TESIS
Oleh
THESIS
By
TESIS
Oleh
Menyetujui
Komisi Pembimbing :
(Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M) (Destanul Aulia, S.K.M, M.B.A, M.Ec, Ph.D)
Ketua Anggota
(Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D) (Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si)
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau di terbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Penyakit ISPA adalah penyakit berbasis lingkungan dan menjadi salah satu
penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. WHO
menyatakan bahwa hampir empat juta orang meninggal akibat penyakit ISPA setiap
tahunnya, 98% yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat
mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia. Lingkungan fisik
rumah yang dapat menjadi faktor resiko ISPA yaitu pencahayaan, lantai, dinding,
kelembaban, dan luas ventilasi. Selain itu, kebiasaan merokok, status gizi dan
imunisasi balita juga dapat menjadi faktor risiko ISPA. Prevalensi penyakit ISPA di
kecamatan Bilah Hiilir masih tinggi yaitu 620 kasus.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh lingkungan fisik rumah dan
sumber pencemar serta karakteristik keluarga terhadap ISPA balita. Penelitian ini
merupakan penelitian survei analitik dengan menggunakan desain penelitian cross
sectional. Populasi adalah seluruh balita yang berjumlah 200 orang dan sampel
diambil 65 orang secara non random, analisis data menggunakan uji chi-square dan
regresi logistik berganda.
Hasil penelitian ventilasi, pencahayaan, kelembaban, riwayat merokok, sosial
ekonomi dari segi penghasilan keluarga ada hubungan signifikan terhadap kejadian
ISPA balita. Sedangkan kepadatan hunian,lantai, dinding, jenis bahan bakar, status
gizi dan imunisasi tidak ada hubungan signifikan terhadap kejadian ISPA. Hasil uji
regresi logistik berganda menunjukkan riwayat merokok merupakan variabel yang
paling dominan berhubungan terhadap kejadian ISPA dengan p value 0,003,
PR=11,517;95% CI=2,360-56,198, artinya bahwa responden yang memiliki riwayat
merokok beresiko mempunyai peluang 11,517 kali terhadap kejadian ISPA pada
balita jika dibandingkan dengan responden yang riwayat merokok tidak beresiko.
Di sarankan bagi Puskesmas meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan
terutama yang menyangkut dengan penyakit ISPA sehingga dapat menurunkan angka
kesakitan balita yang disebabkan oleh ISPA maupun penyakit lain.
Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT, dan segala puji bagi Allah
menyelesaikan tesis ini dengan judul “Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah dan
Tesis ini dapat selesai dengan baik berkat limpahan rahmat dan karunia Allah
SWT, namun dalam penulisan tesis ini penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan
3. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu
Utara.
4. Destanul Aulia, S.K.M, M.B.A, M.Ec, Ph.D selaku Sekretaris Program Studi
peneliti.
5. Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M. selaku ketua komisi pembimbing yang telah
membimbing penulis.
6. Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D selaku ketua komisi penguji yang telah
7. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S. selaku anggota komisi penguji yang
juga telah memberikan perhatian, bimbingan, dan saran untuk perbaikan tesis
penyelesaian tesis.
10. Dr. H.Edison Stephen, M.M. selaku Kepala Puskesmas Tanjung Haloban
11. Seluruh Petugas Kesehatan dan Staff Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan
penelitian di lapangan.
12. Orang Tua tercinta Ayah H.Irpan Hasibuan, S.Pd dan Ibu Hj.Bintiati, S.Pd
yang sangat penulis banggakan telah banyak memberikan dukungan do’a dan
motivasi, do’a serta curahan kasih sayang yang sangat luar biasa. Juga
15. Semua pihak yang telah turut serta membantu pembuatan tesis ini yang tidak
Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tesis ini, untuk itu kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.
Penulis bernama Dessy Irfi Jayanti, lahir pada tanggal 27 Januari 1990 di
Desa Cinta Makmur. Berasal dan bertempat tinggal di Desa Cinta Makmur
dari pasangan Bapak H. Irfan Hasibuan, S.Pd dan Ibu Hj. Bintiati, S.Pd.
Makmur (1996 - 2002), SMP Negeri 1 Panai Hulu (2002-2005), SMA Negeri 1 Panai
Hulu (2005-2008), D-III Kimia Analis FMIPA USU Medan (2008-2011), Kesehatan
Lingkungan FKM USU Medan (2011-2013) Saat ini penulis mengikuti pendidikan
Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv
DAFTAR ISTILAH ....................................................................................... xv
LAMPIRAN
No Judul Halaman
4.11. Hasil Seleksi Variabel yang dapat Masuk dalam Model Regresi
Logistik Ganda ....................................................................................... 67
4.13. Model Regresi Logistik Tahap Pertama terhadap Kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah
Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017.......................................... 68
4.14. Model Regresi Logistik Tahap Kedua terhadap Kejadian ISPA pada
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan
Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017 ................................. 68
No Judul Halaman
No Judul Halaman
AC : Air Conditioner
BPS : Badan Pusat Statistik
CO : Karbon monoksida
CO 2 : Karbon dioksida
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Ditjen PPM & PLP : Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Menular
&Penyehatan Lingkungan
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Kemenkes RI : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
KMS : Kartu Menuju Sehat
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit
NO : Nitrogen Monoksida
P2 ISPA : Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
SPSS : Statistical Product and Service Solution
TBC : Tuberculosis
WHO : World Health Organization
PENDAHULUAN
menular di dunia. Penyakit ISPA juga penyebab utama kematian terbesar ketiga di
Kematian akibat penyakit ISPA sepuluh sampai lima puluh kali di Negara
berkembang dari pada negara maju (Ide dan Onyenegecha, 2015). Hampir empat juta
orang meninggal akibat penyakit ISPA setiap tahunnya, 98% yang disebabkan oleh
infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-
anak, dan orang lanjut usia. Penyakit ISPA merupakan salah satu penyebab utama
konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian
perawatan anak (WHO, 2007). Infeksi Saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus
atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala
yaitu tenggorokan sakit atau nyeri saat menelan, pilek, batuk kering atau berdahak
(Riskesdas, 2013).
mewabah dengan cepat pada kelompok balita yang terjadi pada musim gugur, musim
dingin dan awal musim semi. Negara-negara berkembang tersebut seperti Negara
Afrika, Amerika Latin dan Asia. Di negara bagian Asia, tingkat mortalitas penyakit
ISPA sangat tinggi pada bayi dan anak-anak. Kasus terbanyak terjadi di India
Indonesia adalah negara yang berpenghasilan rendah dan negara ketiga yang
memiliki penduduk yang sangat padat (sekitar 250 juta jiwa ) di Asia, meliputi Asia
selatan dan Asia timur. Penyebab terbesar kematian anak dibawah umur lima tahun di
2014). Indonesia sebagai daerah tropis berpotensi menjadi daerah endemik dari
beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi acaman bagi kesehatan
maupun kematian penderita akibat penyakit ISPA. Faktor- faktor yang mendorong
terjadinya penyakit ISPA, seperti pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh asap
karena kebakaran hutan, gas buangan yang berasal dari sarana transpotasi dan polusi
udara dalam rumah karena asap dapur dan asap rokok. Faktor lain termasuk
perubahan iklim global, seperti perubahan suhu udara, kelembaban, dan curah hujan
merupakan acaman kesehatan terutama pada penyakit ISPA (Daroham, N.E.P dan
Mutiatikum, 2009).
yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1 – 4 tahun sebesar (25.8% ). Menurut
jenis kelamin, tidak berbeda antara laki – laki dan perempuan. Penyakit ini lebih
tertinggi pada Provinsi Nusa Tenggara Timur (41.7%) dan terendah pada Provinsi
Secara Umum ada tiga faktor resiko penyakit ISPA, yaitu faktor lingkungan,
faktor individu, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan yang dimaksud meliputi,
Pencemaran udara dalam rumah seperti asap hasil pembakaran bahan bakar untuk
memasak dengan konsentrasi yang tinggi, asap rokok, ventilasi rumah dan kepadatan
disebabkan kerena seorang bapak merokok dekat dengan anaknya, kemudian asap
terjadinya ISPA.
Selain dari pencemaran udara, sarana sanitasi rumah juga perlu dilakukan
kotoran manusia, dan penyediaan air (Azwar, 1990). Salah satu kriteria rumah sehat
adalah rumah tinggal yang memiliki luas lantai per orang minimal 10 meter persegi.
Pemukiman dan Prasarana Wilayah adalah kebutuhan ruang per orang dihitung
berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas tidur, makan, kerja,
duduk, mandi, kakus, cuci dan masak serta ruang gerak lainnya. Dari hasil kajian
pemerintah, kebutuhan ruang per orang adalah 9 meter persegi dengan perhitungan
salah satu persyaratan sehat adalah jika penguasaan lantai perkapitanya minimal 8
pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar, sehingga bakteri
penyebab penyakit ISPA yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar. Ventilasi juga
cairan dari kulit, oleh karena itu kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media
2003).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suryani,dkk tahun 2013 bahwa ada
merokok anggota keluarga di dalam rumah, dan penggunaan bahan bakar rumah
tangga dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Lubuk Buaya
Kota Padang. Penelitian Nur, A.Y. dan Lilis, S (2005 ) menyatakan bahwa sanitasi
alami (p = 0,047).
Penyebab lain faktor risiko terjadinya ISPA yang berasal dari individu anak,
diantaranya adalah status gizi, pemberian ASI eksklusif, dan status imunisasi dasar.
Status gizi dapat mempengaruhi kekebalan tubuh balita. Seorang balita dapat
lengkap. Hal ini sejalan dengan penelitian Damanik, P.E.G., dkk (2013)
menunjukkan bahwa ada hubungan status imunisasi dasar dengan kejadian ISPA
pada anak usia 12- 24 bulan di wilayah kerja puskesmas Glugur Darat (ρ = 0,037 ).
Baduta yang menderita ISPA kemungkinan besar 3,8 kali tidak memiliki imunisasi
dasar yang lengkap dibandingkan dengan baduta yang tidak menderita ISPA (OR =
3,763 ) dan ada hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada anak usia 12-24
bulan di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat (ρ=0,045). Baduta yang menderita
ISPA kemungkinan 3,3 kali status gizinya tidak baik dibandingkan baduta yang tidak
pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi atau peran aktif keluarga/
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara yang bersumber
dari Dinas kesehatan kabupaten Labuhanbatu, pola penyakit ISPA secara tahunan
mulai 2012 sampai 2015 menunjukkan bahwa pada tahun 2012 terdapat 19.832
kasus dengan trend rata – ratanya 0,43%, tahun 2013 sebanyak 11.287 kasus dengan
19.203 kasus dengan trend rata – ratanya 0.01% dan tahun 2015 sebanyak 18.901
kasus dengan trend rata-ratanya 0,55%. Salah satu penyumbang meningkatnya kasus
Haloban.
dengan jumlah rumah / bangunan menurut jenisnya yaitu rumah permanen sebanyak
550 rumah, rumah non permanen sebanyak 2712 rumah dan rumah dengan kondisi
darurat sebanyak 365 rumah. Total keseluruhan rumah yang ada di wilayah kerja
ISPA merupakan 10 penyakit tertinggi pada tahun 2016 dan menempati urutan
pertama kunjungan pasien yang terbanyak. Data yang diperoleh pada tahun 2016
menunjukkan bahwa terdapat 620 kasus penderita ISPA dan setiap bulannya terdapat
warga yang terkena ISPA. Dan data pada tahun 2015 terdapat 289 kasus. Wilayah
kerja puskesmas Tanjung Haloban kecamatan Bilah Hilir terdiri dari empat
Desa/Kelurahan yaitu Desa Selat Besar, Desa Tanjung Haloban, Desa Sungai Kasih
memiliki kondisi sanitasi lingkungan fisik rumah yang sangat tidak baik. Masih
terdapat rumah yang semi permanen dan kondisi tidak layak yang tidak sesuai
dengan baik, bahkan ada rumah dengan ventilasi yang sangat buruk. Terkadang
jendela yang jarang dibuka untuk pertukaran masuk dan keluarnya udara sehingga
meningkatkan kelembaban di dalam rumah yang tidak baik untuk kesehatan. Luas
mengatakan bahwa 8 ibu rumah tangga masih menggunakan anti nyamuk bakar
setiap malam dan kepala keluarga atau anggota keluarga lain yang memiliki
kebiasaan merokok baik di dalam maupun di luar rumah, Ada juga yang masih
Puskesmas Tanjung Haloban yang merupakan salah satu daerah dengan kasus ISPA
terbanyak yang setiap tahun terjadi, maka perlu dilakukan penelitian yang mampu
wilayah kerja puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir sehingga dapat
penyakit ISPA adalah penyakit tertinggi dari 10 penyakit terbesar. Dari peninjauan
lokasi, masih banyak rumah yang belum memenuhi syarat kesehatan, dimana sanitasi
memasak menggunakan kayu bakar dan kebiasaan kepala keluarga yang merokok di
dalam rumah.
1.3. Tujuan
fisik rumah, sumber pencemar dan karakteristik keluarga terhadap ISPA balita di
1.4. Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
kematian bayi dan sering menempati urutan pertama angka kesakitan balita.
(Widoyono, 2008).
diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI)
(Depkes RI, 2000). Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA) adalah radang akut
saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh bakteri, virus, maupun
riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Soemantri, 2008). Perbedaan
ISPA dengan Pneumonia yaitu ditandai apabila penderita ISPA menderita batuk-
batuk yang tidak menunjukan gejala frekuensi sesak nafas dan tidak menunjukan
Saluran pernafasan adalah organ yang mulai dari hidung, hingga ke alveoli beserta
akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari walaupun beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam penyakit ISPA dapat berlangsung lebih dari
14 hari, misalnya pertusis. Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan
yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis suatu tanda dan gejala
akut akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran pernafasan dengan
1. Bukan pneumonia, mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak
tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam. Contohnya common cold,
3. Pneumonia Berat, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas
disertai sesak nafas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam
a. ISPA ringan
Gejala ISPA ringan adalah adanya satu atau lebih tanda dan gejala seperti
batuk, pilek, serak yang disertai atau tanpa disertai panas atau demam,
pada telinga.
b. ISPA sedang
Gejala ISPA sedang adalah adanya gejala ISPA ringan ditambah satu atau
lebih tanda dan gejala seperti pernafasan cepat lebih dari 50 kali per menit
atau lebih (tanda utama) pada umur 1 tahun dan 40 kali per menit pada umur
1-5 tahun, panas 30 derajat celcius atau lebih, wheezing, keluar cairan dari
c. ISPA berat
Gejala ISPA berat adalah adanya gejala ISPA ringan dan sedang ditambah
satu atau lebih tanda dan gejala seperti penarikan dada ke dalam saat
penarikan nafas (tanda utama), adanya stidor atau pernafasan ngorok, dan
tidak mampu atau tidak mau makan. Tanda dan gejala lainnya adalah kulit
pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit yang disebabkan oleh bakteri. Namun
demikian, patogen yang paling sering menyebabkan penyakit ISPA adalah virus,
atau infeksi gabungan virus-bakteri. Sementara itu, ancaman ISPA akibat organisme
beberapa faktor.
infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan umum;
dan
(misalnya, gen penyandi toksin), dan jumlah atau dosis mikroba (ukuran
mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan
dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat
dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam membran
pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku
bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat
iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan
dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik
dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan
Gambaran klinik secara umum yang sering didapat adalah: rinitis, nyeri
konjungtivitis, suhu badan meningkat antara 4-7 hari disertai malaise, mialgia, nyeri
terjadi diare. Bila peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan adanya
Etiologi penyakit ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia.
(Ditjen PPM & PLP, 2004). Jamur : Aspergilus sp, Candida albican, Histoplasma,
Minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir, benda asing ( biji -
berikut ini :
a. Bersin
b. Batuk
lendir atau bahan iritan lainnya dari saluran nafas bagian bawah.
c. Nyeri Dada
Mekanisme pertahanan tubuh,rasa nyeri timbul bila ada jaringan tubuh yang
rusak dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara
d. Sesak Nafas
conditioner), droplet dan melalui tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus.
Penularan faringitis terjadi melalui droplet, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, jika
saat terjadi ISPA melalui virus, hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat
2. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk dan bersin-bersin.
3. Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah dicemari jasad
Pada infeksi virus, transmisi diawali dengan penyebaran virus ke darah sekitar
terutama melalui bahan sekresi hidung.Virus yang menyebabkan ISPA terdapat 10-
100 kali lebih banyak di dalam mukosa hidung dari pada mukosa faring. Dari
kesimpulan bahwa sebenarnya kontak hand to hand merupakan modus yang terbesar
bila dibandingkan dengan cara penularan aerogen (yang semula banyak diduga
Akut (P2 ISPA) lebih difokuskan pada paya penemuan secara dini dan tata laksana
kasus yang cepat dan tepat terhadap penderita pneumonia balita yang ditemukan.
balitasakit yang datang ke unit pelayanan kesehatan atau lebih dikenal dengan
penderita ISPA langsung ditangani di unit yang menemukan, namun bila kondisi
balita sudah berada dalam pneumonia berat sedangkan peralatan tidak mencukupi
maka penderita langsung di rujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap ( Depkes
RI, 2006 ).
jalan nafas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses
terjadinya batuk.
2. Saluran udara yang utuh dimana tidak ada hambatan saluran udara yang
kapiler.
3. Fungsi pergerakan dinding dada dan diafragma yang normal. Jika fungsi
tubuh.
6. Suatu sistem sirkulasi yang utuh dan pompa jantung yang efektif.
pengawasan terhadap struktur fisik yang digunakan sebagai tempat berlindung yang
dan penyediaan air. Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan
Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga (Notoatmodjo, 2003). Salah satu kualitas yang dapat
mencerminkan kesejahteraan rumah adalah kualitas material seperti jenis atap, lantai,
dan dinding terluas yang digunakan, termasuk fasilitas penunjang lain yang meliputi
luas lantai hunian, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar dan sumber
penenrangan. Rumah tinggal dikategorikan sebagai rumah layak huni apabila sudah
3. Cara perlindungan terhadap angin dan hujan, panas dan dingin, serangga serta
binatang-binatang lainnya.
(Chandra, 2007).
Letak rumah yang didirikan adalah amat penting artinya bagi kesehatan. Sebagai
contoh adalah sebuah rumah seyogianya tidak didirikan didekat tempat dimana sampah-
pembuangan sampah itu akan banyak lalat, serangga maupun tikus yang akan membawa
kuman-kuman penyakit. Demikian pula bila air hujan mengenangi tempat tersebut, atau
bila air tanah merembes ke dalam dinding rumah, maka sebagai akibatnya rumah akan
a. Ruangan yang cukup sehingga penghuninya tidak terlalu padat, terutama saat
rumah.
c. Mempunyai tempat untuk mandi dan mencuci pakaian serta alat-alat rumah
tangga lainnya dengan limbah rumah tangga yang digunakan untuk menyirami
d. Mempunyai tempat khusus untuk menyimpan makanan dan minuman yang dapat
diraih secara mudah, namun juga cukup aman dari gangguan debu, tikus,
pembuangan asap di atap rumah. Hal ini perlu agar dapat memperkecilkan
udara kotor atau asap yang berada di dalam rumah segera terbawa keluar.
i. Dinding dan pintu yang baik agar terlindung dari iklim yang buruk serta
gangguan binatang-binatang.
j. Kaca yang dapat dipasang pada pintu dan jendela serta kelambu yang dipasang
k. Atap tambahan atau beranda yang dapat digunakan untuk mengurangi panas
2.2.3. Ventilasi
Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat
diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan
dengan kondisi ventilasi. Oleh sebab itu ventilasi dapat dijadikan indicator rumah sehat
(Achmadi, 2008).
pertama adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga
oksigen yang berarti kadar karbondioksida menjadi racun. Fungsi kedua adalah untuk
membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri pathogen dan menjaga
agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007).
1) Ventilasi alam
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan yaitu: daya difusi dari gas-gas,
gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi
kelembabannya. Ventilasi alam yaitu jendela, pintu, dan lubang angin.Ventilasi yang
baik minimal 10% dari luas lantai; 5% ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)
2) Ventilasi buatan
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat
mekanis maupun elektrik.Alat-alat tersebut adalah kipas angin, exhauter dan AC (air
conditioner).
2.2.4. Pencahayaan
Rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan
masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas
lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah (Azwar, 1990). Pencahayaan alami
dianggap baik jika besarnya antara 60-120 Lux dan buruk jika kurang dari 60 Lux
sumber penyakit. Sinar matahari mengandung sinar ultraviolet yang bisa membunuh
2.2.5. Kelembaban
akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media
yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme antara lain bakteri, ricketsia dan virus.
2008).
2.2.6. Lantai
yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan
bakteri atau virus penyebab ISPA.Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan
kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi
paling tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik
Lantai rumah sangat penting untuk diperhatikan terutama dari segi kebersihan
dan persyaratan. Lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi karena jika musim
penyakit, termasuk bakteri penyebab ISPA. Sebaiknya lantai rumah tersebut dari
bahan yang kedap air dan mudah dibersihkan. Untuk mencegah masuknya air ke
(Prasetya, 2005).
lantai tanah akan berbeda dengan lantai ubin dan keramik bila ditinjau dari segi
kesehatan. Dinding tembok atau beton jauh lebih baik daripada anyaman bambu atau
daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan
yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat menyebabkan
penyakit pernafasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang
sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman
(Suryanto, 2003).
Dinding adalah pembatas, baik antara ruangan dalam dengan ruang luar
ataupun ruang dalam dengan ruang dalam yang lain. Bahan dinding dapat terbuat dari
Menurut Kepmenkes (1999) luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak
dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam 1 ruang tidur kecuali anak di bawah
umur 5 tahun. Banyak rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi
gangguan kesehatan. Misalnya rumah yang dibangun untuk dihuni oleh empat orang
tidak jarang dihuni oleh lebih dari semestinya. Dari segi kesehatan kepadatan ini
seperti tuberkolosis, influenza, dan maningitis ditularkan dari satu orang ke yang lain.
umum, kelembaban, dan polusi udara di dalam ruangan, tetapi sejauh mana infeksi-
paling banyak dari semua penyakit, semakin dikenal sebagai penyebab utama tingkat
kematian dan morbiditas.Infeksi pernafasan akut oleh karena bakteri dan virus,
dimasukkannya makhluk hidup, zat energi dan atau komponen lain ke udara oleh
kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi
pernapasan, menghirup gas oksigen ke paru-paru yang kemudian diserap oleh darah,
mengangkut oksigen), lalu diangkut ke seluruh tubuh sebagai pemasok oksigen bagi
sel-sel tubuh.Udara juga berfungsi untuk mempertahankan suhu tubuh agar dalam
berupa gas CO, CO 2 , NO, karbon, hidrokarbon, aldehide, dan Pb. Limbah industri
meliputi industri kimia, metalurgi, tambang, pupuk dan minyak bumi. Sisa
pembakaran dari gas alam, batubara, dan minyak, seperti asap,debu dan
sulfurdioksida. Pembakaran sisa pertanian, hutan, sampah, dan limbah reaktor nuklir
telah membunuh hampir 6 juta orang dan sebagai penyebab miliaran dolar
kecenderungan ini terus berlanjut, pada tahun 2030 tembakau akan membunuh lebih
dari 8 juta orang di seluruh dunia setiap tahun (WHO Report on The Global Tobacco
Epidemic, 2011).
yang bermakna antara merokok didalam rumah dengan kejadian ISPA. Orang yang
tinggal serumah dengan perokok mempunyai risiko 2,96 kali untuk menderita ISPA
dibandingakan orang yang tinggal serumah dengan tidak ada anggota keluarga
merokok didalamnya.
15 tahun keatas yang mempunyai perilaku merokok setiap harinya adalah sebesar
28,2%. Kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh rokok merupakan bentuk
kelalaian yang disengaja. Kandungan asap rokok yang dikeluarkan oleh seorang
1. Side stream (aliran samping) : asap yang tidak berasal dari asap buangan rokok
yang keluar dari mulut perokok tetapi dari ujung rokok yang terbakar melalui
kertas.
2. Main stream (aliran utama) : asap rokok yang berasal dari buangan mulut
Lingkungan berasap rokok adalah campuran asap side stream dan asap main
stream. Lingkungan dalam rumah yang berasap rokok mengganggu kenyamanan dan
penyakikt seperti : jantung koroner, kanker, penyakit paru obstruktif kronik, termasuk
penyakit ISPA dan pneumonia. Pada rokok terdapat lebih dari 4000 jenis senyawa,
banyak diantaranya telah terbukti bersifat racun atau menimbulkan kanker serta
serta partikulat yang meruupakan beberapa bahan yang terkandung dalam rokok
(Kusnoputranto, 2000).
Dampak pencemaran udara saat ini merupakan masalah serius yang dihadapi
langsung terhadap kesehatan manusia saja, akan tetapi juga dapat merusak
Menurut para ahli, pada sekitar tahun 2000-an kematian yang disebabkan oleh
pencemaran udara akan mencapai angka 57.000 orang per tahunnya. Selama 20 tahun
angka kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara naik mendekati 14% atau
Bahan bakar pada umumnya dibakar di api terbuka atau di tungku tanah liat
atau logam sederhana. Kombinasi pembakaran api secara terbuka atau tungku yang
rumah bervariasi, sangat umum ditemukan kadar yang beberapa kali lebih tinggi dari
standar pedoman WHO. Dengan menggunakan tungku-tungku yang lebih baik dengan
ventilasi dan cerobong asap dapat menurunkan emisi partikel yang tersuspensi sampai
inhalasi asap. Keparahan risiko dari inhalasi asap dipengaruhi oleh lama dan tingkat
pemaparan. Pemaparan terhadap karsinogen dalam emisi dari kebakaran bahan biomassa
waktu 2-4 jam sehari di depan tungku terpapar oleh partikel tersuspensi dan
fungsi paru, dan pada tahap lebih lanjut, prevalensi 6 kali lipat lebih tinggi menderita cor
sangat terpapar oleh asap karena mereka berada bersama ibu-ibu mereka selama
penyiapan api di tungku dan memasak.Pemaparan ini jika disertai malnutrisi dapat
ruangan (indoor). diantaranya anak, bayi, orang tua dan penderita penyakit kronis,
waktu tinggal di dalam lebih banyak. Bahan polutan di dalam rumah, tempat kerja,
selain dapat berasal dari penetrasi polutan dari luar ruangan, dapat pula berasal dari
sumber polutan di dalam ruangan, seperti asap rokok, asap yang berasal dari dapur,
atau pemakaian obat anti nyamuk. Sumber lain dari bahan polutan di dalam
perlengkapan lainnya yang dibawa masuk ke dalam rumah dari tempat kerja.
3. Stuktur gedung
(Mukono, 2006).
menyebabkan terjadinya:
saluran pernafasan.
7. Akibat dari semua hal tersebut di atas, akan menyebabkan terjadinya kesulitan
dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan dan hal ini akan memudahkan
Status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang
yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu
(Soekirman, 2000).
aktifitas tubuh. Tanpa asupan gizi yang cukup, maka tubuh akan mudah terkena
makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan
tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian
pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makanan, maka daya tahan tubuhnya
akan melemah sehingga mudah terserang penyakit. Keadaan gizi kurang dapat
ibu harus dapat memberikan makanan yang kandungan gizinya cukup, tidak harus
mahal, bisa juga diberikan makanan yang murah, asalkan kualitasnya baik.
Rendahnya status gizi disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu :
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dan kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi
keluarga yang rendah merupakan penyebab kurang gizi pada anak, karena jika anak
sudah jarang makan, maka otomatis akan kekurangan gizi (Almatsier, 2003).
Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tumbuh dan berkembang
dengan baik, berat dan tinggi badannya akan selalu bertambah, sedangkan keadaan
gizi yang buruk akan muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya
ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi
buruk dan infeksi, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia.
Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan
dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Dalam
keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan
diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh
serangan infeksi menjadi menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita
tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan
Menurut penelitian Rosalina (2010) bahwa anak balita yang gizinya kurang
mempunyai risiko 6,5 kali menderita ISPA dibanding anak balita yang gizinya baik.
Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten.Anak yang
upaya pemberian kekebalan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi. Bayi yang baru
lahir biasanya mempunyai kekebalan alami terhadap difteri dan campak hingga usia
4-9 bulan. Kekebalan alami diperoleh dari ibunya ketika dalam kandungan
(Almatsier, 2003).
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak, maka
peningkatan cakupan imunisasi akan berperan dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk
lengkap.Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi
faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan
balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Supartini, 2004). Menurut
penelitian Lisdianti, Saparwati dan Choiriyah (2015) menunjukkan bahwa ada hubungan
antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak usia balita dengan nilai p value
= 0,001. Anak yang mendapatkan imunisasi lengkap lebih rendah mengalami kejadian
kependudukan dapat digambarkan dalam teori simpul yang dikutip dari Achmadi (2010):
Media Transmisi
gangguan penyakit melalui kontak secara langsung atau media perantara. Misalnya :
Media transmisi tidak akan memiliki potensi penyakit kalau di dalamnya tidak
mengandung bibit penyakit atau pejamu penyakit. Komponen lingkungan yang dapat
b. Air
c. Tanah/ pangan
d. Binatang/serangga
e. Manusia/langsung
penyakit jika didalamnya terdapat bakteri Salmonella typhi, bakteri Vibrio cholera,
atau air tersebut mengandung bahan kimia beracun seperti pestisida, logam berat, dan
lainnya. Demikian pula, udara dikatakan berbahaya kalau mengandung racun atau
jamur. Udara dikatakan sehat atau air dikatakan bersih kalau di dalamnya tidak
jumlah pestisida yang mengenai kulit seorang petani ketika sedang menyemprot
cadmium, dan sebagainya. Perilaku orang per orang antara lain dipengaruhi oleh
pendidikan, pengetahuan, tinggi badan, berat badan, gender, pengalaman dan lain
sebagainya. Agent penyakit yang mammsuk ke dalam tubuh dengan cara-cara yang
khas. Ada tiga jalan route of entry, yaitu : sistem pernafasan, sistem pencernaan dan
dikatakan sakit jika salah satu maupun bersama mengalami kelainan dibandingkan
rata-rata pnduduk lainnya. Bisa kelainan bentuk atau kelainan fungsi, sebagai hasil
simpul 5, yakni variabel iklim, topografi, temporal dan suprasistem lainnya, yakni
keputusan politik berupa kebijakan makro yang bisa mempengaruhi semua simpul.
Iklim berperan dalam proses kejadian penyakit. Variabel yang membentuk cuaca
maupun iklim adalah suhu, kelembaban, angin serta kondisi spasial. Misalnya
pegunungan, pantai, daerah tropis, subtropis, musim kemarau dan musim hujan.
pula pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi
kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya
(empat) macam faktor yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan hereditas.
Faktor lingkungan dan perilaku merupakan faktor terbesar yang berpengaruh terhadap
menularkan dan munnculnya suatu penyakit, baik menular maupun tidak menular.
Usaha memperbaiki kondisi lingkungan bervariasi dan bertingkat dari yang sederhana
lingkungan antara lain penyakit disebabkan oleh faktor lingkungan serta perilaku
hidup bersih dan sehat yang masih rendah. Berdasarkan aspek sanitasi tingginya
angka penyakit berbasis lingkungan karena tidak terpenuhinya kebutuhan air bersih
masyarakat, pemanfaatan jamban yang masih rendah, udara karena limbah rumah
tangga, limbah industri, limbah pertanian, sarana transportasi, serta lingkungan fisik
sehat H.L.Blum memandang pola hidup sehat tidak dilihat dari sudut pandang
Faktor Genetik
dan La Richt (1950). Model ini menunjukkan bahwa timbul atau tidaknya penyakit
pada manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu host, agent dan environment.
manusia (host)
Environment
Faktor Lingkungan
• Ventilasi
Agent
• Pencahayaan
• Kelembaban Virus
• Kepadatan Hunian Bakteri
• Lantai
• Konstruksi Dinding ISPA pada
Balita
• Pencemaran Udara
dalam Rumah
Variabel Independen
1. Ventilasi
2. Pencahayaan
3. Kelembaban
4. Kepadatan Hunian
5. Lantai
6. Konstruksi Dinding
Karakteristik Keluarga
1. Status gizi
2. Status Imunisasi
3. Sosial ekonomi
sebagai berikut:
2. Ada hubungan antara sumber pencemaran udara (riwayat merokok keluarga dan
jenis bahan bakar untuk memasak) dengan kejadian ISPA pada balita di
3. Ada hubungan antara karakteristik keluarga (status gizi, status imunisasi dan
sosial ekonomi) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan desain cross sectional yaitu
untuk mengetahui pengaruh lingkungan fisik rumah dan sumber pencemar serta
dikarenakan :
1. Terdapat kasus ISPA yang terjadi setiap bulannya di Wilayah Kerja Puskesmas
2. Sanitasi lingkungan fisik rumah di wilayah kerja puskesmas ini masih banyak
4. Terdapat ibu rumah tangga yang masih masak menggunakan kayu bakar.
Waktu penelitian dilaksanakan mulai dari bulan April 2017 sampai Oktober
2017 di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten
Labuhanbatu.
3.3.1. Populasi
3.3.2 Sampel
𝑍𝑍 2 1 − 𝛼𝛼/2𝑃𝑃(1 − 𝑃𝑃)𝑁𝑁
𝑛𝑛 =
𝑑𝑑 2 ( 𝑁𝑁 − 1 ) + 𝑍𝑍 2 1 − 𝛼𝛼/2𝑃𝑃(1 − 𝑃𝑃)
Keterangan :
n = Jumlah sampel
𝑍𝑍 2 1 − 𝛼𝛼/2𝑃𝑃(1 − 𝑃𝑃)𝑁𝑁
𝑛𝑛 =
𝑑𝑑2 ( 𝑁𝑁 − 1 ) + 𝑍𝑍 2 1 − 𝛼𝛼/2𝑃𝑃(1 − 𝑃𝑃)
192,08
𝑛𝑛 =
2,9504
𝑛𝑛 = 65 ,103 = 65
65, maka dalam penelitian ini jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 65 balita
yang tersebar di wilayah kerja puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhanbatu.
yaituconsecutive sampling dimana semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria
diperlukan terpenuhi.
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung yaitu berupa data
karakteristik pada balita, kondisi lingkungan fisik rumah, kebiasaan merokok, dan
jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak melalui lembar observasi,
kuesioner maupun pengukuran secara langsung dengan menggunakan alat seperti lux
Data sekunder yang digunakan adalah data yang diperoleh dari Puskesmas
penyakit ISPA dari periode Januari sampai Desember Tahun 2015 dan 2016 ataupun
data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yaitu melalui buku-buku, referensi
penelitian.
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen dan variabel
independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian Infeksi Saluran
lantai dan konstruksi dinding), sumber pencemaran udara (riwayat merokok keluarga
dan jenis bahan bakar untuk memasak), Karakteristik balita (status gizi dan status
imunisasi) pada balita di wilayah kerja puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah
sebagai berikut :
pernafasan yang bersifat akut pada balita dengan adanya tanda-tanda klinis
2. Ventilasi adalah lubang angin yang berfungsi sebagai tempat pertukaran udara
3. Pencahayaan adalah tinggi intensitas dari cahaya matahari yang masuk kedalam
kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur minimal intensitasnya 60 Lux serta tidak
4. Kelembaban udara adalah kualitas udara banyaknya uap air yg dikandung oleh
udara di dalam kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur. yang berkisar antara 40-
70%.
5. Kepadatan hunian adalah rasio luas ruangan dengan jumlah penghuni. Luas
ruang tidur minimal 8 m² dan tidak dianjurkan lebih dari 2 orang dalam satu
6. Lantai adalah bagian dasar ruang rumah yang terbuat dari ubin/semen, papan dan
tanah.
7. Konstruksi dinding adalah struktur yang membatasi area rumah terbuat dari
8. Riwayat merokok keluarga adalah apabila ada seorang anggota keluarga yang
9. Jenis bahan bakar untuk memasak adalah apabila ibu rumah tangga yang
menggunakan kayu bakar atau bahan bakar lainnya untuk memasak setiap hari.
10. Status gizi balita adalah keadaan gizi balita saat dilakukan penelitian (dengan
pengukuran Antropometri).
11. Status Imnunisasi adalah jenis imunisasi yang sudah didapatkan oleh balita
12. Sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi responden dalam kelompok
pendapatan.
(ISPA) dan variabel independen adalah lingkungan fisik rumah ( luas ventilasi,
sumber pencemaran udara (riwayat merokok keluarga, jenis bahan bakar untuk
memasak), karakteristik balita (status imunisasi, status gizi balita) dan sosial
ekonomi.
I. Variabel Dependen
ISPA : Wawancara
1. Luas Ventilasi :
2. Pencahayaan :
a. Titik pengukuran dilakukan pada kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur.
b. Alat diletakkan ditengah ruangan (kamar tidur, ruang kelurga dan dapur),
d. Pilih kisaran Range yang akan diukur ( 2.000 lux, 20.000 lux atau 50.000 lux)
3. Kelembaban :
a. Titik pengukuran dilakukan pada kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur.
5.Lantai : Observasi
A. Editing
karena kemungkinan data yang masuk (raw data) atau data terkumpul itu tidak logis
B.Coding
menurut macamnya. Klasifikasi ini dilakukan dengan menandai atau memberi kode
C. Tabulasi
Pada tahap ini diperlukan ketelitian dan kehati-hatian agar tidak terjadi
D. Entry
Solutions (SPSS).
Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian, yang
2005). Analisa univariat bermanfaat untuk melihat apakah data sudah layak untuk
dilakukan analisa dengan melihat gambaran data yang dikumpulkan dan apakah data
sudah optimal.
b. Analisis Bivariat
dan variabel dependen dengan derajat kemaknaan α = 0,05. Apabila p value< 0,05
maka Ho ditolak dan apabila p value> 0,05 maka Ho gagal ditolak (Sastroasmoro,
2013).
c. Analisis Multivariat
kepercayaan 95%.
HASIL PENELITIAN
Kecamatan Bilah Hilir adalah salah satu dari beberapa kecamatan yang ada
dikabupaten Labuhan Batu, Terletak setelah timur ibu kota Kabupaten Labuhan Batu
Jumlah KK : 4329
54
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.2 Analisis Univariat
Hasil penelitian menunjukan bahwa 52balita (80%) dari 65 balita yang tinggal
Labuhan Batu Tahun 2017 yang menderita ISPA dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
menderita ISPA sebanyak 52 orang (80%), sedangkan yang tidak menderita ISPA
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Umur dan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja
Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017
Karakteristik Responden f %
Umur
1. < 3 Tahun 19 29,2
2. ≥ 3 Tahun 46 70,8
Total 65 100
Jenis kelamin
1. Laki-laki 30 46,2
2. Perempuan 35 53,8
Total 65 100
penelitian ini, karakteristik responden yang dilihat meliputi umur dan jenis kelamin.
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk lebih banyak pada
umur ≥ 3 tahun yaitu 46 orang (70,8%) sedangkan umur < 3 tahun sebanyak 19 orang
Variabel f Persentase
Ventilasi
a. Tidak Memenuhi Syarat 39 60
b. Memenuhi Syarat 26 40
Total. 65 100
Pencahayaan
a. Tidak Memenuhi Syarat 39 60
b. Memenuhi Syarat 26 40
Total 65 100
Kelembaban
a. Tidak Memenuhi Syarat 36 55,4
b. Memenuhi Syarat 29 44,6
Total 65 100
Kepadatan hunian
a. Tidak Memenuhi Syarat 29 36,9
b. Memenuhi Syarat 41 63,1
Total 65 100
Variabel F Persentase
Lantai
a. Tidak Memenuhi Syarat 28 43,1
b. Memenuhi Syarat 37 56,9
Total 65 100
Kontruksi dinding
a. Tidak Memenuhi Syarat 15 23,1
b. Memenuhi Syarat 50 76,9
Total 65 100
ventilasi didapat bahwa ventilasi lebih banyak di jumpai tidak memenuhi syarat yaitu
tidak memenuhi syarat yaitu 39 rumah (60%), berdasarkan variabel kelembaban lebih
variabel kepadatan hunian lebih banyak dijumpai memenuhi syarat yaitu sebesar 41
rumah (63,1%), berdasarkan variabel lantai lebih banyak di jumpai memenuhi syarat
tergolong buruk atau kurang layak huni. Hal ini dilihat dari hasil pengukuran ke
memenuhi syarat kesehatan yaitu lantai, konstruksi dinding dan kepadatan hunian.
merokok keluarga, dan jenis bahan bakar untuk memasak dapat dilihat sebagai
berikut.
Variabel f Persentase
Riwayat Merokok Keluarga
a. Tidak Beresiko 23 35,4
b. Beresiko 42 64,6
Total. 65 100
Bahan Bakar Memasak
a. Kayu Bakar 31 47,7
b. Minyak Tanah 34 52,3
Total 65 100
pencemaran udara diketahuai bahwa variabel riwayat merokok keluarga lebih banyak
dijumpai yang beresiko yaitu sebanyak 42 responden (64,6%) sedangkan yang tidak
Haloban tergolong tidak baik. Hal ini di lihat dari kebiasaan merokok kepala keluarga
maupun anggota keluarga yang masih sangat tinggi. Dan di dorong oleh sikap ibu
Variabel f Persentase
Status Gizi
a. Gizi Baik 47 72,3
b. Gizi Tidak Baik 18 27,7
Total 65 100
Status Imunisasi
a. Lengkap 57 87,7
b. Tidak Lengkap 8 12,3
Total 65 100
balita diketahui bahwa variabel dengan status gizi lebih banyak di jumpai dengan
kategori gizi baik yaitu sebanyak 47 balita (72,3%) sedangkan yang gizi tidak baik
dijumpai balita dengan imunisasi lengkap yaitu sebanyak 57 balita (87,7%), dan yang
terhadap variabel status gizi dan status imunisasi, maka dapat disimpulkan bahwa
untuk karakteristik balita sudah sangat baik. Petugas kesehatan sangat berperan aktif
Variabel f Persentase
Pendidikan
a. Tidak sekolah/tidak tamat SD 4 6,2
b. Tamat SD 3 4,6
c. Tamat SMP 5 7,7
d. Tamat SMA 51 78,5
e. Perguruan Tinggi 2 3,1
Total 65 100
Pekerjaan
a. Tidak Bekerja/IRT 7 10,8
b. Petani 43 66,2
c. Buruh 6,2
d. Swasta 8 12,3
e. PNS 3 4,6
Total 65 100
Penghasilan
a. Tinggi 29 44,6
b. Rendah 36 55,4
Total 65 100
banyak pada tingkat pendidikan yang tamatan SMA yaitu sebesar 51 orang (78,5%).
Sedangakan berdasarkan jenis pekerjaan responden lebih banyak pada jenis pekerjaan
4.3.1 Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian ISPA Pada Balita
kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa ada pengaruh yang signifikan antara
variabel ventilasi dan variabel pencahayaan terhadap kejadian ISPA pada balita di
Labuhan Batu Tahun 2017. Nilai PR kedua variabel adalah sama yaitu sebesar 7,50
memenuhi syarat perkiraan resikonya untuk terkena penyakit ISPA sebesar 7,50 kali
dibanding dengan ventilasi dan pencahayaan yang memenuhi syarat kesehatan. Hasil
uji variabel kelembaban terhadap kejadian ISPA pada balita diperoleh ada pengaruh
yang signifikan antara variabel kelembaban terhadap kejadian ISPA pada balita di
Labuhan Batu Tahun 2017. Nilai PR diperoleh sebesar 5,78 (95% CI=1,416-23,672)
risikonya untuk terkena penyakit ISPA sebesar 5,78 kali dibanding dengan
Hasil uji variabel kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada balita
hunian terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung
Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017. Hasil uji
variabel lantai terhadap kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa tidak ada
pengaruh yang signifikan antara variabel lantai terhadap kejadian ISPA pada balita di
Labuhan Batu Tahun 2017. Hasil uji variabel konstruksi dinding terhadap kejadian
ISPA pada balita diperoleh bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel
konstruksi dinding terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017.
Tabel 4.7. Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017 dengan Uji Chi Square
Keterangan :
MS : Memenuhi Syarat
kejadian ISPA pada balita menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara
variabel riwayat merokok terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun
merokok yang beresiko perkiraan resikonya untuk terkena penyakit ISPA sebesar
10,00 kali dibanding dengan riwayat merokok yang tidak beresiko. Hasil uji variabel
jenis bahan bakar terhadap kejadian ISPA pada balita menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh yang signifikan antara variabel jenis bahan bakar terhadap kejadian ISPA
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Berdasarkan hasil penelitian status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel status gizi
terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Haloban
status imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa tidak ada
pengaruh yang signifikan antara variabel jenis bahan bakar terhadap kejadian ISPA
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
Pendidikan
a. Rendah 1 8,3 11 91,7 12 100 0,263 0,311
b. Tinggi 12 22,6 41 77,4 53 100 (0,O36-2,655)
Pekerjaan
a. Tidak bekerja 2 28,6 5 71,4 7 100 0,548 1,709
b. Bekerja (0,292-9,997)
11 19,0 47 81,0 58 100
pada balita diperoleh nilai p<0,05, artinya bahwa ada hubungan yang signifikan
antara variabel sosial ekonomi terhadap kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun
dibanding dengan sosial ekonomi yang tinggi. Pendidikan ibu tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA dengan RP sebesar 0,311 (95%CI =
0,036-2,655). Sedangkan untuk variabel status pekerjaan, dari hasil uji statistik
pada balita menggunakan uji regresi logistik ganda (multiple logistic regression),
karena variabel terikatnya 2 kategori yaitu tidak ISPA dan ISPA. Regresi logistik
ganda untuk menganalisis pengaruh beberapa variabel bebas terhadap variabel terikat
kategorik yang bersifat dikotomi atau binary. Variabel yang dimasukkan dalam
model prediksi regresi logistik ganda adalah variabel yang mempunyai nilai p<0,25
pada analisis bivariatnya. Analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda
(multiple logistic regression) untuk mencari faktor yang dominan yang berpengaruh
1. Melakukan analisis pada model deskriptif pada setiap variabel dengan tujuan
variabel independen terdapat nilai p < 0,25 yang bervariasi dimasukan kedalam
Tabel 4.11 Hasil Seleksi Variabel yang dapat Masuk dalam Model
Regresi Logistik Ganda
pencahayaan, kelembaban, kepadatan hunian, riwayat merokok, status gizi dan sosial
ekonomi memiliki nilai p<0,25 sehingga dapat masuk dalam model regresi logistik
ganda.
Variabel p-value
Ventilasi 0,002
Pencahayaan 0,002
Kelembaban 0,009
Kepadatan Hunian 0,247
Riwayat Merokok 0,000
Status Gizi 0,072
Sosial Ekonomi 0,009
ekonomi . Sedangkan variabel yang tidak masuk sebagai kandidat adalah lantai,
kontruksi dinding, jenis bahan bakar dan status imunisasi. Hasil uji regresi logostik
Tabel 4.13 Model Regresi Logistik Tahap Pertama terhadap Kejadian ISPA
Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah
Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017
95% CI
Variabel B P Exp B
Lower Upper
Ventilasi 1,773 0,121 5,891 0,625 55,514
Pencahayaan 2,011 0,035 7,469 1,156 48,257
Kelembaban 2,135 0,063 8,455 0,892 80,106
Kepadatan Hunian 0,591 0,637 0,554 0,048 6,432
Riwayat Merokok 1,944 0,034 7,344 1,163 46,368
Status Gizi 1,246 0,352 3,476 0,252 48,035
Sosial Ekonomi 0,132 0,910 1,141 0,118 11,030
Constant -2,410 0,013 0,090
dan status ekonomi tidak signifikan dikarenakan p> 0.05, sehingga variabel tersebut
dilakukan pengolahan tahap kedua dan hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.14 Model Regresi Logistik Tahap Kedua terhadap Kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah
Hilir Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2017
95% C.I
Variabel B Sig. PR
Lower Upper
Pencahayaan 2,171 0,008 8,771 1,775 43,338
Riwayat Merokok 2,444 0,003 11,517 2,360 56,198
Constant -0,796 0,190 0,451
metode enter menunjukkan bahwa variabel pencahayaan dengan nilai p=0,008 (p <
ISPA pada balita. Jika dilihat nilai PR hasil uji regresi logistik berganda diketahui
variabel riwayat merokok memiliki nilai PR tertinggi yaitu sebesar 11,517 (95%
variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita di
Labuhan Batu Tahun 2017, artinya responden yang memiliki riwayat merokok
beresiko memiliki peluang balita mengalami ISPA sebesar 11,517 kali lebih besar
1
p( y) =
1 + e − (α + β1X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3. + .......β 6 X 6) .
1
=
1 + 2,718 − ( −2, 458 + 1,959( X 1) + 2,032( X 2))
= 0,93
Keterangan:
dengan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat, maka dapat menjelaskan kejadian
PEMBAHASAN
Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu
Tahun 2017 mengalami ISPA. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian ISPA di
Labuhan Batu Tahun 2017, tergolong tinggi. Data lima provinsi dengan ISPA
tertinggi diantaranya Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%),
Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%) (Riskesdas, 2013). ISPA
adalah penyakit saluran pernapasan yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-
paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari. ISPA mengenai struktur saluran di atas
laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara
stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang
tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Penyakit ini lebih banyak
(Riskesdas, 2013).
kejadian ISPA balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu, didapatkan
signifikan antara ventilasi dengan kejadian ISPA. Hasil ini sejalan dengan hasil
penelitian Vita Ayu (2009) Hasil analisis statistik dengan uji Chi square untuk
pengaruh antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cepogo,
didapatkan nilai p (0,046) lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian terdapat
Kecamatan Bilah Hilir yang mempunyai ventilasi yang memenuhi syarat sebanyak 16
rumah (61,5%) dan ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 36 rumah
(92,3%), sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai ventilasi yang
memenuhi syarat sebanyak 10 rumah (38,5%) dan ventilasi yang tidak memenuhi
syarat sebanyak 3 rumah (7,7%). Hal ini dapat disebabkan karena ventilasi atau
jendela pada rumah responden rata-rata tidak dibuka pada siang hari dan masih
banyak jendela pada rumah responden berbahan kaca yang tidak bisa dibuka,
sehingga proses pertukaran udara pada rumah tidak lancar. Fungsi ventilasi sebagai
jalur saluran keluarnya polusi dari dalam rumah. Jika ruangan yang berpolusi tidak
terdapat ventilasi, maka asap maupun polusi tersebut akan terperangkap didalam
ruangan dan ruangan menjadi pengap sehingga tidak nyaman untuk bernapas.Adanya
pertukaran udara yang baik, terjaganya kadar Oksigen di dalam rumah serta udara
yang segar tentu akan berpengaruh terhadap kesehatan para penghuni yang tinggal di
rumah tersebut.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di kecamatan Sario kota Manado
rata-rata tidak di buka pada siang hari, sehingga proses keluar masuknya udara tidak
udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis.
Penyakit ISPA umumnya disebabkan oleh bakteri dan virus dimana proses
penularannya melalui udara. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar
dapat dengan mudah masuk ke dalam rumah. Ventilasi yang kurang baik dapat
meningkatkan paparan asap (Krieger dan Higgins, 2002 dalam penelitian Triska
Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu belum memiliki ventilasi yang baik, sehingga
sinar matahari pagi tidak memungkinkan masuk. Hal ini sejalan dengan penelitian
Basuki (2008) yang menyatakan bahwa ventilasi rumah merupakan salah satu
komponen dari rumah sehat. Tetapi pada kasus penyakit utamanya pada saluran
pernafasan, faktor sanitasi fisik rumah yang berkaitan dengan penyediaan dan ukuran
ventilasi tidak memegang peranan penting dalam penularannya. Penelitian lain oleh
Mahalastri (2014) juga menyatakan bahwa luas ventilasi mempunyai hubungan yang
lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian terdapat pengaruh yang signifikan
antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian ISPA. Berdasarkan hasil analisis
kejadian ISPA pada balita jika dibandingkan dengan responden yang mempunyai
pencahayaan berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Yusuf (2014) di kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli, yang
menyimpulkan bahwa ada hubungan antara pencahayaan alami dengan kejadian ISPA
pencahayaan alami rumah yang memenuhi syarat sebanyak 16 rumah (61,5%) dan
pencahayaan alami rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 36 rumah (92,3%),
sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai pencahayaan alami rumah
yang memenuhi syarat sebanyak 10 rumah (38,5%) dan pencahayaan alami rumah
yang tidak memenuhi syarat sebanyak 3 rumah (7,7%). Intensitas pencahayaan alami
rumah dapat di pengaruhi oleh luas ventilasi dan jendela rumah yang dibuka setiap
hari.Hal ini akan berdampak buruk terhadapkesehatan penghuni rumah tersebut jika
jendela kurang luas dan jarang dibuka pada siang hari, tidak memiliki ventilasi
rumah, dan kebanyakan rumah menghadap ke arah barat dan utara. Pencahayaan
hari yang berasal dari sinar matahari langsung yang masuk melalui jendela, ventilasi ,
atau genteng kaca minimal 10 menit perhari. Cahaya matahari penting, karena selain
kelembaban ruangan dalam rumah (Azwar, 1990). Penelitian ini sejalan dengan
Basuki (2008) yang menyatakan bahwa dengan masuknya sinar matahari hanya
melalui jendela dan ventilasi, maka terbatas pula ruangan yang tersinari matahari
ruangan dan efek sinar ultraviolet untuk membunuh kuman penyakit menjadi terbatas.
antara 60–120 lux dan buruk jika kurang dari 60 lux atau lebih dari 120 lux. Hal yang
perlu diperhatikan dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar sinar matahari
dapat langsung masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain.
Fungsi jendela di sini, di samping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya.
Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar
matahari lebih lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding), maka sebaiknya
dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan
Batu, didapatkan nilai p (0,009) lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian
terdapat pengaruh yang signifikan antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA.
menunjukkan ada pengaruh bermakna antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada
balita namun berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan Sinaga (2012)
dimana ditemukan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara kelembaban dengan
kejadian ISPA pada balita. Sesuai dengan teori kelembaban dimana kelembaban
rumah yang lembab akan mudah ditumbuhi oleh kuman- kuman yang dapat
Batu yang mempunyai kelembaban rumah yang memenuhi syarat sebanyak 19 rumah
(65,5%) dan kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 33 rumah
rumah yang memenuhi syarat sebanyak 10 rumah (34,5%) dan kelembaban rumah
yang tidak memenuhi syarat sebanyak 3 rumah (8,3%). Hal ini kelembaban rumah
dipengaruhi oleh ventilasi rumah yang tidak baik, lantai yang tidak kedap air dan
menghasilkan debu. Rumah yang lembab memungkinkan tikus dan kecoa membawa
bakteri dan virus yang semuanya dapat berperan dalam memicu terjadinya penyakit
pernafasan dan dapat berkembang biak dalam rumah (Krieger dan Higgins, 2002).
yang baik bagi pertumbuhan bakteri-bakteri penyebab ISPA. kelembaban rumah yang
tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan
dianggap baik jika memenuhi 40-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari
70%. Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak
lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga
kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah yang memiliki kelembaban udara tinggi
memungkinkan adanya tikus, kecoa dan jamur yang semuanya memiliki peran besar
kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu,
didapatkan nilai p (0,247) lebih besar dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak
terdapat pengaruh yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA.
Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu
(32,8%) dan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat sebanyak 21 rumah
(19,2%), sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai kepadatan yang
memenuhi syarat sebanyak 10 rumah (8,2%) dan kepadatan hunian yang tidak
Kepadatan hunian dalam penelitian ini adalah perbandingan luas lantai dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah. Luas lantai bangunan rumah sehat harus
cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus
penularan penyakit ISPA terjadi karena adanya kontak antara penderita dengan
penghuni rumah yang lain. Kemungkinan kontak ini menjadi lebih besar pada rumah
yang padat penghuninya. Kepadatan hunian pada umumnya sudah memenuhi syarat.
dan Higgins, 2002. Dalam penelitian Triska Susila Nindya FKM Universitas
intensif terjadi sehingga memudahkan menular pada anggota keluarga lain. Penelitian
besar memiliki rumah dengan kondisi fisik yang baik, tetapi jumlah penghuni dalam
satu rumah tidak sebanding dengan luas rumah yang mengakibatkan kepadatan
hunian untuk tiap jiwa mengalami overcrowded atau perjubelan. Hal tersebut dapat
menjadi salah satu pemicu timbulnya penyakit ISPA. Penelitian ini juga sejalan
tentang persyaratan Kesehatan Perumahan ditetapkan bahwa luas ruang tidur minimal
8 m² , dan tidak dianjurkan digunakan oleh lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang
kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu,
didapatkan nilai p (0,316) lebih besar dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak
terdapat pengaruh yang signifikan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA.
yang mempunyai lantai rumah yang memenuhi syarat sebanyak 28 rumah (75,7%)
dan lantai rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 24 rumah (85,7%),
sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai lantai rumah yang
memenuhi syarat sebanyak 9 rumah (24,3%) dan lantai rumah yang tidak memenuhi
syarat sebanyak 4 rumah (14,3%). Hal ini disebabkan karena lantai rumah responden
Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Toanabun (2003) yang mengadakan
penelitian di Desa Tual, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, hasil
penelitian menunjukkan bahwa lantai rumah rata-rata di Desa Tual memakai jenis
lantai semen dan tanah. Lantai yang baik harus kedap air, tidak lembab, bahan lantai
mudah dibersihkan dan dalam keadaan kering dan tidak menghasilkan debu (Ditjen
PPM dan PL, 2002). Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA
karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk
perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai
yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan
mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau
dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM dan PL, 2002).
kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu,
didapatkan nilai p (0,462) lebih besar dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak
Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu
yang mempunyai kontruksi dinding rumah yang memenuhi syarat sebanyak 39 rumah
(40%) dan kontuksi rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 13 rumah (12%),
sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai kontruksi rumah yang
memenuhi syarat sebanyak 11 rumah (10%) dan kontruksi dinding rumah yang tidak
disebabkan karena penghasilan keluarga yang cukup. Rumah yang berdinding tidak
rapat seperti bambu, papan atau kayu dapat menyebabkan ISPA, karena angin malam
langsung masuk ke dalam rumah. Jenis dinding yang mempengaruhi terjadinya ISPA
debu pada dinding, sehingga dinding akan dijadikan sebagai media yang baik bagi
dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan
Batu, didapatkan nilai p (0,000) lebih kecil dari nilai α (0,05), dengan demikian
terdapat pengaruh yang signifikan antara riwayat merokok dengan kejadian ISPA.
Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan metode enter bahwa riwayat merokok
balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu, dengan p value 0,003,
merokok beresiko mempunyai peluang 11,517 kali terhadap kejadian ISPA pada
balita jika dibandingkan dengan responden yang riwayat merokok tidak beresiko.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Karlinda dan Warni (2012) di Bengkulu, ada
hubungan yang bermakna antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan
kejadian ISPA pada balita. Penelitian Wardani menyatakan bahwa ada hubungan
dengan kekuatan hubungan sedang antara paparan asap rokok dengan kejadian ISPA
pada balita di Desa Pucung Rejo. Sumber asap rokok di dalam ruangan (indoor) lebih
yang rentan terhadap asap rokok adalah anak-anak, karena mereka menghirup udara
lebih sering dari pada orang dewasa. Berbeda dengan penelitian Taisir (2005), tidak
ada hubungan yang bermakna status kebiasaan merokok dalam rumah dengan
kejadian ISPA pada bayi dan anak balita. Adapun penelitian Chahaya dan Nurmaini
(2005) di Deli Serdang, tidak ada pengaruh yang signifikan keberadaan perokok
sebanyak 39 rumah (92,9%) dan riwayat merokok yang tidak beresiko sebanyak 13
rumah (56,5%), sedangkan responden yang tidak terkena ISPA mempunyai riwayat
merokok beresiko sebanyak 3 rumah (7,7%) dan riwayat merokok yang tidak
dan anak-anak dapat meningkatkan risiko bayi mengalami kondisi kesehatan yang
paparan kepada anak sebagai perokok pasif terutama lingkungan yang tertutup.
Lingkungan rumah didukung oleh kondisi ventilasi terutama dalam keterpaparan asap
rokok. Sebagian besar anak balita terpapar asap rokok dikarenakan ventilasi rumah
tidak memenuhi syarat kesehatan (92.3%). Anak yang orang tuanya merokok akan
sering merokok di dalam rumah sehingga penghuni rumah terutama balita terpapar
asap rokok. Keterpaparan asap rokok pada balita sangat tinggi pada saat berada dalam
rumah. Hal ini disebabkan karena anggota keluarga biasanya merokok dalam rumah
pada saat bersantai bersama anggota, misalnya sambil nonton TV atau setelah selesai
dalam rumah sangat dipengaruhi dari sikap dan tindakan seorang ibu dalam
mendalam diperoleh dalam jenjang pendidikan PT. Adapun anak yang terpapar asap
rokok dikarenakan responden bekerja sebagai petani (66,2%). Profesi sebagai petani
setiap istirahat dalam rumah waktu bekerja langsung merokok. Sebagian ibu balita
telah memberikan nasihat dan melarang anggota keluarganya terutama suami agar
tidak merokok di dalam rumah. Namun anggota keluarga mereka tidak dapat
perokok mengandung bahan pencemar dan partikulat berbahaya, bahaya rokok ini
bukan saja pada perokoknya tetapi juga berbahaya bagi orang yang menghisap
asapnya (perokok pasif). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa balita yang tinggal
di rumah dengan adanya perokok dalam rumah lebih rentan terserang penyakit ISPA.
gangguan kesehatan. Asap rokok tersebut akan meningkatkan risiko pada balita untuk
mendapat serangan ISPA. Asap rokok bukan hanya menjadi penyebab langsung
kejadian ISPA pada balita, tetapi menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya
dapat melemahkan daya tahan tubuh balita. Asap rokok dapat menurunkan
kemampuan makrofag membunuh bakteri. Asap rokok juga diketahui dapat merusak
anggota keluarga yang merokok terbukti merupakan faktor risiko yang dapat
Menghirup udara yang mengandung asap rokok yang dihasilkan bila orang
lain merokok dapat disebut perokok pasif. Dalam prakteknya, semua bahan yang
dihirup perokok terdapat dalam asap yang dikeluarkan dari ujung rokok yang terbakar
atau dihembuskan perokok. Walaupun kadar toksi lebih rendah karena pengeceran
telah mengelompokan asap rokok pasif ini sebagai karsinogen kelas A (human
carcinogent). Klasifikasi ini berarti sudah cukup data yang didapat dari studi
akibat yang paling serius dan telah ditunjukan dalam keluarga-keluarga perokok.
perokok, peningkatan gejala alergi, kondisi paru kronis dan sakit dada kesemuanya
telah dilaporkan termasuk pula sakit kepala, mual, radang mata dan hidung.
Pemaparan tak sengaja terhadap bahan-bahan yang ada dalam asap tembakau
mempengaruhi perkembangan janin wanita hamil yang merokok, serta bayi wanita
yang menyusui dan merokok. Banyak dari substansi-substansi yang dapat menembus
plasenta dan mencapai fetus, substansi lainnya terdapat dalam ASI. Beberapa dari
akibat pemaparan ini antara lain lahir mati, keguguran, kelahiran prematur, berat bayi
kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu,
didapatkan nilai p (0,901) lebih besar dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak
terdapat pengaruh yang signifikan antara jenis bahan bakar dengan kejadian ISPA.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Salmiati
menunjukkan bahwa ada pengaruh antara penggunaan bahan bakar biomassa dengan
kejadian ISPA. Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten
Labuhan Batu yang menggunakan jenis bahan bakar gas sebanyak 27 rumah (79,4%)
rumah (20,6%) dan yang menggunakan kayu bakar sebanyak 6 rumah (19,4%).
Besi (Fe), Mangan (Mn), Arsen (Ar), Cadmium (Cd) yang dapat menyebabkan iritasi
pada mukosa saluran napas sehingga saluran pernapasan mudah mengalami infeksi
menyebabkan sel epitel dan silianya mudah rusak sehingga benda asing yang masuk
pernapasan akan mengerut yang disebabkan oleh saraf-saraf yang terdapat di dalam
saluran pernapasan terganggu. Respon yang diberikan tubuh bila mengalami keadaan
tersebut adalah mengeluarkan sekret atau benda asing secara aktif melalui batuk
(Kassamsi, 2008).
terhadap asap kayu bakar dalam konsentrasi tinggi pada penghuni rumah, khususnya
balita. Rumah dengan dapur yang tidak memperhatikan aspek kesehatan dapat
mempengaruhi tingginya keterpaparan terhadap asap kayu bakar dengan dosis yang
tinggi. Dapur yang tidak dilengkapi dengan ventilasi dan letak dapur di dalam rumah
serta berdekatan dengan ruangan tempat balita tidur dan bermain dapat meningkatkan
kemungkinan balita untuk terpapar dengan asap kayu bakar dalam dosis tinggi. Hal
ini dimungkinkan karena anak balita lebih banyak berada di dalam rumah bersama-
sama ibunya (Syarif, 2009). Selain ventilasi dan letak dapur, faktor lain yang
mempengaruhi tinggi keterpaparan asap kayu bakar terhadap penghuni rumah adalah
Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu responden yang menggunakan bahan bakar
membeli gas terlalu mahal, dan bahan kayu bakar mudah untuk di cari.
terhadap kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan
Batu, didapatkan nilai p (0,072) lebih besar dari nilai α (0,05), dengan demikian tidak
terdapat pengaruh yang signifikan antara status gizi balita terhadap kejadian ISPA.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Valentina (2011) dimana dari
hasil penelitiannya didapatkan bahwa ada pengaruh status gizi terhadap kejadian
ISPA pada batita dengan nilai p 0,04. Demikian juga dengan hasil penelitian Candra
(2009) dimana terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan frekuensi
ISPA dengan p 0,01. Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir
Kabupaten Labuhan Batu yang status gizinya baik sebanyak 35 balita (37,6%) dan
yang status gizinya tidak baik sebanyak 17 balita (14,4%), sedangkan responden yang
tidak terkena ISPA yang status gizinya baik sebanyak 12 balita (9,4%) dan yang
status gizinya tidak baik sebanyak 1 balita (3,6%). Berdasarkan hasil ini
menunjukkan bahwa status gizi memegang peranan yang penting dalam upaya
kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ – organ serta menghasilkan
energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan terjadinya defisiensi
gizi yang merupakan awalan dari gangguan sistem kekebalan tubuh (Hardiana, 2014).
individu, kebiasaan atau pantangan, kesukaan jenis makanan tertentu, jarak kelahiran
Oleh karena itu salah satu cara untuk mencegah ISPA adalah dengan
status social ekonomi, pendidikan dan kesehatan reproduksi dan konsumsi pangan,
Kemenkes menyatakan bahwa untuk menanggulangi masalah gizi ini maka perlu
dilakukan konseling gizi dan penyuluhan kelompok. Konseling dan penyuluhan gizi
merupakan tugas ahli gizi di Puskesmas yang dapat dijadikan bekal bagi orang tua
balita atau keluarganya dalam melakukan perawatan dan pemberian gizi selanjutnya
gizi harus disesuaikan dengan kondisi balita dan di sampaikan secara jelas agar
mudah dimengerti.
kejadian ISPA pada balita, didapatkan nilai p (0,571) lebih besar dari nilai α (0,05),
dengan demikian tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara status imunisasi
dengan kejadian ISPA.. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Taisir (2005) di
Aceh Selatan menemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna status imunisasi
campak dan DPT dengan kejadian ISPA pada bayi dan balita. Berbeda dengan
penelitian yang di lakukan oleh Marhamah (2012) Hasil analisis uji chisquare
diperoleh nilai p = 0.045 menunjukkan bahwa ada pengaruh antara status imunisasi
terhadap kejadian ISPA pada anak balita. Ini didukung oleh penelitian Sukmawati
dan Sri (2010) di Maros dan penelitian Nasution (2009) di Jakarta menemukan ada
pengaruh bermakna antara pemberian imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita.
Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu
yang status imunisasinya lengkap sebanyak 45 balita (45,6%) dan yang status
tidak terkena ISPA yang status imunisasinya lengkap sebanyak 12 balita (11,4%) dan
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi. Dalam penurunan angka kejadian ISPA dengan
yang wajib dan imunisasi yang penting. Sebelum anak berusia di atas dua tahun
kelengkapan imunisasi dasar harus dipenuhi. Status munisasi yang diteliti pada anak
balita di Desa Bontongan dengan cara melihat KMS dan melakukan wawancara
imunisasinya lengkap apabila telah mendapat imunisasi secara lengkap menurut umur
dan waktu pemberian. Adapun anak balita yang imunisasinya tidak lengkap
dikarenakan belum memperoleh imunisasi campak dan HB0. Adapula anak balita
telah memperoleh lima imunisasi dasar namun tidak sesuai umur pemberian vaksin.
Sebagian besar imunisasi dasar yang diperoleh balita tidak tepat waktu adalah
imunisasi campak dan polio. Ada beberapa anak balita yang memperoleh imunisasi
keterangan dari ibu yang mempunyai anak balita, terkadang tidak rutin mengikuti
posyandu. Daya tahan tubuh anak yang rendah dapat mempengaruhi kejadian ISPA
pada balita yang telah memiliki imunisasi lengkap. Kemampuan tubuh seorang anak
untuk menangkal suatu penyakit dipengaruhi beberapa faktor yaitu: faktor genetik
dan kualitas vaksin. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sadono, dkk (2005) di
Blora, bayi yang tidak mendapat imunisasi sesuai dengan umur berisiko menderita
ISPA. Hubungan status imunisasi dengan ISPA pada balita tidak secara langsung.
faktor risiko ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi, imunisasi campak dan
DPT yang diberikan bukan untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap ISPA secara
langsung, melainkan hanya untuk mencegah faktor yang dapat memacu terjadinya
ISPA.
kejadian ISPA pada balita,didapatkan nilai p (0,009) lebih kecil dari nilai α (0,05),
kejadian ISPA.Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Resti (2008) bahwa ada
hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan kejadian ISPA dengan
nilai p- value 0,02. Hal ini juga senada dengan hasil Riskesdas (2013) bahwa
kejadian ISPA lebih cenderung terjadi pada masyarakat lapisan menengah ke bawah.
Responden yang terkena ISPA di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu
tinggi sebanyak 19 orang (65,5%), sedangkan responden yang tidak terkena ISPA
Hasil penelitian terhadap ibu yang mempunyai anak usia 1-2 tahundi
keluarga yang rendah ini tentunya akan menjadi salah satu penghambat bagi ibu
dalam memenuhi kebutuhan terutama asupan gizi keluarga dan juga untuk
bahwa ada hubungan status gizi dengan pendapatan keluarga dengan nilai p-value
0,01 dan OR 6,54. Walaupun pendapatan keluarga tidak dapat diubah oleh petugas
hidup yang sehat, konsumsi makanan yang bergizi tetapi tidak mahal, memberikan
dengan keadaan keluarga karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
diharapkan pengetahuan atau informasi tentang penyakit ISPA dan juga pelayanan
masyarakat sebagai hasil dari pendidikan kesehatan. Dari analisis bivariat didapatkan
bahwa pendidikan tidak ada hubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA pada
balita di Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu, dengan RP 0,311 (95%CI.
0,036-2,655). Hasil ini memberi gambaran bahwa tinggi rendahnya pendidikan ibu
penyakit.Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Annisa Firdausia
(2013) dimana dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa ada pengaruh pendidikan
akan meningkat pula pengetahuan seseorang sehingga meningkat pula informasi yang
diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka
semakin tinggi pula tingkat kebutuhan akan kesehatan, dan semakin rendah tingkat
pendidikan maka semakin sulit untuk menerima penyuluhan kesehatan oleh tenaga
untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan terhadap kesehatan anaknya agar
anaknya dapat terhindar dari penyakit. Tingkat pendidikan seorang ibu akan
penyuluhan yang diberikan oleh petugas kesehatan terutama tentang pencegahan dan
penanganan penyakit ISPA. Anak yang mengalami ISPA juga merupakan kondisi
dan peran pada diri ibu. Ibu akan berespon terhadap krisis ini dan akan memunculkan
reaksi untuk menyesuaikan diri, sehingga terjadilah proses belajar dari pengalaman.
Hasil dari penyesuaian ini akan membentuk karakter ibu yang berasal dari pola pikir
penyakit ISPA.
imbalan atau balas jasa. Hasil analisis bivariat didapatkan bahwa status pekerjaan
tidak ada hubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan
Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu, dengan RP 1,709 (95%CI. 0,292-9,997). Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Annisa Firdausia (2013) dimana dari
pencegahan ISPA pada balita. Sebuah penelitian yang dilakukan Aryanti (2010),
menunjukkan bahwa ibu yang tidak bekerja menghabiskan waktu 2,4 jam lebih
Status kerja ibu (tidak bekerja atau bekerja) dapat memengaruhi kesehatan
anak karena ibu yang bekerja memiliki waktu yang lebih sedikit untuk merawat
anak.Kerja mempengaruhi waktu luang ibu untuk bersama anak. Walaupun bekerja,
ibu tetap memegang tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga. Seorang ibu
yang bekerja memiliki tantangan lebih untuk memenuhi tugas dalam keluarga dan
tanggung jawab di dunia kerja. Ibu tentu saja harus menghabiskan waktu lebih lama
dengan anaknya. Namun, dapat terhambat karena adanya pembagian peran sebagai
seseorang yang merawat anak dan seseorang yang bekerja.Ibu sebagai pemeran utama
tangga, salah satunya merawat anak. Ibu yang bekerja tidak hanya memiliki waktu
yang lebih sedikit untuk merawat anaknya sendiri, kualitas perawatan juga dapat
menurun akibat stres terkait kerja dan lelah. Pekerjaan memang sangat dibutuhkan
Namun bagi ibu tentunya merawat anak dan mencegah terjadinya penyakit pada anak
juga penting, oleh karena itu perlu adanya pengaturan yang baik dalam keluarga
sehingga perannya sebagai ibu rumah tangga tidak terganggu walaupun dia juga
seorang pekerja.
dapat memengaruhi terjadinya penyakit ISPA pada balita. Oleh karena itu,
kerja sama yang optimal, inspeksi lingkungan dan intervensi kesehatan lingkungan
berkala sehingga upaya promoif, preventif dan kuratif pada kejadian ISPA,
khususnya penderita balita dapat terintegrasi dengan baik. Dalam hal ini, kerja sama
yang dibina baik dengan lintas sektor, partisipasi masyarakat serta tokoh-tokoh
lingkungan dengan tidak merokok didalam maupun di luar ruangan yang terdapat
balita disekitarnya. Karena salah satu meningkatnya kejadian ISPA pada balita adalah
Penelitian ini telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur ilmiah, namun masih
1. Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian ISPA pada balita dalam penelitian ini
hanya terdiri dari beberapa variabel, yaitu lingkungan fisik rumah ( ventilasi,
sumber pencemar (riwayat merokok keluarga dan jenis bahan bakar untuk
yang sebenarnya.
6.1 Kesimpulan
pada balita di wilayah kerja puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hiir
Kabupaten Labuhan batu adalah ventilasi dengan nilai p value 0,002 (<0,05),
pencahayaan dengan p value 0,002 (<0,05), dan kelembaban dengan p value 0,009
(<0,05). Sedangkan yang tidak berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita
adalah kepadatan hunian dengan p value 0,247 (>0,05), lantai dengan p value
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kecamatan Bilah Hilir
(<0,05).Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh adalah jenis bahan bakar yang
pada balita adalah sosial ekonomi dengan p value 0,009 (<0,05) sedangkan yang
tidak berpengaruh adalah status gizi dengan p value0,072 (>0,05) dan status
97
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita di
Labuhan Batu Tahun 2017 adalah variabel riwayat merokok dengan p value 0,003
6.2. Saran
pencahayaan ruangan, pembuatan ventilasi dan plesteran semen pada lantai tanah.
lingkungan terbebas dari asap rokok serta pencemaran lainnya yang dapat
layak dipakai sehingga kelembaban ruangan tetap terjaga sesuai standar kesehatan
lingkungan.
_________. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Annisa Firdausia. 2013. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Ibu dengan
Perilaku Pencegahan ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gan
Sehat Pontianak Tahun 2013.
Badan Pusat Statistik. 2015. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2015. Jakarta : BPS
Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2015. Bilah Hilir dalam Angka 2016. BPS
Kabupaten Labuhanbatu.
Basuki, Kartono. 2008. Hubungan Lingkungan Rumah dengan Kejadian Luar Biasa
(KLB) Difteri di Kabupaten Tasikmalaya (2005-2006) dan Garut Januari
2001Jawa Barat. Jakarta: Jurnal Kesehatan Universitas Indonesia.
Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta
99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Chandra. 2009. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi Balita di Klinik
Masjid Agung Jawa Tengah tahun 2008.
________. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat.Jakarta : Ditjen PPM dan
PLP.
Ditjen PPM dan PL. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat . Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Hardiana , HS. 2014. Pemanfaatan Gizi dan Obesitas. Yogjakarta: Nuha Medika.
Karlinda, Tri dan Warni, S. 2012. Hubungan Keberadaan Anggota Keluarga Yang
Merokok Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Nusa Indah Kota Bengkulu Tahun 2010. Jurnal Akademi Kesehatan Sapta
Bakti Bengkulu. (Online) http://www.saptabakti.ac.id/ jo/index.php/jurnal/135-
hubungan-keberadaan- anggota-keluarga-yang-merokok-dengan-kejadian-ispa-
pada-balita-di-wilayah-kerja- puskesmas-nusa-indah-kota-bengkulu-tahun-
2010-tri-karlinda-warni-susilawati Diakses 27 Nopember 2017
Krieger. James. Donna L Higgins. (2002). Housing and Health : Time Again for
Public Health Action. American Journal of PublicHealth: May, Vol 92, No 5.
p 758-768.
________ RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar, Jakarta :Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
________ RI, 2015, Profil Kesehatan Indonesia 2014, Ditjen PP dan PL, Jakarta.
Mahalastri, N,D. 2014. Hubungan Antara Pencemaran Udara dalam Ruang dengan
Maryunani. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta :Trans info
media.
_______ , 2011, IlmuKesehatan Anak dalam Kebidanan, Jakarta : Trans Info Media.
Marhamah, A. 2012. Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Desa Bontangan Kabupaten Enrekang. Jurnal: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar.
Nasution,K.,Sjahrullah,M.A.R.,Brohet,K.E.,Wibisana,K.A.,Yassien,M.R.,Ishak,L.M.,
Pratiwi,L., Wawolumaja,C. 2009. Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di
Daerah Urban Jakarta. Jurnal Sari Pediatri, Vol. 11, No. 4, Desember 2009.
(Online) http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/11-4-1.pdf Diakses 30
Nopember 2017.
Nindya, Triska Susila. 2013. Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada anak Balita. Surabaya :FKM
Universitas Airlangga
Ningrum, E. K., 2011, Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Kepadatan
Hunian dengan Kejadian ISPA Non Pneumonia pada Balita di Wilayah
kerja Puskesmas Sungai Pinang, Jurnal Publikasi Kesehatan
Masyarakat Indonesia, Vol. 2 No.2, Agustus 2015, Fakultas Kedokteran
Unlam, diakses 12 April 2017;ppjp.unlam.ac.id.
Notoatmodjo, S., 2003, Prinsip – Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta
:Rineka Cipta.
Nur ,AY danLilis, S . 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik dengan Kejadia
nISPA Pada Balita, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 1 No.2. FKM UNAIR.
Oktaviana, Vita Ayu. 2009. Hubungan Antara Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) pada Balita Di Desa cepogo
Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. (Online) http://etd.eprints.ums.a
c.id/5965/1/J410050018.PDF Diakses 30 November 2017
Resti., 2008. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan
Atas (ISPA) pada Balita di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias
Tahun 2008.
Sadono. 2005. Bayi Berat Lahir Rendah Sebagai Salah Satu Faktor Risiko Infeksi
Saluran Pernafasan Akut Pada Bayi (Studi Kasus di Kabupaten Blora). Jurnal
Epidemiologi Universitas Diponegoro. (Online) http://eprints.undip.ac.id
/5249/1/ Sadono_Wiwoho.pdf Diakses 29 September 2017.
Salmiati, 2005. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Bontobahari Kabupaten Bulukumba (skripsi).
FKM Unhas
Sastroasmoro, S., 2013, Dasar – Dasar Metodologi Klinis, Jakarta : Bina Rupa
Aksara.
Soolani, D.C; Umboh, J.M.L., danAkili, R.H., 2013, Hubungan antara Faktor
Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan (ISPA) pada Balita di Kelurahan Malalayang 1 Kota
Manado, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi.
Sukmawati dan Sri Dara. 2010. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir (BBL),
Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros .
Media Gizi Pangan, Vol. X, Edisi 2, Juli – Desember
2010(Online)http://jurnalmediagizipangan.files.wordpress. com/2012/04/3-
hubungan-status-gizi-berat-badan-lahir-bbl-imunisasi dengan-kejadian-
infeksi-saluran-pernapasan-akut-ispa-pada-balita-di-wilayah-kerja-
puskesmas-tunikamaseang-kabupaten-maros.pdf Diakses 5 28 Nopember
2017.
Suryanto, 2003. Hubungan Sanitasi Rumah dan Faktor Intern Anak Balita dengan
Kejadian ISPA pada Anak Balita. Skripsi. Surabaya: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga.
Toanabun, A. H., 2003. Pengaruh Kondisi Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku
Penduduk terhadap Kejadian Penyakit ISPA pada Anak Balita di Desa Tual
Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara Propinsi Maluku. Skripsi.
Surabaya : Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Wardani, N.K, Winarsih, S, Sukini,T, 2014, Hubungan Antara Paparan Asap Rokok
Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di
Desa Pucung Rejo Kabupaten Magelang Tahun 2014,Jurnal Kebidanan, Vol 4
No.8 ISSN.2089-7669.
WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian ISPA yang Cenderung Menjadi Epidemi
dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Nomor responden :
Nama :
Alamat :
Umur :
Jenis Kelamin :
1.Pendidikan :
b. Tamat SD
c. Tamat SMP
d. Tamat SMA
e. Perguruan Tinggi
2. Pekerjaan :
c. Buruh
d. Swasta
e. PNS
f. Lain-lain……………….....
No Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
1 Apakah selama 2 minggu terakhir ini anak ibu pernah
pertanyaan ke-2 )
a. Ya
2. Apakah saat berada didalam rumah, setiap harinya bapak / anggota keluarga
a. Ya
b. Tidak
3. Apakah ibu menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak ?
a. Ya
b. Tidak
memasak ?
a. Ya
b. Tidak
E. IDENTITAS BALITA
1. Nama Balita :
2. Gizi Baik
2. Lengkap
BCG……….Kali
DPT………..Kali
Polio………..Kali
Campak…….Kali
Hepatitis B…Kali
PENGARUH LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN SUMBER PENCEMAR SERTA KARAKTERISTIK KELUARGA TERHADAP ISPA BALITA
DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS TANJUNG HALOBAN KECAMATAN BILAH HILIR KABUPATEN LABUHAN BATU TAHUN 2017
SOS
PENC RIWA K
NO LUAS KEPADA KONSTRU K JENIS STATUS STATUS IAL
KOD AH KEL LAN YAT KO O KO KOD
RESPOND VENTIL KODE TAN KODE KODE KSI KODE OD BAHAN GIZI IMUNISAS EKO
JENIS E AYAA EM KOD TAI MERO DE D DE E
EN KODE UMUR KODE KODE ASI HUNIAN DINDING E BAKAR BALITA I NO
KELAMIN N BAP E KOK E
MI
AN
Tdk
Gizi Tdk Tdk Ting
1 ISPA 1 <3 1 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 TMS 1 Beresik 0 Kayu Bakar 1 1 1 0
Baik Lengkap gi
o
Beresik Rend
2 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Rend
3 ISPA 1 <3 1 Laki-Laki 1 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
ah
o
Beresik Gizi Tdk Rend
4 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 1 Lengkap 0 1
o Baik ah
Beresik Ting
8 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
o gi
Beresik Rend
9 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Beresik Rend
10 ISPA 1 >3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Gizi Tdk Rend
11 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 1 Lengkap 0 1
Baik ah
o
Tdk
Tdk Ting
12 0 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Tdk Beresik Ting
13 0 <3 1 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 1 0
ISPA o gi
Beresik Rend
14 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Beresik Rend
16 ISPA 1 <3 1 Laki-Laki 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Tdk Ting
17 0 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Tdk
Ting
18 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
gi
o
Tdk
Rend
19 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
ah
o
Beresik Ting
27 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
o gi
Tdk
Tdk Ting
28 0 >3 2 Perempuan 2 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Beresik Gizi Tdk Rend
29 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
o Baik ah
Beresik Rend
35 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Beresik Rend
36 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Beresik Rend
42 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Ting
43 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
gi
o
Tdk
Gizi Tdk Rend
44 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 1 Lengkap 0 1
Baik ah
o
Beresik Rend
46 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Beresik Ting
47 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
o gi
Beresik Rend
48 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Rend
49 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
ah
o
Beresik Gizi Tdk Rend
50 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
o Baik ah
Beresik Rend
51 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Ting
52 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
gi
o
Tdk
Tdk Gizi Tdk Rend
53 0 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
ISPA Baik ah
o
Beresik Rend
54 ISPA 1 <3 1 Laki-Laki 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 TMS 1 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Beresik Ting
55 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 MS 0 MS 0 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
o gi
Tdk
Ting
56 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
gi
o
Beresik Gizi Tdk Rend
57 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
o Baik ah
Tdk
Tdk Ting
58 0 <3 1 Laki-Laki 1 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Beresik Rend
59 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 TMS 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Beresik Ting
61 ISPA 1 <3 1 Perempuan 2 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
o gi
Tdk
Tdk Ting
62 0 >3 2 Perempuan 2 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Beresik Gizi Tdk Rend
63 ISPA 1 >3 2 Laki-Laki 1 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 MS 0 1 Kayu Bakar 1 1 Lengkap 0 1
o Baik ah
Beresik Rend
64 ISPA 1 >3 2 Perempuan 2 MS 0 TMS 1 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 1 Minyak Tanah 0 Gizi Baik 0 Lengkap 0 1
o ah
Tdk
Tdk Ting
65 0 <3 1 Laki-Laki 1 MS 0 MS 0 TMS 1 TMS 1 MS 0 MS 0 Beresik 0 Kayu Bakar 1 Gizi Baik 0 Lengkap 0 0
ISPA gi
o
Analisis Univariat
Umur Balita
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 3 Tahun 19 29,2 29,2 29,2
>= 3 Tahun 46 70,8 70,8 100,0
Total 65 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 30 46,2 46,2 46,2
Perempuan 35 53,8 53,8 100,0
Total 65 100,0 100,0
Luas Ventilasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 26 40,0 40,0 40,0
Tidak Memenuhi Syarat 39 60,0 60,0 100,0
Total 65 100,0 100,0
Pencahayaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 26 40,0 40,0 40,0
Tidak Memenuhi Syarat 39 60,0 60,0 100,0
Total 65 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 29 44,6 44,6 44,6
Tidak Memenuhi Syarat 36 55,4 55,4 100,0
Total 65 100,0 100,0
Kepadatan Hunian
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 41 63,1 63,1 63,1
Tidak Memenuhi Syarat 24 36,9 36,9 100,0
Total 65 100,0 100,0
Lantai
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 37 56,9 56,9 56,9
Tidak Memenuhi Syarat 28 43,1 43,1 100,0
Total 65 100,0 100,0
Kontruksi Dinding
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Memenuhi Syarat 50 76,9 76,9 76,9
Tidak Memenuhi Syarat 15 23,1 23,1 100,0
Total 65 100,0 100,0
Riwayat Merokok
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Beresiko 23 35,4 35,4 35,4
Beresiko 42 64,6 64,6 100,0
Total 65 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Gas 34 52,3 52,3 52,3
Kayu Bakar 31 47,7 47,7 100,0
Total 65 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Gizi Baik 47 72,3 72,3 72,3
Gizi Tidak Baik 18 27,7 27,7 100,0
Total 65 100,0 100,0
Status Imunisasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Lengkap 57 87,7 87,7 87,7
Tidak Lengkap 8 12,3 12,3 100,0
Total 65 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid P erc ent Percent
Valid Tidak S ekolah/ Tidak
4 6,2 6,2 6,2
Tamat SD
Tamat SD 3 4,6 4,6 10,8
Tamat SMP 5 7,7 7,7 18,5
Tamat SMA 51 78,5 78,5 96,9
Perguruan Tinggi 2 3,1 3,1 100,0
Total 65 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Bekerja/IRT 7 10,8 10,8 10,8
Petani 43 66,2 66,2 76,9
Buruh 4 6,2 6,2 83,1
Swasta 8 12,3 12,3 95,4
PNS 3 4,6 4,6 100,0
Total 65 100,0 100,0
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tinggi 29 44,6 44,6 44,6
Rendah 36 55,4 55,4 100,0
Total 65 100,0 100,0
Kejadian ISPA
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak ISPA 13 20,0 20,0 20,0
ISPA 52 80,0 80,0 100,0
Total 65 100,0 100,0
Analisis Bivariat
Ventilasi
Cases
Valid Mis sing Total
N Percent N Percent N Percent
Luas Ventilasi *
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Kejadian ISPA
Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Luas Ventilasi Memenuhi Syarat Count 10 16 26
% within Luas Ventilasi 38,5% 61,5% 100,0%
% within Kejadian ISPA 76,9% 30,8% 40,0%
% of Total 15,4% 24,6% 40,0%
Tidak Memenuhi Sy arat Count 3 36 39
% within Luas Ventilasi 7,7% 92,3% 100,0%
% within Kejadian ISPA 23,1% 69,2% 60,0%
% of Total 4,6% 55,4% 60,0%
Total Count 13 52 65
% within Luas Ventilasi 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Symmetric Measures
95% Confidenc e
Int erval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Luas
Ventilasi (Memenuhi
7,500 1,816 30,974
Sy arat / Tidak
Memenuhi Syarat)
For cohort Kejadian
5,000 1,520 16,451
ISP A = Tidak IS PA
For cohort Kejadian
,667 ,486 ,915
ISP A = ISP A
N of Valid Cases 65
Pencahayaan
Cases
Valid Mis sing Total
N Percent N Percent N Percent
Pencahayaan *
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Kejadian ISPA
Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Pencahayaan Memenuhi Syarat Count 10 16 26
% within Pencahay aan 38,5% 61,5% 100,0%
% within Kejadian ISPA 76,9% 30,8% 40,0%
% of Total 15,4% 24,6% 40,0%
Tidak Memenuhi Syarat Count 3 36 39
% within Pencahay aan 7,7% 92,3% 100,0%
% within Kejadian ISPA 23,1% 69,2% 60,0%
% of Total 4,6% 55,4% 60,0%
Total Count 13 52 65
% within Pencahay aan 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%
Symmetric Measures
Ri sk Estim ate
95% Confidenc e
Int erval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Pencahayaan
7,500 1,816 30,974
(Memenuhi Syarat /
Tidak Memenuhi Sy arat )
For cohort Kejadian
5,000 1,520 16,451
ISP A = Tidak IS PA
For cohort Kejadian
,667 ,486 ,915
ISP A = ISP A
N of Valid Cases 65
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kelembaban *
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Kejadian ISPA
Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Kelembaban Memenuhi Syarat Count 10 19 29
% within Kelembaban 34,5% 65,5% 100,0%
% within Kejadian ISPA 76,9% 36,5% 44,6%
% of Total 15,4% 29,2% 44,6%
Tidak Memenuhi Syarat Count 3 33 36
% within Kelembaban 8,3% 91,7% 100,0%
% within Kejadian ISPA 23,1% 63,5% 55,4%
% of Total 4,6% 50,8% 55,4%
Total Count 13 52 65
% within Kelembaban 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%
Symmetric Measures
Ri sk Estim ate
95% Confidenc e
Int erval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Kelembaban
5,789 1,416 23,672
(Memenuhi Syarat /
Tidak Memenuhi Sy arat )
For cohort Kejadian
4,138 1,254 13,655
ISP A = Tidak IS PA
For cohort Kejadian
,715 ,539 ,947
ISP A = ISP A
N of Valid Cases 65
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kepadatan Hunian
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA
Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Kepadatan Memenuhi Syarat Count 10 31 41
Hunian Expected Count 8,2 32,8 41,0
Tidak Memenuhi Syarat Count 3 21 24
Expected Count 4,8 19,2 24,0
Total Count 13 52 65
Expected Count 13,0 52,0 65,0
Chi-Square Tests
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Kepadatan
Hunian (Memenuhi Syarat 2,258 ,555 9,194
/ Tidak Memenuhi Syarat)
For cohort Kejadian ISPA
1,951 ,595 6,400
= Tidak ISPA
For cohort Kejadian ISPA
,864 ,686 1,088
= ISPA
N of Valid Cases 65
Lantai
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Lantai * Kejadian ISPA 65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Lantai Memenuhi Syarat Count 9 28 37
% within Lantai 24,3% 75,7% 100,0%
% within Kejadian ISPA 69,2% 53,8% 56,9%
% of Total 13,8% 43,1% 56,9%
Tidak Memenuhi Sy arat Count 4 24 28
% within Lantai 14,3% 85,7% 100,0%
% within Kejadian ISPA 30,8% 46,2% 43,1%
% of Total 6,2% 36,9% 43,1%
Total Count 13 52 65
% within Lantai 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Symmetric Measures
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Lantai
(Memenuhi Syarat / 1,929 ,527 7,061
Tidak Memenuhi Syarat)
For cohort Kejadian
1,703 ,584 4,967
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,883 ,696 1,119
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65
Kontruksi dinding
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kontruksi Dinding
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA
Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Kontruksi Memenuhi Syarat Count 11 39 50
Dinding Expected Count 10,0 40,0 50,0
Tidak Memenuhi Syarat Count 2 13 15
Expected Count 3,0 12,0 15,0
Total Count 13 52 65
Expected Count 13,0 52,0 65,0
Symmetric Measures
Ri sk Estim ate
95% Confidenc e
Int erval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Kontruksi Dinding
1,833 ,358 9,377
(Memenuhi Syarat /
Tidak Memenuhi Sy arat)
For cohort Kejadian
1,650 ,410 6,636
ISP A = Tidak IS PA
For cohort Kejadian
,900 ,703 1,152
ISP A = ISP A
N of Valid Cases 65
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Riwayat Merokok
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA
Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Riwayat Merokok Tidak Beres iko Count 10 13 23
% within Riwayat Merokok 43,5% 56,5% 100,0%
% within Kejadian ISPA 76,9% 25,0% 35,4%
% of Total 15,4% 20,0% 35,4%
Beresiko Count 3 39 42
% within Riwayat Merokok 7,1% 92,9% 100,0%
% within Kejadian ISPA 23,1% 75,0% 64,6%
% of Total 4,6% 60,0% 64,6%
Total Count 13 52 65
% within Riwayat Merokok 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%
Symmetric Measures
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat
Merokok (Tidak 10,000 2,382 41,988
Beresiko / Beresiko)
For cohort Kejadian
6,087 1,860 19,925
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,609 ,421 ,880
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis Bahan Bakar
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA
Kejadian IS PA
Tidak ISPA ISP A Total
Jenis B ahan Gas Count 7 27 34
Bakar % within Jenis Bahan
20,6% 79,4% 100,0%
Bakar
% within K ejadian ISPA 53,8% 51,9% 52,3%
% of Total 10,8% 41,5% 52,3%
Kayu B akar Count 6 25 31
% within Jenis Bahan
19,4% 80,6% 100,0%
Bakar
% within K ejadian ISPA 46,2% 48,1% 47,7%
% of Total 9,2% 38,5% 47,7%
Total Count 13 52 65
% within Jenis Bahan
20,0% 80,0% 100,0%
Bakar
% within K ejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%
Symmetric Measures
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Jenis Bahan Bakar 1,080 ,319 3,654
(Gas / Kayu Bakar)
For cohort Kejadian
1,064 ,401 2,822
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,985 ,772 1,256
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status Gizi Balita
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA
Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Status Gizi Gizi Baik Count 12 35 47
Balita Expected Count 9,4 37,6 47,0
Gizi Tidak Baik Count 1 17 18
Expected Count 3,6 14,4 18,0
Total Count 13 52 65
Expected Count 13,0 52,0 65,0
Chi-Square Tests
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Status
Gizi Balita (Gizi Baik / 5,829 ,699 48,592
Gizi Tidak Baik)
For cohort Kejadian
4,596 ,643 32,834
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,788 ,645 ,964
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65
Status imunisasi
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Status Imunisasi
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
* Kejadian ISPA
Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Status Imunisas i Lengkap Count 12 45 57
Expected Count 11,4 45,6 57,0
Tidak Lengkap Count 1 7 8
Expected Count 1,6 6,4 8,0
Total Count 13 52 65
Expected Count 13,0 52,0 65,0
Chi-Square Tests
Symmetric Measures
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Status
Imunis asi (Lengkap / 1,867 ,209 16,678
Tidak Lengkap)
For cohort Kejadian
1,684 ,252 11,272
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,902 ,672 1,211
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65
Sosial ekonomi
Cases
Valid Mis sing Total
N Percent N Percent N Percent
Penghasilan Orang
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Tua * Kejadian ISPA
Kejadian IS PA
Tidak ISPA ISP A Total
Penghasilan Tinggi Count 10 19 29
Orang Tua % within P enghasilan
34,5% 65,5% 100,0%
Orang Tua
% within K ejadian IS PA 76,9% 36,5% 44,6%
% of Total 15,4% 29,2% 44,6%
Rendah Count 3 33 36
% within P enghasilan
8,3% 91,7% 100,0%
Orang Tua
% within K ejadian IS PA 23,1% 63,5% 55,4%
% of Total 4,6% 50,8% 55,4%
Total Count 13 52 65
% within P enghasilan
20,0% 80,0% 100,0%
Orang Tua
% within K ejadian IS PA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Penghasilan Orang 5,789 1,416 23,672
Tua (Tinggi / Rendah)
For cohort Kejadian
4,138 1,254 13,655
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
,715 ,539 ,947
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pendidikan *
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Kejadian ISPA
Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Pendidikan Rendah Count 1 11 12
% within Pendidikan 8,3% 91,7% 100,0%
% within Kejadian ISPA 7,7% 21,2% 18,5%
% of Total 1,5% 16,9% 18,5%
Tinggi Count 12 41 53
% within Pendidikan 22,6% 77,4% 100,0%
% within Kejadian ISPA 92,3% 78,8% 81,5%
% of Total 18,5% 63,1% 81,5%
Total Count 13 52 65
% within Pendidikan 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%
Chi-Square Tests
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for
Pendidikan ,311 ,036 2,655
(Rendah / Tinggi)
For cohort Kejadian
,368 ,053 2,565
ISPA = Tidak ISPA
For cohort Kejadian
1,185 ,947 1,483
ISPA = ISPA
N of Valid Cases 65
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pekerjaan *
65 100,0% 0 ,0% 65 100,0%
Kejadian ISPA
Kejadian ISPA
Tidak ISPA ISPA Total
Pekerjaan Tidak Bekerja Count 2 5 7
% within Pekerjaan 28,6% 71,4% 100,0%
% within Kejadian ISPA 15,4% 9,6% 10,8%
% of Total 3,1% 7,7% 10,8%
Bekerja Count 11 47 58
% within Pekerjaan 19,0% 81,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 84,6% 90,4% 89,2%
% of Total 16,9% 72,3% 89,2%
Total Count 13 52 65
% within Pekerjaan 20,0% 80,0% 100,0%
% within Kejadian ISPA 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 20,0% 80,0% 100,0%
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Pekerjaan
1,709 ,292 9,997
(Tidak Bekerja / Bekerja)
For cohort Kejadian ISPA
1,506 ,416 5,453
= Tidak ISPA
For cohort Kejadian ISPA
,881 ,543 1,431
= ISPA
N of Valid Cases 65
Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Selected Cases Included in Analysis 65 100,0
Mis sing Cases 0 ,0
Total 65 100,0
Unselected Cas es 0 ,0
Total 65 100,0
a. If weight is in effect, s ee class ification table for the total
number of cases.
Predicted
Score df Sig.
Step Variables LV 9,231 1 ,002
0 PCH 9,231 1 ,002
KLB 6,864 1 ,009
KPDTH 1,338 1 ,247
RM 12,263 1 ,000
SGB 3,246 1 ,072
PGH 6,864 1 ,009
Overall Statistics 29,551 7 ,000
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 31,635 7 ,000
Block 31,635 7 ,000
Model 31,635 7 ,000
Model Summary
Classification Table a
Predicted
Paling dominan
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Selected Cases Included in Analysis 65 100,0
Mis sing Cases 0 ,0
Total 65 100,0
Unselected Cas es 0 ,0
Total 65 100,0
a. If weight is in effect, s ee class ification table for the total
number of cases.
Predicted
Score df Sig.
Step Variables PCH 9,231 1 ,002
0 RM 12,263 1 ,000
Overall Statistics 19,247 2 ,000
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 20,493 2 ,000
Block 20,493 2 ,000
Model 20,493 2 ,000
Model Summary
Predicted