tahun 1998 terdapat empat jenis pertambangan yang ada di wilayah MUBA.

Sebenarnya pertambangan di wilayah MUBA sudah ada sejak tahun 1950-an,

tetapi baru dilakukan pengelolaan lebih lanjut dan campur tangan pemerintah

sekitar tahun 1970 untuk mendongkrak naik perekonomian masyarakat.

11
Kementrian Pen; Republik Indonesia Prop. Sumsel. Palembang, 1954, h 453.

12
Tabel : Realisasi Produksi Bahan Galian Golongan C
(M3) Menurut Jenis dan Aturan Anggaran Kabupaten
Musi Banyuasin

Jenis Tahun
No Anggaran
Bahan
.
Galian 1995/199 1996/199 1997/199 1998/199
6 7 8
1. Tanah Urug 631.610 643.744 367.584 358.320
2. Tanah Liat 27.702 25.525 35.655 34.425
3. Pasir 104.445 18.506 160.564 176.235
4. Koral 2.200 1.503 4.236 5.235

Sumber: Cabang Dinas Pertambangan Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 1998.

Dari data diatas menjelaskan bahwa uruk merupakan jenis pertambangan yang

sangat diminati di kalangan warga Musi Banyuasin ini.

C. Kondisi sosial dan Politik

Kondisi sosial merupakan suatu keadaan yang ada di masyarakat, baik

berupa tata nilai, norma, dan struktur dalam masyarakat. Semua hal tersebut

merupakan satu kesatuan yang membentuk pola yang di dalam masyarakat.

Kondisi sosial ini tentu memiliki ikatan erat dengan unsur-unsur kebudayaan,

secara singkatnya kondisi sosial masyarakat yang dijalankan secara konsisten

akan membentuk suatu pola kebiasaan dan berujung pada tradisi dan akan menjadi

suatu faktor yang membentuk kebudayaan.

Suatu kondisi sosial yang berkaitan dengan keadaan atau situasi dalam

suatu masyarakat, kondisi sosial ini akan menjelaskan tentang tata nilai, norma

dan interaksi yang ada di dalam masyarakat tersebut. Menurut Dalyono kondisi

sosial adalah semua orang atau manusia lain yang mempengaruhi manusia

13
lainya. 12 Hal ini berarti dalam sebuah masyarakat dalam segala aspek yang ada di

dalamnya akan mempengaruhi kondisi ekonomi dan akan mempengaruhi kondisi

kehidupan sosialnya, dimana masyarakat yang menggantungkan hidupnya

sebagai petani akan berbeda hubungan sosialnya dengan masyarakat yang hidup

sebagai pedagang. Untuk itu, dengan melihat unsur-unsur hubungan di adat maka,

dapat diketahui bahwa pentingnya menjelaskan suatu kondisi sosial dalam sebuah

penelitian agar dapat membantu dan menjelaskan lebih terperinci lagi mengenai

fenomena yang menjadi rumusan masalah.

Lapisan-lapisan masyarakat secara historis dimulai sejak manusia

mengenal adanya kehidupan bersama dalam suatu organisasi masyarakat.

Selanjutnya, untuk memberikan uraian mengenai struktur masyarakat Musi

Banyuasin, penulis, akan menguraikan hal tersebut dengan sistem marga yang

berlaku sebelum adanya sistem kesultanan Palembang. Dengan adanya sistem

kesultanan, maka dalam masyarakat Palembang terdapat susunan yang

menyerupai piramida: Raja beserta keluarga yang meliputi pangeran, raden dan

mas agus golongan bangsawan rendah dapat dikelompokan golongan menengah,

sedangkan gelar Kemas dan Kiagus dapat dikelompokkan dalam golongan

bangsawan dalam urutan gelar, dan bagi mereka yang termasuk dalam golongan

rakyat jelata adalah orang disebut miji, orang-orang senan merupakan orang-orang

perdusunan (Mate Gawe). Kelas golongan yang secara tradisional dikenal di

12
Basrowi dan Siti juairiyah, “Analisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Pendidikan
Masyarakat Desa Srigading, Kecematan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur”,
Jurnal Ekonomi Dan Pendidikan, Vol. 7, No. 1, (April 2010), h. 60.

14
Surakarta adalah Santana Dalem, Abdi dalem, Kawula Dalem yang dapat

digolongkan sebagai rakyat jelata.

Berbeda dengan Palembang susunan di masyarakat Uluan tidak memakai

sistem seperti tersebut, walaupun kepala-kepala marga ada ataupun tidak

hubungan dengan keluarga penguasa di sistem kesultanan. Mereka sebagian besar

golongan penguasa yang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan rakyat jelata

yang jauh lebih banyak. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat pedesaan

merupakan orang-orang golongan yang menggantungkan hidupnya dengan

bercocok tanam/petani, yang susunanya sederhana hanya terdiri dari golongan

penguasa formal, tradisional dan rakyat jelata yang lazim disebut “mata gawe”.

Penguasa formal tradisional, yang pada awalnya berasal dari kepal-kepal

yang diangkat atau ditunjuk berdasarkan musyawarah anggota-anggotanya. 13 Para

penguasa dianggap sebagai penduduk inti, menurut tradisi sebagai keturunan dari

pendiri (awal mula) dan ketua di desa tersebut, biasanya disebut dengan nama

Poyang, berdasarkan permufakatan yang telah berakar di masyarakat pedesaan,

sebagian atau diantara poyang-poyang (sebutan nama lain dari nenek moyang) itu

ditunjuk sebagai kepala marga yang dikenal sebagai Pasirah. Pada masa Hindia

Belanda tradisi itu diatur dengan cara demokrasi Barat, mereka dipilih langsung

dengan cara voting menurut keinginan penguasa Hindia Belanda tersebut.

Walaupun adanya kebebasan untuk memilih akan tetapi, biasanya yang akan

menjadi pasirah juga ditentukan dari atas, yaitu biasanya orang-orang yang dekat

atau setia kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

13
Pemkab Musi Banyuasin, Sejarah Perjuangan Rakyat, Musi Banyuasin: TH, h. 12.

15
Setelah mencapai kemerdekaan, sejalan dengan perkembangan masyarakat

pedesaan sebagai dari akibat kesempatan belajar bagi setiap anak, maka golongan-

golongan sosial ikut mengalami perubahan. Status sosial yang pada umumnya

berdasarkan kelahiran mengalami perubahan dalam pandangan masyarakat umum

yang tidak lagi menjadi kriteria utama, tapi mulai berubah dengan kemampuan

seseorang yang memiliki skil, ilmu pengetahuan, kekayaan dan pangkat di dalam

sistem birokrasi pemerintahan. Dengan kata lain faktor pendidikan merupakan hal

penting dalam dalam menentukan kriteria-kriteria tersebut.14 Dengan adanya

kesempatan kegiatan pembelajaran bagi anak-anak, klarifikasi sosial yang bersifat

tradisional semakin lama semakin terlupakan dalam proses perkembangan

masyarakat Uluan. Nampaknya faktor pendidikan sangatlah berarti dalam proses

pembentukan struktural dalam masyarakat tradisional di daerah Uluan.

Demokratisasi dalam dunia pendidikan telah memberikan dampak positif bagi

masyarakat Indonesia pada umumnya.

D. Keagamaan dan Kondisi Kebudayaan

Berlanjut mengenai bidang keagamaan, Palembang sebagai kota pusat

Sumatera Selatan yang terletak jauh dari jalur lalu lintas pelayaran dan

perdagangan Internasional melalui selat Malaka, yang merupakan pusat kota yang

berperan ganda. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan administrasi kesultanan

dan kota perdagangan, akan tetapi juga sebagai pusat penyebaran agama Islam ke

daerah Uluan yang umumnya dan juga daerah Musi Ilir (Musi Banyuasin) pada

14
Ibid. h.13.

16
khususnya. 15 Masuknya Islam di daerah Musi Banyuasin sangat mempengaruhi

pola kehidupan masyarakat pada umumnya dan pola kehidupan negara. Walaupun

Islam pada awalnya hanya tersebar di golongan pedagang, dan golongan kraton.

Akan tetapi dalam abad ke-17 menjadi agama negara pada masa kepemimpinan

Sultan Abdurrahman. Abad ke-17 boleh dikatakan Islam telah menggantikan

agama Buddha Mahayana menjadi agama yang dianut oleh masyarakat saat itu.

Selepas Islam menjadi Agama yang resmi dalam kalangan sistem

kesultanan Palembang, tokoh-tokoh agama juga dirangkul oleh sultan, sehingga

banyak yang dijadikan tangan kanan Sultan tidak heran jika kalau banyak

diantara Tokoh-tokoh agama Islam dijadikan penguasa setempat. Hukum Islam

dijadikan hukum adat, masjid, langgar, tempat–tempat lainya dijadikan tempat

penyebaran agama Islam dan kegiatan dakwah, sehingga Islam mempunyai

peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi pola kehidupan keagamaan

pada masyarakat dan pendidikan. Agama Islam menjadi agama Negara sehingga

para ulama dapat dukungan dari para penguasa dalam melakukan dakwah

penyebaran agama Islam di Daerah Uluan.

Penyebaran agama Islam di daerah-daerah pedalaman yang pada

khususnya di daerah onderafdeeling Musi Ilir (Musi Banyuasin) tidak heran jika

kalau agama Islam di Musi Banyuasin sering dihubungkan dengan cerita rakyat

adu kesaktian yang dilakukan oleh kiai Delamat (Abdurrachman) dalam

mendirikan masjid di dusun-dusun yang di pinggir sungai Musi sampai dengan

Rawas. Metode seperti ini mempunyai aspek tersendiri di masyarakat pedesaan,

15
Ibid. h. 56.

17
kondisi ini menjadikan masyarakat pada saat itu masih memegang suasana

religius dan magis. Sejarah penyebaran agama Islam Pada hari-hari pertama di

daerah Musi Banyuasin menunjukan adanya hubungan erat dengan kyai atau

ulama. Salah satu tokoh ulama besar yang terkenal di kesultanan dan mempunyai

peran reputasi internasional adalah Abd al-Samad al Palimbani. 16 Pada akhir abad

ke-19 ketika pemerintah kolonial Belanda mengintensifkan kekuasaanya di

seluruh wilayah kesultanan Palembang masyarakat uluan menjadi penganut

agama Islam yang taat.

Dampak dari agama Islam ini di kalangan masyarakat pedesaan cukup

besar dan ajaran-ajaran agama Islam yang pernah disampaikan kepada masyarakat

oleh Ulama Abd al Samad al-Palimbani, terutama pada ilmu Tasawuf,

kelihatannya cukup membawa pengaruh pada setiap individu Muslim dalam

mendekatkan diri kepada Allah. 17

Daerah ini pernah dimanfaatkan oleh Sultan Mahmud Badarudin II dalam

melawan Belanda dan Inggris. Pada saat abad ke-20, ketika Serikat Islam Masuk

dan memainkan peranannya, mendalangi perlawanan perlawanan rakyat.

Mubaligh di zaman kesultanan Palembang adalah Islam tradisional yang telah

mengakar sehingga sebagian masyarakat di pedesaan menganut faham-faham

yang telah dirintis oleh pemikiran-pemikiran Ulama di abad pertengahan.

16
Ibarahim Alfian, Et.al., Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme di Daerah
Sumatera Selatan, Direktorat Sejarah & Nilai tradisional, Jakarta, 1983/1984, h 16.
17
K.H.O.Gajahnata & Edy Swasono, Masuk dan Berkembanya Islam di Sumatera
Selatan, UI-Press, Jakarta, 1986, h 47-50.

18
Kaum Ulama yang dimaksud merupakan termasuk golongan tradisional

yang banyak menghiraukan tentang agama atau masalah ibadah. Bagi mereka

agama Islam merupakan sama dengan fiqh sehingga hal ini mereka mengakui

“tabligh” dan menolak segala macam “ijtihad”. Meskipun mereka dapat

dikelompokan pada golongan Islam yang taat dan setia menjadi mengikuti

mazhab yang umumnya Syafe’i, akan tetapi mereka tidak mengikuti ajaran

mazhab Syafi'i secara keseluruhan. Mereka juga mengikuti ajaran Islam yang

datang dan sering juga menyimpang dari ajaran Syafe’i. Golongan mereka banyak

mengikuti fatwa. Mereka juga masih banyak mempercayai sisa-sisa kepercayaan

lama seperti menghormati tempat-tempat yang diyakini keramat, memakai jimat,

dan percaya kepada dukun.

Panutan masyarakat di pedesaan merupakan Islam yang bercampur dengan

ajaran/kebiasan (Animisme dan Hindu-Budha). Ketekunan masyarakat pada

agama Islam dapat dilihat pada elemen-elemen masyarakat yaitu peranan kaum

Kiai atau Ulama dengan tempat-tempat ibadah masjid, langgar. Peranan Kiai tidak

dapat dipisahkan dengan tempat-tempat ibadah karena dimanapun kaum muslimin

berada mereka selalu menggunakan masjid dan langgar sebagai tempat aktifitas-

aktifitas pertemuan, pendidikan, administrasi. 18 Bahkan di zaman awal-awal

kemerdekaan di daerah Musi banyuasin dimana umat Islam belum terpengaruhi

oleh budaya Barat, banyak kita jumpai kyai-kyai yang mengabdi mengajar

masyarakat-masyarakat di tempat ibadah, memberikan nasihat atau anjuran untuk

melanjutkan tradisi yang terbentuk pada zaman awal islam masuk. Walaupun

18
Zamakhsyari Dhofier, Pradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982 h 49

19
semangat untuk menyebarkan agama Islam merssssssseka sangat tinggi, sikap

tradisional sebagai cara mereka menyampaikan agama Islam wejangan yang

bersifat taqlid. Dalam hal tersebut mereka disebut maksum, sunyi dari kesalahan.

Apapun yang menyangkut dengan agama Islam merupakan monopoli Ulama atau

kyai, sehingga fatwa ulama,kiayi bersipat benar atau boleh disangkal.Banguna-

bangunan masjid pada setiap perdusunan di daerah Musi Banyuasin, baik

ukuranya besar maupun kecil, sangat dipelihara oleh masyarakat-masyarakat

setempat.

Selanjutnya mengenai bidang kebudayaan di wilayah Musi Banyuasin,

istilah budaya ini akan melekat dalam sebuah perilaku manusia individu atau

kelompok masyarakat, yang akan menjadi ciri khas. Budaya berasal dari bahasa

Sansekerta, buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi yang berartikan budi.

Manusia dan budaya tidak dapat di pisahkan, keduanya sama-sama

membentuk pola kehidupan masyarakat, dan manusia menghimpun diri menjadi

kesatuan sosial-budaya, masyarakat. Masyarakat kemudian menciptakan,

melahirkan, menumbukan, mengembangakan budaya tersebut, sehingga menjadi

saling terikat satu dengan lain, dan kemudian membentuk komponen-komponen

yang saling berhubungan antara satu dengan lain. 19 Indonesia sebagai Negara

kepulauan yang beragam suku dan budaya, yang masyarakatnya mempunyai ciri

khas sendiri, menjadikan konsep kebudayaan di setiap daerah mempunyai

19
Nudien Harry kistanto, “Tentang konsep Kebudayaan”, Sabda: Jurnal kajian
Kebudayaan, Vol 10 No. 2 (Tahun 2015), h. 1.

20
perbedaan masing-masing dan tentunya menjadikan Indonesia sebagai Negara

memiliki kekayaan budaya.

Secara ideologis, masyarakat di iliran menganggap dirinya lebih modern,

lebih terbuka, orang yang maju, lebih politis sehingga mereka berkuasa,

superioritas dalam segala hal bentuk kebijakan, kegagahan dan kewenangan.

Sebaliknya dengan masyarakat Uluan lebih sering dihadapkan dengan konsepsi

ritualitas intelektual dari orang iliran dengan menganggap dirinya lebih tradisional

dan ketinggalan. Orang-orang Uluan sering disebut dengan orang

kampungan/udik yang tidak tahu perkembangan zaman yang terkait dengan

kemajuan. 20

Kesadaraan genealogis juga sangat terlihat di masyarakat Uluan, Contoh

besar budaya pada masyarakat Uluan yang menganggap pernikahan sesama

anggota marga menjadi hal yang biasa/tabu, atau praktek pemujaan poyang-

poyang di masyarakat yang sudah mengenal islam masih meyakini keberadaan

poyang-poyang tersebut.

20
Syahril Jamil, “Kesinambungan dan Perubahan Budaya pada Perkawinan Masyarakat
Uluan Musi”, Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Vol. 9 No. 18 (Juli-Desember
2019), h.163.

21
22

Anda mungkin juga menyukai