Anda di halaman 1dari 131

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA

(INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT) PADA BALITA


DI PUSKESMAS AMBARITA KECAMATAN SIMANINDO
KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2017

TESIS

OLEH

VINA LINDAWATI SIMARANGKIR


157032036

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


THE FACTORS CORRELATED WITH THE INCIDENCE OF ISPA (ACUTE
RESPIRATORY TRACT INFECTION) IN BALITA AT AMBARITA
PUSKESMAS, SIMANINDO SUBDISTRICT,
SAMOSIR DISTRICT, IN 2017

THESIS

By

VINA LINDAWATI SIMARANGKIR


157032036

MASTER IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM


FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA
(INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT) PADA BALITA
DI PUSKESMAS AMBARITA KECAMATAN SIMANINDO
KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2017

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M)
dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Peminatan Kesehatan Reproduksi
Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera
Utara

Oleh

VINA LINDAWATI SIMARANGKIR


157032306

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Judul Tesis : Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) pada Balita di
Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten
Samosir Tahun 2017

Nama Mahasiswa : Vina Lindawati Simarangkir


Nomor Induk Mahasiswa : 157032306
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Peminatan : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D) (Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M)
Ketua Anggota

Ketua Program Studi S2 Dekan

(Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D) (Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si)

Tanggal Lulus : 16 Agustus 2018

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Telah diuji
Pada Tanggal : 16 Agustus 2018

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D
Anggota : 1. Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M
2. Prof. Drs. Heru Santoso, M.Si, Ph.D,
3. dr. Fazidah Aguslina Siregar, M.Kes, Ph.D,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERNYATAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA


(INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT) PADA BALITA
DI PUSKESMAS AMBARITA KECAMATAN SIMANINDO
KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2017

TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 16 Agustus 2018


Penulis

Vina Lindawati Simarangkir

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang paling


sering terjadi pada anak. Insiden menurut kelompok umur balita pada tahun 2015
terdapat 156 juta kasus baru di dunia per tahun dimana 151 juta kasus (96,7%) terjadi
di negara berkembang. Di Indonesia pneumonia sebagai penyebab utama ISPA 10-
20% per tahun, kematian akibat pneumonia sebanyak lima kasus diantara 1.000
balita. Di Kabupaten Samosir pada tahun 2016 kejadian ISPA sebanyak 15.717 kasus
dimana kejadian ISPA pada balita sebanyak 12.933 balita (16.3%). Cakupan
penderita ISPA terbesar di Kecamatan Simanindo adalah wilayah kerja Puskesmas
Ambarita sebesar 9,26 %.
Tujuanpenelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian ISPA pada balita. Penelitian menggunakan rancangan survey analitik dengan
desain cross sectional. Lokasi penelitian dilakukan di Puskesmas Ambarita
Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Tahun 2017.Populasi dalam penelitian
adalah seluruh balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Ambarita tahun 2017
sebanyak 276 balita.Sampel dalam penelitian ini adalah 86 balita. Analisa data
menggunakan analisis bivariat dengan ujichi-square dan analisis multivariat dengan
uji regresi logistik berganda,pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05).
Hasil analisis bivariate menunjukkan bahwa ada hubungan ventilasi (p=0,02),
pemberian ASI eksklusif (p=0,0001), kepadatan hunian (p=0,0001), hasil analisis
multivariat yang paling dominan adalah kepadatan hunian dengan nilai p
=0,0001(PR= 4,223 ,95%CI= 8.171 – 570.329)
Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir lebih meningkatkan
upaya pencegahan terjadinya ISPA, memberikan penyuluhan kepada masyarakat
tentang rumah sehat, kepada ibu-ibu hamil untuk meningkatkan ASI eksklusif.
Diharapkan juga Kepada Puskesmas Ambarita agar memberikan penyuluhan ruangan
yang sesuai standar kesehatan, ventilasi rumah agar sirkulasi udara didalam rumah
sehat, meningkatkan sosialisasi asi eksklusif sebagai proteksi tubuh terhadap berbagai
macam penyakit.

Kata Kunci : Kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), Balita

i 1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2

ABSTRACT

ISPA (Acute Respiratory Tract Infection) is the disease which is most


frequently found in children. Its incidence in balita (BelowFive Year-Old Children) in
2015 was 156 million new cases per year throughout the world of which 151 million
cases (96.7%) were found in developing countries. Pneumonia is the main cause of
ISPA in Indonesia with incidence rate of 20% per year; there are five cases of death
from pneumonia in 1,000 balita. It was reported that there were 15,717 cases of ISPA
in Samosir District in 2016 and 12,933 of them were found in balita (16.3%). The
largest coverage of patients with ISPA in Simanindo Subdistrict was found in the
working area of Puskesmas Ambarita i.e. 9.26%.
The objective of the research was to analyze the factors related to the
incidence of ISPA in balita. The research employed the analytical survey method with
cross sectional design. It was conducted at Puskesmas Mbarita, Simanindo
Subdistrict, Samosir District, in 2017. The population was all balita in the working
area of Puskesmas Ambarita in 2017 in total 276 balita. The samples were 86 balita.
The data were analyzed by bivariate analysis using Chi-Square test and by
multivariate analysis using multiple logistic regression test, with reliability rate of
95% (ɑ= 0.05).
The results of bivariate analysis showed that there was a relationship
between ventilation (p = 0.02), exclusive breastfeeding (p = 0.0001), occupancy
density (p = 0.0001), the most dominant result of multivariate analysis was
residential density with a value of p = 0 , 0001 (PR = 4,223, 95% CI = 8,171 -
570,329)
It is expected that the Samosir District Health Service will further improve
prevention efforts for ARI, provide counseling to the public about healthy homes, to
pregnant women to improve exclusive breastfeeding. It is also expected that to the
Ambarita Health Center to provide counseling on rooms that are in accordance with
health standards, house ventilation so that air circulation within the house is healthy,
increasing exclusive breastfeeding socialization as protection of the body against
various diseases.

Keywords: Incidence of ISPA (Acute Respiratory Tract Infection), Balita(Below


Five Year-Old Children)

ii2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan izin

dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul :“Faktor-Faktor

yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)

Di Wilayah Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

Tahun 2017”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan

pendidikan program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan

Reproduksi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.Penulisan

tesis ini dapat terlaksana berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral

maupun material dari banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis

menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M. Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan

selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,

dukungan dan arahan sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.

4. Destanul Aulia, S.K.M, M.B.A, M.Ec, Ph.D, selaku sekretaris program studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

3
iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4

5. Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M., selaku komisi pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan, dukungan dan arahan sejak awal hingga

terselesaikannya tesis ini.

6. Prof. Drs. Heru Santoso, M.Si, Ph.D, selaku penguji I guna penyempurnaan tesis

ini.

7. dr. Fazidah Aguslina Siregar, M.Kes, Ph.D, selaku penguji II guna

penyempurnaan tesis ini.

8. dr. Nimpan Karo karo, MM, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir

yang telah memberikan ijin penelitian di Puskesmas Ambarita Kecamatan

Simanindo Kabupaten Samosir.

9. dr. Rotua B Sitanggang, selaku Kepala Puskesmas Ambarita yang telah

memberikan ijin, bimbingan dan arahan saat melakukan penelitian di Puskesmas

Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir .

10. Seluruh staf pengajar Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang

sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.

11. Secara khusus terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkankan atas

perhatian, dukungan baik moral maupun materil dan doa kepada suamiku tercinta

Monang Parulian Damanik, SH, kedua putriku tersayang Eunike Bonartha

Damanik dan Rachel Josephine Damanik, Kedua orang tuaku Hotlan M

Simorangkir (+) dan Tiolina br Manik, Kakak dan Abang, keluarga dan sahabat

yang selalu memberikan motivasi dan semangat sehingga penulis dapat

4iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

12. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

peminatan Kesehatan Reproduksi angkatan 2015 Universitas Sumatera Utara

atas dukungan, semangat dan kebersamaan selama ini.

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu

dalam proses penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan, untuk itu kritik

dan saran yang kontruktif sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap

semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Medan, 16 Agustus 2018


Penulis

Vina Lindawati Simarangkir


157032036

v5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Vina Lindawati Simarangkir, perempuan, berumur 32 tahun,

lahir pada tanggal 19 September 1985 di Pem.Siantar, beragama Kristen, tinggal di

Desa Simanindo Sangkal Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir. Penulis

merupakan anak ke – 5 dari 5 bersaudara dari pasangan Hotlan M Simorangkir dan

Tiolina br Manik.

Jenjang pendidikan formal penulis mulai dari SD Negeri 05629 Pematang

Siantar tamat tahun 1997. Pada tahun 2000, penulis menyelesaikan pendidikan di

SMP Swasta Katolik Asissi. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan

SPK Pemda Dairi. Pada tahun 2007, penulis menyelesaikan pendidikan D-III

Kebidanan di Akademi Kebidanan Pemko Tebing Tinggi. Pada tahun 2012, penulis

menyelesaikan pendidikan D-IV Bidan Pendidik di STIKES Helvetia Medan. Pada

tahun 2015-2018, penulis menempuh pendidikan di program Studi S-2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Pengalaman bekerja penulis yaitu, pada tahun 2007 sampai dengan sekarang

penulis bekerja di Puskesmas di Kabupaten Samosir.

6
vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ................................................................................................................ i
ABSTRACK ............................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
RIWAYATHIDUP ................................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ x
DAFTAR ISTILAH ................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xii

BAB 1 . PENDAHULUAN.................................................................. ................... 1

1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1


1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 10
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 10
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA......................................................... ..................... 12

2.1 Definisi ISPA ........................................................................................ 12


2.2 Etiologi ISPA ........................................................................................ 13
2.2.1 Jenis-jenis ISPA ........................................................................... 14
2.2.2 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi .................................... 14
2.2.3 Gejala ISPA ................................................................................. 16
2.3 Cara Penularan ISPA ............................................................................ 17
2.4 Patogenesis ISPA .................................................................................. 17
2.5 Epidemiologi ISPA ............................................................................... 18
2.5.1 Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPA ..................................... 18
2.6 Determinan Penyakit ISPA ................................................................... 22
2.6.1 Jenis Kelamin ............................................................................... 22
2.6.2 Status Gizi .................................................................................... 23
2.6.3 Berat Bayi Lahir Rendah ............................................................. 25
2.6.4 Pemberian Kolostrum .................................................................. 26
2.6.5 Pemberian ASI ............................................................................. 27
2.6.6 Imunisasi ...................................................................................... 28
2.6.7 Kepadatan Hunian........................................................................ 29
2.6.8 Ventilasi ....................................................................................... 30
2.7 Landasan Teori ..................................................................................... 32
2.8 Kerangka Konsep .................................................................................. 34

7
vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8

2.9 Hipotesis ............................................................................................... 35

BAB 3. METODE PENELITIAN....................................................... .................... 36

3.1 Jenis Penelitian ..................................................................................... 36


3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 36
3.2.1 Lokasi Penelitian.......................................................................... 36
3.3.2 Waktu Penelitian .......................................................................... 36
3.3 Populasi Dan Sampel ............................................................................ 37
3.3.1 Populasi ........................................................................................ 37
3.3.2 Sampel ......................................................................................... 37
3.4 Metode Pengumpulan Data ................................................................... 38
3.4.1 Data Primer .................................................................................. 38
3.4.2 Data Sekunder .............................................................................. 38
3.5 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional ...................................... 39
3.5.1 Variabel Penelitian ....................................................................... 39
3.6 Metode Pengukuran Data...................................................................... 41
3.7 Metode Analisa Data ............................................................................ 42

BAB 4. HASIL PENELITIAN....................................................... ......................... 45

4.1 Demografi Puskesmas........................................................................... 45


4.2 Pelayanan Puskesmas .......................................................................... 46
4.3 Hasil Analisis Univariat ........................................................................ 47
4.3.1 Gambaran Faktor Host ................................................................. 47
4.3.2 Gambaran Faktor Lingkungan ..................................................... 48
4.3.3 Karakteristik Balita ...................................................................... 48
4.4 Analisis Bivariat ................................................................................... 51
4.5 Analisis Multivariat .............................................................................. 54

BAB 5. PEMBAHASAN .......................................................................................... 58

5.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian ISPA .............................. 58


5.2 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA ................................... 59
5.3 Hubungan BBLR dengan Kejadian ISPA .......................................... 60
5.4 Hubungan Pemberian Kolostrum dengan Kejadian ISPA.................. 61
5.5 Hubungan Pemberian Asi Eksklusif dengan Kejadian ISPA ............. 63
5.6 Hubungan Imunisasi dengan Kejadian ISPA ..................................... 65
5.7 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA ....................... 66
5.8 Hubungan Ventilisasi dengan Kejadian ISPA .................................... 68
5.9 Implikasi Penelitian ............................................................................ 70
5.10 Keterbatasan Penelitian ...................................................................... 72

8
viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... ............ 73

6.1 Kesimpulan ........................................................................................... 73


6.2 Saran .................................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 75

LAMPIRAN

ix9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Antropometri Menurut Standar WHO-NCHS........................................... 25

3.1 Variabel, Defenisi Operasional ................................................................ 41

4.1 Distribusi Balita Berdasarkan Status ISPA Pada Balita di


PuskesmasAmbarita Kec Simanindo Kab Samosir ................................... 48

4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Jenis kelamin dengan


KejadianISPA di Puskesmas Ambarita Kec Simanindo Kab Samosir......... 48

4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Status Gizi dengan


Kejadian ISPA di Puskesmas Ambarita Kec Simanindo Kab Samosir .... 49

4.4 Distribusi Responden Berdasarkan BBLR dengan Kejadian ISPA di


Puskesmas Ambarita Kec Simanindo Kab Samosir .................................. 49

4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pemberian Kolostrum


dengan Kejadian ISPA di Puskesmas Ambarita Kec Simanindo Kab
Samosir ...................................................................................................... 49

4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pemberian ASI dengan


Kejadian ISPA di Puskesmas Ambarita Kec Simanindo Kab Samosir ... 50

4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pemberian Imunisasi


dengan Kejadian ISPA di Puskesmas Ambarita Kec Simanindo Kab
Samosir ...................................................................................................... 50

4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Kepadatan Hunian


denganKejadian ISPA di Puskesmas Ambarita Kec Simanindo Kab
Samosir ...................................................................................................... 50

4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Ventilisasi dengan


KejadianISPA di Puskesmas Ambarita Kec Simanindo Kab Samosir .... 51

4.10 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita..... 54

4.11 Pemilihan Kandidat Model Multivariat..................................................... 55

4.12 Hasil Akhir Uji Regresi Berganda Kejadian ISPA .................................. 56

x10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Landasan Teori ................................................................................................ 34

2.2. Kerangka Konsep Penelitian ........................................................................... 35

5.1. Implikasi Penelitian......................................................................................... 71

xi11
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Pernyataan Penelitian ........................................................................................... 78

2. Kesediaan Menjadi Responden (Informed Consent)............................................ 79

3. Kuesioner ............................................................................................................. 80

4. Surat Keputusan Pembimbing .............................................................................. 83

5. Surat Permohonan Izin Survei Pendahuluan ........................................................ 84

6. Surat Keterangan Pelaksanaan Survei.................................................................. 85

12
xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13

DAFTAR ISTILAH

ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut


ARI : Acute Respiratory Infections
ASI : Air Susu Ibu
BBLR : Berat Badan Lahir Rendah
BCG : Bacillus Calmette Guerin
BBM : Bahan Bakar Minyak
CO2 : Carbon Dioksida
O2 : Oksigen
DEPKES : Departemen Kesehatan
KEMENKES : Kementerian Kesehatan
DPT : Difteri, Pertusis, Tetanus
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit
P2P : Program Pemberantasan Penyakit
SP2TP : Sistem Pencatatan dan Pelaporan Tingkat Puskesmas
UGD : Unit Gawat Darurat
TBC : Tuberculosis
AKB : Angka Kematian Bayi
KB : Keluarga Berencana
MCK : Mandi Cuci Kakus
PKK : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
PONED : Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar
TB/U : Tinggi Badan per Umur
BB/U : Berat Badan per Umur
SD : Standar Deviasi

13
xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang melibatkan

organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi

ini disebabkan oleh virus, jamur dan bakteri. ISPA akan menyerang host apabila

ketahanan tubuh (immunologi) menurun. Bayi di bawah lima tahun adalah kelompok

yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai

penyakit. ISPA merupakan penyakit yang mudah sekali menular (Probowo, 2012).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) atau istilah dalam bahasa Inggrisnya

Acute Respiratory Infections (ARI) merupakan sekelompok penyakit kompleks

danheterogen yang disebabkan oleh berbagai faktor penunjang risiko yang

menyerang setiap lokasi saluran pernafasan mulai dari saluran atas (hidung) hingga

saluran bawah pada sistem pernafasan manusia.

