Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

TUGAS 2 KONSEP EKOLOGI

DISUSUN OLEH :
ARIF RAHMAN
NIM. 20201310002

MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI


SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS KUNINGAN
2020
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Individu adalah makhluk hidup tunggal. Kumpulan dari satu jenis makhluk hidup disebut
dengan populasi. Dalam satu populasi, individu individu saling berinteraksi. Individu-individu
suatu jenis organisme dapat tersebar luas di muka bumi, namun tidak semuanya dapat saling
berhubungan untuk mengadakan perkawinan atau pertukaran informasi genetik, karena
tempatnya terpisah. Individu- individu yang hidup disuatu tempat tertentu dan antara sesamanya
dapat melakukan perkawinan sehingga dapat mengadakan pertukaran informasi genetik. Dalam
suatu wilayah, suatu populasi akan berinteraksi dengan populasi lain yang disebut dengan
komunitas.
Karakteristik pada suatu populasi bisa dilihat dari karakter yang spesifik, karakter
statistik diantaranya adalah kerapatan (densitas), angka kelahiran (natalitas), angka kematian
(mortalitas) sebaran atau agihan (distribusi) umur, pertumbuhan, serta karakter biologi antara
lain potensi biotik, sifat genetik, perilaku, dan pancaran (dispersi).
Populasi makhluk hidup selalu berubah ubah atau mengalami dinamika. Dinamika
merupakan ilmu yang mempelajari pertumbuhan serta pengaturan populasi. Hal ini tentu
berkaitan dengan parameter populasi. Khusus di dalam pengaturan kerapatan populasi dikenal
adanya mekanisme density dependent (mekanisme yang bergantung kepada kerapatan) dan
mekanisme density independent (mekanisme yang tak bergantung pada kerapatan).
Organisme mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup yang berbeda-beda.
Kemampuan tersebut ditentukan oleh faktor perkembangbiakan, adaptasi dan seleksi alami.
Populasi makhluk hidup akan mengalami proses perkembangbiakan dalam siklus hidupnya. Siklus
berjalan melewati fase adapatasi pada suatu lingkungan yang bisa berjalan secara lambat dalam
evolusinya, mengalami suatu seleksi yang mengakibatkan suatu dinamika pada suatu populasi.
Populasi manusia merupakan komponen yang sangat berperan dalam perubahan
struktur, dinamika populasi makhluk hidup dibumi ini. Sehingga terjadi perubahan perubahan
yang begitu cepat terjadi di bandingkan dengan proses alam yang sudah berjalan sebelumnya.
Perubahan di alam, yang berupa benda hidup disebut dengan perubahan keanekaragaman hayati.
Sehingga perlu adanya pengeloaan yang berkelanjutan yang bisa menyebabkan lingkungan stabil
atau seimbang.
Pengeloaan lingkungan botik dan abiotik sangat tergantung sekali dari dinamika populasi
manusia yang ada. Lingkungan hidup yang baik diakibatkan dari tata kelola lingkungan yang baik
juga, dari produk hukum lingkungan, sosial budaya pada populasi manusia

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah :
1. Jelaskan tentang interaksi organisme, populasi dan komunitas?
2. Jelaskan tentang dinamika dan evolusi ekosistem, sehingga dapat dilakukan proses adaptasi
dan mitigasinya?
3. Bagaimanakah kebijikaan pengelolaan lingkungan hayati yang ada di Indonesia dan
implementasinya dan evaluasinya?

1.3. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk :
1. Menjelaskan tentang interaksi organisme,populasi dan komunitas
2. Menjelaskan tentang dinamika dan evolusi ekosistem sehingga dapat dilakukan proses
adaptasi dan mitigasinya
3. Melakukan analisis kebijikaan pengelolaan lingkungan hayati yang ada di Indonesia dan
implementasinya dan evaluasinya
II. PEMBAHASAN

A. Populasi
Populasi berasal dari bahasa latin yaitu populous = rakyat, berarti penduduk. Didalam
pelajaran ekologi, populasi adalah sekelompok individu yang sejenis. Apabila kita membicarakan
populasi, haruslah disebut jenis individu yang dibicarakan dengan menentukan batas – batas
waktunya serta tempatnya. Jadi, populasi adalah kumpulan individu sejenis yang hidup pada
suatu daerah dan waktu tertentu.
Populasi adalah sekelompok makhluk hidup dengan spesies yang sama, yang hidup pada
suatu wilayah yang sama dalam kurun waktu yang sama pula. Misalnya saja tanaman padi di
persawahan begitu juga dengan perumputan atau serangga yang ada.
B. Sifat – sifat yang dimiliki populasi
1. Kerapatan atau kepadatan.
Kerapatan lazim digunakan pada tumbuhan, sedangkan kepadatan biasanya digunakan
pada manusia. Populasi organisme pada suatu daerah tidak akan tetap dari waktu ke waktu
berikutnya. Jika jumlah populasi suatu jenis berubah, kepadatan populasinya juga akan berubah.
Ada dua hal yang mempengaruhi perubahan kepadatan populasi organisme pada suatu daerah.
 Adanya individu yang datang, yaitu individu yang lahir dan yang datang dari tempat lain atau
imigrasi.
 Adanya individu yang pergi, yaitu individu yang mati daan yang pergi pindah ke tempat lain
atau emigrasi.
Apabila luas suatu daerah tetap dan jumlahnya individu yang datang lebih besar daripada
yang pergi maka kepadatan populasi akan mengecil. Pada suatu daerah yang tersedia cukup ruang
dan makanan akan cenderung mendorong bertambahnya jumlah individu. Hal itu akan
meningkatkan jumlah populasi sekaligus meningkatkan kepadatan populasi. Meningkatnya jumlah
populasi organisme pada suatu daerah akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan populasi.
Pertumbuhan populasi akan terus berlangsung selama lingkungan mampu menunjang kehidupan.
Apabila populasi sudah mencapai titik maksimum atau melebihi daya dukung lingkungan akan
menurun.
Kecepatan pertumbuhan populasi pada dasarnya bergantung pada rasio antara natalitas
dengan mortalitas. Apabila natalitas lebih besar dari pada mortalitas, pertumbuhan populasinya
meningkat. Apabila natalitas lebih kecil dari pada mortalitas, pertumbuhan populasinya menurun.
2. Natalitas (angka Kelahiran)
Natalitas atau angka kelahiran adalah angka yang menunjukkan jumlah individu baru yang
menyebabkan populasi bertambah per satuan waktu. Dengan demikan, meningkatnya natalitas
merupakan faktor pendorong meningkatnya pertumbuhan populasi.
3. Mortalitas (angka Kematian)
Mortalitas atau angka kematian adalah angka yang menunjukkan jumlah pengurangan
individu per satuan waktu. Terjadinya kematian merupakan salah satu faktor utama yang
mengontrol ukuran suatu populasi. Populasi organisme pada suatu ekosistem senantiasa
mengalami perubahan. Perubahan tersebut ada yang tampak jelas dan ada pula yang tidak jelas.
4. Bentuk pertumbuhan, Penyebaran umur dan perkembangan populasi.
Penyebaran umur merupakan ciri atau sifat penting populasi yang mempengaruhi
natalitas dan mortalitas. Karena itu suatu populasi menentukan status reproduktif yang sedang
berlangsung dari populasi dan menyatakan apa yang dapat diharapkan pada masa mendatang.
Biasanya populasi yang sedang berkembang cepat mengandung sebagian besar individu – individu
muda, populasi yang stasioner memiliki umur yang lebih merata dan populasi yang menurun akan
mengandung sebagian besar individu –individu yang berumur tua. Jika dikaji lebih dalam maka
terdapat tiga umur ekologi yaitu prereproduktif, reproduktif dan posreproduktif.
5. Perluasan atau penyebaran populasi.
Perluasan atau penyebaran populasi adalah gerakan individu – individu atau anak –
anaknya kedalam atau keluar darerah dari populasi. Ada tiga bentuk penyebaran populasi yaitu
sebagai berikut:
 Emigrasi yaitu gerakan keluar atau kepergian individu keluar dari batas – batas tempat
populasi sehingga populasinya berkurang.
 Imigrasi yaitu gerakan kedalam batas – batas tempat populasi, sehingga populasi bertambah.
Migrasi yaitu berangkat (pergi) dan datang (kembai) secara periodik.

6. Mempunyai sifat – sifat genetik yang berhubungan secara lansung dengan ekologi, yaitu :
beradaptasi, keserasian, reproduktif dan ketahanan.

C. Komunitas
Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan
daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas memiliki
derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi. Dalam
tingkatan komunitas, ciri, sifat dan kemampuannya lebih tinggi dari populasi misalnya dalam hal
interaksi. Dalam komunitas bisa terjadi interaksi antar populasi, tidak hanya antar individu-spesies
seperti pada populasi. Hubungan antar populasi ini menggambarkan berbagai keadaan yaitu bisa
saling menguntungkan sehingga terwujud suatu hubungan timbal balik yang positif bagi kedua
belah pihak (mutualisme). Sebaliknya bisa juga terjadi hubungan salah satu pihak dirugikan
(parasitisme).
Yang harus diperhatikan bila suatu komunitas sudah terbentuk, maka populasi-populasi
yang ada haruslah hidup berdampingan atau bertetangga satu sama lainnya. Dalam biosistem
komunitas ini berasosiasi dengan komponen non hidup (abiotik) membentuk suatu ekosistem.
 Nama Komunitas
Nama komunitas harus dapat memberikan keterangan mengenai sifat-sifat komunitas tersebut.
Cara yang paling sederhana, memberi nama itu dengan menggunakan kata-kata yang dapat
menunjukkan bagaimana wujud komunitas seperti padang rumput, padang pasir, hutan jati. Cara
yang paling baik untuk menamakan komunitas itu adalah dengan mengambil beberapa sifat yang
jelas dan mantap, baik hidup maupun tidak. Ringkasannya pemberian nama komunitas dapat
berdasarkan :
1. Bentuk atau struktur utama seperti jenis dominan, bentuk hidup atau indikator lainnya seperti
hutan pinus, hutan agathis, hutan jati, atau hutan Dipterocarphaceae, dapat juga berdasarkan
sifat tumbuhan dominan seperti hutan sklerofil
2. Berdasarkan habitat fisik dari komunitas, seperti komunitas hamparan lumpur, komunitas
pantai pasir, komunitas lautan, dll
3. Berdasarkan sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional misalnya tipe metabolisme komunitas.
Berdasarkan sifat lingkungan alam seperti iklim, misalnya terdapat di daerah tropik dengan
curah hujan yang terbagi rata sepanjang tahun, maka disebut hutan hujan tropik.
 Macam-macam Komunitas
Di alam terdapat bermacam-macam komunitas yang secara garis besar dapat dibagi dalam
dua bagian yaitu:
1. Komunitas akuatik atau air misalnya yang terdapat di laut, danau, sungai, parit atau kolam.
2. Komunitas terrestrial atau daratan , yaitu kelompok organisme yang terdapat di pekarangan,
di hutan, di padang rumput, di padang pasir, dll.
 Struktur Komunitas
1. Kualitatif, seperti komposisi, bentuk hidup, fenologi dan vitalitas.
Vitalitas menggambarkan kapasitas pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme.
2. Kuantitatif, seperti frekuensi, densitas dan densitas relatif. Frekuensi kehadiran merupakan
nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies di dalam suatu habitat. Densitas
(kepadatan) dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per unit contoh, atau persatuan
luas/volume, atau persatuan penangkapan
3. Sintesis adalah proses perubahan dalam komunitas yang berlangsung menuju ke satu arah
yang berlangsung lambat secara teratur pasti terarah dan dapat diramalkan. Suksesi-suksesi
terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitasnya dan memerlukan
waktu. Proses ini berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimak.
Dalam tingkat ini komunitas sudah mengalami homoestosis. Menurut konsep mutahir suksesi
merupakan pergantian jenis-jenis pioner oleh jenis-jenis yang lebih mantap yang sangat
sesuai dengan lingkungannya.
Suksesi dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
 Suksesi primer yaitu bila ekosistem mengalami gangguan yang berat sekali, sehingga
komunitas awal (yang ada) menjadi hilang atau rusak total, menyebabkan ditempat
tersebut tidak ada lagi yang tertinggal dan akhirnya terjadilah habitat baru.
 Suksesi sekunder yaitu prosesnya sama dengan yang terjadi pada suksesi primer,
perbedaannya adalah pada keadaan kerusakan ekosistem atau kondisi awal pada
habitatnya. Ekologi tersebut mengalami gangguan, akan tetapi tidak total, masih ada
komunitas yang tersisa.
 Interaksi
Dalam komunitas, semua organisme merupakan bagian dari komunitas dan antara
komponennya saling berhubungan melalui keragaman interaksinya. Interaksi antarkomponen
ekologi dapat merupakan interaksi antarorganisme, antarpopulasi, dan antarkomunitas.
 Interaksi antar organisme
Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu
akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam
satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain. Interaksi demikian banyak kita lihat di
sekitar kita. Interaksi antar organisme dalam komunitas ada yang sangat erat dan ada yang kurang
erat. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut.
- Netral adalah hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam habitat yang sama
yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan kedua belah pihak, disebut netral.
- Predasi adalah hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat
sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya, predator juga berfungsi sebagai
pengontrol populasi mangsa.
- Parasitisme adalah hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, bilasalah satu
organisme hidup pada organisme lain dan mengambil makanan dari hospes/inangnya
sehingga bersifat merugikan inangnya
- Komensalisme adalah merupakan hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies
dalam bentuk kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan; salah satu spesies
diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan.
- Mutualisme adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies yang saling
menguntungkan kedua belah pihak.
 Interaksi Antarpopulasi
Antara populasi yang satu dengan populasi lain selalu terjadi interaksi secara langsung
atau tidak langsung dalam komunitasnya.Contoh interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut :
- Alelopati merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu menghasilkan zat yang
dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans)
jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik.
Pada mikroorganisme istilah alelopati dikenal sebagai antibiosa.Contoh, jamur Penicillium sp.
dapat menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu.
Kompetisi merupakan interaksi antarpopulasi, bila antarpopulasi terdapat kepentingan
yang sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa yang diperlukan. Contoh,
persaingan antara populasi kambing dengan populasi sapi di padang rumput.
 Interaksi Antar Komunitas
Komunitas adalah kumpulan populasi yang berbeda di suatu daerah yang sama dan saling
berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun
oleh bermacam-macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma. Komunitas
sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan dekomposer. Antara komunitas
sungai dan sawah terjadi interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan
peredaran organisme hidup dari kedua komunitas tersebut.
Interaksi antarkomunitas cukup komplek karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi
juga aliran energi dan makanan. Interaksi antarkomunitas dapat kita amati, misalnya pada daur
karbon. Daur karbon melibatkan ekosistem yang berbeda misalnya laut dan darat.
 Interaksi Antarkomponen Biotik dengan Abiotik
Interaksi antara komponen biotik dengan abiotik membentuk ekosistem. Hubungan
antara organisme dengan lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi dalam sistem itu.
Selain aliran energi, di dalam ekosistem terdapat juga struktur atau tingkat trofik,
keanekaragaman biotik, serta siklus materi.
Dengan adanya interaksi-interaksi tersebut, suatu ekosistem dapat mempertahankan
keseimbangannya. Pengaturan untuk menjamin terjadinya keseimbangan ini merupakan ciri khas
suatu ekosistem. Apabila keseimbangan ini tidak diperoleh maka akan mendorong terjadinya
dinamika perubahan ekosistem untuk mencapai keseimbangan baru.
Populasi antar makhluk hidup berinteraksi dengan lingkungan abiotiknya membentuk
suatu kesatuan yang disebut dengan ekosistem. Dari proses awal teori pembentukan alam
semesta, terjadilah proses proses atau perubahan perubahan pada lingkungan abiotik dan
biotiknya. Lingkungan abiotik mengalami proses adaptasi dan perubahan yang sangat lama yang
disebut dengan evolusi. Sehingga ekosistem juga mengalami proses adaptasi dan evolusi.
Daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan adalah kemampuan suatu sistem untuk
menyesuaikan diri dari perubahan lingkungan dengan cara mengurangi kerusakan yang
ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya. Adaptasi
terhadap perubahan lingkungan merupakan suatau cara atau langkah untuk bertahan hidup atau
eksis. Makhluk hidup baik itu individu, populasi, komunitas ataupun ataupun hubungan antara
komunitas dengan lingkungan abiotiknya yang disebut dengan ekosistem akan melakukan
serangkaian adaptasi dan evolusi untuk menyesuaian diri dengan dinamika ekosistem yang
terjadi. Eksosistem di bumi melakukan dinamika sehingga terbentuk banyak ragam ekosistem.
Indonesia kebetulan dengan ekosistem di daerah tropis dengan hutannya yang hijau sepanjang
tahun.
Evolusi ekosistem terjadi dalam kurun waktu yang tidak terbatas sebelum mencapai
klimaks, bisa puluhan tahun, ribuan tahun ataupun jutaan tahun lamanya.Selama kurun waktu
evolusi berlangsung, semua komponen ekosistem mengalami perubahan. Perubahan dimulai dari
salah satu komponen, kemudian menginduksi ke komponen lainnya. Dengan demikian, pada
evolusi ekosistem jelas terjadi evolusi pada semua populasi yang eksis. Prinsip ini merupakan
prinsip koevolusi. Koevolusi adalah tipe-tipe adaptasi yang khas karena hubungan antarjenis
(interspesifik) makhluk hidup. Koevolusi digunakan untuk mendeskripsikan suatu keadaan yang
melibatkan serangkaian adaptasi berbalikan (resiprokal); perubahan pada satu spesies yang
berperan sebagai komponen seleksi untuk spesies lain, dan adaptasi perlawanan dari spesies
kedua yang timbul sebagai respon pengaruh seleksi yang ditimbulkan oleh spesies pertama.
Koevolusi secara intensif dipelajari dalam hubungan predator-prey dan simbiosis yang merupakan
hubungan antarpopulasi makhluk hidup dalam komunitas. Dalam artian terluas, koevolusi adalah
perubahan pada objek biologis yang dicetuskan oleh perubahan pada objek lain yang berkaitan
dengannya. Tiap-tiap pihak dalam suatu hubungan evolusioner memberikan tekanan seleksi
kepada pihak lainnya, sehingga mempengaruhi evolusi pihak lain tersebut.
Prinsip ko-evolusi adalah mahluk hidup akan semaksimal mungkin mengeksploitasi
lingkungan kehidupannya. Syarat terjadinya koevolusi adalah adanya pola pola hubungan antara
spesies satu dengan spesies yang lain dalam komunitas. Hubungan antara spesies ini akan
memunculkan tipe-tipe adaptasi yang merupakan tanda terjadinya koevolusi. Suatu spesies dapat
berevolusi sebagai respon dari tekanan seleksi dari banyak spesies lainnya, dan tiap tiap spesies
lainnya juga berevolusi merespon banyak spesies lainnya pula. Spesies merupakan bagian dari
populasi yang peka terhadap perubahan ekologis. Perubahan genetik yang kecil pada populasi
yang menguntungkan satu sama lainnya. Keuntungan yang didapatkan memberikan kesempatan
yang lebih besar agar karakteristik ini diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Selain evolusi ekosistem, di bumi juga terjadi evolusi biosfer. Biosfer merupakan sistem
ekologis global yang menyatukan seluruh makhluk hidup dan hubungan antarmereka, termasuk
interaksinya dengan unsur litosfer (batuan), hidrosfer (air), dan atmosfer (udara) bumi.
Eksosistem yang ada di bumi inilah yang disebut dengan biosfer. Biosfer senantiasa berevolusi,
karena akan terus-menerus mengalami perubahan. Ekosistem yang penyusunnya terdiri dari
komunitas komunitas selalu mengalami suksesi atau perubahan dalam jangka waktu yang
panjang. Suksesi ini akan berpengaruh pada keadaan klimaks suatu biosfer. Suatu biosfer
dikatakan klimaks apabila komponen-komponen penyusunnya berada dalam keadaan seimbang
dan stabil. Keadaan setimbang tersebut dapat pula hilang atau musnah apabila dipengaruhi suatu
faktor yaitu perubahan iklim, perbedaan kondisi tanah ataupun karena bencana. Saat ini biosfer
tidak atau belum dalam keadaan klimaks karena komponen-komponen penyusunnya senantiasa
berubah, baik biotik maupun abiotik (karena komponenkomponen tersebut tidak membentuk
suatu keadaan yang setimbang karena banyak faktor). Salah satu faktor yg mempengaruhi
perubahan biosfer adalah aktivitas manusia yang tidak bersahabat dengan alam, seperti
penebangan hutan sacara liar (illegal logging), kebakaran hutan, ataupun pemanfaatan teknologi
yang umumnya menimbulkan banyak gangguan terhadap keseimbangan alam. Ini terjadi di
seluruh dunia. Saat ini komposisi senyawa di atmosfer seperti oksigen berubah secara kuantitas
karena semakin banyaknya CO2 yang tidak diimbangi dengan jumlah tumbuhan sebagai organisme
yang mampu mengasimilasi CO2 . Banyak kematian pada organisme-organisme yang tidak mampu
beradaptasi dengan baik, dan juga akan berpengaruh pada kemampuan organisme-organisme
dalam memperbanyak keturunan. Jadi, ini adl bukti bahwa biosfer yang ada sekarang ini tidak
dalam keadaan seimbang dan tidak dalam keadaan klimaks.
Biosfer yang mendukung kehidupan manusia yaitu biosfer yang di dalamnya terdapat
sumber-sumber kebutuhan manusia untuk melangsungkan hidupnya. Biosfer ini harus cukup
aman dan memiliki komponen yang cukup bagi manusia untuk melangsungkan hidupnya,
mempertahankan hidupnya, dan melestarikan kehidupannya. Biosfer ini perlu menyediakan
sumber makanan (baik nabati maupun hewani) bagi seluruh anggota populasi manusia. Atmosfer
yang merupakan bagian dari biosfer harus dalam kondisi yang baik. Atmosfer ini perlu memiliki
komposisi yang tepat untuk hidup manusia, seperti kandungan O 2 yang cukup. Atmosfer harus
mampu melindungi manusia dari sinar UV yang sangat berbahaya bagi manusia. Komponen lain
yang harus dalam kondisi baik adalah bagian hidrosfer. Siklus air harus lancar mengingat bahwa
air sangat penting bagi mannusia. Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air yang harus selalu
dipenuhi kebutuhannya karena jika tidak maka manusia terganggu aktivitas hidupnya atau bahkan
mati. Aktivitas manusia juga tidak dapat lepas dari air. Komponen litosfer yang menyediakan
tanah tempat kita bisa berpijak dan membangun rumah/ tempat tinggal juga harus dalam kondisi
baik. Juga harus mengandung unsur-unsur penting dan mampu menyimpan cadangan air tanah
dengan optimal sehingga manusia dapat memanfaatkannya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Bahan makanan yang diperoleh dari tumbuhan yang ditumbuhkan di tanah yang baik,
maka hasilnya lebih maksimal sehingga sumber kebutuhan manusia dapat tercukupi dengan baik.
Manusia untuk menghadapi persoalan lingkungan, perlu adanya mitigasi. Mitigasi
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana.
Bencana pada ekosistem bisa di sebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam bisa
dari gunung meletus, gempa bumi, tsunami dan lainnya. Bencana eksosistem oleh factor manusia
di mulai dengan adanya kebutuhan manusia untuk hidupnya. Perubahan eksosistem yang begitu
kentara yang disebabkan oleh manusia yaitu di awali dengan revolusi industri, yang
menyebabakan berbagai perubahan tatanan kehidupan manusia seperti dinamika populasi
manusia, sumber daya alam dan social budaya. Indonesia merupakan Negara yang memiliki
potensi sumber daya alam yang luar biasa, baik hayati dan non hayati.
Keanekaragaman hayati merupakan istilah untuk menggambarkan keanekaaan bentuk
kehidupan di bumi baik darat, laut, maupun perairan lainnya, interaksi diantara makhluk hidup
dan makhluk hidup dengan lingkungannya serta mencakup fungsi-fungsi ekologi yang
memberikan manfaat kepada spesies lain termasuk manusia. Kekayaan keanekaragaman hayati
Indonesia menjadikan keanekaragaman hayati sebagai sumber daya vital bagi keberlanjutan
pembangunan nasional sehingga berbagai sektor pembangunan (pertanian, kehutanan, industri,
dan lain-lain) secara langsung maupun tidak langsung bergantung terhadap keberadaan
keanekaragaman hayati dan fungsi-fungsi lingkungan yang diperankannya.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dikenal memiliki potensi kekayaan
alam yang luar biasa, baik flora , fauna maupun mikroba yang sebagian diantaranya bersifat
endemik. Kehidupan manusia sangat bergantung kepada keanekaragaman hayati baik sabagai
sumber bahan pangan, sandang, papan, dan bahan penunjang pengembangan industri. Dengan
berkembangnya teknik biologi molekuler, rahasia potensi yang dimiliki setiap makhluk hidup
dapat diungkap secara lengkap sehingga kekayaan keanekaragaman hayati mencatatkan nama
Indonesia sebagai Megadiversity Country dan menjadi salah satu dari 12 pusat keanekaragaman
hayati dunia. Secara ekologis, keanekaragaman hayati memiliki peran penting untuk menjaga
keseimbangan iklim serta penyerapan karbon yang merupakan kontributor perubahan iklim.
Peran keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya adalah untuk menjaga keseimbangan
penyerapan karbon.
Diperkirakan Indonesia memiliki sekitar 90 tipe ekosistem, mulai dari padang salju di
puncak Jayawijaya, alpin, subpegunungan, pegunungan hingga hutan hujan dataran rendah, hutan
pantai, padang rumput, savana, lahan basah, muara dan pesisir pantai, mangrove, padang lamun,
terumbu karang hingga perairan laut dalam. Walaupun hanya melingkupi 1,3% dari luas total
daratan dunia, Indonesia memiliki keanekaragaman spesies satwa yang sangat tinggi, memiliki
sekitar 12% (515 spesies, 39% endemik) dari total spesies binatang menyusui, urutan kedua di
dunia, yaitu memiliki 7,3% ( 511 spesies, 150 endemik) dari total spesies reptilia, urutan keempat
di dunia, yaitu memiliki 17% (1.531 spesies, 397 endemik) dari total spesies burung di dunia,
urutan ke lima 270 spesies amfibi dan 100 endemik, urutan keenam di dunia, yaitu memiliki 2.827
spesies binatang tidak bertulang belakang, selain ikan air tawar. Selanjutnya, Indonesia memiliki
35 spesies primata (urutan keempat, 18% endemik), dan 121 spesies kupu-kupu (44% endemik),
serta memiliki lebih dari 38.000 spesies tumbuhan, 55% diantaranya endemik.
Meskipun Indonesia memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi, namun tingkat
keterancaman dan kepunahan spesiesnya juga tinggi. Catatan tentang keterancaman dan
kepunahan spesies lebih sulit diperoleh dibandingkan data tentang kerusakan ekosistem.
Kedepannya, catatan atau informasi terkait kekayaan hayati, mulai dari statusnya hingga tingkat
keterancamannya, harus terdokumentasi dan teridentifikasi dengan baik. Sumber informasi
adalah segala hal yang dapat digunakan oleh seseorang sehingga mengetahui tentang hal yang
baru, dan mempunyai ciri-ciri antara lain dapat dilihat, dibaca dan dipelajari, diteliti, dikaji, dan
dianalisis, dimanfaatkan dan dikembangkan di dalam kegiatan-kegiatan pendidikan, penelitian,
laboratorium, dan ditransformasikan kepada orang lain. Kebutuhan akan sumber informasi
menjadi hal yang krusial mengingat banyaknya kepentingan yang terkait dengan kekayaan hayati,
sehingga memerlukan informasi yang komprehensif agar memudahkan dalam menentukan arah
kebijakan. Hal tersebut akan semakin kuat apabila terbangun sebuah jejaring pakar yang fokus
dalam mengawal perkembangan kekayaan hayati di Indonesia.
Potensi keanekaragaman hayati Indonesia diikuti dengan ancaman terhadap kepunahan
atau degradasi dari keanekaragaman hayati itu sendiri. Untuk mengantisipasi dan mengatasi hal
tersebut, Indonesia berkomitmen dalam pelestarian keanekaragaman hayati salah satunya
dengan meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity) melalui
Undang-Undang No.5 Tahun 1990, UU No.41 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah No.28 Tahun
2011 dan keputusan-keputusan menteri lainnya. Realisasi penandatangan konvensi yang secara
legal mengikat (legally binding) atas Indonesia menjadi tolak ukur bagi prestasi bangsa Indonesia
di mata dunia sehingga Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Swasta dan seluruh elemen
masyarakat Indonesia memiliki peranan yang terpenting dalam pengelolaan keanekaragaman
hayati. Berbagai upaya telah dilakukan dalam usahanya untuk melestarikan kekayaan alam hayati
yang dapat menjadi tanda keseriusan negara Indonesia dalam komitmennya.
Pemanfaatan sekitar 6.000 jenis tumbuhan, 1.000 jenis hewan dan 100 jenis jasad renik
oleh masyarakat, potensi keanekaragaman hayati darat (terestrial) melalui nilai produk kayu
hutan mencapai USD 6,5 milyar dan nilai satwa liar sebesar USD 1,57 milyar, serta rumput laut
sebesar USD 16 juta. Tetapi pada kenyataannya kekayaan keanekaragaman hayati tersebut
berada dalam ancaman kelangkaan akibat dari eksploitasi yang berlebihan (over exploitatiom),
penebangan liar, alih fungsi lahan, perburuan liar dan perdagangan ilegal. Indonesia merupakan
negara dengan tingkat keterancaman dan kepunahan spesies tertinggi di dunia dan merupakan
hot spot kepunahan satwa. Sementara itu, 44 spesies tanaman obat dikategorikan langka. Laju
kerusakan hutan yang disebabkan oleh eksploitasi hutan untuk industri, konversi untuk lahan
pertanian dan perkebunan serta transmigrasi mencapai 1,3 juta ha per tahun.
Kegiatan exploitasi, sebenarnya semua kegiatan sudah diberikan regulasi oleh
pemerintah pusat, daerah ataupun hukum adat. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1982) merupakan produk
hukum pertama yang dibuat di Indonesia. Lahirnya UULH 1982 tanggal 11 Maret 1982 dipandang
sebagai pangkal tolak atau awal dari lahir dan pertumbuhan hukum lingkungan nasional. Sebelum
lahirnya UULH 1982 sesungguhnya telah berlaku berbagai bentuk peraturan perundang-undangan
tentang atau yang berhubungan dengan lingkungan hidup atau sumber daya alam dan sumber
daya buatan, yang dipandang sebagai rezim hukum nasional klasik. Rezim hukum lingkungan
klasik berisikan ketentuan-ketentuan yang melindungi kepentingan sektoral, sementara masalah-
masalah lingkungan yang timbul semakin kompleks sehingga peraturan perundang-undangan
klasik tidak mampu mengantisipasi dan menyelesaikan masalah-masalah lingkungan secara
efektif, sedangkan rezim hukum lingkungan modern yang dimulai lahirnya UULH 1982
berdasarkan pendekatan lintas sektoral atau komprehensif integral. UULH 1982 mengalami
penyempurnaan dengan mengundangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup pada tanggal 19 September 1997.
Lahirnya UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan hidup yang salah satu
acuannya adalah UU No.4 Tahun 1982 tentang pokok-pokok Pengelolaan lingkungan hidup
merupakan kemajuan besar bagi bangsa Indonesia dalam usaha pemanfaatan sumber daya
alamnya secara maksimal. Lingkungan hidup yang baik akan menyokong semua elemen dalam
kehidupan, kemudian mendorong sebuah gagasan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Dalam perjalanannya, ternyata UU No.23 Tahun 1997 memiliki beberapa kekurangan.
UU No.23 Tahun 1997 hanya mampu bertahan selama 12 tahun. Penyempurnaan dari UU No.23
Tahun 1997 lahir dalam bentuk UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Keluarnya Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) No. 32 Tahun 2009 menggantikan Undang Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH) tahun 1997 sebagai jawaban untuk lebih menjawab tantangan perubahan yang terjadi di
lingkungan.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa lemahnya sistem regulasi dan tata kelola
keanekaragaman hayati yang cenderung merangsang pemanfatan sumber daya hayati secara
tidak lestari. Sistem ekonomi dan kebijakan juga gagal menilai lingkungan dan sumber daya di
dalamnya. Selain itu, pengelolaan keanekaragaman hayati ditingkat pusat pun belum mampu
menyajikan pengertian mengenai pengelolaan, peran dan tanggung jawab tata kelola
keanekaragaman hayati yang baik serta upaya mewujudkan best practise di daerah hingga
kelompok masyarakat. Kemudian, persoalan-persoalan keanekaragaman hayati tersebut
mempertegas bahwa adanya kelemahan tata kelola (governance) dalam pengelolaan
keanekaragaman hayati. Ketidakjelasan tanggung jawab dan tumpang tindih wewenang diantara
instansi pemerintah serta tanggung jawab yang seringkali tidak sejalan dengan kapasitas yang
dimiliki menjadi salah satu konsentrasi masalah pada tata kelola konservasi keanekaragaman
hayati. Karenanya, tata kelola dan tata kuasa yang baik (good governance) harus memuat
setidaknya tiga komponen kunci, yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas sehingga untuk
mencapai good governance tersebut, revitalisasi peran semua stakeholders keanekaragaman
hayati (pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat) menjadi kata kunci dalam menjawab
tantangan pengelolaan keanekaragaman hayati.
Permasalahan global keanekaragaman hayati baik ditinjau dari segi geografis, sosial,
ekonomi, politik dan budaya menempatkan Indonesia sebagai negara yang menjadi fokus
perhatian dunia karena status keanekaragaman hayatinya. Namun, paradigma pembangunan
dimasa lalu belum mempertimbangkan kepentingan pengelolaan keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu memanfaatkan momentum dan
tantangan ini untuk pengarustamaan (mainstreaming) keanekaragaman hayati menjadi prioritas
dalam rangka kerangka kebijakan dan perundangan nasional serta prioritas dalam program
pembangunan nasional. Oleh karena itu, pencapaian kondisi tersebut menuntut perubahan
mendasar dalam hal persepsi, sistem kebijakan dan pengelolaan di berbagai sektor pembangunan
yang berkaitan dengan pengelolaan keanekaragaman hayati, terutama kehutanan, perikanan, dan
pertanian dalam arti luas, serta sektor-sektor lain yang terkait seperti perindustrian,
pertambangan, transmigrasi, perdagangan, pariwisata, telekomunikasi, dan pendidikan.
Kemudian, pengarustamaan (mainstreaming) pengelolaan keanekaragaman hayati secara
nasional juga mencakup perumusan dan pelaksanaan konsep pengelolaan, rehabilitasi,
konservasi, pola tindak dan perilaku masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
Kekayaan alam hayati sudah dianggap penting dan diakui peranannya dalam menjaga
kelestarian kehidupan dan dalam adaptasi serta mitigasi perubahan iklim. Meskipun begitu,
rendahnya kapasitas pengelolaannya telah menyebabkan terjadinya kemerosotan
keanekaragaman hayati luar biasa. Pemanfaatan yang sangat intensif di tengah minimnya
pengetahuan, terbatasnya kegiatan penelitian, rendahnya penguasaan teknologi, kurangnya
dukungan infrastruktur, dan lemahnya sistem penunjang telah menyumbang kerusakan yang
semakin tinggi serta tidak optimalnya fungsi dan manfaat keanekaragaman hayati. Kekayaan alam
hayati dinilai tidak memberi kontribusi signifikan dalam keekonomian daerah maupun nasional.
Kepedulian terhadap kekayaan alam hayati juga tidak merata dan masih hanya menjadi perhatian
dari segelintir pihak yang terlibat langsung serta para akademisi yang memang berkecimpung di
dalamnya.
Melihat kondisi tersebut, untuk mendukung pelestarian keanekaragaman hayati sebagai
modal dasar pembangunan diperlukan pengelolaan keanekaragaman hayati secara terpadu yang
lebih mendorong pada pengarusutamaan keanekaragaman hayati terutama oleh sektor-sektor
yang memiliki relevansi lebih langsung dengan pengelolaan keanekaragaman hayati,
terbangunnya mekanisme atau pengaturan yang memastikan bahwa program-program sektoral
dan rencana aksi secara langsung memberikan sumbangan pada pelaksanaan mandat dan
konvensi, terbangunnya platform pemahaman mengenai arti penting dari keanekaragaman hayati
dan menyusun langkah strategis yang diperlukan untuk menjaga dan menata keanekaragaman
hayati serta mengembangkannya menjadi produk yang bernilai tambah, terbangunnya tata kelola
pemerintah yang baik guna mendukung pemanfaatan keanekaragaman hayati yang lestari,
terfasilitasinya partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan keanekaragaman hayati,
mendukung pengembangan kapasitas bagi penelitian, pendidikan dan komunikasi
keanekaragaman hayati, terdapatnya jembatan yang menghubungkan antara ilmuwan dan
pemangku kebijakan, teridentifikasinya keberadaan data dan informasi yang mendukung dalam
pengelolaan, baik di pusat maupun di daerah.
Keanekaragaman hayati merujuk pada aspek keseluruhan dari sistem penopang
kehidupan, mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan serta aspek sistem pengetahuan dan
etika. Nilai-nilai ini memang sudah lama diketahui dan diakui, namun karena tidak selalu dapat
dinilai secara moneter, maka sering nilainya terbaikan. Nilai ekonomi total belum dapat
disematkan kepada suatu sumber daya karena adanya kegagalan pasar meskipun saat ini
masyarakat dunia mulai berupaya untuk memberikan nilai ekonomi totalnya.
Kekayaan alam hayati, baik liar maupun budidaya, merupakan sumber seluruh sumber
daya biologi, dimana manusia mendapatkan seluruh kebutuhannya. Di Indonesia, lebih dari 6.000
spesies tumbuhan dan hewan dimanfaatkan sebagai bahan kebutuhan hidup sehari-hari sebagai
sumber pangan, obat-obatan, kosmetik, sandang, dan lain sebagainya. Pemanfaatannya diketahui
sejak lama namun pengembangannya membutuhkan teknologi yang biasanya dimiliki oleh
perusahaan swasta atau ada pada tingkat yang lebih luas negara yang lebih maju.
Dibalik nilainya yang sangat besar, kekayaan alam hayati dihadapkan pada permasalahan
pemanfaatan yang belum lestari dan pemerataan pembagian manfaat antar pihak yang belum
merata. Status ekonomi dan pengelolaan jasa lingkungan di Indonesia saat ini beberapa sudah ada
walaupun masih sangat sedikit. Tetapi, proses adopsi dari pemberian nilai dan pembagian
manfaat ini belum terlihat nyata. Pengembangan ekowisata sudah ada tapi belum dikemas secara
tuntas. Saat ini baru lebih cenderung ke arah bisnis tetapi belum jauh ke arah nilainya sebagai
hasil dari jasa lingkungan.
Protokol Nagoya memberi landasan kebijakan pembagian manfaat yang adil diantara
pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan kekayaan alam hayati. Protokol Nagoya juga
memberikan penghargaan terhadap kearifan dan pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan
keanekaragaman hayati dan menjadikannya sebagai bagian dari yang berhak menerima
pembagian manfaat. Transfer teknologi, pengetahuan dan penguatan kapasitas juga difasilitasi
oleh protokol ini diantara para pihak yang terlibat dalam pemanfaatan kekayaan alam hayati.
Selain itu, punahnya keanekaragaman hayati di Dunia khususnya di Indonesia juga
disebabkan akibat perubahan iklim. Perubahan iklim benar terjadi saat ini dan menimbulkan
dampak yang cukup besar sehingga diperlukan adanya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan
tersebut. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Indonesia dikhawatirkan menimbulkan
kemerosotan keanekaragaman hayati yang berdampak pada perubahan iklim. Sebagi contoh,
fakta Indonesia mengalami deforestasi hutan hujan tropis sebesar 72% pada tahun 2007 yang
mengakibatkan tingginya emisi karbon yang dikeluarkan hutan Indonesia. Pada tahun 2009,
Indonesia adalah penyumbang gas emisi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Tiongkok.
Hal tersebut tentunya berdampak pada keanekaragaman hayati yang ada. Diperlukan berbagai
upaya untuk menanggulangi hal tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilaksanakan adalah
menjaga fungsi ekosistem dan memastikan konsep tata ruang yang menjamin keterjagaan
ekosistem tersebut.
Fungsi ekosistem harus dijaga untuk melindungi keanekaragaman hayati dan kekayaan
spesies yang ada di dalamnya. Keanekaragaman hayati harus dapat dilestarikan baik wujud
maupun fungsinya. Perubahan iklim diharapkan dapat dikendalikan dengan menjaga eksistensi
dari keanekaragaman hayati. Ekosistem dapat dikelola dan terjaga dengan baik apabila dilakukan
konsep penataan ruang dengan baik. Saat ini, konsep tata ruang yang ada belum sepenuhnya
berpihak pada kelestarian ekosistem. Sebagai contoh, pada dua dekade terakhir terjadi
perubahan fungsi lahan yang sangat besar dari hutan menjadi pemukiman, pertanian, perkebunan
dan sektor lain yang berakibat pada berkurangnya ekosistem dan keanekaragaman hayati yang
ada di dalamnya.
Sejak lama Indonesia dikenal dengan sumber daya hayatinya yang tidak ternilai. Sebagai
negara kepulauan yang terletak di antara dua benua serta dua samudera, Indonesia dikarunia
keanekaragaman hayati yang sangat kaya dan khas. Kekayaan inilah yang selama ini manjadi
andalan dalam sebagian besar pembangunan di Indonesia. Dengan kekayaan ini juga, Indonesia
berpotensi menjalankan pembangunan berkelanjutan demi kemakmuran rakyatnya, yaitu melalu
pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari. Namun, rendahnya kapasitas pengelolaannya
telah menyebabkan terjadinya kemerosotan yang luar biasa. Sebagai komponen dari lingkungan
hidup secara keseluruhan, status keanekaragaman hayati Indonesia saat ini sejatinya merupakan
resultante yang sepadan dengan kapasitas pengelolaanya, karena pada dasarnya kapasitas
pengelolaan yang mumpuni akan menciptakan kondisi yang lebih baik. Sebaliknya, kapasitas yang
kurang memadai tidak akan mampu membawa proses pengelolaan untuk mencapai hasil optimal.
Dalam hal ini, pengelolaan keanekaragaman hayati secara benar sangat tergantung pada
kapasitas pengelolaan yang ditentukan oleh kemampuan SDM, organisai dan institusi untuk
melaksanakan berbagi kebijakan pengelolaan. Komponen-komponen penentu bagi kapasitas
pengelolaan keanekaragaman hayati ini secara komprehensif harus terus ditingkatkan
kemampuannya di semua tingkatan pengelolaan. Hal ini diperlukan guna mengejar berbagai
ketertinggalan serta memperbaiki kegagalan-kegagalan karena praktek yang salah terhadap
pengelolaan keanekaragaman hayati di masa lampau. Dengan demikian, pengembangan kapasitas
pengelolaan menjadi prasyarat penting dalam meningkatkan kualitas dan menjamin
penyelamatan keaneakaragaman hayati.
Pengembangan kapasitas merupakan suatu proses yang di alami oleh individu, kelompok,
organisasi, lembaga dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan agar dapat melaksanakan
fungsi-fungsi essensial, menyelesaikan masalah, menetapkan dan mencapai tujuan, serta
mengerti dan menangani kebutuhan pengembangan diri dalam sautu lingkungan yang lebih luas
secara berkelanjutan. Peningkatan kapasitas juga dapat didefinisikan sebagai sebuah proses untuk
meningkatkan kemampuan individu, kelompok, organisasi, komunitas atau masyarakat untuk
menganalisis lingkungannya, mengidentifikasi masalah-masalah, kebutuhan-kebutuhan, isi-isu
dan peluang-peluang, memformulasi strategi-strategi untuk mengatasi masalah-masalah, isu-isu,
dan kebutuhan-kebutuhan tersebut, dan memanfaatkan peluang yang relevan, merancang
sebuah rencana aksi, serta mengumpulkan dan menggunakan secara efektif, dan atas dasar
sumber daya yang berkesinambungan untuk mengimplementasikan, memonitor, dan
mengevaluasi rencana aksi tersebut, serta memanfaatkan umpan balik sebagai pelajaran. Dengan
kata lain, tidak mungkin terjadi suatu proses pembangunan/pengembangan dalam hal apapun
tanpa upaya pengembangan kapasitas bagi pelaku maupun sistem yang mengaturnya. Dalam
konteks ini, terminologi kapasitas yang digunakan adalah kemampuan dari seorang, sebuah
organisasi atau sebuah sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan mencapai tujuan-tujuan
pengeloaan keanekaragaman hayati secara efektif dan efisien.
III. PENUTUP

Ekosistem merupakan hubungan timbal balik suatu komunitas dengan lingkungan


abiotiknya. Dalam eksosistem terjadi interaksi antar organisme, interaksi antar populasi, interaksi
komunitas dengan lingkunganan abiotiknya sehingga bisa terjadi suatu ekosistem yang stabil.
Ekosistem yang ada di dunia terus mengalami proses perubahan yang terus menerus
yang disebut dinamika dan berlangsung tidak terbatas yaitu evolusi, sehingga diperlukannya
proses adaptasi. Manusia sebagai pemeran utama, harus melakukan tindakan mitigasi yang tepat
untuk merespon dinamika ekosistem.
Lingkungan lestari perlu adanya suatu regulasi yang mengikat dan terus dilakukan
evalusi untuk adaptasi perubahan lingkungan yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai