Setiap suku masyarakat yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Begitu pula dengan motto dari setiap kabupaten dan kota yang ada di Provinsi NTB. 1. Kota Mataram Kota Mataram merupakan Ibu Kota dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kota Mataram memiliki motto yaitu “Kota Mataram Maju, Religius, dan Berbudaya”. Motto ini menjadi spirit, jiwa, dan ruh Pemerintah Kota Mataram dan masyarakat Kota Mataram dalam menjalankan aktivitas dan kehidupan di Kota Mataram. Motto “Kota Mataram Maju, Religius, dan Berbudaya tidaklah hanya slogan semata namun memiliki makna harapan dan cita-cita yang selalu diikhtiarkan Pemerintah Kota Mataram selaku pemegang kebijakan tertinggi di Kota Mataram untuk membangun kota mataram yang maju dalam segala aspek. 2. Kabupaten Lombok Barat Kabupaten Lombok Barat memiliki motto yaitu “Patut, Patuh, Patju”. Motto ini merupakan falsafah pembangunan bagi Kabupaten Lombok Barat. Jika dilihat dari segi arti bahwa Patut artinya adalah baik, terpuji, dan hal yang tidak berlebihan. Patuh artinya rukun, taat, damai, toleransi saling menghargai. Patju artinya rajin, giat, tidak mengenal putus asa. Oleh Pemerintah Daerah Lombok Barat, motto ini dijadikan sebagai falsafah pembangunan dan merupakan pedoman pembangunan Lombok Barat. 3. Kabupaten Lombok Tengah Kabupaten Lombok Tengah merupakan salah satu kabuoaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ibu Kota Kabupaten Lombok Tengah adalah Praya. Seperti kabupaten-kabupaten lainnya, Kabupaten Lombok Tengah juga memiliki motto sebagai falsafah pembangunannya. Motto Kabupaten Lombok Tengah adalaha “Tatas Tuhu, dan Trasna”. Tatas bermakna arif, bijaksana, memiliki pengetahuan dan cara pandang yang berwawasan luas serta jauh kedepan. Tuhu bermakna rajin bekerja, dinamis dalam bekerja, sungguh-sungguh, dan tidak putus asa. Trasna bermakna memiliki budi pekerti luhur kasih sayang terhadap sesama. 4. Kabupaten Lombok Timur Kabupaten Lombok Timur adalah kabupaten bagian timur di Pulau Lombok yang beribu kota di Selong. Motto dari Kabupaten Lombok Timur adalah “Patuh Karya”. Motto Patuh Karya artinya masyarakat berkeyakinan bahwa manusia yang patuh yaitu yang tunduk, sami’na wa ato’na adalah manusia sejati. Oleh karena itu tidak ada lain kecuali mengerahkan seluruh tenaga untuk bekerja bahu membahu dalam membangun manusia dibidang material dan ruhaninya. 5. Kabupaten Lombok Utara Motto Kabupaten Lombok Utara adalah Tioq, Tata, Tunaq. Motto Tioq, Tata, Tunaq artinya : • TIOQ berarti tumbuh yang bermakna bahwa masyarakat Lombok Utara menerima anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai modal dasar yang harus disyukuri dan dipertanggungjawabkan. • TATA berarti atur bermakna mengelola kehidupan dan segala sumberdaya yang dianugerahkan oleh Tuhan dengan bertanggungjawab kepada Tuhan dan generasi mendatang serta untuk membangun kesejahteraan bersama. Tata juga mengandung makna sistem yang dibangun untuk membangun harmoni antara hablu minannas dan hablu minallah ( antar manusia dan antara manusia dengan Allah). • TUNAQ berarti menyayangi, memelihara, mendayagunakan secara maksimal yang bermakna tidak menyia-nyiakan dan menyalahgunakan seluruh potensi dan sumberdaya. 6. Kabupaten Sumbawa Kabupaten Sumbawa adalah kabupaten salah satu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berada di Pulau Sumbawa. Motto dari Kabupaten Sumbawa adalah “Sabalong Samalewa”. Motto “Sabalong Samalewa” dapat diartikan sebagai semangat untuk saling ingat, saling membahu, dan peduli terhadap siapa pun. Secara umum, makna dari slogan sabalong samalewa diartikan sebagai semangat untuk berkerjasama, gotong royong, tolong menolong. Dan semangat inilah yang seharusnya terdeskripsikan dalam kegiatan sehari-hari.
7. Kabupaten Sumbawa Barat
Motto Kabupaten Sumbawa Barat adalah “Pariri Lema Bariri”. Makna Pariri adalah menghimpun, memperbaiki, membangun, merawat secara kesinambungan. Lema yang berarti agar, supaya, atau segera. Bariri yang berarti baik, berguna, bermanfaat, sekaligus sempurna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna dari “Pariri Lema Bariri” berarti semangat untuk saling membangun dan menjaga daerah bukan hanya daerah saja namun saling membantu satu salam lain antar masyarakat sumbawa agar menjadi daerah yang maju. 8. Kabupaten Dompu Motto Kabupaten Dompu adalah “Nggahi Rawi Pahu”. Nggahi yang artinya bilang/mengatakan sesuatu apa yang dipkirkan dan apa yang dilihat yang keluar dari mulut seseorang. Rawi kata yang artinya perbuatan/sikap yang hasil dari apa yang mereka katakana terus yang dapat diaplikasikan langsung melalui sikap dan perbuatan seseorang. Dan pahu kata pahu yang maknanya “bentuk/wujud” atau bukti nyata dari apa yang dikatakan/bicarakandan langsung dilakukan dengan sikap/perbuatan, sehingga tidak sia- sia apa yang mereka katakana dihadapan orang lain. 9. Kota Bima Kota Bima merupakan kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang berada di Pulau Sumbawa. Motto Daerah Kota Bima adalah Maja Labo Dahu. Arti Motto Maja Labo Dahu adalah orang yang beriman dan bertaqwa akan malu kepada Tuhan, kepada manusia dan diri sendiri dan takut kepada Allah dan juga kepada manusia apabila tidak mematuhi perintah dan larangan agama dan adat yang baik. 10. Kabupaten Bima Sama halnya dengan Kota Bima, Kabupaten Bima berada di Pulau Sumbawa. Motto dari Kabupaten Bima adalah “Tohop Ra Ndai Sura Dou Labo Dana”. Arti dari motto “Tohop Ra Ndai Sura Dou Labo Dana” adalah apapun kesulitan pada diri saya itu tak masalah, tapi untuk masarakat saya itu lebih penting. Dengan kata lain motto dari Kabupaten Bima yaitu mendahulukan kepentingan umun dari pada kepentingan pribadi atau golongan. Dapat dilihat bahwa motto Kabupaten Bima sangat mendahulukan kesejahteraan rakyat.
RITUAL MASYARAKAT SASAMBO
1. Ritual Masyarakat Suku Sasak a. Ritual Pernikahan atau Merariq Salah satu ritual yang paling sering ditemui di masyarakat Suku Sasak adalah merariq. Dalam bahasa sasak merariq adalah menikah. Pernikahan adat Sasak merupakan salah satu warisan budaya masyarakat Lombok yang masih dipraktikkan hingga kini. Ada beberapa upacara dan ritual unik dalam prosesi adat pernikahan Suku Sasak. Merariq atau merari merupakan ritual awal dalam rangkaian prosesi pernikahan adat Sasak, Lombok. Dalam tahapan ini calon pengantin laki-laki diwajibkan untuk ‘menculik’ kekasihnya dan membawanya ke rumah saudara atau kerabat dekat. Sebelum melancarkan ritual merarik, pasangan kekasih akan membuat perjanjian dan menyusun rencana untuk penculikan ini. Aksi penculikan tersebut hanya boleh dilakukan pada malam hari, dan menjadi rahasia di antara keduanya. Bahkan hal ini tak boleh diketahui oleh pihak keluarga atau pun orangtua calon pengantin perempuan. Yang mengetahui rencana ini hanyalah pasangan kekasih, dan beberapa kerabat yang akan membantu proses tersebut. Saat hari H penculikan datang, maka sang wanita akan mencari cara untuk keluar rumah dan saat itu pula calon pengantin pria sudah berada di luar rumah bersama kerabatnya untuk menculiknya. Prosesi merarik ini dilakukan oleh pasangan kekasih yang sebelumnya memang telah berpacaran. Tentunya hal ini dilakukan atas dasar suka sama suka. Bahkan masyarakat suku Sasak menganggap merarik yang sudah dilakukan secara turun menurun ini lebih terhormat daripada melamar. Tradisi kawin culik ini dikaitkan dengan cerita pada zaman dahulu kala ada seorang putri raja yang cantik jelita. Begitu banyak laki-laki yang tergila-gila padanya. Hingga akhirnya sang raja membangun kamar sang putri dengan perlindungan dan penjagaan ketat sehingga si gadis aman. Setelah itu, sang raja mengadakan sayembara barang siapa yang bisa menculik sang putri maka dia akan berhak menikahi. Merariq sendiri terdiri dari beberapa ranagkaian ritual dan prosesi lainnya yakni : • Prosesi Selabar Setelah prosesi penculikan ini berjalan lancar, keesokan harinya pihak calon pengantin pria akan meminta keluarga atau kepala dusun untuk memberitahu pihak keluarga perempuan bahwa anaknya diculik. Setelah itu, keduanya pun harus dinikahkan karena rumor tersebut pasti akan tersebar di seluruh desa. Namun tentunya sebelum pernikahan, kedua belah pihak keluarga akan membicarakan tentang persiapan pernikahan bersama. Selain itu, ketika proses penculikan maka calon pengantin tidak boleh melakukan hal-hal yang menimbulkan konflik. Kalau dilanggar maka calon pengantin harus membayar denda. • Prosesi Nuntut Wali Beberapa hari setelah prosesi selabar dilakukan, maka akan dilaksanakan tahapan nuntut wali. Pada tahap ini, calon mempelai pria akan mengutus orang kepercayaannya untuk meminta kesediaan keluarga calon pengantin wanita untuk menjadi wali pernikahan. • Prosesi Nyongkolan Pada acara ini pasangan pengantin akan diperlakukan bak raja dan ratu, diarak dengan pawai menuju kediaman mempelai perempuan. Rombongan nyongkolan terdiri dari keluarga dan kerabat dekat pengantin laki- laki. Tujuan dari acara ini adalah mengumumkan bahwa sang gadis telah resmi dipersunting seorang pria dan sah menjadi suami istri. Agar pasangan pengantin dikenali dan terlihat jelas oleh masyarakat yang hadir, maka keduanya memakai pakaian pengantin khas adat suku Sasak. Pengantin laki-laki dan perempuan akan diarak menggunakan kuda kayu yang dipanggul empat orang pria. Jika tidak, pengantin laki-laki akan berjalan dengan didampingi dua orang pemuda. Sementara pengantin wanita berjalan didampingi dua orang gadis. Dalam rombongan tersebut juga ada pemuka agama, tokoh masyarakt, kerabat, keluarga dan sanak saudara mempelai pria. Mereka juga memakai pakaian adat suku Sasak. Dalam prosesi arak-arakan ini akan diiringi dengan musik tradisional Gendang Beleq, Cilokak atau Kelentang. Pada barisan paling depan, biasanya orang-orang akan membawa kue tradisional Lombok, hasil pertanian dan perkebunan. Makanan dan hasil bumi tersebut diberikan kepada keluarga mempelai perempuan yang selanjutnya akan dibagikan kepada tetangga dan anggota keluarga. • Prosesi Sorong Serah Aji Krame Sorong sera haji krame adalah puncak acara dari pernikahan adat Sasak. Memiliki makna persaksian (sorong serah), derajat atau nilai (aji) dan kemartabatan (krame), prosesi ini dihadiri oleh keluarga kedua mempelai, tamu undangan, kepala desa dan kepala dusun kedua pihak. Acara ini biasanya juga dihadiri oleh masyarakat umum yang memiliki peran sebagai saksi bahwa pasangan kekasih tersebut sudah resmi jadi suami istri. Prosesi ini juga merupakan upacara serah terima dari sisi adat antara pihak keluarga mempelai pria dan wanita. Di awal acara rombongan pengantin tak diperbolehkan untuk masuk ke kediaman pengantin wanita karena akan ada perdebatan alot di upacar sorong serah hingga menemui kata sepakat terlebih dulu. b. Upacara Rebo Bontong Ditengah mengikisnya tradisi dan nilai-nilai kebudayaan karena modernisasi atau masuknya budaya-budaya baru, ternyata masih ada kelompok masyarakat yang masih mempertahankan eksistensi budaya tradisionalnya dari generasi ke kegenerasi yaitu masyarakat suku Sasak di Desa Pringgabaya Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur. Tradisi yang masih dipertahankan masyarakat suku Sasak tersebut adalah tradisi Rebo Bontong. Tradisi Rebo Bontong merupakan suatu tradisi dalam bentuk upacara rutinitas yang tumbuh kembang di dalam masyarakat suku Sasak khususnya di masyarakat Desa Pringgabaya Lombok Timur. Keberadaan tradisi Rebo Bontong telah ada sejak zaman dahulu kala dan merupakan warisan yang masih dilestarikan yang dijadikan sebagai kegiatan rutinitas setiap tahunan oleh masyarakat Desa Pringgabayadan sekitarnya. Tradisi Rebo Bontong merupakan perpaduan tradisi dan unsur agama. Masyarakat suku Sasak umumnya, meyakini bahwa sejak malam Rabu sampai dengan hari Rabu pada minggu terakhir bulan Safar, Allah SWT menurunkan banyak bala’ kedunia. Istilah Rebo Bontong, menurut bahasa Sasak, Rebo artinya hari Rabu, sedangkan Bontong berarti (ujung/ terakhir), sehingga Rebo Bontong berarti Rabu akhir pada bulan Safar. Rebo Bontong diartikan sebagai upacara tolak bala (menolak bahaya).Tradisi Rebo Bontong biasanya dilakukan di Pantai Ketapang dan Pantai Tanjung Menangis di Desa Pringgabaya. c. Bau Nyale Bau Nyale merupakan suatu acara adat yang muncul berkat sebuah legenda tentang Putri Mandalika. Menurut bahasa Sasak, bau artinya menangkap, sedangkan nyale adalah sejenis cacing laut yang hidup di lubang dan batu karang di bawah permukaan laut. Jadi, tradisi ini secara harfiah berarti menangkap cacing laut. Putri Mandalika adalah putri dari seorang raja ternama yang terkenal dengan paras cantik rupawan dan kebaikan hatinya. Karena itu, Putri Mandalika menjadi idaman banyak pangeran sehingga menjadi rebutan dan membuat persaingan yang mengancam keutuhan dan kerukunan masyarakat Lombok. Demi mempertahankan kerukunan itu, Putri Mandalika pun melakukan sebuah ritual semadi untuk menentukan apa yang harus dilakukan kepada para pangeran yang ingin meminangnya. Dari semadi itu, Putri Mandalika akhirnya mendapatkan sebuah petunjuk (wangsit) untuk mengundang dan mengumpulkan seluruh pelamar yang ingin meminangnya di Bukit Seger, Mandalika. Namun, disaat semua berkumpul alih-alih memilih seorang pangeran, Putri Mandalika justru memutuskan untuk tidak memilih siapapun diantara mereka karena rasa cintanya yang besar kepada masyarakat dan ingin semua hidup dalam kerukunan dan kedamaian, Putri Mandalika pun kemudian terjun ke Laut. Seluruh orang yang hadir sontak terkejut dan langsung ikut menceburkan diri ke laut berlomba-lomba untuk menyelamatkan Putri Mandalika, namun sayangnya tak ada satu pun yang berhasil menemukannya. Setelah kepergian Putri Mandalika itu, munculah kumpulan cacing berwarna-warni dengan jumlah yang sangat banyak di pantai tempat Putri Mandalika menceburkan diri dan menghilang, dan hewan inilah yang kemudian disebut NYALE. Semenjak saat itu, masyarakatpun memercayai bahwa nyale adalah jelmaan dari Putri Mandalika. Dan sebagai bentuk penghormatan, diadakanlah ritual adat setiap tanggal 20 pada bulan 10 (menurut perhitungan Kalender Sasak), bertepatan dengan waktu di mana Putri Mandalika menghilang. 2. Ritual Masyarakat Suku Samawa a. Malam Barodak Salah satu tradisi yang sudah mengakar dalam masyarakat Sumbawa adalah tradisi barodak yang dilakukan sebelum pernikahan. Barodak berarti melulur calon pengantin dengan bedak tradisional Suku Samawa yang bahannya terbuat dari tumbuh-tumbuhan. Tradisi ini masih dapat dijumpai di wilayah Kabupaten Sumbawa maupun di Kabupaten Sumbawa Barat. b. Ritual Basaturen Ritual Basaturen atau pemberian makanan kepada leluhur yang diselenggarakan di pantai merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur. Sehingga seseorang yang telah melakukan suatu acara khitan, pernikahan, maupun bayar jangi (rasa syukur atas kesembuhan dari penyakit) harus melaksanakan ritual Basaturen, jika ritual tidak dilaksanakanmaka akan mendatangkan mala petaka bagi mereka. proses pelaksanaan ritual Basaturen berlangsung dalam 2 tahapan yaitu:satokal isi bangka ode dan maning suci. Adapun benda yang digunakan dalam ritual basaturen yaitu bangka ode, teleku kayu, dan kre putih. Hasil penelitian ini juga menemukan tujuan dan manfaat dari ritual basaturen yaitu tujuan diadakannya Ritual Basaturen adalah untuk memberikan suatu penghormatan kepada leluhur atau nenek moyang. Sedangkan manfaat dari diadakannya Ritual Basaturen yaitu mengajarkan sikap toleransi, selalu bersyukur, terhindar dari perbuatan mungkar, selalu merasa tenang, selalu diberkati sehingga terhindar dari bencana-bencana yang akan menimpanya dan kunci perkembangan masyarakat sumbawa agar bangkit dari hegemoni adalah pembudayaan rasa malu (kangila). Rasa malu (kangila) tersebut terkandung dan merasuk sanubari. c. Pasaji Ponan Tradisi pasaji ponan atau biasa disebut ponan merupakan sebuah tradisi sebagai bentuk rasa syukur pada saat padi akan berbuah atau bunting. Tradisi ini dilakukan oleh beberapa desa di Kabupaten Sumbawa, tepatnya Kecamatan Moyo Hlir. Setiap tahunnya, setiap akan bergantian menjadi tuan rumah pelaksanaan tradisi ini, khususnya Dusun Lengas, Dusun Poto, dan Dusun Sameri. Dalam tradisi ini, terdapat berbagai macam pertunjukan dan kesenian yang ditampilkan serta menyajikan pelbagai macam makanan khas Sumbawa. Pada awalnya, tradisi ini hanya berupa ucapan doa dan zikir. Seiring berjalannya waktu, pemerintah daerah setempat menjadikan acara ini sebagai acara untuk mendorong daya tarik pariwisata. d. Malala Tradisi malala merupakan sebuah tradisi masyarakat Suku Sumbawa untuk membuat minyak obat dari ramuan alami yang dididihkan. Biasanya minyak obat tersebut berasal dari bahan kelapa. Prosesi pembuatan minyak obat ini hanya bisa dijumpai pada saat bulan Muharram di kalender Hijriah saja. Tak semua orang dapat membuat minyak obat ini karena hanya dukun atau tabib daerah setempat yang bisa melakukan tradisi ini. Para dukun atau tabib tersebut dikenal dengan sebutan sandro. Hal ini dikarenakan tradisi ini kerap dilakukan dengan cara mengaduk minyak menggunakan tangan dalam keadaan mendidih dan nyala api sedang membara. 3. Ritual Masyarakat Suku Mbojo a. Rimpu Rimpu merupakan tradisi berbusana untuk kaum perempuan suku Bima dengan menggunakan sarung tenun khas Bima yaitu “Tembe Nggoli”. Cara pemakaiannya membutuhkan dua lembar kain, yaitu satu lembar kain pertama yang dililitkan ke kepala dan menyisakan bagian terbuka untuk wajah, lalu sisa kain dijulurkan hingga ke perut menutupi lengan dan telapak tangan. Kemudian untuk kain kedua dikenakan dengan cara melipatkan kain di pinggang hingga ke bawah seperti penggunaan kain sarung pada umumnya. Konon, tradisi berbusana ini sudah ada sejak jaman Kesultanan Bima. Meskipun tradisi berbusana rimpu ini sudah mulai jarang digunakan oleh generasi muda suku Bima sekarang, namun kini mulai sering diperkenalkan kembali pada acara-acara kebudayaan yang diadakan oleh dinas kebudayaan setempat. b. Peta Kapanca Salah satu tradisi yang masih berjalan saat ini ditengah masyarakat suku Bima adalah Peta Kapanca. Peta Kapanca adalah ritual khusus bagi calon pengantin wanita suku Bima sebelum menikah. Ritual Peta Kapanca dilakukan satu hari sebelum prosesi akad atau pesta pernikahan. Pada ritual ini, kapanca atau daun pacar yang sudah dihaluskan akan ditempelkan di kedua telapak tangan calon pengantin wanita secara bergilir oleh ibu-ibu pemuka adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Makna filosifis dari tradisi Peta Kapanca ini yaitu, daun pacar yang dilumatkan dan ditempelkan pada kedua telapak tangan sang calon pengantin wanita sebagai simbol bahwa sebentar lagi calon pengantin wanita tersebut akan menjadi seorang istri dari calon pengantin pria yang sudah meminangnya. Hingga kini, tradisi ini masih terus dipertahankan oleh masyarakat suku Bima. c. Ampa Fare Ampa fare diambil dari dua kata yaitu ampa yang berarti mengangkat dan fare yang berarti padi. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi menyimpan hasil panen padi ke lumbung yang disebut masyarakat Suku Bima dengan Uma Lengge. Hasil tani yang sudah dipanen dinaikan secara bersama-sama ke dalam Uma Lengge dan disimpan sebagai cadangan pangan. Tradisi yang konon sudah berlangsung sejak abad ke-8 ini mengandung makna doa dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan hasil panen yang melimpah serta mengajarkan masyarakat agar selalu hidup berhemat.