Anak-anak memiliki risiko lebih mudah terserang penyakit ini, karena sistem

kekebalan tubuh mereka belum terbentuk sepenuhnya. Seseorang bisa tertular ISPA

ketika menghirup udara yang mengandung virus atau bakteri. Virus atau bakteri ini

dikeluarkan oleh penderita infeksi saluran pernapasan melalui bersin atau ketika

batuk.Selain itu, cairan yang mengandung virus atau bakteri yang menempel pada

permukaan benda bisa menular ke orang lain saat mereka menyentuhnya. Ini disebut

1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2

sebagai penularan secara tidak langsung (WHO, 2015).

Menurut WHO tahun 2012, sebesar 78% balita yang berkunjung ke pelayanan

kesehatan adalah akibat ISPA, khususnya pneumonia. ISPA lebih banyak terjadi di

negara berkembang dibandingkan negara maju dengan persentase masing-masing

sebesar 25%-30% dan 10%-15%. Kematian balita akibat ISPA di Asia Tenggara

sebanyak 2.1 juta balita pada tahun 2010 (Fitri, 2012). India, Bangladesh, Indonesia,

dan Myanmar merupakan negara dengan kasus kematian balita akibat ISPA

terbanyak (Usman, 2012).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab

kematian pada anak di negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan 4 dari 15

juta kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun pada setiap tahunnya. Di Indonesia,

ISPA menduduki peringkat pertama sebagai penyakit yang paling banyak diderita

masyarakat, khususnya anak-anak. Tercatat, rata-rata balita di Indonesia mengalami

sakit batuk pilek setidaknya tiga hingga enam kali per tahunnya. Data WHO

menyebutkan bahwa angka kejadian pneumoniapada balita di Indonesia cukup tinggi,

yakni 10-20% per tahun (WHO, 2015).

ISPA menempati urutan pertama penyakit yang diderita pada kelompok bayi

dan balita di Indonesia. Prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25,5% dengan

morbiditas pneumonia pada bayi 2,2% dan pada balita 3%, sedangkan mortalitas pada

bayi 23,8% dan balita 15,5%. Penyakit ISPA mencakup penyakit saluran napas

bagian atas dan saluran napas bagian bawah beserta adneksanya. Infeksi saluran

pernapasan bagian atas mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, tetapi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

dapat menyebabkan kecacatan misalnya otitis media yang merupakan penyebab

ketulian. Sedangkan hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil

disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut, paling sering adalah

pneumonia. Kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia

pada akhir tahun 2000 sebanyak lima kasus diantara 1.000 balita (Kemenkes RI,

2015).

ISPA disebabkan oleh virus atau bakteri, penyakit ini diawali dengan panas

disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk

kering atau berdahak, period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan

terakhir, lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa tenggara Timur (41,7%),

Papua (31,1%), Aceh ( 30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur

(28,3%). Karekteristk penduduk dengan penduduk ISPA tertinggi terjadi pada

kelompok umur 1-4 tahun (25,8%), menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki-

laki dan perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk

dengan indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah (Riskesdas, 2013).

ISPA merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada anak. Insiden

menurut kelompok umur balita diperkirakan bahwa terdapat 156 juta kasus baru di

dunia per tahun dimana 151 juta kasus (96,7%) terjadi di negara berkembang. ISPA

merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke Puskesmas (40-60%) dan

rumah sakit (15-30%) (Kemenkes RI, 2015).

Upaya pencegahan merupakan komponen yang paling strategis untuk

memberantas ISPA pada bayi terdiri atas pencegahan imunisasi dan non-imunisasi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

Tindakan yang tidak kalah penting adalah pencegahan non-imunisasi seperti nutrisi,

keadaan lingkungan, dan pemberian ASI Eksklusif. Balita dengan gizi yang kurang

akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena

faktor daya tahan tubuh yang kurang. Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan

bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme

pertahanan paru-paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA (Muslikha, 2012).

ISPA mengakibatkan sekitar 20% - 30% kematian anak balita. ISPA juga

merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien pada sarana kesehatan.

Sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan

berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap puskesmas disebabkan oleh ISPA yang

dianggap sebagai penyakit membahayakan. Beberapa faktor yang telah diketahui

mempengaruhi tingginya mortalitas dan morbiditas ISPA antara lain: malnutrisi,

kelahiran dengan berat badan rendah (BBLR), pemberian ASI yang kurang,

kepadatan hunian, sosio-ekonomi yang rendah, cuaca (udara dingin), imunitas tidak

lengkap, definisi vitamin A, umur muda, terpapar polusi udara oleh asap rokok, gas

racun, kurangnya akses air bersih (Kemenkes RI, 2015).

Kondisi ini diperburuk dengan keadaan cuaca yang dingin sehingga

mengakibatkan warga mengalami penurunan daya tahan tubuh. Kondisi-kondisi ini

mempermudah masuknya kuman ke dalam tubuh manusia dan salah satu dampaknya

adalah menyebabkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Suhu udara yang

dingin mempermudah munculnya koloni kuman di dalam tubuh manusia. merupakan

proses infeksi akut yang merusak jaringan paru-paru atau alveoli. Oleh karena itu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

ISPA harus ditangani dengan baik dan cepat, disamping daya tahan tubuh tetap dijaga

dengan suplai makanan yang cukup serta sanitasi yang optimal. Beberapa faktor yang

telah diketahui berhubungan tingginya angka kematian dan angka kesakitan karena

ISPA yaitu jenis kelamin, status gizi, kelahiran dengan berat badan rendah (BBLR),

pemberian ASI yang kurang, kepadatan hunian ventilasi (Utomo, 2012).

Berdasarkan penelitian Hungu (2013) bahwa jenis kelamin perempuan lebih

banyak mengalami kejadian ISPA sekitar 55,7% (73 jiwa) sedangkan jenis kelamin

laki-laki sekitar 44,3% (58 jiwa), hal ini menunjukkan bahwa balita dengan jenis

kelamin perempuan lebih rentan terkena ISPA dibandingkan dengan balita jenis

kelamin laki-laki.

Zat gizi yang diperoleh dari asupan makanan memiliki efek kuat untuk reaksi

kekebalan tubuh dan resistensi terhadap infeksi. Kondisi kurang energi protein dapat

menyebabkan ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih kuat sehingga

menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan

salah satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah

status gizi (Marimbi, 2010).

Menurut hasil penelitian di Puskesmas Pajang Surakarta, kejadian ISPA pada

balita sebanyak 104 jiwa yang memiliki status gizi baik dengan kejadian ISPA

sebesar 43,3% (45 jiwa) sedangkan status gizi kurang dengan kejadian ISPA pada

balita sebesar 56,7% (59 jiwa), hal ini menunjukkan bahwa balita yang status gizi

kurang akan lebih mudah terkena ISPA (Hardiana, 2013).

Faktor lain penyebab ISPA pada Balita yaitu Berat Badan Lahir Rendah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

(BBLR) memiliki kekebalan yang masih rendah dan organ pernafasan masih lemah

sehingga balita dengan BBLR lebih mudah terserang penyakit infeksi khususnya

ISPA dibandingkan dengan balita yang tidak BBLR, hal ini disebabkan karena balita

yang lebih muda memeliki daya tahan tubuh yang lebih rendah dibandingkan dengan

balita yang lebih tua. Menurut hasil penelitian di Puskesmas Tunikamasean diketahui

bahwa dari 6 balita BBLR yang bberusia 12-23 bulan terdapat 5 balita (83,5%) balita

yang menderita ISPA dan 1 balita (16,7%) tidak menderita ISPA. Bayi BBLR

memiliki pusat pengaturan pernafasan yang belum sempurna, paru-paru kurang

sempurna, otot pernafasan dan tulang iga lemah.Bayi BBLR lebih mudah mengalami

infeksi paru-paru dan gagal pernafasan (Ibrahim, 2011).

Penyebab ISPA pada Balita juga dapat dikarenakan pemberian ASI eksklusif

yang tidak dilaksanakan, permasalahan utama yang dihadapi yaitu kesadaran akan

pentingnya ASI eksklusif. Cakupan ASI eksklusif di Indonesia masih mencapai 52%

sementara target pemberian ASI esklusif secara nasional sebesar 80%, pemberian ASI

satu jam pasca persalinan 8% (Riskesdas, 2013).

Rendahnya pemberian kolostrum dan ASI esklusif berpengaruh terhadap

kejadian ISPA pada balita, dimana lebih tinggi pada balita yang tidak mendapat ASI

dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI penelitian yang dilakukan di

RSU dr. Soekardjo Tasikmalaya menunjukkan bahwa balita yang diberikan ASI

dengan kejadian ISPA sebesar 33,3% (7 juta jiwa) dibandingkan dengan balita yang

tidak memberikan ASI dengan kejadian ISPA sebesar 61,2% (52 jiwa) (Hersoni,

2015).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

Upaya untuk menurunkan resiko penyakit ISPA perlu dilakukan yaitu dengan

pemberian imunisasi dasar lengkap. Program pemerintah setiap balita harus

mendapatkan lima dasar imunisasi lengkap yaitu 1 dosis BCG, 3 dosis DPT, 4 dosis

Polio, 4 dosis Hepatitis B dan 1 dosis campak. Penyakit ISPA akan menyerang

apabila kekebalan tubuh menurun. Bayi dan balita di bawah lima tahun adalah

kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih sangat rentan terhadap

berbagai penyakit termasuk penyakit ISPA baik dalam golongan pneumonia atau pun

golongan bukan pneumonia (Presyalia, 2014).

Menurut Lisdianti (2015), terdapat hubungan antara status imunisasi balita

dengan kejadian ISPA di mana status Imunisasi balita di Puskesmas Pasir Putih

sebagian besar lengkap sebanyak 53 balita (72,6%) kejadian ISPA pada anak balita di

Puskesmas Pasir Putih sebagian besar tidak ISPA sebanyak 44 balita (60,3%) di mana

balita yang mendapatkan imunisasi lengkap lebih rendah mengalami kejadian ISPA

dari pada yang mendapatkan imunisasi lengkap.

Menurut penelitian Ningrum tahun (2015), bahwa salah satu penyebab

kejadian ISPA pada balita ialah kepadatan hunian, dimana rumah harus menjamin

kesehatan penghuninya, salah satu syarat rumah sehat adalah memenuhi kebutuhan

fisiologis seperti kenyamanan. Penelitian dilakukan di Puskesmas Sungai Pinang

menunjukkan bahwa kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita sebesar

43,4% (53 jiwa) dibandingkan dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat

dengan kejadian ISPA pada balita sebesar 56,5% (69 jiwa), semakin banyak jumlah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

penghuni rumah, maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau

bakteri yang dapat mengganggu kesehatan (Ningrum, 2015).

Ventilasi adalah suatu usaha untuk menyediakan udara segar, berfungsi untuk

mencegah akumulasi gas beracun dan mikroorganisme, memelihara temperatur dan

kelembaban terhadap udara di dalam ruangan. Ventilasi rumah harus memiliki syarat

yaitu 10% dari luas lantai. Hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sungai

Pinang menunjukkan bahwa ventilasi yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA

pada balita sebesar 48,3% (59 jiwa), dibandingkan dengan ventilasi dengan kejadian

ISPA pada balita yang tidak memenuhi syarat sebesar 51,6 % (63 jiwa) hal ini

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA.

Hal ini disebabkan ventilasi yang selalu dibuka setiap hari sehingga udara dapat

bertukar dengan baik dari dalam dan luar rumah (Ningrum, 2015).

Berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir tahun

2016, diperoleh bahwa pada tahun 2016dari 78.915 balita di Kabupaten Samosir,

sebanyak 15.717 kasus (33,4%) adalah penderita ISPA, diikuti Hipertensi (13,3%),

dan Rematik/penyakit Otot (13,0%) (Profil Kesehatan Kabupaten Samosir tahun

2016).Cakupan penderita ISPA terbesar di kecamatan Simanindo adalah di wilayah

kerja Puskesmas Ambarita, yaitu sebesar 9,26% dari seluruh cakupan penderita ISPA

di Kabupaten Samosir. Berdasarkan data yang diperoleh dari (Laporan SP2TP Dinkes

Kabupaten Samosir, 2016). Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir, bahwa pada tahun

2016 penderita ISPA terbanyak adalah golongan umur 1-5 tahun yaitu 12.933 balita.

Pada urutan kedua adalah golongan umur 2 bulan-12 bulan yaitu 5.894 balita dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

urutan ketiga adalah golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu 540 balita (Laporan

SP2TP Dinkes Kabupaten Samosir, 2016).

Puskesmas Ambarita merupakan salah satu Puskesmas di Kabupaten Samosir.

Wilayah kerja Puskesmas Ambarita terdiri dari 9 desa yaitu Desa Ambarita, Garoga,

Siallagan, Unjur, Martoba, Marlumba, Simanindo Sangkal, Simanindo, Maduma.

Pada tahun 2014, angka kesakitan ISPA mencapai 70 dari 618 balita (11,3%). Pada

tahun 2015, angka kesakitan ISPA mencapai 129 dari 616 balita (20,9%), dan pada

tahun 2016, angka kesakitan ISPA mencapai 147 dari 634 balita (23,1%). Hal ini

menunjukkan bahwa angka kesakitan ISPA di Puskesmas Ambarita menunjukkan

peningkatan. Demikian juga pada tahun 2017 (data survey awal bulan Mei ) jumlah

balita di Puskesmas Ambarita sebanyak 643 balita dimana jumlah balita yang di

MTBS di Puskesmas Ambarita dari bulan Januari sampai dengan April tahun 2017

sebesar 19,1% (123 balita) dimana penderita ISPA sebesar 9,1% (59 balita) diikuti

Influensa sebesar 6,3% (41 balita) dan Diare sebesar 3,5% (23 balita) (Laporan

MTBS Puskesmas Ambarita, 2017)

Pemberantasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab bersama antara

masyarakat, pemerintah serta pihak-pihak yang telah ditugaskan melayani masyarakat

dalam hal kesehatan terutama kepala Puskesmas yang harus bertaggung jawab bagi

keberhasilan pemberantasan ISPA di wilayah kerjanya. Data pendukung lain di

Puskesmas Ambarita yang merupakan ada kaitannya dengan kejadian ISPA pada

balita seperti jenis kelamin, status gizi, BBLR, pemberian kolostrum, pemberian ASI

eksklusif, imunisasi, kepadatan hunian dan ventilasi tidak semua ada tersedia datanya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

di puskesmas. Data bulan Januari sampai April 2017 yang ada merupakan data jenis

kelamin dengan kejadian ISPA sebanyak perempuan 35 jiwa (11,7%) dan laki-laki 24

jiwa (6,9%), status gizi balita seperti gizi buruk 1 jiwa (0,1%), balita gizi kurang 12

jiwa (1,8%), BBLR sebanyak 1 jiwa (0,1%).

Berdasarkan hal ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang

berjudul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA di wilayah kerja

puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir tahun 2017”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

rumusan masalah dari penelitian ini adalah: “Apakah faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) pada balita di wilayah kerja

puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir tahun 2017”.

1.3. Tujuan Penelitian

Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA (infeksi

saluran pernafasan akut) pada balita di wilayah kerja Puskesmas Ambarita

Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir tahun 2017.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak pihak

yang membutuhkan antara lain :

1.4.1 Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir serta

Pemerintah Kabupaten Samosir dalam menentukan kebijakan untuk

pencegahan dan penanggulangan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut).

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

1.4.2 Sebagai bahan masukan bagi instansi dan stakeholder terkait dalam

memberikan penyuluhan terutama perilaku beresiko terjadinya ISPA (Infeksi

Saluran Pernafasan Akut) juga sebagai referensi dalam perencanaan program

pencegahan dan penanggulangan ISPA.

1.4.3 Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan

referensi bagi peneliti selanjutnya.

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ISPA

Istilah ISPA yang merupakan singkatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut

mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam Lokakarya Nasional

ISPA di Cipanas. Istilah ini merupakan padanan istilah Inggris Accute Respiratory

Infections disingkat ARI. Istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran

pernafasan dan akut (Kemenkes RI, 2013).

Istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran pernafasan dan

akut. Pengertian atau batasan masing-masing unsur adalah sebagai berikut: 1) Infeksi

adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan

berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. 2) Saluran pernapasan

adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti

sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara

otomatis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah

(termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan

ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract). 3)

Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari ini. Batas 14 hari

ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapapenyakit yang

dapat digolongakan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Kemenkes

RI, 2013).

12
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas

dan bawah, Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang disebabkan oleh virus

dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut, uvulitis

akut,rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran pernapasan

akut bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran atas yang

disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam penggolongan ini

adalah bronkhitis akut, bronkhitis kronis, bronkiolitis dan pneumonia aspirasi

(Nelson, 2012).

2.2 Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptokokus, stafilokokus,

pneumokokus, hemofillus, bordetelia dan korinebakterium. Virus penyebab ISPA

antara lain adalah golongan miksovirus, adnovirus, koronavirus, pikornavirus,

mikoplasma, herpesvirus dan lain-lain.

Etiologi ISPA terdiri dari bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Bakteri penyebab

ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus, Streptococcus

pyogenes,Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza. Virus penyebab ISPA

antara lain Influenza, Adenovirus, dan Sitomegalovirus. Jamur yang dapat

menyebabkan ISPA antara lain Aspergillus, Candida albicans, dan Histoplasma.

Sedangkan aspirasi lain yang juga dapat menjadi penyebab ISPA adalah makanan,

asap kendaraan bermotor, BBM (bahan bakar minyak) biasanya minyak tanah, cairan

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

amnion pada saat lahir, dan benda asing seperti biji-bijian (Widoyono, 2011).

2.2.1 Jenis-jenis ISPA

Penyakit infeksi saluran pernapasan akut menyerang salah satu bagian dan

atau lebih dari saluran nafas mulai hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran

bawah) termasuk jaringan aksesoris seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni antara lain : (1) Infeksi merupakan masuknya

kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga

menimbulkan gejala penyakit. (2) Saluran pernapasan merupakan organ mulai dari

hidung hingga alveoli beserta organ aksesorinya seperti sinus, rongga telinga tengah

dan pleura. (3) Infeksi Akut yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari

ditentukan untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang

dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

Penyakit ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran

pernapasan bagian bawah (termasuk paru-paru) dan organ aksesoris saluran

pernapasan. Berdasarkan batasan tersebut jaringan paru termasuk dalam saluran

pernapasan (respiratory tract) (Widoyono, 2011).

2.2.2 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi

Berdasarkan lokasi anatomik ISPA digolongkan dalam dua golongan yaitu:

Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut dan Infeksi Saluran bawah Akut dimana Infeksi

Saluran Pernafasan atas Akut adalah infeksi yang menyerang hidung sampai bagian

faring seperti : pilek, sinusitis, otitis media (infeksi pada telinga tengah), faringitis

(infeksi pada tenggorokan). Infeksi saluran pernafasan atas digolongkan ke dalam

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

penyakit bukan pneumonia. Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut adalah infeksi

yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli,

dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti : Epiglotitis, Laryngitis,

Laryngotrachetis, Bronchitis, Bronchiolitis dan Pneumonia.

Program pemberantasan penyakit (P2) ISPA mengelompokkan dalam 2

golongan yaitu : (1) ISPA Non-Pneumonia Merupakan penyakit yang banyak dikenal

masyarakat dengan istilah batuk dan pilek (common cold). (2) ISPA Pneumonia

merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya

disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinik batuk, disertai

adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah.

Berdasarkan kelompok umur program-program pemberantasan ISPA (P2

ISPA) mengklasifikasikan ISPA sebagai berikut yaitu Kelompok umur kurang dari 2

bulan, diklasifikasikan atas : Pneumonia berat apabila dalam pemeriksaan ditemukan

adanya penarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya

nafas cepat, frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan Bukan pneumonia (batuk

pilek biasa) bila tidak ditemukan tanda tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah

ke dalam dan tidak ada nafas cepat, frekuensi kurang dari 60 menit. Kelompok umur

2 bulan <5 tahun diklasifikasikan atas : Pneumonia berat apabila dalam pemeriksaan

ditemukan adanya tarikan dinding dada dan bagian bawah ke dalam dan Pneumonia

tidak ada tarikan dada bagian bawah, adanya nafas cepat, frekuensi nafas 50 kali atau

lebih pada umur 2 (<12 bulan) dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

(<5 tahun) dan bukan pneumonia tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam, tidak ada nafas cepat, frekuensi kurang dari 50 kali per menit pada anak umur

2 (<12 bulan) dan kurang dari 40 permenit 12 bulan (<5 bulan). Penyakit ISPA pada

balita dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan

bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam(Probowo, 2012).

2.2.3 Gejala ISPA

Gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut : (a) Gejala dari

ISPA ringan adalah batuk, Serak pada pada waktu berbicara atau menangis, Pilek

yang mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung dan Panas atau demam, suhu badan

lebih dari 37°C. (b) Gejala dari ISPA sedang adalah Pernapasan cepat (fast breathing)

sesuai umur, untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per

menit atau lebih untuk umur 2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur

12 bulan - < 5 tahun, suhu tubuh lebih dari 39°C, tenggorokan berwarna merah,

timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak, telinga sakit atau

mengeluarkan nanah dari lubang telinga dan Pernapasan berbunyi seperti mengorok

(mendengkur). (c) Gejala dari ISPA Berat seseorang balita dinyatakan menderita

ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu

atau lebih gejala-gejala sebagai berikut yaitu bibir atau kulit membiru, anak tidak

sadar atau kesadaran menurun, pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak

tampak gelisah, sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas, nadi cepat lebih dari

160 kali per menit atau tidak teraba dan tenggorokan berwarna merah (Usman, 2012).

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

2.3 Cara Penularan ISPA

Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda yang

telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand transmission) dan

dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne disease) pada penderita ISPA

yang kebetulan mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau sputum

(Kemenkes RI, 2014).

2.4 Patogenesis Infeksi Saluran Pernapasan

Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh membran

mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan

dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat

dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam membran

mukosa. Gerakan silia mendorong membran mukosa ke posterior ke rongga hidung

dan ke arah superior menuju faring (Mukono, 2008).

Secara umum efek pencemaran udara terhadap pernapasan dapat

menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat

berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan akibat iritasi oleh

bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan

penyempitan saluran pernapasan dan makrofage di saluran pernapasan. Akibat dari

dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik

dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, hal ini akan

memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan (Mukono, 2008).

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

2.5 Epidemiologi

Epidemiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari timbulnya distribusi dan

jenis penyakit pada manusia menurut waktu dan tempat.

2.5.1 Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPA

ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Infeksi saluran

pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan

panas disertai salah satu atau lebih gejala tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek,

batuk kering atau berdahak. Daya tahan tubuh anak berbeda dengan orang dewasa

karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila di dalam satu rumah seluruh

anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi

tubuh anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat

(WHO, 2012). Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 3 - 6 kali

penyakit ISPA (Kemenkes, 2012).

Di Indonesia, ISPA menempati urutan pertama penyebab kematian pada

kelompok bayi dan balita.Hasil survei Program P2 ISPA di 12 propinsi di Indonesia

Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi

dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh

(30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas

2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period

prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda

dengan 2007 (25,5%).

Pneumonia merupakan penyebab dari 15% kematian balita, yaitu diperkirakan

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

sebanyak 922.000 balita di tahun 2015. Pneumonia menyerang semuaumur di semua

wilayah, namun terbanyak terjadi di Asia Selatan dan Afrika. Populasi yang rentan

terserang pneumonia adalah anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari

65 tahun dan orang yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan

imunologi). Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

(alveoli) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, jamur

dan bakteri. Sampai dengan tahun 2014, angka cakupan penemuan pneumonia balita

tidak mengalami perkembangan berarti yaitu berkisar antara 20%-30%. Pada tahun

2015 terjadi peningkatan menjadi 63,45% (Kemenkes RI, 2015).

Salah satu penyebab peningkatan penemuan yaitu menurunnya sasaran

penemuan pneumonia, yang sebelumnya sama untuk semua provinsi (10%), pada

tahun 2015 menggunakan hasil Riskesdas 2013 yang berbeda-beda untuk setiap

provinsi dan secara nasional sebesar 3,55%. Sejak tahun 2015 indikator Renstra yang

digunakan yaitu persentase kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya melakukan

pemeriksaan dan tatalaksana pneumonia melalui program MTBS (Kemenkes RI,

2015).

Pencapaian untuk tahun 2015 baru tercapai 14,64% sedangkan target sebesar

20% dari seluruh kab/kota yang ada. Angka kematian akibat pneumonia pada balita

sebesar 0,16%, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2014 yang sebesar 0,08%.

Pada kelompok bayi angka kematian sedikit lebih tinggi yaitu sebesar 0,17%

dibandingkan pada kelompok umur 1-4 tahun yang sebesar 0,15% (Kemenkes RI,

2016).

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

Kepadatan hunian merupakan salah satu persyaratan rumah sehat. Dalam

Keputusan Menteri Kesehatan no 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan

Kesehatan Perumahan, disebutkan bahwa kepadatan hunian lebih dari atau sama

dengan 8 m2 per orang dikategorikan sebagai tidak padat. Proporsi rumah tangga di

Indonesia yang termasuk ke dalam kriteria tidak padat adalah sebesar 86,6%. Lima

provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga dengan kategori tidak padat (≥

8m2/orang) adalah Jawa Tengah (96,6%), DI Yogyakarta (94,2%), Lampung

(93,1%), Bangka Belitung (92,8%) Jambi (92,6%). Lima provinsi terendah adalah

Papua (55,0%), NTT (64,0%), DKI Jakarta (68,3%), Gorontalo (69,0%), dan Maluku

(72,7%) (Kemenkes RI, 2015).

Kondisi fisik bangunan rumah (jenis bahan) yang meliputi plafon/langit-

langit, dinding dan lantai terluas. Proporsi rumah tangga dengan atap rumah terluas

berplafon adalah sebesar 59,4 %, dinding terbuat dari tembok sebesar 69,6%, dan

lantai bukan tanah sebesar 93,1%. Proporsi rumah dengan atap terluas berplafon di

perkotaan lebih tinggi (75,7%) dibandingkan di perdesaan (42,8%). Demikian juga

untuk dinding dan lantai, jenis bahan dinding terluas terbuat dari tembok dan jenis

lantai bukan tanah untuk wilayah perkotaan lebih tinggi (dinding tembok 83,5%,

lantai bukan tanah 97,4%), dibandingkan perdesaan (dinding tembok 55,3%, lantai

bukan tanah 88,7%) (Kemenkes RI, 2015).

Kondisi ruangan dalam rumah seperti ketersediaan ruang tidur, ruang dapur

dan ruang keluarga dilihat dari keadaan, kebersihan, ketersediaan jendela, ventilasi

dan pencahayaannya. Sebagian besar ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruang

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

lainnya. Dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat rumah tangga kondisi ruang

tidur, ruang keluarga maupun dapurnya bersih dan berpencahayaan cukup. Tetapi

kurang dari 50% rumah tangga yang ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan

jendela yang dibuka setiap hari (Kemenkes RI, 2013).

Prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari

11,1% tahun 2010 menjadi 10,2 % tahun 2013. Variasi antar provinsi sangat

mencolok dari terendah di Sumatera Utara (7,2%) sampai yang tertinggi di Sulawesi

Tengah (16,9%). Pemberian asi eksklusif belum dilaksanakan sepenuhnya,

permasalahan utama yang dihadapi adalah kesadaran akan pentingnya asi. Cakupan ai

eksklusif di Indonesia masih 52 % sementara target pemberian asi eksklusif secara

nasional sebesar 80%, pemberian asi satu jam pasca persalinan 8%. Menyusui hanya

ASI saja pada bayi umur 6 bulan meningkat pada tahun 2010 dari 15,3 % terjadi

peningkatan pada tahun 2013 sebesar 30,2% , demikian juga inisiasi menyusu dini <1

jam dari tahun 2010 sebesar 29,3 % terjadi peningkatan pada tahun 2013 sebesar

34,5 % (Kemenkes RI, 2013).

Prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<2SD) memberikan gambaran yang

fluktuatif dari 18,4 % (2007) menurun menjadi 17,9 % (2010) kemudian meningkat

lagi menjadi 19,6 % (tahun 2013). Beberapa provinsi, seperti Bangka Belitung,

Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah menunjukkan

kecenderungan menurun. Dua provinsi yang prevalensinya sangat tinggi (>30%)

adalah NTT diikuti Papua Barat, dan dua provinsi yang prevalensinya <15 % terjadi

di Bali, dan DKI Jakarta (Kemenkes RI, 2013).

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

Berdasarkan penimbangan balita di posyandu, ditemukan sebanyak 26.518

balitagizi buruk secara nasional. Kasus gizi buruk yang dimaksud ditentukan

berdasarkanperhitungan berat badan menurut tinggi badan balita Zscore < -3 standar

deviasi (balita sangat kurus). Sedangkan menurut hasil Riskesdas 2013 prevalensi

gizi sangat kurus pada balita sebesar 5,3%. Jika diestimasikan terhadap jumlah

sasaran balita yang terdaftar di posyandu yang melapor (21.436.940) maka perkiraan

jumlah balita gizi buruk (sangat kurus) sebanyak sekitar 1,1 juta jiwa. Dengan

demikian penemuan kasus balita gizi buruk masih jauh dibandingkan perkiraan kasus

gizi buruk yang ada di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menimbang balitanya karena cakupan

penimbangan balita belum mencapai tiga perempat dari jumlah balita yang terdaftar

di posyandu yang melapor. Sedangkan kegiatan penimbangan balita yang dilakukan

di posyandu diharapkan bisa mencapai minimal 80% dan sisanya dapat dicapai

melalui penjaringan (sweeping) oleh tenaga kesehatan ke rumah balita. Selain itu

peningkatan keterampilan petugas (kader) posyandu untuk mendeteksi status gizi

balita juga perlu ditingkatkan (Kemenkes RI, 2015).

2.6 Determinan Penyakit ISPA

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita yaitu:

2.6.1 Jenis Kelamin

Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara laki-laki secara biologis sejak

seseorang lahir, seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

laki memproduksi sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara

biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan

fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya

dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada dimuka

bumi (Hungu, 2013).

Anak laki-laki lebih suka bermain di tempat yang kotor, berdebu, dan banyak

bermain diluar rumah sehingga kontak dengan penderita ISPA lain yang mudah

penularan dan anak terkena ISPA. Anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA

dibandingkan dengan anak perempuan. Hasil penelitian di Puskesmas Lerep

Semarang didapatkan bahwa jenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami

kejadian ISPA sekitar 55,7% (73 orang), sedangkan jenis kelamin laki-laki sebesar

44,3% (58 orang) (Pratama, 2010).

2.6.2 Status Gizi

Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat

gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologi akibat dari

tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh (Supariasi, 2011), sedangkan menurut

Soekirman (2013), status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau

sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-

ukuran gizi tertentu.

Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tumbuh dan berkembang

dengan baik, berat dan tinggi badannya akan selalu bertambah, sedangkan keadaan

gizi yang buruk akan muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi

buruk dan infeksi, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat

pneumonia. Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap

orang tua, perlu perhatian lebih dalam tumbuh kembang diusia balita didasarkan fakta

bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini akan berpengaruh pada kualitas

tumbuh kembang anak (Marimbi, 2010)

Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan

dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Dalam

keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan

diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh

akan menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap

serangan infeksi menjadi menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita

tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan

gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih

lama (Maryunani, 2011).

Hasil penelitian di Puskesmas Pajang Surakarta, kejadian ISPA pada balita

sebanyak 104 jiwa, yang memiliki status gizi baik dengan kejadian ISPA sebanyak 45

jiwa (43,27%) dan yang mempunyai status gizi kurang dengan kejadian ISPA

sebanyak 59 jiwa (56,73%) (Hardiana, 2013). Untuk menilai status gizi balita ada

beberapa kategori status gizi menurut indikator yang digunakan dan batas-batasnya,

seperti pada tabel dibawah ini :

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

Tabel 2.1Antropometri Menurut Standar WHO-NCHS

Antropometri Menurut Status Gizi Keterangan


Standar WHO-NCHS
Indikator
Berat badan menurut Gizi Lebih > 2 SD
umur (BB/U) Gizi Baik -2 SD sampai + 2 SD
Gizi Kurang < 2 SD sampai -3 SD
Gizi Buruk < - 3 SD
Tinggi badan menurut Normal - 2 SD sampai + 2 SD
umur (TB/U) Pendek < - 2 SD
Berat badan menurut Gemuk > 2 SD
tinggi badan (BB/TB) Normal - 2 SD sampai + 2 SD
Kurus
Kurus Sekali < 2 SD sampai -3 SD
< - 3 SD
Sumber : Kemenkes RI,2012.

2.6.3 Berat Bayi Lahir Rendah

Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang

kurang 2.500 gram. Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan

fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai risiko

kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat bayi lahir normal, terutama

pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang

sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan

sakit saluran pernapasan lainnya (Maryunani, 2011). Penyebab terbanyak terjadi

BBLR adalah kelahiran prematur. Bayi yanag lahir pada kehamilan kurang dari 37

minggu pada umumnya disebabkan oleh tidak mempunyai uterus yang dapat

menahan janin, gangguan selama kehamilan dan lepasnya plasenta yang lebih cepat

dari waktunya. Bayi prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

normal untuk bertahan hidup diluar rahim sehingga semakin muda umur kehamilan.

Kelompok BBLR sering mendapatkan komplikasi akibat kurang matangnya organ

karena prematur (PONED, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian di Puskesmas Tunikamaseang diketahui bahwa

dari 6 balita BBLR yang berusia 12-23 bulan terdapat 5 balita (83,5%) balita yang

menderita ISPA dan 1 balita (16,7%) tidak menderita ISPA. Hal ini disebabkan pusat

pengaturan pernapasan belum sempurna, paru-paru masih kurang berfungsi, otot

pernapasan dan tulang iga lemah. Bayi BBLR mengalami infeksi paru-paru dan gagal

pernapasan (Ibrahim, 2011).

2.6.4 Pemberian Kolostrum

Kolostrum diproduksi sejak minggu ke-16 kehamilan dan siap menyonsong

kelahiran.Kolostrum ini berkembang menjadi ASI yang matang sekitar tiga sampai

empat hari setelah kelahiran.Kolostrum merupakan suatu cairan kental berwarna

kuning yang sangat pekat, tetapi terdapat dalam volume yang kecil pada awal

kelahiran yang menjadikan makanan idelan pada bayi yang baru lahir. Kolostrum

juga mempunyai efek membersihkan perut dari meconium yang mempunyai

konsentrasi empedu yang tinggi sehingga akan mengurangi kemungkinan terjadinya

ikterus. Kolostrum berisi antibodi serta zat-zat anti infeksi seperti IgA, lisioson,

laktoferin dan sel-sel darah putih dalam konsentrasi tinggi juga kaya akan factor-

faktor pertumbuhan serta vitamin-vitamin yang larut dalam lemak khususnya vitamin

A (Pollard, 2015)

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

Kolostrum mensuplai berbagai faktor kekebalan (faktor imun) dan faktor

pertumbuhan pendukung kehidupan dengan kombinasi zat gizi (nutrient) yang

sempurna untuk menjamin kelangsungan hidup, pertumbuhan dan kesehatan bagi

bayi baru lahir. Penelitian secara medis menunjukkan bahwa kolostrum mempunyai

faktor imunitas yang kuat yang membantu melawan virus, bakteri, jamur, alergi,

toksin, membantu mengatasi berbagai masalah usus, auto imunitas, arthiritis dan

membantu menyeimbangkan kadar gula dalam darah serta kaya akan kandungan

TgF-B yang mengandung terapi penderita kanker, pembentukan tulang dan mencegah

penyakit herpes (Proverawati, dkk, 2010)

2.6.5 Pemberian ASI

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan

sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi kebutuhan

gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan. ASI eksklusif

adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa mamberikan

makanan atau cairan lain (Kemenkes RI, 2014).

Pada waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk

kekebalan sendiri secara sempurna. ASI mampu memberikan perlindungan terhadap

infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu sendiri.

Dengan adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI eksklusif akan

terlindungi dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus,

jamur atau parasit (Roesli, 2010).

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

Air Susu Ibu adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktose dan

garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjer payudara ibu sebagai

makanan utama pada bayi. ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan

komposisinya disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat

terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara

dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga dapat

menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu formula yang

tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan menjadi pemicu

terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak lebih mudah

terserang penyakit infeksi (Weni, 2011).

Hasil penelitian yang dlakukan di RSU dr. Soekardjo Tasikmalaya,

menunjukkan bahwa balita yang diberikan asi dengan kejadian ISPA sebanyak 7 jiwa

(33,3%) dibandingkan dengan balita yang tidak mendapatkan asi dengan kejadian

ISPA sebanyak 52 jiwa (61,2%) (Hersoni, 2015).

2.6.6 Imunisasi

Salah satu pencegahan ISPA adalah Imunisasi, pemberian imunisasi sangat

diperlukan baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Imunisasi dilakukan untuk

menjaga kekebalan tubuh supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit

yang disebabkan oleh virus/ bakteri. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah berbagai

jenis penyakit infeksi seperti Polio, TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan

Campak. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian demi akibat penyakit-

penyakit tersebut. Penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

imunisasi adalah difteri dan batuk rejan (Depkes RI, 2005).

Menurut Lisdianti 2015, terdapat hubungan antara status imunisasi balita

dengan kejadian ISPA di mana status Imunisasi balita di Puskesmas Pasir Putih

sebagian besar lengkap se banyak 53 balita (72,6%) kejadian ISPA pada anak balita

di Puskesmas Pasir Putih sebagian besar tidak ISPA sebanyak 44 balita (60,3%) di

mana baliata yang mendapatkan imunisasi lengkap lebih rendah mengalami kejadian

ISPA dari pada yang mendapatkan imunisasi lengkap.

2.6.7 Kepadatan Hunian

Rumah harus menjamin kesehatan penghuninya, salah satu syarat rumah sehat

adalah memenuhi kebutuhan fisiologis. Secara fisik kebutuhan fisiologis meliputi

kebutuhan suhu yang optimal, pencahayaan yang optimal, perlindungan terhadap

kebisingan, ventilasi yang memadai, dan tersedianya ruang sesuai dengan

peruntukannya seperti ruang tamu, kamar tidur, dapur, ruang bermain anak, gudang,

kamar mandi dan kakus (Mukono, 2012).

Berdasarkan Kemenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan

menetapkan bahwa luas ruang tidur lebih dari atau sama dengan 8m2 dikategorikan

sebagai tidak padat dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam

satu kamar tidur. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya

akan mempunyai dampak kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan

penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernapasan

seperti ISPA. Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai

dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan

tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka

semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan

banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh

peningkatan CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam ruangan adalah penurunan

kualitas udara dalam ruangan (Kemenkes RI, 2015).

Menurut penelitian di Puskesmas Sungai Pinang menunjukkan bahwa

kepadatan hunian yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita sebesar

43,4% (53 jiwa) dibandingkan dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat

dengan kejadian ISPA pada balita sebesar 56,5% (69 jiwa), hal ini menunjukkan

semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara ruangan

mengalami pencemaran gas atau bakteri yang dapat menggangu kesehatan (Ningrum,

2015).

2.6.8 Ventilasi

Menurut Notoatmodjo (2012) ventilasi adalah proses udara segar ke dalam

dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun

buatan. Ventilasi adalah suatu usaha untuk menyediakan udara segar, mencegah

akumulasi gas beracun dan mikroorganisme, memelihara temperatur dan kelembaban

optimum terhadap udara di dalam ruangan. Lubang hawa atau ventilasi tetap minimal

5 % dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka

dan ditutup), yaitu jendela minimal 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya

adalah 10% dari luas lantai ruangan (Notoatmodjo, 2012).

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah

menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap

terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar

CO2 menjadi racun. Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari

bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam

kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2012). Kelembaban yang tinggi dapat

menyebabkan peningkatan risiko kejadian ISPA. Adanya pemasangan ventilasi

rumah merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA

(Mukono, 2008).

Berdasarkan kejadiannya ventilasi dibagi menjadi dua yaitu ventilasi alamiah

berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang terjadi secara alamiah

melalui jendela, pintu dan lubang angin. Selain itu ventilasi alamiah juga

menggerakkan udara sebagai hasil poros dinding ruangan, atap dan ventilasi buatan

dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat

tersebut di antaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC. Menurut Kemenkes No.

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal

secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara melihat indikator

penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari

sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi

syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah.

Hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sungai Pinang menunjukkan

bahwa ventilasi yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita sebesar

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

51,6% (63 jiwa) dibandingkan dengan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita

yang tidak memenuhi syarat sebesar 48,3% (59 jiwa), hal ini menunjukkan bahwa

tidak terdapat hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ispa. Hal ini

disebabkan ventilasi yang selalu dibuka setiap hari sehingga udara dapat bertukar

dengan baik dari dalam dan dari luar rumah (Nigrum, 2015).

2.7 Landasan Teori

Landasan teori merupakan tujuan utama dari ilmu karena teori merupakan alat

untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena yang diteliti. Teori selalu berdasarkan

faktaa, didukung oleh dalil dan proposisi. Secara teori harus berlandaskan fakta emfiris

karena tujuan utamanya adalah menjelaskan dan memprediksikan kenyataan atau realitas.

Suatu penelitian dengan dasar teori yang baik akan membantu mengarahkan sipeneliti

dalam upaya menjelaskan fenomena yang diteliti (Notoatmodjo, 2012).

Menurut John Gordon bahwa timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh adanya

pengaruh faktor pejamu (host), agent dan lingkungan ( Environment). Agent suatu

penyakit meliputi agent biologis dan non biologis, misalnya agent fisik, kimia. Faktor

host adalah faktor-faktor intrinstik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu

terhadap faktor agent. Sedangkan faktor lingkungan adalah elemen-elemen ekstrinstik

yang dapat mempengaruhi keterpaparan pejamu terhadap faktor agent.

Berdasarkan hasil penelitian diberbagai negara, termasuk Indonesia dan berbagai

publikasi ilmiah dilaporkan faktor risiko yang meningkatkan kejadian (morbiditas) ISPA

yang akan dijelaskan berikut, yaitu:

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

1. Host (Pejamu)

Manusia yang keberadaannya dipengaruhi oleh ; umur, jenis kelamin, status gizi,

berat bayi rendah, pemberian ASI eksklusif, status imunisasi, vitamin A.

2. Agent

Faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus, dan parasit (infection

agent).

3. Environment (Lingkungan)

Faktor di luar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host terdiri dari

lingkungan biologis, fisik dan sosial. Dalam penelitian ini yang berperan sebagai

faktor lingkungan meliputi : bakteri, virus dan parasit (infectious agent),

ventilasi, dan kepadatan hunian kamar.

Konsep di atas adalah suatu konsep yang dinamis, setiap perubahan dari

ketiga lingkungan tersebut akan menyebabkan bertambahnya atau berkurang nya

kejadian suatu penyakit. Untuk itu guna menurunkan kesakitan atau kejadian ISPA,

maka dirumuskan suatu upaya pemberantasan penyakit dengan pendekatan terhadap

faktor risiko yang berhubungan melalui kerjasama dengan program imunisasi,

program bina kesehatan balita, program bina gizi masyarakat dan program

penyehatan lingkungan pemukiman.

Determinan penyakita ISPA pada balita menggunakan teori Jhon Gordon

bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu bibit penyakit

pejamu (Host), (Agent), lingkungan (Environment) (Jhon Gordon, 1997).

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

Host

Agen Environment

Gambar 2.1 Landasan Teori


Sumber Jhon Gordon, 1997

2.8 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan dasar pada penelitian yang dirumuskan oleh

fakta-fakta, observasi dan tinjauan. Kerangka konsep membuat teori, dalil atau

konsep-konsep yang akan dijadikan dasar pijakan untuk melakukan penelitian

(Setiawan dkk, 2010).

Faktor independen (variabel bebas) dalam penelitian ini yaitu meliputi jenis

kelamin, status gizi, BBLR, pemberian kolostrum, pemberian ASI eksklusif,

kepadatan hunian dan ventilasi. Faktor dependen (variabel terikat) dalam penelitian

ini adalah kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan tujuan penelitian maka kerangka

konsep dapat digambarkan sebagai berikut:

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

Variabel Independent Variabel Dependent

FAKTOR HOST

1. Jenis Kelamin
2. Status Gizi
3. BBLR
4. Pemberian kolostrum
5. Asi Ekskusif Kejadian ISPA Pada
6. Imunisasi Balita

FAKTOR ENVIRONMENT

1. Kepadatan Hunian
2. Ventilisasi

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Peneliti


Sumber : Depkes RI 2000

2.9 Hipotesis

Ada hubungan faktor jenis kelamin, status gizi, BBLR, pemberian

kolostrum,pemberian ASI eksklusif, imunisasi, kepadatan hunian, ventilasi dengan

kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Ambarita Kec. Simanindo

Kab. Samosir tahun 2017.

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitianini merupakan penelitian analitik dengan desain penelitian cross

sectional. Penelitian analitik adalah penelitian yang mencoba menggali bagaimana

dan mengapa fenomena ini terjadi. Sedangkan desain cross sectional study

perhitungan faktor penyebab dan faktor akibat dilakukan bersamaan melalui

wawancara menggunakan kuesioner.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo

Kabupaten Samosir dengan alasan Puskesmas tersebut merupakan Puskesmas yang

dilengkapi dengan data pemantauan MTBS dan angka kejadian ISPA pada balita

semakin meningkat setiap tahunnya dimana Tahun 2014 mencapai 70 dari 618 balita

(11,3%), Tahun 2015 mencapai 129 dari 616 balita (20,9%), dan Tahun 2016

mencapai 147 dari 634 balita (23,1%).

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan melakukan survei pendahuluan, penyusunan

proposal, seminar proposal, penelitian, analisis data, hingga penyusunan laporan

akhir sampai seminar hasil yang dimulai dari bulan Mei sampai dengan Desember

tahun 2017.

36
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah seluruh balita yang ada di wilayah kerja

Puskesmas Ambarita. Berdasarkan data kunjungan di Puskesmas Ambarita

Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir dari bulan Januari sampai April tahun

2017 sebanyak 276 balita yaitu umur ≥12 – 59 bulan.

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian anak balita umur ≥12 – 59

bulan, dimana besar sampel diambil dalam penelitian ini menggunakan rumus besar

sampel data ketegori satu populasi (Lemeshow, 1997)

{𝑍(1−𝛼) . √𝑃0 (1 − 𝑃-𝑜) + 𝑍(1−𝛽) √𝑃𝑎 (1 − 𝑃𝑎 )}2


2
𝑛=
(𝑃𝑎 − 𝑃0 )²

Keterangan :

n : Besar sampel minimal yang diperlukan

α : Taraf Kemaknaan 5%

Z1-α/2 : Deviat baku alpa untuk α = 0,05 → Zα = 1,96

Z1-β : Deviat baku beta untuk β = 0,10 → Zβ = 1,28

P0 : proporsi kasus ISPA balita yang diharapkan 1,9% (0,019) (survey awal)

Pa : perkiraan proporsi kasus ISPA balita yang diharapkan 1,4% (0,014)

(Dinkes Samosir)

Pa-P0 : Selisih proporsi sebesar -0,005 (ditetapkan peneliti)

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

{(1,96. √0,091 𝑥 0,909 + 1,28 √0,0,14 𝑥 0,986)}2


𝑛=
(0,014 − 0,091)2

𝑛 = 85,7 = 86

Maka jumlah sampel minimal dalam penelitian ini adalah 86 balita(umur 12 –

59 bulan) dimana yang menderita ISPA sebanyak 48 balita dan tidak ISPAsebanyak

38 balita. Penarikan sampel dengan menggunakan teknik sisematis sampling yaitu

teknik pengambilan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah

diberi nomor urut dengan menggunakan alat ukur interval.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan meliputi data primer dan data

sekunder. Data primer diukur meliputi yang meliputi variabel independen, instrumen

variabel di dapatkan dari ibu balita. Sebagai responden data sekunder dikumpulkan

dari catatan pengkajian.

3.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara kepada responden

berdasarkan kuesioner yang telah disediakan. Pengumpulan data primer dilakukan

dengan berdasarkan kerangka konsep kemudian disusun instrumen untuk

mengumpulkan data.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari laporan-laporan dan catatan atau dokumen

kesehatan dari data laporan bulanan dan tahunan, jumlah balita dengan ISPA di

Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir. Data yang

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

diperoleh berupa rekapitulasi hasil pendataan jumlah balita yang telah diperiksa dan

dinyatakan mengalami ISPA.

3.5. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

Variabel penelitian ini meliputi faktor-fakor yang berperan dalam peristiwa yang

akan diteliti.

3.5.1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas (independent variabel) dan

variabel terikat (dependent variabel). Variabel bebas meliputi faktor jenis kelamin,

status gizi, berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian kolostrum, pemberian ASI

eksklusif, imunisasi, kepadatan hunian, ventilasi. Sedangkan variabel terikat adalah

kejadian ISPA pada balita.

3.5.2. Defenisi Operasional

1. Kejadian ISPA pada balita adalah balita yang datang berkunjung ke puskesmas

dan didiagnosa dokter menderita ISPA, atau balita yang mengalami gejala ISPA

yang ditanyakan dengan kuesioner.

2. Jenis kelamin adalah perbedaan antara laki-laki da perempuan secara biologis.

3. Status gizi adalah keseimbangan antar komsumsi dan penyerapan zat gizi dan

penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini ditentukan berdasarkan perhitungan berat

badan menurut tinggi badan balita.

4. Berat badan lahir rendah (BBLR) adalah berat bayi lahir kurang dari 2500 gram.

Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental

pada masa balita.

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

5. Pemberian kolostrum adalah tindakan ibu pertama sekali saat memberikan ASI

pertama (kolostrum), kolostrum adalah air susu yang dihasilkan oleh kelenjar

susu dalam tahap akhir kehamilan dan beberapa hari setelah kelahiran bayi.

Kolostrum berwarna kekuningan dan kental.

6. Pemberian ASI eksklusif adalah tindakan ibu dalam menyusui bayi selama 6

bulan tanpa diberi makanan/cairan lain selain ASI. ASI mengandung gizi yang

cukup lengkap dan komposisinya disesuaikan dengan sistem pencernssn bayi

sehingga zat gizi cepat terserap.

7. Imunisasi adalah jenis imunisasi yang sudah didapatkan oleh balita sesuai dengan

batas waktu pemberian usia bayi dan frekuensi mendapatkannya yaitu BCG :

0 – 11 bulan, DPT 3 x : 2 – 11 bulan, Polio 4 x : 0 – 11 bulan, Campak 1x : 9 –

11 bulan, Hepatitis B 3 x : 0 – 11 bulan

8. Kepadatan hunian adalah Bayaknya penghuni kamar tidur dibandingkan dengan

luas lantai kamar tidur. Berdasarkan Kemenkes RI No. 829 tahun 1999 tentang

kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur lebih dari atau sama

dengan 8 m2 diaktegorikan sebagai tidak padat dan tidak dianjurkan digunakan

lebih dari dua orang tidur dalam satu kamar.

9. Ventilasi adalah jendela dan lubang anging yang dapat berfungsi untuk

mengalirkan udara segar kedalam ruangan, luas minimal 10 % dari luas lantai.

Pengukuran dilakukan pada setiap variabel. Cara ukur, alat ukur dan skala

ukur dan kategori masing-masing setiap variabel penelitian diuraikan pada tabel

berikut:

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

Tabel 3.1 Variabel, Alat Ukur, Hasil Ukur dan Skala Ukur

Skala
No Variabel Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
I Variabel
Dependen
Kejadian Kuesioner 1.ISPA Ordinal
ISPA 2. Tidak ISPA
II Variabel
Independen
Jenis Kelamin Kuesioner 1. Perempuan Nominal
2. Lak-laki
Status Gizi Kuesioner 1. Buruk Ordinal
2. Baik
BBLR Kuesioner 1. < 2500 gr Ordinal
2. > 2500 gr
Pemberian Kuesioner 1. Tidak Mendapatkan kolostrum Ordinal
kolostrum 2. Mendapatkan kolostrum
Pemberian ASI Kuesioner 1. Tidak ASI eksklusif Ordinal
eksklusif 2. ASI eksklusif
Imunisasi Kuesioner 1. Tidak lengkap Ordinal
2. Lengkap
Kepadatan Kuesioner 1. Tidak Memenuhi Syarat ≥ 8m2 Ordinal
Hunian Observasi 2. Memenuhi Syarat≤ 8m2
Ventilasi Kuesioner 1. Tidak memenuhi syarat≥ 10 % Ordimal
Observasi dari luas lantai
2. Memenuhi syarat≤10 %

3.6. Pengukuran Data

Pengukuran data merupakan salah satu bagian rangkaian penelitian setelah

kegiatan pengolahan data. Data mentah yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah

sehingga menjadi sumber yang dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian.

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program

komputer.Tahapan pengolahan data melalui beberapa proses yakni sebagai berikut:

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

1. Editing data

Tahapan ini merupakan bagian penyuntingan data yang telah terkumpul dengan

cara memeriksa kelengkapan data dan kesalahan pengisian kuesioner untuk

memastikan data yang diperoleh telah lengkap dapat dibaca dengaan baik, relevan

dan konsisten.

2. Coding data

Setelah melakukan proses editing kemudian dilakukan pengolahan pada jawaban

dari setiap pertanyaan terhadap setiap variabel sebelum diolah dengan komputer,

dengan tujuan untuk memudahkan dalam melakukan analisa data.

3. Entry data

Tahap ini merupakan proses memasukkan data dari kuesioner kedalam komputer

untuk kemudian diolah dengan bantuan perangkat komputer.

4. Cleaning

Pada tahap ini dilakukan proses pengecekan kembali dan pemeriksaan kesalahan

pada data yang sudah dientri untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan dtata yang

telah dikumpulkan.

3.7. Metode Analisis Data

Pada penelitian ini analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat,

bivariat, dan multivariat, setelah dikumpulkan data akan dianalisis dengan tahapan

analisis data sebagai berikut:

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

1. Analisis univariat yaitu analisis yang menitik beratkan kepada penggambaran

atau deskripsi data yang diperoleh, menggambarkan distribusi frekuensi dari

masing-masing variabel independen dan dependen.

2. Analisis bivariat yaitu analisis untuk melihat hubungan variabel independen

dengan dependen dengan menggunakan uji bivariat (chi-square) pada tingkat

kepercayaan 95% (p<0,05).

3. Analisis multivariat yaitu Untuk mengetahui faktor yang paling dominan

dengan menggunakan uji regresi logistik berganda, adapun tahapan proses

analisis multivariat adalah sebagai berikut :

1) Memasukkan variabel kandidat dalam proses analisis multivariat regresi

logistik berganda dengan cara memilih variabel independen yang memiliki

nilai p< 0,25.

2) Melakukan analisis semua variabel independen yang masuk dalam

pemodelan dengan menggunakan metode backward LR dengan cara

mengeluarkan variabel independen yang memiliki nilai p terbesar sehingga

didapatkan model awal dengan variabel faktor penentu yang memiliki nilai

p< 0,05.

3) Hasil uji multivariat yang mempunyai nilai p<0,05, merupakan pemodelan

akhir dari penentu faktor yang paling dominan terhadap penderita ISPA pada

balita.

4) Model yang diasumsikan dari regresi logistik berganda untuk probabilitas

kejadian penyakit dengan menggunakan rumus:

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

1
𝑝=
1 + e − (𝑎 + 𝑏1 𝑥1 + 𝑏2 𝑥2 + 𝑏𝑖𝑥𝑖 )

Dimana :

P = Probabilitas variabel dependen a = konstanta

b₁,₂ = nilai koefisien regresi X₁,₂ = variabel independen

e = bilangan alamiah yang besarnya 2,71828

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten


Samosir

Pusat Kesehatan Masyarakat disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan

kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan

preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di

wilayah kerjanya.

Fungsi dari puskesmas yaitu Sebagai Pusat Pembangunan Kesehatan

Masyarakat di wilayah kerjanya, Membina peran serta masyarakat di wilayah

kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat, Memberikan

pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah

kerjanya.

Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari

kecamatan. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan

infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah

kerja Puskesmas

Lokasi puskesmas Ambarita terletak dijalan Raya Ambarita Desa Ambarita

Kecamatan Simanindo, dimana wilayah kerja puskesmas terdiri dari 9 ( Sembilan )

desa, yaitu desa Ambarita, desa Garoga, desa Martoba, desa Marlumba, desa

Maduma, desa S.Sangkal, desa Simanindo, desa Siallagan, desa Unjur dengan letak

45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46

geografis : Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pangururan, sebelah Selatan

berbatasan dengan Kecamatan Onan Runggu, sebelah Barat berbatasan dengan

Kecamatan Ronggur nihuta, sebelah Timur berbatasan dengan Danau Huta.

Puskesmas didirikan pada tanggal 20 Juli 1916, Wilayah kerja puskesmas

Ambarita tercatat jumlah penduduk 7.410 jiwa dengan jumlah KK sebanyak

1.956KK. Puskesmas Ambarita yang terdiri dari dua gedung, gedung pertama yaitu

terdiri dari : Ruang kartu, Ruang rawat inap/rujukan, ruang KIA-KB, ruang gizi,

ruang poli umum, ruang poli anak, ruang bersalin, apotek, sanitasi, dapur, toilet.

Gedung dua terdiri dari : ruang Kapus, ruang KTU, klinik gigi, ruang TB paru,ruang

DBD, diare, ISPA, Ruang imunisasi, ruang rapat/Aula, Klinik VCT/IMS,

Laboratorium dan toilet.

4.2. Pelayanan Puskesmas Pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Ambarita

Pelayanan yang diberikan Puskesmas meliputi pelayan KIA, imunisasi, gizi,

pelayanan gigi, kesehatan lingkungan, pencegahan penyakit tidak menular dan

pengobatan, salah satu upaya pelayan kesehatan yang berkaitan dengan ISPA lebih

difokuskan pada upaya penemuan dini dan tatalaksana kasus yang cepat dan tepat

terhadap penderita pneumonia balita yang ditemukan.

ISPA adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernapasan bagian

atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi ini disebabkan oleh virus, jamur

dan bakteri. ISPA akan menyerang host apabila ketahanan tubuh (immunologi)

menurun. Bayi di bawah lima tahun adalah kelompok yang memiliki sistem

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit. ISPA merupakan

penyakit yang mudah sekali menular (Probowo, 2012).

Puskesmas Ambarita merupakan salah satu Puskesmas di Kabupaten Samosir.

Wilayah kerja Puskesmas Ambarita terdiri dari 9 desa yaitu Desa Ambarita, Garoga,

Siallagan, Unjur, Martoba, Marlumba, Simanindo Sangkal, Simanindo, Maduma.

Pada tahun 2014, angka kesakitan ISPA mencapai 70 dari 618 balita (11,3%). Pada

tahun 2015, angka kesakitan ISPA mencapai 129 dari 616 balita (20,9%), dan pada

tahun 2016, angka kesakitan ISPA mencapai 147 dari 634 balita (23,1%).

Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat

penting dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Dengan pemberian

pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat, diharapkan sebagian besar masalah

kesehatan masyarakat sudah dapat diatasi (Puskesmas Ambarita, 2016).

4.3. Hasil Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variabel

independen yaitu jenis kelamin, status gizi, BBLR, pemberian kolostrum, pemberian

ASI eksklusif, imunisasi, kepadatan hunian, ventilasi dan variabel dependen kejadian

ISPA pada Balita dalam distribusi frekuensi.

4.3.1. Gambaran Faktor Host

Faktor host merupakan variabel independent yang meliputi jenis kelamin,

status gizi, BBLR, pemberian kolostrum, pemberian ASI eksklusif, imunisasi.

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

4.3.2 Gambaran Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan merupakan variabel independen yaitu kepadatan hunian

dan ventilisasi.

4.3.3 Karakteristik Balita

Tabel 4.1 menunjukkan, berdasarkan status ISPA adalah ISPA sebanyak 48

orang (55,8%) dan tidak ISPA sebanyak 38 orang (44,2%).

Tabel 4.1. Distribusi Balita Berdasarkan Status ISPA Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

ISPA Jumlah %
ISPA 48 55.8
Tidak ISPA 38 44.2
Jumlah 86 100

Tabel 4.2 Hasil penelitian menunjukkan responden dengan jenis kelamin

perempuan sebanyak 46 orang (53,5%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 40 orang

(46,5%).

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Jenis Kelamin Dengan


Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambarita
Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

Jenis Kelamin Jumlah %


Laki-laki 40 46.5
Perempuan 46 53.5
Jumlah 86 100

Tabel 4.3 Hasil penelitian pada tabel dibawah menunjukkan sebanyak 45

responden (52,3%) memiliki gizi baik dan 41 responden (47,7%) memiliki gizi

kurang baik.

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Status Gizi Dengan


Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambarita
Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

Status Gizi Jumlah %


Kurang 41 47.7
Baik 45 52.3
Jumlah 86 100

Tabel 4.4 menunjukkan sebanyak 53 responden (61,6%) responden

mengalami BBLR dan sebanyak 33 responden (38,4%) responden tidak mengalami

BBLR.

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan BBLR Dengan Kejadian ISPA


Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo
Kabupaten Samosir

BBLR Jumlah %
< 2500 gr 53 61.6
>2500 gr 33 38.4
Jumlah 86 100

Tabel 4.5 hasil penelitian diketahui bahwa sebayak 24 responden (27,9%)

tidak mendapatkan kolostrum dan sebanyak 62 responden (72,1%) mendapatkan

kolostrum.

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pemberian kolostrum


Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambarita
Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

Pemberian Kolostrum Jumlah %


Tidak mendapat kolostrum 24 27.9
Mendapat kolostrum 62 72.1
Jumlah 86 100

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

Tabel 4.6 menunjukkan sebanyak 47 orang (54,7%) responden tidak ASI

Eksklusif dan sebanyak 39 orang (45,3%) responden mendapatkan ASI Eksklusif.

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pemberian ASI dengan


Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambarita
Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

ASI Eksklusif Jumlah %


Tidak ASI Eksklusif 47 54.7
ASI Eksklusif 39 45.3
Jumlah 86 100

Tabel 4.7 Hasil penelitian menunjukkan diperoleh sebanyak 41 responden

(47,7%) memiliki imunisasi tidak lengkap dan sebanyak 45 orang (52.3%) responden

memiliki imunisasi lengkap.

Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pemberian Imunisasi


dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambarita
Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

Imunisasi Jumlah %
Tidak lengkap 41 47.7
Lengkap 45 52.3
Jumlah 86 100

Tabel 4.8 menunjukkan sebanyak 47 orang (54,7%) responden memiliki

kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat dan sebanyak 39 orang (45,3%)

responden memiliki kepadatan hunian yang memenuhi syarat.

Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Kepadatan Hunian


Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

Kepadatan Hunian Jumlah %


Tidak memenuhi syarat 47 54.7
Memenuhi syarat 39 45.3
Jumlah 86 100

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

Tabel 4.9 Hasil penelitian ditemukan sebanyak 52 orang (60,5%) responden

memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan sebanyak 34 orang (39,5%)

memiliki ventilasi yang memenuhi syarat.

Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Ventilasi Dengan


Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambarita
Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

Ventilasi Jumlah %
Tidak memenuhi syarat 52 60.5
Memenuhi syarat 34 39.5
Jumlah 86 100

4.4 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian ISPA yaitu jenis kelamin, status gizi, BBLR, pemberian kolostrum,

pemberian ASI eksklusif, imunisasi, kepadatan hunian danventilasi.

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 50,0% responden berjenis kelamin

perempuan mengalami ISPA dan sebanyak 34,4% responden berjenis kelamin laki-

laki mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai p= 0,311 hal

ini berarti nilai p> 0,05 sehingga Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan jenis

kelamin dengan kejadian ISPA pada balita.

Responden dengan status gizi kurang sebanyak 40,8% mengalami ISPA dan

sebayak 37,8% responden dengan status gizi baik tidak mengalami ISPA.

Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai p= 0,210 hal ini berarti nilai p> 0,05

sehingga Ho diterima. Hal ini berart tidak ada hubungan status gizi dengan kejadian

ISPA.

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan status

BBLR kurang dari 2500 gr sebanyak 52,8% mengalami ISPA dan sebanyak 39,4%

responden dengan status BBLR kurang dari 2500 gr tidak mengalami ISPA.

Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai p= 0,480 hal ini berarti nilai p> 0,05

sehingga Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan BBLR dengan kejadian

ISPA pada balita.

Dilihat dari variabel pemberian kolostrum sebanyak 62,5% responden yang

tidak mendapat kolostrum mengalami kejadian ISPA dan sebanyak 46,8% responden

yang mendapat kolostrum tidak mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil uji Chi

square diperoleh nilai p= 0,437 hal ini berarti nilai p> 0,05 sehingga Ho diterima. Hal

ini berarti tidak ada hubungan pemberian kolostrum dengan kejadian ISPA pada

balita.

Data ASI eksklusif sebanyak 85,1% responden yang tidak mendapat ASI

mengalami kejadian ISPA dan hanya 20,5% responden yang mendapat ASI namun

mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai p=

0,0001 hal ini berarti nilai p< 0,05 sehingga Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan

ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Dengan nilai RP sebesar 4,1 yang

artinya balita yang tidak mendapat ASI eksklusif 4,1 kali lebih mudah untuk terkena

ISPA daripada balita yang mendapatkan ASI eksklusif.

Responden yang mendapat imunisasi lengkap sebanyak 65,9% mengalami

kejadian ISPA dan sebanyak 45,2% responden yang tidak mendapat imunisasi tidak

lengkap mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai

p= 0,054 hal ini berarti nilai p> 0,05 sehingga Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada

hubungan imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita.

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

Data menunjukkan sebanyak 87,2% responden dengan kepadatan hunian yang

tidak memenuhi syarat mengalami kejadian ISPA dan sebanyak 82,1% responden

dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat tidak mengalami kejadian ISPA.

Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai p= 0,0001 hal ini berarti nilai p<0,05

sehingga Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian

ISPA pada balita dengan nilai RP sebesar 4,8 yang artinya kepadatan hunian

memengaruhi 4,8 kali kejadian ISPA.

Data menunjukkan ventilasi sebanyak 69,2% responden dengan ventilasi

tidak memenuhi syarat mengalami kejadian ISPA dan sebanyak 54,7% responden

dengan ventilasi memenuhi syarat tidak mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil

uji Chi square diperoleh nilai p= 0,002 hal ini berarti nilai p< 0,05 sehingga Ho

ditolak. Hal ini berarti ada hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita.

Dengan nilai RP sebesar 1,9 yang artinya ventilisasi memengaruhi 1,9 kali kejadian

ISPA.

Tabel 4.10. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada


Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo
Kabupaten Samosir

ISPA TIDAK JUMLAH


Variabel ISPA PR
P
n % n % n %
Jenis kelamin
- Perempuan 20 50,0 20 50,0 40 100,0 0, 821 0,311
- Laki-laki 28 34,4 18 65,6 46 100,0
Status Gizi
- Kurang 20 40,8 21 51,2 41 100,0 0,784 0,210
- Baik 28 62,2 17 37.8 45 100,0
BBLR
- <2500 gr 28 52.8 25 47,2 53 100,0 0,872 0,480
- ≥2500 gr 20 60,6 13 39.4 33 100,0

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

Lanjutan Tabel 4.10

ISPA TIDAK JUMLAH


Variabel PR
ISPA P
Pemberian Kolostrum
- Tidak mendapat 15 62,5 9 37.5 24 100,0
kolostrum 1,174 0,437
- Mendapat kolostrum 33 53,2 29 46.8 62 100,0
ASI Eksklusif
- Tidak ASI Eksklusif 40 85.1 7 14,9 47 100,0 4,149 0,0001
- ASI Eksklusif 8 20,5 31 79.5 39 100,0 2,211-7,784
Imunisasi
- Tidak lengkap 19 45.2 23 54,8 42 100,0 0,686 0,054
- Lengkap 29 65.9 15 34.1 44 100,0
Kepadatan Hunian
- Tidak memenuhi 41 87.2 6 12,8 47 100,0 4,860
syarat 2,463-9.592 0,0001
- Memenuhi syarat 7 17,9 32 82.1 39 100,0
Ventilasi
- Tidak memenuhi 36 69,2 16 30,8 52 100,0 1,962
syarat 1,202-3.201 0,002
- Memenuhi syarat 12 35.3 22 54,7 34 100,0

4.5 Analisis Multivariat

Analisis multivariat menggunakan regresi logistik untuk mengetahui variabel

yang paling dominan berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita yaitu dengan

melakukan pemilihan variabel yang potensial dimasukkan dalam model yaitu variabel

yang memiliki nilai p < 0,25.

Berdasarkan hasil uji statistik terhadap variabel, kelima variabel masuk dalam

analisis multivariat yaitu variabel Status Gizi, pemberian ASI Eksklusif, ,Imunisasi,

Kepadatan Hunian dan ventilisasi.Uji multivariat ini menggunakan metode enter

dimana pada setiap tahapan seleksi, variabel yang tidak signifikan dengan nilai p >

0,05 akan dikeluarkan satu persatu mulai dari variabel yang memiliki nilai p terbesar.

Setiap tahap selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama hingga seleksi terakhir

diperoleh variabel yang seluruhnya berhubungan secara signifikan (p < 0,05).

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

Tabel 4.11 Pemilihan Kandidat Model untuk Tahap Prediksi Multivariat


Variabel P
Jenis Kelamin 0,311
Status Gizi 0,260
BBLR 0,480
Pemberian Kolostrum 0,437
ASI Eksklusif 0,0001*
Imunisasi 0,054*
Kepadatan Hunian 0,0001*
Ventilasi 0,002*
*Variabel yang menjadi kandidat

Tabel 4.12 terlihat ada beberapa variabel yang tidak berhubungan dengan

kejadian ISPA dengan nilai (p Value > 0,05). Dengan demikian perlu dilakukan

pengeluaran variabel dengan nilai p terbesar yaitu variabel ASI eksklusif, dan

kepadatan hunian.

Tabel 4.12. Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Berganda Kejadian ISPA
di Wilayah Kerja Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo
Kabupaten Samosir
95% C.I.for EXP(B)
B Sig. RP
Lower Upper
Step 3c ASI
4.789 0.000 120.218 9.002 1605.538
ekslusif
Imunisasi -1.910 0.045 .148 .023 .956
Kepadatan
4.188 0.000 65.916 6.605 657.796
Hunian
Ventilasi 1.840 0.044 6.298 1.054 37.613
Constant -4.150 0.001 .016
Step 2b ASI
4.262 0.000 70.961 7.349 685.233
ekslusif
Kepadatan
4.160 0.000 64.070 7.200 570.123
Hunian
Ventilasi 1.819 0.030 6.163 1.190 31.925
Constant -4.978 0.000 .007
Step 1a ASI
3.913 0.000 50.064 5.993 418.234
ekslusif
Kepadatan
4.223 0.000 68.265 8.171 570.329
Hunian
Constant -3.916 0.000 .020

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

Berdasarkan hasil uji regresi logistik diperoleh variabel yang berhubungan

dengan kejadian ISPA pada balita adalah ASI eksklusif dan Kepadatan hunian.

Variabel yang paling dominan dengan kejadian ISPA adalah kepadatan hunian

dengan nilai Exp(B) 68.2, hal ini berarti kepadatan hunian berpengaruh 68.2 kali

terhadap kejadian ISPA.

Persamaan regresi logistik yang terbentuk adalah :

Keterangan : Y : Kejadian ISPA

X1 : ASI eksklusif

X2 : Kepadatan hunian

Bila hubungan ASI Eksklusif dan kepadatan hunian baik maka probabilitas

untuk kejadian ISPA adalah :

Y = -3,916+4,223(1)+3,913(1) = 4,22

1
P= = 0,98
1+ 2,71828−(4,22)

Berarti probabilitas untuk kejadian ISPA adalah 98 %. Hal ini berarti

probabilitas balita yang mendapat ASI Eksklusif dan Kepadatan Hunian yang

memenuhi syarat akan tidak terkena ISPA 98 kali dibandingkan balita yang tidak

mendapatkan ASI eksklusif dan Kepadatan Hunian yang tidak memenuhi syarat.

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Hubungan jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita

Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara laki-laki secara biologis sejak

seseorang lahir, seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-

laki memproduksi sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara

biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan

fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya

dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada dimuka

bumi (Hungu, 2013).

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan

yang signifikan antara jenis kelamin balita baik jenis kelamin perempuan maupun

laki-laki dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ambarita Kecamatan

Simanindo Kabupaten Samosir dengan nilai p = 0.311 (p>0,05).

Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian Pratama (2010), yang

menyatakan bahwa anak laki-laki lebih suka bermain ditempat yang kotor, berdebu,

dan banyak bermain di luar rumah sehingga kontak dengan penderita ISPA lain yang

mudah penularan dan anak terkena ISPA. Anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA

dibandingkan dengan anak perempuan, dan penelitian ini juga tidak selaras dengan

hasil penelitian di Puskesmas Lerep Semarang didapatkan bahwa jenis kelamin

perempuan mengalami kejadian ISPA sekitar 55% (73 orang), sedangkan jenis

kelamin laki-laki sebesar 44,3% (58 orang).

57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58

5.2 Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita

Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat

gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologi akibat dari

tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh (Supariasi, 2011), sedangkan menurut

Soekirman (2013), status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau

sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-

ukuran gizi tertentu.

Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tumbuh dan berkembang

dengan baik, berat dan tinggi badannya akan selalu bertambah, sedangkan keadaan

gizi yang buruk akan muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya

ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi

buruk dan infeksi, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat

pneumonia. Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap

orang tua, perlu perhatian lebih dalam tumbuh kembang diusia balita didasarkan fakta

bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini akan berpengaruh pada kualitas

tumbuh kembang anak (Marimbi, 2010).

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas

Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir dengan nilai p = 0,210 (p>0,05).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Maryunani (2011), yang

meyatakan bahwa balita yang mengalami gizi kurang akan lebih mudah terserang

ISPA dibandingkan dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

yang kurang dimana nilai p value=0.042 (p<0,05). Dalam keadaan gizi yang baik,

tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap infeksi.

Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang

berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi

menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu

makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih

mudah terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih lama.

Hasil penelitian ini juga tidak selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan

di Puskesmas Pajang Surakarta, kejadian ISPA pada balita sebanyak 104 jiwa, yang

memiliki status gizi baik dengan kejadian ISPA sebanyak 45 jiwa (43,27%) dan yang

mempunyai status gizi kurang dengan kejadian ISPA sebanyak 59 jiwa (56,73%)

(Hardiana, 2013).

5.3 Hubungan BBLR dengan kejadian ISPA pada balita

BBLR ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang kurang 2.500 gram. Berat

bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada

masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai risiko kematian yang

lebih besar dibandingkan dengan berat bayi lahir normal, terutama pada bulan-

bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna

sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit

saluran pernapasan lainnya (Maryunani, 2011).

Penyebab terbanyak terjadi BBLR adalah kelahiran prematur. Bayi yanag

lahir pada kehamilan kurang dari 37 minggu pada umumnya disebabkan oleh tidak

mempunyai uterus yang dapat menahan janin, gangguan selama kehamilan dan

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


60

lepasnya plasenta yang lebih cepat dari waktunya. Bayi prematur mempunyai

organ dan alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar

rahim sehingga semakin muda umur kehamilan. Kelompok BBLR sering

mendapatkan komplikasi akibat kurang matangnya organ karena prematur

(PONED, 2010).

Hasil analisis statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara BBLR dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ambarita dimana

nilai p=0,480 (p>0,05).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di

Puskesmas Tunikamaseang bahwa dari 6 balita BBLR yang berusia 12-23 bulan

terdapat 5 balita (83,5%) balita yang menderita ISPA dan 1 balita (16,7%) tidak

menderita ISPA. Hal ini disebabkan pusat pengaturan pernapasan belum

sempurna, paru-paru masih kurang berfungsi, otot pernapasan dan tulang iga

lemah. Bayi BBLR mengalami infeksi paru-paru dan gagal pernapasan (Ibrahim,

2011).

5.4 Hubungan pemberian kolostrum dengan kejadian ISPA pada balita

Kolostrum merupakan air susu ibu pertama sekali keluar. Kolostrum

mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, dan protein (antibodi) yang

melawan agen penyebab penyakit seperti bakteri dan virus. Manfaat kolostrum juga

dapat digunakan dalam diare rotavirus pada anak-anak, untuk membakar lemak, untuk

merangsang kekebalan tubuh dalam penderita ISPA dan untuk pelatihan atletik

tubuh.kolostrum dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan

normal (Kemenkes RI, 2014).

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa pemberian kolostrum pada

Balita ketika bayi baru lahir terdapat 24 Balita yang tidak mendapat kolostrum. Balita

mengalami ISPA sebanyak 15 orang (62,5%). Dari hasil analisis statistik diketahui

bahwa ada tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian kolostrum dengan

kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ambarita dengan nilai p=0.437(p>0,05

Hasil analisis ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan Roesli (2010), bahwa

pada waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk

kekebalan sendiri secara sempurna. ASI (kolostrum) mampu memberikan perlindungan

terhadap infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu

sendiri. Dengan adanya zat anti infeksi pada kolostrum maka bayi dapat terlindungi

dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau

parasit.

Pemberian kolostrum dapat dimulai sejak satu jam pertama bayi dilahirkan

dengan melakukan praktik inisiasi menyusu dini (IMD). Pendekatan IMD yang

sekarang dianjurkan adalah dengan metode breast crawl (merangkak mencari

payudara) dimana setelah bayi lahir segera diletakkan di perut ibu dan dibiarkan

merangkak untuk mencari sendiri puting ibunya dan akhirnya menghisapnya tanpa

bantuan.

Berdasarkan data Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

tahun 2016, jumlah pasien melahirkan sebanyak 1.159 orang, dan rata-rata ibu nifas

tiap bulan di Ruang Alamanda III Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul

sebanyak 114 orang. Hasil survei yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

Panembahan Senopati Bantul, didapatkan data bahwa 69 orang ibu tidak memberikan

kolostrum kepada bayinya dikarenakan pasca operasi ibu butuh istirahat penuh.

5.5 Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan

sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi kebutuhan

gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan. ASI eksklusif

adalah pemberian ASI eksklusif kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa mamberikan

makanan atau cairan lain (Kemenkes RI, 2014).

ASI adalah makanan ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI

merupakan makanan pertama, utama, dan terbaik bagi bayi yang bersifat alamiah.

ASI mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan dan

perkembangan bayi baru lahir yang akhirnya bertujuan untuk menurunkan angka

kematian bayi (AKB).

Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa pemberian ASI pada Balita

dengan kejadian ISPA bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI

dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ambarita dengan nilai p=0.0001

(p<0,05).

Ada hubungan Bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA

pada balita dengan nilai p=0,0001. Pemberian ASI eksklusif memiliki nilai Exp (B)

=3.913 (95%CI=5.993 - 418.234) artinya bayi yang tidak mendapatkan ASI memiliki

resiko mengalami ISPA sebesar 3,9 kali dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI.

ASI eksklusif adalah pemberian ASI selama 6 bulan tanpa tambahan cairan

lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, dan air putih, serta tanpa tambahan

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

makanan padat, seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan nasi tim, kecuali

vitamin dan mineral dan obat. Pemberian ASI pada satu jam pertama setelah

rnelahirkan dapat mempercepat pergantian produksi susu dari payudara yang penuh

dan matang. Sentuhan kulit antara ibu dan bayi, serta isapan bayi akan membantu

memperlancar produksi ASI.

Hasil analisis ini sesuai dengan yang dikemukakan Roesli (2010), bahwa pada

waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk kekebalan

sendiri secara sempurna. ASI mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi dan

alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu sendiri. Dengan

adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI eksklusif akan terlindungi dari

berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau parasit.

Hasil penelitian ini juga selaras dengan pendapat Weni (2011), bahwa air

Susu Ibu adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktose dan garam organik

yang disekresi oleh kedua belah kelenjer payudara ibu sebagai makanan utama pada

bayi. ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan komposisinya disesuaikan

dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu

formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula

sangat susah diserap usus bayi sehingga dapat menyebabkan susah buang air besar

pada bayi. Selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan di RSU dr. Soekardjo

Tasikmalaya, menunjukkan bahwa balita yang diberikan ASI dengan kejadian ISPA

sebanyak 7 jiwa (33,3%) dibandingkan dengan balita yang tidak mendapatkan ASI

dengan kejadian ISPA sebanyak 52 jiwa (61,2%), dimana nilai p value=0,0352

(p<0,05) (Hersoni, 2015).

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


64

5.6 Hubungan imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita

Salah satu pencegahan ISPA adalah Imunisasi, pemberian imunisasi sangat

diperlukan baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Imunisasi dilakukan untuk

menjaga kekebalan tubuh supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit

yang disebabkan oleh virus/ bakteri. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah berbagai

jenis penyakit infeksi seperti Polio, TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan

Campak. Imunisasi juga dapat mencegah kematian demi akibat penyakit-penyakit

tersebut. Penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan

imunisasi adalah difteri dan batuk rejan (Kemenkes RI, 2015).

Berdasarkan analis data ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara imunisasi dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ambarita dengan

nilai p=0.054 (p<0,05).

Hasil penelitian ini tidak sesuai sesuai dengan hasil penelitian Lisdianti

(2015), terdapat hubungan antara status imunisasi balita dengan kejadian ISPA di

mana status Imunisasi balita di Puskesmas Pasir Putih sebagian besar lengkap

sebanyak 53 balita (72,6%) kejadian ISPA pada anak balita di Puskesmas Pasir Putih

sebagian besar tidak ISPA sebanyak 44 balita (60,3%) di mana balita yang

mendapatkan imunisasi lengkap lebih rendah mengalami kejadian ISPA dari pada

yang mendapatkan imunisasi lengkap.

5.7 Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita

Rumah adalah tempat perlindungan manusia, tempat hunian harus menjamin

kesehatan penghuninya, salah satu syarat rumah sehat adalah memenuhi kebutuhan

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

fisiologis. Secara fisik kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan suhu yang optimal,

pencahayaan yang optimal, perlindungan terhadap kebisingan, ventilasi yang

memadai, dan tersedianya ruang sesuai dengan peruntukannya seperti ruang tamu,

kamar tidur, dapur, ruang bermain anak, gudang, kamar mandi dan kakus (Mukono,

2012).

Hasil analisis data berdasarkan Kepadatan Hunian dengan kejadian ISPA pada

Balita terdapat 41 rumah responden yang tidak sesuai dengan syarat. Dari hasil

analisis statistik diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepadatan

hunian dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ambarita dengan nilai

p=0.0001 (p<0,05).

Kepadatan hunian berpengaruh terhadap kejadian ISPA dengan nilai p=

0.0001. kepadatan hunian memiliki nilai Exp (B) = 4.223 (95%CI= 8.171- 570.329)

artinya bangunan yang tidak memenuhi syarat 4.2 kali beresiko mengalami ISPA

dibandingkan kepadatan hunian yang memenuhi syarat.

Penelitian ini didukung berdasarkan ketentuan Kemenkes RI No.829 tahun

1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur lebih dari

atau sama dengan 8m2 dikategorikan sebagai tidak padat dan tidak dianjurkan

digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu kamar tidur. Bangunan yang sempit

dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya

oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian

cepat timbulnya penyakit saluran pernapasan seperti ISPA (Kemenkes RI, 2015).

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan

standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas

badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut.

Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin

cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya

penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan

CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara

dalam ruangan (Kemenkes RI, 2015).

Selaras juga dengan penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sungai Pinang

menunjukkan bahwa kepadatan hunian yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA

pada balita sebesar 43,4% (53 jiwa) dibandingkan dengan kepadatan hunian yang

tidak memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita sebesar 56,5% (69 jiwa),

hal ini menunjukkan semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat

udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri yang dapat menggangu

kesehatan (Ningrum, 2015).

5.8 Hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita

Ventilasi adalah proses udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor

dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Ventilasi adalah suatu

usaha untuk menyediakan udara segar, mencegah akumulasi gas beracun dan

mikroorganisme, memelihara temperatur dan kelembaban optimum terhadap udara di

dalam ruangan. Lubang hawa atau ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai

ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup), yaitu

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

jendela minimal 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya adalah 10% dari luas

lantai ruangan (Notoatmodjo, 2012).

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga

agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga,

karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar CO2

menjadi racun. Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-

bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam

kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2012).

Hasil analisis data ventilasi dengan kejadian ISPA pada Balita terdapat 36

rumah responden yang tidak sesuai dengan syarat.Dari hasil analisis statistik

diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan kejadian ISPA

di wilayah kerja Puskesmas Ambarita dengan nilai p=0.002 (p<0,05).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Puskesmas

Sungai Pinang menunjukkan bahwa ventilasi yang tidak memenuhi syarat dengan

kejadian ISPA pada balita sebesar 51,6% (63 jiwa) dibandingkan dengan ventilasi

dengan kejadian ISPA pada balita yang memenuhi syarat sebesar 48,3% (59 jiwa),

hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara luas ventilasi dengan

kejadian ispa (Nigrum, 2015). Penelitian ini tidak selaras dengan pendapat Mukono,

2008 yang menyatakan bahwa kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan

peningkatan risiko kejadian ISPA. Adanya pemasangan ventilasi rumah merupakan

salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA (Mukono, 2008).

Berdasarkan kejadiannya ventilasi dibagi menjadi dua yaitu ventilasi alamiah

berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang terjadi secara alamiah

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

melalui jendela, pintu dan lubang angin. Selain itu ventilasi alamiah juga

menggerakkan udara sebagai hasil poros dinding ruangan, atap dan ventilasi buatan

dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat

tersebut di antaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC. Menurut Kemenkes No.

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal

secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara melihat indikator

penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari

sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi

syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah.

5.9 Implikasi Penelitian

Implikasi penelitian adalah suatu kesimpulan atau hasil akhir temuan atas

suatu penelitian. Menurunkan angka kejadian ISPA tidak hanya dilakukan dengan

pengobatan (kuratif), tetapi dengan adanya kerjasama antar lintas sektoral (Dinas

Kesehatan, Puskesmas, bidan desa, kepala desa, PKK dan KB) dengan upaya

mencegah (preventif) terjadinya ISPA pada balita maka diberikan penyuluhan kepada

ibu-ibu hamil tentang manfaat pemberian ASI eksklusif agar daya tahan tubuh bayi

lebih tinggi dan meningkatkan pemenuhan nutrisi pada bayi sebagai proteksi tubuh

dalam berbagai penyakit serta memberikan pemahaman pada suami agar mendukung

dan memotivasi istri dalam memberikan ASI agar bayi tidak rentan terkena ISPA.

Menurunkan angka kejadian ISPA juga dipengaruhi oleh Kepadatan Hunian

dan ventilisasi, maka dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dengan upaya

memberikan pemahaman untuk membuat rumah sesuai dengan standar kesehatan

dimana luas lantai rumah sesuai dengan penghuni, jendela minimal 10 % dari luas

68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

lantai, memberikan penyuluhan tentang keluarga berencana, rumah sehat yang

dilengkapi dengan MCK yang layak pakai dan selalu membuka jendela sehingga

sirkulasi udara didalam rumah berganti yang dapat mempengaruhi kesehatan balita.

ISPA

Pemberian ASI Kepadatan Ventilisasi


ekslusif Hunian

Intervensi: Memberikan Intervensi: Memberikan Intervensi: Memberikan


penyuluhan kepada ibu pemahaman kepada pemahaman kepada
hamil tentang manfaat masyarakat untuk masyarakat untuk
pemberian Asi Ekslusif membuat rumah sesuai membuat jendela minimal
agar daya tahan tubuh dengan standar kesehatan 10% dari luas lantai,
bayi lebih tinggi, dan dimana luas lantai rumah memberikan penyuluhan
meningkatkan sesuai dengan jumlah pentingnya sirkulasi udara
pemenuhan nutrisi pada penghuni, memberikan dengan membuka dan
bayi, serta memberikan penyuluhan tentang menutup jendela didalam
pemahaman pada suami ruangan yang sehat rumah yang dapat
ibu agar mendukung dilengkapi dengan MCK mempengaruhi kesehatan.
dan memotivasi istri yang layak pakai, serta
dalam memberikan ASI memberikan penyuluhan
tentang keluarga berencana

Penyuluhan dan Koordinasi dengan lintas


pembinaan dari Dinas sektoral (Kepala Desa,
Kesehatan, Puskesmas PKK, KB)
dan Bidan Desa

Gambar 5.1. Implikasi Penelitian

69

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

5.10 Keterbatasan Penelitian

Penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita

di wilayah kerja Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

memiliki keterbatasan penelitian yaitu: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif

sehingga sangat terbatas untuk mengeksplorasi secara mendalam faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita.

70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian faktor-faktor yang signifikan dan tidak signifikan

dengan kejadian ISPA pada balita adalah:

1. Ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA

pada Balita.

2. Ada hubungan yang signifikan antara Asi eksklusif dengan kejadian ISPA pada

Balita.

3. Ada hubungan yang signifikan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA

pada Balita.

4. Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin balita baik jenis

kelamin perempuan maupun laki-laki dengan kejadian ISPA pada Balita.

5. Tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA

pada Balita

6. Tidak ada hubungan yang signifikan antara BBLR dengan kejadian ISPA pada

Balita.

7. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian kolostrum dengan

kejadian ISPA pada Balita.

8. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kelengkapan imunisasi dengan

kejadian ISPA pada Balita.

71
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72

6.2 Saran

1. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir meningkatkan upaya pencegahan

terjadinya ISPA pada balita, dengan memberikan penyuluhan dan pembinaan

kesehatan kepada masyarakat dan ibu-ibu hamil sehingga menurunkan angka

kejadian ISPA pada balita dengan mengedepankan pemberian ASI eksklusif

sebagai kebutuhan utama pada bayi dan mengarahkan tata ruang sesuai standar

kesehatan kepada masyarakat yang mempunyai balita.

2. Kepada Puskesmas Ambarita lebih meningkatkan penyuluhan dan pembinaan

kesehatan kepada masyarakat tentang pentingnya ASI eksklusif dan

pengecekan/pengontrolan kepada masyarakat khususnya yang mempunyai bayi

dan balita agar menyiapkan ruang yang sesuai dengan standar kesehatan.

3. Kepada responden dan masyarakat agar membawa anak ke posyandu terdekat

untuk mendapatkan penyuluhan tentang ASI eksklusif serta mengerti cara

membangun rumah dengan jumlah penghuni dan ventilasi yang memenuhi syarat

standar kesehatan.

4. Bagi penelitian selanjutnya perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan

pembahasan dan telah yang lebih mendalam untuk mengungkap faktor risiko

kejadian terjadinya ISPA pada Balita serta dapat digunakan sebagai

pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan reproduksi.

72

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


73

DAFTAR PUSTAKA

Bagus Prabowo. (2012). Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir. (2016). Laporan SP2TP. Dinas Kesehatan
Kabupaten Samosir.

Hersoni. (2015). Pengaruh Pemberian ASI Terhadap Kejadian Infeksi Saluran


Pernafasan Akut (ISPA) Pada Bayi Usia 6-12 bulan di Rab RSU dr. Soekardjo
Kota Tasikmalaya: Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada.

Herdiana. (2013). Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Infeksi Saluran


Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Puskesmas Pajang: Surakarta.

Ibrahim, Hartati. (2011). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA


Pada Anak Balita di Wilayah Puskesmas Botumoito Kabupaten Boalemo
Tahun 2011. Unhas.

Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.

Profil Kesehatan Indonesia. (2013). Diakses Juli, 2014, dari


www.depkes.go.id/.../profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-

Profil Kesehatan Indonesia. (2014). Diakses September, 2015, dari


www.depkes.go.id/.../profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-
2014

Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014).


Diakses Juni, 20, 2014, dari www.pusdatin.kemkes.go.id/folder/.../structure-
publikasi-pusdatin-profil-kesehatan.

Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan. (2014). Diakses April, 2015, dari
https://www.slideshare.net/.../profil-pengendalian-penyakit-dan-penyehatan-
lingkungan.

Profil Kesehatan Indonesia. (2015). Diakses Agustus, 2016, dari


www.depkes.go.id/.../profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-Indonesia-
2015.pdf

73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


74

Profil Kesehatan Indonesia. (2016). Diakses Juli, 2017, dari


www.depkes.go.id/.../profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-
2016.
Maryunani, A. (2011). Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta : Trans Info
Media.

Marimbi, Hanum. (2010). Tumbuh Kembang, Status Gizi dan Imunisasi Dasar pada
Balita. Yogyakarta : Nusa Medika.

Misnadiarly. (2008). Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia Pada Anak Balita,
Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta : Pustaka Obor Populer.

Mukono, H. J. (2008). Pencemaran Udara Dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan


Saluran Pernafasan. Surabaya: Erlangga.

Nelson, Waldo, E. Behrman. (2012). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC.

Ningrum. (2015). Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Kepadatan Hunian dengan
Kejadian ISPA non Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Sungut Pinang. Jurnal Kesehatan : Universitas Lambung Mangkurat.

Notoatmodjo Soekidjo. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta :


Jakarta.

Roesli. (2010). Mengenal ASI Esklusif. Jakarta : Pustaka Pembangunan Swadaya


Nusantara.

Setiawan, dkk., (2010). Buku Kebidanan. Jakarta : Karya Cipta.

Shinta Septi Sunaryati., (2014). 14 Penyakit Paling Sering Menyerang dan Sangat
Mematikan Pada Balita. Jogjakarta : Banguntapan Yogjakarta.

Sugiyono, Dr. Prof. (2011). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R & D. Alfabeta : Bandung.

Tim Paket Pelatihan Klinik Poned. (2010). Buku Acuan Dasar Pelayanan Obstetri
dan Neonatal Emergency Dasar (Poned). Jakarta : EGC.

Usman. (2012). Analisis faktor yang memepengaruhi kejadian ISPA Pada Balita.
http://www.jiasociety.org/index.php/jias/article/view/18588.

74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


75

Utomo. (2012). Determinan yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Anak.
Jogjakarta : Banguntapan Yogjakarta.

Wenni, K. (2011). Buku Pedoman ASI Esklusif bagi Petugas. Semarang.

World Health Organisation. (2015). Global Health Risks : Mortality and Burden of
Disease Atributable to Selected Major Risk. Switzerland.

Wiji Tri Lestari. (2016). Kesehatan Reproduksi Berbasis Kompetensi. Jakarta : EGC.

75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


76

Lampiran 1 : Penjelasan Penelitian

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA


PADA BALITA DI PUSKESMAS AMBARITA KECAMATAN SIMANINDO
KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2017

Sehubungan dengan penelitian saya yang berjudul Faktor-Faktor Yang Berhubungan


Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo
Kabupaten Samosir Tahun 2017 bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang
berhubungan dengan jenis kelamin, status gizi, BBLR, pemberian kolostrum, ASI
eksklusif, imunisasi, kepadatan hunian dan ventilisasi pada wilayah kerja Puskesmas
Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir agar diperoleh
upaya untuk meningkatkan kesehatan balita.
Karena ibu memenuhi kriteria sampel sebagai responden dalam penelitian ini,
maka saya mohon kesediaan serta bantuan ibu untuk dapat mengisi/menjawab
kuesioner yang saya berikan. Ibu tidak perlu mencantumkan nama pada lembar
kuesioner. Tidak ada risiko dan biaya yang dibebankan jika ibu berpartisipasi dalam
penelitian ini. Informasi yang ibu berikan akan menjawab secara ringkas apa yang
menjadi tujuan penelitian ini.
Dalam menjawab kuesioner ini akan membutuhkan waktu beberapa menit
saja. Kemudian setiap informasi yang diperoleh sehubungan dengan penelitian ini
tidak akan diberitahukan kepada siapapun (rahasia). Jika ibu bersedia berpartisipasi
dalam penelitian ini, mohon kesediaan ibu untuk menandatangani lembaran
persetujuan yang diberikan peneliti. Atas kesediaan dan bantuan ibu saya ucapkan
terima kasih.

Hormat saya

Vina Lindawati Simarangkir

76

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


77

Lampiran 2 : Informed Consent

PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :
Umur :
Alamat :

Setelah mendapatkan penjelasan tentang penelitian, maka saya menyatakan bersedia


berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian yang dilakukan oleh saudari Vina,
mengenai Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di
Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Tahun 2017. Saya
menyadari sepenuhnya, bahwa penelitian ini sangat bermanfaat sebagai informasi dan
upaya meningkatkan kesehatan balita yang berguna untuk mengurangi kejadian
ISPA. Identitas responden digunakan hanya untuk keperluan penelitian dan akan
dijaga kerahasiannya. Demikian pernyataan ini dibuat dengan sukarela tanpa ada
paksaan dari pihak manapun agar dapat dipergunakan sesuai keperluan.

Peneliti Responden

Vina ( )

77

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


78

78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


79

79

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


80

80

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


81

81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


82

82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


83

83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


MASTER TABEL

Status
No Pekerjaan Pendidikan Nama Jenis BBLR Pemberian Pemberian Imunisasi Kepadatan Ventilasi Hasil
Umuribu Gizi
Ibu Bayi Kelamin Kolestrum ASI Hunian Pemeriksaan

1 34 wiraswasta SMA T 1 2 1 1 2 2 2 2 2
2 25 IRT SMA E 1 2 2 1 1 2 1 2 1
3 31 IRT 1 W 1 2 1 2 1 2 1 1 1
4 33 IRT SMA R 2 1 1 2 2 1 2 1 2
5 35 IRT SMA T 2 1 1 2 1 1 1 1 1
6 32 PNS SARJANA H 2 2 1 2 2 2 2 2 2
7 30 IRT SMA A 1 1 1 2 2 1 2 1 2
8 30 IRT SMA C 2 2 2 1 2 2 1 2 1
9 30 PETANI SMA B 1 2 1 2 1 2 1 1 1
10 30 PETANI SMA N 1 1 2 2 2 1 1 1 2
11 33 PETANI SMP E 1 1 1 2 2 1 2 2 2
12 28 PETANI SMA I 2 2 1 2 1 2 1 1 1
13 26 wiraswasta SMA H 2 2 1 1 1 2 1 1 1
14 26 wiraswasta SMA J 2 2 1 2 2 2 2 1 2
15 26 wiraswasta SMA T 1 1 1 1 2 1 2 1 2
16 32 PNS SARJANA D 2 1 1 2 2 1 2 2 2
17 34 IRT SMP S 2 1 2 2 1 1 1 1 1
18 34 IRT SMA W 2 1 2 2 1 1 1 1 1
19 34 IRT SMA A 2 1 2 2 1 1 1 1 1
20 35 IRT SMA A 1 1 2 2 1 1 2 2 2
21 33 IRT SD E 2 2 1 1 1 2 1 2 1

84
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85

22 32 IRT SMP T 1 2 2 1 1 2 2 1 1
23 30 IRT SMA L 1 2 1 2 2 2 2 2 2
24 33 IRT SMA I 2 1 2 2 1 1 1 1 1
25 29 IRT SMA I 2 1 2 2 1 1 1 1 1
26 28 IRT SMA T 2 1 1 2 1 1 2 2 2
27 29 PETANI SD A 1 2 2 1 2 2 2 1 2
28 29 PETANI SMP S 2 2 2 2 1 2 2 2 2
29 26 BIDAN SARJANA H 2 1 2 2 1 1 2 2 1
30 27 PETANI SMP P 1 1 2 2 2 1 2 1 2
31 30 PETANI SD F 2 2 2 1 2 2 2 1 2
32 30 PETANI SMA C 1 1 2 2 1 1 1 1 1
33 34 PETANI SMA M 2 1 1 1 1 2 1 2 1
34 34 PETANI SMA S 1 2 2 2 2 1 2 2 2
35 34 PETANI SMA E 2 2 2 2 1 2 1 1 1
36 33 wiraswasta SMA R 2 2 1 2 2 1 2 1 2
37 27 PETANI SMA G 1 2 1 2 1 2 1 1 1
38 28 PETANI SMA F 1 1 1 2 2 1 2 1 2
39 30 wiraswasta SARJANA N 1 1 1 2 1 1 1 1 1
40 31 wiraswasta SARJANA K 1 2 1 2 1 2 1 2 1
41 31 wiraswasta SARJANA P 2 2 1 2 2 2 1 1 1
42 30 wiraswasta SMA I 1 1 1 1 2 1 1 2 2
43 33 wiraswasta SMA I 2 1 2 1 2 1 1 1 2
44 31 wiraswasta SMA F 1 2 1 1 1 2 1 1 1
45 31 wiraswasta SMA E 2 2 1 2 1 2 1 1 1
46 30 wiraswasta SMA R 2 1 2 2 2 1 1 2 2
47 30 IRT SMA B 2 2 2 2 1 2 2 1 1

85

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


86

48 29 IRT SD N 2 1 2 2 1 1 1 2 1
49 25 IRT SMA D 2 1 2 1 1 1 1 1 1
50 25 wiraswasta SMA E 2 2 2 2 2 2 2 2 2
51 26 IRT SMA A 2 1 1 2 2 1 1 1 1
52 27 wiraswasta SARJANA F 2 2 1 2 1 2 1 2 1
53 25 wiraswasta SARJANA H 2 2 1 2 1 2 1 1 1
54 26 wiraswasta SMA J 1 1 1 1 2 1 2 2 2
55 27 wiraswasta SMA U 1 1 1 2 1 1 2 2 2
56 28 IRT SMA R 1 1 2 2 1 1 1 1 1
57 26 IRT SD G 1 2 1 2 2 2 2 2 2
58 27 IRT SMA S 1 2 2 2 1 2 1 1 1
59 29 IRT SMA A 1 2 1 1 2 2 1 2 1
60 29 IRT SMA P 2 1 2 2 1 1 1 1 1
61 27 IRT SMA I 2 1 2 1 1 1 2 2 2
62 28 IRT SMA A 2 1 1 2 1 1 2 1 2
63 29 IRT SMA J 1 1 2 2 1 1 1 1 1
64 29 IRT SMA V 2 2 1 2 1 2 1 2 1
65 29 IRT SMA C 2 1 1 2 1 1 2 1 1
66 29 PETANI SMA A 2 2 2 1 2 2 2 1 2
67 29 wiraswasta SARJANA E 1 2 1 2 2 2 2 1 2
68 29 wiraswasta SMA I 2 1 2 2 1 1 2 2 1
69 31 PETANI SMA H 1 2 1 2 2 2 1 2 2
70 30 PNS SARJANA P 1 2 1 1 1 2 2 1 1
71 27 wiraswasta SARJANA L 1 1 1 1 1 1 1 1 1
72 28 wiraswasta SMA N 1 2 1 2 1 2 1 2 1
73 29 IRT SMA M 2 2 1 2 1 2 1 1 1

86

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


87

74 30 IRT SMA S 1 2 1 2 2 2 2 2 2
75 32 PETANI SMA A 2 1 1 2 1 1 2 2 2
76 33 PETANI SMA R 2 1 1 2 2 1 2 1 2
77 33 PETANI SMA A 2 2 1 2 2 2 1 1 2
78 31 PETANI SMA P 1 2 1 1 2 2 2 1 1
79 28 wiraswasta SARJANA A 1 2 1 2 2 2 1 1 1
80 24 wiraswasta SMA I 1 1 1 2 2 1 2 2 2
81 26 wiraswasta SMP B 2 2 1 2 2 2 2 2 2
82 25 wiraswasta SMA C 2 2 1 1 1 2 1 1 1
83 26 wiraswasta SARJANA E 2 1 1 1 2 1 1 1 1
84 27 IRT SD A 1 1 2 2 2 1 2 2 2
85 27 IRT SMA C 1 2 1 1 1 2 1 1 1
86 30 IRT SARJANA E 1 2 2 2 2 2 1 1 1

87

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


90

90

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


91

91

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


92

92

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


93

Output univariat

Frequency Table

jenis kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid perempuan 40 46.5 46.5 46.5

laki-laki 46 53.5 53.5 100.0

Total 86 100.0 100.0

status gizi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid buruk 41 47.7 47.7 47.7

baik 45 52.3 52.3 100.0

Total 86 100.0 100.0

BBLR

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

93

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


94

Valid < 2500 gr 53 61.6 61.6 61.6

> 2500 gr 33 38.4 38.4 100.0

Total 86 100.0 100.0

pemberian kolostrum

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak mendapat kolostrum 24 27.9 27.9 27.9

mendapat kolostrum 62 72.1 72.1 100.0

Total 86 100.0 100.0

ASI Eksklusif

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak ASI Ekslkusif 47 54.7 54.7 54.7

ASI Eksklusif 39 45.3 45.3 100.0

Total 86 100.0 100.0

Imunisasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak lengkap 42 48.8 48.8 48.8

lengkap 44 51.2 51.2 100.0

Total 86 100.0 100.0

94

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


95

kepadatan hunian

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak memenuhi syarat 47 54.7 54.7 54.7

memenuhi syarat 39 45.3 45.3 100.0

Total 86 100.0 100.0

Ventilasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak memenuhi syarat 52 60.5 60.5 60.5

memenuhi syarat 34 39.5 39.5 100.0

Total 86 100.0 100.0

hasil pemeriksaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid ispah 48 55.8 55.8 55.8

tidak ispah 38 44.2 44.2 100.0

Total 86 100.0 100.0

95

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


96

Output Bivariat

Crosstabs

Notes

Output Created 02-MAY-2018 12:47:29

Comments

Input Data D:\BISMILLAH WORK\KAK VINA\master


data.sav

Active Dataset DataSet1

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data


86
File

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated
as missing.

96

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


97

Cases Used Statistics for each table are based on all


the cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax CROSSTABS

/TABLES=jk statusgizi BBLR


pkolostrum as imunisasi k_hunian
ventilasi BY h_pemeriksaan

/FORMAT=AVALUE TABLES

/STATISTICS=CHISQ RISK

/CELLS=COUNT EXPECTED ROW


COLUMN SRESID

/COUNT ROUND CELL.

Resources Processor Time 00:00:00.16

Elapsed Time 00:00:00.64

Dimensions Requested 2

Cells Available 174734

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis kelamin * hasil


86 100.0% 0 0.0% 86 100.0%
pemeriksaan

status gizi * hasil


86 100.0% 0 0.0% 86 100.0%
pemeriksaan

BBLR * hasil pemeriksaan 86 100.0% 0 0.0% 86 100.0%

pemberian kolostrum * hasil


86 100.0% 0 0.0% 86 100.0%
pemeriksaan

ASI Eksklusif * hasil


86 100.0% 0 0.0% 86 100.0%
pemeriksaan

imunisasi * hasil pemeriksaan 86 100.0% 0 0.0% 86 100.0%

97

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


98

kepadatan hunian * hasil


86 100.0% 0 0.0% 86 100.0%
pemeriksaan

ventilasi * hasil pemeriksaan 86 100.0% 0 0.0% 86 100.0%

jenis kelamin * hasil pemeriksaan

Crosstab

hasil pemeriksaan

ispa tidak ispa Total

jenis kelamin perempuan Count 20 20 40

Expected Count 22.3 17.7 40.0

% within jenis kelamin 50.0% 50.0% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 41.7% 52.6% 46.5%

Std. Residual -.5 .6

laki-laki Count 28 18 46

Expected Count 25.7 20.3 46.0

% within jenis kelamin 60.9% 39.1% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 58.3% 47.4% 53.5%

Std. Residual .5 -.5

Total Count 48 38 86

Expected Count 48.0 38.0 86.0

% within jenis kelamin 55.8% 44.2% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 100.0% 100.0% 100.0%

98

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


99

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 1.025a 1 .311

Continuity Correctionb .632 1 .427

Likelihood Ratio 1.026 1 .311

Fisher's Exact Test .385 .213

Linear-by-Linear Association 1.013 1 .314

N of Valid Cases 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.67.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for jenis kelamin


.643 .273 1.515
(perempuan / laki-laki)

For cohort hasil pemeriksaan


.821 .558 1.210
= ispa

For cohort hasil pemeriksaan


1.278 .794 2.055
= tidak ispa

N of Valid Cases 86

status gizi * hasil pemeriksaan

99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


100

Crosstab

hasil pemeriksaan

ispa tidak ispa Total

status gizi buruk Count 20 21 41

Expected Count 22.9 18.1 41.0

% within status gizi 48.8% 51.2% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 41.7% 55.3% 47.7%

Std. Residual -.6 .7

baik Count 28 17 45

Expected Count 25.1 19.9 45.0

% within status gizi 62.2% 37.8% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 58.3% 44.7% 52.3%

Std. Residual .6 -.6

Total Count 48 38 86

Expected Count 48.0 38.0 86.0

% within status gizi 55.8% 44.2% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 1.572a 1 .260

Continuity Correctionb 1.074 1 .300

Likelihood Ratio 1.575 1 .209

Fisher's Exact Test .278 .150

100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


101

Linear-by-Linear Association 1.553 1 .213

N of Valid Cases 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.12.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for status gizi


.578 .245 1.365
(buruk / baik)

For cohort hasil pemeriksaan


.784 .532 1.155
= ispa

For cohort hasil pemeriksaan


1.356 .839 2.190
= tidak ispa

N of Valid Cases 86

BBLR * hasil pemeriksaan

Crosstab

hasil pemeriksaan

ispa tidak ispa Total

BBLR < 2500 gr Count 28 25 53

Expected Count 29.6 23.4 53.0

% within BBLR 52.8% 47.2% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 58.3% 65.8% 61.6%

Std. Residual -.3 .3

> 2500 gr Count 20 13 33

101

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


102

Expected Count 18.4 14.6 33.0

% within BBLR 60.6% 39.4% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 41.7% 34.2% 38.4%

Std. Residual .4 -.4

Total Count 48 38 86

Expected Count 48.0 38.0 86.0

% within BBLR 55.8% 44.2% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .499a 1 .480

Continuity Correctionb .233 1 .629

Likelihood Ratio .501 1 .479

Fisher's Exact Test .511 .315

Linear-by-Linear Association .493 1 .483

N of Valid Cases 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.58.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

102

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


103

Odds Ratio for BBLR (< 2500


.728 .301 1.759
gr / > 2500 gr)

For cohort hasil pemeriksaan


.872 .599 1.268
= ispa

For cohort hasil pemeriksaan


1.197 .719 1.994
= tidak ispa

N of Valid Cases 86

103

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


104

pemberian kolostrum * hasil pemeriksaan

Crosstab

hasil pemeriksaan

ispa tidak ispa Total

pemberian tidak mendapat Count 15 9 24


kolostrum kolostrum
Expected Count 13.4 10.6 24.0

% within pemberian kolostrum 62.5% 37.5% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 31.3% 23.7% 27.9%

Std. Residual .4 -.5

mendapat Count 33 29 62
kolostrum
Expected Count 34.6 27.4 62.0

% within pemberian kolostrum 53.2% 46.8% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 68.8% 76.3% 72.1%

Std. Residual -.3 .3

Total Count 48 38 86

Expected Count 48.0 38.0 86.0

% within pemberian kolostrum 55.8% 44.2% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .603a 1 .437

104

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


105

Continuity Correctionb .286 1 .593

Likelihood Ratio .609 1 .435

Fisher's Exact Test .477 .298

Linear-by-Linear Association .596 1 .440

N of Valid Cases 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.60.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for pemberian


kolostrum (tidak mendapat
1.465 .558 3.846
kolostrum / mendapat
kolostrum)

For cohort hasil pemeriksaan


1.174 .797 1.731
= ispa

For cohort hasil pemeriksaan


.802 .449 1.433
= tidak ispa

N of Valid Cases 86

ASI Eksklusif * hasil pemeriksaan

Crosstab

hasil pemeriksaan

ispa tidak ispa Total

ASI Eksklusif tidak ASI Ekslkusif Count 40 7 47

105

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


106

Expected Count 26.2 20.8 47.0

% within ASI Eksklusif 85.1% 14.9% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 83.3% 18.4% 54.7%

Std. Residual 2.7 -3.0

ASI Eksklusif Count 8 31 39

Expected Count 21.8 17.2 39.0

% within ASI Eksklusif 20.5% 79.5% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 16.7% 81.6% 45.3%

Std. Residual -3.0 3.3

Total Count 48 38 86

Expected Count 48.0 38.0 86.0

% within ASI Eksklusif 55.8% 44.2% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 36.059a 1 .000

Continuity Correctionb 33.487 1 .000

Likelihood Ratio 38.916 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 35.640 1 .000

N of Valid Cases 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.23.

b. Computed only for a 2x2 table

106

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


107

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for ASI Eksklusif


(tidak ASI Ekslkusif / ASI 22.143 7.242 67.699
Eksklusif)

For cohort hasil pemeriksaan


4.149 2.211 7.784
= ispa

For cohort hasil pemeriksaan


.187 .093 .378
= tidak ispa

N of Valid Cases 86

imunisasi * hasil pemeriksaan

Crosstab

hasil pemeriksaan

ispa tidak ispa Total

Imunisasi tidak lengkap Count 19 23 42

Expected Count 23.4 18.6 42.0

% within imunisasi 45.2% 54.8% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 39.6% 60.5% 48.8%

lengkap Count 29 15 44

Expected Count 24.6 19.4 44.0

% within imunisasi 65.9% 34.1% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 60.4% 39.5% 51.2%

Total Count 48 38 86

Expected Count 48.0 38.0 86.0

107

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


108

% within imunisasi 55.8% 44.2% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 3.723a 1 .054

Continuity Correctionb 2.932 1 .087

Likelihood Ratio 3.749 1 .053

Fisher's Exact Test .082 .043

Linear-by-Linear Association 3.680 1 .055

N of Valid Cases 86

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.56.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for imunisasi


.427 .179 1.020
(tidak lengkap / lengkap)

For cohort hasil pemeriksaan


.686 .462 1.019
= ispa

For cohort hasil pemeriksaan


1.606 .980 2.633
= tidak ispa

N of Valid Cases 86

108

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


109

109

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


110

kepadatan hunian * hasil pemeriksaan

Crosstab

hasil pemeriksaan

ispa tidak ispa Total

kepadatan tidak memenuhi Count 41 6 47


hunian syarat
Expected Count 26.2 20.8 47.0

% within kepadatan hunian 87.2% 12.8% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 85.4% 15.8% 54.7%

Std. Residual 2.9 -3.2

memenuhi syarat Count 7 32 39

Expected Count 21.8 17.2 39.0

% within kepadatan hunian 17.9% 82.1% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 14.6% 84.2% 45.3%

Std. Residual -3.2 3.6

Total Count 48 38 86

Expected Count 48.0 38.0 86.0

% within kepadatan hunian 55.8% 44.2% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 41.488a 1 .000

110

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


111

Continuity Correctionb 38.726 1 .000

Likelihood Ratio 45.448 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 41.005 1 .000

N of Valid Cases 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.23.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for kepadatan


hunian (tidak memenuhi 31.238 9.557 102.107
syarat / memenuhi syarat)

For cohort hasil pemeriksaan


4.860 2.463 9.592
= ispa

For cohort hasil pemeriksaan


.156 .073 .333
= tidak ispa

N of Valid Cases 86

ventilasi * hasil pemeriksaan

Crosstab

hasil pemeriksaan

ispa tidak ispa Total

Ventilasi tidak memenuhi Count 36 16 52


syarat
Expected Count 29.0 23.0 52.0

111

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


112

% within ventilasi 69.2% 30.8% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 75.0% 42.1% 60.5%

Std. Residual 1.3 -1.5

memenuhi syarat Count 12 22 34

Expected Count 19.0 15.0 34.0

% within ventilasi 35.3% 64.7% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 25.0% 57.9% 39.5%

Std. Residual -1.6 1.8

Total Count 48 38 86

Expected Count 48.0 38.0 86.0

% within ventilasi 55.8% 44.2% 100.0%

% within hasil pemeriksaan 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 9.601a 1 .002

Continuity Correctionb 8.274 1 .004

Likelihood Ratio 9.714 1 .002

Fisher's Exact Test .004 .002

Linear-by-Linear Association 9.489 1 .002

N of Valid Cases 86

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.02.

b. Computed only for a 2x2 table

112

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


113

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for ventilasi (tidak


memenuhi syarat / memenuhi 4.125 1.648 10.323
syarat)

For cohort hasil pemeriksaan


1.962 1.202 3.201
= ispa

For cohort hasil pemeriksaan


.476 .295 .766
= tidak ispa

N of Valid Cases 86

113

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Output multivariate

Variables in the Equation

95% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald Df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a AE_2 3.913 1.083 13.055 1 .000 50.064 5.993 418.234

KHunian_2 4.223 1.083 15.205 1 .000 68.265 8.171 570.329

Constant -3.916 1.072 13.347 1 .000 .020

Step 2b AE_2 4.262 1.157 13.571 1 .000 70.961 7.349 685.233

KHunian_2 4.160 1.115 13.913 1 .000 64.070 7.200 570.123

Ventilasi_2 1.819 .839 4.697 1 .030 6.163 1.190 31.925

Constant -4.978 1.240 16.111 1 .000 .007

Step 3c AE_2 4.789 1.322 13.116 1 .000 120.218 9.002 1605.538

imunisasi_2 -1.910 .952 4.029 1 .045 .148 .023 .956

KHunian_2 4.188 1.174 12.733 1 .000 65.916 6.605 657.796

Ventilasi_2 1.840 .912 4.072 1 .044 6.298 1.054 37.613

Constant -4.150 1.249 11.043 1 .001 .016

a. Variable(s) entered on step 1: KHunian_2.

b. Variable(s) entered on step 2: AE_2.

c. Variable(s) entered on step 3: Ventilasi_2.

d. Variable(s) entered on step 4: imunisasi_2.

114
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai