Anda di halaman 1dari 208

ANALISIS RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN PAJANAN

BORAKS PADA SISWA YANG MENGKONSUMSI BAKSO DI

SDN CIRENDEU 02 CIPUTAT TAHUN 2019

SKRIPSI

Oleh :

Husnia Zuhra

11151010000078

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H /2019
ANALISIS RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN PAJANAN BORAKS

PADA SISWA YANG MENGKONSUMSI BAKSO DI SDN CIRENDEU 02

CIPUTAT TAHUN 2019

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT (SKM)

Oleh :

Husnia Zuhra

NIM 11151010000078

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2019
i

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Pajanan Boraks Pada Siswa ynag
Mengkonsumsi Bakso di SDN Cirendeu 02 Tahun 2019
Husnia Zuhra, NIM : 11151010000078
Xx, 186 halaman, 8 gambar, 28 tabel, 2 Diagram, 6 lampiran

ABSTRAK
Boraks merupakan bahan kimia yang penggunaannya dilarang sebagai bahan
tambahan pangan, tetapi keberadaannya sering ditemukan dalam pangan jajan. Salah
satu kasusnya ditemukan pada bakso yang dijajakan di SDN Cirendeu 02. Siswa di
sekolah tersebut merupakan populasi berisiko untuk terpajan boraks. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui estimasi risiko pajanan boraks pada siswa di SDN
Cirendeu 02 tahun 2019 sehingga dapat dilakukan upaya manajemen risiko yang
tepat. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain
studi ARKL (Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan). Data penelitian ini diperoleh
dari hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran konsentrasi
boraks dalam bakso. Penelitian ini dilakukan terhadap 165 responden dari kelas 2
sampai kelas 6. Analisis data meliputi analisis univariat dan analisis risiko yang
dilakukan dengan langkah perhitungan intake, risk quotient, dan excess cancer risk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi boraks pada bakso sebesar 1,31467
mg/gr. Setelah dilakukannya perhitungan tingkat risiko non karsinogenik (RQ)
didapatkan nilai > 1 pada kelas 6 untuk pajanan realtime sehingga siswa kelas 6 telah
memiliki risiko untuk gangguan kesehatan non karsinogenik. Sedangkan perhitungan
tingkat risiko karsinogenik pada seluruh siswa kelas 2 hingga kelas 6 didapatkan nilai
ECR > E-4 dalam pajanan realtime dan lifetime sehingga siswa tersebut telah
memiliki risiko untuk gangguan kesehatan karsinogenik. Manajemen risiko yang
dapat dilakukan untuk mencegah responden dari gangguan kesehatan yaitu mengganti
penggunaan boraks sebagai pengawet dan pengenyal dengan bahan alami yaitu
ekstrak wortel dan tepung rumput laut, menyarankan orangtua siswa untuk
menyediakan bekal sehat untuk anak, serta upaya pengawasan dan pembinaan
terhadap keamanan pangan jajan oleh berbagai pihak seperti pihak sekolah, Dinkes
setempat kepada penyedia pangan jajan.

Kata Kunci : ARKL, Boraks, Siswa Sekolah Dasar

Referensi: 119 (2006-2019)


ii

FACULTY OF HEALTH SCIENCE


PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAMS
DEPARTEMENT OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Environmental Health Risk Assesment of Borax Exposure in Students Who
Consume Meatball at Cirendeu 02 Ciputat Elementary School in 2019
Husnia Zuhra, NIM : 11151010000078
Xx, 186 pages, 8 pictures, 28 tables, 2 Diagrams, 7 attachments

ABSTRACT

Borax is a chemical that is prohibited from being used as food additives, but its
presence is often found in food, one of them is meatballs that are sold at SDN
Cirendeu 02. The students are at risk for Borax's exposure. The general objective of
this study is to determine the estimated risk of borax exposure for students at SDN 02
Cirendeu in 2019 so that proper risk management can be done. This study is a
quantitative research, using the ARKL (Environmental Health Risk Assesment)
design. The data of this study were obtained from interviews through a questionnaire
and measurement of borax levels in meatballs. This research is conducted on 165
respondents of the 2nd until 6th grade students. Data analysis contains of univariate
analysis and risk analysis which included calculation of intake, risk quotient, and
excess cancer risk. The results shows that the concentration of borax was 1.31467 mg
/ gr. The results of risk characterization showed that non-carcinogenic risks in
realtime for class 6 because it gets RQ value > 1. As for carcinogenic risk shows that
the value of ECR> E-4 both in realtime and lifetime, which means it had carcinogenic
risk. Risk Management that can be done to prevent responedents form health
problems by replacing the use of borax as a preservative and thickener with natural
ingredients namely carrots extracts adan seaweed flour, advising parents to provide
healthy food foor children bring to school, monitoring and fostering efforts for safety
food by various perties such as elementary schools, local health offices to food
provider.

Key Word: EHRA, Borax, Student, Elementary School Student

Reference: 119 (2006-2019)


iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini adalah hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) di

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES)

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES)

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta


iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN
v

LEMBAR PENGESAHAN
vi

RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama Lengkap : Husnia Zuhra

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 16 Mei 1998

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Sd. Inpres Pondok Karya, Perum Ganda

Asri Blok A No 9 RT 07/ RW 03

Email : Husnia.zuhra@gmail.com

No. Hp : 089520024354

II. Riwayat Pendidikan


1. SDN 02 Petukangan Utara Jakarta Selatan, tahun 2007-2009
2. SMPN 235 Jakarta Selatan, tahun 2010-2012
3. SMAN 5 Tangerang Selatan, tahun 2013-2015
4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Ilmu Kesehatan, tahun 2015-2019
III. Pengalaman Organisasi
1. Seksi Bidang II OSIS SMAN 5 Tangerang Selatan periode Tahun 2013-
2014
2. Wakil Ketua Teater Penta 5 SMAN 5 Tangerang Selatan periode Tahun
2014-2015
3. Anggota departemen Seni dan Olahraga Himpunan Mahasiswa Program
Studi Kesehatan Masyarat UIN Jakarta periode tahun 2016-2017
4. Ketua divisi Event Organizer Karang Taruna Garuda Muda Pondok Karya
periode tahun 2016-2017
vii

5. Wakil Ketua Basket Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta periode tahun


2017-2018
6. Kepala departemen Seni dan Olahraga Himpunan Mahasiswa Program
Studi Kesheatan Masyarat UIN Jakarta periode tahun 2017-2018
7. Anggota departemen Forum Silaturahmi ENVIHSA (Environmental
Health Students Association) UIN Jakarta periode tahun 2017-2018
8. Ketua Divisi Acara Seminar Profesi Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta
Tahun 2018
IV. Pengalaman Bekerja
1. Praktik Belajar Lapangan di Puskesmas Bhakti Jaya pada Juni 2018-
September 2018
2. Magang di Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Depok Bidang
Pengendalian Pencemaran dan Penaatan Lingkungan pada Januari-
Februari 2019.
viii

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang

senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Risiko Kesehatan

Lingkungan Pajanan Boraks pada Siswa yang Mengkonsumsi Bakso Di SDN

Cirendeu 02 Ciputat Tahun 2019”.

Penyusunan penelitian ini merupakan salah satu persyaratan untuk

menyelesaikan studi perkuliahan pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyelesaian

skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan

ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Zilhadia, MSi, Apt, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

2. Ibu Catur Rosidati, M.K.M, selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku

Pembimbing Akademik penulis.

3. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM., M.Kes selaku pembimbing yang telah banyak

memberikan arahan, masukan dan saran perbaikan selama penyusunan penelitian

ini serta mengijinkan untuk riset payung bersama dosen.


ix

4. Ayah (Ir. Zukhrawardi Zuhdy, M.Sc) dan Ibu (alm. Hj. Zainab. SE & Munni

Rosnita) yang selalu mendukung dan mendoakan selama persiapan, pelaksanaan

hingga penyusunan dalam penelitian ini .

5. Kakak (Suzan Zuhra, S.Psi dan M. Ridwan, M.Kom) dan Adik (Fahira Zuhra)

yang selalu mendukung, memberikan masukan dan senantiasa mendengarkan

setiap keluh kesah penulis dalam melaksanakan penelitian ini .

6. Teman seperbimbingan Tika, Neng, Ila, dan Dini yang telah membantu dan

menyemangati penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

7. Selvi, Lintang, Ina, Pika, Dilla, Aini, Silvia, Elsa, Tami, Ayu, dan Hasnah yang

yang telah membantu dan menyemangati penulis selama berkuliah di UIN.

8. Regy Dwitama yang telah membantu, memberikan saran dan semangat bagi

peneliti hingga penelitian selesai dilaksanan.

9. Teman-teman Kesehatan Lingkungan 2015 (ENVIHSA 7) serta yang telah

memberikan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini

10. Dan seluruh pihak yang membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu per

satu.

Dalam penulisan skripsi ini penulis merasa masih banyak kekurangan, Untuk

itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan bagi penulis demi

kesempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca

dan khususnya bagi penulis.


x

DAFTAR ISI

ABSTRAK ..................................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN........................................................................ iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN .............................................................................. iv
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. x
DAFTAR BAGAN ..................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xvi
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xvii
DAFTAR DIAGRAM ................................................................................................ xix
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ xx
BAB I ............................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 7
C. Pertanyaan Penelitian ..................................................................................... 7
D. Tujuan ............................................................................................................. 8
1. Tujuan Umum ............................................................................................. 8
2. Tujuan Khusus ............................................................................................ 8
E. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 9
1. Bagi Pihak Sekolah Dasar........................................................................... 9
2. Bagi Dinas Kesehatan ................................................................................. 9
3. Bagi Peneliti .............................................................................................. 10
F. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................ 10
BAB II ......................................................................................................................... 12
xi

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 12


A. Boraks ........................................................................................................... 12
1. Sumber Boraks .......................................................................................... 12
2. Sifat Fisik dan Kimia Boraks .................................................................... 13
3. Penggunaan Boraks................................................................................... 15
4. Dampak Konsumsi Makanan Mengandung Boraks Terhadap Kesehatan 17
5. Analisis Kualitatif Boraks Menggunakan Food Securty Kit (Test Kit
Boraks) ................................................................................................................ 22
6. Analisis Kuantitatif Boraks Menggunakan Spektrofotometer ................. 24
7. Nilai Batasan Pajanan Boraks ................................................................... 26
8. Mekanisme Pajanan ke Manusia (Jalur Masuk) Boraks ......................... 28
9. Faktor yang Mempengaruhi Toksisitas Boraks dalam Tubuh Manusia ... 29
10. Toksikokinetik Boraks dalam Tubuh Manusia ......................................... 31
11. Toksikodinamik Boraks dalam Tubuh Manusia ....................................... 34
B. Keamanan Pangan ........................................................................................ 36
C. Pangan Jajan ................................................................................................. 38
1. Definisi Pangan Jajan................................................................................ 38
2. Jenis Pangan Jajan .................................................................................... 39
3. Bakso ........................................................................................................ 42
D. Bahan Tambahan Pangan ............................................................................. 45
1. Definisi Bahan Tambahan Pangan (BTP) ................................................. 45
2. Kegunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) ............................................. 46
3. Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang Tidak di Izinkan atau Dilarang
Digunakan dalam Proses Pembuatan Makanan .................................................. 48
E. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan........................................................ 49
1. Identifikasi Bahaya (Hazard Identification) ............................................. 50
2. Analisis Dosis-Respon (Dose-Response Assesment) ................................ 51
3. Analisis Pajanan (Exposure Assesment) ................................................... 52
4. Karakteristik Risiko (Risk Characterization) ............................................ 58
5. Manajemen Risiko (Risk Management) ................................................... 60
xii

G. Kerangka Teori ............................................................................................. 66


BAB III ....................................................................................................................... 67
Kerangka Konsep dan Definisi Operasional ............................................................... 67
A. Kerangka Konsep ......................................................................................... 67
B. Definisi Operasional ..................................................................................... 71
BAB IV ....................................................................................................................... 74
METODE PENELITIAN ............................................................................................ 74
A. Desain Penelitian .......................................................................................... 74
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 76
C. Populasi dan Sampel .................................................................................... 76
1. Populasi..................................................................................................... 76
2. Sampel ...................................................................................................... 77
D. Metode Pengumpulan Data .......................................................................... 78
E. Instrumen Penelitian ..................................................................................... 81
F. Pengolahan Data............................................................................................... 86
G. Analisis Data ................................................................................................ 87
1. Analisis Univariat ..................................................................................... 87
2. Perhitungan Nilai Intake ........................................................................... 88
3. Perhitungan Risiko Non Kanker ............................................................... 90
4. Perhitungan Risiko Kanker ....................................................................... 91
5. Perhitungan Batas Aman .......................................................................... 92
BAB V......................................................................................................................... 94
HASIL ......................................................................................................................... 94
A. Gambaran Umum SDN Cirendeu 02 Ciputat ............................................... 94
B. Gambaran Konsumsi Pangan Jajan Responden ........................................... 96
C. Gambaran Karakteristik Individu Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat.......... 98
1. Usia Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat .................................................... 98
2. Berat Badan (Wb) Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat .............................. 99
3. Tinggi Badan Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat ................................... 100
4. Jenis Kelamin Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat .................................. 101
xiii

D. Konsentrasi Boraks pada Bakso yang dijajakan di SDN Cirendeu 02 Ciputat


102
E. Pola Aktivitas Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat ...................................... 102
1. Laju Asupan (R)...................................................................................... 102
2. Durasi Pajanan (Dt) ................................................................................ 104
3. Frekuensi Pajanan (fE)............................................................................ 105
F. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) Boraks .............................. 105
1. Analisis Dosis Respon ............................................................................ 105
2. Analisis Pemajanan ................................................................................. 107
3. Karakteristik Risiko ................................................................................ 113
4. Manajemen Risiko .................................................................................. 117
BAB VI ..................................................................................................................... 130
PEMBAHASAN ....................................................................................................... 130
A. Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 130
B. Karakteristik Individu Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat ......................... 131
1. Distribusi Usia Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat ................................. 131
2. Distribusi Berat Badan Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat .................... 133
3. Distribusi Tinggi Badan Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat .................. 134
4. Distribusi Jenis Kelamin Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat ................. 135
C. Konsentrasi Boraks pada Bakso yang dijajakan di SDN Cirendeu 02 Ciputat
136
D. Pola Aktivitas ............................................................................................. 138
1. Laju Asupan ............................................................................................ 138
2. Durasi Pajanan ........................................................................................ 139
3. Frekuensi Pajanan ................................................................................... 140
E. Analisis Pemajanan .................................................................................... 140
F. Karakteristik Risiko ....................................................................................... 142
G. Manajemen Risiko ...................................................................................... 143
H. Aspek Keislaman dalam Penelitian ............................................................ 151
BAB VII .................................................................................................................... 156
xiv

A. Kesimpulan ................................................................................................. 156


B. Saran ........................................................................................................... 158
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 160
LAMPIRAN .............................................................................................................. 176
xv

DAFTAR BAGAN

Bagan 2. 1 Kerangka Teori ........................................................................................ 66

Bagan 3. 1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 69


xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Fisik Boraks ........................................................................................... 13

Gambar 2. 2 Struktur Boraks ...................................................................................... 14

Gambar 2. 3 Test Kit Boraks ....................................................................................... 22

Gambar 2. 4 Spektrofotometer UV-Vis........................................................................ 25

Gambar 2. 5 Diagram Alir Pembuatan Bakso ............................................................. 44

Gambar 5. 1 SDN Cirendeu 02 Ciputat ...................................................................... 94

Gambar 5. 2 Penimbangan Sampel Bakso ................................................................ 103


xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Sifat Fisik dan Kimia Boraks ..................................................................... 15

Tabel 2. 2 Toksisitas Boraks ....................................................................................... 28

Tabel 2. 3 Keterangan Rumus Intake non karsinogenik jalur pemajanan inhalasi


(terhirup) ..................................................................................................................... 53

Tabel 2. 4 Keterangan Rumus Intake non karsinogenik jalur pemajanan ingesti


(tertelan) ...................................................................................................................... 55

Tabel 2. 5 Keterangan Rumus Intake karsinogenik jalur pemajanan inhalasi (terhirup)


..................................................................................................................................... 56

Tabel 2. 6 Keterangan Rumus Intake Karsinogenik jalur pajanan ingesti (tertelan) .. 57

Tabel 2. 7 Keterangan Rumus Perhitungan Batas Aman ........................................... 64

Tabel 4. 1 Konversi Konsentrasi Boraks dalam Perhitungan Intake .......................... 88

Tabel 4. 2 Konversi NOAEL dalam Perhitungan Intake ........................................... 92

Tabel 5. 1 Jumlah Siswa Berdasarkan Kelas dan Jenis Kelamin ................................ 95

Tabel 5. 2Distribusi Usia Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat ..................................... 98

Tabel 5. 3Distribusi Berat Badan Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat ......................... 99

Tabel 5. 4 Distribusi Tinggi Badan Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat .................... 100

Tabel 5. 5 Distribusi Jenis Kelamin Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat ................... 101

Tabel 5. 6 Konsentrasi Boraks pada Bakso ............................................................... 102

Tabel 5. 7 Laju Asupan pada Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat ............................. 103

Tabel 5. 8 Durasi Pajanan (Dt) pada Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat ................. 104

Tabel 5. 9 Distribusi Frekuensi Pajanan Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat dalam


tahun .......................................................................................................................... 105

Tabel 5. 10 Variabel Karakteristik Individu dan Pola Aktivitas dalam Perhitungan


Rumus Intake pada Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat ............................................. 107
xviii

Tabel 5. 11 Intake Non Karsinogenik Realtime ........................................................ 108

Tabel 5. 12 Intake Karsinogenik Realtime ................................................................ 109

Tabel 5. 13 Proyeksi Intake Non Karsinogenik 30 Tahun Mendatang .................... 110

Tabel 5. 14 Proyeksi Intake 70 Tahun Mendatang .................................................. 111

Tabel 5. 15 Nilai RfD dan NOAEL dalam Perhitungan Rumus Tingkat Risiko pada
Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat............................................................................. 114

Tabel 5. 16 Tingkat Risiko Realtime Non Karsinogenik (RQ) ................................. 114

Tabel 5. 17 Tingkat Risiko Realtime Karsinogenik (ECR)....................................... 115

Tabel 5. 18 Proyeksi Tingkat Risiko Non Karsinogenik (RQ) 30 Tahun Mendatang


................................................................................................................................... 116

Tabel 5. 19 Tingkat Risiko Karsinogenik (ECR) ...................................................... 117

Tabel 5. 20 Variabel Karakteristik Individu dan Pola Aktivitas dalam Perhitungan


Rumus Perhitungan Batas Aman pada Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat ............... 118

Tabel 5. 21 Hasil perhitungan Manajemen Risiko Konsentrasi Aman Boraks Non


Karsinogenik ............................................................................................................. 119

Tabel 5. 22 Hasil perhitungan Manajemen Risiko Konsentrasi Aman Boraks


Karsinogenik Pajanan................................................................................................ 122

Tabel 5. 23 Hasil perhitungan Manajemen Risiko Jumlah Konsumsi Aman Non


Karsinogenik Pajanan................................................................................................ 125

Tabel 5. 24 Hasil perhitungan Manajemen Jumlah Konsumsi Aman Karsinogenik


Pajanan ...................................................................................................................... 128
xix

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 5. 1 Distribusi Konsumsi Pangan Jajan Responden ..................................... 96

Diagram 5. 2 Persentase Konsumsi Pangan Jajan Responden .................................... 97


xx

DAFTAR SINGKATAN

ARKL : Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan

ATSDR : Agency for Toxic Subtance and Disease Registry

BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makanan

EPA : Environmental Protection Agency

IRIS : Intagrated Risk Information System

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

KLB : Kejadian Luar Biasa

NOAEL : No Observed Effect Level

PJAS : Pangan Jajan Anak Sekolah

PPM : Part per million

RfC : Konsentrasi Referensi (untuk pajanan inhalasi)

RfD : Dosis Referensi (untuk pajanan ingesti)

SCCS : Scientific Committee on Consumer Safety

SF : Slope Factor

USFDA : U.S Food and Drug Administration

WHO : World Health Organization


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keracunan makanan merupakan salah satu permasalahan kesehatan

masyarakat yang marak terjadi secara global. Menurut data World Health

Organization (WHO) pada tahun 2017, 420.000 orang meninggal di seluruh

dunia setiap tahunnya karena keracunan makanan yang disebabkan cemaran

bakteri dan keberadaan zat kimia berbahaya pada makanan. Berdasarkan data

tersebut diketahui bahwa 84% kematian terjadi di negara-negara

berpenghasilan rendah dan menengah dengan populasi yang berisiko tinggi

mengalami keracunan makanan yaitu anak-anak..

Indonesia merupakan salah satu negara berpenghasilan menengah yang

kerap mengalami keracunan makanan. Pada tahun 2016, Dinas Kesehatan

Provinsi dan Kabupaten/Kota pada 34 Propinsi di Indonesia melaporkan telah

terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan dengan jumlah orang

sakit sebanyak 3.351 orang dan 7 orang meninggal. Berdasarkan Laporan

Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) 2017, di Indonesia

terjadi keracunan makanan dengan jumlah kesakitan sebanyak 2.041 dan 3

orang meninggal. Jumlah penyakit akibat pangan terutama keracunan

1
2

makanan terus terjadi yang erat kaitannya dengan praktik keamanan pangan di

Indonesia (Sari,2017)

Kasus keracunan makanan seringkali terjadi pada siswa/i sekolah dasar

akibat mengkonsumsi pangan jajan yang mengandung bahan kimia

berbahaya. Berdasarkan beberapa media pemberitaan nasional pada tahun

2013 ditemukan kasus siswa sekolah dasar mengalami keracunan setelah

mengonsumsi jajanan berpengawet boraks yang dijual pedagang di sekitar

sekolah (Putra, 2013). Pada Maret tahun 2018 media telah dilaporkan kasus

keracunan massal yang dialami oleh siswa sekolah dasar dengan gejala mual,

muntah, pusing bahkan pingsan akibat mengonsumsi mie mengandung boraks

(Sunariyah dan Nuramdani, 2018). Berdasarkan fakta tersebut diketahui

bahwa telah terjadi masalah kesehatan yaitu keracunan makanan mengandung

boraks dan diketahui bahwa boraks bukan merupakan bahan yang aman untuk

dikonsumsi terutama untuk anak usia sekolah dasar

Anak usia sekolah dasar memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap

penyakit karena daya tahan tubuhnya belum bekerja dengan baik dan

kemampuan metabolismenya belum sempurna (Puspitasari, 2013). Tumbuh

kembang dan kesehatan manusia bergantung pada makanan yang

dikongunsumsinya sejak usia dini. Dalam mengkonsumsi jajanan di sekolah,

siswa seringkali tidak memperhatikan keamanan jajanan yang dikonsumsi

sehingga mereka berpotensi untuk mengalami keracunan (Santi, 2017).

Padahal Pangan jajan memiliki peranan penting pada pertumbuhan dan


3

perkembangan anak yang tentunya mempengaruhi kesehatan anak. Apabila

sejak kecil anak sudah mengonsumsi makanan yang mengandung toksik,

maka akan memungkinkan terjadinya akumulasi didalam tubuh dan dalam

jangka waktu panjang hingga akan timbulnya berbagai permasalahan

kesehatan bagi generasi penerus bangsa.

Keracunan makanan dapat terjadi apabila ditemukan bahan kimia

berbahaya. Salah satu kasusnya adalah temuan boraks pada makanan. Boraks

merupakan bahan kimia yang sering disalahgunakan sebagai bahan tambahan

pangan dalam pembuatan bakso yang dimanfaatkan untuk mengawetkan dan

juga dapat membuat tekstur bakso lebih kenyal (Junianto, 2013). Berdasarkan

hasil pengujian sampel laboratorium oleh BPOM mencakup berbagai wilayah

di Indonesia didapatkan hasil bahwa 138 sampel mengandung boraks.

Berdasarkan penelitian Yulianto pada bakso di Pasar Soponyono dan Pasar

Jagir Surabaya didapatkan fakta seluruh sampel yang di uji positif

mengandung boraks (Yulianto, 2013). Penyebab Pangan Jajan Anak Sekolah

(PJAS) tidak memenuhi syarat serta berbahaya bagi kesehatan anak paling

tinggi disebabkan oleh penggunaan bahan berbahaya pada makanan yaitu

boraks (KEMENKES, 2014). Berdasarkan beberapa pemaparan yang telah

diungkapkan diatas, diketahui bahwa telah terjadi permasalahan keamanan

pangan di Indonesia yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat terutama anak

usia sekolah.
4

Sering mengonsumsi makanan mengandung boraks akan menyebabkan

gangguan otak, hati, lemak dan ginja. Dalam jumlah banyak, boraks

menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin), koma, merangsang

sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun,

kerusakan ginjal, pingsan bahkan kematian. (Sultan et al, 2013). Boraks

merupakan bahan kimia yang mempunyai sifat karsinogen sehingga dapat

menyebabkan kerusakan sel hingga kanker. (Natipulu dan Abadi, 2018).

Pemakaian boraks dalam makanan tidak diperbolehkan dalam kadar apapun

dikarenakan bahaya bagi kesehatan manusia. (Athaya et al, 2015).

Pada pemeriksaan sampel makanan yang dilakukan oleh Pengawas

Pangan Jajan Anak Sekolah (PJAS), sampel pangan dengan jenis makanan

sepinggan (makanan mengenyangkan) yang paling tidak memenuhi

persyaratan keamanan pangan adalah bakso (KEMENKES, 2015). Bakso

merupakan suatu makanan dengan jumlah konsumsi tinggi bagi masyarakat

Indonesia (Marcella, 2016). Bakso merupakan makanan mengenyangkan yang

seringkali ditemukan mengandung boraks akibat proses pengawetan

(Yulianto, 2013)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Rusli di Pasar Ciputat tahun 2009

ditemukan fakta bahwa 4 dari 5 sampel mie positif mengandung boraks.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Misyka pada Bakso di Kelurahan

Ciputat tahun 2014 juga menemukan fakta bahwa 10 dari 34 sampel positif

mengandung boraks. Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan


5

bahwa di wilayah Ciputat telah terjadi permasalahan keamanan pangan yaitu

penggunaan boraks pada pangan. Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi

juga pada pangan jajan Sekolah Dasar yang berada di Ciputat.

Pangan jajan berisiko tinggi menyebabkan gangguan kesehatan

dikarenakan penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang tidak di

izinkan (Nurbiyati et al, 2014). Lokasi dalam penelitian ini dipilih dengan

kriteria yaitu sekolah yang terdapat banyak pangan jajan yang dijajakan

disekitarnya. SDN Cirendeu 02 Ciputat merupakan salah satu sekolah dasar di

wilayah Ciputat yang disekitarnya terdapat banyak pedagang kaki lima

menjajakan pangan jajan yang berpotensi mengandung boraks sehingga

sekolah tersebut masuk ke dalam kriteria pemilihan lokasi yang telah

ditetapkan oleh peneliti. Selanjutnya peneliti melakukan perizinan kepada

Kepala Sekolah SDN Cirendeu 02 Ciputat untuk melaksanakan studi

pendahuluan sehingga diperoleh izin untuk melakukan penelitian disekolah

tersebut. Pada bulan Desember tahun 2018, Peneliti melakukan studi

pendahuluan di sekolah tersebut dengan mewawancarai 30 siswa/i sehingga

didapatkan data lima pangan jajan yang sering dikonsumsi dan disukai oleh

siswa/i berturut turut yaitu bakso, martabak telur, cilung, cigor, dan tahu

crispy. Peneliti mengambil 2 sampel bakso yang dijual di sekitar sekolah

tersebut kemudian mengujinya menggunakan Test Boraks Kit. Pengujian

tersebut mendapatkan hasil bahwa 1 sampel positif mengandung boraks.


6

Setelah dilakukannya studi pendahuluan tersebut diketahui pada SDN

Cirendeu 02 Ciputat terdapat pangan jajan bakso yang mengandung boraks

dengan demikian terdapat siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat yang

mengkonsumsi bakso mengandung boraks. Berdasarkan pemaparan tersebut

dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat siswa/i di SD tersebut yang berisiko

terhadap gangguan kesehatan akibat konsumsi makanan berboraks. Perlu

dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengatahui tingkat risiko siswa tersebut

sehingga dapat dilakukan upaya manajemen risiko agar siswa tersebut tidak

berisiko terhadap gangguan kesehatan. Dengan demikian perlu dilakukan

analisis risiko siswa/i yang mengkonsumsi bakso mengandung boraks tersebut

sehingga diketahui kemungkinan gangguan kesehatan yang terjadi dan dapat

dilakukan manajemen risiko untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan

tersebut. Berdasarkan pemaparan tersebut, Peneliti tertarik untuk melakukan

studi Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan terhadap Siswa Siswi SDN

Cirendeu 02 Ciputat yang mengkonsumsi bakso mengandung boraks.


7

B. Rumusan Masalah

Siswa Sekolah Dasar Cirendeu 02 Ciputat merupakan populasi yang

berpotensi mengalami gangguan kesehatan akibat mengonsumsi pangan jajan

di sekitar sekolah yang mengandung boraks. Keberadaan boraks dalam

makanan apabila dikonsumsi terus menerus menyebabkan demam, anuria

(tidak terbentuknya urin), koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan

depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, kanker,

pingsan bahkan kematian. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah

dilakukan di SDN Cirendeu 02 Ciputat didapatkan hasil bahwa 1 sampel

bakso positif mengandung boraks. Selain itu, berdasarkan wawancara yang

dilakukan pada 30 siswa/i SDN Cirendeu 02 didapatkan hasil bahwa pangan

jajan yang paling sering dikonsumsi dan disukai oleh siswa/i tersebut yaitu

bakso. Dengan demikian diketahui bahwa terdapat siswa di SDN Cirendeu 02

Ciputat yang berisiko terhadap gangguan kesehatan akibat mengonsumsi

bakso mengandung boraks. Oleh karena itu Peneliti tertarik untuk melakukan

Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) paparan boraks pada siswa/i

SDN Cirendeu 02 Ciputat yang mengkonsumsi bakso.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik individu Siswa/I SDN (Usia, BB, TB,

dan Jenis Kelamin) di SDN Cirendeu 02 Ciputat yang mengkonsumsi

bakso mengandung boraks yang terdapat di SDN Cirendeu 02 ?


8

2. Berapa Konsentrasi boraks pada bakso di SDN Cirendeu 02 Ciputat?

3. Berapa lama pajanan dan frekuensi pajanan bakso mengandung boraks

pada siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat ?

4. Bagaimana gambaran nilai intake dan tingkat risiko (RQ) realtime dan

lifespan/proyeksi dalam 30 tahun yang akan datang ?

5. Bagaimana gambaran tingkat risiko kanker (ECR) dalam 70 tahun yang

akan datang ?

6. Bagaimana manajemen risiko kesehatan yang dapat dilakukan terhadap

populasi berisiko di SD Cirendeu 02 Ciputat?

D. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis risiko kesehatan

lingkungan pajanan boraks pada siswa yang mengkonsumsi bakso di

SDN Cirendeu 02 Ciputat tahun 2019

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran karakteristik individu Siswa/I SDN (Usia,

BB, TB, dan Jenis Kelamin) di SDN Cirendeu 02 Ciputat

b. Diketahuinya Konsentrasi boraks pada Bakso di SDN Cirendeu 02

Ciputat

c. Diketahuinya lama pajanan dan frekuensi pajanan boraks pada

Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat


9

d. Diketahuinya gambaran nilai intake dan tingkat risiko (RQ)

realtime dan lifespan/proyeksi dalam 30 tahun yang akan datang

e. Diketahuinya gambaran tingkat risiko kanker (ECR) dalam 70

tahun yang akan datang

f. Diketahuinya manajemen risiko kesehatan yang dapat dilakukan

terhadap populasi berisiko di SD Cirendeu 02 Ciputat

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pihak Sekolah Dasar

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan

pertimbangan bagi pihak Sekolah Dasar yang berwenang untuk

membuat keputusan dalam menurunkan tingkat risiko akibat kegiatan

penjualan makanan mengandung boraks.

2. Bagi Dinas Kesehatan

Informasi dari penelitian dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi

Dinas Kesehatan setempat terkait efek konsumsi makanan

mengandung boraks dan upaya manajemen risiko yang dapat

dilakukan untuk mengurangi risiko masalah kesehatan masyarakat

sehingga dapat dilakukan program yang tepat terkait keamanan

pangan.
10

3. Bagi Peneliti

a. Menambah ilmu pengetahuan peneliti terkait dampak dari

mengkonsumsi makanan mengandung boraks terhadap kesehatan.

Serta mengembangkan pola pikir peneliti dalam mengkaji

permasalahan keamanan pangan yang ada di lingkungan

masyarakat, sehingga dapat menemukan solusi pemecahan masalah

yang terjadi.

b. Sebagai referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian

serupa khususnya mengenai analisis risiko kesehatan akibat

konsumsi makanan mengandung boraks.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain studi Analisis Risiko Kesehatan

Lingkungan (ARKL) dengan menganalisis kejadian penyakit pada Siswa/i

Sekolah Dasar Cirendeu 02 Ciputat yang mengkonsumsi bakso mengandung

boraks. Boraks apabila dikonsumsi terus menerus akan terakumulasi didalam

tubuh yang dapat menimbulkan berbagai penyakit yaitu kerusakan ginjal,

kanker hingga kematian. Penelitian ini menggunakan desain studi Analisis

Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) dengan menganalisis kejadian

penyakit pada Siswa/i Sekolah Dasar Cirendeu 02 Ciputat yang

mengkonsumsi bakso mengandung boraks. Dalam pelaksanaannya, penelitian

ini dilakukan di area SDN Cirendeu 02 Ciputat dimulai bulan Desember 2018

sampai dengan bulan Mei 2019. Penelitian ini dilakukan dengan langkah
11

pengujian bakso yang mengandung boraks ke Laboratorium Kesehatan

Daerah DKI Jakarta untuk mendapatkan informasi konsentrasi boraks yang

terkandung dalam bakso tersebut menggunakan metode Spektrofotometer

UV-Vis. Data identitas responden seperti jenis kelamin dan usia dan data

mengenai konsumsi bakso didapatkan melalui wawancara. Sedangkan data

karakteristik siswa/i seperti tinggi badan dan berat badan didapatkan dari

pengukuran langsung.

Pengolahan data pada studi ini melalui beberapa tahapan dimulai dari

pengambilan data lapangan hingga pengujian univariat menggunakan software

Komputer. Adapun variabel pengujian univariat dalam penelitian ini yaitu

karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi

badan. Penelitian ini menggunakan desain studi ARKL yang dilakukan

dengan menghitung atau memprediksi konsentrasi personal (intake) boraks,

Tingkat Risiko Non-Kanker atau penyakit degenerative (RQ) dan Tingkat

Risiko Kanker (ECR) serta menghitung batas aman sehingga dapat dilakukan

upaya manajemen risiko.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Boraks

1. Sumber Boraks

Boron merupakan suatu unsur dalam kerak bumi yang apabila

berada pada lingkungan kemudian bereaksi dengan oksigen akan

menghasilkan senyawa boraks dengan demikian diketahui bahwa boraks

merupakan senyawa kimia turunan dari logam berat boron (ATSDR,

2015)

Boron merupakan unsur alami yang dapat ditemukan di laut,

batuan sedimen, batubara, dan tanah. Boron berada pada lingkungan

melalui pelapukan batuan, penguapan air laut, dan aktivitas gunung

berapi (U.S. National Library of Medicine, 2010). Boron adalah unsur

yang terdapat pada mineral yang ditemukan di kerak bumi dengan

konsentrasi rata-rata 8 mg / kg (sekitar 0,0008%). Boron ditemukan di

lingkungan apabila dikombinasikan dengan oksigen maka membentuk

senyawa yang meliputi asam borat, natrium tetraborat (juga disebut

boraks), dan boron oksida. Senyawa boron di lingkungan jarang terjadi

secara alami terikat dengan oksigen. Unsur boron diproduksi atau diolah

12
13

menjadi senyawa yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai

kegiatan perindustrian seperti boraks atau asam borat (ATSDR, 2010)

2. Sifat Fisik dan Kimia Boraks

Boraks berasal dari bahasa persia yaitu borak yang berarti putih

(Kathleen dan James, 2016). Boraks atau asam borat merupakan serbuk

padat yang tidak berbentuk, berwarna putih, tidak berbau, memiliki rasa

yang pahit, serta memiliki berat molekul 61,83. Boraks memiliki titik

didih yaitu 300oC, titik leleh 171oC, dan pH 5,1. Boraks merupakan

senyawa yang memiliki nama kimia natrium tetraborat yang berbentuk

Kristal dan lunak (BPOM, 2014). Boraks larut dalam alkohol panas dan

glycerol, agak larut dalam larutan ammonia, mudah larut dalam aseton,

dan sangat sedikit larut dalam eter (BPOM, 2015)

Gambar 2. 1 Fisik Boraks

Sumber : Yulizar. 2015.


14

Boraks mudah menguap dengan pemanasan dan kehilangan satu

molekul airnya pada suhu 100°C yang secara perlahan berubah menjadi

asam metaborat (HBO2). Boraks atau Asam borat merupakan asam

lemah dan garam alkalinya bersifat basa. Satu gram boraks larut

sempurna dalam air, sehingga larutan menjadi jernih dan tidak

berwarna. (Cahyadi, 2008)

Gambar 2. 2 Struktur Boraks

Sumber: NCBI U.S. National Library of Medicine, 2019

Boraks merupakan jenis senyawa kimia alami yang terbentuk

dari Boron (B) dan oksigen (O2). Boraks berupa senyawa kimia dengan

rumus Na2B4O7 10H2O berbentuk kristal putih, tidak berbau dan stabil

pada suhu dan tekanan normal. Dalam air, boraks berubah menjadi

natrium hidroksida dan asam borat. (Junianto, 2013). Boraks merupakan

kristal putih yang dapat larut dalam air dingin membentuk natrium

hidroksida yang memiliki sifat antiseptik (Padmaningrum dan Marwati,

2013)
15

Tabel 2. 1 Sifat Fisik dan Kimia Boraks

Sifat Fisik dan Kimia Informasi

Rumus Molekul B4Na2O710H2O

Berat Molekul 381,36

Berat Massa 201.981 g/mol

Titik Didih 1575oC (terurai)

Titik lebur 743 oC

pH pH = 9,3 pada oC (larutan 3%)

Bentuk Fisik Serbuk (padat)

Warna Putih

Bau Tidak berbau

Rasa Sedikit Pahit

Kelarutan dalam air Larut

Sumber : NCBI, 2019 ; U.S. Departement of Health and Human Services, 2017 ;

MSDS, 2009

3. Penggunaan Boraks

Boraks merupakan bahan anti septik dan pembunuh kuman.

Bahan ini banyak digunakan sebagai bahan anti jamur, pengawet kayu,

dan antiseptik pada kosmetik. Asam borat (boric acid) atau boraks

merupakan zat pengawet berbahaya yang tidak diizinkan digunakan

sebagai campuran bahan makanan.

Boraks merupakan bahan kimia yang digunakan sebagai

pengawet kayu, antiseptik kayu, dan pengontrol kecoa yang dalam


16

pemalsuan makanan digunakan sebagai pengenyal, menambah

kerenyahan, dan memperbaiki tesktur makanan.(Sajiman et al, 2015)

Boraks juga digunakan dalam pembuatan gelas dan enamel,

sebagai pengawet kayu, dan pembasmi kecoa (Fadilah, 2017). Boraks

memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi

sebagai ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres,

obat oles mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks juga digunakan

sebagai bahan solder, pembuatan gelas, bahan pembersih atau pelicin

porselin, pengawet kayu dan antiseptik kayu. Senyawa turunan boron

seringkali digunakan sebagai bahan pengawet, antiseptic, bahan pelapis

tahan air untuk kayu, campuran semen, bahan porselen, kaca, karpet,

pengerasan baja, dan kondensor listrik (BPOM, 2011)

Dalam pemalusan makanan, boraks efektif terhadap ragi, jamur

dan bakteri, sehingga seringkali disalahgunakan untuk mengawetkan

produk makanan. Selain itu Boraks dapat digunakan untuk

meningkatkan elastisitas dan kerenyahan makanan serta mencegah

makanan berubah menjadi hitam (Himawan, 2009).

Boraks sering digunakan pada berbagai industri non pangan

diantaranya industri bahan solder, pemutih pada industri kertas, bahan

pembersih, pada indusri kaca, gelas dan keramik sebagai pelapis untuk

menambah daya tahan terhadap suhu dan tekanan, antiseptik,

pengawet kayu, dan pengontrol kecoak (Muharrami, 2015). Boraks


17

dipergunakan dalam pembuatan produk kertas dan kertas karton

produk makanan, pembuatan semen, barang pecah belah, porselen,

kondensor listrik, produk kosmetik, dan pendingin reaktor nuklir (U.S

Departemen of Health and Human Services, 2017)

Pada proses pembuatan pembuatan bakso, tahu, ikan asin, mie,

pisang molen, siomay, lontong, ketupat, dan pangsit boraks seringkali

dimanfaatkan untuk mengawetkan atau memberikan tekstur kenyal

pada olahan makanan serta memperbaiki penampilan makanan

(Junianto, 2013 ; Fadilah, 2017). Dalam pembuatan bakso, seringkali

boraks disalahgunakan sebagai pengenyal dan pengawet

(Padmaningrum dan Marwati, 2013). Dalam proses pembuatan bakso,

boraks dicampurkan pada adonan yang berisi daging, tepung, beserta

bumbu kemudian bakso dibentuk dan direbus yang selanjutnya bakso

siap untuk dihidangkan (Eka, 2013)

4. Dampak Konsumsi Makanan Mengandung Boraks Terhadap

Kesehatan

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012

boraks dinyatakan sebagai bahan berbahaya yang dilarang digunakan

dalam pembuatan makanan. Apabila Boraks dikonsumsi maka akan

terserap oleh darah dan disimpan di dalam hati. Boraks bersifat tidak

mudah larut sehingga berakumulasi didalam organ tubuh. Sering

mengkonsumsi makanan mengandung boraks akan menyebabkan


18

gangguan otak, hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks

menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin), koma,

merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis,

tekanan darah turun, kerusakan ginjal, Kanker, pingsan bahkan

kematian. (Sultan et al, 2013)

Boraks memiliki efek racun yang sangat berbahaya pada sistem

metabolisme tubuh dan berbahaya bagi kesehatan tubuh. Dalam jangka

waktu lama walaupun dalam jumlah kecil boraks dapat terakmulasi

(penumpukan) pada otak, hati, lemak, dan ginjal. Konsumsi boraks

dapat menyebabkan demam, depresi, kerusakan ginjal, nafsu makan

berkurang, gangguan pencernaan, kebingungan, radang kulit, anemia,

kejang, pingsan, koma bahkan kematian (Padmaningrum dan Marwati,

2013)

Menurut BPOM pada tahun 2011 boraks merupakan bahan

beracun bagi seluruh sel di dalam tubuh. Boraks toksisitas boraks dalam

tubuh bergantung pada konsentrasi yang masuk dalam tubuh.

Mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak langsung

menimbulkan penyakit, akan tetapi senyawa boraks akan diserap dalam

tubuh dan akumulatif didalam tubuh terutama pada hati, otak, testis.

Boraks dapat pula menimbulkan gejala seperti pusing, mual, mencret,

dan kram perut. Organ sasaran toksikan boraks pada tubuh manusia

yaitu darah, ginjal, jantung, sistem saraf pusat


19

Boraks merupakan bahan kimia yang mempunyai sifat kasinogen

sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel hingga kanker (Natipulu dan

Abadi, 2018). Pemakaian boraks dalam makanan tidak diperbolehkan

dalam kadar apapun dikarenakan bahaya bagi kesehatan manusia.

(Athaya et al, 2015)

Apabila manusia mengkonsumsi makanan yang mengandung

boraks, maka dapat menyebabkan keracunan, gangguan otak, hati, lemak

dan ginjal. Pada anak-anak dalam masa pertumbuhan, mengkonsumsi

makanan mengandung boraks dapat menyebabkan karacunan pada sel-

sel otak sehingga terjadi gangguan kecerdasan dan intelektual. (Athaya

et al, 2015). Mengkonsumsi boraks dalam waktu yang lama dan jumlah

yang banyak dapat menyebabkan kanker (Pane et al, 2012)

a. Dampak Akut Mengkonsumsi Boraks

Dampak akut merupakan dampak paparan jangka pendek yang

terjadi apabila mengkonsumsi makanan mengandung boraks.

Adapun dampak akut mengkonsumsi boraks yaitu dapat mengiritasi

saluran pencernaan, dapat menyebabkan mual, muntah, diare, kram

perut, dosis besar dapat menyebabkan peredaran darah yang tidak

berjalan dengan baik, kondisi percepatan detak jantung (takikardia),

kekurangan oksigen dalam darah sehingga menyebabkan selaput

lendir berwarna kebiru-biruan (sianosis), kehilangan kesadaran

akibat perubahan cepat fungsi otak (delirium), kejang-kejang dan


20

koma. Mengkonsumsi boraks juga dapat menyebabkan depresi saraf

pusat yang di ikuti dengan sakit kepala, pusing, dan depresi.

Kematian telah dilaporkan terjadi pada orang dewasa dari dosis 5

sampai 20 gr. Selain itu konsumsi boraks dalam dosis tinggi dapat

menyebabkan depresi susunan syaraf pusat atau gagal ginjal,

eritroderma yang diikuti pengelupasan kulit, lecet, melepuh dan

bula (gelembung berisi cairan) yang pada akhirnya merata

keseluruh tubuh. Dapat juga mempengaruhi faring dan selaput

gendang telinga. Terjadinya kerusakan ginjal mungkin terjadi,

terutama nekrosis pada saluran ginjal, ditandai dengan oliguria,

albuminuria dan anuria. Kerusakan hati disertai penyakit kuning

dan pembesaran hati jarang terjadi. Gejala lain keberadaan boraks

pada tubuh manusia dapat meliputi asidosis (kadar asam dalam

tubuh sangat tinggi), koagulasi intravaskular, anemia, berkurangnya

penglihatan dan demam. (BPOM, 2015 ; Utami, 2015).

Mengkonsumsi makanan mengandung boraks dapat menyebabkan

iritasi mata, batuk, kesulitan bernafas, bahkan kematian (See, Ang

Swi, et al, 2010)

b. Dampak Kronis Mengkonsumsi Boraks

Dampak kronis mengkonsumsi boraks merupakan dampak

paparan jangka panjang yang terjadi apabila mengkonsumsi

makanan mengandung boraks. Adapun dampak kronis


21

mengkonsumsi makanan mengandung boraks yaitu pada dosis

tinggi dapat menyebabkan depresi sirkular, kondisi percepatan

detak jantung (takikardia), selaput lendir berwarna kebiru-biruan

(sianosis), koma dan kematian. Mengkonsumsi boraks berulang

dapat mengakibatkan iritasi pada lambung dan usus disertai

gangguan pencernaan, kehilangan nafsu makan, mual, muntah,

ruam kulit dan eritema (kemerahan), kekeringan pada kulit dan

membran mukosa, disertai bibir pecah-pecah, lidah kemerahan,

rambut rontok, radang selaput ikat mata, palpebral edema dan gagal

ginjal. Uji pada hewan dilaporkan bahwa dosis berulang secara

terus-menerus menyebabkan adanya efek reproduksi (BPOM, 2015)

Apabila boraks terakumulasi pada tubuh manusia, maka boraks

akan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan

penyakit-penyakit seperti antara lain kanker dan tumor pada organ

tubuh manusia. Efek samping konsumsi makanan mengandung

boraks dapat mempengaruhi fungsi otak sehingga menyebabkan

gangguan perilaku meliputi gangguan tidur, gangguan konsentrasi,

gangguan emosi, hiperaktif dan memperberat gejala pada penderita

autis (Yulizar, 2015). Efek kronis dari mengkonsumsi makanan

mengandung boraks yaitu gangguan perkembangan dan sistem

reproduksi, neurotoksik (gangguan syaraf) dan nefrotoksik

(mengganggu kinerja ginjal) (Utami, 2015).


22

5. Analisis Kualitatif Boraks Menggunakan Food Securty Kit (Test Kit

Boraks)

Pengujian atau analisis boraks secara kualitatif dilakukan untuk

mengidentifikasi keberadaan senyawa boraks pada sampel makanan.

Keberadaan boraks pada makanan dapat diketahui berdasarkan

perubahan warna dari ekstrak makanan yang diuji pada kertas warna

kuning yang digunakan dalam kegiatan pengujian (Tubagus, dkk. 2013).

Gambar 2. 3 Test Kit Boraks

Sumber : http://www.etgroupbiz.com/2018/09/test-kit-4-varian-tes-uji-

keamanan.html

Test kit boraks merupakan sebuah seperangkat bahan yang

digunakan untuk mendeteksi keberadaan senyawa boraks dalam

sampel pangan. Test kit boraks merupakan alat uji cepat kualitatif

untuk mendeteksi kandungan boraks dalam makanan dengan batas

sensitivitas deteksi 100 mg/kg (100 ppm). Test kit boraks terdiri dari
23

reagent cair, kertas kuning, dan botol untuk pengujian sampel (ET

Group Biz, 2019)

Pengujian kualitatif boraks pada makanan menggunakan test

kit boraks dapat dilakukan dengan langkah menghaluskan sampel

makanan dan memberi air panas sebanyak 2 ml pada sampel tersebut,

kemudian diaduk dan didiamkan selama beberapa saat. Selanjutnya

sebanyak 1 ml larutan sampel makanan tersebut dituangkan kedalam

tabung reaksi kemudian ditetesi pereaksi boraks (reagen cair)

sebanyak 10 tetes dan dikocok beberapa menit. Setelah itu kertas

indikator test boraks dicelupkan ke dalam larutan tersebut lalu tunggu

hingga kertas indikator kering. Apabila perubahan warna merah terjadi

pada kertas indikator maka makanan yang diuji positif mengandung

boraks (Rumanta, et al, 2016).

Penambahan reagen cair ke dalam sampel makanan pada

metode pengujian kualitatif praktis seperti test boraks kit

menyebabkan boraks yang terkandung dalam makanan akan

membentuk senyawa kompleks yang akan menimbulkan perubahan

pada kertas pengujian yang dapat diamati dengan mata telanjang

(Monnier, D, P. Wenger, Et al. 2002). Reagen cair dalam test boraks

kit merupakan cairan yang terbuat dari campuran larutan asam basa

yang berfungsi untuk mengurai boraks sehingga terpisah dari makanan


24

yang diuji agar selanjutnya boraks dapat terdeteksi menggunakan

kertas uji (ET Group Biz, 2019)

Metode test boraks kit menggunakan kertas uji khusus yang

telah ditanam zat pewarna kuning yang diekstrak dari tumbuhan

curcuma tinctonia yang mampu mendeteksi keberadaan boraks dengan

perubahan warna yang dapat ditentukan secara visual. Curcuma

tinctonia (curcumin) akan bereaksi dengan unsur boron yang

terkandung pada senyawa boraks sehingga membentuk senyawa

kompleks berwarna merah bata atau merah. Apabila terlihat

pembentukan warna merah bata atau merah pada kertas uji maka

makanan yang diujikan menggunakan boraks test kit tersebut positif

mengandung boraks.

Setelah dilakukannya pengujian kualitatif untuk mengetahui

ada atau tidaknya boraks terkandung dalam makanan selanjutnya akan

dilakukan pengujian kuantitatif boraks yang bermanfaat untuk

mendapatkan infomasi yang akurat mengenai konsentrasi boraks yag

terkandung dalam makanan yang diuji.

6. Analisis Kuantitatif Boraks Menggunakan Spektrofotometer

Analisis kuantitatif boraks merupakan suatu analisis yang

dilakukan untuk mengetahui konsentrasi atau kadar dari senyawa

boraks yang terkandung dalam suatu makanan. Analisis kuantitatif


25

boraks dapat dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer

UV-Vis yang memiliki sensitifitas tingggi pada kadar zat kimia yang

sangat kecil (Lestari dan Kresnadipaya, 2017)

Gambar 2. 4 Spektrofotometer UV-Vis

Analisis boraks secara kuantitatif dengan spektrofotometer UV-

Vis dilakukan dengan menggunakan bahan sampel makanan yang akan

dianalisis dan aquadest. Alat yang dibutuhkan untuk analisis yaitu

cawan, pinset, botol semprot, cuvet, muffle furnace dan

spektrofotometer UV-Vis. Kegiatan analisis boraks secara kuantitatif

dengan spektrofotometer UV-Vis dilakukan dengan langkah sebagai

berikut :

1. Ambil sampel sebanyak 100 gr kemudian tambahkan 300 ml

aquadest panas, kemudian haluskan. Selanjutnya tambahkan 20 ml

HCl 4 N dan panaskan diatas penangan air selama 10 menit sambil


26

diaduk, kemudian disaring, sisa penyaringan dibilas dengan 100 ml

aquadest panas. Filtrat yang diperoleh dicukupkan dengan sehingga

volumenya 250 ml dalam labu ukur.

2. Pipet filtrat sebanyak 50 ml kemudian tambahkan 75 ml methanol

kemudian di destilasi pada suhu 85oC - 90oC selama 110 menit dan

destilat ditampung dengan 10 ml gliserin 3%

3. Destilat yang diperoleh dipanaskan pada pelat pemanas sampai

kering. Panaskan pada tungku pengabuan (furnace) 600oC, lalu

didinginkan

4. Tambah dengan 20 ml larutan kurkumin dan panaskan pada suhu

55oC-57oC hingga kering, kemudian tambahkan etanol sampai 25

ml, biarkan selama 1 jam dan selanjutnya diukur absorbansinya

dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 524 nm (Hartati,

2017)

7. Nilai Batasan Pajanan Boraks

Boraks atau asam borat merupakan salah satu bentuk dari unsur

semimetal boron (Pusparizkita, 2017). Boraks merupakan senyawa turunan

boron yang memiliki sifat kimia dan fisik yang berdekatan dengan boron,

dengan demikian toksisitas dari boraks serupa dengan boron. Reference Dose

(RfD) adalah dosis atau konsentrasi pajanan harian agen risiko non

karsinogenik yang di estimasi tidak menimbulkan efek atau merupakan

ambang batas timbulnya efek kesehatan pada manusia akibat keberadaan


27

suatu zat tertentu. Nilai referensi dosis (RfD) dari boron beserta turunannya

yaitu 2E-1 mg/kg-day atau setara dengan 0,2 mg boraks/kg/hari (IRIS, 2004 ;

Mt. Hough Ranger Distric, Plumas National Forest Plumas Country

California, 2006 ; EPA, 2004). Reference Dose (RfD) digunakan dalam

perhitungan analisis risiko kesehatan lingkungan untuk mendapatkan nilai

tingkat risiko non kanker akibat pajanan suatu zat kimia.

Menurut standar dari WHO, dosis fatal boraks berkisar dari 3-6 gram

perhari untuk anak kecil dan bayi, untuk dewasa sebanyak 15-20 gr per-hari

dapat menyebabkan kematian. Slope Factor (SF) merupakan dosis atau

konsentrasi dari pajanan harian agen risiko karsinogenik yang tidak

menyebabkan gangguan atau kanker walaupun terjadi pajanan sepanjang

hayat. Dalam perhitungan analisis risiko kesehatan lingkungan, Slope Factor

digunakan untuk mendapatkan nilai tingkat risiko kanker akibat pajanan dari

suatu zat kimia. Jika tidak ditemukan nilai Slope Factor (SF) maka dalam

perhitungan tingkat risiko dapat digunakan dari dosis eksperimental lain

seperti No Observed Effect Level (NOAEL) (Direktoral Jendral PP dan PL

KEMENKES, 2012). Slope factor dinyatakan dalam satuan (mg/kg/day)-1,

sehingga nilai NOAEL yang digunakan untuk perhitungan tingkat risiko

kanker dikonversi sesuai dengan satuan slope factor.

No Observed Effect Level (NOAEL) merupakan dosis tertinggi dari

suatu zat yang tidak menimbulkan efek merugikan pada manusia dan hewan.

NOAEL zat kimia boraks yaitu sebesar 8,8 mg/kg berat badan perhari (EPA,
28

2006). Berikut merupakan perhitungan yang dilakukan untuk mengkonversi

nilai NOAEL agar bisa digunakan dalam perhitungan tingkat risiko :

NOAEL boraks = 8,8 mg/kg/hari

NOAEL boraks = (mg/kg/day)-1

NOAEL boraks = 0,113 (mg/kg/day)-1

Dengan demikian, dalam perhitungan tingkat risiko karsinogen, nilai

NOAEL yang digunakan yaitu sebesar 0,113 (mg/kg/day)-1. Berikut ini

merupakan tabel toksisitas boraks :

Tabel 2. 2 Toksisitas Boraks

Indikator
Jalur Masuk Makhluk Hidup Dosis/Konsentrasi
Toksisitas
LDL0 Oral Manusia 492 mg/kg
LD50 Oral Tikus (mouse) 3450 mg/kg
LD50 Oral Tikus (rat) 2660 mg/kg
LD50 Kulit Kelinci >2000 mg/Kg Berat Badan
Sumber : PIC Corporation 1101 W.Elizabeth Ave, 2008 ; SIKerNas BPOM RI, 2011)

8. Mekanisme Pajanan ke Manusia (Jalur Masuk) Boraks

Boraks dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga rute paparan

yaitu terhirup (inhalasi), kontak dengan kulit (absorbs), dan tertelan (ingesti).

Rute paparan terhirup boraks dapat terjadi apabila boraks baik dalam

konsentrasi rendah hingga tinggi berada di udara tempat manusia melakukan

aktivitas. Pemajanan boraks dapat pula terjadi melalui rute pajanan kontak

dengan kulit, akan tetapi boraks tidak dapat menembus kulit yang utuh
29

sehingga pada kulit yang sehat tidak akan menimbulkan gangguan penyakit

(BPOM RI, 2011 ; U.S. Departement of Health and Human Services, 2010)

Jalur utama masuknya boraks kedalam tubuh manusia yaitu melalui

oral. Pemajanan boraks melalui saluran cerna terjadi bersama makanan

mengandung boraks yang dikonsumsi. Pada jalur ini memungkinkan boraks

terserap dari rongga mulut (sub lingual), lambung sampai usus halus. Cairan

getah lambung bersifat sangat asam, sehingga senyawa asam-asam lemah

seperti boraks akan berada dalam bentuk non-ion yang lebih mudah larut

dalam lipid dan mudah terdifusi, sehingga senyawa-senyawa tersebut akan

mudah terserap di dalam lambung (Wirasuta dan Niruri, 2006). Ketika

makanan mengandung boraks masuk ke dalam tubuh manusia maka akan

dicerna di dalam tubuh manusia yang selanjutnya akan menuju ke organ target

dan terakumulasi sesuai dengan kuantitas mengkonsumsi makanan

mengandung boraks (ATSDR, 2015)

9. Faktor yang Mempengaruhi Toksisitas Boraks dalam Tubuh Manusia

Boraks merupakan bahan kimia toksik yang dilarang digunakan

sebagai tambahan pada makanan dikarenakan berbahaya dan dapat

menyebabkan penyakit dalam tubuh manusia. Toksisitas merupakan

kemampuan suatu zat untuk menimbulkan kerusakan organ tubuh manusia.

Toksisitas boraks di dalam tubuh manusia bervariasi yang dipengaruhi oleh

usia dan kemampuan metabolisme tubuh (Bakirdere,et al, 2010). Toksisitas


30

boraks didalam tubuh manusia dipengaruhi oleh jumlah asupan yang diterima

(dosis/konsentrasi) serta keseringan keterpaparan (Thistel, Harold, 2016)

Keracunan makanan berisiko pada semua golongan umur, akan tetapi

yang memiliki resiko tinggi terhadap keracunan yaitu bayi, anak-anak, lansia

dan manusia yang memiliki imunitas rendah. (Osei-Tutu, 2016). Anak-anak

masih memiliki sistem imun yang belum berkembang secara optimal sehingga

memungkinkan perlawanan tubuh terhadap toksikan masih belum optimal

(Lund, 2011)

Tingkat risiko dari paparan boraks dalam tubuh manusia dipengaruhi

oleh kadar atau konsentrasi boraks yang terkandung pada makanan yang

selanjutnya akan masuk ke dalam tubuh manusia, laju asupan, dan durasi

pajanan boraks tersebut. Laju asupan merupakan banyaknya makanan yang

mengandung boraks yang dikonsumsi tiap harinya yang dihitung dalam satuan

gram perhari. Durasi pajanan merupakan lama mengkonsumsi makanan

mengandung boraks dalam satuan tahun. Berat badan juga berperan dalam

tingkat risiko paparan boraks. Semakin besar berat badan maka semakin besar

pula kadar atau konsentrasi boraks yang dibutuhkan untuk menimbulkan

gangguan kesehatan pada manusia begitu pula sebaliknya, semakin kecil berat

badan maka semakin kecil pula kadar atau konsentrasi boraks yang dapat

menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia tersebut (Daud dan Dullah,

2014)
31

10. Toksikokinetik Boraks dalam Tubuh Manusia

Toksikokinetik merupakan fase boraks sudah berada dalam tubuh

manusia yang siap untuk diabsorpsi menuju aliran darah atau pembuluh limfe.

Boraks akan mengkuti aliran darah atau limfe yang kemudian di distribusikan

ke seluruh tubuh dan menuju organ target. Pada saat yang sama boraks dapat

termetabolisme atau terekskresi bersama urin ataupun sistem ekskresi lainnya.

(Wirasuta dan Niruri, 2006)

a. Absorpsi

1. Jalur/rute pajanan inhalasi

Boraks yang terdapat di udara masuk ke dalam tubuh pekerja

produksi boraks melalui saluran pernapasan. Boraks yang masuk ke

saluran pernapasan tersimpan dan terakumulasi di saluran napas. Pada

orang yang terpapar, boraks ditemukan dalam darah dan urin. Boraks

yang masuk ke dalam tubuh diserap dan didistribusikan secara

sistemik (U.S. Departement of Health and Human Services, 2010)

2. Jalur/rute pajanan melalui kulit

Boraks tidak dapat menyerap pada bagian kulit yang utuh

sehingga tidak masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat. Pada

kulit yang rusak boraks dapat terserap dan masuk dalam aliran darah

(U.S. Departement of Health and Human Services, 2010)


32

3. Jalur/rute pajanan melalui saluran cerna

Boraks diserap dengan baik apabila masuk kedalam tubuh

manusia melalui saluran pencernaan. Boraks dapat diekskresikan

melalui urin dalam waktu 96 jam, dengan demikian dimungkinkan

terjadi penyerapan di dalam tubuh yang dapat terakumulasi didalam

tubuh (EPA, 2004). Diperkirakan fraksi penyerapan boraks secara

oral pada manusia yaitu berkisar 81-92 % dan 95 % pada tikus (U.S.

Departement of Health and Human Services, 2010)

Boraks atau asam borat yang terabsorpsi dalam tubuh di

ekskresikan melalui urin selama 12 jam kurang lebih 50 % dari

jumlah yang terabsorpsi didalam tubuh, sedangkan sisanya

diekskresikan selama 3-7 hari atau mungkin lebih. Asam borat dan

senyawanya dalam tubuh akan terekskresi dalam waktu yang lama

sehingga dapat menyebabkan terjadinya akumulatif pada lemak, hati,

otak, testis, dan ginjal. Apabila tidak termetabolisme maka akumulasi

akan terus terjadi pada tubuh. Dalam memecah boraks didalam tubuh

membutuhkan energi yang sangat besar sehingga senyawa borat

sangat mungkin tetap dapat terakumulasi didalam tubuh (Febri, 2007)

b. Distribusi

Asam borat atau boraks yang masuk ke dalam tubuh akan

terdistribusi secara merata di seluruh jaringan lunak tubuh dan dapat

terakumulasi dalam tulang. Kadar asam borat didalam ginjal meningkat


33

seiring dengan peningkatan akumulasi didalam tubuh. (NPIC, 2012).

Distribusi boraks didalam tubuh dapat terjadi disepanjang alat

pencernaan dan kemudian terdistribusi melalui membran menuju

sirkulasi sistemik yang kemudian akan terakumulasi dalam organ

tertentu. (Wirasuta dan Niruri, 2006)

Metabolisme boraks yang masuk ke dalam tubuh melalui oral

akan terjadi di dinding usus dengan bantuan enzim-enzim katalisis

mempunyai kemampuan untuk melakukan metabolisme (reaksi biokimia)

bagi boraks sebelum mencapai pembuluh darah vena hepatika. Setelah

boraks diabsorpsi dari saluran cerna maka dibawa dari pembuluh-

pembuluh kapiler darah di mikrovili usus melalui pembuluh vena

hepatika menuju hati. Hati adalah tempat utama terjadinya reaksi

metabolisme. Boraks mengalami reaksi metabolisme di hati sebelum

menuju tempat kerjanya atau sebelum didistribusikan ke seluruh tubuh.

Metabolisme boraks didalam tubuh manusia dapat mengeluarkan

senyawa boraks didalam tubuh sebagai proses detoksifikasi yang

dipengaruhi oleh kemampuan tubuh dalam metabolisme didalam organ

hati. Akan tetapi jika tubuh tidak dapat melakukan metabolisme boraks

maka akan terjadi akumulasi di organ tubuh (Wirasuta dan Niruri, 2006)

Studi menunjukkan bahwa senyawa boraks didalam tubuh

manusia didistribusikan secara merata ke seluruh jaringan lunak tubuh

dan dapat terakumulasi pada tulang. Berdasarkan penelitian terjadi


34

akumulasi senyawa boraks pada testis dan epididimis. Apabila tidak

termetabolisme oleh tubuh maka senyawa boraks akan terdapat pada

plasma, hati, ginjal, adipose (lemak), otot, tulang, usus besar, otak,

hypothalamus, testis, epididimis, kelenjar adrenal dan prostat. Apabila

paparan boraks tetap terjadi maka keberadaan boraks pada tulang,

adipose, ginjal, otak, hati, jantung, dan darah terus meningkat (EPA,

2015)

c. Eliminasi

Eliminasi atau ekskresi boraks dapat terjadi melalui urin

sehingga menurunkan akumulasi dan dosis didalam tubuh. Rute

utama eliminasi boraks dalam tubuh yaitu melalui urin atau air seni,

sedangkan jalur eleminasi minor boraks dalam tubuh manusia yaitu

melalui air liur, keringat, dan feses (EPA, 2015).

Boraks didalam tubuh dapat diturunkan dosisnya melalui

ekskresi lewat urin, akan tetapi memecah boraks didalam tubuh

membutuhkan energi yang besar sehingga keberadaan boraks pada

tubuh manusia bergantung pula pada kemampuan tubuh untuk

memerangi toksikan didalam tubuh (Febri, 2007)

11. Toksikodinamik Boraks dalam Tubuh Manusia

Fase toksikodinamik merupakan interaksi antara boraks dengan organ

target didalam tubuh dan juga proses-prose yang terkait dimana pada akhirnya
35

muncul efek toksik (Wirasuta dan Niruri, 2006). Organ target atau organ

sasaran dari akumulasi boraks yaitu susunan syaraf pusat dan ginjal (BPOM,

2015)

Efek toksis dari boraks akan menyerang langsung pada sistem saraf pusat

dan menimbulkan gejala keracunan seperti mual, muntah dan diare, kejang

perut, iritasi kulit dan jaringan lemak, gangguan peredaran darah, takikardia,

sianosis, delirium, koma dan kematian. (Febri, 2007)

Apabila tubuh tidak mampu melakukan metabolisme teradap boraks maka

boraks akan terakumulasi dalam tubuh. Boraks didalam tubuh dapat

menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin), koma, merangsang

sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun,

kerusakan ginjal, Kanker, pingsan bahkan kematian. (Sultan et al, 2013).

Pemberian dosis boraks yang berulang dan tidak termetabolisme oleh

tubuh akan menyebabkan timbulnya efek hematologis yang merugikan bagi

manusia. Akumulasi boraks di dalam tubuh akan mengganggu sistem darah

haemotopoiesis ekstramedular (kegiatan produksi sel darah), mengurangi

volume sel darah merah dan hemoglobin, dan deposisi haemosiderin

(pembentukan protein darah) dalam limpa, hati dan tubulus proksimal ginjal

(EPA, 2015).
36

B. Keamanan Pangan

Makanan atau pangan merupakan kebutuhan pokok manusia (basic

need) yang bersifat mudah rusak (perishable). Pada makanan akan terjadi

perubahan secara fisik, kimia, dan mikrobiologi yang akan menurunkan

kualitas makanan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas

makanan yakni menjaga keamanan pangan yang meliputi menjaga pangan

dari cemaran secara fisik, kimiawi, mekanik dan mikrobiologis dalam

berbagai proses pembuatan makanan, yaitu tahapan persiapan (alat dan

bahan), pelaksanaan (pengolah makanan dan proses pengolahan), dan

pengemasan sehingga menghasilkan produk yang berkualitas. (Andayani,

2014)

Keamanan makanan merupakan suatu upaya yang menciptakan

kondisi makanan yang baik sehingga makanan terhindar dari kontaminasi

(Ningsih, 2014). Keamanan pangan merupakan kebutuhan masyarakat,

dengan mengkonsumsi makanan yang aman, masyarakat akan terlindungi dari

berbagai macam penyakit. Pangan yang tidak aman dapat menyebabkan

penyakit foodborne diseases yaitu gejala penyakit yang timbul akibat

mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun dan

organisme patogen (Nurlaela, 2011)

Keamanan pangan merupakan suatu kondisi dan upaya yang

diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan pencemaran biologis,

kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan
37

kesehatan manusia. Keamanan Pangan berarti pangan yang akan dikonsumsi

oleh manusia aman serta bermutu dan bergizi tinggi yang berperan dalam

pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta

peningkatan kecerdasan masyarakat (Jafar, 2012)

Keamanan Pangan (Food Safety) berdasarkan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi

pangan merupakan suatu kondisi dan upaya yang dilakukan untuk mencegah

pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat

mengganggu, merugikan, dan membahayakan bagi kesehatan manusia.

Berdasarkan definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa

keamanan pangan merupakan suatu upaya atau kondisi yang dilakukan untuk

menjaga ataupun mencegah makanan dari cemaran fisik, kimia, dan biologis

yang dapat menggangu dan membahayakan bagi kesehatan manusia sehingga

makanan aman untuk dikonsumsi.

Proses penyelenggaraan makanan harus dilaksanakan untuk

menyediakan makanan yang berkualitas baik serta aman bagi kesehatan,

memperkecil kemungkinan risiko penularan penyakit serta gangguan

kesehatan yang disebabkan melalui makanan. Dalam proses menyiapkan

makanan harus dilaksanakan dengan menerapkan proses sanitasi dan higiene

dari proses pengadaan bahan makanan, proses penyimpanan makanan,

pengolahan makanan, hingga makanan siap untuk dikonsumsi.


38

Dalam proses penyelenggaraan makanan hal yang perlu diperhatikan

yang berkaitan dengan sanitasi dan higiene makanan mencangkup pengadaan

bahan makanan yang bebas dari cemaran fisik, kimia, maupun biologi,

kebersihan peralatan pengolahan makanan, proses pengolahan makanan,

sanitasi sarana fisik, ruangan, tempat penyimpananan dan penyajian makanan,

peralatan makan, serta hygiene personal yang menangani makanan.

(Marwanti, 2012)

C. Pangan Jajan

1. Definisi Pangan Jajan

Pangan jajan adalah makanan atau minuman yang disajikan dalam

wadah atau sarana penjualan di pinggir jalan, tempat umum atau tempat

lain, yang terlebih dahulu sudah dipersiapkan atau dimasak di tempat

produksi, di rumah, atau di tempat berjualan. Makanan tersebut dapat

langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih

lanjut (Mavidayanti dan Mardiana, 2016)

Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang dipersiapkan

dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat

keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa

pengolahan atau persiapan lebih lanjut. Makanan jajan juga dapat

dikatakan sebagai makanan yang diperjualbelikan baik dengan tempat

berjualan menggunakan kios, gerobak ataupun tempat berjualan yang


39

dapat berpindah-pindah yang biasanya dijual dengan berbagai variasi

harga (Mudzkirah, 2016)

Berdasarkan buku pedoman jajanan anak sekolah untuk mencapai gizi

seimbang, Pangan Jajan Anak Sekolah (PJAS) adalah pangan atau

makanan yang dijumpai di lingkungan sekolah dan secara rutin

dikonsumsi oleh sebagian besar anak sekolah. Pangan jajan anak sekolah

merupakanan produk makanan olahan yang biasa diperjual belikan di

Sekolah baik yang dikelola oleh sekolah ataupun pedagang kaki

lima.(Wariyah dan Sri, 2013). Pangan jajanan banyak dijumpai di

lingkungan sekitar sekolah dan umumnya rutin dikonsumsi oleh sebagian

besar anak usia sekolah. (BPOM, 2008). Kebiasaan anak sekolah,

terutama anak sekolah dasar (SD) adalah jajan di sekolah. Mereka tertarik

dengan jajanan sekolah karena warnanya yang menarik, rasanya yang

enak, dan harganya yang terjangkau sehingga memungkinkan untuk

mengkonsumsi makanan yang tidak sehat (Putra, 2009).

2. Jenis Pangan Jajan

Pangan jajan yang diperjual belikan dikelompokkan menjadi empat,

yaitu makanan sepinggang, makanan cemilan, minuman dan buah.

Makanan sepinggan adalah makanan utama atau makanan yang

mengenyangkan apabila dikonsumsi yang biasanya dikonsumsi pada

waktu makan (sarapan, makan siang, atau makan malam), seperti mie

ayam, nasi uduk nasi goreng, bakso, gado-gado, dan lain sebagainya.
40

Cemilan atau snack merupakan makanan yang dikonsumsi antara dua

waktu makan. Cemilan atau snack terbagi menjadi dua jenis yaitu cemilan

kering dan cemilan basah. Cemilan kering berupa produk ekstruksi,

keripik, biskuit, kue kering, dan lain sebagainya, sedangkan cemilan basah

berupa lumpia, lemper, pisang goreng, risoles, dan lain sebagainya.

Pangan jajan minuman berupa minuman kemasan, air mineral, jus, es

campur dan lain sebagainya. Pangan jajan buah yang diperjual belikan

berupa buah potong, sop buah, buah utuh, dan lain sebagainya (Nasution,

2009)

Makanan selingan berfungsi untuk memberikan asupan gizi sehingga

tubuh dapat menjaga kadar gula sehingga anak sekolah dapat

berkonsentrasi untuk melakukan aktivitas di sekolah. Makanan selingan

dapat berupa bekal dari rumah atau berupa Pangan Jajan Anak Sekolah

(PJAS). Berdasarkan Pedoman Jajajanan Anak Sekolah untuk Pencapaian

Gizi Seimbang, jenis pangan jajan dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu

sebagai berikut :

a. Makanan utama atau sepinggan

Kelompok makanan utama atau jajanan berat merupakan jajanan

yang bersifat mengenyangkan, yaitu mie ayam, bakso, bubur ayam,

nasi goreng, gado-gado, soto, lontong isi, sayuran atau daging, dan

lain-lain.
41

b. Camilan atau snack

Camilan atau snack merupakan makanan yang biasanya dikonsumsi

diluar makanan utama. Camila atau snack dibedakan menjadi dua

jenis yaitu camilan basah dan camilan kering. Camilan basah

berupa gorengan, lemper, kue lapis, donat, dan jelly, sedangkan

camilan kering berupa kripik, biscuit, kue kering, dan permen.

c. Minuman

Minuman yang diperjual belikan dapat berupa minuman yang

disajikan dalam gelas dan minuman yang disajikan dalam kemasan.

Minuman yang disajikan dalam gelas antara lain air putih, es teh

manis, es jeruk, dan berbagai macam minuman campur (es cendol,

es campur, es buah, es doger, jus buah, dan es krim), sedangkan

minuman yang disajikan dalam kemasan yaitu minuman ringan

dalam kemasan berupa minuman bersoda, teh, sari buah, susu dan

yoghurt.

d. Jajanan Buah

Buah yang menjadi jajanan anak sekolah dapat berupa buah yang

masih utuh atau buah yang sudah dikupas dan dipotong.Buah utuh

dapat berupa buah manggis, buah jeruk, sedangkan buah potong

berupa papaya, nanas, melon, semangka, dan lain-lain.


42

3. Bakso

Bakso merupakan salahsatu pangan jajan jenis makanan sepinggan

yang banyak diperjualbelikan. Bakso didefinisikan sebagai daging yang

dihaluskan, dicampur dengan tepung pati, lalu dibentuk bulat-bulat dengan

tangan sebesar kelereng atau lebih besar dan dimasukkan ke dalam air

panas jika ingin dikonsumsi. Adonan bakso dibuat dengan langkah

memotong kecil-kecil daging, kemudian di haluskan menggunakan

blender, kemudian di berikan berbagai macam bumbu, tepung dan kanji,

dibentuk bulat dan selanjutnya di dinginkan. Apabila ingin dikonsumsi

bakso terlebih dahulu direbus hingga matang. (Mudzkirah, 2016)

Bakso merupakan makanan khas Indonesia yang digemari oleh banyak

orang. Dalam pembuatan bakso, bahan baku utama yang digunakan yaitu

daging bisa berupa daging sapi, ikan ataupun ayam, dan bahan tambahan

lainnya seperti tepung, garam, es, Sodium Tripolyposphat (STPP) dan

bumbu penyedap (Sari dkk. 2015)

Bakso merupakan produk makanan yang terbuat dari bahan utama

daging yang dilumatkan, dicampur dengan bahan-bahan lainnya, dibentuk

bulat yang kemudian direbus. Istilah bakso diikuti dengan jenis

dagingnya, seperti bakso ikan, bakso ayam, dan bakso sapi. Berdasarkan

bahan bakunya yang ditinjau berdasarkan jenis daging dan tepung yang

digunakan, bakso dibedakan menjadi tiga jenis yaitu bakso daging, bakso

urat, dan bakso aci. Bakso daging terbuat dari daging yang sedikit
43

mengandung urat dengan penambahan tepung lebih sedikit daripada berat

daging yang digunakan.

Bakso urat merupakan bakso yang terbuat dari daging yang banyak

mengandunng jaringan ikat atau urat, seperti daging iga dengan

penambahan tepung lebih sedikit daripada jumlah daging yang digunakan.

Bakso aci merupakan bakso dengan jumlah penambahan tepung lebih

banyak dibandingkan dengan jumlah daging yang digunakan. (Tiven et al,

2007)

Proses pembuatan bakso dilakukan dengan langkah membersihkan

daging, perendaman daging dengan es batu, menggiling garam dapur dan

daging, proses pengahancuran daging, penambahan tepung tapioka sesuai

dengan selera, proses pencampuran daging dengan tepung, dan proses

mencetak daging dengan tangan atau bantuan sendok.

Proses pematangan bakso dilakukan dengan langkah memasukkan

bakso yang telah dicetak ke dalam air hangat dengan suhu 600C hingga

800C dan dibiarkan sampai mengembang. Setelah mengembang bakso

dipindahkan ke dalam air mendidih dan dipanaskan sampai bakso matang,

yaitu sekitar 10 menit.

Parameter bakso yang diperhatikan oleh para pengolah bakso ataupun

konsumen yaitu tekstur, warna, dan rasa. Tekstur yang bakso disukai

biasanya halus, kenyal dan empuk. Warna bakso yang disukai yaitu

bersih, terang, dan tidak menggelap. Dalam pembuatan bakso tidak jarang

boraks masih dipergunakan untuk menghasilkan produk yang awet,


44

kenyal, dan tidak lengket padahal boraks merupakan salah satu bahan

kimia yang dilarang penggunaannya dalam produk pangan yang

berbahaya bagi kesehatan tubuh (Utami, 2007). Berikut ini merupakan

diaram alir pembuatan bakso :

Daging

Penggilingan
Air Es, Garam, Tepung Tapioka,
Bumbu dan Maizena, dan
Bawang Goreng Margarin

Pencampuran
Penggilingan

Pencampuran
Penggilingan

Pencetakan

Perebusan

Pendinginan

Bakso

Gambar 2. 5 Diagram Alir Pembuatan Bakso

Sumber : Suhada, 2017


45

D. Bahan Tambahan Pangan

1. Definisi Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Bahan tambahan pangan (BTP) merupakan bahan yang biasanya tidak

digunakan sebagai bahan utama makanan dan biasanya bukan merupakan

komponen khas makanan, dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai

gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud

teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan,

pengepakan, pengemasan dan penyimpanan sehingga dapat dihasilkan

makanan yang disukai oleh konsumen (MENKES, 2012). Dengan

penambahan Bahan Tambahan Pangan diharapkan dapat meningkatkan

atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan

pangan lebih mudah dihidangkan serta mempermudah dalam penyiapan

bahan pangan (Julaeha, dkk. 2016)

Bahan Tambahan Pangan adalah bahan atau campuran bahan yang

secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi

ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk

pangan, antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal,

pemucat dan pengental (Fadilah, 2017)

Berdasarkan penjelasan diatas diketahui bahwa Bahan Tambahan

Pangan (BTP) merupakan bahan yang dicampurkan kedalam makanan

yang bukan merupakan bahan baku pangan, akan tetapi digunakan untuk

memperbaiki bentuk pangan, memberikan warna pada pangan,


46

mengawetkan makanan, menyedapkan rasa makanan dan sebagainya

sehingga makanan menjadi lebih menarik, tahan lama, dan disukai.

2. Kegunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Bahan Tambahan Pangan merupakan bahan atau campuran bahan

yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi

ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk

pangan, antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal,

pemucat dan pengental. (Widayat, 2011)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 033 Tahun 2012,

Bahan Tambahan Pangan merupakan bahan yang sengaja ditambahkan ke

dalam pangan pada tahapan pembuatan, pengolahan, pengepakan,

pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan pangan dengan harapan

meningkatkan kualitas pangan. Penambahan Bahan Tambahan Pangan

(BTP) bertujuan untuk meningkatkan kualitas dari makanan serta

meningkatkan daya tahan makanan.

Dalam proses pengelolaan makanan seringkali diberikan Bahan

Tambahan Pangan. Bahan Tambahan Pangan dalam penggunaannya

memiliki fungsi dasar yaitu sebagai berikut :

a. Mengembangkan nilai gizi suatu makanan

b. Mengawetkan bahan pangan


47

c. Memudahkan penyimpanan makanan dikarenakan makanan awet

atau tahan lama

d. Memperbaiki bentuk makanan (kenyal , renyah dan lain sebagainya),

aroma makanan, dan warna makanan serta penyedap rasa makanan.

(Widayat, 2011)

Penggunaan Bahan Tambahan Pangan bermanfaat untuk

meningkatkan dan mempertahankan nilai gizi, meningkatkan daya

simpan, membuat bahan makanan lebih mudah disajikan, dan

mempermudah dalam penyiapan bahan pangan. Bahan Tambahan Pangan

digunakan dengan memiliki tujuan sebagai berikut :

a. Mengawetkan makanan dengan mencegah tumbuhnya mikroba yang

dapat merusak pangan dan mencegah terjadinya reaksi kimia yang

dapat menurunkan mutu pangan

b. Membentuk makanan menjadi lebih baik seperti lebih renyah atau

kenyal

c. Memberikan aroma dan warna yang lebih menarik

d. Meningkatkan kualitas makanan

e. Menghemat biaya

Produsen produk pangan menambahkan Bahan Tambahan Pangan

dengan berbagai tujuan, misalnya membantu proses pengolahan,


48

memperpanjang masa simpan, memperbaiki penampilan dan cita rasa,

serta pengaturan keseimbangan gizi (Puspawiningtyas et al, 2017)

3. Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang Tidak di Izinkan atau Dilarang

Digunakan dalam Proses Pembuatan Makanan

Dalam penggunaannya, Bahan Tambahan Pangan bermanfaat

untuk memperbaiki tekstur makanan seperti mengenyalkan, mengawetkan

makanan, menambah cita rasa, dan lain sebagainya. Sesuai dengan

peraturan yang berlaku di Indonesia, terdapat Bahan Tambahan Pangan

(BTP) yang dilarang digunakan karna berbahaya bagi kesehatan manusia.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033

Tahun 2012, bahan yang dilarang digunakan sebagai Bahan Tambahan

Pangan, yaitu sebagai berikut :

a. Asam borat dan senyawanya (Boric Acid)

b. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid andm its salt)

c. Dietilpirokarbonat (Diethylepyrocarbonate, DEPC)

d. Dulsin (Dulcin)

e. Formalin (formaldehyd)

f. Kalium bromate (Potassium bromate)

g. Kalium klorat (Potassium chlorate)

h. Kloramfenikol (Chloramphenicol)

i. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)

j. Nitrofurazon (Nitrofurazone)
49

k. Dulkamara (Dulcamara)

l. Kokain (Cocaine)

m. Nitrobenzen (Nitrobenzene)

n. Sinamil antranilat (Cinnamyl antranilate)

o. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)

p. Biji Tonka (Tonka bean)

q. Minyak kalumus (Calumus oil)

r. Minyak tansi (Tansy oil)

s. Minyak sasafras (Sasafras oil).

E. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan

Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) merupakan sebuah

metode penelitian yang digunakan untuk menghitung atau memprakirakan

risiko pada kesehatan manusia, termasuk identifikasi terhadap adanya faktor

ketidakpastian, penelusuran pada pajanan tertentu, memperhitungkan

karakteristik yang melekat pada agen yang menjadi perhatian dan karakteristik

dari sasaran yang spesifik. Analisis Risiko Kesehatan Lingkunan (ARKL)

dilakukan untuk mengidentifikasi bahaya sekitar manusia, hubungan antara

dosis agen risiko dan respon tubuh melalui studi literatur, mengukur seberapa

besar pajanan agen risiko, serta menetapkan tingkat risiko dan efeknya

terhadap populasi sehingga dapat dilakukannya manajemen risiko sebagai

upaya pencegahan timbulnya masalah kesehatan. Analisis Risiko Kesehatan

Lingkungan (ARKL) merupakan pendekatan yang digunakan untuk


50

mendapatkan penilaian risiko di lingkungan dengan output tingkat risiko yang

mungkin terjadi yang menjelaskan apakah agen risiko berdampak atau

berisiko terhadap kesehatan masyarakat. Dalam melakukan studi Analisis

Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) terdapat empat tahapan yang harus

dilakukan, yaitu identifikasi bahaya, analisis dosis respon atau karakterisasi

bahaya, analisis pemajanan, dan karakterisasi risiko (DIRJEN PP dan PL

KEMENKES, 2012)

1. Identifikasi Bahaya (Hazard Identification)

Identifikasi bahaya bermanfaat mengetahui dampak buruk

kesehatan yang disebabkan oleh pemajanan suatu bahan. Identifikasi

bahaya merupakan langkah pertama dalam studi ARKL yang digunakan

untuk mengetahui secara spesifik agen risiko yang berpotensi

menyebabkan gangguan kesehatan bila tubuh terpajan.

Dalam identifikasi bahaya dilakukan studi literatur terkait gejala –

gejala gangguan kesehatan yang berterkaitan dengan agen risiko yang

akan dianalisis. Tahapan ini menjelaskan agen risiko spesifik yang

berbahaya, media lingkungan agen risiko berada, berapa besar

kandungan/konsentrasi agen risiko di media lingkungan, dan gejala

kesehatan yang ditimbulkan.

Identifikasi bahaya merupakan identifikasi yang dilakukan

terhadap jenis, sifat, dan kemampuan yang melekat pada suatu agen risiko
51

yang dapat menyebabkan dampak buruk terhadap organisme yang

terpajan. Agen risiko dapat menimbulkan dampak buruk terhadap

kesehatan jika adanya pemajanan dengan dosis dan waktu yang cukup.

Suatu organisme dapat terpajan oleh agen risiko melalui beberapa jalur

pemajanan yaitu jalur pajanan inhalasi, jalur pajanan oral, dan jalur

pajanan kontak kulit.

Tahapan identifikasi bahaya harus menjawab pertanyaan agen

risiko spesifik apa yang berbahaya, media lingkungan agen risiko, besar

kandungan/konsentrasi agen risiko, dan gejala kesehatan yang mungkin

timbul (DIRJEN PP dan PL KEMENKES, 2012)

2. Analisis Dosis-Respon (Dose-Response Assesment)

Penilaian dosis respon merupakan suatu tahapan yang dilakukan untuk

melihat toksisitas yang terkandung dalam suatu bahan atau menjelaskan

bagaimana kondisi pemajanan (cara, dosis, frekuensi, dan durasi) oleh

suatu bahan serta dampak kesehatan yang mungkin terjadi akibat pajanan

suatu bahan tersebut. Analisis dosis respon merupakan analisis yang

dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jumlah total agen yang

diterima oleh organisme dengan perubahan yang terjadi pada suatu

organisme tersebut.

Analisis dosis- respons merupakan langkah dalam studi ARKL yang

dilakukan dengan mencari nilai dosis refernsi (RfD), nilai konsentrasi


52

refernsi (RfC), dan slope factor (SF) dari agen risiko yang menjadi fokus

penelitian, serta memahami efek yang ditimbulkan oleh agen risiko

tersebut pada tubuh manusia.

Analisis dosis respon dilakukan dengan langkah mengetahui jalur

pajanan (pathways) agen risiko masuk ke dalam tubuh manusia,

memahami perubahan gejala atau efek kesehatan yang terjadi akibat

peningkatan konsentrasi atau dosis agen risiko yang terdapat tubuh dan

mengetahui dosis referensi (RfD), konsentrasi referensi (RfC) serta slope

factor (SF) dari agen risiko tersebut. Analisis dosis respon dilakukan

dengan studi literatur dari berbagai toxicological reviews, jurnal ilmiah,

artikel, buku dan lain sebagainya (DIRJEN PP dan PL KEMENKES,

2012)

3. Analisis Pajanan (Exposure Assesment)

Analisis pemajanan dalam studi ARKL dilakukan dengan

mengukur atau menghitung intake (asupan) dari agen risiko dalam tubuh

manusia. Data yang digunakan untuk melakukan perhitungan dapat berupa

data primer (hasil pengukuran konsentrasi agen risiko pada media

lingkungan yang dilakukan sendiri) atau data sekunder (pengukuran

konsentrasi agen risiko pada media lingkungan yang dilakukan oleh pihak

lain yang dipercaya seperti Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan,

LSM, dan lain sebagainya), dan asumsi yang didasarkan pertimbangan

yang logis atau menggunakan nilai default yang tersedia. Nilai Intake
53

merupakan perhitungan jumlah asupan zat kimia yang diperkirakan masuk

kedalam tubuh orang yang berisiko.

Intake non karsinogenik merupakan banyaknya suatu materi yang

memiliki efek non kanker pada media lingkungan yang masuk ke dalam

tubuh manusia, sedangkan Intake karsinogenik merupakan banyaknya

suatu materi yang memiliki efek kanker pada media lingkungan yang

masuk ke dalam tubuh manusia.

a. Perhitungan Intake Non Karsinogenik

1) Intake Pada Jalur Pemajanan Inhalasi (terhirup)

Perhitungan nilai Intake non karsinogenik pada jalur

pemajanan inhalasi (terhirup) dilakukan dengan menggunakan

rumus sebagai berikut :

Berikut ini merupakan tabel keterangan rumus

perhitungan Intake non karsinogenik pada jalur pemajanan

inhalasi (terhirup)

Tabel 2. 3 Keterangan Rumus Intake non karsinogenik jalur pemajanan inhalasi


(terhirup)

Notasi Arti Notasi Satuan Nilai Default

Ink (intake) Jumlah konsentrasi agen risiko (mg) mg/kg x hari Tidak ada nilai default
yang masuk ke dalam tubuh
manusia dengan berat badan tertentu
(kg) setiap harinya
54

Notasi Arti Notasi Satuan Nilai Default


3
C (concentration) Konsentrasi agen risiko pada media mg/m Tidak ada nilai default
udara (udara ambien)
R (rate) Laju inhalasi atau banyaknya m3/jam  Dewasa : 0,83 m3/jam
volume udara yang masuk setiap  Anak-anak (6-12 tahun) : 0,5
jamnya m3/jam
tE (time of Lamanya jumlah jam terjadinya Jam/hari  Pajanan pada pemukiman : 24
exposure) pajanan setiap harinya jam/hari
 Pajanan pada lingkungan kerja :
8 jam/hari
 Pajanan pada sekolah dasar : 6
jam/hari
fE (frecuency of Lamanya atau jumlah hari terjadi Hari/tahun  Pajanan pada pemukiman : 350
exposure) pajanan setiap tahunnya hari/tahun
 Pajanan pada lingkungan kerja :
250 hari/tahun
Dt (duration time) Lamanya atau jumlah tahun Tahun Residensial (pemukiman)/pajanan
terjadinya pajanan seumur hidup : 30 tahun
Wb (weight of Berat badan Kg Dewasa asia/ Indonesia : 55 Kg
body) manusia/populasi/kelompok Anak-anak : 15 kg
populasi
Tavg (time average) Periode waktu rata-rata untuk efek Hari 30 tahun x 365 hari/tahun :
non karsinogenik 10.950 hari

Sumber : DIRJEN PP dan PL KEMENKES, 2012

2) Intake Pada Jalur Pemajanan Ingesti (tertelan)

Perhitungan nilai Intake non karsinogenik pada jalur

pemajanan ingesti (tertelan) dilakukan dengan menggunakan

rumus sebagai berikut :


55

Tabel 2. 4 Keterangan Rumus Intake non karsinogenik jalur pemajanan ingesti (tertelan)

Notasi Arti Notasi Satuan Nilai Default

Ink (Intake) Jumlah konsentrasi agen risiko mg/kg x hari Tidak ada nilai default
(mg) yang masuk ke dalam
tubuh manusia dengan berat
badan tertentu (kg) setiap
harinya
C (Concentration) Konsentrasi agen risiko pada  mg/l (air) Tidak ada nilai default
air bersih/minum atau pada  mg/kg
makanan (makanan)
R (Rate) Laju konsumsi atau banyaknya  liter/hari (air) Air Minum
volume air atau jumlah berat  gram/hari  Dewasa (Pemukiman) : 2
makanan yang masu setiap (makanan) liter/hari
jamnya  Anak-anak (Pemukiman) : 1
liter/hari
 Dewasa (Lingkungan kerja) : 1
liter/hari
Makanan
 Buah-buahan : 42 gram/hari
 Sayuran : 80 gram/hari
 Ikan tangkapan : 54 gram/hari
fE (Frecuency of Lamanya atau jumlah hari Hari/tahun  Pajanan pada pemukiman :
exposure) terjadi pajanan setiap tahunnya 350 hari/tahun
 Pajanan pada lingkungan kerja
: 250 hari/tahun
Dt (Duration Time) Lamanya atau jumlah tahun Tahun Residensial (pemukiman)/pajanan
terjadinya pajanan seumur hidup : 30 tahun
Wb (Weight of body) Berat badan Kg Dewasa asia/ Indonesia : 55 Kg
manusia/populasi/kelompok Anak-anak : 15 kg
populasi
Tavg (time average) Period waktu rata-rata untuk Hari 30 tahun x 365 hari/tahun :
efek non karsinogenik 10.950 hari

Sumber : DIRJEN PP dan PL KEMENKES, 2012


56

b. Perhitungan Intake Karsinogenik

1) Intake Pada Jalur Pemajanan Inhalasi (Terhirup)

Perhitungan nilai Intake karsinogenik pada jalur pemajanan

inhalasi (terhirup) dilakukan dengan menggunakan rumus

sebagai berikut :

Tabel 2. 5 Keterangan Rumus Intake karsinogenik jalur pemajanan inhalasi (terhirup)

Notasi Arti Notasi Satuan Nilai Default


Ik (intake) Jumlah konsentrasi agen risiko mg/kg x hari Tidak ada nilai default
(mg) yang masuk ke dalam tubuh
manusia dengan berat badan
tertentu (kg) setiap harinya
C (concentration) Konsentrasi agen risiko pada mg/m3 Tidak ada nilai default
media udara (udara ambien)
R (rate) Laju inhalasi atau banyaknya m3/jam  Dewasa : 0,83 m3/jam
volume udara yang masuk setiap  Anak-anak (6-12 tahun) : 0,5
jamnya m3/jam
tE (time of Lamanya jumlah jam terjadinya Jam/hari  Pajanan pada pemukiman : 24
exposure) pajanan setiap harinya jam/hari
 Pajanan pada lingkungan kerja :
8 jam/hari
 Pajanan pada sekolah dasar : 6
jam/hari
fE (frecuency of Lamanya atau jumlah hari terjadi Hari/tahun  Pajanan pada pemukiman : 350
exposure) pajanan setiap tahunnya hari/tahun
 Pajanan pada lingkungan kerja :
250 hari/tahun
Dt (duration time) Lamanya atau jumlah tahun Tahun Residensial (pemukiman)/pajanan
terjadinya pajanan seumur hidup : 30 tahun
57

Notasi Arti Notasi Satuan Nilai Default


Wb (weight of Berat badan Kg Dewasa asia/ Indonesia : 55 Kg
body) manusia/populasi/kelompok Anak-anak : 15 kg
populasi
Tavg (time average) Periode waktu rata-rata untuk efek Hari 70 tahun x 365 hari/tahun : 25.550
non karsinogenik hari

Sumber : DIRJEN PP dan PL KEMENKES, 2012

2) Intake Pada Jalur Pemajanan Ingesti (Tertelan)

Perhitungan nilai Intake karsinogenik pada jalur pemajanan

ingesti (tertelan) dilakukan dengan menggunakan rumus

sebagai berikut :

Tabel 2. 6 Keterangan Rumus Intake Karsinogenik jalur pajanan ingesti (tertelan)

Notasi Arti Notasi Satuan Nilai Default


Ik (Intake) Jumlah konsentrasi agen risiko mg/kg x hari Tidak ada nilai default
(mg) yang masuk ke dalam tubuh
manusia dengan berat badan
tertentu (kg) setiap harinya
C (Concentration) Konsentrasi agen risiko pada air  mg/l (air) Tidak ada nilai default
bersih/minum atau pada makanan  mg/kg
(makanan)
R (Rate) Laju konsumsi atau banyaknya  liter/hari (air) Air Minum
volume air atau jumlah berat  gram/hari  Dewasa (Pemukiman) : 2
makanan yang masuk setiap (makanan) liter/hari
jamnya  Anak-anak (Pemukiman) : 1
liter/hari
 Dewasa (Lingkungan kerja) :
58

1 liter/hari
Makanan
 Buah-buahan : 42 gram/hari
 Sayuran : 80 gram/hari
Notasi Arti Notasi Satuan Nilai Default
fE (Frecuency of Lamanya atau jumlah hari terjadi Hari/tahun Pajanan pada pemukiman : 350
exposure) pajanan setiap tahunnya hari/tahun
Dt (Duration Time) Lamanya atau jumlah tahun Tahun Residensial
terjadinya pajanan (pemukiman)/pajanan seumur
hidup: 30 tahun
Wb (Weight of Berat badan Kg Dewasa asia/ Indonesia : 55 Kg
body) manusia/populasi/kelompok
populasi
Tavg (time average) Period waktu rata-rata untuk efek Hari 70 tahun x 365 hari/tahun =
non karsinogenik 25.550 hari

Sumber : DIRJEN PP dan PL KEMENKES, 2012

4. Karakteristik Risiko (Risk Characterization)

Karakteristik risiko merupakan tahapan yang dilakukan untuk

menetapkan tingkat risiko atau menentukan apakah agen risiko pada

konsentasi tertentu yang dianalisis berisiko menimbulkan gangguan

kesehatan pada masyarakat. Karakteristik risiko dilakukan dengan

membandingkan atau membagi nilai intake dengan dosis refernsi (RfD)

atau konsentrasi refernsi (RfC) untuk resiko non karsinogenik dan

mengalikan nilai intake dengan Slope Factor (SF) untuk risiko

karsinogenik. Nilai dosis referensi (RfD), konsentrasi referensi (RfC),

serta Slope Factor (SF) didapatkan melalui studi literasi pada berbagai

literatur yang tersedia.


59

a. Karakterisasi risiko pada efek non karsinogenik

Tingkat risiko pada efek non karsinogenik dinyatakan dalam Risk

Quotien (RQ). Perhitungan karakterisasi risiko untuk efek non

karsinogenik dilakukan dengan membandingkan atau membagi Intake

dengan nilai dosis referensi (RfD) atau konsentrasi referensi (RfC).

Nilai dosis referensi (RfD) digunakan untuk perhitungan tingkat

risiko pada jalur pemajanan ingesti (tertelan), sedangkan nilai dosis

konsentrasi referensi (RfC) digunakan untuk perhitungan tingkat

risiko pada jalur pemajanan inhalasi (terhirup). Berikut ini merupakan

rumus untuk menentukan Risk Quotien (RQ) :

RQ =

Tingkat risiko dinyatakan dalam angka atau bilangan desimal tanpa

satuan. Tingkat risiko dinyatakan aman apabila nilai intake ≤ RfD

atau RfCnya atau dinyatakan RQ ≤ 1. Tingkat risiko dikatakan tidak

aman bilamana nilai intake > RfD atau RfCnya atau dinyatakan RQ

>1

b. Karakterisasi risiko pada efek karsinogenik

Tingkat risiko untuk efek karsnogenik dinyatakan dalam notasi

Excess Cancer Risk (ECR). Perhitungan karakterisasi risiko efek

karsinogenik dilakukan denan mengalikan intake dengan Slope

Factor (SF). Berikut ini merupakan rumus unuk menetukan Excess

Cancer Risk (ECR) :


60

ECR = I x SF

Tingkat risiko dikatakan aman apabila ECR ≤ 1/10.000 dan tingkat

risiko dikatakan tidak aman apabila ECR > 1/10.000 (Dirjen

PP&PL, 2012).

5. Manajemen Risiko (Risk Management)

Manajemen risiko merupakan langkah tindak lanjut apabila nilai

hasil karakteristik risiko menunjukkan tingkat risiko yang tidak aman atau

dengan nilai RQ>1 atau nilai ECR> 1/10.000. Manajemen risiko

dilakukan untuk memperkecil dampak pajanan dari suatu agen melalui

strategi pegelolaan risiko yang meliputi penentuan batas aman konsentrasi

agen risiko (C), Jumlah Konsumsi (R), waktu pajanan (tE), frekuensi

pajanan (fE), dan durasi pajanan (Dt). Batas aman merupakan batas atau

nilai terendah yang menyebabkan tingkat risiko menjadi tidak aman (tidak

dapat diterima). Oleh karenannya nilai yang aman adalah nilai di bawah

batas amannya sedangkan nilai yang sama dengan batas aman tersebut

akan menyebabkan tingkat risiko menjadi tidak aman. Manajemen risiko

dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

a. Penentuan konsentrasi aman (C)

1) Penentuan konsentrasi aman (C) non karsinogenik

a) Konsentrasi aman non karsinogenik jalur pajanan inhalasi


61

Perhitungan Konsentrasi aman non karsinogenik jalur pajanan

inhalasi dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :

( )

b) Konsentrasi aman non karsinogenik jalur pajanan ingesti

Perhitungan Konsentrasi aman non karsinogenik jalur pajanan

ingesti dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

( )

2) Penentuan konsentrasi aman (C) karsinogenik

a) Konsentrasi aman karsinogenik jalur pajanan inhalasi

Perhitungan Konsentrasi aman karsinogenik jalur pajanan

inhalasi dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :

( )
( )

b) Konsentrasi aman non karsinogenik jalur pajanan ingesti

Perhitungan Konsentrasi aman non karsinogenik jalur pajanan

ingesti dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

( )
( )
62

b. Penentuan jumlah konsumsi aman (R)

1) Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko non karsinogenik

Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko non karsinogenik

dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut :

( )

2) Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko karsinogenik

Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko karsinogenik dilakukan

menggunakan rumus sebagai berikut :

( )
( )

c. Penentuan waktu pajanan aman (tE)

Pengelolaan waktu pajanan dapat dilakukan dengan mengurangi

jumlah jam terpapar setiap harinya pada populasi yang berisiko.

Penerapannya dilakukan untuk pemajanan inhalasi pada lingkungan

tidak tetap (tempat tinggal), sedangkan untuk pemajanan ingesti dapat

dilakukan dengan langkah pembatasan jumlah konsumsi. Berikut ini

merupakan rumus yang digunakan untuk menghitung waktu pajanan

aman :

1) Waktu pajanan aman non karsinogenik jalur pajanan inhalasi

( )
63

2) Waktu pajanan aman karsinogenik jalur pajanan inhalasi

( )
( )

d. Penetuan frekuensi pajanan aman (fE)

Pengelolaan frekuensi pajanan dapat dilakukan dengan mengurangi

jumlah hari terpapar dalam satu tahun. Penerapannya dilakukan untuk

pemajanan inhalasi pada lingkungan tidak tetap (tempat tinggal),

sedangkan untuk pemajanan ingesti cukup dilakukan dengan

pembatasan jumlah konsumsi saja. Perhitungan frekuensi pajanan

aman menggunakan rumus sebagai berikut :

1) Frekuensi pajanan aman non karsinogenik

( )

2) Frekuensi pajanan aman non karsinogenik

( )
( )

e. Penentuan durasi pajanan aman (Dt)

Durasi pajanan dapat dikelola pada pemajanan inhalasi dengan

lingkungan yang permanen (pemukiman). Pengelolaan durasi pajanan

dilakukan dengan membatasi lama tinggal (tahun) masyarakat pada

suatu pemukiman dengan cara melakukan relokasi pemukiman yang

telah melewati batas durasi amannya. Untuk pemajanan ingesti

pengelolaan risiko cukup dilakukan dengan pembatasan jumlah


64

konsusmsi saja. Perhitungan durasi pajanan aman dilakukan dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

1) Durasi Pajanan aman non karsinogenik pada jalur pemajanan

inhalasi

( )

2) Durasi Pajanan aman karsinogenik pada jalur pemajanan inhalasi

( )
( )

Pengelolaan risiko yang dapat dilakukan melalui beberapa

pendekatan diantaranya strategi komunikasi risiko untuk menyampaikan

informasi risiko kepada masyarakat atau populasi yang berisiko,

pemerintah, maupun pihak berkepentingan lainnya (Dirjen PP&PL, 2012)

Tabel 2. 7 Keterangan Rumus Perhitungan Batas Aman

Notasi Arti Notasi


RfC Nilai kuantitatif atau konsentrasi suatu agen risiko yang
dijadikan referensi untuk nilai aman bagi tubuh.
RfD Nilai kuantitatif atau dosis suatu agen risiko yang dijadikan
referensi untuk nilai aman bagi tubuh.
Slope Factor (SF) Nilai kuantitatif suatu agen risiko karsinogenik yang dijadikan
referensi untuk nilai aman bagi tubuh dari efek karsinogenik.
Rate (R) Laju Asupan :
 Volume udara yang masuk tubuh (m3) setiap jamnya
 Volume air minum yang masuk tubuh (liter) setiap harinya
 Volume makanan yang masuk tubuh (gram) setiap
Harinya
65

Notasi Arti Notasi


tE (time of exposure) Lamanya atau jumlah hari terjadinya pajanan setiap harinya

Dt (Duration time) Lamanya atau jumlah tahun terjadinya pajanan


Wb (Weight of body) Berat badan manusia / populasi / kelompok populasi
Tavg  Agen risiko non karsinogenik : 30 tahun x 365 hari/tahun =
10.950 hari
 Agen risiko non karsinogenik :
 70 tahun x 365 hari/tahun = 25.550 hari

Sumber : DIRJEN PP dan PL KEMENKES, 2012


66

G. Kerangka Teori

Bagan 2. 1 Kerangka Teori

Tingkat Risiko
1. Karakteristik Antropometri : Berat
Badan dan Tinggi Badan
Pajanan Kanker (ECR)
2. Pola Aktivitas :
 Lama Pajanan
 Laju Ingesti
 Frekuensi Pajanan ECR ≤ ECR >
 Konsentrasi Pajanan 1/10000 1/10000

Manajemen Risiko

Intake Tingkat Risiko Pajanan


Keberadaan boraks Mengkonsumsi
pada makan
makanan Boraks Non Kanker (RQ)

mengandung boraks

RQ >1 RQ≤1
Sumber Boron:
1. Alam : Kerak Bumi,
tanah, batuan, dan
logam.
2. Industri : Manajemen Risiko
Penambangan dan

Sumber : U.S. Departemen of Health and Human Services, 2010 ; Kemenkes 2019
BAB III

Kerangka Konsep dan Definisi Operasional

A. Kerangka Konsep

Boron merupakan unsur alami yang dapat ditemukan di laut, batuan

sedimen, batubara, dan tanah. Boron berada pada lingkungan melalui

pelapukan batuan, penguapan air laut, dan aktivitas gunung berapi. Boron

apabila dikombinasikan dengan oksigen maka membentuk boraks. Unsur

boron diproduksi atau diolah menjadi senyawa boraks yang dapat

dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan perindustrian (ATSDR, 2010).

Boraks sering disalahgunakan sebagai pengenyal, pengawet, serta

memperbaiki penampilan dalam pembuatan bakso (Junianto, 2013 ;

Fadilah, 2017).

Jumlah konsentrasi pajanan personal (intake) boraks yang diterima

oleh tubuh seseorang dipengaruhi oleh faktor individu seperti usia, jenis

kelamin, berat badan, laju asupan, dan lama pajanan. Saat manusia

mengkonsumsi makanan mengandung boraks, maka boraks akan masuk ke

dalam tubuh melalui saluran pencernaan.

Sering mengkonsumsi makanan mengandung boraks akan

menyebabkan gangguan otak, hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah

banyak, boraks menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin),

koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis,

67
68

sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, kanker, pingsan bahkan

kematian. (Sultan et al, 2013)


69

Bagan 3. 1 Kerangka Konsep

Manajemen Risiko

1. Antropometri :
 Berat Badan ECR ≤ 1/10000 ECR > 1/10000
2. Pola Aktivitas :
 Lama pajanan
 Frekuensi pajanan
Tingkat Risiko Pajanan
 Konsentrasi dosis
 Laju ingesti
Kanker (ECR)

Konsentrasi Boraks Intake (Asupan) Boraks Siswa/I


pada bakso yang SD Cirendeu 02
dikonsumsi

Karakteristik Individu :
 Usia
 Jenis Kelamin
 Tinggi Badan Tingkat Risiko Pajanan

Non Kanker (RQ)

Manajemen Risiko RQ >1 RQ≤1

Pada kerangka konsep penelitian ini dilakukan penyederhanaan pemikiran

dan memfokuskan penelitian pada beberapa variabel tertentu. Variabel yang

tidak diteliti yaitu sumber boron dikarenakan penelitian ini difokuskan pada

pajanan boraks akibat konsumsi makanan mengandung boraks dimana sumber

pajanan boraks berasal dari makanan (bakso) yang mengandung boraks.

Boraks berisiko menyebabkan penyakit kanker dan non kanker terhadap

siswa/i di SDN Cirendeu 02 yang mengkonsumsi bakso mengandung boraks.


70

Pada penelitian ini, bakso yang mengandung boraks di uji konsentasinya di

laboratorium kemudian akan dilakukan perhitungan nilai intake (asupan)

boraks yang akan diterima oleh siswa/i SDN Cirendeu 02 yang dipengaruhi

oleh antropometri dan pola aktivitas dari siswa tersebut. Selanjutnya dilakukan

perhitungan tingkat risiko kanker dan non kanker. Apabila diperlukan maka

akan ditetapkan manajemen risiko yang tepat untuk mencegah timbulnya

masalah kesehatan akibat mengkonsumsi makanan mengandung boraks.

Manajemen risiko dapat dilakukan dengan menetapkan dosis atau konsentrasi

pajanan aman, dan menentukan jumlah konsumsi aman.

Variabel independen dalam kerangka konsep tersebut adalah konsentrasi

Boraks pada bakso sedangkan variabel dependen adalah Risk Quotient (RQ)

dan Excess Cancer Risk (ECR).


71

B. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Satuan Skala Ukur


Lama waktu hidup sejak dilahirkan
1 Usia Kuesioner Wawancara Tahun Rasio
hingga penelitian dilakukan
Menyangkut perbedaan organ biologis
sejak seseorang lahir yang terbagi 1. Laki-laki
2 Jenis Kelamin Kuesioner Wawancara Nominal
menjadi dua yaitu, laki-laki dan 2. Perempuan
perempuan
Hasil pengukuran panjang tulang-
tulang dalam tubuh yang membentuk
Alat pengukur
3 Tinggi Badan poros tubuh yang diukur dari titik Mengukur tinggi badan cm Rasio
tinggi badan
tertinggi kepala ke titik terendah dari
tulang kaki
Berat badan yang diukur pada saat
Berat Badan Menimbang berat badan
4 pengukuran langsung atau observasi Timbangan kg Rasio
(Wb) siswa/i
dilakukan
Pengukuran
Konsentrasi Boraks pada pada media
Konsentrasi Spektrofotometer menggunakan
5 makanan (Bakso) yang telah diuji di mg/kg x hari Rasio
Boraks (C) UV-Vis Spektrofotometri
Labkesda DKI Jakarta
(pengukuran absorbansi)
Pajanan Banyaknya boraks yang masuk Rumus Perhitungan
Exsposure
6 Personal kedalam tubuh siswa/I melalui saluran mg/kg/hari Rasio
Assesment
(Intake) pencernaan
Frekuensi Jumlah hari mengkonsumsi bakso
7 Kuesioner Wawancara Hari/tahun Rasio
Pajanan (fE) mengandung boraks dalam per tahun
Durasi Lamanya mengkonsumsi bakso
8 Pemajanan mengandung boraks di lokasi penelitian Kuesioner Wawancara Tahun Rasio
(Dt) dalam tahun
72

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Satuan Skala Ukur


Menimbang banyaknya
Laju Asupan Banyaknya bakso yang dikonsumsi
9 Timbangan bakso yang dikonsumsi gr/hari Rasio
(R) siswa/I dalam satuan gram perhari
setiap hari
Tingkat Risiko
Rumus Perhitungan
non Besarnya risiko non karsinogenik Software Tidak ada
10 Rasio
karsinogenik boraks terhadap siswa/i Komputer satuan
(RQ)
Tingkat Risiko
Karsinogenik Besarnya risiko karsinogenik pajanan Software Rumus Perhitungan Tidak ada
11 Rasio
(ECR) boraks tehadap siswa/i SD komputer ECR = SF X I satuan

Rumus Perhitungan Non


Karsinogenik :
1. Batas aman
konsentrasi (C)

Penentuan batas aman konsentrasi (C) 2. Batas aman laju


Manajemen Software asupan (R) 1.mg/kg/ hari
12 boraks dan laju asupan (R) konsumsi Rasio
Risiko komputer 2.gr/hari
bakso pada siswa/i SD
Rumus Perhitungan
Karsinogenik :
1. Batas aman
konsentrasi (C)
( )
73

2. Batas aman laju


asupan (R)

1. Efek non karsinogenik


Periode waktu
Periode waktu rata-rata untuk efek non =10.950 hari
13 rata-rata - Hari Rasio
karsinogenik atau efek karsinogenik 2. Efek karsinogenik =
(tAvg)
25.550 hari
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain studi dalam penelitian ini menggunakan metode Analisis

Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL). Analisis Risiko Kesehatan

Lingkungan (ARKL) merupakan metode untuk menghitung estimasi tingkat

risiko akibat pajanan suatu agen baik kimia maupun biologi pada populasi

berisiko dengan mempertimbangkan karakteristik agen dan populasi. Dalam

penelitian ini, analisis risiko kesehatan bertujuan untuk menghitung tingkat

risiko gangguan kesehatan yang mungkin terjadi pada siswa/i SD akibat

mengkonsumsi bakso yang mengandung boraks. Prosedur penelitian dalam

metode ARKL meliputi langkah-langkah sebagai berikut yaitu :

1. Identifikasi Bahaya (Hazard Identification)

Penelitian ini dimulai dengan melakukan analisis kualitatif kandungan

boraks dengan metode kolorimetri menggunakan Boraks test kit, apabila

pada kertas pengujian terlihat perubahan warna menjadi kemerahan maka

bakso tersebut positif mengandung boraks. Selanjutnya sampel bakso

dibawa ke Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta untuk analisis

kuantitatif konsentrasi boraks yang terkandung dalam bakso tersebut

menggunakan Spektrofotometri UV-Vis.

74
75

2. Analisis Dosis Respon (Dose-Respon Assesment)

Analisis dosis respon dilakukan untuk menentukan hubungan antara

besarnya dosis pemajanan bahan kimia dengan terjadinya efek yang

merugikan bagi kesehatan manusia. Tingkat toksisitas dari suatu agen

risiko dinyatakan dalam dosis referensi. Untuk jalur pajanan ingesti yang

bersifat non karsinogenik, toksisitas agent dinyatakan dalam dosis

Reference Dose (RfD). Sedangkan untuk jalur pajanan ingesti yang

bersifat karsinogenik toksisitas agent dinyatakan dalam nilai Slofe factor

(SF). Nilai Reference Dose (RfD) dan Slofe factor (SF) didapatkan

dengan melakukan kajian literatur.

3. Analisis Pemajanan (Exposure Assessment)

Analisis pajanan dilakukan dengan mengestimasi jumlah asupan atau

intake ingesti setiap harinya dengan menghitung konsentrasi boraks yang

terkandung pada bakso, laju ingesti, lama pajanan, frekuensi pajanan, dan

berat badan. Intake merupakan perkiraan pajanan yang diterima individu

per kilogram berat badan perhari. Intake dihitung pada saat dilakukannya

penelitian (realtime) dan dihitung berdasarkan proyeksi selama rentang

waktu (lifetime). Pajanan lifetime yang digunakan adalah durasi pajanan

standar (Dt) 30 tahun untuk efek non karsinogenik dan 70 tahun untuk

efek karsinogenik.

4. Karakteristik Risiko (Risk Characteristic)

Karakteritik risiko merupakan upaya yang dilakukan untuk mengetahui

tingkat risiko akibat pajanan agen risiko yang masuk kedalam tubuh yang
76

dinyatakan dalam nilai Risk Quotient (RQ) untuk efek non karsinogenik

dan dinyatakan dalam nilai Excess Cancer Risk (ECR) untuk efek

karsinogenik

5. Manajemen Risiko

Manajemen Risiko merupakan suatu langkah tindak lanjut yang harus

dilakukan bilamana hasil karakteristik risiko menunjukkan tingkat risiko

yang tidak aman ataupun unacceptable. Strategi pengelolaan yang dapat

dilakukan yaitu penentuan batas aman

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2018 sampai dengan bulan

Mei 2019 di Laboratorium Kesehatan Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Sekolah Dasar Negeri Cirendeu 02 Ciputat dan Laboratorium

Kesehatan Daerah DKI Jakarta.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyanto, 2012). Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh siswa/i Sekolah Dasar Negeri Cirendeu 02

Ciputat dari kelas 2 sampai kelas 6 yang terdiri dari 369 siswa/i.
77

2. Sampel

a. Sampel Makanan

Pengambilan sampel makanan dilakukan sesuai dengan tata cara

pengambilan contoh makanan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2013. Langkah awal yang perlu disiapkan

untuk pengambilan sampel bakso yaitu menyediakan alat dan bahan.

Adapun alat dan bahan yang digunakan sebagai berikut :

1. Alat

Alat yang digunakan dalam pengambilan sampel makanan yaitu

sendok atau semacamnya untuk mengambil bakso dan

memindahkan bakso ke wadah penyimpanan.

2. Bahan

a. Wadah penyimpanan berupa plastik steril

b. Label

c. Pulpen

Setelah alat dan bahan tersedia, pengambilan sampel bakso telah dapat

dilakukan. Bakso diambil dengan jumlah sesuai kebutuhan menggunakan

sendok kemudian dimasukkan ke dalam plastik steril lalu ditutup dan

diberi label. Label berisikan nama/jenis makanan, lokasi pengambilan

sampel, dan waktu pengambilan sampel. Selanjutnya sampel di bawa ke

laboratorium kesehatan daerah untuk dilakukan pengujian kuantitatif

boraks sehingga didapatkan konsentrasi boraks.


78

b. Sampel Siswa/i

Sampel dalam penelitian ini yaitu siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat yang

mengkonsumsi bakso mengandung boraks di sekolah tersebut.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menguji total

populasi yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi sehingga

jumlah sampel yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu 165 siswa/i

dari kelas 2 hingga kelas 6.

c. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel

1. Kriteria Inklusi

Dalam penelitian ini kriteria inklusi merupakan sampel yang akan

diteliti, yaitu Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat kelas 2 hingga kelas

6 yang mengkonsumsi bakso berboraks yang dijual di SDN Cirendeu

02 Ciputat minimal 1 kali dalam seminggu dan bersedia untuk

diwawancarai.

2. Kriteria eksklusi merupakan bagian dari populasi yang tidak

dijadikan sebagai sampel dalam penelitian, yaitu :

a. Siswa yang tidak pernah mengkonsumsi bakso yang dijual di

lingkungan SDN Cirendeu 02

b. Siswa/i kelas 1 SDN Cirendeu 02

D. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer yang diperoleh berupa identitas responden,


79

karakeristik individu (tinggi badan dan berat badan), kegiatan konsumsi bakso

(durasi dan frekuensi pajanan), hasil pengujian kualitatif dan hasil pengujian

kuantitatif boraks (konsentrasi boraks). Sedangkan data sekunder yang

diperoleh dari penelitian ini yaitu data siswa/i di SDN Cirendeu 02 Ciputat

berupa data jumlah siswa/i.

Penelitian ini dilakukan dengan langkah awal melakukan perizinan

kepada Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam

Negeri (KESBANGPOL) Tangerang Selatan dengan membawa surat

permohonan izin untuk melakukan penelitian dari Fakultas Ilmu Kesehatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan proposal penelitian serta menjelaskan

maksud, tujuan, dan lokasi dari penelitian yang akan dilakukan. Selanjutnya

KESBANGPOL akan menerbitkan surat pengantar untuk melakukan

penelitian yang ditujukan kepada Sekolah Dasar yang menjadi lokasi

penelitian. Peneliti meneruskan surat tersebut ke Sekolah Dasar yang menjadi

lokasi penelitian yaitu SDN 02 Cirendeu Ciputat untuk memperoleh izin

melakukan penelitian yang disertai dengan menjelaskan maksud, tujuan, dan

waktu dilaksanakannya penelitian. Setelah didapatkannya izin dari pihak

sekolah kemudian ditentukanlah tanggal pelaksanaan penelitian.

Sebelum dilakukannya penelitian, Kepala Sekolah mengerahkan Staff

Pengajar untuk menginformasikan kepada wali murid dalam rapat pertemuan

bersama wali murid bahwa akan dilakukan penelitian oleh mahasiswa UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta terkait analisis risiko kesehatan lingkungan


80

pajanan boraks pada siswa/i sekolah tersebut sehingga wali murid

mengizinkan anaknya menjadi sampel dalam penelitian ini.

Peneliti meminta izin kepada wali kelas 2 hingga kelas 6 untuk dapat

melakukan penelitian. Wali kelas mengantarkan peneliti ketiap-tiap kelas

kemudian mengarahkan siswa/i untuk mengikuti pelaksanaan penelitian

dengan tertib sehingga penelitian dapat langsung dilakukan. Peneliti

memperkenalkan diri kemudian menanyakan kepada seluruh siswa/i kelas 2

sampai kelas 6 siapa saja yang mengkonsumsi bakso yang dijual disekolah

tersebut minimal satu kali dalam seminggu, selanjutnya siswa yang yang

mengkonsumsi bakso minimal satu kali dalam seminggu ditanyakan

kesediaannya untuk menjadi responden. Apabila siswa/i bersedia menjadi

responden maka peneliti akan memberikan kuesioner, melakukan wawancara,

serta melakukan pengukuran berat badan dan tinggi siswa/i tersebut.

Populasi dalam penelitian ini yaitu siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

kelas 2 hingga kelas 6 yang terdiri dari 369 siswa/i. Dalam pelaksanaanya,

penelitian ini memiliki kriteria inklusi dan ekslusi. Adapun kriteria eksklusi

dalam penelitian ini yaitu tidak mengkonsumsi bakso dan tidak bersedia

untuk diwawancarai yang menyebabkan tersisihnya populasi penelitian

menjadi 165 sampel siswa/i kelas 2 hingga kelas 6.

Pada awal kegiatan wawancara, peneliti menunjukkan lembar kesedian

responden pada siswa/I yang akan diwawancarai serta meminta persetujuan


81

untuk dilaksanakannya kegiatan wawancara. Kegiatan wawancara dilakukan

peneliti dengan menanyakan pertanyaan sesuai dengan kuesioner

menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa/i SD dan mengulangi

pertanyaan apabila siswa/i tidak memahami pertanyaan yang ditanyakan.

Setelah didapatkan jawaban, peneliti mengarahkan siswa/i tersebut untuk

menuliskan jawaban pada kolom yang tersedia di kuesioner. Setelah seluruh

pertanyaan dalam kuesioner terisi, peneliti melakukan pengukuran berat

badan dan tinggi badan siswa/i dan kemudian mencatatnya pada kolom yang

tersedia dalam kuesioner.

Tahapan pengumpulan data selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti

yaitu upaya mendapatkan hasil laboratorium konsentrasi kandungan boraks

pada bakso yang dikonsumsi oleh siswa/i. Konsentrasi atau kadar boraks yang

terkandung dalam bakso yang dijual di SDN Cirendeu 02 Ciputat didapatkan

dengan melakukan pengujian sampel bakso tersebut ke Laboratorium

Kesehatan Daerah DKI Jakarta sehingga didapatkan hasil laboratorium.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Boraks test kit

Boraks test kit merupakan alat dan bahan yang digunakan untuk

menguji kualitatif boraks pada sampel makanan sehingga diketahui

apakah sampel makanan yang diuji terkandung boraks didalamnya atau


82

tidak. Berikut ini merupakan alat, bahan, dan cara kerja boraks test kit

pada saat studi pendahuluan penelitian ini dilakukan :

a. Alat

1) Gelas Piala

2) Mortar dan Alu

3) Spatula

4) Magnetic Stirrer Hotplate

5) Beaker Glass

6) Sendok

7) Botol Uji

b. Bahan

1) Test Kit Boraks

2) Bakso yang akan diuji

c. Cara Kerja

1) Masukkan air kedalam Beaker Glass lalu hangatkan

menggunakan Magnetic Stirrer Hotplate

2) Lumatkan bakso yang akan di uji dengan menggunakan mortar

dan alu dengan perbandingan 4 sendok bahan yang akan diuji

dengan 1 sendok air

3) Ambil 1 sendok makan bahan yang akan diuji yang sudah

dilumatkan dan masukkan ke botol uji


83

4) Tambahkan 10 tetes reagent cair dan 1 sendok makan air

mendidih (yang dipanaskan menggunakan Magnetic Stirrer

Hotplate) ke dalam botol uji lalu diaduk sekitar 1 menit.

5) Basakan kertas uji (kertas kuning) ke dalam air sampel

makanan dalam botol uji dan biarkan hingga kering sendiri

6) Jika kertas yang terbasahi berubah menjadi berwarna merah

maka bahan yang diuji positif mengandung boraks.

2. Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer UV-Vis merupakan alat yang digunakan untuk

menguji kuantitatif atau konsentrasi boraks pada sampel makanan

sehingga didapatkan hasil konsentrasi boraks yang terkandung dalam

sampel makanan yang diuji. Berikut ini merupakan proses pembuatan

bahan yang dibutuhkan untuk pengujian kuantitatif boraks dan

preparasi sampel untuk pengujian kuantitatif menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis dengan metode PP.16.7-

BTP/17025/LABKESDA :

a. Pembuatan NaOH 10 %

1) Timbang 1 gr NaOH, larutkan dengan 10 ml aquadest

b. Pembuatan Pereaksi Curcumin 125 %

1) Timbang serbuk curcumin 125 mg

2) Masukkan kedalam labu ukur 100 ml

3) Larutkan serbuk curcumin dengan asam asetat glasial hingga

larut
84

4) Himpitkan dengan asam asetat glasial, homogenkan

c. Pembuatan asam sulfat : asam asetat glasial (1:1)

1) Ukur 50 ml asam sulfat pekat, masukkan kedalam Erlenmeyer

250 ml

2) Tambahkan 50 ml asam asetat glasial, homogenkan

d. Pembuatan baku formalin Asam borat 1000 ppm

1) Timbang 10 mg asam borat, larutkan dengan aquadest

masukkan kedalam labu ukur 10 ml, himpitkan dengan

aquadest hingga tanda batas

2) Buat larutan induk 100 ppm dengan memipet 2,5 ml larutan

standar 1000 ppm, masukkan kedalam labu ukur 25 ml,

himpitkan dengan aquadest hingga tanda batas

e. Pembuatan deret standar 0,2, 0,4, 0,6, 0,8, dan 1,0 ppm

1) 0,2 ppm = 0,2 ppm/100 ppm x 25 ml = 50 ul, masukkan

kedalam cawan penguap, tambahkan 0,5 ml NaOH 10%,

keringkan, kerok bagian yang telah mongering dengan

melarutkannya dengan 1,5 ml pereaksi curcumin 125%,

tambahkan 1,5 ml asam sulfat : asam asetat glasial (1:1)

hingga warna curcumin hilang, bilas hingga bersih dengan

etanol 96% hingga tanda batas, saring kedalam tabung reaksi

bertutup, ukur serapan pada panjang gelombang 551 nm.

2) 0,4 ppm = 0,4 ppm/100 ppm x 25 ml

3) 0,6 ppm = 0,6 ppm/100 ppm x 25 ml


85

4) 0,8 ppm = 0,8 ppm/100 ppm x 25 ml

5) 1,0 ppm = 1,0 ppm/100 ppm x 25 ml

f. Preparasi Sampel

1) Timbang sampel yang telah dihaluskan 5 ± 0,050 gram

kedalam Erlenmeyer, tambahkan 50 ml aquadest, panaskan

di atas hotplate 80ºC selama 2 jam, dinginkan, saring

kedalam labu ukur 50ml, himpitkan dengan aquadest hingga

tanda batas.

2) Pipet 0,5 ml filtrate masukkan kedalam cawan penguap +

0,5 ml NaOH 10%

3) Proses selanjutnya seperti pembuatan deret standar.

3. Kuesioner

Kuesioner berisi pertanyaan terstruktur yang kemudian diisi

sendiri oleh responden atau dapat dilakukan dengan cara pewawancara

membacakan pertanyaan kemudian mencatat jawaban yang diberikan

oleh responden. Kuesioner digunakan untuk memperoleh informasi

yang dimiliki oleh responden. Kuesioner dalam penelitian ini telah

diuji validitas dan realibilitas pada siswa SDN Cirendeu 01. Pemilihan

tempat sebagai uji validitas dan reliabilitas di SDN Cirendeu 01

didasarkan pada pertimbangan kesamaan karakteritik lokasi dan

populasi tempat penelitian. Adapun uji validitas dan reliabilitas

dilakukan dengan menanyakan kepahaman siswa SD Cirendeu 01

terhadap pertanyaan yang ditanyakan dan kesesuaian jawaban yang


86

diberikan dengan yang diharapkan oleh peneliti sehingga informasi

yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan penelitian.

4. Timbangan Berat Badan

Timbangan berat badan merupakan alat yang digunakan untuk

mengukur berat badan responden.

5. Alat pengukuran tinggi badan

Alat pengukuran tinggi badan digunakan untuk mengukur tinggi badan

responden dalam penelitian.

6. Kalkulator

Kalkulator merupakan alat yang digunakan untuk kegiatan menghitung

dalam penelitian yang dilakukan

F. Pengolahan Data

Setelah dilakukannya proses pengumpulan data selanjutnya akan

dilakukan pengolahan data. Proses pengolahan data dilakukan dengan empat

tahapan, yaitu sebagai berikut :

1. Editing

Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan maupun

perbaikan terhadap kuesioner yang telah dikumpulkan. Kuesioner yang

telah diisi kemudian dikumpulkan dan dilakukan pemeriksaan kembali

untuk memastikan agar tidak ada data yang tidak terisi maupun tidak

dapat dibaca. Kegiatan pemeriksaan kuesioner ini dilakukan saat peneliti

berada di lokasi penelitian.


87

2. Coding

Coding merupakan kegiatan yang dilakukan peneliti untuk memberikan

kode pada setiap pertanyaan dan jawaban pada kuesioner. Proses coding

dilakukan setelah data diperiksa ketepatan dan kelengkapannya.

3. Entry

Entry data merupakan kegiatan memasukkan data yang sudah didapatkan

ke dalam software. Setelah data diberi kode kemudian data dimasukkan

ke dalam software khusus pengolahan data untuk diolah lebih lanjut.

4. Cleaning

Tahapan cleaning merupakan kegiatan untuk pemeriksaan kembali

semua data yang telah dimasukkan ke dalam software agar tidak terjadi

kesalahan maupun missing pada data sehingga data yang dihasilkan dapat

bersifat valid.

G. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif untuk

mengetahui jenis sebaran datanya. Untuk mengetahui sebaran data

dilakukan uji normalistas data. Uji normalistas data digunakan untuk

mendeteksi distribusi data dari suatu variable yang digunakan dalam

penelitian. Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai uji lebih dari

0,05 (p > 0,05) dan data dikatakan tidak berdistribusi normal apabila nilai
88

uji kurang dari sama dengan 0,05 (p ≤ 0,05). Pada analisis univariat

terdapat dua jenis data, yaitu data kategorik dan data numeric. Data

kategorik disajikan dalam bentuk jumlah dan persentase. Sedangkan

untuk data numerik data disajikan dalam bentuk mean, median, standar

deviasi, minimum-maksimum dan kenormalan distribusi. Variabel

kategorik yang disajikan dalam penelitian ini diantaranya adalah jenis

kelamin. Sedangkan untuk variabel numerik yang disajikan dalam

penelitian ini diantaranya adalah konsentrasi boraks, berat badan, tinggi

badan, laju ingesti, durasi pajanan, frekuensi pajanan, dan lama pajanan.

Proses kegiatan analisis data dilakukan dengan menggunakan software

pengolah data.

2. Perhitungan Nilai Intake

Dalam perhitungan nilai intake pajanan personal responden penelitian

ini dilakukan konversi terhadap nilai konsentrasi boraks sehingga

satuannya sesuai dengan satuan variabel lainnya yang digunakan dalam

perhitungan. Adapun konversi tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai

berikut :

Tabel 4. 1 Konversi Konsentrasi Boraks dalam Perhitungan Intake

Variabel Satuan Awal Hasil Konversi Digit Matematis

Konsentrasi
mg/kg mg/gr 10-3
Boraks
89

Data konsentrasi boraks pada bakso, data antropometri dan data

karakteristik Siswa/I SDN Cirendeu 02 yang telah terkumpul dianalisis

kemudian digunakan dalam perhitungan nilai intake. Adapun perhitungan

nilai intake dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

( )

Keterangan :

I : Intake Boraks (mg/kg/hari)

C : Konsentrasi Boraks pada bakso (mg/gr)

R : Laju Ingesti (gr/hari)

fE : Frekuensi Pajanan (hari/tahun)

Dt : Durasi Pajanan (tahun)

Wb : Berat Badan (kg)

tavg : Periode Waktu Rata-Rata

Dalam perhitungan nilai intake digunakan asumsi-asumsi

sebagai berikut :

a. Konsentrasi (C) boraks diambil dari hasil pengujian pada

Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta

b. Laju asupan (R) didapatkan dengan mengambil dan menimbang

sampel bakso yang di konsumsi oleh siswa/i SDN Cirendeu 02

Ciputat
90

c. Frekuensi pajanan (fE) didapatkan dari frekuensi jajanan tiap anak

d. Durasi pajanan (Dt) secara realtime dan lifetime untuk risiko non

karsinogenik dan risiko karsinogenik

e. Berat badan (Wb) didapatkan dari pengukuran berat badan siswa/i

yang menjadi responden dalam penelitian

f. Periode waktu rata-rata (Tavg) yaitu 30 tahun x 365 hari/tahun :

10.950 hari untuk risiko non karsinogenik dan 70 tahun x 365

hari/tahun = 25.550 hari untuk risiko karsinogenik.

3. Perhitungan Risiko Non Kanker

Untuk mengetahui tingkat risiko non karsinogenik (RQ)

menggunakan rumus:

Keterangan :

RQ : Tingkat risiko boraks (Efek Non Karsinogenik)

I : Intake non karsinogenik boraks (mg/kg/hari)

RfD : Dosisi Referensi Boraks (mg/kg/hari)

Nilai intake dari perhitungan tingkat risiko non karsinogenik

didapatkan dari perhitungan penilaian pajanan jalur ingesti yang

sebelumnya telah dilakukan. Nilai dosis referensi (RfD) boraks yaitu 0,2

mg/kg/hari. Dalam hal tingkat risiko apabila didapati nilai (RQ) > 1
91

berarti populasi berisiko untuk terkena penyakit non karsinogenik maka

harus dilakukan pengelolaan risiko

4. Perhitungan Risiko Kanker

Dalam perhitungan tingkat risiko karsinogenik (ECR) digunakan

rumus sebagai berikut :

Keterangan :

ECR : Tingkat risiko boraks (efek karsinogenik)

I : Intake karsinogenik boraks (mg/kg/hari)

Slope Factor (Nilai Referensi Agen Risiko dengan


SF :
Efek Karsinogenik)

Nilai intake dari perhitungan tingkat risiko karsinogenik

didapatkan dari perhitungan penilaian pajanan jalur ingesti yang

sebelumnya telah dilakukan. Nilai Slofe Factor dari zat kimia boraks

tidak tersedia, dengan demikian dalam perhitungan digunakan dosis

eksperimental lain yaitu No Observed Effect Level (NOAEL). Adapun

nilai NOAEL zat kimia boraks yaitu 8,8 mg/kg/hari atau setara dengan

0,113 (mg/kg/day)-1 (EPA, 2006). Berikut ini merupakan tabel konversi

satuan dari NOAEL :


92

Tabel 4. 2 Konversi NOAEL dalam Perhitungan Intake

Variabel Satuan Awal Hasil Konversi Digit Matematis

NOAEL mg/kg/day (mg/kg/day)-1

5. Perhitungan Batas Aman

Manajemen risiko merupakan langkah tindak lanjut apabila nilai

hasil karakteristik risiko menunjukkan tingkat risiko yang tidak aman

dengan nilai RQ > 1 atau nilai ECR > 1/10.000. Manajemen risiko

dilakukan untuk memperkecil dampak pajanan dari suatu agen melalui

strategi pegelolaan risiko yang pada pajanan ingesti dilakukan meliputi

penentuan batas aman konsentrasi agen risiko (C) dan Jumlah Konsumsi

(R). Batas aman merupakan batas atau nilai terendah yang menyebabkan

tingkat risiko menjadi tidak aman (tidak dapat diterima). Oleh

karenannya nilai yang aman adalah nilai di bawah batas amannya

sedangkan nilai yang sama dengan batas aman tersebut akan

menyebabkan tingkat risiko menjadi tidak aman. Manajemen risiko

dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

a. Penentuan konsentrasi aman (C)

1) Penentuan konsentrasi aman (C) non karsinogenik jalur pajanan

ingesti

Perhitungan Konsentrasi aman non karsinogenik jalur pajanan

ingesti dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


93

( )

2) Penentuan konsentrasi aman (C) karsinogenik jalur pajanan

ingesti.

Perhitungan Konsentrasi aman non karsinogenik jalur pajanan

ingesti dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

( )
( )

b. Penentuan jumlah konsumsi aman (R)

1) Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko non karsinogenik

Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko non karsinogenik

dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut :

( )

2) Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko karsinogenik

Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko karsinogenik dilakukan

menggunakan rumus sebagai berikut :

( )
( )
BAB V

HASIL

A. Gambaran Umum SDN Cirendeu 02 Ciputat

Gambar 5. 1SDN Cirendeu 02 Ciputat

SDN Cirendeu 02 Ciputat merupakan salah satu sekolah dasar yang

berada di kecamatan Ciputat yang berlokasi di Jl. Sd Inpres No.60 Pisangan

Barat, Cireundeu, Kec. Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan Prov. Banten

dengan luas tanah milik sebesar 1250 m2. SDN Cirendeu 02 Ciputat memiliki

fasilitas untuk menunjang pendidikan siswa siswinya yang terdiri dari 13

ruang kelas dan 1 perpustakaan. Jumlah siswa berdasarkan kelas dan jenis

kelamin di SDN Cirendeu 02 Ciputat dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

94
95

Tabel 5. 1 Jumlah Siswa Berdasarkan Kelas dan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin
Kelas N
Laki-laki Perempuan

IA 18 13 31

1B 13 16 29

II A 10 14 24

II B 20 12 32

III A 15 20 35

III B 20 14 34

IV A 19 15 34

IV B 19 17 36

IV C 17 13 30

VA 17 20 37

VB 17 18 35

VI A 20 18 38

VI B 17 17 34

Total 222 207 429

Sekolah tersebut memiliki 13 kelas dengan jumlah siswa sebanyak 222

orang dan jumlah siswi sebanyak 207 orang dengan total jumlah siswa/i yaitu

429 orang. Selain ruang kelas dan perpustakaan, di SDN Cirendeu 02 Ciputat

terdapat kantin dan pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai pangan

jajan di lingkungan sekolah.


96

B. Gambaran Konsumsi Pangan Jajan Responden

Pada SDN Cirendeu 02 Ciputat terdapat kantin dan pedagang kaki

lima yang menjajakan berbagai pangan jajan. Di kantin sekolah pangan jajan

yang dijajakan yaitu nasi uduk, gorengan, mie instan, dan minuman kemasan.

Pedagang kaki lima yang berada di sekitar sekolah menjual berbagai pangan

jajan seperti bakso, tahu krispi, takoyaki, cilung, cilok goreng, cilor, roti

bakar, dan martabak telor. Berikut ini merupakan distribusi konsumsi pangan

jajan dari 165 siswa yang menjadi responden dalam penelitian ini :

Distribusi Konsumsi Pangan Jajan Responden


Jumlah Siswa yang mengkonsumsi Jumlah Responden

165 165 165 165 165 165 165 165 165 165 165

119

86

54
46
27 25
19
11 10

Diagram 5. 1 Distribusi Konsumsi Pangan Jajan Responden

Berdasarkan diagram diatas diketahui bahwa responden dalam

penelitian yang terdiri dari siswa kelas 2 hingga kelas 6 mengkonsumsi

berbagai pangan jajan yang dijajakan disekitar sekolah. Setelah bakso, pangan
97

jajan yang paling banyak digemari oleh siswa/i yaitu martabak dengan jumlah

siswa yang mengkonsumsi sejumlah 119 dari 165 responden, sedangkan yang

paling sedikit digemari oleh siswa/i yaitu tahu krispi dengan jumlah siswa

yang mengkonsumsi sejumlah 10 siswa dari 165 responden.

Persentase Konsumsi Pangan Jajan Responden


Selain Bakso

10
25 Martabak
2%
6% Mie
54 119
30% Roti Bakar
14%
Cilor
Gorengan
Cilok

86 Cilung
27
22% 7% Takoyaki
19
11 5% Tahu Krispi
46
3% 11%

Diagram 5. 2 Persentase Konsumsi Pangan Jajan Responden

Berdasarkan diagram diatas diketahui persentase konsumsi pangan

jajan responden dalam penelitian ini. Adapun pangan jajan yang paling

banyak dikonsumsi oleh siswa/i yang menjadi responden dalam penelitian ini

selain bakso yaitu martabak dengan persentase sebesar 30 %, sedangkan

pangan jajan yang paling sedikit dikonsumsi oleh responden yaitu tahu krispi

dengan persentase sebesar 2%.


98

C. Gambaran Karakteristik Individu Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat

Karakteristik individu merupakan segala sesuatu yang melekat dalam

diri seorang individu. Karakteristik individu merupakan ciri yang

menggambarkan keadaan individu yang sebenarnya dan membedakannya

dengan individu lainnya (Mahayanti dan Sriathi, 2017). Data karakteristik

individu responden yang diambil dalam penelitian ini berupa usia, berat

badan, tinggi badan, dan jenis kelamin.

1. Usia Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Usia merupakan rentang kehidupan pada manusia yang diukur dengan

tahun (Santika, 2014). Rentang usia siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

yang menjadi responden dalam penelitian yaitu 8-13 tahun. Usia termuda

responden yaitu 8 tahun dan usia tertua rersponden yaitu 13 tahun.

Responden dalam penelitian ini memiliki rata-rata usia yang berbeda tiap

kelasnya, berturut-turut kelas 2 hingga kelas 6 yaitu 8,22, 9,29, 9,91,

10,88, dan 11,88 tahun. Adapun median usia responden berturut-turut

kelas 2 hingga kelas 6 yaitu 8, 9, 10, 11, dan 12 tahun.

Tabel 5. 2 Distribusi Usia Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Variabel Kategori N Mean Median SD Min Max

Kelas 2 18 8,22 8 0,55 8 10

Usia Kelas 3 17 9,29 9 0,69 8 10

(tahun) Kelas 4 46 9,91 10 0,69 9 11

Kelas 5 33 10,88 11 0,68 10 12


99

Kelas 6 51 11,88 12 1,36 11 13

Keseluruhan 165 10,47 10 1,368 8 13

Setelah dilakukannya uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-

Smirnov pada data variabel usia responden tiap kelas, didapatkan nilai p

value ≤ 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data tidak berdistribusi

normal.

2. Berat Badan (Wb) Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Berat badan merupakan parameter pengukuran tubuh dalam satuan

kilogram (kg) (Rahman dkk, 2017). Berat badan responden penelitian ini

berkisar dari 19,20 kg sampai 73,40 kg dengan rata-rata berat badan siswa

kelas 2 hingga kelas 6 berturut-turut yaitu 28,37, 26,81, 34,10, 35,57, dan

41,44 kg. Adapun median berat badan responden tiap kelas berturut-turut

yaitu 25,25, 26, 30,40, 35,30, dan 39,40 Kg.

Tabel 5. 3 Distribusi Berat Badan Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Variabel Kategori N Mean Median SD Min Max

Kelas 2 18 28,37 25,25 7,49 19,20 43,40

Kelas 3 17 26,81 26 7,56 21,30 36,70


Berat
Kelas 4 46 34,10 30,40 12,08 20,60 73,40
Badan
Kelas 5 33 35.57 35,30 8,09 23,20 65,20
(kg)
Kelas 6 51 41,44 39,40 9,58 23,60 68

Keseluruhan 165 33,8 33,80 10,65 19,20 73,40


100

Setelah dilakukannya uji normalitas dengan menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov terhadap data variabel berat badan, diketahui bahwa

pada kelas 4 dan kelas 6 data tidak berdistribusi normal selebihnya pada

kelas 2, kelas 3 dan kelas 5 data berdistribusi normal. Dengan demikian

dalam perhitungan analisis risiko kesehatan lingkungan nilai mean

variabel berat badan yang digunakan kecuali pada perhitungan kelas 4 dan

kelas 6 menggunakan nilai median.

3. Tinggi Badan Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Rentang tinggi badan pada keseluruhan responden dalam penelitian ini

yaitu 102 cm hingga 165 cm. Rata-rata tinggi badan responden tiap kelas

dari kelas 2 hingga kelas 6 berturut-turut yaitu 115,48, 126,82, 135, 88,

143,11, dan 147,31 cm. Sedangkan median berat badan tiap kelas berturut-

turut yaitu 113,8, 128, 134,5, 144, dan 148 cm.

Tabel 5. 4 Distribusi Tinggi Badan Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Variabel Kategori N Mean Median SD Min Max

Kelas 2 18 115,48 113,8 9,06 103 144

Kelas 3 17 126,82 128 7,4 102 137


Tinggi
Kelas 4 46 135,88 134,5 8,57 117 162,50
Badan
Kelas 5 33 143,11 144 8,05 124 158,10
(cm)
Kelas 6 51 147,31 148 6,73 125 165,50

Keseluruhan 165 137,70 140 12,75 102 165,50


101

Setelah dilakukannya test normalitas data dengan uji Kolmogorov-

Smirnov variabel tinggi badan responden kelas 2 hingga kelas 6,

didapatkan nilai p value > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data

berdistribusi normal kecuali pada kelas 3 dengan nilai p value ≤ 0,05 .

4. Jenis Kelamin Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Jenis kelamin terbagi menjadi laki-laki dan perempuan. Adapun

distribusi responden menurut jenis kelamin dapat dilihat seperti pada tabel

dibawah ini.

Tabel 5. 5 Distribusi Jenis Kelamin Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Kategori

Jenis Kelamin Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6

N % N % N % N % N %

Laki-Laki 10 55,6 12 70,6 27 58,7 18 54,5 19 37,3

Perempuan 8 44,4 5 29,4 19 41,3 15 45,5 32 62,7

Total 18 100 17 100 46 100 33 100 51 100

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa pada kelas 2, kelas 3, kelas

4. dan kelas 5 lebih banyak siswa berjenis kelamin laki-laki. Jumlah

keseluruhan responden lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dengan

persentase sebesar 52,12 % daripada responden dengan jenis kelamin

perempuan dengan persentase 47,87 %.


102

D. Konsentrasi Boraks pada Bakso yang dijajakan di SDN Cirendeu 02

Ciputat

Pengujian kuantitatif boraks dilakukan untuk mengetahui konsentrasi

boraks yang terkandung dalam bakso. Dalam penelitian ini, bakso di SDN

Cirendeu 02 Ciputat yang mengandung boraks dibawa ke Laboratoriom

Kesehatan Daerah DKI Jakarta untuk diuji kuantitatif menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis sehingga didapatkan hasil konsentrasi boraks

sebagai berikut :

Tabel 5. 6 Konsentrasi Boraks pada Bakso

Zat Kimia Hasil Satuan Syarat

Tidak
Boraks 1314,67 mg/kg
Diperbolehkan

Berdasarkan hasil pengujian tersebut diketahui bahwa kadar boraks

yang terkandung dalam bakso yang telah diuji yaitu 1314,67 mg/kg atau

setara dengan 1,31467 mg/gr, sedangkan boraks tidak boleh digunakan dalam

kadar apapun dalam pembuatan makanan sehingga bagi siswa/i yang

mengkonsumsi bakso tersebut berisiko terhadap gangguan kesehatan.

E. Pola Aktivitas Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

1. Laju Asupan (R)

Laju asupan merupakan banyaknya bakso yang masuk ke dalam tubuh

tiap hari memalui jalur ingesti (dikonsumsi) yang diterima oleh responden
103

dalam satuan gram perhari. Laju asupan didapatkan melalui wawancara

terhadap responden dengan menanyakan berapa banyak jumlah bakso

dikonsumsi perhari serta menimbang sampel bakso.

Setelah dilakukannya tes kenormalan data menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value variabel banyak bakso

yang dikonsumsi ≤ 0,05 sehingga diketahui bahwa data tidak berdistribusi

normal. Dengan demikian, dalam perhitungan analisis risiko nilai median

variabel banyak bakso yang digunakan yaitu 3 butir bakso. Tahapan

selanjutnya untuk mendapatkan nilai laju asupan yaitu menimbangan 3

butir bakso.

Gambar 5. 2 Penimbangan Sampel Bakso

Tabel 5. 7 Laju Asupan pada Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Variabel gr/hari

Laju Asupan 113,76


104

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa laju asupan pada siswa/i

SDN Cirendeu 02 Ciputat yaitu sebesar 113, 76 gr/hari.

2. Durasi Pajanan (Dt)

Durasi pajanan merupakan lamanya atau jumlah tahun terjadinya pajanan

boraks terhadap siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat yang menjadi

responden. Berdasarkan tes kenormalan data yang telah dilakukan

menggunakan uji Kolmogorov-smirnov didapatkan nilai p value ≤ 0,05

sehingga data tidak berdistribusi normal, dengan demikian dalam

perhitungan analisis risiko kesehatan lingkungan nilai median dari durasi

pajanan yang digunakan.

Tabel 5. 8 Durasi Pajanan (Dt) pada Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Variabel Katrgori N Mean Median SD Min Max

Kelas 2 18 2 2 - - -

Durasi Kelas 3 17 2,74 3 0,61 1 3

Pajanan Kelas 4 46 3,80 4 0,92 2 4

(Tahun) Kelas 5 33 4,94 5 0,35 3 5

Kelas 6 51 5,61 6 1,06 1 6

Berdasarkan tabel diatas diketahui tiap kelas memiliki nilai durasi

pajanan realtime atau pajanan yang sebenarnya terjadi berbeda-beda yaitu

nilai 2 tahun untuk kelas 2, nilai 3 tahun untuk kelas 3, nilai 4 tahun untuk

kelas 4, nilai 5 tahun untuk kelas 5 dan nilai 6 tahun untuk kelas 6.
105

3. Frekuensi Pajanan (fE)

Frekuensi pajanan merupakan jumlah hari keterpaparan boraks pada

siswa/i yang menjadi responden dalam penelitian ini. Frekuensi pajanan

berupa banyak hari mengkonsumsi bakso mengandung boraks yang

dinyatakan dalam satuan hari/ tahun.

Tabel 5. 9 Distribusi Frekuensi Pajanan Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat dalam


tahun

Variabel Kelas N Mean Median SD Min Max

2 18 132 110 85,37 44 264

Frekuensi 3 17 90,59 88 59,17 44 220

Pajanan 4 46 112,87 88 60,58 44 264

(hari/tahun) 5 33 97,33 88 62,95 44 264

6 51 112,02 132 52,25 44 220

Setelah dilakukannya tes kenormalan data frekuensi pajanan di

dapatkan nilai p value ≤ 0,05 sehingga data tidak berdistribusi normal.

Dengan demikian dalam perhitungan analisis risiko kesehatan lingkungan

nilai median frekuensi pajanan yang digunakan.

F. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) Boraks

1. Analisis Dosis Respon

Analisis dosis respon dilakukan untuk mengetahui nilai dosis referensi

(RfD) untuk jalur pajanan ingesti serta slope factor (SF) dari agen risiko

tersebut. Analisis dosis respon dilakukan dengan studi literatur dari


106

berbagai toxicological reviews, jurnal ilmiah, artikel, buku dan lain

sebagainya (DIRJEN PP dan PL KEMENKES, 2012).

Reference Dose (RfD) merupakan dosis atau konsentrasi pajanan

harian agen risiko non karsinogenik yang tidak menimbulkan efek yang

mengganggu walaupun terjadinya pajanan sepanjang hayat. Sedangkan

slope factor (SF) merupakan dosis atau konsentrasi dari pajanan harian

agen risiko karsinogenik yang tidak menyebabkan gangguan atau

timbulnya kanker walaupun terjadi pajanan sepanjang hayat. Nilai

Reference Dose (RfD) merupakan dosis refernsi yang digunakan untuk

perhitungan tingkat risiko non karsinogenik akibat pajanan dari suatu zat

kimia, sedangkan slope factor (SF) merupakan dosis yang digunakan

untuk mengitung tingkat risiko karsinogenik akibat pajanan dari suatu zat

kimia.

Nilai referensi dosis (RfD) dari boraks yaitu 2E-1 mg/kg-day atau

setara dengan 0,2 mg boraks/kg/hari (IRIS, 2004 ; Mt. Hough Ranger

Distric, Plumas National Forest Plumas Country California, 2006 ; EPA,

2004). Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan oleh peneliti tidak

ditemukan nilai Slope Factor (SF) dengan demikian dalam perhitungan

tingkat risiko karsinogenik dalam penelitian ini digunakan dosis

eksperimental lain yaitu No Observed Effect Level (NOAEL) (Direktoral

Jendral PP dan PL KEMENKES, 2012).


107

No Observed Effect Level (NOAEL) merupakan dosis tertinggi dari

suatu zat yang tidak menimbulkan efek merugikan pada manusia dan

hewan. Menurut EPA tahun 2006, NOAEL zat kimia boraks yaitu sebesar

8,8 mg/kg berat badan/hari atau setara dengan 0,113 (mg/kg/day)-1

2. Analisis Pemajanan

Analisis pemajanan dalam studi ARKL dilakukan dengan mengukur

atau menghitung intake (asupan) dari agen risiko yaitu boraks dalam tubuh

manusia. Intake merupakan banyaknya boraks yang diperkirakan masuk

kedalam tubuh. Perhitungan nilai intake dalam penelitian ini dibedakan

berdasarkan kelas. Intake non-karsinogenik dan intake karsinogenik

dihitung untuk pajanan realtime atau lama responden mengkonsumsi

bakso berboraks di area penelitian sampai saat penelitian ini dilakukan,

proyeksi intake hingga 30 tahun untuk efek non-karsinogenik dan

proyeksi intake hingga 70 tahun untuk efek karsinogenik (lifespan).

Dalam perhitungan intake non karsinogenik dan intake karsinogenik

digunakan rumus perhitungan sebagai berikut :

Tabel 5. 10Variabel Karakteristik Individu dan Pola Aktivitas dalam Perhitungan Rumus
Intake pada Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Kategori
Variabel
Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6
Konsentrasi
1,31467 mg/gr
Boraks (C)
Berat Badan (Wb) 28,3 kg 26,81 kg 34,40 35,57 kg 41,44 kg
108

Kategori
Variabel
Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6
Frekuensi 132
110 hari/tahun 88 hari/tahun 88 hari/tahun 88 hari/tahun
Pajanan (fE) hari/tahun
Laju Asupan (R) 113,76 gr/hari
Realtime : 2 Realtime: 3 Realtime: 4 Realtim : 5 Realtime: 6
tahun tahun tahun tahun tahun
Non Non Non Non Non
Durasi Pajanan
Karsinogen : Karsinogen : Karsinogen : Karsinogen : Karsinogen :
(Dt))
30 tahun 30 tahun 30 tahun 30 tahun 30 tahun
Karsinogen : Karsinogen : Karsinogen : Karsinogen : Karsinogen :
70 tahun 70 tahun 70 tahun 70 tahun 70 tahun
Non-Karsinogenik : 10.950
Tavg
Karsinogenik : 25.550

a. Perhitungan Intake Realtime

Pajanan realtime merupakan pajanan yang diperkirakan terjadi

selama responden mengkonsumsi bakso berboraks di area penelitian

sampai saat penelitian ini dilakukan. Lama pajanan (Dt) dapat

mempengaruhi intake sehingga perhitungan pajanan realtime

dilakukan untuk mengetahui besarnya kadar boraks yang

diperkirakan diterima oleh siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat selama

bersekolah di SD tersebut.

1) Intake Non Karsinogenik Realtime

Setelah dilakukanya perhitungan nilai intake non karsinogenik

realtime maka didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 5. 11 Intake Non Karsinogenik Realtime

Kategori Intake Non Karsinogenik Realtime


(mg/kg/hari)
Kelas 2
0.106
109

Kelas 3
0,134
Kelas 4
0,158
Kelas 5
0,169
Kelas 6
0,261

Berdasarkan hasil perhitungan nilai intake non karsinogenik

realtime diatas diketahui bahwa nilai intake terendah terdapat

pada kelas 2 yaitu sebesar 0,106 mg/kg/hari, sedangkan nilai

intake tertinggi pada kelas 6 yaitu sebesar 0.261 mg/kg/hari.

Nilai intake realtime non karsinogenik kelas 2 hingga kelas 5

berada dibawah nilai RfD (0,2 mg/kg/hari), sedangkan pada

kelas 6 nilai intake > RfD.

2) Intake Karsinogenik Realtime

Setelah dilakukanya perhitungan nilai intake non karsinogenik

realtime maka didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 5. 12 Intake Karsinogenik Realtime

Kelas
Intake Karsinogenik Realtime (mg/kg/hari)
2
0.045
3
0.058
4
0,068
5
0,072
6
0,112
110

Berdasarkan hasil perhitungan nilai intake karsinogenik

realtime diatas diketahui bahwa nilai intake terendah terdapat

pada kelas 2 yaitu sebesar 0,045 mg/kg/hari, sedangkan nilai

intake tertinggi pada kelas 6 yaitu sebesar 0,112 mg/kg/hari. Nilai

intake realtime karsinogenik kelas 2 hingga kelas 6 berada

dibawah nilai NOAEL, yaitu < 0,113 (mg/kg/hari)-1 atau < 8,8

mg/kg/hari.

b. Proyeksi Intake Non Karsinogenik 30 Tahun Mendatang

Pada penelitian ini intake non karsinogenik selain dihitung

untuk pajanan realtime, tetapi proyeksikan pula hingga 30 tahun

mendatang. Setelah dilakukannya perhitungan nilai intake non

karsinogenik, didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 5. 13 Proyeksi Intake Non Karsinogenik 30 Tahun Mendatang

Intake Non Karsinogenik (mg/kg/hari)

Proyeksi Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6

5 tahun 0,265 0,224 0,198 0,169 0,218

10 tahun 0,530 0,448 0,395 0,338 0,435

15 tahun 0,794 0,672 0,593 0,507 0,653

20 tahun 1,059 0,897 0,791 0,676 0,870

25 tahun 1,324 1,121 0,988 0,845 1,088

30 tahun 1,589 1,345 1,186 1,014 1,305


111

Berdasarkan hasil perhitungan proyeksi nilai intake non

karsinogenik untuk 30 tahun yang akan datang diketahui bahwa terus

terjadi pengikatan nilai intake dari proyeksi tahun ke 5 hingga

proyeksi tahun ke 30. Nilai intake non karsinogenik terendah pada

kelas 2 hingga kelas 6 terdapat pada proyeksi tahun ke 5 sedangkan

nilai intake non karsinogenik tertinggi pada kelas 2 hingga kelas 6

terdapat pada proyeksi tahun ke 30. Berdasarkan tabel diatas,

diketahui bahwa hanya pada kelas 4 dan kelas 5 proyeksi tahun ke 5

nilai intake non karsinogenik < nilai RfD yaitu < 0,2 mg/kg/hari.

Selebihnya nilai intake > nilai RfD yaitu > 0,2 mg/kg/hari.

c. Proyeksi Intake Karsinogenik 70 Tahun Mendatang

Nilai intake karsinogenik selain dihitung untuk pajanan

realtime, diproyeksikan pula hingga 70 tahun mendatang. Setelah

dilakukannya perhitungan nilai intake karsinogenik pada kelas 2

hingga kelas 6 SDN Cirendeu 02 Ciputat, didapatkan hasil sebagai

berikut :

Tabel 5. 14 Proyeksi Intake 70 Tahun Mendatang

Intake rata-rata (mg/kg/hari)

Proyeksi Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6

10 tahun 0,227 0,192 0,169 0,145 0,188

20 tahun 0,454 0,384 0,339 0,290 0,373

30 tahun 0,681 0,576 0,508 0,434 0,559


112

40 tahun 0,908 0,769 0,678 0,579 0,746

50 tahun 1,135 0,961 0,847 0,724 0,932

60 tahun 1,362 1,153 1,017 0,869 1,119

70 tahun 1,589 1,345 1,186 1,014 1,305

Berdasarkan hasil perhitungan proyeksi nilai intake

karsinogenik untuk 70 tahun yang akan datang diketahui bahwa

terus terjadi pengikatan nilai intake dari proyeksi tahun ke 10

hingga proyeksi tahun ke 70. Nilai intake karsinogenik terendah

pada kelas 2 hingga kelas 6 terdapat pada proyeksi tahun ke 10

sedangkan nilai intake karsinogenik tertinggi pada kelas 2 hingga

kelas 6 terdapat pada proyeksi tahun ke 70. Nilai intake

karsinogenik terendah terdapat pada proyeksi tahun ke 10 pada

kelas 5 yaitu sebesar 0,145 mg/kg/hari. Sedangkan nilai intake

tertinggi terdapat pada proyeksi tahun ke 70 pada kelas 2 yaitu

sebesar 1,589 mg/kg/hari. Berdasarkan tabel diatas diketahui

bahwa nilai intake karsinogenik proyeksi tahun ke 10 hingga

tahun ke 70 pada kelas 2 hingga kelas 6 > NOAEL, yaitu > 0,113

(mg/kg/hari)-1 atau > 8,8 mg/kg/hari.


113

3. Karakteristik Risiko

Karakteristik risiko merupakan upaya yang dilakukan untuk

mengetahui seberapa besar tingkat risiko atau tingkat bahaya dari risk

agent yaitu boraks yang memajan ke dalam tubuh suatu populasi terhadap

efek non karsinogenik dan efek karsinogenik.

Tingkat risiko pada efek non karsinogenik dinyatakan dalam Risk

Quotien (RQ). Perhitungan karakterisasi risiko untuk efek non

karsinogenik dilakukan dengan membandingkan atau membagi Intake

dengan nilai dosis referensi (RfD). Berikut ini merupakan rumus untuk

menentukan Risk Quotien (RQ) :

RQ =

Tingkat risiko dinyatakan aman apabila nilai intake ≤ RfD atau

dinyatakan RQ ≤ 1, sedangkan tingkat risiko dikatakan tidak aman

bilamana nilai intake > RfD atau dinyakan RQ > 1 maka diperkirakan

dapat menimbulkan efek kesehatan karsinogenik.

Tingkat risiko untuk efek karsnogenik dinyatakan dalam notasi

Excess Cancer Risk (ECR). Perhitungan karakterisasi risiko efek

karsinogenik dilakukan dengan mengalikan intake dengan Slope Factor

(SF). Berikut ini merupakan rumus unuk menetukan Excess Cancer Risk

(ECR) :
114

ECR = I x SF

Belum tersedianya nilai slope factor dari zat kimia boraks,

sehingga dalam penelitian ini digunakan dosis referensi lainnya yaitu

NOAEL. Tingkat risiko dikatakan aman apabila ECR ≤ 1/10.000 dan

tingkat risiko dikatakan tidak aman apabila ECR > 1/10.000 sehingga

diperkirakan dapat menimbulkan efek kesehatan karsinogernik (Dirjen

PP&PL, 2012).

Tabel 5. 15 Nilai RfD dan NOAEL dalam Perhitungan Rumus Tingkat Risiko pada
Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Dosis Eksperimental Nilai Satuan

RfD 0,2 mg boraks/kg/hari

NOAEL 0,113 (mg/kg/day)-1

a. Tingkat Risiko Realtime

1) Tingkat Risiko Realtime Non Karsinogenik (RQ)

Tabel 5. 16 Tingkat Risiko Realtime Non Karsinogenik (RQ)

Kategori Tingkat Risiko (RQ)

Kelas 2 0,530

Kelas 3 0,672

Kelas 4 0,791

Kelas 5 0,845

Kelas 6 1,305
115

Berdasarkan tabel diatas diperoleh hasil tingkat risiko

(RQ) realtime akibat pajanan boraks dengan nilai RQ terendah

terdapat pada kelas 2 yaitu sebesar 0,530 dan nilai RQ tertinggi

terdapat pada kelas 6 yaitu sebesar 1,305. Siswa kelas 6 memiliki

nilai RQ realtime > 1 sehingga dapat dikatakan berisiko terhadap

penyakit non karsinogenik..

2) Tingkat Risiko Realtime Karsinogenik

Tabel 5. 17 Tingkat Risiko Realtime Karsinogenik (ECR)

Kategori Tingkat Risiko (ECR)

Kelas 2 0,005

Kelas 3 0,007

Kelas 4 0,008

Kelas 5 0,008

Kelas 6 0,013

Berdasarkan tabel hasil tingkat risiko realtime

karsinogenik (ECR) diatas dapat diketahui bahwa nilai ECR

terendah terdapat pada kelas 2 yaitu sebesar 0,005, sedangkan

nilai ECR tertinggi terdapat pada kelas 6 yaitu sebesar 0,013.

Nilai tingkat risiko realtime karsinogenik (ECR) pada siswa kelas

2 hingga kelas 6 SDN Cirendeu 02 Ciputat > 1/10.000 sehingga

dapat diketahui bahwa siswa/i tersebut berisiko terhadap penyakit

karsinogenik.
116

b. Proyeksi Tingkat Risiko Non Karsinogenik (RQ) 30 Tahun

Mendatang

Tabel 5. 18 Proyeksi Tingkat Risiko Non Karsinogenik (RQ) 30 Tahun


Mendatang

Tingkat Risiko (RQ)


B
Proyeksi Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6
e
5 tahun 1,324 1,121 0,988 0,845 1,088
r
10 tahun 2,648 2,242 1,977 1,690 2,175
d
15 tahun 3,972 3,362 2,965 2,534 3,263
a
20 tahun 5,296 4,483 3,954 3,379 4,351
s
25 tahun 6,620 5,604 4,942 4,224 5,438
a
30 tahun 7,944 6,725 5,931 5,069 6,526
r

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa proyeksi nilai RQ

pada tiap kelas dari tahun ke-5 sampai tahun ke-30 mengalami

peningkatan. Hanya pada proyeksi tahun ke 5 pada kelas 4 dan

kelas 5 nilai RQ < 1 sehingga siswa SDN Cirendeu 02 Ciputat

kelas dan tahun tersebut tidak berisiko terhadap penyakit non

karsinogenik. Pada tiap kelas dari tahun ke-10 sampai tahun ke-30

diperoleh nilai RQ > 1 yang berarti responden dalam penelitian

ini pada tahun ke 10 hingga tahun ke 30 dinyatakan berisiko

terhadap penyakit non kanker.


117

c. Proyeksi Tingkat Risiko Karsinogenik (ECR) 70 Tahun

Mendatang

Tabel 5. 19 Tingkat Risiko Karsinogenik (ECR)

Tingkat Risiko (ECR)

Proyeksi Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6

10 tahun 0,026 0,022 0.019 0.016 0.021

20 tahun 0,052 0,044 0.039 0.033 0.042

30 tahun 0,077 0,065 0.058 0.049 0.064

40 tahun 0,103 0,087 0.077 0.066 0.085

50 tahun 0,129 0,109 0.096 0.082 0.106

60 tahun 0,155 0,131 0.116 0.099 0.127

70 tahun 0,181 0,153 0.135 0.115 0.148

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa proyeksi

nilai ECR pada tiap kelas dari tahun ke-10 sampai tahun ke-70

mengalami peningkatan. Pada tiap kelas dari tahun ke-10

sampai tahun ke-70 diperoleh nilai ECR > 1/10.000 yang

berarti seluruh responden dalam penelitian ini dinyatakan

berisiko terhadap penyakit kanker di tahun tersebut.

4. Manajemen Risiko

Manajemen risiko merupakan suatu upaya pengelolaan risiko

yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari analisis risiko kesehatan

lingkungan yang dilakukan apabila tingkat risiko dikatakan tidak


118

aman. Manajemen risiko dilakukan apabila ditemukan nilai RQ >

1 dan nilai ECR > 1/10.000 (Dirjen PP&PL, 2012). Manajemen

risiko pada dasarkannya dilakukan dengan tujuan agar individu

atau populasi yang berisiko terpajan oleh boraks tetap aman dari

gangguan kesehatan. Manajemen risiko dilakukan dengan

perhitungan batas aman sehingga didapatkan konsentrasi aman dan

jumlah konsumsi aman, sehingga dapat dilakukan upaya

menurunkan konsentrasi pajanan (C) serta membatasi jumlah

konsumsi (R).

Tabel 5. 20 Variabel Karakteristik Individu dan Pola Aktivitas dalam Perhitungan


Rumus Perhitungan Batas Aman pada Siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat

Kategori
Variabel
Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6
Konsentrasi Boraks
1,31467 mg/gr
(C)
Berat Badan (Wb) 28,3 kg 26,81 kg 34,40 35,57 kg 41,44 kg
Frekuensi Pajanan 110 88 88 88 132
(fE) hari/tahun hari/tahun hari/tahun hari/tahun hari/tahun
Laju Asupan (R) 113,76 gr/hari
Variabel Kategori
Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6
Durasi Pajanan (Dt)) 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun
Non-Karsinogenik : 10.950
Tavg
Karsinogenik : 25.550
RfD 0,2 mg/kg/hari
119

a. Penentuan Konsentrasi Aman (C)

1) Penentuan Konsentrasi Aman (C) Non Karsinogenik

Penentuan konsentrasi aman non karsinogenik dilakukan

dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

( )

Berikut merupakan hasil perhitungan konsentrasi aman

non karsinogenik :

Tabel 5. 21 Hasil perhitungan Manajemen Risiko Konsentrasi


Aman Boraks Non Karsinogenik

Kategori Konsentrasi Aman Non Karsinogenik (mg/gr)

Kelas 2
2,483
Kelas 3
1,955
Kelas 4
1,663
Kelas 5
1,556
Kelas 6
1,007

Berdasarkan hasil perhitungan manajemen risiko diatas

diketahui bahwa konsentrasi aman boraks non

karsinogenik terendah terdapat pada kelas 6 yaitu sebesar

1,007, sedangkan konsentrasi aman tertinggi terdapat pada

kelas 2 yaitu sebesar 2,483 mg/gr.

Konsentrasi aman boraks non karsinogenik pada siswa

kelas 2 yaitu sebesar 2,483 mg/gr/hari, sedangkan


120

konsentrasi boraks yang terkandung dalam bakso yaitu

sebesar 1,31467 mg/gr sehingga diketahui bahwa bakso

tersebut masih aman dikonsumsi dalam jangka waktu 2

tahun apabila dikonsumsi sebanyak 113,76 gr/hari (3

buah) selama 110 hari/tahun oleh orang dengan berat

badan 28,3 kg atau lebih.

Konsentrasi aman boraks non karsinogenik untuk siswa

kelas 3 yaitu sebesar 1,955 mg/gr, sedangkan konsentrasi

boraks yang terkandung dalam bakso yaitu sebesar

1,31467 mg/gr sehingga diketahui bahwa bakso tersebut

masih aman dikonsumsi dalam jangka waktu 3 tahun

dengan jumlah konsumsi sebanyak 113,76 gr/hari (3 buah)

selama 88 hari/tahun oleh orang dengan berat badan 26,81

kg atau lebih

Pada siswa kelas 4, konsentrasi aman boraks non

karsinogenik sebesar 1,663 mg/gr, sedangkan konsentrasi

boraks yang terkandung dalam bakso yaitu sebesar

1,31467 mg/gr sehingga diketahui bahwa bakso tersebut

masih aman dikonsumsi apabila dikonsumsi dalam jangka

waktu 4 tahun dengan jumlah konsumsi sebanyak 113,76

gr/hari (3 buah) selama 88 hari/tahun oleh orang dengan

berat badan 34,40 kg atau lebih.


121

Konsentrasi aman boraks non karsinogenik untuk siswa

kelas 5 yaitu sebesar 1, 556 mg/gr, sedangkan konsentrasi

boraks pada bakso yang terkandung dalam bakso yaitu

sebesar 1,31467 mg/gr sehingga diketahui bahwa bakso

tersebut masih aman dikonsumsi dalam jangka waktu 5

tahun dengan dengan jumlah konsumsi sebanyak 113,76

gr/hari (3 buah) selama 88 hari/tahun oleh orang dengan

berat badan 35,57 kg atau lebih..

Konsentrasi aman boraks non karsinogenik untuk siswa

kelas 6 yaitu sebesar 1,007 mg/gr/hari, sedangkan

konsentrasi boraks pada bakso yang terkandung dalam

bakso yaitu sebesar 1,31467 mg/gr sehingga diketahui

bahwa bakso tersebut tidak aman dikonsumsi dalam

jangka waktu 6 tahun atau lebih dengan jumlah konsumsi

sebanyak sebanyak 113,76 gr/hari (3 buah) selama 132

hari/tahun oleh orang dengan berat badan 41,44 kg atau

lebih. Dengan demikian perlu dilakukan manajemen risiko

sehingga siswa kelas 6 tidak berisiko terhadap gangguan

kesehatan akibat pajanan boraks.

2) Penentuan Jumlah Konsentrasi Aman (C) Karsinogenik

Penentuan konsentrasi aman karsinogenik dilakukan

dengan menggunakan rumus sebagai berikut :


122

( )
( )

Berikut merupakan hasil perhitungan konsentrasi aman

karsinogenik :

Tabel 5. 22 Hasil perhitungan Manajemen Risiko Konsentrasi


Aman Boraks Karsinogenik Pajanan

Kategori Konsentrasi Aman Karsinogenik (mg/gr)

Kelas 2
0,025
Kelas 3
0,007
Kelas 4
0,017
Kelas 5
0,016
Kelas 6 0,010

Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai konsentrasi

boraks aman karsinogenik pada siswa kelas 2 hingga kelas

6. Nilai konsentrasi aman terendah terdapat pada kelas 6

yaitu 0,010 mg/gr, sedangkan konsentrasi aman tertinggi

terdapat pada kelas 2 yaitu sebesar 0,025 mg/gr.

Pada siswa kelas 2 didapatkan konsentrasi aman

karsinogenik yaitu sebesar 0,025 mg/gr sedangkan

konsentrasi boraks yang terkandung dalam bakso yaitu

sebesar 1,31467 mg/gr sehingga diketahui bahwa bakso

tersebut tidak aman dikonsumsi dalam jangka waktu 2


123

tahun apabila dikonsumsi sebanyak 113,76 gr/hari (3

buah) selama 110 hari/tahun oleh orang dengan berat

badan 28,3 kg atau lebih.

Pada siswa kelas 3 didapatkan konsentrasi aman

karsinogenik yaitu sebesar 0,007 mg/gr sedangkan

konsentrasi boraks yang terkandung dalam bakso yaitu

sebesar 1,31467 mg/gr sehingga diketahui bahwa bakso

tersebut tidak aman dikonsumsi dalam jangka waktu 3

tahun dengan jumlah konsumsi sebanyak 113,76 gr/hari (3

buah) selama 88 hari/tahun oleh orang dengan berat badan

26,81 kg atau lebih

Hasil perhitungan konsentrasi aman karsinogenik

terhadap siswa kelas 4 sebesar 0,017 mg/hari, sedangkan

konsentrasi boraks yang terkandung dalam yaitu sebesar

1,31467 mg/gr, dengan demikian bakso tersebut tidak

aman dikonsumsi dalam jangka waktu 4 tahun dengan

jumlah konsumsi sebanyak 113,76 gr/hari (3 buah) selama

88 hari/tahun oleh orang dengan berat badan 34,40 kg atau

lebih.

Konsentrasi aman konsentrasi boraks pada siswa kelas

5 sebesar 0,016 mg/gr, sedangkan konsentrasi boraks yang


124

terkandung dalam bakso sebesar 1,31467 mg/gr, sehingga

bakso tersebut tidak aman dikonsumsi dalam jangka

waktu 5 tahun dengan dengan jumlah konsumsi sebanyak

113,76 gr/hari (3 buah) selama 88 hari/tahun oleh orang

dengan berat badan 35,57 kg atau lebih..

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan oleh

peneliti pada siswa kelas 6 didapatkan nilai konsentrasi

aman karsinogenik yaitu sebesar 0,010, sedangkan

konsentrasi boraks yang terkandung dalam bakso sebesar

1,31467 mg/gr, sehingga bakso tersebut tidak aman

dikonsumsi dalam jangka waktu 6 tahun dengan jumlah

konsumsi sebanyak sebanyak 113,76 gr/hari (3 buah)

selama 132 hari/tahun oleh orang dengan berat badan

41,44 kg atau lebih.

Berdasarkan pemaparan diatas diketahui bahwa

konsentrasi boraks pada bakso yang dikonsumsi siswa

kelas 2 hingga kelas 6 melebihi nilai konsentrasi aman

non karsniogenik sehingga upaya manajemen risiko perlu

dilakukan untuk menghindarkan siswa/i tersebut terhadap

penyakit karsinogenik.
125

b. Penentuan Jumlah Konsumsi aman (R)

1) Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko non

karsinogenik

Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko non

karsinogenik dilakukan menggunakan rumus sebagai

berikut :

( )

Berikut ini merupakan hasil perhitungan jumlah

konsumsi aman non karsinogenik pada siswa pada siswa

kelas 2 hingga kelas 6 :

Tabel 5. 23 Hasil perhitungan Manajemen Risiko Jumlah Konsumsi


Aman Non Karsinogenik Pajanan

Jumlah Konsumsi Aman Non Karsinogenik


Kategori
(gr/hari)

Kelas 2
214,815
Kelas 3
169,169
Kelas 4
143,866
Kelas 5
134,666
Kelas 6 87,161

Berdasarkan tabel diatas, diketahui jumlah konsumsi

aman (R) non karsinogenik bakso dalam gram perhari pada

siswa/i kelas 2 hiingga kelas 6. Jumlah konsumsi aman

tekecil terdapat pada kelas 6 yaitu sebesar 87,161 gr/hari,


126

sedangkan jumlah konsumsi terbesar terdapat pada kelas 2

yaitu sebesar 214,815 gr/hari.

Pada kelas 2 diketahui bahwa jumlah konsumsi aman

karsinogenik sebesar 214,815 gr/hari, sedangkan laju

asupan yang diterima oleh siswa kelas 2 yaitu sebear

113,76 gr/hari sehinga diketahui bahwa bakso dengan

kadar boraks 1,31467 mg/gr masih aman untuk dikonsumsi

oleh orang dengan berat badan 28,3 kg atau lebih, selama

110 hari/tahun dalam jangka waktu 2 tahun.

Pada siswa kelas 3, diketahui jumlah konsumsi aman

(R) non karsinogenik bakso yaitu 169,169 gr/hari,

sedangkan laju asupan yang diterima oleh siswa kelas 3

yaitu sebear 113,76 gr/hari sehinga diketahui bahwa bakso

dengan kadar boraks 1,31467 mg/gr masih aman untuk

dikonsumsi oleh orang dengan berat badan 26,81 kg atau

lebih, selama 88 hari/tahun dalam jangka waktu 3 tahun.

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan jumlah

konsumsi aman non karsinogenik pada siswa kelas 4 yaitu

sebesar 143,886, sedangkan laju asupan yang yang diterima

oleh siswa tersebut sebear 113,76 gr/hari sehinga diketahui

bahwa bakso dengan kadar boraks 1,31467 mg/gr masih

aman untuk dikonsumsi oleh orang dengan berat badan


127

34,40 kg atau lebih, selama 88 hari/tahun dalam jangka

waktu 4 tahun.

Siswa kelas 5 memiliki laju asupan aman non

karsinogenik sebesar 134,666 gr/hari, sedangkan laju

asupan yang yang diterima oleh siswa tersebut sebear

113,76 gr/hari sehinga diketahui bahwa bakso dengan

kadar boraks 1,31467 mg/gr masih aman untuk dikonsumsi

oleh orang dengan berat badan 35,57 kg atau lebih, selama

88 hari/tahun dalam jangka waktu 5 tahun.

Hasil perhitungan jumlah konsumsi aman non

karsinogenik pada siswa kelas 6 yaitu sebesar 87,161,

sedangkan laju asupan yang yang diterima oleh siswa

tersebut sebear 113,76 gr/hari sehinga diketahui bahwa

bakso dengan kadar boraks 1,31467 mg/gr tidak aman

untuk dikonsumsi oleh orang dengan berat badan 41,44 kg

atau lebih, selama 132 hari/tahun dalam jangka waktu 6

tahun. Dengan demikian diperlukan upaya manajemen

risiko untuk melindungi siswa kelas 6 dari risiko penyakit

non karsinogenik.

2) Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko karsinogenik

Perhitungan jumlah konsumsi aman risiko karsinogenik

dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut :


128

( )
( )

Berikut ini merupakan hasil perhitungan jumlah

konsumsi aman karsinogenik pada siswa pada siswa kelas 2

hingga kelas 6 :

Tabel 5. 24 Hasil perhitungan Manajemen Jumlah Konsumsi Aman


Karsinogenik Pajanan

Kategori Jumlah Konsumsi Aman Karsinogenik (gr/hari)

Kelas 2
2,205
Kelas 3
1,737
Kelas 4
1,477
Kelas 5
1,383
Kelas 6
2,850

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat perolehan

jumlah konsumsi aman karsinogenik dalam gram perhari

pada siswa kelas 2 hingga kelas 6. Jumlah konsumsi aman

karsinogenik terkecil terdapat pada kelas 5 yaitu sebesar

1,383 gr/hari, sedangkan jumlah konsumsi aman terbesar

yaitu pada kelas 6 yaitu sebesar 2,850 gr/hari.

Pada siswa kelas 2 diperoleh jumlah konsumsi aman

karsinogenik yaitu sebesar 2,205 gr /hari, pada kelas 3

sebesar 1,737 gr /hari, pada kelas 4 sebesar 1,477 gr /hari,

pada kelas 5 sebesar 1,383 gr /hari, dan pada kelas 6 sebesar


129

2,850 gr /hari sedangkan jumlah konsumsi atau laju asupan

pada seluruh siswa/i tersebut sebesar 113,76 gr/hari

sehingga jumlah konsumsi pada kelas 2 hingga kelas 6 tidak

aman. Satu butir bakso yang dikonsumsi memiliki berat

37,92 gram, sehingga dapat diketahui bahwa manajemen

risiko untuk mengurangi jumlah konsumsi dapat dilakukan

dengan tidak mengkonsumsi bakso sehingga tidak melebihi

batas aman jumlah konsumsi untuk melindungi siswa/i dari

gangguan penyakit karsinogenik.


BAB VI

PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memaparkan estimasi risiko pajanan boraks pada siswa/i SDN

Cirendeu 02 Ciputat tahun 2019. Dalam proses pelaksanaan penelitian terdapat

beberapa keterbatasan yang berpengaruh terhadap hasil penelitian. Adapun

keterbatasan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Dalam menentukan frekuensi pajanan (hari/tahun) hanya mengandalkan

ingatan responden, sehingga menimbulkan ketidaktepatan pada nilai frekuensi

pajanan yang tentunya akan berpengaruh dalam perhitungan nilai intake

boraks

2. Laju asupan didapatkan melalui wawancara dengan responden dengan

menanyakan jumlah konsumsi bakso yang memanfaatkan daya ingat dari

responden tersebut sehingga dapat menyebabkan ketidaktepatan data laju

asupan. Selain itu terdapat kemungkinan tidak konsistennya jumlah bakso

yang dikonsumsi perorang.

3. Penelitian ini hanya berfokus pada boraks yang memapar manusia melalui

jalur ingesti bersama pangan jajan yang dikonsumsi (bakso)

130
131

4. Penelitian ini hanya melihat pajanan boraks pada manusia, tidak

memperhatikan zat kimia lain yang mungkin saja terdapat pada bakso ataupun

pada saos yang dikonsumsi bersamaan dengan bakso.

5. Pada penelitian ini perkiraan pajanan difokuskan hanya melalui pangan jajan

(bakso) yang dikonsumsi dilingkungan sekolah, sehingga tidak

memperkirakan terjadinya pajanan boraks dari makanan lainnya diluar

lingkungan sekolah.

6. Penelitian ini hanya berfokus pada pajanan populasi tidak pada pajanan

perindividu, hal tersebut dikarenakan studi ARKL menggunakan data agregat

sehingga dalam perhitugannya menggunakan data populasi.

B. Karakteristik Individu Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat

1. Distribusi Usia Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat

Data usia dalam penelitian diperoleh dengan menggunakan metode

wawancara dan alat ukur kuesioner. Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan rata-rata usia keseluruhan siswa SD dari kelas 2 hingga kelas 6

yaitu 10,47 tahun. Usia termuda responden yaitu 8 tahun dan usia adalah

tertua 13 tahun.

Anak-anak merupakan populasi yang rentan dan sering menjadi

korban penyakit yang disebabkan oleh keracunan makanan yang dikerenakan

tidak memperhatikan keamanan makanan yang dikonsumsinya (Ningsih,

2014). Keracunan makanan berisiko pada semua golongan umur, akan tetapi

yang memiliki risiko tinggi terhadap keracucnan yaitu bayi, anak-anak dan
132

mereka yang mempunyai imunitas rendah (Osei-Tutu, 2016). Anak anak

memiliki sistem daya tahan tubuh yang belum berkembang dengan baik dan

optimal sehingga memungkinkan perlawanan tubuh terhadap toksikan masih

belum optimal (Lund, 2011). Anak usia sekolah dasar memiliki tingkat

kerawanan tinggi terhadap penyakit karena belum bekerja dengan baiknya

daya tahan tubuh dan belum sempurnanya kemampuan metabolisme tubuh

(Puspitasari, 2013). Anak-anak yang terpapar boraks akan terkena efek

kesehatan yang sama dengan orang dewasa (ATSDR, 2010). Menurut

Kemenkes RI tahun 2014, anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa siswa/i dalam penelitian ini yang masuk dalam kategori

anak dengan rentang usia 8-13 tahun yang berisiko terhadap penyakit non

karsinogenik ataupun karsinogenik yang disebakan oleh keterpaparan boraks.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Alwi, dkk pada tahun 2015

mengenai analisis risiko kesehatan lingkungan akibat pajanan timbal (Pb)

pada masyarakat yang mengkonsumsi kerang kalandue dari tambak sekitar

sungai wanggu dan muara teluk kendari diketahui bahwa responden dalam

penelitian tersebut berusia 1 hingga > 60 tahun. Penelitian Alwi, dkk berbeda

dengan penelitian ini yang hanya melakukan penelitian pada siswa dengan

rentang usia 8-13 tahun.

Usia responden dalam penelitian Ardyani yang berjudul analisis risiko

kesehatan anak sekolah dasar akibat mengkonsumsi pangan jajan yang


133

mengandung formalin pada dua sekolah di Kecamatan Pancoranmas Depok

pada tahun 2015 berkisar 8-13. Adapun kisaran usia responden dalam

penelitian adriyani sama seperti penelitian ini.

2. Distribusi Berat Badan Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat

Pengukuran berat badan responden pada penelitian ini dilakuan

dengan metode pengukuran langsung menggunakan alat pengukur berat badan

(timbangan). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh berat badan siswa/i yang

menjadi responden dalam penelitian ini berkisar antara 19,20 kg -73,40 kg

dengan rata-rata berat badan keseluruhan responden yaitu 33,8 kg.

Dalam studi Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL), semakin

kecil berat badan maka akan semakin besar intake yang diterima oleh tubuh

karena berat badan berfungsi sebagai denominator atau pembagi dalam rumus

perhitungan intake. Begitu pula sebaliknya, semakin besar berat badan maka

akan kecil besar intake yang diterima oleh tubuh manusia.

Berat badan merupakan parameter pengukuran tubuh dalam satuan

kilogram (Rahman dkk, 2017). Pada berat badan normal terdapat jaringan

lemak 15-20 % dari total berat badan. Semakin besar berat badan maka

semakin banyak pula lemak yang terdapat pada tubuh. Lemak merupakan

merupakan salah satu organ yang terbesar dalam tubuh. Selain sebagai

cadangan energi, lemak juga berfungsi sebagai penyimpan toksin yang

terserap oleh usus dan liver, dengan demikian lemak dapat mencegah toksin
134

beredar terlalu banyak pada sistem peredaran darah (Karudeng, dkk. 2014).

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan semakin berat badan seseorang

maka akan semakin banyak pula lemak yang tersebar didalam tubuh yang

mampu menyimpan lebih banyak toksin sehingga tidak menyebar ke organ

tubuh melalui aliran darah.

Pada penelitian Ardyani pada tahun 2015 diketahui berat badan

responden penelitian tersebut berkisar dari 17,8 kg hingga 61,5 kg sedangkan

responden dalam penelitian ini memiliki berat badan dengan kisaran 19,20 kg

hingga 73,40 kg. Berat badan responden dalam penelitian Ardyani berdekatan

nilainya dengan berat badan responden penelitian ini.

3. Distribusi Tinggi Badan Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat

Tinggi badan responden pada penelitian ini diukur langsung dengan

alat pengukur tinggi badan. Rata-rata tinggi responden yaitu 137,7 cm dengan

rentang tinggi badan 102 cm hingga 165,50 cm.

Tinggi badan digunakan sebagai parameter dalam perhitungan Indeks

Masa Tubuh (IMT) untuk menentukan status gizi pada anak (Utari, 2007).

Toksikokenetika zat kimia didalam tubuh seperti absorbsi, distribusi,

metabolisme, dan eliminasi menjadi penentu risiko terjadinya toksisitas yang

dapat dipengaruhi oleh status gizi dari seorang individu (Wirasuta, 2006).

Status gizi merupakan faktor yang tidak langsung yang mempengaruhi efek

toksik dari zat kimia dalam tubuh manusia (Hernawati, 2008). Akan tetapi

berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Runia pada tahun 2008 dengan
135

menggunakan uji Chi-square didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada

hubungan antara status gizi dengan keracunan akibat zat kimia. Berdasarkan

Toxicological Profile Boron yang dikeluarkan oleh U.S Departemen of Health

and Human Services Agency for Toxic Substances and Disease Registry tahun

2010, belum dilakukannya penelitian lanjutan mengenai pengaruh tinggi

badan maupun status gizi terhadap toksisitas boraks dalam tubuh manusia,

sehingga belum diketahui apakah tinggi badan maupun status gizi

berpengaruh terhadap toksisitas boraks didalam tubuh.

Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat pada menurunnya

daya tahan tubuh. Pada kondisi gizi buruk, protein tubuh jumlahnya sangat

terbatas yang akan mengganggu pembentukan enzim kholinesterase yang

berdampak pada timbulnya gejala keracunan sehingga berpengaruh terhadap

seluruh bagian tubuh. Penurunan enzim kholinesterase akan berpengaruh

terhadap kemampuan tubuh dalam memerangi toksikan. Enzim kholinesterase

mampu mengubah derajad asam basa sehingga dapat mengurangi toksisitas

zat kima, akan tetapi jika jumlahnya semakin menurunu dalam tubuh maka zat

toksik akan mampu menimbulkan efek keracunan (Prijanto, 2009)

4. Distribusi Jenis Kelamin Siswa/I SDN Cirendeu 02 Ciputat

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui pada

kelas 2, kelas 3, kelas 4. dan kelas 5 lebih banyak siswa berjenis kelamin laki-

laki sedangkan pada kelas 6 lebih banyak siswa berjenis kelamin perempuan.

Jumlah keseluruhan responden lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dengan


136

persentase sebesar 52,12 % daripada responden dengan jenis kelamin

perempuan dengan persentase 47,87 %.

Responden dalam penelitian yang dilakukan oleh Febriani, dkk pada

tahun 2018 lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dengan persentase 67,75

% daripada berjenis kelamin perempuan dengan persentase 31,25 %.

Berdasarkan pemaparan tersebut diketahui bahwa penelitian Febriani sejalan

dengan penelitian ini dimana responden penelitian lebih banyak berjenis

kelamin laki-laki.

Scientific Committee on Consumer Safety (SCCS) dalam buku Opinion

on Boron Compounds memaparkan bahwa tidak ada perbedaan kerentanan

tubuh terhadap paparan boraks pada laki-laki dan perempuan sehingga

semuanya memiliki kerentanan dan risiko yang sama terhadap keterpaparan

boraks.

C. Konsentrasi Boraks pada Bakso yang dijajakan di SDN Cirendeu 02 Ciputat

Analisis kuantitatif boraks pada bakso yang terdapat di SDN Cirendeu 02

Ciputat dilakukan oleh Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta dengan

menggunakan Spektrofotometer Uv-Vis sehingga didapatkan nilai konsentrasi

boraks yang terkandung dalam bakso yaitu 1,31467 mg/gr.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033

Tahun 2012, boraks merupakan salah satu bahan yang dilarang digunakan sebagai

Bahan Tambahan Pangan sehingga boraks tidak diperbolehkan digunakan sebagai


137

bahan campuran makanan. Boraks merupakan bahan kimia berbahaya yang tidak

diperbolehkan dalam makanan dan dinyatakan ilegal penggunaannya dalam

produk pangan (USFDA, 2019). Boraks beracun yang apabila dikonsumsi dapat

menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti kerusakan ginjal, kanker

bahkan kematian (Sundarnika, etih dkk, 2016). Pemakaian borak dalam makanan

tidak diperbolehkan dalam kadar apapun dikarenakan bahaya bagi kesehatan

manusia. (Athaya et al, 2015). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa

keberadaan boraks dalam makanan menandakan telah terjadi permasalahan

keamanan pangan dimana telah digunakannya bahan kimia berbahaya sebagai

bahan tambahan makanan yang tentunya akan dapat menimbulkan berbagai

permasalahan kesehatan terhadap masyarakat.

Ditemukannya bakso mengandung boraks di SDN Cirendeu 02 Ciputat

menandakan bahwa terjadi permasalahan keamanan pangan pada lingkungan

sekolah dasar yaitu penggunaan boraks sebagai bahan campuran pada bakso yang

menyebabkan siswa/i SD yang mengkonsumsi bakso tersebut berisiko terhadap

non karsinogenik dan penyakit karsinogenik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Santi pada tahun 2017 yang

dilakukan di Sekolah Dasar Serua Indah 1 Ciputat dengan menguji keberadaan

boraks secara kualitatif menggunakan metode uji colorimetric didapatkan hasil

seluruh sampel makanan yang diuji (cimol, cireng isi, bakso, dan batagor) tidak

mengandung boraks. Penelitian yang dilakukan oleh Santi tersebut berbanding


138

terbalik dengan penelitian ini dimana telah ditemukan keberadaan boraks pada

pangan jajan bakso.

Penelitian yang dilakukan oleh Rumanta dkk pada tahun 2017 dengan

menganalisis kandungan boraks pada makanan di wilayah kecamatan pamulang

menemukan pangan jajan yang mengandung boraks yaitu 1 sampel bakso dengan

konsentrasi boraks 1,700 mg/kg atau setara dengan 1,7 mg/gr boraks. Penelitian

yang dilakukan oleh Rumanta tersebut menemukan kandungan boraks pada bakso

yang lebih tinggi daripada kandungan bakso dalam penelitian ini yaitu sebesar

1,31467 mg/gr. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pang-Hung Yiu dkk

tahun 2008 di Sarawak, Malaysia dengan menguji mie kuning didapatkan hasil

mie kuning tersebut mengandung boraks dengan konsentrasi 2,034 g/gr atau

setara dengan 0,002034 mg/gr, dimana dalam penelitian Yiu,dkk kadar boraks

yang didapatkan lebih kecil daripada penelitian ini. Walaupun demikian

keberadaan boraks dalam kadar apapun pada makanan akan memungkinkan

terakumulasi didalam tubuh, sehinga populasi yang mengkonsumsi makanan

mengandung boraks tersebut berisiko terhadap gangguan kesehatan.

D. Pola Aktivitas

1. Laju Asupan

Laju asupan atau jumlah konsumsi bakso rata-rata yang diterima oleh

siswa/i yang menjadi responden dalam penelitian ini sebesar 113,67 gr/hari.

Pada studi analisis risiko kesehatan lingkungan, nilai laju asupan dapat
139

mempengaruhi besarnya nilai tingkat risiko, dengan demikian semakin

banyak bakso yang dikonsumsi maka akan semakin besar tingkat risiko yang

diterima. Besarnya tingkat risiko akan berdampak pada munculnya gangguan

kesehatan baik secara non karsinogenik maupun karsinogenik terhadap

individu.

Laju asupan merupakan volume makanan yang masuk ke dalam tubuh

dalam gram setiap harinya. Dalam perhitungan nilai intake laju asupan

merupakan salah satu variabel pembilang yang akan mempengaruhi nilai

intake dan berbanding lurus dengan nilai intake. Semakin tinggi nilai laju

asupan maka akan memungkinkan semakin tinggi intake yang diterima oleh

tubuh (KEMENKES, 2012).

2. Durasi Pajanan

Durasi pajanan merupakan lamanya seseorang terpajan suatu toksikan

dalam waktu tahun. Pada penelitian ini, diketahui bahwa nilai durasi pajanan

berbeda-beda tiap kelasnya dengan nilai durasi pajanan terendah terdapat pada

kelas 2 sebesar 2 tahun sedangkan nilai durasi pajanan tertinggi terdapat pada

kelas 6 yaitu sebesar 6 tahun.

Semakin lama seseorang terpajan bahan berbahaya maka akan

semakin besar pula risiko kesehatan yang diterima akibat terjadinya pajanan

tersebut. Semakin lama seseorang terpajan maka akan semakin banyak pula

jumlah pajanan bahan kimia yang diterima oleh tubuh dari orang yang

terpajan tersebut (DIRJEN PP dan PL KEMENKES, 2012)


140

3. Frekuensi Pajanan

Frekuensi pajanan merupakan waktu keterpajanan oleh zat kimia yang

diterima oleh individu dalm satuan hari pertahun. Frekuensi pajanan berupa

banyak hari dalam tahun siswa/i SDN Cirendeu 02 Ciputat yang menjadi

responden dalam penelitian ini mengkonsumsi bakso mngandung boraks.

Semakin besar nilai frekuensi pajanan akan berdampak pada semakin

besarnya nilai intake atau asupan boraks dalam tubuh manusia yang akan

menyebabkan semakin besar tingkat risiko yang diterima oleh manusia

tersebut.

E. Analisis Pemajanan

Perhitungan nilai intake dibagi menjadi pajanan realtime dan pajanan lifetime.

Nilai intake berbanding lurus dengan besarnya konsentrasi boraks, laju asupan,

frekuensi pajanan dan durasi pajanan. Apabila nilai konsentrasi, laju asupan,

frekuensi pajanan dan durasi pajanan besar, akan berpengaruh terhadap besarnya

asupan yang diterima oleh seseorang. Sedangkan intake berbanding terbalik

dengan berat badan dan periode waktu rata-rata. Apabila nilai berat badan besar,

maka akan kecil asupan yang diterima oleh seseorang.

Perhitungan intake untuk non karsinogenik menggunakan periode waktu rata-

rata 30 tahun, sedangkan perhitungan intake karsinogenik menggunakan periode

waktu rata-rata 70 tahun. Perhitungan intake non karsinogenik dan intake

karsinogenik terbagi menjadi intake realtime dan intake lifetime. Untuk intake

realtime baik non karsinogenik ataupun karsinogenik melihat paparan yang telah
141

terjadi pada saat dilakukannya penelitian. Intake lifetime non karsinogenik

melihat proyeksi pajanan selama 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun dan 30

tahun, sedangkan intake lifetime karsinogenik melihat proyeksi pajanan selama 10

tahun, 20 tahun, 30 tahun, 40 tahun, 50 tahun, 60 tahun, dan 70 tahun. Setelah

dilakukan perhitungan intake, kemudian dilakukan perhitungan risiko.

Perhitungan risiko non karsinogenik menggunakan nilai RfD, sedangkan untuk

perhitungan risiko karsinogenik menggunakan nilai NOAEL yang telah

dikonversi sehingga hasilnya sesuai dengan satuan dari SF.

Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan, didapatkan nilai intake

non kersinogenik realtime berturut-turut pada siswa kelas 2 hingga kelas 6 yaitu

0,106 mg/kg/hari, 0,134 mg/kg/hari, 0,158 mg/kg/hari, 0,169 mg/kg/hari, dan

0,261 mg/kg/hari. Sedangkan nilai intake karsinogenik realtime pada kelas 2

hingga kelas 6 berturut-turut yaitu 0,045 mg/kg/hari, 0,058 mg/kg/hari, 0,068

mg/kg/hari, 0,072 mg/kg/hari, dan 0,112 mg/kg/hari,

Dalam penelitian ini, yang paling besar mempengaruhi nilai intake adalah laju

asupan, frekuensi pajanan dan durasi pajanan. Berdasakran hasil penelitian

diketahui bahwa laju asupan pada siswa/i kelas 2 sampai dengan kelas kelas 6

yaitu 113,76 gr/hari. Adapun frekuensi pajanan pada siswa kelas 2 hingga kelas 6

berturut-turut yaitu 110 hari/tahun, 88 hari/tahun, 88 hari/tahun, 88 hari/tahun,

dan 132 hari/tahun. Durasi pajanan realtime sesuai dengan lama keterpaparan

dalam satuan tahun yaitu 2 tahun untuk kelas 2, 3 tahun untuk kelas 3, 4 tahun

untuk kelas 4, 5 tahun untuk kelas 5, dan 6 tahun untuk kelas 6. Durasi pajanan
142

lifetime non karsinogenik dari tahun ke 5 hingga tahun ke 30 dengan kelipatan 5

tahun. Sedangkan durasi pajanan lifetime karsinogenik dari tahun ke 10 hingga

tahun ke 70 dengan kelipatan 10 tahun.

F. Karakteristik Risiko

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pada siswa/i kelas 6 SDN

Cirendeu 02 Ciputat sudah memiliki risiko untuk menimbulkan efek non

karsinogenik secara realtime dimana nilai RQ > 1. Sedangkan untuk pajanan

lifetime non karsinogenik hanya pada proyeksi tahun ke 5 pada kelas 4 dan kelas

5 yang tidak menimbulkan efek non karsinogenik dimana nilai RQ < 1,

selebihnya pada proyeksi tahun ke 10 hingga tahun ke 30 tiap kelas dinyatakan

berisiko untuk menimbulkan efek non karsinogenik dengan nilai RQ > 1.

Berdasarkan perhitungan risiko karsinogenik yang telah dilakukan diketahui

bahwa nilai tingkat risiko karsinogenik (ECR) untuk pajanan realtime dan lifetime

>1/10.000 sehingga siswa kelas 2 hingga kelas 6 sudah memiliki risiko untuk

menimbulkan efek karsinogenik pada pajanan realtime maupun pajajan lifetime.

Boraks dapat menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin), koma,

merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan

darah turun, kerusakan ginjal, kanker, pingsan bahkan kematian. (Sultan et al,

2013). Boraks memiliki efek racun yang sangat berbahaya pada sistem

metabolisme tubuh dan berbahaya bagi kesehatan tubuh. Dalam jangka waktu

lama walaupun dalam jumlah kecil boraks dapat terakmulasi (penumpukan) pada
143

otak, hati, lemak, dan ginjal. Konsumsi boraks dapat menyebabkan demam,

depresi, kerusakan ginjal, nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan,

kebingungan, radang kulit, anemia, kejang, pingsan, koma bahkan kematian

(Padmaningrum dan Marwati, 2013)

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa siswa/i SDN Cirendeu 02

Ciputat kelas 2 hingga kelas 6 berisiko terhadap penyakit non karsinogenik

ataupun penyakit karsinogenik pada pajanan realtime dan lifetime sehingga perlu

dilakukannya manajemen sehingga seluruh siswa menjadi tidak berisiko terhadap

penyakit non karsinogenik dan non karsinogenik.

G. Manajemen Risiko

Pada studi Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan, apabila nilai RQ > 1 dan

ECR > 10-4 , maka perlu dilakukannya manajemen risiko. Manajemen risiko

yang dapat dilakukan diantaranya untuk keterpajanan melalui jalur ingesti yaitu

dengan menurunkan konsentrasi (C) bahan kimia boraks dan mengurangi jumlah

konsumsi (R) bakso mengandung boraks. Manajemen risiko dilakukan agar

populasi yang berada di lingkungan tetap aman dan tidak terkena gangguan

kesehatan. Konsentrasi boraks pada bakso tergantung pada berapa banyak jumlah

boraks yang digunakan pada saat pembuatan bakso. Sedangkan jumlah konsumsi

bakso mengandung borkas tergantung dari jumlah gram perhari bakso yang

dikonsumsi pada setiap siswa/i SD Cirendeu 02 Ciputat.


144

Berdasarkan hasil perhitungan nilai RQ maupun nilai ECR yang telah

dilakukan dalam penelitian ini, diketahui bahwa siswa/i SD Cirendeu 02 Ciputat

berisiko untuk terkena gangguan kesehatan non karsinogenik dan karsinogenik

baik secara realtime maupun lifetime. Oleh karena itu perlu untuk dilakukan

upaya manajemen risiko baik untuk efek pajanan boraks non karsiogenik maupun

karsinogenik.

Pada perhitungan untuk efek non karsinogenik, diketahui bahwa pada pajanan

realtime siswa kelas 6 maupun pajanan lifetime pada kelas 2 hinga kelas 6 untuk

proyeksi 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, 25 tahun dan 30 tahun yang sudah

memiliki risiko untuk menimbulkan efek non karsinogenik. Sedangkan untuk efek

karsinogenik baik secara realtime maupun lifetime dari tahun ke 10 hingga tahun

ke 70 pada siswa kelas 2 hingga kelas 6 sudah memiliki risiko untuk

menimbulkan efek karsinogenik.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pada pajanan non karsinogenik

yang berisiko yaitu pada siswa kelas 6 dimana nilai RQ pada kelas tersebut

sebesar 1,305. Adapun nilai konsentrasi aman untuk pajanan non karsinogenik

pada siswa kelas 6 yaitu sebesar 1,007 mg/gr. Untuk pajanan karsinogenik, kelas

2 hingga kelas 6 berisiko terhadap penyakit karsinogenik dengan nilai ECR >

1/10.000. Adapun nilai konsentrasi aman terkecil untuk pajanan karsinogenik

terdapat pada kelas 3 yaitu sebesar 0,007 mg/gr. Dengan demikian, untuk

melindungi siswa kelas 2 hingga kelas 6 dari risiko non karsinogenik dan risiko
145

karsinogenik konsentrasi boraks pada bakso harus diturunkan menjadi ≤ 0,007

mg/gr.

Upaya untuk menurunkan konsentrasi boraks pada bakso dapat dilakukan

dengan langkah mengurangi jumlah boraks yang digunakan menjadi ≤ 0,007

mg/gr atau mengganti boraks dengan bahan pengawet lainnya yang tidak

berbahaya bagi kesehatan tubuh.

Selain penurunan konsentrasi toksikan dalam makanan, upaya manajemen

risiko untuk jalur pajanan ingesti dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah

konsumsi makanan yang mengandung toksikan yang dinyatakan dalam satuan

gram perhari. Jumlah konsumsi aman untuk efek non karsinogenik pada kelas 6

sebesar 87,161 gr/hari, sedangkan untuk efek karsinogenik jumlah konsumsi

aman yang terkecil yaitu pada kelas 5 sebesar 1,383 gr/hari. Dengan demikian

upaya manajemen risiko dapat dilakukan agar populasi berisiko aman dari

gangguan kesehatan non karsinogenik dan karsinogenik dengan menurunkan laju

asupan atau banyaknya jumlah konsumsi menjadi 1,383 gr/hari. Akan tetapi 1

butir bakso saja memiliki berat 37,92 gr, sehingga apalabila ingin dilakukan

manajemen risiko dengan mengurangi laju asupan, siswa/i tidak lagi

mengkonsumsi bakso mengandung boraks yang dijual di SDN Cirendeu 02

Ciputat. Peneliti berpendapat bahwa penghentian mengkonsumsi bakso

mengandung boraks sebagai upaya manajemen risiko tidak efektif untuk

dilakukan karena sulitnya dilakukan kontrol terhadap tiap siswa/i untuk tidak

mengkonsumsi jajanan yang digemarinya, selain itu penghentian konsumsi bakso


146

dapat menyebabkan kerugian bagi pedagang karena akan menyebabkan

berkurangnya pendapatan dari hasil penjualan. Berdasarkan pemaparan tersebut,

upaya manajemen risiko yang mungkin dapat dilakukan yaitu mengurangi

konsentrasi boraks yang terkandung dalam bakso yang dikonsumsi oleh siswa/I

SDN Cirendeu 02 Ciputat atau mengganti boraks dengan bahan lainnya dalam

pembuatan bakso.

Dalam pembuatan bakso, seringkali boraks disalahgunakan sebagai pengenyal

dan pengawet (Padmaningrum dan Marwati, 2013). Akan tetapi menurut

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012, boraks

merupakan bahan kimia yang tidak diperbolehkan digunakan sebagai campuran

pada maknanan yang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan baik akut

maupun kronik yang berbahaya bagi manusia. Penelitian Fatimah dan Yunita

pada tahun 2018 memaparkan bahwa boraks merupakan bahan kimia berbahaya

yang tidak boleh dipergunakan dalam makanan. Apabila mengkonsumsi makanan

mengandung boraks dapat menyebabkan gangguan otak, hati, ginjal, dan dalam

tubuh apabila terakumulasi akan menyebabkan demam, anuria (tidak

terbentuknya urin), koma, depresi, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan

ginjal, pingsan, dan kematian. Penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang

dilakukan oleh athaya pada tahun 2015 yang menyatakan pemakaian boraks

dalam makanan tidak diperbolehkan dalam kadar apapun dikarenakan bahaya

bagi kesehatan manusia. (Athaya et al, 2015). Berdasarkan pemaparan tersebut

diketahui pengunaan boraks pada makanan dalam kadar apapun akan


147

memungkikan terjadinya akumulasi di dalam tubuh yang dapat menyebabkan

berbagai gangguan kesehatan dengan demikian manajemen risiko yang paling

memungkinkan dan tepat dilakukan untuk mencegah siswa/i SDN Cirendeu 02

Ciputat dari gangguan kesehatan yaitu dengan mengganti penggunaan boraks

sebagai pengawet dan pengenyal dengan bahan lainnya yang lebih aman bagi

tubuh.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati dkk pada tahun 2016

dipaparkan bahwa sari wortel dan tepung rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai

bahan alami untuk meningkatkan daya tahan dan kekenyalan pada bakso.

Pemanfaatan sari wortel dan tepung rumput laut dapat digunakan untuk

menggantikan pengawet dan pengental sintetis yang berbahaya bagi kesehatan

seperti boraks. Sari wortel merupakan pengawet alami yang proses penyiapannya

mudah untuk dilakukan. Dalam sari wortel terkandung betakaroten yang tinggi

yaitu sebesar 82,85 mg/kg, sehingga betakaroten dapat bermanfaat sebagai

antioksidan yang dapat menghambat fermentasi, pengasaman, atau penguraian

lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Adapun langkah

persiapan sari wortel yaitu memblender wortel lalu diperas, kemudian ekstrak dari

wortel tersebut digunakan sebagai campuran dalam pembuatan bakso.

Rumput laut dapat digunakan sebagai pengenyal alami karena rumput laut

merupakan senyawa polisakarida linear yang dapat membentuk gel, pengemulsi,

dan penstabil yang dapat digunakan sebagai pengenyal dengan dosis 1-2% dari

berat adonan. Pengenyal alami ini sangat mudah ditemukan dalam bentuk tepung
148

rumput laut ataupun tepung agar-agar dengan berbagai merek. Membuat tepung

rumput laut dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu sebagai berikut :

1. Merendam rumput laut dalam air tawar selama 12-24 jam, kemudian bilas

dengan air bersih dan tiriskan.

2. Rebus rumput laut dengan perbandingan rumput laut dengan air (1:15), pada

suhu 120oC selama 15 menit. Perebusan dilakukan berulang dan dilanjutkan

pada suhu 100oC selama 2-3 jam

3. Rumput yang sudah lunak dihancurkan dengan blender dan ditambahkan air

panas dengan suhu 90oC, kemudian disaring denga kain kasa halus.

4. Kemudian filtrat diendapkan dengan menambahkan alkohol 90% atau

membekukannya sampai pada suhu 6oC selama 24-48 jam.

5. Endapan bercampur alkohol disaring dengan kain kasa, sedangkan filtrat yang

beku dicarikan dahulu untuk selanjnutnya disaring, selanjutnya dikeringkan

selama 3-4 hari hingga menjadi tepung yang dapat digunakan dalam

pembuatan bakso.

Apabila dirasa sulit untuk membuat tepung rumput laut, tepung tersebut juga

tersedia dipasaran dalam berbagai merek yang bisa digunakan langsung dalam

pembuatan bakso (Ambarwati, dkk. 2016)

Wortel dapat digunakan sebagai pengawet alami dalam pembuatan bakso

yang merupakan sebuah solusi yang ekonomis, mudah didapatkan, serta

menghasilkan produk bakso yang aman dan sehat. Dalam pembuatan bakso
149

penambahan ekstrak wortel kedalam adonan sejumlah 5ml/200 gr adonan

menghasilkan daya simpan terendah bakso yaitu selama 1 hari pada suhu ruangan

34ºC sedangkan daya simpan tertinggi yaitu selama 18 hari dengan suhu kulkas

8ºC (Dwiwati, Romarisa, 2014).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fransiska, dkk pada tahun 2014

mengenai pemanfaatan jus wortel dalam pembuatan bakso, didapatkan hasil daya

simpan bakso yang dibuat menggunakan ekstrak wortel paling rendah yaitu 5 hari

dengan dengan pemberian ekstrak tersebut sebanyak 5ml /200 gr adonan,

sedangkan daya simpan bakso paling tingi yaitu 7 hari dengan pemberian ekstrak

tersebut sebanyak 15 ml / 200 gr adonan. Dengan demikian pembuat bakso dapat

menambahkan 15 ml / 200 gr adonan agar bakso bertahan untuk dijajakan dengan

daya simpan 7 hari.

Tingkat kekerasan bakso semakin menurun sering dengan penambahan

rumput laut. Rumput laut bermanfaat untuk memperbaiki tesktur bakso yaitu

menurunkan tingkat kekerasan akan tetapi apabila penambahan terlalu banyak

akan menyebabkan bakso lebih lunak dan tidak kenyal. Untuk pembuatan 1 kg

adonan bakso 75 gr rumput laut digunakan sebagai bahan untuk menghasilkan

bakso yang yang dapat diterima oleh konsumen (Puspitasari, 2008)

Rumput laut dapat digunakan dalam pembuatan bakso dengan mengolah

rumput laut menjadi tepung rumput laut atau memblender rumput laut selama 3

menit sebelum digunakan dalam pembuatan bakso (Ambarwati, dkk. 2016 dan
150

Puspitasari, 2008). Dalam praktiknya, pengolahan rumput laut pada pembuatan

bakso dapat dipilih sesuai dengan kepraktisan serta sisi ekonomisnya. Dalam

pembuatan bakso, rumput laut dapat digunakan melalui proses penghalusan

menggunakan blender selama 3 menit ataupun menggunakan tepung rumput laut

yang sudah tersedia dipasaran dengan memperhatikan sisi ekonomisnya yaitu

biaya yang lebih sedikit dikeluarkan sehingga pedagang dapat memperoleh

keuntungan yang maksimal serta siswa/i dapat mengkonsumsi bakso tanpa

berisiko terhadap gangguan kesehatan.

Upaya mencegah keterpaparan makanan mengandung boraks para siswa

dapat dilakukan dengan membawa bekal masing-masing dari rumah yang lebih

sehat dan aman untuk dikonsumsi. Sekolah berperan dalam mengintruksikan

kepada orang tua siswa untuk menyediakan bekal bagi anaknya, selain itu sekolah

juga berperan dalam menyediakan pangan jajan sehat disekitar sekolah yang

dapat dilakukan dengan langkah melakukan pengawasan secara berkala dan

pemberian izin terhadap pangan jajan yang aman dan sehat untuk dijajakan

disekolah.

Neneng Bisyaroh dalam penelitiannya yang berjudul faktor-faktor yang

mempengaruhi penggunaan boraks pada pedagang bakso di Kota Tangerang

Selatan tahun 2016 menyatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara

pembinaan yang didapatkan oleh pedagang dengan perilaku penggunaan boraks.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pembinaan merupakan suatu

proses, cara, tindakan, maupun kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif
151

untuk menghasilkan hasil yang lebih baik. Pembinaan dapat dilakukan terhadap

pedagang tentang bagaimana cara pembuatan bakso yang baik dan sehat baik

salah satunya yaitu penggunaan ekstrak wortel dan tepung rumput laut sebagai

pengganti penggunaan pengawet sintetis yang berbahaya secara berkala ataupun

insidentil sehingga pedagang dapat menerapkannya dalam pembuatan bakso yang

akan dijajakannya. Pembinaan tersebut dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang

berwenang seperti Dinas Kesehatan, LSM, BPOM, ataupun berbagai pihak dari

Sekolah Dasar yang bersangkutan. Selain itu lembaga terkait harus melakukan

kegiatan pengawasan secara berkala kualitas pangan yang dijajakan disekitar

sekolah sehingga jajanan tersebut tetap aman untuk dikonsumsi.

H. Aspek Keislaman dalam Penelitian

Boraks merupakan suatu bahan kimia berbahaya yang sering disalahgunakan

dalam pembuatan makanan. Boraks merupakan bahan kimia yang dilarang

digunakan dalam makanan yang diatur dalam Permenkes RI No,033 tahun 2012

tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP). Larangan penggunaan boraks sebagai

bahan tambahan dalam makanan diakibatkan dampak kesehatan yang mungkin

ditimbulkannya terhadap manusia apabila mengkonsumsi makanan mengandung

boraks tersebut.

Pada dasarnya bahan pembuatan bakso seperti daging ikan, tepung, dan

bumbu halal untuk dikonsumsi, akan tetapi dalam proses pembuatan ikan menjadi

makananan olahan seperti bakso harus memperhatikan aspek keamanan dan

standar kesehatan bagi manusia sehingga produk olahan tersebut halal dan thayyib
152

(baik) untuk dikonsumsi. Memproduksi dan memperjualbelikan produk olahan

ikan yang mengandung boraks ataupun bahan berbahaya lainnya hukumnya

haram (Fatwa MUI, 2012)

Allah SWT mengharamkan segala sesuatu yang buruk bagi umatnya, dalam

hal ini penggunaan boraks sebagai campuran makanan dapat menimbulkan

gangguan kesehatan sehingga berbahaya untuk dikonsumsi. Mengkonsumsi

makanan yang berbahaya bagi tubuh hukumnya adalah haram karena dapat

mengakibatkan gangguan kesehatan melemahkan daya tahan tubuh yang

berdampak buruk bagi manusia. Hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT,

Qur’an Surat Al-Maidah :88.

Artinya :

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah

rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-

Nya.

Berdasarkan ayat diatas dapat kita Tarik kesimpulan bahwa Allah

memerintahkan kita untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik bagi

tubuh.

Rasulullah SAW. Bersabda yang artinya: ”bahwa dalam melaksanakan

suatu pekerjaan, Nabi Muhammad SAW, telah menegaskan bahwa tidak


153

dibenarkan untuk melakukan penipuan yang bersifat merugikan konsumen.

Tindakan penipuan yang pada akhirnya merugikan konsumen sangatlah tidak

dibenarkan. Penambahan boraks dalam makanan dilakukan untuk meningkatkan

keuntungan penjual, namun hal ini tidak dibenarkan karena mengandung unsur

penipuan.

Dalam hal ini penggunaan boraks pada makanan merupakan suatu bentuk

upaya pengelolaan makanan yang buruk yang dapat berdampak bagi kesehatan

bagi manusia sehingga dapat dikatakan haram untuk dilakukan dan merupakan

suatu tindakan mungkar.

Allah memerintahkan umatnya untuk makan makanan yang halal dan baik

sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah :

Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa

yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah

syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata

bagimu”. (QS. Al-Baqarah : 168)

Mengkonsumsi makanan halal dan baik merupakan kewajiban bagi

setiap muslim. Makanan halal merupakan makanan yang diizinkan untuk

dikonsumsi dan tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang


154

melarangnya, baik halal dari bahan yang digunakan dalam pembuatan

makanan hingga proses pembuatan makanan. Dalam hal ini sebagai umat

muslim seharusnya kita mengkonsumsi makanan yang sehat dan tidak

mengandung bahan yang berbahaya bagi tubuh.

Penggunaan dan pemanfaatan boraks sebagai bahan tambahan makanan

dengan tujuan untuk mengawetkan dan lain sebagainya termasuk perbuatan

yang dilarang dan termasuk perbuatan yang buruk. Sehingga menggunakan

bahan berbahaya dalam produk yang dijual untuk dikonsumsi seperti

menggunakan boraks dalam bakso merupakan tindakan buruk. Nabi

Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk berbuat baik terhadap

sesama manusia dan tidak merugikan manusia lainnya, sehingga tidak

diperbolehkan menjual makanan yang tidak baik kualitasnya.

Sebagai umat muslim kita wajib memakan makanan yang hallalan

tayyiban yang diperbolehkan oleh agama. Sehingga mengkonsumsi

makanan mengandung boraks kita tidak mengikuti kewajiban seorang

muslim dalam mengkonsumsi makanan yang hallalan tayyiban. Allah

memerintahkan kita untuk memakan makanan yang bukan cuma halal,

tetapi baik agar tidak membahayakan tubuh kita sehingga kita tetap sehat.

Makanan yang baik tidak mengandung berbagai zat kimia yang berbahaya
155

bagi tubuh, sehingga aman untuk dikonsumsi dan tidak membahayakan

kesehatan tubuh.
BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Rata-rata usia seluruh responden yaitu siswa kelas 2 hingga kelas 6 di

SDN Cirendeu 02 Ciputat sebesar 10,47 tahun, untuk jenis kelamin

responden rata-rata berjenis kelamin laki-laki yakni sebesar 52,12, dengan

rata-rata tinggi badan responden yaitu sebesar 137,7 cm, dan rata-rata

berat badan responden sebesar 33,8 kg.

2. Konsentrasi boraks yang terkandung pada bakso di SDN Cirendeu 02

Ciputat yaitu sebesar 1,31467 mg/gr.

3. Durasi pajanan untuk pajanan realtime yaitu pada kelas 2 selama 2 tahun,

kelas 3 selama 3 tahun, kelas 4 selama 4 tahun, kelas 5 selama 5 tahun,

dan kelas 6 selama 6 tahun. Untuk proyeksi pajanan non karsinogenik

sebesar 30 tahun sedangkan pajanan proyeksi karsinogenik sebesar 70

tahun. Frekuensi pajanan pada siswa kelas 2 hingga kelas 6 berturut-turut

yaitu sebesar 110 hari/tahun, 88 hari/tahun, 88 hari/tahun, 88 hari/tahun

dan 132 hari/tahun.

4. Intake boraks non karsinogenik pada siswa yang menjadi responden

secara realtime pada kelas 2 hingga kelas 6 berturut-turut yaitu 0,106

mg/kg/hari, 0,134 mg/kg/hari, 0,158 mg/kg/hari, 0,169 mg/kg/hari, dan

0,261 mg/kg/hari. Adapun intake boraks karsinogenik pada siswa yang

156
157

menjadi responden secara realtime pada kelas 2 hingga kelas 6 berturut-

turut yaitu 0,045 mg/kg/hari, 0,058 mg/kg/hari, 0,068 mg/kg/hari, 0,072

mg/kg/hari, dan 0,112. Intake boraks non karsinogenik pada siswa yang

menjadi responden secara lifetime pada kelas 2 hingga kelas 6 pada

proyeksi tahun ke 5 hingga tahun ke 30 berturut-turut yaitu 0,265-1,598

mg/kg/hari, 0,224-1,345 mg/kg/hari, 0,198-1,186 mg/kg/hari, 0,169-1,014

mg/kg/hari, dan 0,218-1,305 mg/kg/hari. Intake boraks karsinogenik pada

siswa yang menjadi responden secara lifetime pada kelas 2 hingga kelas 6

pada proyeksi tahun ke 10 hingga tahun ke 70 berturut-turut yaitu 0,227-

1,589 mg/kg/hari, 0,192-1,345 mg/kg/hari, 0,169-1,186 mg/kg/hari, 0,145-

1,014 mg/kg/hari, dan 0,188-1,305 mg/kg/hari

5. Pada perhitungan tingkat risiko non karsinogenik realtime hanya pada

kelas 6 nilai RQ > 1 yaitu sebesar 1,305. Sedangkan pada perhitungan

tingkat risiko karsnogenik realtime pada kelas 2 hingga kelas 6 didapatkan

nilai ECR > 1/10.000 yaitu berturut-turut sebesar 0,005, 0,007, 0,008,

0,008 dan 0,013/ Pada perhitungan tingkat risiko non karsinogenik

lifetime pada tahun ke 10 hingga tahun ke 30 dan perhitungan tingkat

risiko karsinogenik lifetime pada tahun ke 10 hingga tahun ke 70

didapatkan hasil penelitian RQ > 1 dan ECR > 1/10.000 sehingga

diketahui bahwa siswa/i responden berisiko terhadap penyakit non

karsinogenik dan penyakit karsinogenik pada pajanan lifetime.

6. Upaya manajemen risiko yang memungkinkan untuk dilakukan yaitu

mengganti penggunaan boraks sebagai pengawet dan pengenyal bakso


158

dengan pemanfaatan ekstrak wortel dan olahan rumput laut yang memiliki

fungsi yang sama sehingga siswa/i dalam penelitian tidak berisiko

terhadap penyakit non karsingenik dan karsinogenik

B. Saran

1. Bagi Pihak Sekolah

a. Melakukan pengawasan terhadap pangan jajan yang dijajakan di

lingkungan sekolah

b. Memberikan pengarahan kepada pedagang di lingkungan sekolah

untuk menjajakan pangan jajan yang sehat untuk dikonsumsi siswa

c. Menetapkan syarat pangan jajan yang diperbolehkan untuk dijajakan

di lingkungan sekolah yang selanjutnya disosialisasikan kepada

padangan di lingkungan sekolah.

d. Bekerjasama dengan pedagan untuk menghasilkan pangan jajan yang

sehat dan aman

2. Bagi Dinas Kesehatan

a. Hendaknya Dinas Kesehatan maupun lembaga setempat yang terkait

bekerja sama dengan pihak sekolah dasar untuk melakukan

pengawasan terhadap keamanan pangan jajan yang dikonsumsi oleh

siswa/i di sekolah

b. Pihak sekolah maupun lembaga setempat yang terkait melakukan

pembinaan terhadap pedagang yang menjajakan pangan jajan

berboraks terkait proses pembuatan makanan yang sehat dan aman


159

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Melakukan penelitian lanjutan mengenai faktor yang mempengaruhi

perilaku penggunaan boraks pada pedagang sehingga dapat dilakukan

upaya pencegahan yang lebih efektif.


160

Daftar Pustaka

Agency for Toxic Substances & Disease Regist (ATSDR). 2015. Toxic Substances

Portal-Boron [Online]. [Diakses pada 31 Maret 2019]. Akses dari

https://www.atsdr.cdc.gov/phs/phs.asp?id=451&tid=80

Alwi, dkk. 2015. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Akibat Pajanan Timbal (Pb)

pada Masyarakat Yang Mengkonsumsi Kerang Kalandue Dari Tambak

Sekitar Sungai Wanggu Dan Muara Teluk Kendari

Ambarwati, Retno dan Kristanti. 2016. Pemanfaatan Sari Wortel dan Tepung Rumput

Laut sebagai Bahan Alami untuk Meningkat Daya Tahan dan Kekenyalan

Bakso Sapi di Kelurahan Sukerjo

Ambarwati, Retno, dkk. 2016. Pemanfaatan Sari Wortel dan Tepung Rumput Laut

sebagai Bahan Alami untuk Meningkatkan Daya Tahan Tubuh dan

Kekenyalan Bakso Sapi di Kelurahan Sukorejo

Andayani, Sri Wahyu. (2014). Upaya Meningkatkan Keamanan Pangan dalam

Pembuatan Makanan. Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Yogyakarta. Hal 2-5

Ardyani, Gita. 2010. Analisis Risiko Kesehatan Anak Sekolah Dasar Akibat

Pengkonsumsian Jajanan yang mengandung Formalin pada Dua Sekolah di

Kecamatan Pancoranmas, Depok. Skripsi Univeristas Indonesia.


161

Athaya ,Rana Zara et al. 2015. Identifikasi Boraks pada Cincau Hitam yang

Diproduksi Beberapa Produsen Cincau Hitam di Kota Padang. Hal 2

ATSDR : U.S. Department Of Health And Human Services Public Health Service.

2010. Toxicological Profile for Boron [Online], [Diakses pada 06 Mei 2019].

Akses dari https://www.atsdr.cdc.gov/ToxProfiles/tp26.pdf

ATSDR. 2015. Public Health Statement : Boron [Online], [Diakses pada 14 Maret

2019]. Akses dari www.atsdr.cdc.gov/phs/phs.asp?id=451&tid=80

Bakirdere, et al. 2010.The Open Mineral Processing Journal :Effect of Boron on

Human Health

BBP4BKP. 2011. Test Kit Antirax untuk Menugji Residu Boraks pada Produk

Perikanan

Bisyaroh, Neneng. 2016. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Penggunaan

Boraks Pada Pedagang Bakso di Kota Tangerang Selatan Tahun 2016. Tesis.

Universitas Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat..

BPOM RI. 2009. Pangan Jajan Anak Sekolah.

-, 2016.Laporan Tahunan 2016. Hal 132

-, 2017.Laporan Tahunan 2017. Hal 148

-. 2008. Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Serta Upaya

Penanggulangannya.. Info POM Vol. 9, No. 6. Jakarta: Badan Pengawas Obat

dan Makanan.
162

-. 2011. Sentra Informasi Keracunan Nasional (SIKerNas) Pusat Informasi Obat dan

Makanan BPOM RI Tahun 2011 : Boric Acid

-. 2013. Pedoman Pangan Jajan Anak Sekolah untuk Pencapaian Gizi Seimbang.

- 2014. Waspada Boraks dan Formalin Bahan Berbahaya ada Pangan

-. 2015. Sentra Informasi KeracunanAsam Borat : Boric Acid.

Cahyadi. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan Edisi 2.

Jakarta:: Bumi Aksara.

Daud dan Dullah, 2014. Perspektif Analisis Risiko Lingkungan dan Kesehatan.

Jakarta : Smart Writing

DIRJEN PP dan PL KEMENKES. 2012. Pedoman Analisis Resiko Kesehatan

Lingkungan (ARKL)

Dwiwati, Romarisa. 2014. Pemanfaatan Ekstrak Wortel (Daucus Carotus0 sebagai

Bahan Pengawet Alami dalam Bakso

Eka, Reysa. 2013. Rahasia Mengetahui Makanan Berbahaya. Jakarta : Titik Media

Publisher

Environmental Protection Agency (EPA). 2004. Toxicological Review of Boron and

Compounds :In Support of Summary Information on the Integred Risk

Information System (IRIS). CAS No. 7440-428


163

Environmental Protection Agency (EPA). 2006. Report of the Food Qualitiy

Protection Act (FQPA) Tolerance Reassesment Eligibility Decision (TRED)

for Boric Acid/Sodium Borate Salts.

Environmental Protection Agency (EPA). 2015. Survey of Boric Acid and Sodium

Borates (borax) : Part of the LOUS Review Survey of Chemical Substances in

Consumer Products.

ET Group Biz. 2019. Test Kit Boraks. [Online], [Diakses pada 28 Met 2019]. Akses

dari http://www.testkitshop.com/2018/09/test-kit-borax-tes-uji-cepat-

boraks.html

Fadilah, Ratnawati. 2017. Bahan Tambahan Pangan. Bahan Ajar. Universitas Negeri

Makassar.

Febri, Eulalia Puji. 2007. Analisis Boraks dalam Legendar yang Beredar di Kota

Magelang. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Dharma Yogyakarta.

Febrian, Kiki dkk. Pengaruh Pendidikan Keselamatan terhadap Peningkatan

Pengetahuan dalam Pemilihan Jajanan pada Anak Usia Sekolah 7-9 Tahun

Desa Ngantru Kecamatan Ngantang Kabupaten Mlaang

Fisher Scientific. 2009. Material Data Sheet : Sodium tetraborate decahydrate.

Frank. 1995. Toksikologi Dasar (Azas, Organ Sasaran dan Penilaian Risiko).

Jakarta: Universitas Indonesia.


164

Fransiska, dkk. 2014. Pemanfaatan Jus Wortel (Daucus carota) dalam Pembuatan

BaksoDaging sebagai Bahan Pengawet Alami dan Sifat Organoleptik

Hapsari, Novilia Indri. 2008. Prancangan Pabrik Asam Borat dari Boraks dan Asam

Sulfat dengan Proses Asidifikasi Kapasitas 21.500 Ton Per Tahun. Tugas

Akhir Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Haq, Misyka Nadratul. 2014. Analisis Faktor Risiko Pencemaran Bahan Toksik

Boraks Pada Bakso Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014. Skripsi.Porgram Studi

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Islam Negeri Jakarta.

Hartati, Fadjar Kurnia. 2017. Analisis Boraks Secara Cepat, Mudah dan Murah pada

Kerupuk : Jurnal Teknologi Proses dan Inovasi Industri Vol. 2 No , Juli 2017

Hernawati. 2008. Gambaran Efek Toksik Etanol pada Sel Hati.

Himawan, A. d. 2009. Bahan-Bahan Berbahaya dalam Kehidupan. Bandung:

Salamadani.

Integrated Risk Information System (IRIS) U.S Enviromental Protection Agency

National Center for Environmental Assessment.. 2004. Boron and Compound

; CASR 7440-42-8

Jafar, Nurhaedar. 2012. Aspek Keamanan Pangan Pada Penjamah Makanan di

Penyelenggaraan Makanan Institusi


165

Julaeha, Leha, dkk. 2016. Penerapan Pengetahuan Bahan Tambahan Pangan pada

Pemilihan Makanan Jajanan Mahasiswa Pendidikan Tata Boga UPI Vol. 5,

No 1, April 2016.

Junianto, C. 2013. Analisis Boraks pada Bakso Daging Sapi Adan B yang Dijual di

Daerah Kenjeran Surabaya Menggunakan Spektrofotometri. Jurnal Ilmiah

Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.2 (2013). Hal 2-3

Karudeng, Ronny, dkk. 2014. Jaringan Lemak Putih dan Jaringan Lemak Coklat :

Aspek Histofisiologis

Kathleen dan James.Descriptive Inorganic Chemistry (Third Edition)

KBBI. 2019. Artika Kata Pembinaan. [Online], [Diakses pada 20 September 2019].

Akses dari https://www.google.com/amp/s/kbbi.web.id/bima.html

KEMENKES. 2014. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI :

Kondisi Pencapaian Program Kesehatan Anak Indonesia

KEMENKES. 2015. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI

: Situasi Pangan Jajanan Anak Sekolah. ISSN 2442-7659. Hal 3

Kresnadipayana, dian dan Dwi Lestari. 2017. Penentuan Kadar Boraks Pada Kurma

(Phoenix dactylifera) dengan Metode Spektrofotometri UV-Vis

Lund et al. 2011. The Occurrence and Prevention of Foodborne Disease in

Vulnerable People. Foodborne Pathogens and Disease


166

MA, J. 2009. Boric Acid and Borax in Food : Centre for Food Safety.

Mahayanti dan Sriathi. 2017. Pengaruh Karakteristik Individu, Karakteristik

Pekerjaan, dan Karakteristik Stiuasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja

Karyawan. E-Jurnal Manajemen Unud, Vol. 6 No. 4

Majelasi Ulama Indonesia (MUI). 2012. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 43

Tahun 2012 Tentang Penyalahgunaan Formalin dan Bahan Berbahaya

Lainnya dalam Penanganan dan Pengelolaan Ikan.

Marcella, Monica. 2016. Strategi Bisnis Pengusaha Bakso dalam Menghadapi

Kenaikan Harga Daging Sapi (Studi Kesus Bakso Pepo)

Marwanti. 2012. Keamanan Pangan dan Penyelenggaraan Makanan.

MENKES. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033

Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan

Monnier, D, Rusconi, P. Wenger. 2002. Analytica Chimica Acta : A Colorimetric

Method of Determination Borax

Mt. Hough Ranger District, Plumas National Forest Plumas Country, California.

2006. Draft Enviromental Impact Statement

Mudzkirah, I. 2016. Identifikasi Penggunaan Zat Pengawet Boraks dan Formalin

Pada Makanan Jajanan di Kantin UIN Alauddin Makassar Tahun 2016.

Skripsi. Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UIN Alauddin Makassar


167

Muharrami, Laila Khamsatul. 2015. Jurnal Pena Sains Vol : Analisis Kualitatif

Kandungan Boraks Pada Krupuk Puli di Kecamatan Kamal.

Nasution, A. 2009. Perilaku Penjaja Pangan Jajanan Anak Sekolah Tentang Gizi dan

Keamanan Pangan di Lingkungan Sekolah DasarKota Dan Kabupaten

BogorDepartemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Instuti

Pertanian, Bogor .

National Center for Biotechnology Information (NCBI) U.S. National Library of

Medicine. 2019. Borax (B4Na2O7.10H2O)(Compound) [Online], [Diakses

pada 07 Mei 2019]. Akses dari

https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/16211214#section=Information-

Sources

National Center for Biotechnology Information (NCBI). 2019. Borax Glass [Online],

[Diakses pada 12 Maret 2019]. Akses dari

https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/10219853#section=Top

National Pesticide Information Center (NPIC). 2012. Boric Acid Technical Fact

Sheet [Online], [Diakses pada 23 Juli 2019]. Akses dari

http://npic.orst.edu/factsheets/archive/borictech.html

Natipulu, Linda Hernike dan Hafizhatul Abadi. 2018. Analisis Zat Berbahaya Boraks

dan Rhodamin B pada Jajanan Bakso Bakar yang dijual di Beberapa Sekolah

Dasar di Kecamatan Medan Denai


168

Ningsih, Riyan.2014. Jurnal Kesehatan Masyarakat : Penyuluhan Hygiene Sanitasi

Makanan dan Minuman, serta Kualitas Makanan yang Dijajakan Pedagang

di Lingkungan SDN Kota Samarinda. Hal 72

Nurbiyati, T., Wibowo, A. H. Pentingnya Mememilih Pangan Jajan Sehat Demi

Kesehatan Anak.

Nurlaela, Euis. 2011. Keamanan Pangan dan Perilaku Penjamah Makanan di

Instalasi Gizi Rumah Sakit.Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.1, No. 1,

Agustus 2011 : 21-28. Hal 1-3

Osei-Tutu, et al. 2016.Trends of Reported Foodborne Disease at the Ridge Hospital,

Acca, Ghana : Retrospective Review of Routine Data from 2009-2013. BMC

Infectious Disease

Padmaningrum dan Marwati. 2013. Tester Kit untuk Uji Boraks dalam Makanan. Hal

25

Pane, Imee Syorayah,. Et al. 2012. Analisis Kandungan Boraks pada Roti Tawar

yang Bermerek dan Tidak Bermerek yang di Jual di Kelurahan Padang Bulan

Kota Medan Tahun 2012. Hal 2

PIC Coporation 1101 W. Elizabeth Ave Linden. 2008. Zone Defense : PIC Boric

Acid Roach and Ant Killer (Insecticide). [Online], [Diakses pada 14 Mei

2019]. Akses dari Wold Wide Web

http://www.biconet.com/crawlers/infosheets/PICBoricAcidMSDS.pdf
169

Pramutia Sultan, et al. 2013. Analisis Kandungan Zat Pengawet Boraks pada Jajanan

Bakso di SDN Kompleks Mangkura Kota Makassar. Hal 2

Prijanto, Teguh Budi. 2009. Analisis Faktor Risiko Keracunan Pestisida

Organofosfat pada Keluarga Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak

Kabupaten Magelang. Tesis Universitas Dipobnegoro

PT. Purnama Laboratory.Rapid Test Kit For Food Safety and Laboratory Equipment
: Boraks Test Kit.

Pusparizkita, Yustina Metanoia. 2017. Penyisihan Boron pada Proses Pengolahan

Air dengan Teknologi Adsorpsi

Puspawiningtyas, Endar et al. 2017. Upaya Meningkatkan Pengetahuan Bahan

Tambahan Pangan Melalui Pelatihan Deteksi Kandungan Formalin dan

Boraks. Volume 1 No. 1 Maret 2017. Hal 2-3

Puspitasari, Desi. 2008. Kajian Substitusi Tapioka dengan Rumput Laut (Eucheuma

cottoni) pada Pembuatan Bakso. Skripsi. Universitas Sebelas Maret Fakultas

Pertanian.

Puspitasari, Riris Lindiawati. 2013. Kualitas Jajanan Siswa di Sekolah Dasar :

Junral Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi Vol 2.

Putra, Andika Eka. 2009. Gambaran Kebiasaan Jajanan Siswa di Sekolah : Studi di

Sekolah Daar Hj. Isriati Semarang.


170

Putra. Y. M. P. 2013. 16 Siswa SD diBangka Keracunan Jajanan. Pesta Sunat.

[Online], [Diakses pada7 Desember 2018]. Akses dari Wold Wide Web

:https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/11/12/mw40nt-16-

siswa-sd-di-bangka-keracunan-jajanan

Rahman, Fadlur. Dkk. 2017. Analisa Metode Pengukuran Berat Badan Manusia

dengan Pengolahan Citra.

Rumanta, Maman, dkk. 2016. Analisis Kandungan Boraks pada Makanan :Studi

Kasus di Wilayah Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan.

Rumanta, Maman, et al. 2016. Studi Kandungan Boraks pada Makanan : Studi Kasus

di Wilayah Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan

Runia, Yodenca Assti. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keracunan pestisida

organofosfat, karbamat, dan kejadian anemia pada petani hortilultura di desa

tejosari kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Tesis. Magister

Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang :

Rusli. 2009. Penerapan Kadar Boraks pada Mie Basah yang Beredar di Pasar

Ciputat dengan Metode Spektrofotometri UV-VIS Menggunakan Pereaksi

Kurkumin. Skripsi. Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UIN Jakarta.


171

Sajiman et al. 2015. Kajian Bahan Berbahaya Formalin, Boraks, Rhodamin B, dan

Methalyn Yellow pada Pangan Jajan Anak Sekolah di Banjarbaru.Jurnal

Skala Kesehatan Volume 6 No. 1 Tahun 2015. Hal 3

Santi, A. U. P. 2017. Analisis Kandungan Zat Pengawet Boraks Pada Jajanan

Sekolah di SDN Serua Indah 1 Kota Ciputat.HOLISTIKA : Jurnal Ilmiah

PGSD ISSN : 2579 – 76151 Volume 1 No.1 Mei 2017. Hal 57-59

Santi, Apri Utami Parta. 2017. Analisis Kandungan Zat Pengawet Boraks pada

Jajanan Sekolah di SDN Serua Indah 1 Kota Ciputat

Santika. 2014. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Umur terhadap Daya

Tahan Umum (Kardiovaskuler) Mahasiswa Putra Semester II Kelas A

Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan IKIP PGRI Bali Tahun 2014 :

Jurnal Pendidikan Kesehatan Rekreasi Volume : 1.

Sari, Harni Ayu, dkk. 2015. Karakteristik Kimia Bakso Sapi (Kajian Proporsi

Tepung Tapioka: Tepung Porang Dan Penambahan NaCl). Jurnal Pangan dan

Agroindustri Vol. 3 No 3 p.784-792, Juli 2015. Hal 1-2

Sari, Mustika Himata. 2017. Pengetahuan dan Sikap Keamanan Pangan dengan

Perilaku Penjaja Makanan Jajanan Anak Sekolah Dasar

SCCS. 2010. Opinion on Boron Compound [Online]. [Diakses pada 10 September

2019]. Akses dari

:https://ec.europa.eu/health/scientific_committees/consumer_safety/docs/sccs

_o_027.pdf
172

See, Ang Swi. 2010. American Journal Applied Sciences 7 : Risk and Health Effect of

Boric Acid

Soemirat, J. 2003. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press.

Sudarnika, Etih, dkk. 2016. Penambahan Boraks dalam Bakso dan Faktor Pendorong

Penggunaannya Bagi Pedagang Bakso di Kota Bengkulu

Suhada.2017. Identifikasi Kandungan Formalin pada Bakso yang Beredar di Enam

Pasar Tradisional Bandar Lampung

Suhanda, R. 2012. Higiene Sanitasi Pengolahan dan Analisa Boraks pada Bubur

Ayamyang Dijual di Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2012.

Sunariyah dan Muhammad Nuramdani. 2018. Kilas Indonesia : Puluhan Siswa SD

Keracunan Hidangan Pesta Sunat. [Online]. [Diakses pada 7 Desember

2018]. Akses dari. Akses dari Wold Wide Web

:https://www.liputan6.com/news/read/2464343/kilas-indonesia-puluhan-

siswa-sd-keracunan-hidangan-pesta-sunat

Thisle, Harold. 2016. Human Health and Ecological Risk Assessment Final Report.

Tiven, Nafly Comilo et al. 2007.Komposisi Kimia, Sifat Fisik dan Organoleptik

Bakso Daging Kambing dengan Bahan Pengenyal yang Berbeda.

AGRITECH, Vol. 27, No. 1 Maret 2007. Hal 1-3

Tubagus, Indra et al. 2013. Identifikasi dan Penetapan Kadar Boraks dalam Jajanan

di Kota Manado : Jurnal Ilmiah Farmasi. Hal 142-144


173

U.S. Departement of Health and Human Services. 2017. Chemical Properties.

[Online], [Diakses pada 14 Maret 2019]. Akses dari

https://tools.nieh.nih.gov/cebs3/ntpviews/index.cfm?action=testarticle.propert

ies&cas_number=10043-35-3

U.S. National Library of Medicine. 2010. Boron Compunds. [Online]. [Diakses pada

14 Maret 2019]. Akses dari https://toxnet.nlm.nih.gov/cgi-

bin/sis/search/a?dbs+hsdb:@term+@DOCNO+7346

United States Food and Drug Administration (USFDA). 2019. Food additives status

list [Online]. [Diakses pada 10 September 2019]. Akses dari:

https://www.fda.gov/food/food-additives-petitions/food-additive-status-list.

Utami, Dyah Kartika. Pengaruh Boraks terhadap Sistem Reproduksi Pria.

Utami. I. D. M. 2007. Pembuatan Bakso dengan Mneggunakan Bahan DasarTepung

Daging Sapi.Skripsi.Program Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas

Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Utari, Agustini. 2007. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat Keegaran

Jasmani pada Anak Usia 12-14 Tahun. Tesis. Program Pendididkan Dokter

Spesialis I Universitas Dipenegoro Separang .

Wariyah, Chatarina,. dkk. (2013). Penggunaan Pengawet dan Pemanis Buatan pada

Pangan Jajan Anak Sekolah (PJAS) di Wilayah Kabupaten Kulon Progo-

DIY.AGRITECH, Vol. 33, No. 2, Mei 2013. Hal 147-148


174

WHO, 2015. Penyakit Akibat Keracunan Makanan [Online]. [Diakses pada 3 Mei

2019]. Akses dari

http://www.searo.who.int/indonesia/publications/foodborne_illnesses-

id_03272015.pdf

WHO. 2017. Food Safety [Online]. [Diakses pada 31 Maret 2019]. Akses dari

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/food-safety

WHO.2017. International Programme on Chemical Safety : Poisoning Prevention

and Management.

Widayat, Dandik . 2011. Uji Kandungan Boraks pada Bakso (Studi pada Warung

Bakso di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember). Skripsi. Bagian

Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Jember.

Wiji Prayitno, Z. S. 2014. Hubungan Pengetahuan, Persepsi, dan Perilaku Petani

dalam Penggunaan Pestisida pada Lingkungan di Kelurahan Maharatu Kota

Pekanbaru.Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau 1.

Wirasuta. I. M. A. G, dan Rasmaya Niruri. 2006. Toksikologi Umum : Buku Ajar

Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Udayana.

Yiu, Pang-Hung, dkk. 2008. Boric Acid Levels in Fresh Noodles and Fish Ball :

American Journal of Agricultural and Biological Sciences.


175

Yulianto, D. (2013). Analisis Boraks dalam Sampel Bakso Sapi I, II, III, IV, V, VI,

VII, dan VIII yang Beredar di Pasar Soponyono dan Pasar Jagir.

Yulizar.2015. Kandungan Bahan Berbahaya pada Kuliner Mie Aceh dan Dampaknya

bagi Kesehatan Masyarakat di Kota Blang Pidie.Tesis Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor.


176

LAMPIRAN
177

LAMPIRAN 1

LEMBAR KESEDIAAN RESPONDEN

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Saya Husnia Zuhra, Mahasiswa Peminatan Kesehatan Lingkungan Program
Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan
penelitian untuk tugas akhir tentang “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan
Pajanan Boraks Pada Siswa yang Mengkonsumsi Bakso di SDN Cirendeu 02
Ciputat”.
Pada penelitian ini saya mengharapkan Anda bersedia menjadi responden, dan
bersedia untuk diwawancarai dengan menjawab semua pertanyaan yang ada dalam
kuesioner ini. Penelitian yang saya lakukan tidak akan membahayakan bagi Anda
serta informasi yang diberikan oleh Anda akan dijaga kerahasiaannya. Jika Anda
bersedia atau setuju, saya mohon untuk menandatangani lembar persetujuan yang
telah disediakan.
Atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu menjadi responden, saya ucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 2019
Responden

( )
178

KUESIONER

ANALISIS RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN PAJANAN BORAKS


PADA SISWA YANG MENGKONSUMSI BAKSO MENGANDUNG BORAKS
DI SDN CIRENDEU 02 CIPUTAT TAHUN 2019

Di isi oleh Responden


Identitas Responden
A1. Nama Responden
A2. Jenis Kelamin 1. Laki-Laki
2. Perempuan
A3. Umur (tahun)
Karakteristik Individu
B1. Berat Badan (BB) (kg)
B2. Tinggi Badan (TB) (cm)
Karakteritik Pajanan
C1. Sudah berapa lama anda bersekolah di SDN (tahun)
Cirendeu 02 Ciputat (Durasi responden
sebagai siswa)
C2. Berapa kali dalam seminggu mengkonsumsi (hari/minggu)
bakso (Frekuensi konsusmsi bakso)
C3. Berapa banyak jumlah bakso yang (buah)
dikonsumsi (Jumlah konsumsi bakso
responden pada tiap konsumsi bakso
tersebut)
C4. Lama meninggalkan / Libur sekolah tiap (minggu)
semester
Diisi oleh Peneliti
Perhitungan Intake, RQ, dan ECR
D1. Konsentrasi Boraks (mg)
D2. Intake (mg/kg/hari)
D3. RQ
D4. ECR
179

LAMPIRAN 2

Dokumentasi Kegiatan

Perkenalan dan pengarahan kepada siswa/i Kegiatan mewawancarai siswa/i

Kegiatan mewawancarai siswa/i Kegiatan pengukuran tinggi badan siswa/i


180

Spektrofotometer Uv-Vis Bahan pengujian kuantitatif boraks

Preparasi sampel dalam pengujian kuantitatif


Bahan pengujian kuantitatif boraks
181

LAMPIRAN 3
182
183
184

LAMPIRAN 4
185

LAMPIRAN 5
186

LAMPIRAN 6

Anda mungkin juga menyukai