Anda di halaman 1dari 170

PENGARUH LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN SUMBER PENCEMAR

SERTA KARAKTERISTIK KELUARGA TERHADAP ISPA BALITA


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANJUNG HALOBAN
KECAMATAN BILAH HILIR KABUPATEN LABUHANBATU
TAHUN 2017

TESIS

Oleh

DESSY IRFI JAYANTI


157032165

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


THE INFLUENCE OF HOME PHYSICAL ENVIRONMENT, POLLUTANT
SOURCE AND FAMILY CHARACTERITICS ON ISPA IN BALITA IN
THE WORKING AREA OF PUSKESMAS TANJUNG HALOBAN,
BILAH HILIR SUBDISTRICT, LABUHANBATU REGENCY,
IN 2017

THESIS

By

DESSY IRFI JAYANTI


157032165

MASTER IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM


FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNVERSITY OF SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PENGARUH LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN SUMBER PENCEMAR
SERTA KARAKTERISTIK KELUARGA TERHADAP ISPA BALITA
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANJUNG HALOBAN
KECAMATAN BILAH HILIR KABUPATEN LABUHANBATU
TAHUN 2017

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M )
dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Peminatan Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

DESSY IRFI JAYANTI


157032165

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Judul Tesis : Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan Sumber
Pencemar serta Karakteristik Keluarga terhadap ISPA
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban
Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu Tahun
2017

Nama Mahasiswa : Dessy Irfi Jayanti


Nomor Induk Mahasiswa : 157032165
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Peminatan : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui
Komisi Pembimbing :

(Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M) (Destanul Aulia, S.K.M, M.B.A, M.Ec, Ph.D)
Ketua Anggota

Ketua Program Studi S2 Dekan

(Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D) (Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si)

Tanggal Lulus : 05 Februari 2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Telah diuji
Pada tanggal : 05 Februari 2018

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M


Anggota : 1. Destanul Aulia, S.K.M, M.B.A, M.Ec, Ph.D
2. Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D
3. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERNYATAAN

PENGARUH LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN SUMBER PENCEMAR


SERTA KARAKTERISTIK KELUARGA TERHADAP ISPA BALITA
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANJUNG HALOBAN
KECAMATAN BILAH HILIR KABUPATEN LABUHANBATU
TAHUN 2017

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau di terbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 05 Februari 2018


Penulis

Dessy Irfi Jayanti

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK

Penyakit ISPA adalah penyakit berbasis lingkungan dan menjadi salah satu
penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. WHO
menyatakan bahwa hampir empat juta orang meninggal akibat penyakit ISPA setiap
tahunnya, 98% yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat
mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia. Lingkungan fisik
rumah yang dapat menjadi faktor resiko ISPA yaitu pencahayaan, lantai, dinding,
kelembaban, dan luas ventilasi. Selain itu, kebiasaan merokok, status gizi dan
imunisasi balita juga dapat menjadi faktor risiko ISPA. Prevalensi penyakit ISPA di
kecamatan Bilah Hiilir masih tinggi yaitu 620 kasus.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh lingkungan fisik rumah dan
sumber pencemar serta karakteristik keluarga terhadap ISPA balita. Penelitian ini
merupakan penelitian survei analitik dengan menggunakan desain penelitian cross
sectional. Populasi adalah seluruh balita yang berjumlah 200 orang dan sampel
diambil 65 orang secara non random, analisis data menggunakan uji chi-square dan
regresi logistik berganda.
Hasil penelitian ventilasi, pencahayaan, kelembaban, riwayat merokok, sosial
ekonomi dari segi penghasilan keluarga ada hubungan signifikan terhadap kejadian
ISPA balita. Sedangkan kepadatan hunian,lantai, dinding, jenis bahan bakar, status
gizi dan imunisasi tidak ada hubungan signifikan terhadap kejadian ISPA. Hasil uji
regresi logistik berganda menunjukkan riwayat merokok merupakan variabel yang
paling dominan berhubungan terhadap kejadian ISPA dengan p value 0,003,
PR=11,517;95% CI=2,360-56,198, artinya bahwa responden yang memiliki riwayat
merokok beresiko mempunyai peluang 11,517 kali terhadap kejadian ISPA pada
balita jika dibandingkan dengan responden yang riwayat merokok tidak beresiko.
Di sarankan bagi Puskesmas meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan
terutama yang menyangkut dengan penyakit ISPA sehingga dapat menurunkan angka
kesakitan balita yang disebabkan oleh ISPA maupun penyakit lain.

Kata kunci : ISPA, Lingkungan Fisik Rumah, Sumber Pencemar, Balita

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRACT

ISPA (Upper Respiratory Tract Infection) is an environment-based disease


and one of the major causes of the morbidity and mortality of communicable diseases
in the world. WHO states that almost four million people die from ISPA every year;
98% of them were caused by lower respiratory tract infection. The rate of mortality is
high in babies, children and adults. Home physical environment can be a risk factor
of ISPA i.e. lighting, floor, wall, moisture and ventilation. In addition, smoking habit,
nutritional status and immunization in balita (under five year-old children) can also
become the risk factors of ISPA. The prevalence of ISPA in Billah Hilir is till high
with 620 cases.
The objective of the research was to discover the influence of home physical
environment, pollutant source and family characteristics on ISPA in balita. This is an
analytical survey research with cross sectional research design. The population was
all balita i.e. 200 children and 65 of them were taken as the samples non-randomly.
Chi-square testing and multiple logistic regression testing were employed for the
data analysis.
The results of the research demonstrated that ventilation, lighting, moisture,
smoking history, social-economy of family income had significant influence on the
prevalence of ISPA in balita. Meanwhile, residential density, floor, wall, type of fuel,
nutritional status and immunization did not have any influence on the prevalence of
ISPA. The results of the multiple logistic regression testing showed that smoking
history was the variable with the most dominant influence on the prevalence of ISPA
with p value 0,003, PR=11,517;95% CI=2,360-56,198, which indicated that the
respondents with smoking history had 11,517 times higher risk of ISPA in balita
compared to the respondents without smoking history.
It is suggested that the Puskesmas (Public Health Center for sub district level)
improve the counseling about health especially information related to ISPA, so that it
can reduce the prevalence of ISPA or other disease in balita.

Keywords: ISPA, Home Physical Environment, Pollutant Source,Under five year


Old Children

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT, dan segala puji bagi Allah

yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini dengan judul “Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan

Sumber Pencemar Serta Karakteristik Keluarga terhadap ISPA Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhanbatu Tahun 2017”

Tesis ini dapat selesai dengan baik berkat limpahan rahmat dan karunia Allah

SWT, namun dalam penulisan tesis ini penulis mendapat bantuan, bimbingan dan

dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

4. Destanul Aulia, S.K.M, M.B.A, M.Ec, Ph.D selaku Sekretaris Program Studi

S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara serta anggota

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penulisan tesis

peneliti.

5. Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M. selaku ketua komisi pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktu dan perhatian serta dorongan moril dalam

membimbing penulis.

6. Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D selaku ketua komisi penguji yang telah

memberikan perhatian, bimbingan, dan saran perbaikan dalam penulisan tesis.

7. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S. selaku anggota komisi penguji yang

juga telah memberikan perhatian, bimbingan, dan saran untuk perbaikan tesis

yang lebih baik.

8. Seluruh dosen Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

ilmu pengetahuan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis.

9. Seluruh karyawan administrasi Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah

membantu kelancaran administrasi yang dibutuhkan penulis sampai

penyelesaian tesis.

10. Dr. H.Edison Stephen, M.M. selaku Kepala Puskesmas Tanjung Haloban

Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu yang membantu kelancaran

pembuatan tesis ini.

11. Seluruh Petugas Kesehatan dan Staff Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Bilah Hilir yang juga telah banyak membantu dalam proses pelaksanaan

penelitian di lapangan.

12. Orang Tua tercinta Ayah H.Irpan Hasibuan, S.Pd dan Ibu Hj.Bintiati, S.Pd

yang sangat penulis banggakan telah banyak memberikan dukungan do’a dan

pengorbanan baik secara moril maupun materil sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi dengan baik

13. Suami tercinta Azharuddin Lubis, SP yang senantiasa memberikan inspirasi,

motivasi, do’a serta curahan kasih sayang yang sangat luar biasa. Juga

permata hatiku Al Fariq Deaz Lubis yang menjadi motivasi dalam

penyelesaian tesis ini

14. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Univeristas Sumatera Utara, khususnya Minat Studi Manajemen Kesehatan

Lingkungan Industri atas bantuan dan semangatnya dalam penyusunan tesis

15. Semua pihak yang telah turut serta membantu pembuatan tesis ini yang tidak

dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya. Penulis menyadari bahwa

masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tesis ini, untuk itu kritik dan saran

yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, 05 Februari 2018


Penulis

Dessy Irfi Jayanti

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Dessy Irfi Jayanti, lahir pada tanggal 27 Januari 1990 di

Desa Cinta Makmur. Berasal dan bertempat tinggal di Desa Cinta Makmur

Kecamatan Panai Hulu Kabupaten Labuhanbatu. penulis merupakan anak pertama

dari pasangan Bapak H. Irfan Hasibuan, S.Pd dan Ibu Hj. Bintiati, S.Pd.

Jenjang pendidikan formal penulis dimulai dari, SD Negeri 116247 Cinta

Makmur (1996 - 2002), SMP Negeri 1 Panai Hulu (2002-2005), SMA Negeri 1 Panai

Hulu (2005-2008), D-III Kimia Analis FMIPA USU Medan (2008-2011), Kesehatan

Lingkungan FKM USU Medan (2011-2013) Saat ini penulis mengikuti pendidikan

lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen

Kesehatan Lingkungan Industri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara tahun 2015 dan akan menyelesaikan studi tahun 2018.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv
DAFTAR ISTILAH ....................................................................................... xv

BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ....................................................................... 1


1.2. Rumusan Masalah .................................................................. 7
1.3. Tujuan .................................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................. 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 9

2.1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ).............................. 9


2.1.1. Pengertian ISPA ......................................................... 9
2.1.2. Klasifikasi ISPA ......................................................... 10
2.1.3. Faktor Penyebab Terjadinya ISPA ............................. 11
2.1.4. Patogenesis Infeksi Saluran Pernafasan .................... 12
2.1.5. Gambaran Klinik ........................................................ 13
2.1.6. Etiologi ISPA ............................................................. 13
2.1.7. Keluhan Pada Saluran Pernafasan.............................. 14
2.1.8. Cara Penularan ........................................................... 14
2.1.9. Pemberantasan Penyakit ISPA ................................... 15
2.1.10. Anatomi Saluran Pernafasan ...................................... 16
2.1.11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernafasan ......... 17
2.2. Sanitasi Lingkungan Fisik Rumah ......................................... 18
2.2.1. Pengertian Rumah ...................................................... 19
2.2.2. Letak Rumah dan Syarat Rumah Sehat...................... 20
2.2.3. Ventilasi ..................................................................... 21
2.2.4. Pencahayaan ............................................................... 22
2.2.5. Kelembaban ............................................................... 23
2.2.6. Lantai ......................................................................... 23
2.2.7. Konstruksi Dinding .................................................... 24
2.2.8. Kepadatan Hunian Rumah ......................................... 25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.3. Pencemaran Udara ................................................................. 26
2.3.1. Sumber Pencemaran Udara ......................................... 26
2.3.2. Dampak Pencemaran Udara ....................................... 28
2.3.3. Pencemaran Udara di dalam Ruangan ........................ 29
2.3.4. Efek terhadap Saluran Pernafasan............................... 30
2.4. Status Gizi .............................................................................. 31
2.5. Status Imunisasi ..................................................................... 34
2.6. Landasan Teori ....................................................................... 35
2.7. Kerangka Teori....................................................................... 40
2.8. Kerangka Konsep ................................................................... 41
2.9. Hipotesis................................................................................. 42

BAB 3. METODE PENELITIAN ........................................................... 43

3.1. Jenis Penelitian ....................................................................... 43


3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 43
3.3. Populasi dan Sampel .............................................................. 44
3.3.1. Populasi........................................................................ 44
3.3.2. Sampel ......................................................................... 44
3.4. Teknik Pengambilan Sampel.................................................. 45
3.5. Metode Pengumpulan Data .................................................... 45
3.5.1. Data Primer ................................................................. 45
3.5.2. Data Sekunder ............................................................. 46
3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ........................ 46
3.6.1. Variabel Penelitian....................................................... 46
3.6.2. Defenisi Operasional ................................................... 47
3.7. Metode Pengukuran ............................................................... 48
3.7.1. Pengukuran Variabel Penelitian .................................. 48
3.7.2. Cara Ukur Variabel Dependen dan Independen .......... 50
3.8. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data ........................... 51
3.8.1. Teknik Pengolahan Data .............................................. 52
3.8.2. Analisis Data ................................................................ 52
BAB 4. HASIL PENELITIAN ...................................................................... 54

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian .................................................. 54


4.2. Analisis Univariat................................................................... 55
4.2.1. Penyakit ISPA .............................................................. 55
4.2.2. Karakteristik Responden .............................................. 55
4.2.3. Distribusi Responden Berdasarkan Lingkungan Fisik
Rumah .......................................................................... 56
4.2.4. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber
Pencemaran Udara ....................................................... 58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.2.5. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik
Balita ............................................................................ 59
4.2.6. Distribusi Responden Berdasarkan Sosial Ekonomi .... 60
4.3. Analisis Bivariat ..................................................................... 61
4.3.1. Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah terhadap
Kejadian ISPA pada Balita ........................................... 61
4.3.2. Pengaruh Sumber Pencemaran Udara terhadap
Kejadian ISPA pada Balita ........................................... 62
4.3.3. Pengaruh Karakteristik Balita terhadap Kejadian
ISPA pada Balita .......................................................... 64
4.3.4. Pengaruh Sosial Ekonomi terhadap Kejadian ISPA
pada Balita .................................................................... 65
4.4. Analisis Multivariat................................................................ 66

BAB 5. PEMBAHASAN ............................................................................... 71

5.1. Penyakit ISPA ........................................................................ 71


5.2. Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah terhadap kejadian
ISPA pada Balita .................................................................... 71
5.2.1. Pengaruh Luas Ventilasi terhadap Kejadian ISPA
pada Balita .................................................................... 71
5.2.2. Pengaruh Pencahayaan terhadap Kejadian ISPA pada
Balita ............................................................................. 73
5.2.3. Pengaruh Kelembaban terhadap Kejadian ISPA pada
Balita ............................................................................. 75
5.2.4. Pengaruh Kepadatan Hunian terhadap Kejadian .ISPA
pada Balita .................................................................... 77
5.2.5. Pengaruh Lantai terhadap Kejadian ISPA pada Balita . 78
5.2.6. Pengaruh Konstruksi Dinding Terhadap Kejadian ISPA
pada Balita .................................................................... 79
5.3. Pengaruh Sumber Pencemaran terhadap Kejadian ISPA
pada Balita.............................................................................. 80
5.3.1. Pengaruh Riwayat Merokok terhadap Kejadian ISPA
pada Balita .................................................................... 80
5.3.2. Pengaruh Jenis Bahan Bakar terhadap Kejadian ISPA
pada Balita .................................................................... 84
5.4. Pengaruh Karaktristik Balita terhadap Kejadian ISPA pada
Balita ............................................................................. 86
5.4.1. Pengaruh Status Gizi terhadap Kejadian ISPA pada
Balita ............................................................................. 86
5.4.2. Pengaruh Status Imunisasi terhadap Kejadian ISPA
pada Balita .................................................................... 88

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5.5. Pengaruh Sosial Ekonomi terhadap Kejadian ISPA pada
Balita ...................................................................................... 90
5.5.1. Pengaruh Penghasilan terhadap Kejadian ISPA pada
Balita ............................................................................. 90
5.5.2.Pengaruh Pendidikan terhadap Kejadian ISPA pada
Balita ............................................................................. 91
5.5.3.Pengaruh Pekerjaan terhadap Kejadian ISPA Pada
Balita ............................................................................. 93
5.6. Implikasi Penelitian ................................................................ 94
5.7. Keterbatasan Penelitian .......................................................... 95

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 97

6.1. Kesimpulan ............................................................................ 97


6.2. Saran ...................................................................................... 98

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 99

LAMPIRAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1. Kategori Ambang Batas Status Gizi Anak ............................................. 33


3.1. Aspek Pengukuran Variabel Penelitian .................................................. 48
4.1. Distribusi Responden Menderita Penyakit ISPA Pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2017 ..................................................... 55

4.2. Distribusi Frekuensi Umur dan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja


Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten
Labuhanbatu Tahun 2017 ....................................................................... 55

4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah Meliputi


Ventilasi, Pencahayaan, Kelembaban, Kepadatan Hunian, Lantai, dan
Konstruksi Dinding di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban
Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2017 ............... 56

4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Pencemaran Udara


Meliputi Riwayat Merokok Dan Bahan Bakar Memasak Di Wilayah
Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten
Labuhanbatu Tahun 2017 ....................................................................... 58

4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Balita Meliputi Status


Gizi dan Status Imunisasi di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung
Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017 59

4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Sosial Ekonomi Meliputi


Pendidikan,Pekerjaan dan Penghasilan di Wilayah Kerja Puskesmas
Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu
Tahun 2017 ............................................................................................. 60

4.7. Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian ISPA pada


Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan
Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017 dengan Uji Chi
Square .................................................................................................... 62

4.8. Pengaruh Sumber Pencemaran Udara terhadap Kejadian ISPA pada


Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017 dengan Uji Chi
Square ..................................................................................................... 64

4.9. Pengaruh Karakteristik Balita terhadap Kejadian ISPA pada Balita di


Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017 dengan Uji Chi Square ............. 64

4.10. Pengaruh Sosial Ekonomi terhadap Kejadian ISPA pada Balita di


Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017 ................................................... 65

4.11. Hasil Seleksi Variabel yang dapat Masuk dalam Model Regresi
Logistik Ganda ....................................................................................... 67

4.12. Nilai p-value < 0,25 Variabel Independen.............................................. 67

4.13. Model Regresi Logistik Tahap Pertama terhadap Kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah
Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017.......................................... 68

4.14. Model Regresi Logistik Tahap Kedua terhadap Kejadian ISPA pada
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan
Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017 ................................. 68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Sistem Pernafasan Pada Manusia ........................................................... 17


2.2. Teori Simpul .......................................................................................... 35
2.3. Teori H.L.Blum ...................................................................................... 39
2.4. Teori Segitiga Epidemiologi ................................................................... 40
2.5. Kerangka Teori ....................................................................................... 40
2.6. Kerangka Konsep Penelitian .................................................................. 41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Lembar Kuesioner ................................................................................ 106

2. Lembar Observasi / Pengukuran Lingkungan Fisik Rumah ............... 107

3. Master Data ......................................................................................... 111

4. Analis Data Statistik ............................................................................. 113

5. Surat Permohonan Survei Pendahuluan ............................................... 145

6. Lembar Kesediaan Komisi Pembimbing.............................................. 146

7. Surat Izin Penelitian ............................................................................. 147

8. Surat Telah Selesai Melaksanakan Penelitian ...................................... 148

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISTILAH

AC : Air Conditioner
BPS : Badan Pusat Statistik
CO : Karbon monoksida
CO 2 : Karbon dioksida
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Ditjen PPM & PLP : Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Menular
&Penyehatan Lingkungan
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Kemenkes RI : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
KMS : Kartu Menuju Sehat
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit
NO : Nitrogen Monoksida
P2 ISPA : Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
SPSS : Statistical Product and Service Solution
TBC : Tuberculosis
WHO : World Health Organization

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit

menular di dunia. Penyakit ISPA juga penyebab utama kematian terbesar ketiga di

dunia dan pembunuh utama di Negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Kematian akibat penyakit ISPA sepuluh sampai lima puluh kali di Negara

berkembang dari pada negara maju (Ide dan Onyenegecha, 2015). Hampir empat juta

orang meninggal akibat penyakit ISPA setiap tahunnya, 98% yang disebabkan oleh

infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-

anak, dan orang lanjut usia. Penyakit ISPA merupakan salah satu penyebab utama

konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian

perawatan anak (WHO, 2007). Infeksi Saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus

atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala

yaitu tenggorokan sakit atau nyeri saat menelan, pilek, batuk kering atau berdahak

(Riskesdas, 2013).

Di negara- negara berkembang yang beriklim tropis, penyakit ISPA dapat

mewabah dengan cepat pada kelompok balita yang terjadi pada musim gugur, musim

dingin dan awal musim semi. Negara-negara berkembang tersebut seperti Negara

Afrika, Amerika Latin dan Asia. Di negara bagian Asia, tingkat mortalitas penyakit

ISPA sangat tinggi pada bayi dan anak-anak. Kasus terbanyak terjadi di India

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(43juta), China (21 juta), Pakistan (10 juta) dan Bangladesh. Di Indonesia dan

Nigeria terdapat enam juta kasus (Kemenkes, 2012).

Indonesia adalah negara yang berpenghasilan rendah dan negara ketiga yang

memiliki penduduk yang sangat padat (sekitar 250 juta jiwa ) di Asia, meliputi Asia

selatan dan Asia timur. Penyebab terbesar kematian anak dibawah umur lima tahun di

Indonesia adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (sekitar 17 %) (Shibata, T. et al,

2014). Indonesia sebagai daerah tropis berpotensi menjadi daerah endemik dari

beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi acaman bagi kesehatan

masyarakat. Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya peningkatan kasus

maupun kematian penderita akibat penyakit ISPA. Faktor- faktor yang mendorong

terjadinya penyakit ISPA, seperti pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh asap

karena kebakaran hutan, gas buangan yang berasal dari sarana transpotasi dan polusi

udara dalam rumah karena asap dapur dan asap rokok. Faktor lain termasuk

perubahan iklim global, seperti perubahan suhu udara, kelembaban, dan curah hujan

merupakan acaman kesehatan terutama pada penyakit ISPA (Daroham, N.E.P dan

Mutiatikum, 2009).

Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, ISPA menurut karakteristik penduduk

yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1 – 4 tahun sebesar (25.8% ). Menurut

jenis kelamin, tidak berbeda antara laki – laki dan perempuan. Penyakit ini lebih

banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


terbawah dan menengah bawah. Prevalensi ISPA pada balita menurut provinsi,

tertinggi pada Provinsi Nusa Tenggara Timur (41.7%) dan terendah pada Provinsi

Jambi (17.0 % ), sedangkan di provinsi Sumatera Utara (19.9% ).

Secara Umum ada tiga faktor resiko penyakit ISPA, yaitu faktor lingkungan,

faktor individu, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan yang dimaksud meliputi,

pencemaran udara didalam ruangan dan pencemaran udara di luar ruangan.

Pencemaran udara dalam rumah seperti asap hasil pembakaran bahan bakar untuk

memasak dengan konsentrasi yang tinggi, asap rokok, ventilasi rumah dan kepadatan

hunian. Sedangkan pencemaran di luar ruangan seperti Pembakaran, transportasi dan

hasil pembuangan asap pabrik (Kusnoputranto, 2000).

Menurut penelitian Soolani (2013) Adanya anggota keluarga yang merokok

dengan kejadian ISPA memiliki hubungan yang bermakna dengan p = 0,005,

disebabkan kerena seorang bapak merokok dekat dengan anaknya, kemudian asap

rokok yang dihirup oleh balita tersebut mengganggu pernapasannya sehingga

terjadinya ISPA.

Selain dari pencemaran udara, sarana sanitasi rumah juga perlu dilakukan

pengawasan untuk menghindari terjadinya penyakit ISPA. Sarana sanitasi tersebut

antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami,

konstruksi bangunan rumah, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan

kotoran manusia, dan penyediaan air (Azwar, 1990). Salah satu kriteria rumah sehat

adalah rumah tinggal yang memiliki luas lantai per orang minimal 10 meter persegi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sedangkan menurut ketentuan Rumah Sederhana Sehat Keputusan Menteri

Pemukiman dan Prasarana Wilayah adalah kebutuhan ruang per orang dihitung

berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas tidur, makan, kerja,

duduk, mandi, kakus, cuci dan masak serta ruang gerak lainnya. Dari hasil kajian

pemerintah, kebutuhan ruang per orang adalah 9 meter persegi dengan perhitungan

ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2,80 m. Rumah dapat dikatakan memenuhi

salah satu persyaratan sehat adalah jika penguasaan lantai perkapitanya minimal 8

meter persegi (BPS, 2015).

Rumah yang luas ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan

mempengaruhi kesehatan penghuni rumah, hal ini disebabkan karena proses

pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar, sehingga bakteri

penyebab penyakit ISPA yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar. Ventilasi juga

menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan

cairan dari kulit, oleh karena itu kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media

yang baik untuk perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit ISPA (Notoatmodjo,

2003).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suryani,dkk tahun 2013 bahwa ada

hubungan antara kondisi ventilasi rumah, pencahayaan alami, kepadatan, kebiasaan

merokok anggota keluarga di dalam rumah, dan penggunaan bahan bakar rumah

tangga dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Lubuk Buaya

Kota Padang. Penelitian Nur, A.Y. dan Lilis, S (2005 ) menyatakan bahwa sanitasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


rumah secara fisik yang memiliki hubungan dengan kejadian ISPA pada balita

meliputi : kepadatan penghuni (p = 0,005), ventilasi (p = 0,009), dan penerangan

alami (p = 0,047).

Penyebab lain faktor risiko terjadinya ISPA yang berasal dari individu anak,

diantaranya adalah status gizi, pemberian ASI eksklusif, dan status imunisasi dasar.

Status gizi dapat mempengaruhi kekebalan tubuh balita. Seorang balita dapat

terserang penyakit apabila ia mengalami gizi buruk, meskipun telah diimunisasi

lengkap. Hal ini sejalan dengan penelitian Damanik, P.E.G., dkk (2013)

menunjukkan bahwa ada hubungan status imunisasi dasar dengan kejadian ISPA

pada anak usia 12- 24 bulan di wilayah kerja puskesmas Glugur Darat (ρ = 0,037 ).

Baduta yang menderita ISPA kemungkinan besar 3,8 kali tidak memiliki imunisasi

dasar yang lengkap dibandingkan dengan baduta yang tidak menderita ISPA (OR =

3,763 ) dan ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada anak usia 12-24

bulan di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat (ρ=0,045). Baduta yang menderita

ISPA kemungkinan 3,3 kali status gizinya tidak baik dibandingkan baduta yang tidak

menderita ISPA (OR=3,333). Sedangkan faktor perilaku meliputi, perilaku

pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi atau peran aktif keluarga/

masyarakat dalam menangani penyakit ISPA (Maryunani, 2010).

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara yang bersumber

dari Dinas kesehatan kabupaten Labuhanbatu, pola penyakit ISPA secara tahunan

mulai 2012 sampai 2015 menunjukkan bahwa pada tahun 2012 terdapat 19.832

kasus dengan trend rata – ratanya 0,43%, tahun 2013 sebanyak 11.287 kasus dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


trend rata – ratanya 0.70% , tahun 2014 meningkat dari tahun sebelumnya yaitu

19.203 kasus dengan trend rata – ratanya 0.01% dan tahun 2015 sebanyak 18.901

kasus dengan trend rata-ratanya 0,55%. Salah satu penyumbang meningkatnya kasus

ISPA di Kabupaten Labuhanbatu termasuk wilayah kerja Puskesmas Tanjung

Haloban.

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban berada di kecamatan Bilah Hilir,

dengan jumlah rumah / bangunan menurut jenisnya yaitu rumah permanen sebanyak

550 rumah, rumah non permanen sebanyak 2712 rumah dan rumah dengan kondisi

darurat sebanyak 365 rumah. Total keseluruhan rumah yang ada di wilayah kerja

Puskesmas Tanjung Haloban adalah 3627 unit rumah.

Berdasarkan data yang diperoleh dari puskesmas Tanjung Haloban, penyakit

ISPA merupakan 10 penyakit tertinggi pada tahun 2016 dan menempati urutan

pertama kunjungan pasien yang terbanyak. Data yang diperoleh pada tahun 2016

menunjukkan bahwa terdapat 620 kasus penderita ISPA dan setiap bulannya terdapat

warga yang terkena ISPA. Dan data pada tahun 2015 terdapat 289 kasus. Wilayah

kerja puskesmas Tanjung Haloban kecamatan Bilah Hilir terdiri dari empat

Desa/Kelurahan yaitu Desa Selat Besar, Desa Tanjung Haloban, Desa Sungai Kasih

dan Desa Sungai Tarolat (Data Puskesmas Tanjung Haloban, 2016).

Berdasarkan hasil survei pendahuluan pada bulan Januari 2017, pada 15

rumah di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Haloban yang diobservasi masih

memiliki kondisi sanitasi lingkungan fisik rumah yang sangat tidak baik. Masih

terdapat rumah yang semi permanen dan kondisi tidak layak yang tidak sesuai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dengan persyaratan rumah sehat. Dimana ventilasi rumah yang kurang berfungsi

dengan baik, bahkan ada rumah dengan ventilasi yang sangat buruk. Terkadang

jendela yang jarang dibuka untuk pertukaran masuk dan keluarnya udara sehingga

meningkatkan kelembaban di dalam rumah yang tidak baik untuk kesehatan. Luas

bangunan kamar yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya sehingga

menyebabkan overcrowded. Hasil wawancara terhadap 10 ibu rumah tangga

mengatakan bahwa 8 ibu rumah tangga masih menggunakan anti nyamuk bakar

setiap malam dan kepala keluarga atau anggota keluarga lain yang memiliki

kebiasaan merokok baik di dalam maupun di luar rumah, Ada juga yang masih

masak menggunakan kayu bakar meskipun sudah menggunakan gas elpiji.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, kondisi di wilayah kerja

Puskesmas Tanjung Haloban yang merupakan salah satu daerah dengan kasus ISPA

terbanyak yang setiap tahun terjadi, maka perlu dilakukan penelitian yang mampu

menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di

wilayah kerja puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir sehingga dapat

dijadikan sebagai dasar intervensi program pencapaian standar kesehatan terhadap

kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Haloban.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Tanjung Haloban,

penyakit ISPA adalah penyakit tertinggi dari 10 penyakit terbesar. Dari peninjauan

lokasi, masih banyak rumah yang belum memenuhi syarat kesehatan, dimana sanitasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


lingkungan fisik rumah sangat tidak baik dan masih terdapat rumah tangga yang

memasak menggunakan kayu bakar dan kebiasaan kepala keluarga yang merokok di

dalam rumah.

1.3. Tujuan

Untuk mengetahui pengaruh dan yang paling berpengaruh dari lingkungan

fisik rumah, sumber pencemar dan karakteristik keluarga terhadap ISPA balita di

wilayah kerja puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhanbatu tahun 2017

1.4. Manfaat

1. Memberikan informasi bagi Puskesmas maupun Dinas Kesehatan terkait

tentang pengaruh lingkungan fisik rumah dan sumber pencemar serta

karakteristik keluarga terhadap ISPA balita di wilayah kerja Puskesmas

Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu tahun 2017.

2. Memberikan masukan bagi masyarakat /kepala keluarga dalam partisipasi

untuk pencegahan ISPA melalui pendidikan kesehatan tentang sanitasi

lingkungan fisik rumah dan karakteristik keluarga terhadap kejadian ISPA.

3. Sebagai referensi kepustakaan bagi pihak lain mengenai sanitasi lingkungan

fisik rumah dan karakteristik balita terhadap kejadian ISPA untuk

pengembangan ilmu pengetahuan secara aplikatif maupun teoritis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. Menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti terkait

masalah faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit utama penyebab

kematian bayi dan sering menempati urutan pertama angka kesakitan balita.

Penanganan dini terhadap penyakit ISPA terbukti dapat menurunkan kematian

(Widoyono, 2008).

2.1. 1. Pengertian ISPA

ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang

diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI)

(Depkes RI, 2000). Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA) adalah radang akut

saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh bakteri, virus, maupun

riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Soemantri, 2008). Perbedaan

ISPA dengan Pneumonia yaitu ditandai apabila penderita ISPA menderita batuk-

batuk yang tidak menunjukan gejala frekuensi sesak nafas dan tidak menunjukan

adanya penarikan dinding dada bagian bawah (Depkes RI, 2000).

Istilah Infeksi saluran pernafasan Akut (ISPA) mengandung 3 unsur yaitu

infeksi, saluran pernafasan dan akut. Infeksi adalah masuknya mikroorganisme

kedalam tubuh manusia dan berkembangbiak sehingga menimbulkan penyakit.

Saluran pernafasan adalah organ yang mulai dari hidung, hingga ke alveoli beserta

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


organ adneksanya (sinus- sinus, rongga telinga tengah dan pleura) sedangkan infeksi

akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari walaupun beberapa

penyakit yang dapat digolongkan dalam penyakit ISPA dapat berlangsung lebih dari

14 hari, misalnya pertusis. Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan

yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis suatu tanda dan gejala

akut akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran pernafasan dengan

berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes RI,2004).

2.1.2. Klasifikasi ISPA

Klasifikasi Penyakit ISPA menurut Widoyono (2008) terdiri dari :

1. Bukan pneumonia, mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak

menunjukan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukan adanya

tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam. Contohnya common cold,

faringitis, tonsilitis, dan otitis.

2. Pneumonia, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas.

3. Pneumonia Berat, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas

disertai sesak nafas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam

pada anak berusia dua bulan sampai < 5 tahun.

Adapun Pengklasifikasian ISPA menurut Ditjen P2MPL (2009), adalah :

a. ISPA ringan

Gejala ISPA ringan adalah adanya satu atau lebih tanda dan gejala seperti

batuk, pilek, serak yang disertai atau tanpa disertai panas atau demam,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


keluarnya cairan dari telinga yang lebih dari 2 minggu tanpa ada rasa sakit

pada telinga.

b. ISPA sedang

Gejala ISPA sedang adalah adanya gejala ISPA ringan ditambah satu atau

lebih tanda dan gejala seperti pernafasan cepat lebih dari 50 kali per menit

atau lebih (tanda utama) pada umur 1 tahun dan 40 kali per menit pada umur

1-5 tahun, panas 30 derajat celcius atau lebih, wheezing, keluar cairan dari

telinga dan campak.

c. ISPA berat

Gejala ISPA berat adalah adanya gejala ISPA ringan dan sedang ditambah

satu atau lebih tanda dan gejala seperti penarikan dada ke dalam saat

penarikan nafas (tanda utama), adanya stidor atau pernafasan ngorok, dan

tidak mampu atau tidak mau makan. Tanda dan gejala lainnya adalah kulit

kebiru-biruan, cuping hidung bergerak kembang kempis saat bernafas, kejang,

dehidrasi, atau tanda-tanda kekurangan cairan, kesadaran menurun dan

terdapat saluran difteri.

2.1.3. Faktor Penyebab Terjadinya ISPA

Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pernapasan bawah, dan

Streptococcus pneumoniae di banyak negara merupakan penyebab paling umum

pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit yang disebabkan oleh bakteri. Namun

demikian, patogen yang paling sering menyebabkan penyakit ISPA adalah virus,

atau infeksi gabungan virus-bakteri. Sementara itu, ancaman ISPA akibat organisme

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


baru yang dapat menimbulkan epidemi atau pandemi memerlukan tindakan

pencegahan dan kesiapan khusus.Terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut

beberapa faktor.

Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan :

a. Kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan anggota keluarga,

kelembaban, kebersihan, musim, temperatur);

b. Ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan

infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya vaksin, akses terhadap fasilitas

pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi);

c. Faktor pejamu, seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu

menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau

infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan umum;

dan

d. Karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi

(misalnya, gen penyandi toksin), dan jumlah atau dosis mikroba (ukuran

inokulum) (WHO, 2007).

2.1.4. Patogenesis Infeksi Saluran Pernafasan

Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh membran

mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan

dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat

dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam membran

mukosa. Gerakan silia mendorong membran mukosa ke posterior ke rongga hidung

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan ke arah superior menuju faring. Secara umum efek pencemaran udara terhadap

pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku

bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat

iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan

penyempitan saluran pernafasan dan makrofage di saluran pernafasan. Akibat dari

dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik

dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan

terjadinya infeksi saluran pernafasan (Mukono, 2008).

2.1.5. Gambaran Klinik

Gambaran klinik secara umum yang sering didapat adalah: rinitis, nyeri

tenggorakan, batuk-batuk dengan dahak kuning/putih kental,nyeri retrosternal dan

konjungtivitis, suhu badan meningkat antara 4-7 hari disertai malaise, mialgia, nyeri

kepala, anoreksia, mual, muntah-muntah dan insomnia. Kadang-kadang dapat juga

terjadi diare. Bila peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan adanya

penyulit (Soemantri, 2008).

2.1.6. Etiologi ISPA

Etiologi penyakit ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia.

Bakteri penyebabnya antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pnemokokus,

Hemofilus, Bordetella dan Korinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan

Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus.

(Ditjen PPM & PLP, 2004). Jamur : Aspergilus sp, Candida albican, Histoplasma,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan lain-lain. Aspirasi : makanan, asap kendraan bermotor, BBM (Bahan Bakar

Minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir, benda asing ( biji -

bijian, mainan plastik kecil, dan lain-lain) (Widoyono, 2008).

2.1.7. Keluhan pada Saluran Pernafasan

Gangguan pada fungsi paru biasanya ditandai dengan manifestasi klinik

berupa keluhan atau gejala-gejala pada sistem pernafasan sebagaimana diuraikan

berikut ini :

a. Bersin

Refleks bersin bermanfaat untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke

rongga hidung atau saluran pernafasan bagian bawah.

b. Batuk

Batuk adalah suatu bentuk refleks perlindungan yang mengeluarkan sekret,

lendir atau bahan iritan lainnya dari saluran nafas bagian bawah.

c. Nyeri Dada

Mekanisme pertahanan tubuh,rasa nyeri timbul bila ada jaringan tubuh yang

rusak dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara

memindahkan stimulus nyeri,baik nyeri cepat atau nyeri lambat.

d. Sesak Nafas

Sesak merupakan bertambahnya frekuensi pernafasan serta meningkatnya

upaya seseorang untuk bisa bernafas (Tamher & Heryati, 2008).

2.1.8. Cara Penularan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Penyakit ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui AC (air

conditioner), droplet dan melalui tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus.

Penularan faringitis terjadi melalui droplet, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, jika

epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi sehingga terjadi

pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada sinusitis,

saat terjadi ISPA melalui virus, hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat

menghasilkan super infeksi bakteri, sehingga dapat menyebabkan bakteri-bakteri

patogen masuk ke dalam rongga-rongga sinus (WHO, 2008).

Pada ISPA dikenal tiga cara penyebaran infeksi yaitu :

1. Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk.

2. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk dan bersin-bersin.

3. Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah dicemari jasad

renik (hand to hand transmission).

Pada infeksi virus, transmisi diawali dengan penyebaran virus ke darah sekitar

terutama melalui bahan sekresi hidung.Virus yang menyebabkan ISPA terdapat 10-

100 kali lebih banyak di dalam mukosa hidung dari pada mukosa faring. Dari

beberapa penelitian klinik, laboratorium dan penelitian lapangan, diperoleh

kesimpulan bahwa sebenarnya kontak hand to hand merupakan modus yang terbesar

bila dibandingkan dengan cara penularan aerogen (yang semula banyak diduga

sebagai penyebab utama) (Soemantri, 2008).

2.1.9. Pemberantasan Penyakit ISPA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Upaya dalam rangka Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan

Akut (P2 ISPA) lebih difokuskan pada paya penemuan secara dini dan tata laksana

kasus yang cepat dan tepat terhadap penderita pneumonia balita yang ditemukan.

Upaya ini dikembangkan melalui suatu manajemen terpadu dalam penanganan

balitasakit yang datang ke unit pelayanan kesehatan atau lebih dikenal dengan

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Dengan pendekatan MTBS semua

penderita ISPA langsung ditangani di unit yang menemukan, namun bila kondisi

balita sudah berada dalam pneumonia berat sedangkan peralatan tidak mencukupi

maka penderita langsung di rujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap ( Depkes

RI, 2006 ).

2.1.10. Anatomi Saluran Pernafasan

Anatomi saluran pernafasan pada manusia terdiri dari :

1. Anatomi Saluran Pernafasan Bagian Atas

Saluran pernafasan bagian atas terdiri dari:

1. Lubang hidung (cavum nasalis) yang berfungsi sebagai jalan nafas,

pengatur udara, pengatur kelembapan udara, pengatur suhu, pelindung

dan penyaring udara, indra penciuman serta resonator suara.

2. Sinus Parasinalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala

yang berfungsi untuk:

• Membantu menghangatkan dan humidifikasi.

• Meringankan berat tulang tengkorak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


• Mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi.

• Faring berfungsi saat menelan seperti saat kita bernafas.

• Laring memiliki fungsi untuk pembentukan suara, sebagai proteksi

jalan nafas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses

terjadinya batuk.

2. Saluran Pernafasan Bagian Bawah

Saluran pernafasan bagian bawah terbagi atas :

1. Saluran pernafasan bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri dari

Saluran udara konduktif yaitu trakhea, bronkhus dan bronkhiolus.

2. Saluran respiratorius terminal terdiri dari alveoli, paru-paru, dada,

diafragma, pleura dan sirkulasi pulmoner (Soemantri, 2008).

Gambar 2.1. Sistem Pernafasan pada Manusia


Sumber : Soemantri, 2008

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.1.11. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pernafasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pernafasan adalah :

1. Suplai oksigen yang adekuat, apabila suplai oksigen terganggu

disebabkan tercampurnya udara yang dihirup dengan gas-gas inert, asap,

keracunan CO 2 menyebabkan nyeri kepala, sesak nafas, lemah, mual,

berkeringat, penglihatan kabur, pendengaran berkurang dan mengantuk.

2. Saluran udara yang utuh dimana tidak ada hambatan saluran udara yang

mengalirkan O 2 melalui trakheabronkhial menuju membran alveolus

kapiler.

3. Fungsi pergerakan dinding dada dan diafragma yang normal. Jika fungsi

dinding dada lemah akan mempengaruhi pernafasan. Penyebabnya

trauma pada dinding dada yang mengakibatkan fraktur iga.

4. Adanya alveoli dan kapiler yang bersama-sama berfungsi membentuk

unit pernafasan terminal dalam jumlah yang cukup.

5. Jumlah haemoglobin yang adekuat untuk membawa O 2 pada sel-sel

tubuh.

6. Suatu sistem sirkulasi yang utuh dan pompa jantung yang efektif.

7. Berfungsinya pusat pernafasan (Soemantri, 2008).

2.2. Sanitasi Lingkungan Fisik Rumah

Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada

pengawasan terhadap struktur fisik yang digunakan sebagai tempat berlindung yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain

ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi

bangunan rumah, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia,

dan penyediaan air. Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan

penyakit menular, terutama ISPA.Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada

terjadinya dan tersebarnya ISPA (Azwar, 1990).

2.2.1. Pengertian Rumah

Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian

dan sarana pembinaan keluarga (Notoatmodjo, 2003). Salah satu kualitas yang dapat

mencerminkan kesejahteraan rumah adalah kualitas material seperti jenis atap, lantai,

dan dinding terluas yang digunakan, termasuk fasilitas penunjang lain yang meliputi

luas lantai hunian, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar dan sumber

penenrangan. Rumah tinggal dikategorikan sebagai rumah layak huni apabila sudah

memenuhi beberapa kriteria kualitas rumah tinggal tersebut (BPS, 2015).

Untuk menilai bagaimanakah sebuah rumah yang memenuhi syarat-syarat

kesehatan, maka pertimbangkan lima hal berikut ini:

1. Tempat dimana rumah itu didirikan.

2. Jumlah atau besar ruangan, tata ruang serta ventilasinya.

3. Cara perlindungan terhadap angin dan hujan, panas dan dingin, serangga serta

binatang-binatang lainnya.

4. Bahan-bahan yang digunakan untuk membangun.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5. Bagaimanakah caranya orang-orang memelihara dan memakai rumah mereka

(Chandra, 2007).

2.2.2. Letak Rumah dan Syarat Rumah Sehat

Letak rumah yang didirikan adalah amat penting artinya bagi kesehatan. Sebagai

contoh adalah sebuah rumah seyogianya tidak didirikan didekat tempat dimana sampah-

sampah dikumpulkan atau dibuang. Pertimbangannya adalah karena ditempat

pembuangan sampah itu akan banyak lalat, serangga maupun tikus yang akan membawa

kuman-kuman penyakit. Demikian pula bila air hujan mengenangi tempat tersebut, atau

bila air tanah merembes ke dalam dinding rumah, maka sebagai akibatnya rumah akan

menjadi lembab dan tidak sehat (Chandra, 2007).

Jadi secara umum, rumah yang sehat adalah mempunyai :

a. Ruangan yang cukup sehingga penghuninya tidak terlalu padat, terutama saat

mereka sedang tidur.

b. Pelindung terhadap binatang-binatang buas dan menempatkan binatang-binatang

piaraan ke dalam kandang khusus sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) meter dari

rumah.

c. Mempunyai tempat untuk mandi dan mencuci pakaian serta alat-alat rumah

tangga lainnya dengan limbah rumah tangga yang digunakan untuk menyirami

tanaman di halaman atau di kebun.

d. Mempunyai tempat khusus untuk menyimpan makanan dan minuman yang dapat

diraih secara mudah, namun juga cukup aman dari gangguan debu, tikus,

serangga serta binatang lainnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


e. Tempat khusus untuk memasak yang menyediakan lubang atau saluran

pembuangan asap di atap rumah. Hal ini perlu agar dapat memperkecilkan

bahaya kebakaran terutama bagi anak-anak.

f. Jendela yang memungkinkan udara segar masuk ke dalam ruangan sehingga

udara kotor atau asap yang berada di dalam rumah segera terbawa keluar.

g. Tempat-tempat terlindung guna menyimpan barang-barang atau apapun yang

sekiranya tidak perlu diambil atau dilihat oleh anak-anak.

h. Atap yang baik agar terlindung dari air hujan.

i. Dinding dan pintu yang baik agar terlindung dari iklim yang buruk serta

gangguan binatang-binatang.

j. Kaca yang dapat dipasang pada pintu dan jendela serta kelambu yang dipasang

saat tidur. Hal ini penting untuk mencegah gigitan nyamuk.

k. Atap tambahan atau beranda yang dapat digunakan untuk mengurangi panas

matahari pada saat musim kemarau (Chandra, 2007).

2.2.3. Ventilasi

Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat

diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan

masalah ventilasi. Sebuah penelitian menunjukan hubungan penyakit saluran pernafasan

dengan kondisi ventilasi. Oleh sebab itu ventilasi dapat dijadikan indicator rumah sehat

(Achmadi, 2008).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Saluran ventilasi pada sebuah rumah mempunyai berbagai fungsi, fungsi yang

pertama adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga

keseimbangan oksigen tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya

oksigen yang berarti kadar karbondioksida menjadi racun. Fungsi kedua adalah untuk

membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri pathogen dan menjaga

agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Chandra (2007), Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat

dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

1) Ventilasi alam

Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan yaitu: daya difusi dari gas-gas,

gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi

alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara

kelembabannya. Ventilasi alam yaitu jendela, pintu, dan lubang angin.Ventilasi yang

baik minimal 10% dari luas lantai; 5% ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)

dan 5% ventilasi permanen (tetap).

2) Ventilasi buatan

Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat

mekanis maupun elektrik.Alat-alat tersebut adalah kipas angin, exhauter dan AC (air

conditioner).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Aliran udara (ventilasi) berkaitan dengan penularan penyakit. Rumah dengan

ventilasi yang baikakan menyulitkan pertumbuhan kuman penyakit. Pertukaran udara

dapat memecah dan mengurai konsentrasi kuman di udara (Widoyono, 2008).

2.2.4. Pencahayaan

Cahaya matahari sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama bagi

kesehatan. Selain untuk penerangan cahaya matahari juga dapat mengurangi

kelembaban ruang, mengusir nyamuk, membunuh kuman penyakit tertentu seperti

ISPA, TBC, influenza, penyakit mata dan lain-lain (Sastra, 2006).

Rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan

masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas

lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah (Azwar, 1990). Pencahayaan alami

dianggap baik jika besarnya antara 60-120 Lux dan buruk jika kurang dari 60 Lux

atau lebih dari 120 Lux (Kepmenkes, 1999).

Sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan penularan

penyakit.Rumah dengan pencahayaan yang kurang memudahkan perkembangan

sumber penyakit. Sinar matahari mengandung sinar ultraviolet yang bisa membunuh

kuman penyakit (Widoyono, 2008).

2.2.5. Kelembaban

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan

akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media

yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme antara lain bakteri, ricketsia dan virus.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara (Achmadi,

2008).

2.2.6. Lantai

Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai

yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan

bakteri atau virus penyebab ISPA.Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan

kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi

paling tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik

yang mudah dibersihkan (Depkes, 2002).

Lantai rumah sangat penting untuk diperhatikan terutama dari segi kebersihan

dan persyaratan. Lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi karena jika musim

hujan akan menjadi lembab sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap

penghuninya dan merupakan tempat yang baik untuk berkembangbiaknya kuman

penyakit, termasuk bakteri penyebab ISPA. Sebaiknya lantai rumah tersebut dari

bahan yang kedap air dan mudah dibersihkan. Untuk mencegah masuknya air ke

dalam rumah, sebaiknya lantai dinaikkan kira-kira 25 cm dari permukaan tanah

(Prasetya, 2005).

Bahan bangunan rumah berdampak pada sanitasi perumahan. Rumah dengan

lantai tanah akan berbeda dengan lantai ubin dan keramik bila ditinjau dari segi

kesehatan. Dinding tembok atau beton jauh lebih baik daripada anyaman bambu atau

dinding semi permanen (Widoyono, 2008).

2.2.7. Konstruksi Dinding

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah di

daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan

bambu.Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan perekonomiannya kurang.Rumah

yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat menyebabkan

penyakit pernafasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang

langsung masuk ke dalam rumah. Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA,

karena dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,

sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman

(Suryanto, 2003).

Dinding adalah pembatas, baik antara ruangan dalam dengan ruang luar

ataupun ruang dalam dengan ruang dalam yang lain. Bahan dinding dapat terbuat dari

papan, triplek, batu merah, batako, dan lain-lain (Prasetya, 2005).

2.2.8. Kepadatan Hunian Rumah

Menurut Kepmenkes (1999) luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak

dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam 1 ruang tidur kecuali anak di bawah

umur 5 tahun. Banyak rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi

apabila penggunaannya tidak sesuai dengan perutukannya, maka dapat terjadi

gangguan kesehatan. Misalnya rumah yang dibangun untuk dihuni oleh empat orang

tidak jarang dihuni oleh lebih dari semestinya. Dari segi kesehatan kepadatan ini

sangat bermakna pengaruhnya, karena sebetulnya kepadatan sangat menentukan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


insidensi penyakit maupun kematian. Penyakit pernapasan dan penyakit yang

menyebar lewat udara menjadi mudah sekali menular (Slamet, 1994).

Kepadatan yang berlebihan seperti itu akan memudahkan penyakit-penyakit

seperti tuberkolosis, influenza, dan maningitis ditularkan dari satu orang ke yang lain.

Beberapa penelitian telah mencatat keterkaitan antara infeksi pernafasan secara

umum, kelembaban, dan polusi udara di dalam ruangan, tetapi sejauh mana infeksi-

infeksi ini diperberat oleh kondisi-kondisi lingkungan belum di ungkapkan secara

sepenuhnya pada penelitian-penelitian ini. Infeksi pernafasan akut, merupakan yang

paling banyak dari semua penyakit, semakin dikenal sebagai penyebab utama tingkat

kematian dan morbiditas.Infeksi pernafasan akut oleh karena bakteri dan virus,

bersama dengan tuberkulosis, mengakibatkan 5 juta kematian setiap tahun.

Tuberkolosis (sebagian besar di paru-paru) menyebabkan lebih dari separuh di antara

kematian-kematian ini (Wardhana, 2004).

2.3. Pencemaran Udara

Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup R.I.

No.KEP 0-3/MENKLH/II/191 menyebutkan: pencemaran udara adalah masuk atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat energi dan atau komponen lain ke udara oleh

kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat

tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi

sesuai dengan peruntukannya (Kusnanto, 2001).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Udara sangat dibutuhkan oleh manusia dan hewan. Udara digunakan untuk

pernapasan, menghirup gas oksigen ke paru-paru yang kemudian diserap oleh darah,

mengandung haemoglobin (protein sel darah merah yang memungkinkan darah

mengangkut oksigen), lalu diangkut ke seluruh tubuh sebagai pemasok oksigen bagi

sel-sel tubuh.Udara juga berfungsi untuk mempertahankan suhu tubuh agar dalam

keadaan normal dengan mekanisme secara fisik (Mudya, 2001).

2.3.1. Sumber Pencemaran Udara

Sumber-sumber pencemaran udara dapat dibagi dalam dua kelompok besar,

sumber alamiah dan akibat perbuatan manusia seperti berikut.

1. Sumber pencemaran yang berasal dari proses atau kegiatan alam.

Contoh : kebakaran hutan, kegiatan gunung berapi, dan lainnya.

2. Sumber pencemaran buatan manusia (berasal dari kegiatan manusia).

Contoh: Sisa pembakaran bahan bakar minyak oleh kendaraan bermotor

berupa gas CO, CO 2 , NO, karbon, hidrokarbon, aldehide, dan Pb. Limbah industri

meliputi industri kimia, metalurgi, tambang, pupuk dan minyak bumi. Sisa

pembakaran dari gas alam, batubara, dan minyak, seperti asap,debu dan

sulfurdioksida. Pembakaran sisa pertanian, hutan, sampah, dan limbah reaktor nuklir

serta kebiasaan merokok.

Penggunaan tembakau terus menjadi penyebab utama kematian global. Rokok

telah membunuh hampir 6 juta orang dan sebagai penyebab miliaran dolar

keterpurukan ekonomi di seluruh dunia setiap tahunnya. Sebagian besar kematian

terjadi di Negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan perbedaan ini

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


diperkirakan akan memperluas lebih lanjut selama beberapa dekade berikutnya. Jika

kecenderungan ini terus berlanjut, pada tahun 2030 tembakau akan membunuh lebih

dari 8 juta orang di seluruh dunia setiap tahun (WHO Report on The Global Tobacco

Epidemic, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Irianto (2006) menyebutkan ada hubungan

yang bermakna antara merokok didalam rumah dengan kejadian ISPA. Orang yang

tinggal serumah dengan perokok mempunyai risiko 2,96 kali untuk menderita ISPA

dibandingakan orang yang tinggal serumah dengan tidak ada anggota keluarga

merokok didalamnya.

Dalam Laporan Nasional Riskesdas 2010 tercatat prevalensi penduduk umur

15 tahun keatas yang mempunyai perilaku merokok setiap harinya adalah sebesar

28,2%. Kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh rokok merupakan bentuk

kelalaian yang disengaja. Kandungan asap rokok yang dikeluarkan oleh seorang

perokok umumnya berupa karbon monoksida dan partikulat. Environtment Tobacco

Smokes (ETS) membedakan asap rokok dengan 2 istilah, yaitu :

1. Side stream (aliran samping) : asap yang tidak berasal dari asap buangan rokok

yang keluar dari mulut perokok tetapi dari ujung rokok yang terbakar melalui

kertas.

2. Main stream (aliran utama) : asap rokok yang berasal dari buangan mulut

selama fase pembakaran rokok.

Lingkungan berasap rokok adalah campuran asap side stream dan asap main

stream. Lingkungan dalam rumah yang berasap rokok mengganggu kenyamanan dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kesehatan manusia yang ada didalamnya, yaitu menimbulkan berbagai macam

penyakikt seperti : jantung koroner, kanker, penyakit paru obstruktif kronik, termasuk

penyakit ISPA dan pneumonia. Pada rokok terdapat lebih dari 4000 jenis senyawa,

banyak diantaranya telah terbukti bersifat racun atau menimbulkan kanker serta

terjadinya mutasi. Sebanyak 43 zat karsinogen telah diidentifikasi, termasuk

diantaranya benzopyrene, cadmium, nikel, zinc, karbon monoksida, nitrogen oksida,

serta partikulat yang meruupakan beberapa bahan yang terkandung dalam rokok

(Kusnoputranto, 2000).

2.3.2. Dampak Pencemaran Udara

Dampak pencemaran udara saat ini merupakan masalah serius yang dihadapi

oleh negara-negara industri. Akibatkan yang ditimbulkan oleh pencemaran udara

ternyata sangat merugikan. Pencemaran tersebut tidak hanya mempunyai akibat

langsung terhadap kesehatan manusia saja, akan tetapi juga dapat merusak

lingkungan lainnya seperti hewan, tanaman, bangunan gedung lain sebagainya.

Menurut para ahli, pada sekitar tahun 2000-an kematian yang disebabkan oleh

pencemaran udara akan mencapai angka 57.000 orang per tahunnya. Selama 20 tahun

angka kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara naik mendekati 14% atau

mendekati 0,7% per tahun (Kusnanto, 2001).

2.3.3. Pencemaran Udara di dalam Ruangan

Bahan bakar pada umumnya dibakar di api terbuka atau di tungku tanah liat

atau logam sederhana. Kombinasi pembakaran api secara terbuka atau tungku yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tidak efisien, tanpa cerobong asap, dan ventilasi yang jelek telah mengakibatkan

polusi udara dalam rumah sehingga mengganggu kesehatan. Konsentrasi dalam

rumah bervariasi, sangat umum ditemukan kadar yang beberapa kali lebih tinggi dari

standar pedoman WHO. Dengan menggunakan tungku-tungku yang lebih baik dengan

ventilasi dan cerobong asap dapat menurunkan emisi partikel yang tersuspensi sampai

60%, karbon monoksida sampai 86%, dan aldehide sampai 30%.

Risiko-risiko kesehatan yang paling serius diakibatkan oleh kebakaran dan

inhalasi asap. Keparahan risiko dari inhalasi asap dipengaruhi oleh lama dan tingkat

pemaparan. Pemaparan terhadap karsinogen dalam emisi dari kebakaran bahan biomassa

telah dikonfirmasi di penelitian-penelitian melibatkan para subjek terpapar yang

mengenakan peralatan untuk memantau secara perorangan. Wanita yang menghabiskan

waktu 2-4 jam sehari di depan tungku terpapar oleh partikel tersuspensi dan

benzoapyrene pada tingkat tinggi. Pemaparan dapat juga mengakibatkan penurunan

fungsi paru, dan pada tahap lebih lanjut, prevalensi 6 kali lipat lebih tinggi menderita cor

pulmonale, khususnya di daerah pegunungan yang dingin.Bayi dan anak-anak mungkin

sangat terpapar oleh asap karena mereka berada bersama ibu-ibu mereka selama

penyiapan api di tungku dan memasak.Pemaparan ini jika disertai malnutrisi dapat

memperlambat pertumbuhan dan menimbulkan paru-paru yang lebih kecil serta

prevalensi lebih tinggi bronkhitis kronik (Kusnanto, 2001).

Umumnya daerah perkotaan, 80% dari individu yang tinggal di dalam

ruangan (indoor). diantaranya anak, bayi, orang tua dan penderita penyakit kronis,

waktu tinggal di dalam lebih banyak. Bahan polutan di dalam rumah, tempat kerja,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


maupun dalam gedung yang merupakan tempat – tempat umun, kadarnya berbeda

dengan bahan polutan di luar ruangan.Meningkatnya bahan polutan di dalam ruangan

selain dapat berasal dari penetrasi polutan dari luar ruangan, dapat pula berasal dari

sumber polutan di dalam ruangan, seperti asap rokok, asap yang berasal dari dapur,

atau pemakaian obat anti nyamuk. Sumber lain dari bahan polutan di dalam

perlengkapan lainnya yang dibawa masuk ke dalam rumah dari tempat kerja.

Perbedaan bahan polutan di dalam dan di luar ruangan tergantung dari

beberapa faktor seperti:

1. Gaya hidup individu (life style)

2. Keadaan sosial ekonomi

3. Stuktur gedung

4. Kondisi bahan polutan di dalam dan di luar ruangan

5. Ventilasi dan sistem pendingin ruangan (AC) geografi dan meteorologi

(Mukono, 2006).

2.3.4. Efek terhadap Saluran Pernafasan

Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat

menyebabkan terjadinya:

1. Iritasi pada saluran pernafasan yang dapat menyebabkan pergerakkan silia

menjadi lambat, bahkan dapat terhenti, sehingga tidak dapat membersihkan

saluran pernafasan.

2. Peningkatan produksi lendir, akibat iritasi oleh bahan pencemar.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Produksi lendir dapat menyebabkan penyimpitan saluran pernafasan

4. Rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan

5. Pembengkakan saluran pernafasan dan merangsang pertumbuhan sel, sehingga

saluran pernafasan menjadi menyempit.

6. Lepasnya silia dan lapisan sel selapt lendir.

7. Akibat dari semua hal tersebut di atas, akan menyebabkan terjadinya kesulitan

bernafas, sehingga benda asing termasuk bakteri/mikroorganisme lain tidak

dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan dan hal ini akan memudahkan

terjadinya infeksi saluran pernafasan (Mukono, 2006).

2.4. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang

yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu

(Soekirman, 2000).

Gizi sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan dan pemeliharaan

aktifitas tubuh. Tanpa asupan gizi yang cukup, maka tubuh akan mudah terkena

penyakit-penyakit infeksi. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan

makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan

tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian

pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makanan, maka daya tahan tubuhnya

akan melemah sehingga mudah terserang penyakit. Keadaan gizi kurang dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua, terutama ibu mengenai gizi.Seorang

ibu harus dapat memberikan makanan yang kandungan gizinya cukup, tidak harus

mahal, bisa juga diberikan makanan yang murah, asalkan kualitasnya baik.

Rendahnya status gizi disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu :

ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dan kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi

keluarga yang rendah merupakan penyebab kurang gizi pada anak, karena jika anak

sudah jarang makan, maka otomatis akan kekurangan gizi (Almatsier, 2003).

Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tumbuh dan berkembang

dengan baik, berat dan tinggi badannya akan selalu bertambah, sedangkan keadaan

gizi yang buruk akan muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya

ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi

buruk dan infeksi, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat

pneumonia.

Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan

dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Dalam

keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan

diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh

akan menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap

serangan infeksi menjadi menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita

tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih

lama (Maryunani, 2011).

Menurut penelitian Rosalina (2010) bahwa anak balita yang gizinya kurang

mempunyai risiko 6,5 kali menderita ISPA dibanding anak balita yang gizinya baik.

Tabel 2.1 Kategori Ambang Batas Status Gizi Anak

Indeks Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

Berat badan menurut Umur Gizi Buruk < -3 SD


(BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2SD
Anak umur 0-60 Bulan Gizi Baik - 2 SD sampai 2 SD
Gizi Lebih > 2 SD
Tinggi badan menurut Umur Sangat pendek <- 3 SD
(TB/U) Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Anak umur 0-60 Bulan Nomal - 2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi > 2 SD
Berat badan menurut tinggi Sangat kurus <- 3 SD
badan (BB/TB) Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Anak umur 0-60 bulan Normal - 2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk > 2 SD
Indeks Massa Tubuh menurut Sangat Kurus <- 3 SD
Umur Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
(IMT/U) Normal - 2 SD sampai dengan 2 SD
Anak umur 0-60 bulan Gemuk > 2 SD

Indeks Massa Tubuh menurut Sangat Kurus <- 3 SD


Umur Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
( IMT/ U) Normal - 2 SD sampai dengan 1 SD
Anak Umur 5- 18 Tahun Gemuk > 2 SD

Sumber : Kepmenkes No. 1995/2010

2.5. Status Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten.Anak yang

diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu.Dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


imunologi, kuman atau racun kuman (toksin) disebut antigen.Imunisasi merupakan

upaya pemberian kekebalan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi. Bayi yang baru

lahir biasanya mempunyai kekebalan alami terhadap difteri dan campak hingga usia

4-9 bulan. Kekebalan alami diperoleh dari ibunya ketika dalam kandungan

(Almatsier, 2003).

Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak, maka

peningkatan cakupan imunisasi akan berperan dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk

mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi

lengkap.Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi

Campak dan DPT (Maryunani, 2010).

Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit

merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.Untuk mengurangi

faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan

balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan

perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Supartini, 2004). Menurut

penelitian Lisdianti, Saparwati dan Choiriyah (2015) menunjukkan bahwa ada hubungan

antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak usia balita dengan nilai p value

= 0,001. Anak yang mendapatkan imunisasi lengkap lebih rendah mengalami kejadian

ISPA dari pada yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap.

2.6. Landasan Teori

Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara manusia dan

perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit termasuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


penyakit ISPA. Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan variabel

kependudukan dapat digambarkan dalam teori simpul yang dikutip dari Achmadi (2010):

Sumber Komponen penduduk Sakit/


penyakit lingkungan sehat

Media Transmisi

Variabel lain yang


berpengaruh

Gambar 2.2 Teori Simpul


Sumber : Achmadi, 1991

Simpul 1 : Sumber penyakit

Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan pejamu

penyakit.Pejamu penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan

gangguan penyakit melalui kontak secara langsung atau media perantara. Misalnya :

Virus, bakteri, parasit dan lain-lain.

Simpul 2 : Media Transmisi Penyakit

Media transmisi tidak akan memiliki potensi penyakit kalau di dalamnya tidak

mengandung bibit penyakit atau pejamu penyakit. Komponen lingkungan yang dapat

memindahkan agent penyakit pada hakikatnya ada 5 komponen lingkungan yang

lazim dikenal sebagai media tansmisi penyakit, yakni :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


a. Udara

b. Air

c. Tanah/ pangan

d. Binatang/serangga

e. Manusia/langsung

Air (komponen lingkungan) dikatakan memiliki potensi menimbulkan

penyakit jika didalamnya terdapat bakteri Salmonella typhi, bakteri Vibrio cholera,

atau air tersebut mengandung bahan kimia beracun seperti pestisida, logam berat, dan

lainnya. Demikian pula, udara dikatakan berbahaya kalau mengandung racun atau

jamur. Udara dikatakan sehat atau air dikatakan bersih kalau di dalamnya tidak

mengandung satu atau lebih pejamu penyakit.

Simpul 3 : Perilaku pemajanan (Behavioural Exposure)

Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen

lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent penyakit). Misalnya

jumlah pestisida yang mengenai kulit seorang petani ketika sedang menyemprot

tanaman padi di sawah, mengonsumsi sejumlah air minum yang mengandung

cadmium, dan sebagainya. Perilaku orang per orang antara lain dipengaruhi oleh

pendidikan, pengetahuan, tinggi badan, berat badan, gender, pengalaman dan lain

sebagainya. Agent penyakit yang mammsuk ke dalam tubuh dengan cara-cara yang

khas. Ada tiga jalan route of entry, yaitu : sistem pernafasan, sistem pencernaan dan

masuk melalui permukaan kulit.

Simpul 4 : Kejadian Penyakit

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk

dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Seseorang

dikatakan sakit jika salah satu maupun bersama mengalami kelainan dibandingkan

rata-rata pnduduk lainnya. Bisa kelainan bentuk atau kelainan fungsi, sebagai hasil

interaksi dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan social.

Simpul 5 : Variabel Suprasistem

Kejadian penyakit itu sendiri masih dipengaruhi oleh kelompok variabel

simpul 5, yakni variabel iklim, topografi, temporal dan suprasistem lainnya, yakni

keputusan politik berupa kebijakan makro yang bisa mempengaruhi semua simpul.

Iklim berperan dalam proses kejadian penyakit. Variabel yang membentuk cuaca

maupun iklim adalah suhu, kelembaban, angin serta kondisi spasial. Misalnya

pegunungan, pantai, daerah tropis, subtropis, musim kemarau dan musim hujan.

Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks. Demikian

pula pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi

kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya

terhadap masalah sehat-sakit. Menurut H.L. Blum, derajat kesehatan dipengaruhi 4

(empat) macam faktor yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan hereditas.

Faktor lingkungan dan perilaku merupakan faktor terbesar yang berpengaruh terhadap

tinggi rendahnya derajat kesehatan. Lingkungan merupakan determinan dalam

menularkan dan munnculnya suatu penyakit, baik menular maupun tidak menular.

Usaha memperbaiki kondisi lingkungan bervariasi dan bertingkat dari yang sederhana

sampai yang modern (Notoadmodjo, 2007).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan

lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status

kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan mencakup :

perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan

sampah,pembuangan limbah, dan sebagainya. Tingginya penyakit berbasis

lingkungan antara lain penyakit disebabkan oleh faktor lingkungan serta perilaku

hidup bersih dan sehat yang masih rendah. Berdasarkan aspek sanitasi tingginya

angka penyakit berbasis lingkungan karena tidak terpenuhinya kebutuhan air bersih

masyarakat, pemanfaatan jamban yang masih rendah, udara karena limbah rumah

tangga, limbah industri, limbah pertanian, sarana transportasi, serta lingkungan fisik

yang memungkinkan. Pelayanan kesehatan juga menunjang derajat kesehatan

masyarakat. Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangat dibutuhkan masyarakat

terutama pelayanan kesehatan dasar. Puskesmas sebagai garda terdepan dalam

pelayanan kesehatan masyarakat yang sangat besar peranannya. Konsep paradigma

sehat H.L.Blum memandang pola hidup sehat tidak dilihat dari sudut pandang

tindakan penyembuhan penyakit melainkan upaya yang berkesinambungan dalam

menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Faktor Perilaku

Derajat Faktor Pelayanan


Kesehata Kesehatan
Faktor
Lingkungan

Faktor Genetik

Gambar 2.3 Teori H.L. Blum


Sumber : Notoatmodjo, 2003

Epidemiologic Triangle atau segitiga epidemiologi dikemukakan oleh Gordon

dan La Richt (1950). Model ini menunjukkan bahwa timbul atau tidaknya penyakit

pada manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu host, agent dan environment.

Gordon berpendapat bahwa :

1. Penyakit timbul karena ketidakseimbangan antara agent (penyebab) dan

manusia (host)

2. Keadaan keseimbangan tergantung pada sifat alami dan karakteristik agent

dan host (baik individu/kelompok)

3. Karakteristik agent dan host akan mengadakan interaksi. Dalam interaksi

tersebut akan berhubungan langsung pada keadaan alami dari lingkungan

(lingkungan sosial, fisik, ekonomi, dan biologis).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Host Agent

Environment

Gambar 2.4. Teori Segitiga Epidemiologi


Sumber : Notoatmodjo,2003

2.7. Kerangka Teori

Faktor Lingkungan

• Ventilasi
Agent
• Pencahayaan
• Kelembaban Virus
• Kepadatan Hunian Bakteri
• Lantai
• Konstruksi Dinding ISPA pada
Balita
• Pencemaran Udara
dalam Rumah

Karakteristik Balita Daya Tahan Tubuh


• Status Gizi
• Status Imunisasi

Gambar 2.5 Kerangka Teori


Sumber : Notoatmodjo,2003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.8. Kerangka Konsep

Variabel Independen

Lingkungan Fisik Rumah

1. Ventilasi

2. Pencahayaan

3. Kelembaban

4. Kepadatan Hunian

5. Lantai

6. Konstruksi Dinding

Sumber Pencemaran Udara

1. Riwayat merokok Keluarga Variabel Dependen

2. Jenis bahan bakar untuk memasak Kejadian ISPA pada


Balita

Karakteristik Keluarga

1. Status gizi

2. Status Imunisasi

3. Sosial ekonomi

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.9. Hipotesis

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian

sebagai berikut:

1. Ada hubungan antara sanitasi lingkungan fisik rumah (ventilasi, pencahayaan,

kelembaban, kepadatan hunian, lantai dan konstruksi dinding) dengan kejadian

ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan

Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2017.

2. Ada hubungan antara sumber pencemaran udara (riwayat merokok keluarga dan

jenis bahan bakar untuk memasak) dengan kejadian ISPA pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhanbatu Tahun 2017

3. Ada hubungan antara karakteristik keluarga (status gizi, status imunisasi dan

sosial ekonomi) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2017.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan desain cross sectional yaitu

untuk mengetahui pengaruh lingkungan fisik rumah dan sumber pencemar serta

karakteristik keluarga terhadap ISPA balita di wilayah kerja puskesmas Tanjung

Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu tahun 2017.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban

Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu. Lokasi ini menjadi pilihan

dikarenakan :

1. Terdapat kasus ISPA yang terjadi setiap bulannya di Wilayah Kerja Puskesmas

Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu.

2. Sanitasi lingkungan fisik rumah di wilayah kerja puskesmas ini masih banyak

yang belum memenuhi syarat kesehatan.

3. Terdapat Kepala Keluarga/anggota keluarga yang masih memiliki kebiasaan

merokok yang sangat tinggi.

4. Terdapat ibu rumah tangga yang masih masak menggunakan kayu bakar.

Waktu penelitian dilaksanakan mulai dari bulan April 2017 sampai Oktober

2017 di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhanbatu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah balita yang berdomisili di wilayah kerja

Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu pada

tahun 2016 sebanyak 200 balita.

3.3.2 Sampel

Perhitungan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus

Lemeshow ( 1997 ), yaitu :

𝑍𝑍 2 1 − 𝛼𝛼/2𝑃𝑃(1 − 𝑃𝑃)𝑁𝑁
𝑛𝑛 =
𝑑𝑑 2 ( 𝑁𝑁 − 1 ) + 𝑍𝑍 2 1 − 𝛼𝛼/2𝑃𝑃(1 − 𝑃𝑃)

Keterangan :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah Populasi ( 200 balita)

𝑍𝑍 2 1 − 𝛼𝛼/2 = Nilai sebaran normal baku ( 1,96)

P = Proporsi kejadian ( 0,5)

d = Besar penyimpangan (absolute) yang bisa diterima ( 0,1)

𝑍𝑍 2 1 − 𝛼𝛼/2𝑃𝑃(1 − 𝑃𝑃)𝑁𝑁
𝑛𝑛 =
𝑑𝑑2 ( 𝑁𝑁 − 1 ) + 𝑍𝑍 2 1 − 𝛼𝛼/2𝑃𝑃(1 − 𝑃𝑃)

(1,962 )( 0,5)(1 − 0,5) 200


𝑛𝑛 =
(0,1)2 ( 200 − 1 ) + (1,96)2 ( 0,5)(1 − 0,5)

192,08
𝑛𝑛 =
2,9504

𝑛𝑛 = 65 ,103 = 65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dengan menggunakan rumus tersebut jumlah sampel yang akan diteliti adalah

65, maka dalam penelitian ini jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 65 balita

yang tersebar di wilayah kerja puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir

Kabupaten Labuhanbatu.

3.4 Teknik Pengambilan sampel

Adapun pengambilan sampel dilakukan dengan non random sampling

yaituconsecutive sampling dimana semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria

pemilihan sampel dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang

diperlukan terpenuhi.

3.5 Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Data Primer

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung yaitu berupa data

karakteristik pada balita, kondisi lingkungan fisik rumah, kebiasaan merokok, dan

jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak melalui lembar observasi,

kuesioner maupun pengukuran secara langsung dengan menggunakan alat seperti lux

meter, hygrometer, dan meteran.

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan adalah data yang diperoleh dari Puskesmas

Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhanbatu mengenai data

penyakit ISPA dari periode Januari sampai Desember Tahun 2015 dan 2016 ataupun

data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yaitu melalui buku-buku, referensi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


jurnal- jurnal ilmiah yang secara teoritis berguna dan berkaitan dengan masalah

penelitian.

3.6. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

3.6.1. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen dan variabel

independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) pada balita sedangkan variabel independen adalah

lingkungan fisik rumah (ventilasi, pencahayaan, kelembaban, kepadatan hunian,

lantai dan konstruksi dinding), sumber pencemaran udara (riwayat merokok keluarga

dan jenis bahan bakar untuk memasak), Karakteristik balita (status gizi dan status

imunisasi) pada balita di wilayah kerja puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah

Hilir Kabupaten Labuhanbatu tahun 2017.

3.6.2. Definisi Operasional

Sesuai dengan kerangka penelitian, maka definisi operasional dapat di lihat

sebagai berikut :

1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi saluran

pernafasan yang bersifat akut pada balita dengan adanya tanda-tanda klinis

batuk, pilek, disertai/tanpa disertai demam yang didiagnosa dokter di wilayah

kerja puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhanbatu tahun 2017.

2. Ventilasi adalah lubang angin yang berfungsi sebagai tempat pertukaran udara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pada kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur yang bersifat tetap maupun

sementara (lubang udara kecuali pintu).

3. Pencahayaan adalah tinggi intensitas dari cahaya matahari yang masuk kedalam

kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur minimal intensitasnya 60 Lux serta tidak

menyilaukan mata (≥120 Lux)

4. Kelembaban udara adalah kualitas udara banyaknya uap air yg dikandung oleh

udara di dalam kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur. yang berkisar antara 40-

70%.

5. Kepadatan hunian adalah rasio luas ruangan dengan jumlah penghuni. Luas

ruang tidur minimal 8 m² dan tidak dianjurkan lebih dari 2 orang dalam satu

kamar tidur,kecuali anak dibawah umur 5 tahun .

6. Lantai adalah bagian dasar ruang rumah yang terbuat dari ubin/semen, papan dan

tanah.

7. Konstruksi dinding adalah struktur yang membatasi area rumah terbuat dari

tembok, papan atau anyaman bambu.

8. Riwayat merokok keluarga adalah apabila ada seorang anggota keluarga yang

menghisap rokok dalam rumah.

9. Jenis bahan bakar untuk memasak adalah apabila ibu rumah tangga yang

menggunakan kayu bakar atau bahan bakar lainnya untuk memasak setiap hari.

10. Status gizi balita adalah keadaan gizi balita saat dilakukan penelitian (dengan

pengukuran Antropometri).

11. Status Imnunisasi adalah jenis imunisasi yang sudah didapatkan oleh balita

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sesuai dengan batas waktu pemberian usia balita dan frekuensi mendapatkannya

yaitu, BCG : 0 - 11 bulan, DPT 3x : 2 - 11 bulan, Polio 4x : 0 - 11 bulan, Campak

1x : 9 - 11 bulan, Hepatits B 3x : 0 – 11bulan.

12. Sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi responden dalam kelompok

masyarakat yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi,pendidikan serta

pendapatan.

3.7. Metode Pengukuran

3.7.1. Pengkuran Variabel Penelitian

Aspek pengukuran variabel dependen adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(ISPA) dan variabel independen adalah lingkungan fisik rumah ( luas ventilasi,

pencahayaan, kelembaban udara, Kepadatan hunian, lantai, konstruksi dinding),

sumber pencemaran udara (riwayat merokok keluarga, jenis bahan bakar untuk

memasak), karakteristik balita (status imunisasi, status gizi balita) dan sosial

ekonomi.

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Penelitian

No Jenis Variabel Alat Ukur Kategori Skala


Ukur
I Varibel
Dependen
Kejadian ISPA Kuesioner, 1. ISPA Ordinal
pada balita Diagnosa 2. Tidak ISPA
dokter
II Variabel
Independen
1. Luas Lembar 1. Tidak memenuhi syarat Ordinal
Ventilasi observasi, (<10% dari luas lantai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 3.1. (Lanjutan)

No Jenis Variabel Alat Ukur Kategori Skala


Ukur
2. Memenuhi syarat(>10%
dari luas lantai)

1. Luas Lembar 1. Tidak memenuhi syarat Ordinal


Ventilasi observasi, (<60 lux)
meteran 2. Memenuhi syarat (>60 lux)

2. Pencahayaan Lembar 1. Tidak memenuhi syarat Ordinal


observasi, (<40% dan >70%)
Lux meter 2. Memenuhi syarat (>40-
>70%)

3. Kelembapan udara Lembar 1. Tidak memenuhi syarat Ordinal


Observasi, (<8 𝑚𝑚2 /penghuni)
Hygrometer 2. Memenuhi syarat (>8
𝑚𝑚2 /penghuni)

1. Tidak memenuhi syarat:


4. Kepadatan hunian Lembar Ordinal
Observasi,
Meteran

5. Lantai Lembar Ordinal


Observasi 2. tidak kedap
air(tanah,papan/kayu)
3. Memenuhi syarat:
kedap air(semen,
keramik dan ubin)

6. Konstruksi dinding Lembar 1. Tidak Memenuhi Syarat : Ordinal


Observasi tidak kedap air (tanah,
papan/kayu)
2. Memenuhi Syarat :
kedap air
(tembok/diplester, batu)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 3.1. (Lanjutan)

No Jenis Variabel Alat Ukur Kategori Skala


Ukur
7. Riwayat merokok Kuesioner 1. Tidak beresiko Ordinal
keluarga 2. Beresiko

8. Jenis bahan bakar Kuesioner 1. Kayu bakar Ordinal


untuk memasak 2. Minyak tanah

9. Status gizi balita Kuesioner, 1. Gizi Tidak baik : Ordinal


Timbangan bila Z_Skor < -2
SD
2. Gizi baik :
bila Z_Skor ≥ -2
SD
10. Status Imunisasi Kuesioner, 1. Tidak Lengkap Ordinal
Balita KMS/KIA 2. Lengkap

11 Sosial ekonomi Kuesioner 1. Rendah < Rp 2.500.000 Ordinal


2. Tinggi > Rp 2.500.000

3.7.2. Cara Ukur Variabel Dependen dan Independen

I. Variabel Dependen

ISPA : Wawancara

II. Variabel Independen

1. Luas Ventilasi :

a. Mengukur luas ventilasi kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur

b. Mengukur luas lantai kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur .

c. Luas ventilasi dibandingkan dengan luas lantai

2. Pencahayaan :

a. Titik pengukuran dilakukan pada kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur.

b. Alat diletakkan ditengah ruangan (kamar tidur, ruang kelurga dan dapur),

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


c. Geser tombol “Off/On” kearah On.

d. Pilih kisaran Range yang akan diukur ( 2.000 lux, 20.000 lux atau 50.000 lux)

pada tombol Range

e. Arahkan sensor cahaya dengan menggunakan tangan pada permukaan daerah

yang akan diukur kuat penerangannya.

f. Lihat hasil pengukuran pada layar panel.

3. Kelembaban :

a. Titik pengukuran dilakukan pada kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur.

b. Alat diletakkan ditengah ruangan (kamar tidur, ruang keluarga dan

dapur)Hygrometer diletakkan di tempat yang telah ditentukan

c. Selama pengukuran alat didiamkan tiga menit.

d. Hasil pengukuran dibaca setelah jarum hygrometer stabil atau konstan.

4. Kepadatan Hunian : Kepadatan hunian diukur dengan membagi antara luas

ruangan dengan jumlah anggota keluarga yang menghuni kamar.

5.Lantai : Observasi

6. Konstruksi Dinding : Observasi

7. Kebiasaan Merokok : Wawancara

8. Jenis Bahan Bakar Yang digunakan untuk Masak : Wawancara

9. Status Gizi : Pengukuran

10. Status Imunisasi : Wawancara

3.8. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis agar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


memberikan arti yang berguna dalam memecahkan masalah dalam penelitian ini.

3.8.1. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

A. Editing

Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan,

karena kemungkinan data yang masuk (raw data) atau data terkumpul itu tidak logis

dan meragukan.Tujuan editing adalah untuk menghilangkan kesalahan yang terdapat

pada pencatatan yang ada di lapangan dan bersifat koreksi.

B.Coding

Coding adalah usaha mengklasifikasi jawaban-jawaban para responden

menurut macamnya. Klasifikasi ini dilakukan dengan menandai atau memberi kode

pada setiap jawaban para responden .

C. Tabulasi

Pada tahap ini diperlukan ketelitian dan kehati-hatian agar tidak terjadi

kesalahan khususnya dalam tabulasi silang.Tabel tabulasi dapat berbentuk tabel

pemindahan, tabel biasa, dan tabel analisis.

D. Entry

Entry yaitu pemindahan data kedalam komputer untuk diolah dengan

computer. Pengolahan data menggunakan program Statistical Product and Service

Solutions (SPSS).

3.8.2. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini yaitu :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


a. Analisis Univariat

Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian, yang

menghasilkan distribusi dan presentasi dari tiap variabel (Soekidjo Notoatmodjo,

2005). Analisa univariat bermanfaat untuk melihat apakah data sudah layak untuk

dilakukan analisa dengan melihat gambaran data yang dikumpulkan dan apakah data

sudah optimal.

b. Analisis Bivariat

Analisa bivariat yaitu Analisis data dilakukan dengan uji statistic

menggunakan chi-square, untuk melihat adanya hubungan antara variabel independen

dan variabel dependen dengan derajat kemaknaan α = 0,05. Apabila p value< 0,05

maka Ho ditolak dan apabila p value> 0,05 maka Ho gagal ditolak (Sastroasmoro,

2013).

c. Analisis Multivariat

Analisis ini merupakan analisis lanjutan yang memungkinkan dilakukan untuk

mengetahui variabel independen yang paling dominan berhubungan dengan variabel

dependen dengan menggunakan uji regresi logistik berganda pada tingkat

kepercayaan 95%.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Kecamatan Bilah Hilir adalah salah satu dari beberapa kecamatan yang ada

dikabupaten Labuhan Batu, Terletak setelah timur ibu kota Kabupaten Labuhan Batu

dengan jarak tempuh ± 70 km dari kota Rantau Prapat, dengan :

Luas Wilayah : 153,02 km2

Jumlah Penduduk : 16.663 jiwa

Jumlah KK : 4329

Dengan batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Selat Besar

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Sidomulyo

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Wilayah Kecamatan Panai Hulu

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Desa Sei Kasih.

Luas wilayah kerja Puskesmas Tanjung Haloban sebagai berikut:

1. Desa Sei Tarolat : 20,76 km2

2. Desa Sei Kasih : 29,50 km2

3. Desa Tanjung Haloban: 50,51 km2

4. Desa Selat Besar : 52,25 km2

Seperti daerah-daerah lainnya yang berada di kawasan Sumatera Utara,

kecamatan Bilah Hilir termasuk daerah yang beriklim tropis.

54
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.2 Analisis Univariat

4.2.1 Penyakit ISPA

Hasil penelitian menunjukan bahwa 52balita (80%) dari 65 balita yang tinggal

di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhan Batu Tahun 2017 yang menderita ISPA dapat dilihat pada tabel di bawah

ini:

Tabel 4.1. Distribusi Responden Menderita Penyakit ISPA pada Balita di


Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017

Penyakit ISPA f Persentase


a. Tidak ISPA 13 20
b. ISPA 52 80
Total 65 100

Berdasarkan tabel di atas, dari 65 responden di peroleh bahwa responden yang

menderita ISPA sebanyak 52 orang (80%), sedangkan yang tidak menderita ISPA

sebanyak 13 responden (20%).

4.2.2 Karakteristik Responden

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Umur dan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja
Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017

Karakteristik Responden f %
Umur
1. < 3 Tahun 19 29,2
2. ≥ 3 Tahun 46 70,8
Total 65 100
Jenis kelamin
1. Laki-laki 30 46,2
2. Perempuan 35 53,8
Total 65 100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 65 responden. Pada

penelitian ini, karakteristik responden yang dilihat meliputi umur dan jenis kelamin.

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk lebih banyak pada

umur ≥ 3 tahun yaitu 46 orang (70,8%) sedangkan umur < 3 tahun sebanyak 19 orang

(29,2%). Berdasarkan jenis kelamin mayoritas perempuan yaitu sebesar 35 (53,8%)

dan jumlah laki-laki sebanyak 30 orang (46,2%).

4.2.3.Distribusi Responden Berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah

Distribusi responden berdasarkan lingkungan fisik rumah meliputi ventilasi,

pencahayaan, kelembaban, kepadatan hunian, lantai, dan kontruksi dinding dapat

dilihat sebagai berikut.

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah


Meliputi Ventilasi, Pencahayaan, Kelembaban, Kepadatan Hunian, Lantai,
dan Kontruksi Dinding di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban
Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017

Variabel f Persentase
Ventilasi
a. Tidak Memenuhi Syarat 39 60
b. Memenuhi Syarat 26 40
Total. 65 100
Pencahayaan
a. Tidak Memenuhi Syarat 39 60
b. Memenuhi Syarat 26 40
Total 65 100
Kelembaban
a. Tidak Memenuhi Syarat 36 55,4
b. Memenuhi Syarat 29 44,6
Total 65 100
Kepadatan hunian
a. Tidak Memenuhi Syarat 29 36,9
b. Memenuhi Syarat 41 63,1
Total 65 100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 4.3. (Lanjutan)

Variabel F Persentase
Lantai
a. Tidak Memenuhi Syarat 28 43,1
b. Memenuhi Syarat 37 56,9
Total 65 100
Kontruksi dinding
a. Tidak Memenuhi Syarat 15 23,1
b. Memenuhi Syarat 50 76,9
Total 65 100

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa responden berdasarkan variabel

ventilasi didapat bahwa ventilasi lebih banyak di jumpai tidak memenuhi syarat yaitu

sebanyak 39 rumah (60%), berdasarkan variabel pencahayaan lebih banyak di jumpai

tidak memenuhi syarat yaitu 39 rumah (60%), berdasarkan variabel kelembaban lebih

banyak di jumpai tidak memenuhi syarat yaitu 36 rumah (55,4%), berdasarkan

variabel kepadatan hunian lebih banyak dijumpai memenuhi syarat yaitu sebesar 41

rumah (63,1%), berdasarkan variabel lantai lebih banyak di jumpai memenuhi syarat

yaitu sebanyak 37 rumah (56,9%). Sedangkan berdasarkan variabel kontruksi dinding

lebih banyak di jumpai memenuhi syarat yaitu sebesar 50 rumah (76,9%).

Berdasarkan pengamatan dan hasil pengukuran, maka dapat di simpulkan bahwa

kondisi lingkungan fisik rumah di wilayah kerja puskesmas Tanjung Haloban

tergolong buruk atau kurang layak huni. Hal ini dilihat dari hasil pengukuran ke

enam variabel (ventilasi, pencahayaan, kelembaban, konstruksi dinding, lantai dan

kepadatan hunian) dimana masing-masing variabel tersebut ada 3 variabel yang

memenuhi syarat kesehatan yaitu lantai, konstruksi dinding dan kepadatan hunian.

Sedangkan 3 variabel lainnya tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu ventilasi,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kelembaban dan pencahayaan. Lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat

kesehatan merupakan factor resiko sebagai sumber penularan berbagai penyakit,

khususnya penyakit yang berbasis lingkungan.

4.2.4.Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Pencemaran Udara

Distribusi responden berdasarkan sumber pencemaran udara meliputi riwayat

merokok keluarga, dan jenis bahan bakar untuk memasak dapat dilihat sebagai

berikut.

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Pencemaran Udara


Meliputi Riwayat Merokok dan Bahan Bakar Memasak di Wilayah Kerja
Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017

Variabel f Persentase
Riwayat Merokok Keluarga
a. Tidak Beresiko 23 35,4
b. Beresiko 42 64,6
Total. 65 100
Bahan Bakar Memasak
a. Kayu Bakar 31 47,7
b. Minyak Tanah 34 52,3
Total 65 100

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa responden berdasarkan sumber

pencemaran udara diketahuai bahwa variabel riwayat merokok keluarga lebih banyak

dijumpai yang beresiko yaitu sebanyak 42 responden (64,6%) sedangkan yang tidak

beresiko sebanyak 23 responden (53,4%), berdasarkan variabel bahan bakar memasak

lebih banyak di jumpai responden menggunakan Minyak tanah yaitu sebanyak 34

responden (52,3%) sedangkan 31 responden (47,7%) menggunakan bahan kayu

bakar. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, maka dapat disimpulkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bahwa sumber pencemaran udara penduduk di wilayah kerja puskesmas Tanjung

Haloban tergolong tidak baik. Hal ini di lihat dari kebiasaan merokok kepala keluarga

maupun anggota keluarga yang masih sangat tinggi. Dan di dorong oleh sikap ibu

rumah tangga yang masih memasak menggunakan kayu bakar.

4.2.5.Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Balita

Distribusi responden berdasarkan karakteristik Balita meliputi status gizi, dan

status imunisasi dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Balita Meliputi


Status Gizi dan Status Imunisasi di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban
Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017

Variabel f Persentase
Status Gizi
a. Gizi Baik 47 72,3
b. Gizi Tidak Baik 18 27,7
Total 65 100
Status Imunisasi
a. Lengkap 57 87,7
b. Tidak Lengkap 8 12,3
Total 65 100

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa responden berdasarkan karaktersitik

balita diketahui bahwa variabel dengan status gizi lebih banyak di jumpai dengan

kategori gizi baik yaitu sebanyak 47 balita (72,3%) sedangkan yang gizi tidak baik

sebanyak 18 balita (27,7%), berdasarkan variabel status imunisasi lebih banyak

dijumpai balita dengan imunisasi lengkap yaitu sebanyak 57 balita (87,7%), dan yang

tidak lengkap sebanyak 8 balita (12,3%). Berdasarkan pengamatan dan pengukuran

terhadap variabel status gizi dan status imunisasi, maka dapat disimpulkan bahwa

untuk karakteristik balita sudah sangat baik. Petugas kesehatan sangat berperan aktif

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dalam pelaksanaan imunisasi dan mendorong ibu yang memiliki balita untuk menjaga

asupan gizi yang seimbang.

4.2.6.Distribusi Responden Berdasarkan Sosial Ekonomi

Distribusi responden berdasarkan sosial ekonomi meliputi pendidikan,

pekerjaan dan, penghasilan dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel.4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Sosial Ekonomi Meliputi


Pendidikan, Pekerjaan Dan Penghasilan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung
Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017

Variabel f Persentase
Pendidikan
a. Tidak sekolah/tidak tamat SD 4 6,2
b. Tamat SD 3 4,6
c. Tamat SMP 5 7,7
d. Tamat SMA 51 78,5
e. Perguruan Tinggi 2 3,1
Total 65 100
Pekerjaan
a. Tidak Bekerja/IRT 7 10,8
b. Petani 43 66,2
c. Buruh 6,2
d. Swasta 8 12,3
e. PNS 3 4,6
Total 65 100
Penghasilan
a. Tinggi 29 44,6
b. Rendah 36 55,4
Total 65 100

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa responden berdasarkan sosial

ekonomi responden di ketahui bahwa berdasarkan tingkat pendidikan responden lebih

banyak pada tingkat pendidikan yang tamatan SMA yaitu sebesar 51 orang (78,5%).

Sedangakan berdasarkan jenis pekerjaan responden lebih banyak pada jenis pekerjaan

petani yaitu sebanyak 43 orang (66,2%). Dan berdasarkan tingkat penghasilan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


responden lebih banyak di jumpai dengan penghasilan yang rendah yaitu sebanyak 36

responden (55,4%). Maka dapat di simpulkan bahwa kondisi sosial ekonomi

masyarakat di Wilayah kerja Puskesmas Tanjung Haloban tergolong kurang baik.

4.3 Analisis Bivariat

4.3.1 Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian variabel ventilasi dan pencahayaan terhadap

kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa ada pengaruh yang signifikan antara

variabel ventilasi dan variabel pencahayaan terhadap kejadian ISPA pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhan Batu Tahun 2017. Nilai PR kedua variabel adalah sama yaitu sebesar 7,50

(95%CI= 1,816–30,974) menunjukkan bahwa ventilasi dan pencahayaan yang tidak

memenuhi syarat perkiraan resikonya untuk terkena penyakit ISPA sebesar 7,50 kali

dibanding dengan ventilasi dan pencahayaan yang memenuhi syarat kesehatan. Hasil

uji variabel kelembaban terhadap kejadian ISPA pada balita diperoleh ada pengaruh

yang signifikan antara variabel kelembaban terhadap kejadian ISPA pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhan Batu Tahun 2017. Nilai PR diperoleh sebesar 5,78 (95% CI=1,416-23,672)

menunjukkan bahwa kelembaban yang tidak memenuhi syarat kesehatan perkiraan

risikonya untuk terkena penyakit ISPA sebesar 5,78 kali dibanding dengan

kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan.

Hasil uji variabel kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada balita

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel kepadatan

hunian terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung

Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017. Hasil uji

variabel lantai terhadap kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa tidak ada

pengaruh yang signifikan antara variabel lantai terhadap kejadian ISPA pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhan Batu Tahun 2017. Hasil uji variabel konstruksi dinding terhadap kejadian

ISPA pada balita diperoleh bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel

konstruksi dinding terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017.

Tabel 4.7. Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017 dengan Uji Chi Square

Lingkungan Fisik Kejadian ISPA Jumlah


Rumah ISPA Tidak ISPA p PR 95% CI
n % n % n %
Ventilasi
a. TMS 36 92,3 3 7,7 39 100 0,002 7,50
b. MS 16 61,5 10 38,5 26 100 (1,816-30,974)
Pencahayaan
a. TMS 36 92,3 3 7,7 39 100 0,002 7,50
b. MS 16 61,5 10 38,5 26 100 (1,816-30,974)
Kelembaban
a. TMS 33 91,7 3 8,3 36 100 0,009 5,78
b. MS 19 65,5 10 34,,5 29 100 (1,416-23,672)
Kepadatan
Hunian
a. TMS 21 19,2 3 4,8 24 100 0,247 2,25
b. MS 31 32,8 10 8,2 41 100 (0,555-9,194)
Lantai
a. TMS 24 85,7 4 14,3 37 100 0,316 1,92

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 4.7. (Lanjutan)

Lingkungan Fisik Kejadian ISPA Jumlah


Rumah ISPA Tidak ISPA p PR 95% CI
n % n % n %
b. MS 28 75,7 9 24,3 28 100 (0,527-7,061)
Konstruksi
Dinding
a. TMS 13 12,0 2 3,0 15 100 0,462 1,83
b. MS 39 40,0 11 10,0 50 100 (0,358-9,377)

Keterangan :

TMS : Tidak Memenuhi Syarat

MS : Memenuhi Syarat

4.3.2. Pengaruh Sumber Pencemaran Udara terhadap Kejadian ISPA Pada


Balita

Berdasarkan hasil penelitian variabel riwayat merokok keluarga terhadap

kejadian ISPA pada balita menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara

variabel riwayat merokok terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun

2017. Nilai PR sebesar 10,00 (95% CI=2,382–41,988) menunjukkan bahwa riwayat

merokok yang beresiko perkiraan resikonya untuk terkena penyakit ISPA sebesar

10,00 kali dibanding dengan riwayat merokok yang tidak beresiko. Hasil uji variabel

jenis bahan bakar terhadap kejadian ISPA pada balita menunjukkan bahwa tidak ada

pengaruh yang signifikan antara variabel jenis bahan bakar terhadap kejadian ISPA

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir

Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 4.8. Pengaruh Sumber Pencemaran Udara terhadap Kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017 dengan Uji Chi Square

Sumber Kejadian ISPA Jumlah


Pencemaran ISPA Tidak ISPA p PR 95% CI
Udara n % n % n %
Riwayat
merokok
a. Beresiko 39 92,9 3 7,7 42 100 10,00
b. Tidak Beresiko 0,000
13 56,5 10 43,5 23 100 (2,382-41,988)
Jenis bahan
bakar
a. Minyak Tanah 27 79,4 7 20,6 34 100 1,08
b. Kayu Bakar 0,901
25 80,6 6 19,4 31 100 (0,319-3,654)

4.3.3 Pengaruh Karakteristik Balita terhadap Kejadian ISPA pada Balita


Tabel 4.9. Pengaruh Karakteristik Balita Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017 dengan Uji Chi Square

Karakteristik Kejadian ISPA Jumlah


Balita ISPA Tidak ISPA p PR 95% CI
n % n % n %
Status Gizi
a. Gizi Tidak Baik 17 14,4 1 3,6 18 100 5,83
b. Gizi Baik 0,072
35 37,6 12 9,4 47 100 (0,699-48,592)
Status Imunisasi
a. Tidak Lengkap
b. Lengkap 7 6,4 1 1,6 8 100 1,86
0,571
45 45,6 12 11,4 57 100 (0,209-16,678)

Berdasarkan hasil penelitian status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita

menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel status gizi

terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Haloban

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017. Hasil uji variabel

status imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa tidak ada

pengaruh yang signifikan antara variabel jenis bahan bakar terhadap kejadian ISPA

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir

Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017.

4.3.4 Pengaruh Sosial Ekonomi terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Tabel 4.10. PengaruhSosial Ekonomi (Penghasilan, Pendidikan, dan


Pekerjaan) terhadap Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017
Dengan Uji Chi Square

Sosial ekonomi Kejadian ISPA Jumlah


Tidak ISPA ISPA P OR 95% CI
n % n % n %
Penghasilan
a. Tinggi 10 34,5 19 65,5 29 100 0,009 5,78
b. Rendah 3 8,3 33 91,7 36 100 (1,416-23,672)

Pendidikan
a. Rendah 1 8,3 11 91,7 12 100 0,263 0,311
b. Tinggi 12 22,6 41 77,4 53 100 (0,O36-2,655)
Pekerjaan
a. Tidak bekerja 2 28,6 5 71,4 7 100 0,548 1,709
b. Bekerja (0,292-9,997)
11 19,0 47 81,0 58 100

Berdasarkan hasil penelitian variabel sosial ekonomi terhadap kejadian ISPA

pada balita diperoleh nilai p<0,05, artinya bahwa ada hubungan yang signifikan

antara variabel sosial ekonomi terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun

2017. Nilai RPsebesar 5,78 (95% CI = 1,416-23,672) menunjukkan sosial ekonomi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang rendah perkiraan risikonya untuk terkena penyakit ISPA sebesar 5,78 kali

dibanding dengan sosial ekonomi yang tinggi. Pendidikan ibu tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA dengan RP sebesar 0,311 (95%CI =

0,036-2,655). Sedangkan untuk variabel status pekerjaan, dari hasil uji statistik

didapatkan bahwa tidak ada hubunganyang signifikan antara status pekerjaan

responden dengan kejadian ISPA dengan RP 1,709 (95%CI= 0,292 - 9,997).

4.4 Analisis Multivariat

Untuk menganalisis pengaruh variabel independen terhadap kejadian ISPA

pada balita menggunakan uji regresi logistik ganda (multiple logistic regression),

karena variabel terikatnya 2 kategori yaitu tidak ISPA dan ISPA. Regresi logistik

ganda untuk menganalisis pengaruh beberapa variabel bebas terhadap variabel terikat

kategorik yang bersifat dikotomi atau binary. Variabel yang dimasukkan dalam

model prediksi regresi logistik ganda adalah variabel yang mempunyai nilai p<0,25

pada analisis bivariatnya. Analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda

(multiple logistic regression) untuk mencari faktor yang dominan yang berpengaruh

antara kejadian penyakit ISPA, melalui beberapa langkah yaitu:

1. Melakukan analisis pada model deskriptif pada setiap variabel dengan tujuan

untuk mengestimasi peranan variabel masing-masing.

2. Melakukan pemilihan variabel yang potensial dimasukkan dalam model.

Setelah diindentifikasi variabel yang signifikan, selanjutnya dilakukan

pengujian secara bersamaan dengan metode enter untuk mengidentifikasi faktor

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


paling dominan yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit ISPA. Dari seluruh

variabel independen terdapat nilai p < 0,25 yang bervariasi dimasukan kedalam

model multivariat sebagaimana ditunjukkan oleh tabel berikut.

Tabel 4.11 Hasil Seleksi Variabel yang dapat Masuk dalam Model
Regresi Logistik Ganda

Variabel p value Nilai Pemodelan


Ketetapan
Ventilasi 0,002 P<0,25 Masuk pemodelan
Pencahayaan 0,002 P<0,25 Masuk pemodelan
Kelembaban 0,009 P<0,25 Masuk pemodelan
Kepadatan Hunian 0,247 P<0,25 Masuk pemodelan
Lantai 0,316 P>0,25 Tidak Masuk pemodelan
Kontruksi Dinding 0,462 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan
Riwayat Merokok 0,000 p<0,25 Masuk pemodelan
Jenis Bahan Bakar 0.901 p>0,25 Tidak Masuk pemodelan
Status Gizi 0.072 P<0,25 Masuk pemodelan
Status Imunisasi 0,571 P>0,25 Tidak Masuk pemodelan
Sosial Ekonomi 0,009 P<0,25 Masuk pemodelan

Tabel 4.11 menujukkan bahwa variabel independen yaitu ventilasi,

pencahayaan, kelembaban, kepadatan hunian, riwayat merokok, status gizi dan sosial

ekonomi memiliki nilai p<0,25 sehingga dapat masuk dalam model regresi logistik

ganda.

Tabel 4.12. Nilai p-value< 0,25 Variabel Independen

Variabel p-value
Ventilasi 0,002
Pencahayaan 0,002
Kelembaban 0,009
Kepadatan Hunian 0,247
Riwayat Merokok 0,000
Status Gizi 0,072
Sosial Ekonomi 0,009

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Adapun variabel independen yang menjadi kandidat adalah ventilasi,

pencahayaan, kelembaban,kepadatan hunian, riwayat merokok, status gizi dan sosial

ekonomi . Sedangkan variabel yang tidak masuk sebagai kandidat adalah lantai,

kontruksi dinding, jenis bahan bakar dan status imunisasi. Hasil uji regresi logostik

ganda dapat dilihat pada Tabel 4. 13 berikut

Tabel 4.13 Model Regresi Logistik Tahap Pertama terhadap Kejadian ISPA
Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah
Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017

95% CI
Variabel B P Exp B
Lower Upper
Ventilasi 1,773 0,121 5,891 0,625 55,514
Pencahayaan 2,011 0,035 7,469 1,156 48,257
Kelembaban 2,135 0,063 8,455 0,892 80,106
Kepadatan Hunian 0,591 0,637 0,554 0,048 6,432
Riwayat Merokok 1,944 0,034 7,344 1,163 46,368
Status Gizi 1,246 0,352 3,476 0,252 48,035
Sosial Ekonomi 0,132 0,910 1,141 0,118 11,030
Constant -2,410 0,013 0,090

Tabel 4.13 menunjukkan bahwa variabel ventilasi, kelembaban, status gizi,

dan status ekonomi tidak signifikan dikarenakan p> 0.05, sehingga variabel tersebut

dikeluarkan dari permodelan. Variabel yang masuk kedalam permodelan akan

dilakukan pengolahan tahap kedua dan hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.14 Model Regresi Logistik Tahap Kedua terhadap Kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah
Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017

95% C.I
Variabel B Sig. PR
Lower Upper
Pencahayaan 2,171 0,008 8,771 1,775 43,338
Riwayat Merokok 2,444 0,003 11,517 2,360 56,198
Constant -0,796 0,190 0,451

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Berdasarkan hasil analisis regresi logistik ganda pada tabel diatas dengan

metode enter menunjukkan bahwa variabel pencahayaan dengan nilai p=0,008 (p <

0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pencahayaan berpengaruh terhadap kejadian

ISPA pada balita. Jika dilihat nilai PR hasil uji regresi logistik berganda diketahui

variabel riwayat merokok memiliki nilai PR tertinggi yaitu sebesar 11,517 (95%

CI=2,360–56,198), hal ini menunjukkan bahwa variabel riwayat merokok merupakan

variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhan Batu Tahun 2017, artinya responden yang memiliki riwayat merokok

beresiko memiliki peluang balita mengalami ISPA sebesar 11,517 kali lebih besar

dibanding dengan responden yang merokok tidak berisiko.

Berdasarkan hasil regresi logistik berganda maka dapat diketahui model

persamaan regresi logistik adalah sebagai berikut:

1
p( y) =
1 + e − (α + β1X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3. + .......β 6 X 6) .
1
=
1 + 2,718 − ( −2, 458 + 1,959( X 1) + 2,032( X 2))

= 0,93

Keterangan:

P(y) = Probabilitas kejadian ISPA pada balita


α = Konstanta uji regresi logistic (-2,458)
X1 = Pencahayaan, Koefisien Regresi (1,959)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


X2 = Riwayat Merokok, Koefisien Regresi (2,032
e = Bilangan natural (2,718)

Persamaan diatas menyatakan bahwa variabel riwayat merokok dan rumah

dengan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat, maka dapat menjelaskan kejadian

ISPA pada balita sebesar 93%.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 5

PEMBAHASAN

5.1. Penyakit ISPA

Hasil penelitian menunjukkan 80% dari 65 Balita yang berdomisili di wilayah

Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu

Tahun 2017 mengalami ISPA. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian ISPA di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhan Batu Tahun 2017, tergolong tinggi. Data lima provinsi dengan ISPA

tertinggi diantaranya Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%),

Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%) (Riskesdas, 2013). ISPA

adalah penyakit saluran pernapasan yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-

paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari. ISPA mengenai struktur saluran di atas

laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara

stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang

tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Penyakit ini lebih banyak

dialami pada kelompok penduduk dengan pendapatan menengah ke bawah

(Riskesdas, 2013).

5.2.Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

5.2.1. Pengaruh Luas Ventilasi terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh antara ventilasi dengan

kejadian ISPA balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu, didapatkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


nilai p (0,002) lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian terdapat pengaruh yang

signifikan antara ventilasi dengan kejadian ISPA. Hasil ini sejalan dengan hasil

penelitian Vita Ayu (2009) Hasil analisis statistik dengan uji Chi square untuk

pengaruh antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cepogo,

didapatkan nilai p (0,046) lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian terdapat

pengaruh yang signifikan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh Responden yang terkena ISPA di

Kecamatan Bilah Hilir yang mempunyai ventilasi yang memenuhi syarat sebanyak 16

rumah (61,5%) dan ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 36 rumah

(92,3%), sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai ventilasi yang

memenuhi syarat sebanyak 10 rumah (38,5%) dan ventilasi yang tidak memenuhi

syarat sebanyak 3 rumah (7,7%). Hal ini dapat disebabkan karena ventilasi atau

jendela pada rumah responden rata-rata tidak dibuka pada siang hari dan masih

banyak jendela pada rumah responden berbahan kaca yang tidak bisa dibuka,

sehingga proses pertukaran udara pada rumah tidak lancar. Fungsi ventilasi sebagai

jalur saluran keluarnya polusi dari dalam rumah. Jika ruangan yang berpolusi tidak

terdapat ventilasi, maka asap maupun polusi tersebut akan terperangkap didalam

ruangan dan ruangan menjadi pengap sehingga tidak nyaman untuk bernapas.Adanya

pertukaran udara yang baik, terjaganya kadar Oksigen di dalam rumah serta udara

yang segar tentu akan berpengaruh terhadap kesehatan para penghuni yang tinggal di

rumah tersebut.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Winardi (2015) yang menyatakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bahwa adanya hubungan yang bermakna antara luas ventilasi dengan penyakit ISPA.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di kecamatan Sario kota Manado

rata-rata tidak di buka pada siang hari, sehingga proses keluar masuknya udara tidak

baik.Ventilasi merupakan proses penyediaan udara segar ke dalam dan mengeluarkan

udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis.

Penyakit ISPA umumnya disebabkan oleh bakteri dan virus dimana proses

penularannya melalui udara. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar

dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah. Ventilasi yang kurang baik dapat

membahayakan kesehatan khususnya saluran pernafasan. Ventilasi yang buruk dapat

meningkatkan paparan asap (Krieger dan Higgins, 2002 dalam penelitian Triska

Susila Nindya FKM Universitas Airlangga). Namun rumah responden di Kecamatan

Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu belum memiliki ventilasi yang baik, sehingga

sinar matahari pagi tidak memungkinkan masuk. Hal ini sejalan dengan penelitian

Basuki (2008) yang menyatakan bahwa ventilasi rumah merupakan salah satu

komponen dari rumah sehat. Tetapi pada kasus penyakit utamanya pada saluran

pernafasan, faktor sanitasi fisik rumah yang berkaitan dengan penyediaan dan ukuran

ventilasi tidak memegang peranan penting dalam penularannya. Penelitian lain oleh

Mahalastri (2014) juga menyatakan bahwa luas ventilasi mempunyai hubungan yang

signifikan terhadap kejadian pneumonia pada balita. Luas ventilasi menentukan

lancar atau tidaknya laju pertukaran udara pada ruangan.

5.2.2. Pengaruh Pencahayaan terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Hasil penelitian diperoleh bahwa pengaruh antara pencahayaan alami rumah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir didapatkan nilai p (0,002)

lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian terdapat pengaruh yang signifikan

antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian ISPA. Berdasarkan hasil analisis

multivariat dengan menggunakan metode enter di peroleh p value = 0,008

(PR=8,771:95%CI=1,775-43,338), artinya bahwa responden yang memiliki

pencahayaan tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 8,771 kali terhadap

kejadian ISPA pada balita jika dibandingkan dengan responden yang mempunyai

pencahayaan yang memenuhi syarat. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa

pencahayaan berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian Yusuf (2014) di kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli, yang

menyimpulkan bahwa ada hubungan antara pencahayaan alami dengan kejadian ISPA

pada masyarakat Lapulu dengan nilai p = 0,001.

Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir yang mempunyai

pencahayaan alami rumah yang memenuhi syarat sebanyak 16 rumah (61,5%) dan

pencahayaan alami rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 36 rumah (92,3%),

sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai pencahayaan alami rumah

yang memenuhi syarat sebanyak 10 rumah (38,5%) dan pencahayaan alami rumah

yang tidak memenuhi syarat sebanyak 3 rumah (7,7%). Intensitas pencahayaan alami

rumah dapat di pengaruhi oleh luas ventilasi dan jendela rumah yang dibuka setiap

hari.Hal ini akan berdampak buruk terhadapkesehatan penghuni rumah tersebut jika

jendela kurang luas dan jarang dibuka pada siang hari, tidak memiliki ventilasi

rumah, dan kebanyakan rumah menghadap ke arah barat dan utara. Pencahayaan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


alami dalam rumah merupakan penerangan dalam rumah pada pagi, siang, atau sore

hari yang berasal dari sinar matahari langsung yang masuk melalui jendela, ventilasi ,

atau genteng kaca minimal 10 menit perhari. Cahaya matahari penting, karena selain

dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah juga mengurangi

kelembaban ruangan dalam rumah (Azwar, 1990). Penelitian ini sejalan dengan

Basuki (2008) yang menyatakan bahwa dengan masuknya sinar matahari hanya

melalui jendela dan ventilasi, maka terbatas pula ruangan yang tersinari matahari

(ultraviolet) sehingga ada kemungkinan tidak cukup untuk mengurangi kelembaban

ruangan dan efek sinar ultraviolet untuk membunuh kuman penyakit menjadi terbatas.

Pencahayaan alami menurut Suryanto (2003), dianggap baik jika besarnya

antara 60–120 lux dan buruk jika kurang dari 60 lux atau lebih dari 120 lux. Hal yang

perlu diperhatikan dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar sinar matahari

dapat langsung masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain.

Fungsi jendela di sini, di samping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya.

Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar

matahari lebih lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding), maka sebaiknya

jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok).

5.2.3. Pengaruh Kelembaban terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh antara kelembaban rumah

dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan

Batu, didapatkan nilai p (0,009) lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian

terdapat pengaruh yang signifikan antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Penelitian ini sejalan dengan penelitian Diana (2012) yang hasil penelitiannya

menunjukkan ada pengaruh bermakna antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada

balita namun berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan Sinaga (2012)

dimana ditemukan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara kelembaban dengan

kejadian ISPA pada balita. Sesuai dengan teori kelembaban dimana kelembaban

memiliki peran dalam penyebaran mikroorgaisme di dalam lingkungan rumah apabila

rumah yang lembab akan mudah ditumbuhi oleh kuman- kuman yang dapat

menyebabkan penyakit infeksi, khususnya penyakit ISPA.

Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan

Batu yang mempunyai kelembaban rumah yang memenuhi syarat sebanyak 19 rumah

(65,5%) dan kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 33 rumah

(91,7%), sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai kelembaban

rumah yang memenuhi syarat sebanyak 10 rumah (34,5%) dan kelembaban rumah

yang tidak memenuhi syarat sebanyak 3 rumah (8,3%). Hal ini kelembaban rumah

dipengaruhi oleh ventilasi rumah yang tidak baik, lantai yang tidak kedap air dan

menghasilkan debu. Rumah yang lembab memungkinkan tikus dan kecoa membawa

bakteri dan virus yang semuanya dapat berperan dalam memicu terjadinya penyakit

pernafasan dan dapat berkembang biak dalam rumah (Krieger dan Higgins, 2002).

Menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara dalam rumah menjadi media

yang baik bagi pertumbuhan bakteri-bakteri penyebab ISPA. kelembaban rumah yang

tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan

kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri. Menurut Suryanto (2003), kelembaban

dianggap baik jika memenuhi 40-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari

70%. Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak

lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga

kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah yang memiliki kelembaban udara tinggi

memungkinkan adanya tikus, kecoa dan jamur yang semuanya memiliki peran besar

dalam patogenesis penyakit pernafasan (Krieger dan Higgins, 2002).

5.2.4. Pengaruh Kepadatan Hunian terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian bahwa pengaruh antara kepadatan hunian dengan

kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu,

didapatkan nilai p (0,247) lebih besar dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak

terdapat pengaruh yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA.

Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu

yang mempunyai kepadatan hunian yang memenuhi syarat sebanyak 31 rumah

(32,8%) dan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat sebanyak 21 rumah

(19,2%), sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai kepadatan yang

memenuhi syarat sebanyak 10 rumah (8,2%) dan kepadatan hunian yang tidak

memenuhi syarat sebanyak 3 rumah (4,8%).

Kepadatan hunian dalam penelitian ini adalah perbandingan luas lantai dengan

jumlah anggota keluarga dalam satu rumah. Luas lantai bangunan rumah sehat harus

cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus

disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan penjubelan (overcrowded). Jika

penularan penyakit ISPA terjadi karena adanya kontak antara penderita dengan

penghuni rumah yang lain. Kemungkinan kontak ini menjadi lebih besar pada rumah

yang padat penghuninya. Kepadatan hunian pada umumnya sudah memenuhi syarat.

Kepadatan penghuni rumah dihubungkan dengan infeksi saluran pernafasan (Krieger

dan Higgins, 2002. Dalam penelitian Triska Susila Nindya FKM Universitas

Airlangga), karena kepadatan hunian yang tinggi mempengaruhi inhalasi yang

intensif terjadi sehingga memudahkan menular pada anggota keluarga lain. Penelitian

ini mendukung penelitian Meylinda (2012) yang menyatakan responden sebagian

besar memiliki rumah dengan kondisi fisik yang baik, tetapi jumlah penghuni dalam

satu rumah tidak sebanding dengan luas rumah yang mengakibatkan kepadatan

hunian untuk tiap jiwa mengalami overcrowded atau perjubelan. Hal tersebut dapat

menjadi salah satu pemicu timbulnya penyakit ISPA. Penelitian ini juga sejalan

dengan peraturan Dirjen Kepmen Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999

tentang persyaratan Kesehatan Perumahan ditetapkan bahwa luas ruang tidur minimal

8 m² , dan tidak dianjurkan digunakan oleh lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang

tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

5.2.5. Pengaruh Lantai terhadap Kejadian ISPA pada Balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh antara lantai rumah dengan

kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu,

didapatkan nilai p (0,316) lebih besar dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak

terdapat pengaruh yang signifikan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu

yang mempunyai lantai rumah yang memenuhi syarat sebanyak 28 rumah (75,7%)

dan lantai rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 24 rumah (85,7%),

sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai lantai rumah yang

memenuhi syarat sebanyak 9 rumah (24,3%) dan lantai rumah yang tidak memenuhi

syarat sebanyak 4 rumah (14,3%). Hal ini disebabkan karena lantai rumah responden

pada umumnya mempunyai lantai semen.

Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Toanabun (2003) yang mengadakan

penelitian di Desa Tual, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, hasil

penelitian menunjukkan bahwa lantai rumah rata-rata di Desa Tual memakai jenis

lantai semen dan tanah. Lantai yang baik harus kedap air, tidak lembab, bahan lantai

mudah dibersihkan dan dalam keadaan kering dan tidak menghasilkan debu (Ditjen

PPM dan PL, 2002). Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA

karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk

perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai

yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan

mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau

dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM dan PL, 2002).

5.2.6. Pengaruh Konstruksi Dinding terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh antara dinding rumah dengan

kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu,

didapatkan nilai p (0,462) lebih besar dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


terdapat pengaruh yang signifikan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA.

Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu

yang mempunyai kontruksi dinding rumah yang memenuhi syarat sebanyak 39 rumah

(40%) dan kontuksi rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 13 rumah (12%),

sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai kontruksi rumah yang

memenuhi syarat sebanyak 11 rumah (10%) dan kontruksi dinding rumah yang tidak

memenuhi syarat sebanyak 2 rumah (3,0%).

Kontruksi Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, Hal ini

disebabkan karena penghasilan keluarga yang cukup. Rumah yang berdinding tidak

rapat seperti bambu, papan atau kayu dapat menyebabkan ISPA, karena angin malam

langsung masuk ke dalam rumah. Jenis dinding yang mempengaruhi terjadinya ISPA

disebabkan karena dinding yang sulit dibersihkan dan menyebabkan penumpukan

debu pada dinding, sehingga dinding akan dijadikan sebagai media yang baik bagi

berkembangbiaknya kuman (Suryanto, 2003).

5.3.Pengaruh Sumber Pencemaran terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

5.3.1Pengaruh Riwayat Merokok terhadapKejadian ISPA Pada Balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh antara riwayat merokok

dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan

Batu, didapatkan nilai p (0,000) lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian

terdapat pengaruh yang signifikan antara riwayat merokok dengan kejadian ISPA.

Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan metode enter bahwa riwayat merokok

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian ISPA pada

balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu, dengan p value 0,003,

PR=11,517;95% CI=2,360-56,198, artinya bahwa responden yang memiliki riwayat

merokok beresiko mempunyai peluang 11,517 kali terhadap kejadian ISPA pada

balita jika dibandingkan dengan responden yang riwayat merokok tidak beresiko.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Karlinda dan Warni (2012) di Bengkulu, ada

hubungan yang bermakna antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan

kejadian ISPA pada balita. Penelitian Wardani menyatakan bahwa ada hubungan

dengan kekuatan hubungan sedang antara paparan asap rokok dengan kejadian ISPA

pada balita di Desa Pucung Rejo. Sumber asap rokok di dalam ruangan (indoor) lebih

membahayakan daripada di luar ruangan (outdoor) karena sebagian orang

menghabiskan 60-90% waktunya selama satu hari penuh di dalam ruangan.Populasi

yang rentan terhadap asap rokok adalah anak-anak, karena mereka menghirup udara

lebih sering dari pada orang dewasa. Berbeda dengan penelitian Taisir (2005), tidak

ada hubungan yang bermakna status kebiasaan merokok dalam rumah dengan

kejadian ISPA pada bayi dan anak balita. Adapun penelitian Chahaya dan Nurmaini

(2005) di Deli Serdang, tidak ada pengaruh yang signifikan keberadaan perokok

dengan kejadian ISPA.

Responden yang terkena ISPA mempunyai riwayat merokok beresiko

sebanyak 39 rumah (92,9%) dan riwayat merokok yang tidak beresiko sebanyak 13

rumah (56,5%), sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai riwayat

merokok beresiko sebanyak 3 rumah (7,7%) dan riwayat merokok yang tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


beresiko sebanyak 10 rumah (43,5%). Paparan asap rokok pada ibu hamil, bayi, balita

dan anak-anak dapat meningkatkan risiko bayi mengalami kondisi kesehatan yang

buruk seperti terjadinya penyakit ISPA. Lingkungan tempat tinggal memungkinkan

paparan kepada anak sebagai perokok pasif terutama lingkungan yang tertutup.

Lingkungan rumah didukung oleh kondisi ventilasi terutama dalam keterpaparan asap

rokok. Sebagian besar anak balita terpapar asap rokok dikarenakan ventilasi rumah

tidak memenuhi syarat kesehatan (92.3%). Anak yang orang tuanya merokok akan

mudah menderita penyakit gangguan pernapasan (Bustan, 2007). Sebagian besar

sering merokok di dalam rumah sehingga penghuni rumah terutama balita terpapar

asap rokok. Keterpaparan asap rokok pada balita sangat tinggi pada saat berada dalam

rumah. Hal ini disebabkan karena anggota keluarga biasanya merokok dalam rumah

pada saat bersantai bersama anggota, misalnya sambil nonton TV atau setelah selesai

makan dengan anggota keluarga lainnya. Kebiasaan anggota keluarga merokok di

dalam rumah sangat dipengaruhi dari sikap dan tindakan seorang ibu dalam

memperhatikan kesehatan anak.

Keterpaparan asap rokok di dalam rumah dikarenakan sebagian besar

responden berpendidikan SMA (78,5%). Pengetahuan akan bahaya rokok lebih

mendalam diperoleh dalam jenjang pendidikan PT. Adapun anak yang terpapar asap

rokok dikarenakan responden bekerja sebagai petani (66,2%). Profesi sebagai petani

setiap istirahat dalam rumah waktu bekerja langsung merokok. Sebagian ibu balita

telah memberikan nasihat dan melarang anggota keluarganya terutama suami agar

tidak merokok di dalam rumah. Namun anggota keluarga mereka tidak dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


meninggalkan kebiasaan buruk tersebut. Asap rokok dikeluarkan oleh seorang

perokok mengandung bahan pencemar dan partikulat berbahaya, bahaya rokok ini

bukan saja pada perokoknya tetapi juga berbahaya bagi orang yang menghisap

asapnya (perokok pasif). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa balita yang tinggal

di rumah dengan adanya perokok dalam rumah lebih rentan terserang penyakit ISPA.

Banyaknya jumlah perokok akan sebanding dengan banyaknya penderita

gangguan kesehatan. Asap rokok tersebut akan meningkatkan risiko pada balita untuk

mendapat serangan ISPA. Asap rokok bukan hanya menjadi penyebab langsung

kejadian ISPA pada balita, tetapi menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya

dapat melemahkan daya tahan tubuh balita. Asap rokok dapat menurunkan

kemampuan makrofag membunuh bakteri. Asap rokok juga diketahui dapat merusak

ketahanan lokal paru, seperti kemampuan pembersihan mukosiliaris. Maka adanya

anggota keluarga yang merokok terbukti merupakan faktor risiko yang dapat

menimbulkan gangguan pernapasan pada anak balita.

Menghirup udara yang mengandung asap rokok yang dihasilkan bila orang

lain merokok dapat disebut perokok pasif. Dalam prakteknya, semua bahan yang

dihirup perokok terdapat dalam asap yang dikeluarkan dari ujung rokok yang terbakar

atau dihembuskan perokok. Walaupun kadar toksi lebih rendah karena pengeceran

(dilusi) di udara sekitarnya, pengaruhnya terhadap kesehatan sudah diketahui. EPA

telah mengelompokan asap rokok pasif ini sebagai karsinogen kelas A (human

carcinogent). Klasifikasi ini berarti sudah cukup data yang didapat dari studi

epidemiologi yang mendukung hubungan sebab akibat antara senyawa dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kanker. Kanker paru dikalangan orang-orang sehat yang tidak merokok merupakan

akibat yang paling serius dan telah ditunjukan dalam keluarga-keluarga perokok.

Peningkatan infeksi saluran pernafasan dan gejala-gejala dikalangan anak-anak dari

perokok, peningkatan gejala alergi, kondisi paru kronis dan sakit dada kesemuanya

telah dilaporkan termasuk pula sakit kepala, mual, radang mata dan hidung.

Pemaparan tak sengaja terhadap bahan-bahan yang ada dalam asap tembakau

mempengaruhi perkembangan janin wanita hamil yang merokok, serta bayi wanita

yang menyusui dan merokok. Banyak dari substansi-substansi yang dapat menembus

plasenta dan mencapai fetus, substansi lainnya terdapat dalam ASI. Beberapa dari

akibat pemaparan ini antara lain lahir mati, keguguran, kelahiran prematur, berat bayi

lahir rendah dan pertumbuhan terlambat.

5.3.2Pengaruh Jenis Bahan Bakar terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh antara riwayat merokok dengan

kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu,

didapatkan nilai p (0,901) lebih besar dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak

terdapat pengaruh yang signifikan antara jenis bahan bakar dengan kejadian ISPA.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Salmiati

(2005) di Wilayah Kerja Puskesmas Bontobahari Kabupaten Bulukumba yang

menunjukkan bahwa ada pengaruh antara penggunaan bahan bakar biomassa dengan

kejadian ISPA. Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhan Batu yang menggunakan jenis bahan bakar gas sebanyak 27 rumah (79,4%)

dan yang menggunakan kayu bakar sebanyak 25 rumah (80,6%), sedangkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


responden yang tidak terkena ISPA menggunakan jenis bahan bakar gas sebanyak 7

rumah (20,6%) dan yang menggunakan kayu bakar sebanyak 6 rumah (19,4%).

Asap pembakaran mengandung berbagai partikel, seperti seperti Timbal (Pb),

Besi (Fe), Mangan (Mn), Arsen (Ar), Cadmium (Cd) yang dapat menyebabkan iritasi

pada mukosa saluran napas sehingga saluran pernapasan mudah mengalami infeksi

(Syarif, 2009). Partikel-partikel tersebut bila masuk ke dalam tubuh akan

menyebabkan sel epitel dan silianya mudah rusak sehingga benda asing yang masuk

ke dalam saluran pernapasan tidak dapat dikeluarkan. Dengan demikian, saluran

pernapasan akan mengerut yang disebabkan oleh saraf-saraf yang terdapat di dalam

saluran pernapasan terganggu. Respon yang diberikan tubuh bila mengalami keadaan

tersebut adalah mengeluarkan sekret atau benda asing secara aktif melalui batuk

(Kassamsi, 2008).

Kondisi fisik rumah merupakan salah satu penyebab tingginya keterpaparan

terhadap asap kayu bakar dalam konsentrasi tinggi pada penghuni rumah, khususnya

balita. Rumah dengan dapur yang tidak memperhatikan aspek kesehatan dapat

mempengaruhi tingginya keterpaparan terhadap asap kayu bakar dengan dosis yang

tinggi. Dapur yang tidak dilengkapi dengan ventilasi dan letak dapur di dalam rumah

serta berdekatan dengan ruangan tempat balita tidur dan bermain dapat meningkatkan

kemungkinan balita untuk terpapar dengan asap kayu bakar dalam dosis tinggi. Hal

ini dimungkinkan karena anak balita lebih banyak berada di dalam rumah bersama-

sama ibunya (Syarif, 2009). Selain ventilasi dan letak dapur, faktor lain yang

mempengaruhi tinggi keterpaparan asap kayu bakar terhadap penghuni rumah adalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


keberadaan cerobong asap. Di wilayah Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan

Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu responden yang menggunakan bahan bakar

memasak lebih banyak responden menggunakan kayu bakar (80,6%), sedangkan

menggunakan gas (79,4%). Di samping pendapatan responden tergolong rendah yang

membeli gas terlalu mahal, dan bahan kayu bakar mudah untuk di cari.

5.4 Pengaruh Karakteristik Balita terhadap Kejadian ISPA pada Balita

5.4.1Pengaruh Status Gizi terhadap Kejadian ISPA pada Balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh antara status gizi balita

terhadap kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan

Batu, didapatkan nilai p (0,072) lebih besar dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak

terdapat pengaruh yang signifikan antara status gizi balita terhadap kejadian ISPA.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Valentina (2011) dimana dari

hasil penelitiannya didapatkan bahwa ada pengaruh status gizi terhadap kejadian

ISPA pada batita dengan nilai p 0,04. Demikian juga dengan hasil penelitian Candra

(2009) dimana terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan frekuensi

ISPA dengan p 0,01. Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir

Kabupaten Labuhan Batu yang status gizinya baik sebanyak 35 balita (37,6%) dan

yang status gizinya tidak baik sebanyak 17 balita (14,4%), sedangkan responden yang

tidak terkena ISPA yang status gizinya baik sebanyak 12 balita (9,4%) dan yang

status gizinya tidak baik sebanyak 1 balita (3,6%). Berdasarkan hasil ini

menunjukkan bahwa status gizi memegang peranan yang penting dalam upaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pencegahan penyakit ISPA.

Gizi merupakan proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi

secara langsung melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan,

metabolisme, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ–organ serta menghasilkan

kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ – organ serta menghasilkan

energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan terjadinya defisiensi

gizi yang merupakan awalan dari gangguan sistem kekebalan tubuh (Hardiana, 2014).

Status gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pengetahuan, persepsi

individu, kebiasaan atau pantangan, kesukaan jenis makanan tertentu, jarak kelahiran

yang terlalu rapat, sosial ekonomi, penyakit infeksi (Proverawati, 2010 ).

Oleh karena itu salah satu cara untuk mencegah ISPA adalah dengan

penanggulangan masalah gizi. Penanggulangan masalah gizi perlu dilakukan secara

terpadu antar departemen dan kelompok profesi, melalui upaya-upaya peningkatan

pengadaan pangan, penganekaragaman produksi dan konsumsi pangan, peningkatan

status social ekonomi, pendidikan dan kesehatan reproduksi dan konsumsi pangan,

peningkatan status sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat, serta

peningkatan teknologi hasil pertanian dan teknologi pangan (Almatsier, 2004).

Kemenkes menyatakan bahwa untuk menanggulangi masalah gizi ini maka perlu

dilakukan konseling gizi dan penyuluhan kelompok. Konseling dan penyuluhan gizi

merupakan tugas ahli gizi di Puskesmas yang dapat dijadikan bekal bagi orang tua

balita atau keluarganya dalam melakukan perawatan dan pemberian gizi selanjutnya

di rumah tangga. Konseling dilakukan secara perorangan sedangkan penyuluhan gizi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


lebih bersifat umum yang diberikan kepada kelompok masyarakat. Materi konseling

gizi harus disesuaikan dengan kondisi balita dan di sampaikan secara jelas agar

mudah dimengerti.

5.4.2Pengaruh Status Imunisasi terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh antara status imunisasi dengan

kejadian ISPA pada balita, didapatkan nilai p (0,571) lebih besar dari nilai α (0,05),

dengan demikian tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara status imunisasi

dengan kejadian ISPA.. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Taisir (2005) di

Aceh Selatan menemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna status imunisasi

campak dan DPT dengan kejadian ISPA pada bayi dan balita. Berbeda dengan

penelitian yang di lakukan oleh Marhamah (2012) Hasil analisis uji chisquare

diperoleh nilai p = 0.045 menunjukkan bahwa ada pengaruh antara status imunisasi

terhadap kejadian ISPA pada anak balita. Ini didukung oleh penelitian Sukmawati

dan Sri (2010) di Maros dan penelitian Nasution (2009) di Jakarta menemukan ada

pengaruh bermakna antara pemberian imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita.

Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu

yang status imunisasinya lengkap sebanyak 45 balita (45,6%) dan yang status

imunisasinya tidak lengkap sebanyak 7 balita (6,4%), sedangkan responden yang

tidak terkena ISPA yang status imunisasinya lengkap sebanyak 12 balita (11,4%) dan

yang status iminisasinya tidak lengkap sebanyak 1 balita (1,6%).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang

dapat dicegah dengan imunisasi. Dalam penurunan angka kejadian ISPA dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


memberikan imunisasi lengkap pada anak. Imunisasi terbagi atas imunisasi dasar

yang wajib dan imunisasi yang penting. Sebelum anak berusia di atas dua tahun

kelengkapan imunisasi dasar harus dipenuhi. Status munisasi yang diteliti pada anak

balita di Desa Bontongan dengan cara melihat KMS dan melakukan wawancara

langsung dengan responden menggunakan kuesioner. Anak balita dikatakan status

imunisasinya lengkap apabila telah mendapat imunisasi secara lengkap menurut umur

dan waktu pemberian. Adapun anak balita yang imunisasinya tidak lengkap

dikarenakan belum memperoleh imunisasi campak dan HB0. Adapula anak balita

telah memperoleh lima imunisasi dasar namun tidak sesuai umur pemberian vaksin.

Sebagian besar imunisasi dasar yang diperoleh balita tidak tepat waktu adalah

imunisasi campak dan polio. Ada beberapa anak balita yang memperoleh imunisasi

campak ketika berumur >9 bulan.

Adapun imunisasi polio diperoleh anak balita tidak berselang 1 bulan,

terkadang imunisasi polio 1 dan polio 2 diperoleh secara bersamaan. Menurut

keterangan dari ibu yang mempunyai anak balita, terkadang tidak rutin mengikuti

posyandu hal itu disebabkan anaknya menolak/ mengamuk untuk dibawa ke

posyandu. Daya tahan tubuh anak yang rendah dapat mempengaruhi kejadian ISPA

pada balita yang telah memiliki imunisasi lengkap. Kemampuan tubuh seorang anak

untuk menangkal suatu penyakit dipengaruhi beberapa faktor yaitu: faktor genetik

dan kualitas vaksin. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sadono, dkk (2005) di

Blora, bayi yang tidak mendapat imunisasi sesuai dengan umur berisiko menderita

ISPA. Hubungan status imunisasi dengan ISPA pada balita tidak secara langsung.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kebanyakan kasus ISPA terjadi disertai dengan komplikasi campak yang merupakan

faktor risiko ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi, imunisasi campak dan

DPT yang diberikan bukan untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap ISPA secara

langsung, melainkan hanya untuk mencegah faktor yang dapat memacu terjadinya

ISPA.

5.5. Pengaruh Sosial Ekonomi terhadap Kejadian ISPA pada Balita

5.5.1 Pengaruh Penghasilan terhadap Kejadian ISPA pada Balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara penghasilan dengan

kejadian ISPA pada balita,didapatkan nilai p (0,009) lebih kecil dari nilai α (0,05),

dengan demikian terdapat hubungan yang signifikan antara penghasilan dengan

kejadian ISPA.Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Resti (2008) bahwa ada

hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan kejadian ISPA dengan

nilai p- value 0,02. Hal ini juga senada dengan hasil Riskesdas (2013) bahwa

kejadian ISPA lebih cenderung terjadi pada masyarakat lapisan menengah ke bawah.

Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu

yang penghasilannya rendah sebanyak 33 orang (91,7%) dan penghasilannya yang

tinggi sebanyak 19 orang (65,5%), sedangkan responden yang tidak terkena ISPA

yang penghasilannya rendah sebanyak 3 orang (8,3%) dan yang penghasilannya

tinggi sebanyak 10 orang (34,5%).

Hasil penelitian terhadap ibu yang mempunyai anak usia 1-2 tahundi

Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu menunjukkan bahwa kebanyakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ibu memiliki pendapatan keluarga yang rendah yaitu sebanyak 91,7%. Pendapatan

keluarga yang rendah ini tentunya akan menjadi salah satu penghambat bagi ibu

dalam memenuhi kebutuhan terutama asupan gizi keluarga dan juga untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan. Status gizi sangat dipengaruhi oleh konsumsi

pangan keluarga, pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhinya, sebagaimana hasil penelitian Aryanti (2010) yang membuktikan

bahwa ada hubungan status gizi dengan pendapatan keluarga dengan nilai p-value

0,01 dan OR 6,54. Walaupun pendapatan keluarga tidak dapat diubah oleh petugas

kesehatan, namun kejadian ISPA dapat dikurangi dengan membiasakan perilaku

hidup yang sehat, konsumsi makanan yang bergizi tetapi tidak mahal, memberikan

pelayan kesehatan gratis dan sebagainya.

5.5.2. Pengaruh Pendidikan terhadap Kejadian ISPA pada Balita

Pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang mempuyai hubungan

dengan keadaan keluarga karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi

diharapkan pengetahuan atau informasi tentang penyakit ISPA dan juga pelayanan

kesehatan akan lebih baik. Pengetahuan kesehatan akan berhubungan kepada

perilakuseseorang sebagai hasil jangka menengah dari pendidikan yang diperoleh.

Perilaku kesehatan akan berhubungan pada meningkatnya indikator kesehatan

masyarakat sebagai hasil dari pendidikan kesehatan. Dari analisis bivariat didapatkan

bahwa pendidikan tidak ada hubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA pada

balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu, dengan RP 0,311 (95%CI.

0,036-2,655). Hasil ini memberi gambaran bahwa tinggi rendahnya pendidikan ibu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sangat berhubungan terjadinya ISPA pada anaknya. Secara langsung pendidikan

memangtidak berhubungan pada suatu penyakit, namun dengan pendidikan yang

rendah secara tidak langsung akan mempertinggi resiko terjadinya suatu

penyakit.Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Annisa Firdausia

(2013) dimana dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa ada pengaruh pendidikan

terhadap perilaku pencegahan ISPA. Biasanya semakin tinggi pendidikan seseorang

akan meningkat pula pengetahuan seseorang sehingga meningkat pula informasi yang

diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka

semakin tinggi pula tingkat kebutuhan akan kesehatan, dan semakin rendah tingkat

pendidikan maka semakin sulit untuk menerima penyuluhan kesehatan oleh tenaga

kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

Pendidikan dan pengetahuan sangatlah penting dan berpengaruh pada ibu

untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan terhadap kesehatan anaknya agar

anaknya dapat terhindar dari penyakit. Tingkat pendidikan seorang ibu akan

mendukung keinginan ibu untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, sehingga ibu

bisa lebih mudah mencerna pengetahuan yang didapatkan melalui penyuluhan-

penyuluhan yang diberikan oleh petugas kesehatan terutama tentang pencegahan dan

penanganan penyakit ISPA. Anak yang mengalami ISPA juga merupakan kondisi

krisis dalamperkembangan keluarga, yang akan berpengaruh pada perubahan identitas

dan peran pada diri ibu. Ibu akan berespon terhadap krisis ini dan akan memunculkan

reaksi untuk menyesuaikan diri, sehingga terjadilah proses belajar dari pengalaman.

Hasil dari penyesuaian ini akan membentuk karakter ibu yang berasal dari pola pikir

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yangdipengaruhi oleh pendidikan ibu. Oleh karena itu walaupun tidak mungkin untuk

meningkatkan pendidikan, kepada ibu tetap dianjurkan untuk mengikuti penyuluhan-

penyuluhan supaya informasi yang terima semakin banyak khususnya tentang

penyakit ISPA.

5.5.3 Pengaruh Pekerjaan terhadap Kejadian ISPA pada Balita

Pekerjaan merupakan sesuatu hal yang dikerjakan untuk mendapatkan

imbalan atau balas jasa. Hasil analisis bivariat didapatkan bahwa status pekerjaan

tidak ada hubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan

Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu, dengan RP 1,709 (95%CI. 0,292-9,997). Hasil

penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Annisa Firdausia (2013) dimana dari

hasil penelitiannya didapatkan bahwa ada pengaruh status pekerjaan terhadap

pencegahan ISPA pada balita. Sebuah penelitian yang dilakukan Aryanti (2010),

menunjukkan bahwa ibu yang tidak bekerja menghabiskan waktu 2,4 jam lebih

banyak dibandingkan ibu yang bekerja dalam perawatan anak.

Status kerja ibu (tidak bekerja atau bekerja) dapat memengaruhi kesehatan

anak karena ibu yang bekerja memiliki waktu yang lebih sedikit untuk merawat

anak.Kerja mempengaruhi waktu luang ibu untuk bersama anak. Walaupun bekerja,

ibu tetap memegang tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga. Seorang ibu

yang bekerja memiliki tantangan lebih untuk memenuhi tugas dalam keluarga dan

tanggung jawab di dunia kerja. Ibu tentu saja harus menghabiskan waktu lebih lama

dengan anaknya. Namun, dapat terhambat karena adanya pembagian peran sebagai

seseorang yang merawat anak dan seseorang yang bekerja.Ibu sebagai pemeran utama

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dalam perawatan anak, terjadi konflik antara pekerjaan dengan kegiatan rumah

tangga, salah satunya merawat anak. Ibu yang bekerja tidak hanya memiliki waktu

yang lebih sedikit untuk merawat anaknya sendiri, kualitas perawatan juga dapat

menurun akibat stres terkait kerja dan lelah. Pekerjaan memang sangat dibutuhkan

untuk mendapatkan income, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suprajitno (2004).

Namun bagi ibu tentunya merawat anak dan mencegah terjadinya penyakit pada anak

juga penting, oleh karena itu perlu adanya pengaturan yang baik dalam keluarga

sehingga perannya sebagai ibu rumah tangga tidak terganggu walaupun dia juga

seorang pekerja.

5.6. Implikasi Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan bahwa lingkungan fisik

rumah (yang meliputi ventilasi,pencahayaan,kelembaban) dan kebiasaan merokok

dapat memengaruhi terjadinya penyakit ISPA pada balita. Oleh karena itu,

berdasarkan hasil penelitian tersebut implikasi terhadap Dinas Kesehatan Kabupaten

Labuhanbatu dan Puskesmas Tanjung Haloban adalah melakukan sinergisme dan

kerja sama yang optimal, inspeksi lingkungan dan intervensi kesehatan lingkungan

berkala sehingga upaya promoif, preventif dan kuratif pada kejadian ISPA,

khususnya penderita balita dapat terintegrasi dengan baik. Dalam hal ini, kerja sama

yang dibina baik dengan lintas sektor, partisipasi masyarakat serta tokoh-tokoh

organisasi setempat menjadi modal perbaikan sanitasi lingkungan perumahan dan

mengurangi pencemaran udara dalam ruangan guna menurunkan angka kejadian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ISPA. Dalam pelaksanaan intervensi lingkungan tersebut, perlu adanya Komunikasi,

Informasi dan Edukasi serta penggerakan atau pemberdayaan masyarakat.

Pelaksanaan KIE dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan

perilaku masyarakat terhadap masalah kesehatan sehingga dapat mencegah penyakit

atau gangguan kesehatan. Masyarakat sudah harus memperhatikan kesehatan

lingkungan dengan tidak merokok didalam maupun di luar ruangan yang terdapat

balita disekitarnya. Karena salah satu meningkatnya kejadian ISPA pada balita adalah

besarnya pencemaran yang disebabkan oleh asap rokok.

5.7. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur ilmiah, namun masih

memiliki keterbatasan yaitu :

1. Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian ISPA pada balita dalam penelitian ini

hanya terdiri dari beberapa variabel, yaitu lingkungan fisik rumah ( ventilasi,

pencahayaan, kelembaban, konstruksi dinding, lantai dan kepadatan hunian),

sumber pencemar (riwayat merokok keluarga dan jenis bahan bakar untuk

memasak) dan karakteristik keluarga (status imunisasi,status gizi dan sosial

ekonomi).Masih terdapat faktor lain yang bisa memengaruhi kejadian ISPA,

seperti : pemberian ASI eksklusif, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR),saluran

pembuangan asap dapur, higienitas balita, pencemaran udara dalam ruangan

seperti penggunaan anti nyamuk bakar dan sebagainya.

2. Adanya keterbatasan penelitian dengan menggunakan kuesioner sehingga

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


terkadang jawaban yang diberikan oleh responden tidak menunjukkan keadaan

yang sebenarnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan lingkungan fisik rumah yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA

pada balita di wilayah kerja puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hiir

Kabupaten Labuhan batu adalah ventilasi dengan nilai p value 0,002 (<0,05),

pencahayaan dengan p value 0,002 (<0,05), dan kelembaban dengan p value 0,009

(<0,05). Sedangkan yang tidak berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita

adalah kepadatan hunian dengan p value 0,247 (>0,05), lantai dengan p value

0,316 (>0,05) dan konstruksi dinding dengan p value 0,462 (>0,05).

2. Berdasarkan sumber pencemaran udara yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir

Kabupaten Labuhan batu adalah riwayat merokok dengan p value 0,000

(<0,05).Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh adalah jenis bahan bakar yang

digunakan untuk memasak dengan p value 0,901 (>0,05).

3. Berdasarkan karaketristik keluarga yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA

pada balita adalah sosial ekonomi dengan p value 0,009 (<0,05) sedangkan yang

tidak berpengaruh adalah status gizi dengan p value0,072 (>0,05) dan status

imunisasi dengan p value 0,571 (>0,05).

97
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten

Labuhan Batu Tahun 2017 adalah variabel riwayat merokok dengan p value 0,003

PR 11,517 (95% CI= 2,360-56,198).

6.2. Saran

1. Diharapkan Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhan Batu dapat meningkatkan

program pencegahan penyakit menular sehingga dapat menurunkan angka

kesakitan khususnya pada kasus ISPA.

2. Diharapkan kepada petugas kesehatan Puskesmas Tanjung Haloban agar dapat

meningkatkan penyuluhan-penyuluhan tentang kesehatan terutama yang

menyangkut dengan penyakit ISPA, pemasangan/ penayangan media promosi

kesehatan lingkungan pada pemukiman, tempat-tempat umum terkait penyakit

ISPA dan melakukan gerakan bersih desa.

3. Melakukan Pemberdayaan masyarakat yaitu pemasangan genteng kaca untuk

pencahayaan ruangan, pembuatan ventilasi dan plesteran semen pada lantai tanah.

4. Diharapkan kepada masyarakat agar menjaga kebersihan lingkungan rumah dan

lingkungan terbebas dari asap rokok serta pencemaran lainnya yang dapat

mengganggu kesehatan terutama yang dapat menyebabkan penyakit ISPA dengan

menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

5. Modifikasi ruangan rumah dengan menghilangkan / membuang perabot yang tidak

layak dipakai sehingga kelembaban ruangan tetap terjaga sesuai standar kesehatan

lingkungan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta : Universitas


Indonesia.

Almatsier,S.2003.Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

_________. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Annisa Firdausia. 2013. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Ibu dengan
Perilaku Pencegahan ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gan
Sehat Pontianak Tahun 2013.

Aryanti. 2010. Hubungan Antara Pendapatan Keluarga,Pengetahuan Gizi Ibu, dan


Pola Makan dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sidoharjo
Kabupaten Sragen Tahun 2010.

Azwar, A.1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkunga.Jakarta: Mutiara.

Badan Pusat Statistik. 2015. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2015. Jakarta : BPS
Indonesia.

BPS Sumut. 2016. Kabupaten Labuhanbatu dalam Angka 2016. BPS


Labuhanbatu.

Badan Pusat Statistik. 2015. Bilah Hilir dalam Angka 2016. BPS
Kabupaten Labuhanbatu.

Basuki, Kartono. 2008. Hubungan Lingkungan Rumah dengan Kejadian Luar Biasa
(KLB) Difteri di Kabupaten Tasikmalaya (2005-2006) dan Garut Januari
2001Jawa Barat. Jakarta: Jurnal Kesehatan Universitas Indonesia.

Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta

Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta :BukuKedokteran EGC.

Chahaya, I dan Nurmaini. 2005. Faktor-faktor Kesehatan Lingkungan Perumahan


yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita di Perumahan Nasional
(Perumnas) Mandala, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.
(Online) http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/15574/1/ mkn-
sep2005%20%284% 29.pdf Diakses 30 Nopember 2017.

99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Chandra. 2009. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi Balita di Klinik
Masjid Agung Jawa Tengah tahun 2008.

Damanik, P.E.G.Siregar, M.A. Aritonang, E.Y.2014. Hubungan Status Gizi,


Pemberian ASI Eksklusif, Status Imunisasi Dasar dengan Kejadian Infeksi
Saluran Akut (ISPA) Pada Anak Usia 12- 24 Bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Glugur Darat Kota Medan.

Daroham, N.E.P.danMutiatikum. 2009. Penyakit ISPA Hasil Riskesdas di Indonesia.


Jakarta : Puslitbang Biomedis dan Farmasi.

Depkes RI. 2000. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA.Jakarta.

________. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat.Jakarta : Ditjen PPM dan
PLP.

________ . 2004. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran PernafasanAkut.


Jakarta :Ditjen PPM dan PLP.

_______ . 2006. Profil Kesehatan Indonesia 2004. Jakarta.

Diana Maryani, R. 2012. Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah dan


Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang .

Ditjen PPM dan PL. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat . Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Hardiana , HS. 2014. Pemanfaatan Gizi dan Obesitas. Yogjakarta: Nuha Medika.

Ide, L.E.Y.and Onyenegacha,T.A.U. 2015. Burden of Acute Respiratory Tract


Infections as Seen in University of Port Harcourt Teaching Hospital
Nigeria, Department of Paediatrics and Child Health, University of Port
Harcourt Teaching Hospital, Port Harcourt. Rivers State 234. NigeriaJournal
of US- China Medical Science 158- 162.

Karlinda, Tri dan Warni, S. 2012. Hubungan Keberadaan Anggota Keluarga Yang
Merokok Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Nusa Indah Kota Bengkulu Tahun 2010. Jurnal Akademi Kesehatan Sapta
Bakti Bengkulu. (Online) http://www.saptabakti.ac.id/ jo/index.php/jurnal/135-
hubungan-keberadaan- anggota-keluarga-yang-merokok-dengan-kejadian-ispa-
pada-balita-di-wilayah-kerja- puskesmas-nusa-indah-kota-bengkulu-tahun-
2010-tri-karlinda-warni-susilawati Diakses 27 Nopember 2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kassamsi. 2008. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Kelurahan Rembon Tahun 2008.
Skripsi diterbitkan FKM Unhas.

Krieger. James. Donna L Higgins. (2002). Housing and Health : Time Again for
Public Health Action. American Journal of PublicHealth: May, Vol 92, No 5.
p 758-768.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/ VII/1999, Persyaratan


Kesehatan Rumah Tinggal khususnya ventilasi, diakses pada tanggal 28
Oktober 2017

Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/ 1999,Tentang Persyaratan


Kesehatan Perumahan, Semarang.

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1995/ Menkes/SK/XII/2010. Tentang


Standar Antropometri Penilaian Status GiziAnak. Jakarta.

Kemenkes RI, 2011, Imunisasi Efektif Menekan Angka Kesakitan


dan Kematian Bayi, Jakarta.

________ RI, 2012,Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran PernafasanAkut, Jakarta :


Dirjen PP dan PL.

________ RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar, Jakarta :Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.

________ RI, 2015, Profil Kesehatan Indonesia 2014, Ditjen PP dan PL, Jakarta.

Kusnanto, H. 2001. Planet Kita, Kesehatan Kita (Laporan Komisi WHO


Mengenai Kesehatan dan Lingkungan). Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

Kusnoputranto, H. & Dewi,S. 2000. Kesehatan Lingkungan. Depok : Universitas


Indonesia.

Lameshow, Stanley., 1997, Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan, Yogyakarta :


Gadjah Mada University.

Lisdianti, Saparwati, M. danChoiriyah, Z.2015. Hubungan Status Imunisasi terhadap


Kejadian ISPA pada Anak Usia Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pasir
Putih Sampit Kalimantan Tengah. STIK Ngudi Waluyo Ungaran.

Mahalastri, N,D. 2014. Hubungan Antara Pencemaran Udara dalam Ruang dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kejadian Pneumonia Balita. Jurnal Berkala Epidemiologi. Vol 2 No.3
September 2014 : 392-403, Epidemiologi FKM Universitas Airlangga,
Surabaya.

Maryunani. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta :Trans info
media.

_______ , 2011, IlmuKesehatan Anak dalam Kebidanan, Jakarta : Trans Info Media.

Marhamah, A. 2012. Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Desa Bontangan Kabupaten Enrekang. Jurnal: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar.

Meylinda, P. 2012. Pengaruh Kondisi Sanitasi Rumah, Status Imunisasi, Dan


Pengetahuan Ibu terhadap Kejadian Difteri Pada Bayi Di Kota Surabaya .
Skripsi.Surabaya : Sarjana Unesa

Muttaqin, A. Buku ajar: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2008.

Moeller,D.W., 2005, Environmental Health, Edisi III,Persident and Fellows of


Harvard College, United State of America.

Nasution,K.,Sjahrullah,M.A.R.,Brohet,K.E.,Wibisana,K.A.,Yassien,M.R.,Ishak,L.M.,
Pratiwi,L., Wawolumaja,C. 2009. Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di
Daerah Urban Jakarta. Jurnal Sari Pediatri, Vol. 11, No. 4, Desember 2009.
(Online) http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/11-4-1.pdf Diakses 30
Nopember 2017.

Nindya, Triska Susila. 2013. Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada anak Balita. Surabaya :FKM
Universitas Airlangga
Ningrum, E. K., 2011, Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Kepadatan
Hunian dengan Kejadian ISPA Non Pneumonia pada Balita di Wilayah
kerja Puskesmas Sungai Pinang, Jurnal Publikasi Kesehatan
Masyarakat Indonesia, Vol. 2 No.2, Agustus 2015, Fakultas Kedokteran
Unlam, diakses 12 April 2017;ppjp.unlam.ac.id.

Notoatmodjo, S., 2003, Prinsip – Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta
:Rineka Cipta.

___________, S., 2003a. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


____________. 2007. Kesehatan Masyarakat IlmudanSeni. Rineka Cipta.Jakarta.

Nur ,AY danLilis, S . 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik dengan Kejadia
nISPA Pada Balita, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 1 No.2. FKM UNAIR.

Oktaviana, Vita Ayu. 2009. Hubungan Antara Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) pada Balita Di Desa cepogo
Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. (Online) http://etd.eprints.ums.a
c.id/5965/1/J410050018.PDF Diakses 30 November 2017

Permenkes RI No.1077/Menkes/PER/V/2011,tentang Pedoman Penyehatan Udara


dalam Ruang Rumah.

Puskesmas Tanjung Haloban Kabupaten Labuhan Batu, LaporanBulanan ISPA,


Tahun 2015 dan 2016.

Prasetya,B.Y,2005, Mendesain Rumah Tropis, Semarang :PT. Trubus Agriwidya.

Proverawati, Atikah. Imunisasi dan Vaksinasi. Tahun 2010. Yogjakarta : Nuha


Medika.

Resti., 2008. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan
Atas (ISPA) pada Balita di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias
Tahun 2008.

Riskesdas, 2013. Laporan Nasional (diunduh 20 februari 2017) . tersedia dari:


URL:HYPERLINKhttp://www.k4health.org/sites/default/files/laporanNasi
onal%20Rikesdas%202013.pdf.

Rosalina, 2010, Strategi Penanggulangan ISPA pada Anak Balita Melalui


Analisis Faktor Determinan di Tiga Kecamatan Kabupaten OganIlir
Sumatera Selatan Tahun 2006, Tesis.

Sadono. 2005. Bayi Berat Lahir Rendah Sebagai Salah Satu Faktor Risiko Infeksi
Saluran Pernafasan Akut Pada Bayi (Studi Kasus di Kabupaten Blora). Jurnal
Epidemiologi Universitas Diponegoro. (Online) http://eprints.undip.ac.id
/5249/1/ Sadono_Wiwoho.pdf Diakses 29 September 2017.

Salmiati, 2005. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Bontobahari Kabupaten Bulukumba (skripsi).
FKM Unhas

Syarif, Shandra, W. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Saluran

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pernapasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tarakan Kota
Makassar Tahun 2009. Skripsi tidak diterbitkan FKM Unhas.

Sinaga E. 2012. Kualitas Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Infeksi


Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok (Skripsi). Jakarta: FKM UI.

Sastroasmoro, S., 2013, Dasar – Dasar Metodologi Klinis, Jakarta : Bina Rupa
Aksara.

Shibata,T. Wilson,J.L.Watson,L.M.and LeDuc,A. 2014, Chilhood Acute Respiratory


Infections and Household Environment in an Eastern Indonesia Urban
Setting, International Journal Environmental Research and Public Health
ISSN 1660-4601.

Slamet, J.S, 2009, Kesehatan Lingkungan, Yogyakarta : Gajah Mada.

Soemantri, I. 2008.Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem


Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.

Soolani, D.C; Umboh, J.M.L., danAkili, R.H., 2013, Hubungan antara Faktor
Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan (ISPA) pada Balita di Kelurahan Malalayang 1 Kota
Manado, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi.

Suryani, I, 2015, Hubungan Lingkungan Fisik dan Tindakan Penduduk dengan


Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya, Jurnal
Kesehatan Andalas; 4 (1).

Sukmawati dan Sri Dara. 2010. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir (BBL),
Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros .
Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli – Desember
2010(Online)http://jurnalmediagizipangan.files.wordpress. com/2012/04/3-
hubungan-status-gizi-berat-badan-lahir-bbl-imunisasi dengan-kejadian-
infeksi-saluran-pernapasan-akut-ispa-pada-balita-di-wilayah-kerja-
puskesmas-tunikamaseang-kabupaten-maros.pdf Diakses 5 28 Nopember
2017.

Suryanto, 2003. Hubungan Sanitasi Rumah dan Faktor Intern Anak Balita dengan
Kejadian ISPA pada Anak Balita. Skripsi. Surabaya: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Taisir. 2005. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan Tahun 2005.
Skripsi: FKM USU. Medan

Toanabun, A. H., 2003. Pengaruh Kondisi Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku
Penduduk terhadap Kejadian Penyakit ISPA pada Anak Balita di Desa Tual
Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara Propinsi Maluku. Skripsi.
Surabaya : Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

Tamher, S&Heryati. 2008. Patologi untuk Mahasiswa Keperawatan.Jakarta :Trans


Info Media.

Valentina, 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran


Pernafasan Akut Pada Balita di Kelurahan Glugur Darat I Kecamatan Medan
Timur. Skripsi

Wardhana, Wisnu Arya, 2004, Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta : C.V


Andi Offset.

Wardani, N.K, Winarsih, S, Sukini,T, 2014, Hubungan Antara Paparan Asap Rokok
Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di
Desa Pucung Rejo Kabupaten Magelang Tahun 2014,Jurnal Kebidanan, Vol 4
No.8 ISSN.2089-7669.

WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian ISPA yang Cenderung Menjadi Epidemi
dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

_____. 2008.Pencegahan dan Pengendalian ISPA di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Widoyono, 2008, Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan


dan Pemberantasannya, Jakarta : Erlangga.

Winardi,W.,Umboh,J.M.L., dan Rattu, A.J.M.,2015, Hubungan Antara Kondisi


Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak Balita Di
Wilayah Kerja Puskesmas Sario Kecamatan Sario Kota Manado,Tesis,
Manado: Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi.

Yusuf,M., Yudayasa,I.P., dan Nurtamin, T.,2014, Hubungan Lingkungan Rumah


dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Masyarakat
Pesisir Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli Tahun 2014,Vol. 3 No. 2 E-ISSN
: 2443-0218

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KUISIONER

PENGARUH LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN SUMBER PENCEMAR


SERTA KARAKTERISTIK KELUARGA TERHADAP ISPA BALITA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANJUNG HALOBAN KECAMATAN
BILAH HILIR KABUPATEN LABUHANBATU
TAHUN 2017

A. IDENTITAS RESPONDEN (IBU BALITA) / KEPALA KELUARGA

Nomor responden :

Nama :

Alamat :

Umur :

Jenis Kelamin :

B. DATA SOSIAL EKONOMI

1.Pendidikan :

a. Tidak sekolah / tidak tamat SD

b. Tamat SD

c. Tamat SMP

d. Tamat SMA

e. Perguruan Tinggi

2. Pekerjaan :

a. Tidak bekerja/ IRT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


b. Petani

c. Buruh

d. Swasta

e. PNS

f. Lain-lain……………….....

3. Penghasilan keluarga tiap bulan :

a. Kurang dari Rp. 2.500.000

b. Lebih dari Rp. 2.500.000

C. PENYAKIT ISPA PADA BALITA

No Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
1 Apakah selama 2 minggu terakhir ini anak ibu pernah

menderita penyakit ISPA? ( bila ya, lanjut ke

pertanyaan ke-2 )

2 Apakah anak ibu terkena penyakit ISPA selama 2

minggu terakhir lebih dari satu kali ?

3 Apabila anak ibu menderita penyakit ISPA ,apakah

dibawa ke fasilitas kesehatan ?

D. SUMBER PENCEMARAN UDARA

1. Apakah bapak / ibu mempunyai kebiasaan merokok ?

a. Ya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


b. Tidak

2. Apakah saat berada didalam rumah, setiap harinya bapak / anggota keluarga

yang lain selalu merokok ?

a. Ya

b. Tidak

3. Apakah ibu menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak ?

a. Ya

b. Tidak

Jika tidak, sebutkan bahan bakar yang digunakan!

4. Apakah terdapat ventilasi di dapur untuk pembuangan asap pembakaran saat

memasak ?

a. Ya

b. Tidak

E. IDENTITAS BALITA

1. Nama Balita :

2. Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan

3. Berat Badan :………………. …..Kg

4. Tinggi Badan :…………………….cm

5.Status Gizi : 1. Gizi Tidak Baik

2. Gizi Baik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6. Apakah Balita anda mendapatkan imunisasi : 1. Tidak Lengkap

2. Lengkap

BCG……….Kali

DPT………..Kali

Polio………..Kali

Campak…….Kali

Hepatitis B…Kali

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 2

Lembar Observasi/ Pengukuran Lingkungan Fisik Rumah di Wilayah Kerja


Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhanbatu
Tahun 2017

No Komponen yang di nilai Kriteria Nilai Kategori


1 Ventilasi Luas Ventilasi > 10 %
luas lantai
Luas ventilasi < 10 %
luas lantai
Tidak ada
2 Pencahayaan 60 - 120 Lux
≤ 20 dan ≥ 120 Lux
3 Kelembaban 40 – 70 %
< 40 dan > 70 %
4 Lantai Diplester /ubin / keramik
Papan
Tanah
5 Konstruksi dinding Tembok / batu
Papan / anyaman bambu
6 Kepadatan Hunian Luas ruangan > 8 m2
Rumah untuk 2 orang
Luas ruangan < 8 m2
untuk 2 orang

TMS : Tidak Memenuhi Syarat ( 0 )


MS : Memenuhi Syarat (1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


MASTER DATA

PENGARUH LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN SUMBER PENCEMAR SERTA KARAKTERISTIK KELUARGA TERHADAP ISPA BALITA

DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS TANJUNG HALOBAN KECAMATAN BILAH HILIR KABUPATEN LABUHAN BATU TAHUN 2017

SOS
PENC RIWA K
NO LUAS KEPADA KONSTRU K JENIS STATUS STATUS IAL
KOD AH KEL LAN YAT KO O KO KOD
RESPOND VENTIL KODE TAN KODE KODE KSI KODE OD BAHAN GIZI IMUNISAS EKO
JENIS E AYAA EM KOD TAI MERO DE D DE E
EN KODE UMUR KODE KODE ASI HUNIAN DINDING E BAKAR BALITA I NO
KELAMIN N BAP E KOK E
MI
AN
Tdk
Gizi Tdk Tdk Ting
1 ISPA 1 <3 1 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 TMS 1 Beresik 0 Kayu Bakar 1 1 1 0
Baik Lengkap gi
o
Beresik Rend
2 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Rend
3 ISPA 1 <3 1 Laki-Laki 1 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
ah
o
Beresik Gizi Tdk Rend
4 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 1 Lengkap 0 1
o Baik ah

Beresik Tdk Ting


5 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 1 0
o Lengkap gi

Tdk Beresik Rend


6 0 <3 1 Laki-Laki 1 TMS 1 MS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 TMS 1 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
ISPA o ah

Beresik Gizi Tdk Ting


7 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 1 Lengkap 0 0
o Baik gi

Beresik Ting
8 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
o gi

Beresik Rend
9 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah

Beresik Rend
10 ISPA 1 >3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Gizi Tdk Rend
11 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 1 Lengkap 0 1
Baik ah
o
Tdk
Tdk Ting
12 0 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Tdk Beresik Ting
13 0 <3 1 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 1 0
ISPA o gi

Beresik Rend
14 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah

Beresik Gizi Tdk Ting


15 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 1 Minyak Tanah 0 1 Lengkap 0 0
o Baik gi

Beresik Rend
16 ISPA 1 <3 1 Laki-Laki 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Tdk Ting
17 0 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Tdk
Ting
18 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
gi
o
Tdk
Rend
19 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
ah
o

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Beresik Gizi Tdk Rend
20 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
o Baik ah

Tdk Beresik Ting


21 0 <3 1 Laki-Laki 1 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA o gi
Tdk
Rend
22 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
ah
o
Beresik Rend
23 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah

Beresik Gizi Tdk Ting


24 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 1 Lengkap 0 0
o Baik gi
Tdk
Tdk Ting
25 0 <3 1 Perempuan 2 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Beresik Tdk Rend
26 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 1 1
o Lengkap ah

Beresik Ting
27 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
o gi
Tdk
Tdk Ting
28 0 >3 2 Perempuan 2 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Beresik Gizi Tdk Rend
29 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
o Baik ah

Beresik Tdk Ting


30 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 1 0
o Lengkap gi
Tdk
Tdk Rend
31 0 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
ISPA ah
o
Tdk
Ting
32 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
gi
o
Beresik Tdk Ting
33 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 1 0
o Lengkap gi

Beresik Gizi Tdk Ting


34 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 0
o Baik gi

Beresik Rend
35 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah

Beresik Rend
36 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah

Beresik Tdk Rend


37 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 1 1
o Lengkap ah
Tdk
Gizi Tdk Rend
38 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 1 Lengkap 0 1
Baik ah
o
Tdk
Tdk Ting
39 0 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Beresik Rend
40 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah

Beresik Gizi Tdk Tdk Rend


41 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 1 1
o Baik Lengkap ah

Beresik Rend
42 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Ting
43 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
gi
o
Tdk
Gizi Tdk Rend
44 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 1 Lengkap 0 1
Baik ah
o

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Beresik Gizi Tdk Rend
45 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
o Baik ah

Beresik Rend
46 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah

Beresik Ting
47 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
o gi

Beresik Rend
48 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Rend
49 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
ah
o
Beresik Gizi Tdk Rend
50 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
o Baik ah

Beresik Rend
51 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Ting
52 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
gi
o
Tdk
Tdk Gizi Tdk Rend
53 0 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
ISPA Baik ah
o
Beresik Rend
54 ISPA 1 <3 1 Laki-Laki 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 TMS 1 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah

Beresik Ting
55 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
o gi
Tdk
Ting
56 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
gi
o
Beresik Gizi Tdk Rend
57 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
o Baik ah
Tdk
Tdk Ting
58 0 <3 1 Laki-Laki 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Beresik Rend
59 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah

Beresik Gizi Tdk Ting


60 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 0
o Baik gi

Beresik Ting
61 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
o gi
Tdk
Tdk Ting
62 0 >3 2 Perempuan 2 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Beresik Gizi Tdk Rend
63 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
o Baik ah

Beresik Rend
64 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Tdk Ting
65 0 <3 1 Laki-Laki 1 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 4. Analisis Data Statistik

Analisis Univariat

Umur Balita

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 3 Tahun 19 29,2 29,2 29,2
>= 3 Tahun 46 70,8 70,8 100,0
Total 65 100,0 100,0

Jenis Kelamin Balita

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 30 46,2 46,2 46,2
Perempuan 35 53,8 53,8 100,0
Total 65 100,0 100,0

Luas Ventilasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 26 40,0 40,0 40,0
Tidak Memenuhi Syarat 39 60,0 60,0 100,0
Total 65 100,0 100,0

Pencahayaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 26 40,0 40,0 40,0
Tidak Memenuhi Syarat 39 60,0 60,0 100,0
Total 65 100,0 100,0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kelembaban

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 29 44,6 44,6 44,6
Tidak Memenuhi Syarat 36 55,4 55,4 100,0
Total 65 100,0 100,0

Kepadatan Hunian

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 41 63,1 63,1 63,1
Tidak Memenuhi Syarat 24 36,9 36,9 100,0
Total 65 100,0 100,0

Lantai

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 37 56,9 56,9 56,9
Tidak Memenuhi Syarat 28 43,1 43,1 100,0
Total 65 100,0 100,0

Kontruksi Dinding

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 50 76,9 76,9 76,9
Tidak Memenuhi Syarat 15 23,1 23,1 100,0
Total 65 100,0 100,0

Riwayat Merokok

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Beresiko 23 35,4 35,4 35,4
Beresiko 42 64,6 64,6 100,0
Total 65 100,0 100,0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Jenis Bahan Bakar

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Gas 34 52,3 52,3 52,3
Kayu Bakar 31 47,7 47,7 100,0
Total 65 100,0 100,0

Status Gizi Balita

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Gizi Baik 47 72,3 72,3 72,3
Gizi Tidak Baik 18 27,7 27,7 100,0
Total 65 100,0 100,0

Status Imunisasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Lengkap 57 87,7 87,7 87,7
Tidak Lengkap 8 12,3 12,3 100,0
Total 65 100,0 100,0

Pe ndi dika n Orang Tua

Cumulative
Frequency Percent Valid P erc ent Percent
Valid Tidak S ekolah/ Tidak
4 6,2 6,2 6,2
Tamat SD
Tamat SD 3 4,6 4,6 10,8
Tamat SMP 5 7,7 7,7 18,5
Tamat SMA 51 78,5 78,5 96,9
Perguruan Tinggi 2 3,1 3,1 100,0
Total 65 100,0 100,0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pekerjaan Orang Tua

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Bekerja/IRT 7 10,8 10,8 10,8
Petani 43 66,2 66,2 76,9
Buruh 4 6,2 6,2 83,1
Swasta 8 12,3 12,3 95,4
PNS 3 4,6 4,6 100,0
Total 65 100,0 100,0

Penghasilan Orang Tua

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tinggi 29 44,6 44,6 44,6
Rendah 36 55,4 55,4 100,0
Total 65 100,0 100,0

Kejadian ISPA

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak ISPA 13 20,0 20,0 20,0
ISPA 52 80,0 80,0 100,0
Total 65 100,0 100,0

Analisis Bivariat

Ventilasi

Case Processing Summary

Cases
Valid Mis sing Total
N Percent N Percent N Percent
Luas Ventilasi *
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Kejadian ISPA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Luas Ventilasi * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Luas Ventilasi Memenuhi Syarat Count 10 16 26
% within Luas Ventilasi 38,5% 61,5% 100,0%
% within Kejadian ISPA 76,9% 30,8% 40,0%
% of Total 15,4% 24,6% 40,0%
Tidak Memenuhi Sy arat Count 3 36 39
% within Luas Ventilasi 7,7% 92,3% 100,0%
% within Kejadian ISPA 23,1% 69,2% 60,0%
% of Total 4,6% 55,4% 60,0%
Total Count 13 52 65
% within Luas Ventilasi 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%

Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 9,231b 1 ,002
Continuity Correction a 7,408 1 ,006
Likelihood Ratio 9,253 1 ,002
Fis her's Exact Test ,004 ,003
Linear-by-Linear
9,089 1 ,003
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
5,20.

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.


Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,353 ,002
N of Valid Cases 65
a. Not as suming the null hypothesis .
b. Us ing the asymptotic standard error assuming the null hypothes is.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ri sk Estim ate

95% Confidenc e
Int erval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Luas
Ventilasi (Memenuhi
7,500 1,816 30,974
Sy arat / Tidak
Memenuhi Syarat)
For cohort Kejadian
5,000 1,520 16,451
ISP A = Tidak IS PA
For cohort Kejadian
,667 ,486 ,915
ISP A = ISP A
N of Valid Cases 65

Pencahayaan

Case Processing Summary

Cases
Valid Mis sing Total
N Percent N Percent N Percent
Pencahayaan *
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Kejadian ISPA

Pe nca hayaan * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Pencahayaan Memenuhi Syarat Count 10 16 26
% within Pencahay aan 38,5% 61,5% 100,0%
% within Kejadian ISPA 76,9% 30,8% 40,0%
% of Total 15,4% 24,6% 40,0%
Tidak Memenuhi Syarat Count 3 36 39
% within Pencahay aan 7,7% 92,3% 100,0%
% within Kejadian ISPA 23,1% 69,2% 60,0%
% of Total 4,6% 55,4% 60,0%
Total Count 13 52 65
% within Pencahay aan 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 9,231b 1 ,002
Continuity Correction a 7,408 1 ,006
Likelihood Ratio 9,253 1 ,002
Fis her's Exact Test ,004 ,003
Linear-by-Linear
9,089 1 ,003
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
5,20.

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.


Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,353 ,002
N of Valid Cases 65
a. Not as suming the null hypothesis .
b. Us ing the asymptotic standard error assuming the null hypothes is.

Ri sk Estim ate

95% Confidenc e
Int erval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Pencahayaan
7,500 1,816 30,974
(Memenuhi Syarat /
Tidak Memenuhi Sy arat )
For cohort Kejadian
5,000 1,520 16,451
ISP A = Tidak IS PA
For cohort Kejadian
,667 ,486 ,915
ISP A = ISP A
N of Valid Cases 65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kelembaban

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kelembaban *
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Kejadian ISPA

Ke lembaban * Ke jadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Kelembaban Memenuhi Syarat Count 10 19 29
% within Kelembaban 34,5% 65,5% 100,0%
% within Kejadian ISPA 76,9% 36,5% 44,6%
% of Total 15,4% 29,2% 44,6%
Tidak Memenuhi Syarat Count 3 33 36
% within Kelembaban 8,3% 91,7% 100,0%
% within Kejadian ISPA 23,1% 63,5% 55,4%
% of Total 4,6% 50,8% 55,4%
Total Count 13 52 65
% within Kelembaban 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 6,864b 1 ,009
Continuity Correction a 5,327 1 ,021
Likelihood Ratio 7,037 1 ,008
Fis her's Exact Test ,013 ,010
Linear-by-Linear
6,759 1 ,009
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
5,80.

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.


Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,309 ,009
N of Valid Cases 65
a. Not as suming the null hypothesis .
b. Us ing the asymptotic standard error assuming the null hypothes is.

Ri sk Estim ate

95% Confidenc e
Int erval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Kelembaban
5,789 1,416 23,672
(Memenuhi Syarat /
Tidak Memenuhi Sy arat )
For cohort Kejadian
4,138 1,254 13,655
ISP A = Tidak IS PA
For cohort Kejadian
,715 ,539 ,947
ISP A = ISP A
N of Valid Cases 65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kepadatan hunian

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kepadatan Hunian
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA

Kepadatan Hunian * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Kepadatan Memenuhi Syarat Count 10 31 41
Hunian Expected Count 8,2 32,8 41,0
Tidak Memenuhi Syarat Count 3 21 24
Expected Count 4,8 19,2 24,0
Total Count 13 52 65
Expected Count 13,0 52,0 65,0

Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 1,338b 1 ,247
Continuity Correction a ,698 1 ,404
Likelihood Ratio 1,413 1 ,235
Fis her's Exact Test ,342 ,204
Linear-by-Linear
1,317 1 ,251
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
4,80.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Symmetric Measures

Value Approx. Sig.


Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,142 ,247
N of Valid Cases 65
a. Not as suming the null hypothesis .
b. Us ing the asymptotic standard error assuming the null hypothes is.

Risk Estimate

95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Kepadatan
Hunian (Memenuhi Syarat 2,258 ,555 9,194
/ Tidak Memenuhi Syarat)
For cohort Kejadian ISPA
1,951 ,595 6,400
= Tidak ISPA
For cohort Kejadian ISPA
,864 ,686 1,088
= ISPA
N of Valid Cases 65

Lantai

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Lantai * Kejadian ISPA 65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


La ntai * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Lantai Memenuhi Syarat Count 9 28 37
% within Lantai 24,3% 75,7% 100,0%
% within Kejadian ISPA 69,2% 53,8% 56,9%
% of Total 13,8% 43,1% 56,9%
Tidak Memenuhi Sy arat Count 4 24 28
% within Lantai 14,3% 85,7% 100,0%
% within Kejadian ISPA 30,8% 46,2% 43,1%
% of Total 6,2% 36,9% 43,1%
Total Count 13 52 65
% within Lantai 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%

Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 1,004b 1 ,316
Continuity Correction a ,474 1 ,491
Likelihood Ratio 1,031 1 ,310
Fis her's Exact Test ,365 ,248
Linear-by-Linear
,988 1 ,320
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
5,60.

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.


Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,123 ,316
N of Valid Cases 65
a. Not as suming the null hypothesis .
b. Us ing the asymptotic standard error assuming the null hypothes is.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Risk Estimate

95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Lantai
(Memenuhi Syarat / 1,929 ,527 7,061
Tidak Memenuhi Syarat)
For cohort Kejadian
1,703 ,584 4,967
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,883 ,696 1,119
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65

Kontruksi dinding

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kontruksi Dinding
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA

Kontruksi Dinding * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Kontruksi Memenuhi Syarat Count 11 39 50
Dinding Expected Count 10,0 40,0 50,0
Tidak Memenuhi Syarat Count 2 13 15
Expected Count 3,0 12,0 15,0
Total Count 13 52 65
Expected Count 13,0 52,0 65,0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square ,542b 1 ,462
Continuity Correction a ,135 1 ,713
Likelihood Ratio ,581 1 ,446
Fis her's Exact Test ,715 ,371
Linear-by-Linear
,533 1 ,465
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
3,00.

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.


Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,091 ,462
N of Valid Cases 65
a. Not as suming the null hypothesis .
b. Us ing the asymptotic standard error assuming the null hypothes is.

Ri sk Estim ate

95% Confidenc e
Int erval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Kontruksi Dinding
1,833 ,358 9,377
(Memenuhi Syarat /
Tidak Memenuhi Sy arat)
For cohort Kejadian
1,650 ,410 6,636
ISP A = Tidak IS PA
For cohort Kejadian
,900 ,703 1,152
ISP A = ISP A
N of Valid Cases 65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Riwayat merokok

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Riwayat Merokok
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA

Riwayat Merokok * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Riwayat Merokok Tidak Beres iko Count 10 13 23
% within Riwayat Merokok 43,5% 56,5% 100,0%
% within Kejadian ISPA 76,9% 25,0% 35,4%
% of Total 15,4% 20,0% 35,4%
Beresiko Count 3 39 42
% within Riwayat Merokok 7,1% 92,9% 100,0%
% within Kejadian ISPA 23,1% 75,0% 64,6%
% of Total 4,6% 60,0% 64,6%
Total Count 13 52 65
% within Riwayat Merokok 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 12,263 b 1 ,000
Continuity Correction a 10,097 1 ,001
Likelihood Ratio 11,945 1 ,001
Fis her's Exact Test ,001 ,001
Linear-by-Linear
12,075 1 ,001
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
4,60.

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.


Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,398 ,000
N of Valid Cases 65
a. Not as suming the null hypothesis .
b. Us ing the asymptotic standard error assuming the null hypothes is.

Risk Estimate

95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat
Merokok (Tidak 10,000 2,382 41,988
Beresiko / Beresiko)
For cohort Kejadian
6,087 1,860 19,925
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,609 ,421 ,880
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Jenis bahan bakar

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis Bahan Bakar
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA

Je nis Bahan Baka r * Keja dian IS PA Crosstabulation

Kejadian IS PA
Tidak ISPA ISP A Total
Jenis B ahan Gas Count 7 27 34
Bakar % within Jenis Bahan
20,6% 79,4% 100,0%
Bakar
% within K ejadian ISPA 53,8% 51,9% 52,3%
% of Total 10,8% 41,5% 52,3%
Kayu B akar Count 6 25 31
% within Jenis Bahan
19,4% 80,6% 100,0%
Bakar
% within K ejadian ISPA 46,2% 48,1% 47,7%
% of Total 9,2% 38,5% 47,7%
Total Count 13 52 65
% within Jenis Bahan
20,0% 80,0% 100,0%
Bakar
% within K ejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square ,015b 1 ,901
Continuity Correction a ,000 1 1,000
Likelihood Ratio ,015 1 ,901
Fis her's Exact Test 1,000 ,575
Linear-by-Linear
,015 1 ,902
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
6,20.

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.


Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,015 ,901
N of Valid Cases 65
a. Not as suming the null hypothesis .
b. Us ing the asymptotic standard error assuming the null hypothes is.

Risk Estimate

95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Jenis Bahan Bakar 1,080 ,319 3,654
(Gas / Kayu Bakar)
For cohort Kejadian
1,064 ,401 2,822
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,985 ,772 1,256
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Status Gizi

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status Gizi Balita
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA

Status Gizi Balita * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Status Gizi Gizi Baik Count 12 35 47
Balita Expected Count 9,4 37,6 47,0
Gizi Tidak Baik Count 1 17 18
Expected Count 3,6 14,4 18,0
Total Count 13 52 65
Expected Count 13,0 52,0 65,0

Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 3,246b 1 ,072
Continuity Correction a 2,118 1 ,146
Likelihood Ratio 3,926 1 ,048
Fis her's Exact Test ,091 ,066
Linear-by-Linear
3,196 1 ,074
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
3,60.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Symmetric Measures

Value Approx. Sig.


Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,218 ,072
N of Valid Cases 65
a. Not as suming the null hypothesis .
b. Us ing the asymptotic standard error assuming the null hypothes is.

Risk Estimate

95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Status
Gizi Balita (Gizi Baik / 5,829 ,699 48,592
Gizi Tidak Baik)
For cohort Kejadian
4,596 ,643 32,834
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,788 ,645 ,964
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65

Status imunisasi

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status Imunisasi
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Status Imunisasi * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Status Imunisas i Lengkap Count 12 45 57
Expected Count 11,4 45,6 57,0
Tidak Lengkap Count 1 7 8
Expected Count 1,6 6,4 8,0
Total Count 13 52 65
Expected Count 13,0 52,0 65,0

Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square ,321b 1 ,571
Continuity Correction a ,009 1 ,925
Likelihood Ratio ,354 1 ,552
Fis her's Exact Test 1,000 ,494
Linear-by-Linear
,316 1 ,574
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
1,60.

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.


Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,070 ,571
N of Valid Cases 65
a. Not as suming the null hypothesis .
b. Us ing the asymptotic standard error assuming the null hypothes is.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Risk Estimate

95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Status
Imunis asi (Lengkap / 1,867 ,209 16,678
Tidak Lengkap)
For cohort Kejadian
1,684 ,252 11,272
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,902 ,672 1,211
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65

Sosial ekonomi

Case Processing Summary

Cases
Valid Mis sing Total
N Percent N Percent N Percent
Penghasilan Orang
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Tua * Kejadian ISPA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pe nghasil an Orang Tua * Kej adia n IS PA Crosstabula tion

Kejadian IS PA
Tidak ISPA ISP A Total
Penghasilan Tinggi Count 10 19 29
Orang Tua % within P enghasilan
34,5% 65,5% 100,0%
Orang Tua
% within K ejadian IS PA 76,9% 36,5% 44,6%
% of Total 15,4% 29,2% 44,6%
Rendah Count 3 33 36
% within P enghasilan
8,3% 91,7% 100,0%
Orang Tua
% within K ejadian IS PA 23,1% 63,5% 55,4%
% of Total 4,6% 50,8% 55,4%
Total Count 13 52 65
% within P enghasilan
20,0% 80,0% 100,0%
Orang Tua
% within K ejadian IS PA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%

Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 6,864b 1 ,009
Continuity Correction a 5,327 1 ,021
Likelihood Ratio 7,037 1 ,008
Fis her's Exact Test ,013 ,010
Linear-by-Linear
6,759 1 ,009
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
5,80.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Symmetric Measures

Value Approx. Sig.


Nominal by Nominal Contingency Coefficient ,309 ,009
N of Valid Cases 65
a. Not as suming the null hypothesis .
b. Us ing the asymptotic standard error assuming the null hypothes is.

Risk Estimate

95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Penghasilan Orang 5,789 1,416 23,672
Tua (Tinggi / Rendah)
For cohort Kejadian
4,138 1,254 13,655
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,715 ,539 ,947
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pendidikan *
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Kejadian ISPA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pendidikan * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Pendidikan Rendah Count 1 11 12
% within Pendidikan 8,3% 91,7% 100,0%
% within Kejadian ISPA 7,7% 21,2% 18,5%
% of Total 1,5% 16,9% 18,5%
Tinggi Count 12 41 53
% within Pendidikan 22,6% 77,4% 100,0%
% within Kejadian ISPA 92,3% 78,8% 81,5%
% of Total 18,5% 63,1% 81,5%
Total Count 13 52 65
% within Pendidikan 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%

Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 1,252b 1 ,263
Continuity Correction a ,517 1 ,472
Likelihood Ratio 1,468 1 ,226
Fis her's Exact Test ,432 ,246
Linear-by-Linear
1,233 1 ,267
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
2,40.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Risk Estimate

95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Pendidikan ,311 ,036 2,655
(Rendah / Tinggi)
For cohort Kejadian
,368 ,053 2,565
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
1,185 ,947 1,483
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pekerjaan *
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Kejadian ISPA

Pekerjaan * Kejadian ISPA Crosstabulation

Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Pekerjaan Tidak Bekerja Count 2 5 7
% within Pekerjaan 28,6% 71,4% 100,0%
% within Kejadian ISPA 15,4% 9,6% 10,8%
% of Total 3,1% 7,7% 10,8%
Bekerja Count 11 47 58
% within Pekerjaan 19,0% 81,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 84,6% 90,4% 89,2%
% of Total 16,9% 72,3% 89,2%
Total Count 13 52 65
% within Pekerjaan 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Chi-Square Tests

As ymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square ,360b 1 ,548
Continuity Correction a ,010 1 ,920
Likelihood Ratio ,333 1 ,564
Fis her's Exact Test ,620 ,428
Linear-by-Linear
,355 1 ,551
As sociation
N of Valid Cases 65
a. Computed only for a 2x2 table
b. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
1,40.

Risk Estimate

95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Pekerjaan
1,709 ,292 9,997
(Tidak Bekerja / Bekerja)
For cohort Kejadian ISPA
1,506 ,416 5,453
= Tidak ISPA
For cohort Kejadian ISPA
,881 ,543 1,431
= ISPA
N of Valid Cases 65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Analisis Multivariat

Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Selected Cases Included in Analysis 65 100,0
Mis sing Cases 0 ,0
Total 65 100,0
Unselected Cas es 0 ,0
Total 65 100,0
a. If weight is in effect, s ee class ification table for the total
number of cases.

De pendent V aria ble Encodi ng

Original Value Int ernal Value


Tidak ISPA 0
IS PA 1

Block 0: Beginning Block


Classification Table a,b

Predicted

Kejadian ISPA Percentage


Observed Tidak ISPA ISPA Correct
Step 0 Kejadian ISPA Tidak ISPA 0 13 ,0
ISPA 0 52 100,0
Overall Percentage 80,0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500

Va riables in the Equa tion

B S. E. W ald df Sig. Ex p(B)


St ep 0 Constant 1,386 ,310 19,987 1 ,000 4,000

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Variables not in the Equation

Score df Sig.
Step Variables LV 9,231 1 ,002
0 PCH 9,231 1 ,002
KLB 6,864 1 ,009
KPDTH 1,338 1 ,247
RM 12,263 1 ,000
SGB 3,246 1 ,072
PGH 6,864 1 ,009
Overall Statistics 29,551 7 ,000

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.
Step 1 Step 31,635 7 ,000
Block 31,635 7 ,000
Model 31,635 7 ,000

Model Summary

-2 Log Cox & Snell Nagelkerke


Step likelihood R Square R Square
1 33,418 a ,385 ,609
a. Es timation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by les s than ,001.

Classification Table a

Predicted

Kejadian ISPA Percentage


Observed Tidak ISPA ISPA Correct
Step 1 Kejadian ISPA Tidak ISPA 9 4 69,2
ISPA 4 48 92,3
Overall Percentage 87,7
a. The cut value is ,500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Va riables in the Equa tion

95,0% C.I.for EXP(B)


B S.E. W ald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step
a
LV 1,773 1,145 2,401 1 ,121 5,891 ,625 55,514
1 PCH 2,011 ,952 4,462 1 ,035 7,469 1,156 48,257
KLB 2,135 1,147 3,462 1 ,063 8,455 ,892 80,106
KPDTH -,591 1,251 ,223 1 ,637 ,554 ,048 6,432
RM 1,994 ,940 4,497 1 ,034 7,344 1,163 46,368
SGB 1,246 1,340 ,865 1 ,352 3,476 ,252 48,035
PGH ,132 1,158 ,013 1 ,910 1,141 ,118 11,030
Constant -2,410 ,970 6,168 1 ,013 ,090
a. Variable(s) entered on step 1: LV, PCH, KLB, KPDTH, RM, SGB, PGH.

Paling dominan
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Selected Cases Included in Analysis 65 100,0
Mis sing Cases 0 ,0
Total 65 100,0
Unselected Cas es 0 ,0
Total 65 100,0
a. If weight is in effect, s ee class ification table for the total
number of cases.

De pendent V aria ble Encodi ng

Original Value Int ernal Value


Tidak ISPA 0
IS PA 1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Block 0: Beginning Block

Classification Table a,b

Predicted

Kejadian ISPA Percentage


Observed Tidak ISPA ISPA Correct
Step 0 Kejadian ISPA Tidak ISPA 0 13 ,0
ISPA 0 52 100,0
Overall Percentage 80,0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500

Va riables in the Equa tion

B S. E. W ald df Sig. Ex p(B )


St ep 0 Constant 1,386 ,310 19,987 1 ,000 4,000

Variables not in the Equation

Score df Sig.
Step Variables PCH 9,231 1 ,002
0 RM 12,263 1 ,000
Overall Statistics 19,247 2 ,000

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.
Step 1 Step 20,493 2 ,000
Block 20,493 2 ,000
Model 20,493 2 ,000

Model Summary

-2 Log Cox & Snell Nagelkerke


Step likelihood R Square R Square
1 44,560 a ,270 ,428
a. Es timation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by les s than ,001.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Classification Table a

Predicted

Kejadian ISPA Percentage


Observed Tidak ISPA ISPA Correct
Step 1 Kejadian ISPA Tidak ISPA 10 3 76,9
ISPA 1 51 98,1
Overall Percentage 93,8
a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

95,0% C.I.for EXP(B)


B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step
a
PCH 2,171 ,815 7,096 1 ,008 8,771 1,775 43,338
1 RM 2,444 ,809 9,132 1 ,003 11,517 2,360 56,198
Constant -,796 ,607 1,721 1 ,190 ,451
a. Variable(s) entered on step 1: PCH, RM.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DOKUMENTASI PENELITIAN

Keterangan : Penimbangan Berat Badan Balita

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Keterangan : Pengukuran Kelembaban Ruangan

Keterangan : Kondisi Lantai Salah satu Rumah Responden

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai