TESIS
OLEH
THESIS
By
ii
TESIS
Oleh
iii
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D) (Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M)
Ketua Anggota
(Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D) (Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si)
iv
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
vi
i 1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
ABSTRACT
ii2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan izin
Tahun 2017”.
tesis ini dapat terlaksana berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral
maupun material dari banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M. Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
3. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
4. Destanul Aulia, S.K.M, M.B.A, M.Ec, Ph.D, selaku sekretaris program studi S2
Sumatera Utara.
3
iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
5. Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M., selaku komisi pembimbing yang telah banyak
6. Prof. Drs. Heru Santoso, M.Si, Ph.D, selaku penguji I guna penyempurnaan tesis
ini.
8. dr. Nimpan Karo karo, MM, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir
11. Secara khusus terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkankan atas
perhatian, dukungan baik moral maupun materil dan doa kepada suamiku tercinta
Simorangkir (+) dan Tiolina br Manik, Kakak dan Abang, keluarga dan sahabat
4iv
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan, untuk itu kritik
dan saran yang kontruktif sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap
v5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
RIWAYAT HIDUP
Tiolina br Manik.
Siantar tamat tahun 1997. Pada tahun 2000, penulis menyelesaikan pendidikan di
SMP Swasta Katolik Asissi. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan
SPK Pemda Dairi. Pada tahun 2007, penulis menyelesaikan pendidikan D-III
Kebidanan di Akademi Kebidanan Pemko Tebing Tinggi. Pada tahun 2012, penulis
Pengalaman bekerja penulis yaitu, pada tahun 2007 sampai dengan sekarang
6
vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ................................................................................................................ i
ABSTRACK ............................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
RIWAYATHIDUP ................................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ x
DAFTAR ISTILAH ................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xii
7
vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
8
viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
LAMPIRAN
ix9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
DAFTAR TABEL
x10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
DAFTAR GAMBAR
xi11
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
DAFTAR LAMPIRAN
3. Kuesioner ............................................................................................................. 80
12
xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
DAFTAR ISTILAH
13
xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 1
PENDAHULUAN
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang melibatkan
organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi
ini disebabkan oleh virus, jamur dan bakteri. ISPA akan menyerang host apabila
ketahanan tubuh (immunologi) menurun. Bayi di bawah lima tahun adalah kelompok
yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai
penyakit. ISPA merupakan penyakit yang mudah sekali menular (Probowo, 2012).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) atau istilah dalam bahasa Inggrisnya
menyerang setiap lokasi saluran pernafasan mulai dari saluran atas (hidung) hingga
Anak-anak memiliki risiko lebih mudah terserang penyakit ini, karena sistem
kekebalan tubuh mereka belum terbentuk sepenuhnya. Seseorang bisa tertular ISPA
ketika menghirup udara yang mengandung virus atau bakteri. Virus atau bakteri ini
dikeluarkan oleh penderita infeksi saluran pernapasan melalui bersin atau ketika
batuk.Selain itu, cairan yang mengandung virus atau bakteri yang menempel pada
permukaan benda bisa menular ke orang lain saat mereka menyentuhnya. Ini disebut
1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
Menurut WHO tahun 2012, sebesar 78% balita yang berkunjung ke pelayanan
kesehatan adalah akibat ISPA, khususnya pneumonia. ISPA lebih banyak terjadi di
sebesar 25%-30% dan 10%-15%. Kematian balita akibat ISPA di Asia Tenggara
sebanyak 2.1 juta balita pada tahun 2010 (Fitri, 2012). India, Bangladesh, Indonesia,
dan Myanmar merupakan negara dengan kasus kematian balita akibat ISPA
kematian pada anak di negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan 4 dari 15
juta kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun pada setiap tahunnya. Di Indonesia,
ISPA menduduki peringkat pertama sebagai penyakit yang paling banyak diderita
sakit batuk pilek setidaknya tiga hingga enam kali per tahunnya. Data WHO
ISPA menempati urutan pertama penyakit yang diderita pada kelompok bayi
morbiditas pneumonia pada bayi 2,2% dan pada balita 3%, sedangkan mortalitas pada
bayi 23,8% dan balita 15,5%. Penyakit ISPA mencakup penyakit saluran napas
bagian atas dan saluran napas bagian bawah beserta adneksanya. Infeksi saluran
pernapasan bagian atas mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, tetapi
ketulian. Sedangkan hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil
disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut, paling sering adalah
pada akhir tahun 2000 sebanyak lima kasus diantara 1.000 balita (Kemenkes RI,
2015).
ISPA disebabkan oleh virus atau bakteri, penyakit ini diawali dengan panas
disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk
kering atau berdahak, period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan
terakhir, lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa tenggara Timur (41,7%),
Papua (31,1%), Aceh ( 30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur
kelompok umur 1-4 tahun (25,8%), menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki-
laki dan perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk
ISPA merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada anak. Insiden
menurut kelompok umur balita diperkirakan bahwa terdapat 156 juta kasus baru di
dunia per tahun dimana 151 juta kasus (96,7%) terjadi di negara berkembang. ISPA
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke Puskesmas (40-60%) dan
memberantas ISPA pada bayi terdiri atas pencegahan imunisasi dan non-imunisasi.
Tindakan yang tidak kalah penting adalah pencegahan non-imunisasi seperti nutrisi,
keadaan lingkungan, dan pemberian ASI Eksklusif. Balita dengan gizi yang kurang
akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena
faktor daya tahan tubuh yang kurang. Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan
ISPA mengakibatkan sekitar 20% - 30% kematian anak balita. ISPA juga
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien pada sarana kesehatan.
Sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan
berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap puskesmas disebabkan oleh ISPA yang
kelahiran dengan berat badan rendah (BBLR), pemberian ASI yang kurang,
kepadatan hunian, sosio-ekonomi yang rendah, cuaca (udara dingin), imunitas tidak
lengkap, definisi vitamin A, umur muda, terpapar polusi udara oleh asap rokok, gas
mempermudah masuknya kuman ke dalam tubuh manusia dan salah satu dampaknya
adalah menyebabkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Suhu udara yang
proses infeksi akut yang merusak jaringan paru-paru atau alveoli. Oleh karena itu
ISPA harus ditangani dengan baik dan cepat, disamping daya tahan tubuh tetap dijaga
dengan suplai makanan yang cukup serta sanitasi yang optimal. Beberapa faktor yang
telah diketahui berhubungan tingginya angka kematian dan angka kesakitan karena
ISPA yaitu jenis kelamin, status gizi, kelahiran dengan berat badan rendah (BBLR),
banyak mengalami kejadian ISPA sekitar 55,7% (73 jiwa) sedangkan jenis kelamin
laki-laki sekitar 44,3% (58 jiwa), hal ini menunjukkan bahwa balita dengan jenis
kelamin perempuan lebih rentan terkena ISPA dibandingkan dengan balita jenis
kelamin laki-laki.
Zat gizi yang diperoleh dari asupan makanan memiliki efek kuat untuk reaksi
kekebalan tubuh dan resistensi terhadap infeksi. Kondisi kurang energi protein dapat
menyebabkan ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih kuat sehingga
balita sebanyak 104 jiwa yang memiliki status gizi baik dengan kejadian ISPA
sebesar 43,3% (45 jiwa) sedangkan status gizi kurang dengan kejadian ISPA pada
balita sebesar 56,7% (59 jiwa), hal ini menunjukkan bahwa balita yang status gizi
Faktor lain penyebab ISPA pada Balita yaitu Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR) memiliki kekebalan yang masih rendah dan organ pernafasan masih lemah
sehingga balita dengan BBLR lebih mudah terserang penyakit infeksi khususnya
ISPA dibandingkan dengan balita yang tidak BBLR, hal ini disebabkan karena balita
yang lebih muda memeliki daya tahan tubuh yang lebih rendah dibandingkan dengan
balita yang lebih tua. Menurut hasil penelitian di Puskesmas Tunikamasean diketahui
bahwa dari 6 balita BBLR yang bberusia 12-23 bulan terdapat 5 balita (83,5%) balita
yang menderita ISPA dan 1 balita (16,7%) tidak menderita ISPA. Bayi BBLR
sempurna, otot pernafasan dan tulang iga lemah.Bayi BBLR lebih mudah mengalami
Penyebab ISPA pada Balita juga dapat dikarenakan pemberian ASI eksklusif
yang tidak dilaksanakan, permasalahan utama yang dihadapi yaitu kesadaran akan
pentingnya ASI eksklusif. Cakupan ASI eksklusif di Indonesia masih mencapai 52%
sementara target pemberian ASI esklusif secara nasional sebesar 80%, pemberian ASI
kejadian ISPA pada balita, dimana lebih tinggi pada balita yang tidak mendapat ASI
RSU dr. Soekardjo Tasikmalaya menunjukkan bahwa balita yang diberikan ASI
dengan kejadian ISPA sebesar 33,3% (7 juta jiwa) dibandingkan dengan balita yang
tidak memberikan ASI dengan kejadian ISPA sebesar 61,2% (52 jiwa) (Hersoni,
2015).
Upaya untuk menurunkan resiko penyakit ISPA perlu dilakukan yaitu dengan
mendapatkan lima dasar imunisasi lengkap yaitu 1 dosis BCG, 3 dosis DPT, 4 dosis
Polio, 4 dosis Hepatitis B dan 1 dosis campak. Penyakit ISPA akan menyerang
apabila kekebalan tubuh menurun. Bayi dan balita di bawah lima tahun adalah
kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih sangat rentan terhadap
berbagai penyakit termasuk penyakit ISPA baik dalam golongan pneumonia atau pun
dengan kejadian ISPA di mana status Imunisasi balita di Puskesmas Pasir Putih
sebagian besar lengkap sebanyak 53 balita (72,6%) kejadian ISPA pada anak balita di
Puskesmas Pasir Putih sebagian besar tidak ISPA sebanyak 44 balita (60,3%) di mana
balita yang mendapatkan imunisasi lengkap lebih rendah mengalami kejadian ISPA
kejadian ISPA pada balita ialah kepadatan hunian, dimana rumah harus menjamin
kesehatan penghuninya, salah satu syarat rumah sehat adalah memenuhi kebutuhan
menunjukkan bahwa kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita sebesar
43,4% (53 jiwa) dibandingkan dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat
dengan kejadian ISPA pada balita sebesar 56,5% (69 jiwa), semakin banyak jumlah
penghuni rumah, maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau
Ventilasi adalah suatu usaha untuk menyediakan udara segar, berfungsi untuk
kelembaban terhadap udara di dalam ruangan. Ventilasi rumah harus memiliki syarat
yaitu 10% dari luas lantai. Hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Sungai
Pinang menunjukkan bahwa ventilasi yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA
pada balita sebesar 48,3% (59 jiwa), dibandingkan dengan ventilasi dengan kejadian
ISPA pada balita yang tidak memenuhi syarat sebesar 51,6 % (63 jiwa) hal ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA.
Hal ini disebabkan ventilasi yang selalu dibuka setiap hari sehingga udara dapat
bertukar dengan baik dari dalam dan luar rumah (Ningrum, 2015).
2016, diperoleh bahwa pada tahun 2016dari 78.915 balita di Kabupaten Samosir,
sebanyak 15.717 kasus (33,4%) adalah penderita ISPA, diikuti Hipertensi (13,3%),
kerja Puskesmas Ambarita, yaitu sebesar 9,26% dari seluruh cakupan penderita ISPA
di Kabupaten Samosir. Berdasarkan data yang diperoleh dari (Laporan SP2TP Dinkes
Kabupaten Samosir, 2016). Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir, bahwa pada tahun
2016 penderita ISPA terbanyak adalah golongan umur 1-5 tahun yaitu 12.933 balita.
Pada urutan kedua adalah golongan umur 2 bulan-12 bulan yaitu 5.894 balita dan
urutan ketiga adalah golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu 540 balita (Laporan
Wilayah kerja Puskesmas Ambarita terdiri dari 9 desa yaitu Desa Ambarita, Garoga,
Pada tahun 2014, angka kesakitan ISPA mencapai 70 dari 618 balita (11,3%). Pada
tahun 2015, angka kesakitan ISPA mencapai 129 dari 616 balita (20,9%), dan pada
tahun 2016, angka kesakitan ISPA mencapai 147 dari 634 balita (23,1%). Hal ini
peningkatan. Demikian juga pada tahun 2017 (data survey awal bulan Mei ) jumlah
balita di Puskesmas Ambarita sebanyak 643 balita dimana jumlah balita yang di
MTBS di Puskesmas Ambarita dari bulan Januari sampai dengan April tahun 2017
sebesar 19,1% (123 balita) dimana penderita ISPA sebesar 9,1% (59 balita) diikuti
Influensa sebesar 6,3% (41 balita) dan Diare sebesar 3,5% (23 balita) (Laporan
dalam hal kesehatan terutama kepala Puskesmas yang harus bertaggung jawab bagi
Puskesmas Ambarita yang merupakan ada kaitannya dengan kejadian ISPA pada
balita seperti jenis kelamin, status gizi, BBLR, pemberian kolostrum, pemberian ASI
eksklusif, imunisasi, kepadatan hunian dan ventilasi tidak semua ada tersedia datanya
di puskesmas. Data bulan Januari sampai April 2017 yang ada merupakan data jenis
kelamin dengan kejadian ISPA sebanyak perempuan 35 jiwa (11,7%) dan laki-laki 24
jiwa (6,9%), status gizi balita seperti gizi buruk 1 jiwa (0,1%), balita gizi kurang 12
Berdasarkan hal ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang
rumusan masalah dari penelitian ini adalah: “Apakah faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) pada balita di wilayah kerja
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak pihak
1.4.1 Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir serta
10
1.4.2 Sebagai bahan masukan bagi instansi dan stakeholder terkait dalam
1.4.3 Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan
11
TINJAUAN PUSTAKA
mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam Lokakarya Nasional
ISPA di Cipanas. Istilah ini merupakan padanan istilah Inggris Accute Respiratory
Infections disingkat ARI. Istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran
Istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran pernafasan dan
akut. Pengertian atau batasan masing-masing unsur adalah sebagai berikut: 1) Infeksi
adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti
sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara
otomatis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah
(termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan
ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract). 3)
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari ini. Batas 14 hari
ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapapenyakit yang
dapat digolongakan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Kemenkes
RI, 2013).
12
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas
dan bawah, Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang disebabkan oleh virus
dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut, uvulitis
akut bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran atas yang
disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam penggolongan ini
(Nelson, 2012).
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
Etiologi ISPA terdiri dari bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Bakteri penyebab
Sedangkan aspirasi lain yang juga dapat menjadi penyebab ISPA adalah makanan,
asap kendaraan bermotor, BBM (bahan bakar minyak) biasanya minyak tanah, cairan
13
amnion pada saat lahir, dan benda asing seperti biji-bijian (Widoyono, 2011).
Penyakit infeksi saluran pernapasan akut menyerang salah satu bagian dan
atau lebih dari saluran nafas mulai hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran
bawah) termasuk jaringan aksesoris seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni antara lain : (1) Infeksi merupakan masuknya
kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga
menimbulkan gejala penyakit. (2) Saluran pernapasan merupakan organ mulai dari
hidung hingga alveoli beserta organ aksesorinya seperti sinus, rongga telinga tengah
dan pleura. (3) Infeksi Akut yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
ditentukan untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang
dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
Penyakit ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran
Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut dan Infeksi Saluran bawah Akut dimana Infeksi
Saluran Pernafasan atas Akut adalah infeksi yang menyerang hidung sampai bagian
faring seperti : pilek, sinusitis, otitis media (infeksi pada telinga tengah), faringitis
14
penyakit bukan pneumonia. Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut adalah infeksi
yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli,
golongan yaitu : (1) ISPA Non-Pneumonia Merupakan penyakit yang banyak dikenal
masyarakat dengan istilah batuk dan pilek (common cold). (2) ISPA Pneumonia
merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya
disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinik batuk, disertai
ISPA) mengklasifikasikan ISPA sebagai berikut yaitu Kelompok umur kurang dari 2
adanya penarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya
nafas cepat, frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan Bukan pneumonia (batuk
pilek biasa) bila tidak ditemukan tanda tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah
ke dalam dan tidak ada nafas cepat, frekuensi kurang dari 60 menit. Kelompok umur
2 bulan <5 tahun diklasifikasikan atas : Pneumonia berat apabila dalam pemeriksaan
ditemukan adanya tarikan dinding dada dan bagian bawah ke dalam dan Pneumonia
tidak ada tarikan dada bagian bawah, adanya nafas cepat, frekuensi nafas 50 kali atau
lebih pada umur 2 (<12 bulan) dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan
15
(<5 tahun) dan bukan pneumonia tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam, tidak ada nafas cepat, frekuensi kurang dari 50 kali per menit pada anak umur
2 (<12 bulan) dan kurang dari 40 permenit 12 bulan (<5 bulan). Penyakit ISPA pada
balita dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan
Gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut : (a) Gejala dari
ISPA ringan adalah batuk, Serak pada pada waktu berbicara atau menangis, Pilek
yang mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung dan Panas atau demam, suhu badan
lebih dari 37°C. (b) Gejala dari ISPA sedang adalah Pernapasan cepat (fast breathing)
sesuai umur, untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per
menit atau lebih untuk umur 2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur
12 bulan - < 5 tahun, suhu tubuh lebih dari 39°C, tenggorokan berwarna merah,
timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak, telinga sakit atau
mengeluarkan nanah dari lubang telinga dan Pernapasan berbunyi seperti mengorok
(mendengkur). (c) Gejala dari ISPA Berat seseorang balita dinyatakan menderita
ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu
atau lebih gejala-gejala sebagai berikut yaitu bibir atau kulit membiru, anak tidak
sadar atau kesadaran menurun, pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak
tampak gelisah, sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas, nadi cepat lebih dari
160 kali per menit atau tidak teraba dan tenggorokan berwarna merah (Usman, 2012).
16
Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda yang
telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand transmission) dan
dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne disease) pada penderita ISPA
yang kebetulan mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau sputum
mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan
dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat
dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam membran
menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat
berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan akibat iritasi oleh
dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik
dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, hal ini akan
17
2.5 Epidemiologi
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Infeksi saluran
pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan
panas disertai salah satu atau lebih gejala tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek,
batuk kering atau berdahak. Daya tahan tubuh anak berbeda dengan orang dewasa
karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila di dalam satu rumah seluruh
anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi
tubuh anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat
(WHO, 2012). Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 3 - 6 kali
Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi
dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh
(30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas
2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period
prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda
18
wilayah, namun terbanyak terjadi di Asia Selatan dan Afrika. Populasi yang rentan
terserang pneumonia adalah anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari
(alveoli) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, jamur
dan bakteri. Sampai dengan tahun 2014, angka cakupan penemuan pneumonia balita
tidak mengalami perkembangan berarti yaitu berkisar antara 20%-30%. Pada tahun
penemuan pneumonia, yang sebelumnya sama untuk semua provinsi (10%), pada
tahun 2015 menggunakan hasil Riskesdas 2013 yang berbeda-beda untuk setiap
provinsi dan secara nasional sebesar 3,55%. Sejak tahun 2015 indikator Renstra yang
2015).
Pencapaian untuk tahun 2015 baru tercapai 14,64% sedangkan target sebesar
20% dari seluruh kab/kota yang ada. Angka kematian akibat pneumonia pada balita
sebesar 0,16%, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2014 yang sebesar 0,08%.
Pada kelompok bayi angka kematian sedikit lebih tinggi yaitu sebesar 0,17%
dibandingkan pada kelompok umur 1-4 tahun yang sebesar 0,15% (Kemenkes RI,
2016).
19
Kesehatan Perumahan, disebutkan bahwa kepadatan hunian lebih dari atau sama
dengan 8 m2 per orang dikategorikan sebagai tidak padat. Proporsi rumah tangga di
Indonesia yang termasuk ke dalam kriteria tidak padat adalah sebesar 86,6%. Lima
provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga dengan kategori tidak padat (≥
(93,1%), Bangka Belitung (92,8%) Jambi (92,6%). Lima provinsi terendah adalah
Papua (55,0%), NTT (64,0%), DKI Jakarta (68,3%), Gorontalo (69,0%), dan Maluku
langit, dinding dan lantai terluas. Proporsi rumah tangga dengan atap rumah terluas
berplafon adalah sebesar 59,4 %, dinding terbuat dari tembok sebesar 69,6%, dan
lantai bukan tanah sebesar 93,1%. Proporsi rumah dengan atap terluas berplafon di
untuk dinding dan lantai, jenis bahan dinding terluas terbuat dari tembok dan jenis
lantai bukan tanah untuk wilayah perkotaan lebih tinggi (dinding tembok 83,5%,
lantai bukan tanah 97,4%), dibandingkan perdesaan (dinding tembok 55,3%, lantai
Kondisi ruangan dalam rumah seperti ketersediaan ruang tidur, ruang dapur
dan ruang keluarga dilihat dari keadaan, kebersihan, ketersediaan jendela, ventilasi
20
lainnya. Dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat rumah tangga kondisi ruang
tidur, ruang keluarga maupun dapurnya bersih dan berpencahayaan cukup. Tetapi
kurang dari 50% rumah tangga yang ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan
Prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari
11,1% tahun 2010 menjadi 10,2 % tahun 2013. Variasi antar provinsi sangat
mencolok dari terendah di Sumatera Utara (7,2%) sampai yang tertinggi di Sulawesi
permasalahan utama yang dihadapi adalah kesadaran akan pentingnya asi. Cakupan ai
nasional sebesar 80%, pemberian asi satu jam pasca persalinan 8%. Menyusui hanya
ASI saja pada bayi umur 6 bulan meningkat pada tahun 2010 dari 15,3 % terjadi
peningkatan pada tahun 2013 sebesar 30,2% , demikian juga inisiasi menyusu dini <1
jam dari tahun 2010 sebesar 29,3 % terjadi peningkatan pada tahun 2013 sebesar
fluktuatif dari 18,4 % (2007) menurun menjadi 17,9 % (2010) kemudian meningkat
lagi menjadi 19,6 % (tahun 2013). Beberapa provinsi, seperti Bangka Belitung,
adalah NTT diikuti Papua Barat, dan dua provinsi yang prevalensinya <15 % terjadi
21
balitagizi buruk secara nasional. Kasus gizi buruk yang dimaksud ditentukan
berdasarkanperhitungan berat badan menurut tinggi badan balita Zscore < -3 standar
deviasi (balita sangat kurus). Sedangkan menurut hasil Riskesdas 2013 prevalensi
gizi sangat kurus pada balita sebesar 5,3%. Jika diestimasikan terhadap jumlah
sasaran balita yang terdaftar di posyandu yang melapor (21.436.940) maka perkiraan
jumlah balita gizi buruk (sangat kurus) sebanyak sekitar 1,1 juta jiwa. Dengan
demikian penemuan kasus balita gizi buruk masih jauh dibandingkan perkiraan kasus
gizi buruk yang ada di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk
penimbangan balita belum mencapai tiga perempat dari jumlah balita yang terdaftar
di posyandu diharapkan bisa mencapai minimal 80% dan sisanya dapat dicapai
melalui penjaringan (sweeping) oleh tenaga kesehatan ke rumah balita. Selain itu
Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara laki-laki secara biologis sejak
seseorang lahir, seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-
22
laki memproduksi sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara
biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan
fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya
dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada dimuka
Anak laki-laki lebih suka bermain di tempat yang kotor, berdebu, dan banyak
bermain diluar rumah sehingga kontak dengan penderita ISPA lain yang mudah
penularan dan anak terkena ISPA. Anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA
kejadian ISPA sekitar 55,7% (73 orang), sedangkan jenis kelamin laki-laki sebesar
Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat
gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologi akibat dari
tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh (Supariasi, 2011), sedangkan menurut
Soekirman (2013), status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau
sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-
Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tumbuh dan berkembang
dengan baik, berat dan tinggi badannya akan selalu bertambah, sedangkan keadaan
gizi yang buruk akan muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya
23
ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi
buruk dan infeksi, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia. Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap
orang tua, perlu perhatian lebih dalam tumbuh kembang diusia balita didasarkan fakta
bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini akan berpengaruh pada kualitas
Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan
dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Dalam
keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan
diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh
serangan infeksi menjadi menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita
tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan
gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih
sebanyak 104 jiwa, yang memiliki status gizi baik dengan kejadian ISPA sebanyak 45
jiwa (43,27%) dan yang mempunyai status gizi kurang dengan kejadian ISPA
sebanyak 59 jiwa (56,73%) (Hardiana, 2013). Untuk menilai status gizi balita ada
beberapa kategori status gizi menurut indikator yang digunakan dan batas-batasnya,
24
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang
kurang 2.500 gram. Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai risiko
kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat bayi lahir normal, terutama
pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan
BBLR adalah kelahiran prematur. Bayi yanag lahir pada kehamilan kurang dari 37
minggu pada umumnya disebabkan oleh tidak mempunyai uterus yang dapat
menahan janin, gangguan selama kehamilan dan lepasnya plasenta yang lebih cepat
dari waktunya. Bayi prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi
25
normal untuk bertahan hidup diluar rahim sehingga semakin muda umur kehamilan.
dari 6 balita BBLR yang berusia 12-23 bulan terdapat 5 balita (83,5%) balita yang
menderita ISPA dan 1 balita (16,7%) tidak menderita ISPA. Hal ini disebabkan pusat
pernapasan dan tulang iga lemah. Bayi BBLR mengalami infeksi paru-paru dan gagal
kelahiran.Kolostrum ini berkembang menjadi ASI yang matang sekitar tiga sampai
kuning yang sangat pekat, tetapi terdapat dalam volume yang kecil pada awal
kelahiran yang menjadikan makanan idelan pada bayi yang baru lahir. Kolostrum
ikterus. Kolostrum berisi antibodi serta zat-zat anti infeksi seperti IgA, lisioson,
laktoferin dan sel-sel darah putih dalam konsentrasi tinggi juga kaya akan factor-
faktor pertumbuhan serta vitamin-vitamin yang larut dalam lemak khususnya vitamin
A (Pollard, 2015)
26
bayi baru lahir. Penelitian secara medis menunjukkan bahwa kolostrum mempunyai
faktor imunitas yang kuat yang membantu melawan virus, bakteri, jamur, alergi,
toksin, membantu mengatasi berbagai masalah usus, auto imunitas, arthiritis dan
membantu menyeimbangkan kadar gula dalam darah serta kaya akan kandungan
TgF-B yang mengandung terapi penderita kanker, pembentukan tulang dan mencegah
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan
sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi kebutuhan
gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan. ASI eksklusif
adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa mamberikan
Pada waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk
infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu sendiri.
Dengan adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI eksklusif akan
terlindungi dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus,
27
Air Susu Ibu adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktose dan
garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjer payudara ibu sebagai
makanan utama pada bayi. ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan
komposisinya disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat
terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara
dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga dapat
menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu formula yang
tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan menjadi pemicu
terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak lebih mudah
menunjukkan bahwa balita yang diberikan asi dengan kejadian ISPA sebanyak 7 jiwa
(33,3%) dibandingkan dengan balita yang tidak mendapatkan asi dengan kejadian
2.6.6 Imunisasi
diperlukan baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Imunisasi dilakukan untuk
menjaga kekebalan tubuh supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit
yang disebabkan oleh virus/ bakteri. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah berbagai
jenis penyakit infeksi seperti Polio, TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan
Campak. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian demi akibat penyakit-
penyakit tersebut. Penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan
28
dengan kejadian ISPA di mana status Imunisasi balita di Puskesmas Pasir Putih
sebagian besar lengkap se banyak 53 balita (72,6%) kejadian ISPA pada anak balita
di Puskesmas Pasir Putih sebagian besar tidak ISPA sebanyak 44 balita (60,3%) di
mana baliata yang mendapatkan imunisasi lengkap lebih rendah mengalami kejadian
Rumah harus menjamin kesehatan penghuninya, salah satu syarat rumah sehat
peruntukannya seperti ruang tamu, kamar tidur, dapur, ruang bermain anak, gudang,
menetapkan bahwa luas ruang tidur lebih dari atau sama dengan 8m2 dikategorikan
sebagai tidak padat dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam
satu kamar tidur. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya
akan mempunyai dampak kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan
seperti ISPA. Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai
dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran
29
panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan
tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka
semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan
banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh
peningkatan CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam ruangan adalah penurunan
kepadatan hunian yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita sebesar
43,4% (53 jiwa) dibandingkan dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat
dengan kejadian ISPA pada balita sebesar 56,5% (69 jiwa), hal ini menunjukkan
semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara ruangan
mengalami pencemaran gas atau bakteri yang dapat menggangu kesehatan (Ningrum,
2015).
2.6.8 Ventilasi
dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun
buatan. Ventilasi adalah suatu usaha untuk menyediakan udara segar, mencegah
optimum terhadap udara di dalam ruangan. Lubang hawa atau ventilasi tetap minimal
5 % dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka
dan ditutup), yaitu jendela minimal 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya
30
menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap
CO2 menjadi racun. Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam
rumah merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA
(Mukono, 2008).
berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang terjadi secara alamiah
melalui jendela, pintu dan lubang angin. Selain itu ventilasi alamiah juga
menggerakkan udara sebagai hasil poros dinding ruangan, atap dan ventilasi buatan
tersebut di antaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC. Menurut Kemenkes No.
secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara melihat indikator
penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari
sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah.
bahwa ventilasi yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita sebesar
31
51,6% (63 jiwa) dibandingkan dengan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita
yang tidak memenuhi syarat sebesar 48,3% (59 jiwa), hal ini menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ispa. Hal ini
disebabkan ventilasi yang selalu dibuka setiap hari sehingga udara dapat bertukar
dengan baik dari dalam dan dari luar rumah (Nigrum, 2015).
Landasan teori merupakan tujuan utama dari ilmu karena teori merupakan alat
untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena yang diteliti. Teori selalu berdasarkan
faktaa, didukung oleh dalil dan proposisi. Secara teori harus berlandaskan fakta emfiris
karena tujuan utamanya adalah menjelaskan dan memprediksikan kenyataan atau realitas.
Suatu penelitian dengan dasar teori yang baik akan membantu mengarahkan sipeneliti
Menurut John Gordon bahwa timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh adanya
pengaruh faktor pejamu (host), agent dan lingkungan ( Environment). Agent suatu
penyakit meliputi agent biologis dan non biologis, misalnya agent fisik, kimia. Faktor
publikasi ilmiah dilaporkan faktor risiko yang meningkatkan kejadian (morbiditas) ISPA
32
1. Host (Pejamu)
Manusia yang keberadaannya dipengaruhi oleh ; umur, jenis kelamin, status gizi,
2. Agent
Faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus, dan parasit (infection
agent).
3. Environment (Lingkungan)
Faktor di luar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host terdiri dari
lingkungan biologis, fisik dan sosial. Dalam penelitian ini yang berperan sebagai
Konsep di atas adalah suatu konsep yang dinamis, setiap perubahan dari
kejadian suatu penyakit. Untuk itu guna menurunkan kesakitan atau kejadian ISPA,
program bina kesehatan balita, program bina gizi masyarakat dan program
bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu bibit penyakit
33
Host
Agen Environment
fakta-fakta, observasi dan tinjauan. Kerangka konsep membuat teori, dalil atau
Faktor independen (variabel bebas) dalam penelitian ini yaitu meliputi jenis
kepadatan hunian dan ventilasi. Faktor dependen (variabel terikat) dalam penelitian
ini adalah kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan tujuan penelitian maka kerangka
34
FAKTOR HOST
1. Jenis Kelamin
2. Status Gizi
3. BBLR
4. Pemberian kolostrum
5. Asi Ekskusif Kejadian ISPA Pada
6. Imunisasi Balita
FAKTOR ENVIRONMENT
1. Kepadatan Hunian
2. Ventilisasi
2.9 Hipotesis
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Ambarita Kec. Simanindo
35
METODE PENELITIAN
dan mengapa fenomena ini terjadi. Sedangkan desain cross sectional study
dilengkapi dengan data pemantauan MTBS dan angka kejadian ISPA pada balita
semakin meningkat setiap tahunnya dimana Tahun 2014 mencapai 70 dari 618 balita
(11,3%), Tahun 2015 mencapai 129 dari 616 balita (20,9%), dan Tahun 2016
akhir sampai seminar hasil yang dimulai dari bulan Mei sampai dengan Desember
tahun 2017.
36
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah seluruh balita yang ada di wilayah kerja
Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir dari bulan Januari sampai April tahun
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian anak balita umur ≥12 – 59
bulan, dimana besar sampel diambil dalam penelitian ini menggunakan rumus besar
Keterangan :
α : Taraf Kemaknaan 5%
P0 : proporsi kasus ISPA balita yang diharapkan 1,9% (0,019) (survey awal)
(Dinkes Samosir)
37
𝑛 = 85,7 = 86
59 bulan) dimana yang menderita ISPA sebanyak 48 balita dan tidak ISPAsebanyak
teknik pengambilan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah
Metode pengumpulan data yang dilakukan meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diukur meliputi yang meliputi variabel independen, instrumen
variabel di dapatkan dari ibu balita. Sebagai responden data sekunder dikumpulkan
Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara kepada responden
mengumpulkan data.
kesehatan dari data laporan bulanan dan tahunan, jumlah balita dengan ISPA di
38
diperoleh berupa rekapitulasi hasil pendataan jumlah balita yang telah diperiksa dan
Variabel penelitian ini meliputi faktor-fakor yang berperan dalam peristiwa yang
akan diteliti.
variabel terikat (dependent variabel). Variabel bebas meliputi faktor jenis kelamin,
status gizi, berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian kolostrum, pemberian ASI
1. Kejadian ISPA pada balita adalah balita yang datang berkunjung ke puskesmas
dan didiagnosa dokter menderita ISPA, atau balita yang mengalami gejala ISPA
3. Status gizi adalah keseimbangan antar komsumsi dan penyerapan zat gizi dan
penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini ditentukan berdasarkan perhitungan berat
4. Berat badan lahir rendah (BBLR) adalah berat bayi lahir kurang dari 2500 gram.
Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental
39
5. Pemberian kolostrum adalah tindakan ibu pertama sekali saat memberikan ASI
pertama (kolostrum), kolostrum adalah air susu yang dihasilkan oleh kelenjar
susu dalam tahap akhir kehamilan dan beberapa hari setelah kelahiran bayi.
6. Pemberian ASI eksklusif adalah tindakan ibu dalam menyusui bayi selama 6
bulan tanpa diberi makanan/cairan lain selain ASI. ASI mengandung gizi yang
7. Imunisasi adalah jenis imunisasi yang sudah didapatkan oleh balita sesuai dengan
batas waktu pemberian usia bayi dan frekuensi mendapatkannya yaitu BCG :
luas lantai kamar tidur. Berdasarkan Kemenkes RI No. 829 tahun 1999 tentang
kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur lebih dari atau sama
9. Ventilasi adalah jendela dan lubang anging yang dapat berfungsi untuk
mengalirkan udara segar kedalam ruangan, luas minimal 10 % dari luas lantai.
Pengukuran dilakukan pada setiap variabel. Cara ukur, alat ukur dan skala
ukur dan kategori masing-masing setiap variabel penelitian diuraikan pada tabel
berikut:
40
Tabel 3.1 Variabel, Alat Ukur, Hasil Ukur dan Skala Ukur
Skala
No Variabel Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
I Variabel
Dependen
Kejadian Kuesioner 1.ISPA Ordinal
ISPA 2. Tidak ISPA
II Variabel
Independen
Jenis Kelamin Kuesioner 1. Perempuan Nominal
2. Lak-laki
Status Gizi Kuesioner 1. Buruk Ordinal
2. Baik
BBLR Kuesioner 1. < 2500 gr Ordinal
2. > 2500 gr
Pemberian Kuesioner 1. Tidak Mendapatkan kolostrum Ordinal
kolostrum 2. Mendapatkan kolostrum
Pemberian ASI Kuesioner 1. Tidak ASI eksklusif Ordinal
eksklusif 2. ASI eksklusif
Imunisasi Kuesioner 1. Tidak lengkap Ordinal
2. Lengkap
Kepadatan Kuesioner 1. Tidak Memenuhi Syarat ≥ 8m2 Ordinal
Hunian Observasi 2. Memenuhi Syarat≤ 8m2
Ventilasi Kuesioner 1. Tidak memenuhi syarat≥ 10 % Ordimal
Observasi dari luas lantai
2. Memenuhi syarat≤10 %
kegiatan pengolahan data. Data mentah yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah
sehingga menjadi sumber yang dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian.
41
1. Editing data
Tahapan ini merupakan bagian penyuntingan data yang telah terkumpul dengan
memastikan data yang diperoleh telah lengkap dapat dibaca dengaan baik, relevan
dan konsisten.
2. Coding data
dari setiap pertanyaan terhadap setiap variabel sebelum diolah dengan komputer,
3. Entry data
Tahap ini merupakan proses memasukkan data dari kuesioner kedalam komputer
4. Cleaning
Pada tahap ini dilakukan proses pengecekan kembali dan pemeriksaan kesalahan
pada data yang sudah dientri untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan dtata yang
telah dikumpulkan.
Pada penelitian ini analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat,
bivariat, dan multivariat, setelah dikumpulkan data akan dianalisis dengan tahapan
42
didapatkan model awal dengan variabel faktor penentu yang memiliki nilai
p< 0,05.
akhir dari penentu faktor yang paling dominan terhadap penderita ISPA pada
balita.
43
1
𝑝=
1 + e − (𝑎 + 𝑏1 𝑥1 + 𝑏2 𝑥2 + 𝑏𝑖𝑥𝑖 )
Dimana :
44
HASIL PENELITIAN
wilayah kerjanya.
kerjanya.
kecamatan. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan
kerja Puskesmas
desa, yaitu desa Ambarita, desa Garoga, desa Martoba, desa Marlumba, desa
Maduma, desa S.Sangkal, desa Simanindo, desa Siallagan, desa Unjur dengan letak
45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
1.956KK. Puskesmas Ambarita yang terdiri dari dua gedung, gedung pertama yaitu
terdiri dari : Ruang kartu, Ruang rawat inap/rujukan, ruang KIA-KB, ruang gizi,
ruang poli umum, ruang poli anak, ruang bersalin, apotek, sanitasi, dapur, toilet.
Gedung dua terdiri dari : ruang Kapus, ruang KTU, klinik gigi, ruang TB paru,ruang
pengobatan, salah satu upaya pelayan kesehatan yang berkaitan dengan ISPA lebih
difokuskan pada upaya penemuan dini dan tatalaksana kasus yang cepat dan tepat
ISPA adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernapasan bagian
atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi ini disebabkan oleh virus, jamur
dan bakteri. ISPA akan menyerang host apabila ketahanan tubuh (immunologi)
menurun. Bayi di bawah lima tahun adalah kelompok yang memiliki sistem
46
kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit. ISPA merupakan
Wilayah kerja Puskesmas Ambarita terdiri dari 9 desa yaitu Desa Ambarita, Garoga,
Pada tahun 2014, angka kesakitan ISPA mencapai 70 dari 618 balita (11,3%). Pada
tahun 2015, angka kesakitan ISPA mencapai 129 dari 616 balita (20,9%), dan pada
tahun 2016, angka kesakitan ISPA mencapai 147 dari 634 balita (23,1%).
pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat, diharapkan sebagian besar masalah
independen yaitu jenis kelamin, status gizi, BBLR, pemberian kolostrum, pemberian
ASI eksklusif, imunisasi, kepadatan hunian, ventilasi dan variabel dependen kejadian
47
dan ventilisasi.
Tabel 4.1. Distribusi Balita Berdasarkan Status ISPA Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir
ISPA Jumlah %
ISPA 48 55.8
Tidak ISPA 38 44.2
Jumlah 86 100
perempuan sebanyak 46 orang (53,5%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 40 orang
(46,5%).
responden (52,3%) memiliki gizi baik dan 41 responden (47,7%) memiliki gizi
kurang baik.
48
BBLR.
BBLR Jumlah %
< 2500 gr 53 61.6
>2500 gr 33 38.4
Jumlah 86 100
kolostrum.
49
(47,7%) memiliki imunisasi tidak lengkap dan sebanyak 45 orang (52.3%) responden
Imunisasi Jumlah %
Tidak lengkap 41 47.7
Lengkap 45 52.3
Jumlah 86 100
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat dan sebanyak 39 orang (45,3%)
50
memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan sebanyak 34 orang (39,5%)
Ventilasi Jumlah %
Tidak memenuhi syarat 52 60.5
Memenuhi syarat 34 39.5
Jumlah 86 100
dengan kejadian ISPA yaitu jenis kelamin, status gizi, BBLR, pemberian kolostrum,
perempuan mengalami ISPA dan sebanyak 34,4% responden berjenis kelamin laki-
laki mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai p= 0,311 hal
ini berarti nilai p> 0,05 sehingga Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan jenis
Responden dengan status gizi kurang sebanyak 40,8% mengalami ISPA dan
sebayak 37,8% responden dengan status gizi baik tidak mengalami ISPA.
Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai p= 0,210 hal ini berarti nilai p> 0,05
sehingga Ho diterima. Hal ini berart tidak ada hubungan status gizi dengan kejadian
ISPA.
51
BBLR kurang dari 2500 gr sebanyak 52,8% mengalami ISPA dan sebanyak 39,4%
responden dengan status BBLR kurang dari 2500 gr tidak mengalami ISPA.
Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai p= 0,480 hal ini berarti nilai p> 0,05
sehingga Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada hubungan BBLR dengan kejadian
tidak mendapat kolostrum mengalami kejadian ISPA dan sebanyak 46,8% responden
yang mendapat kolostrum tidak mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil uji Chi
square diperoleh nilai p= 0,437 hal ini berarti nilai p> 0,05 sehingga Ho diterima. Hal
ini berarti tidak ada hubungan pemberian kolostrum dengan kejadian ISPA pada
balita.
Data ASI eksklusif sebanyak 85,1% responden yang tidak mendapat ASI
mengalami kejadian ISPA dan hanya 20,5% responden yang mendapat ASI namun
mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai p=
0,0001 hal ini berarti nilai p< 0,05 sehingga Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan
ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Dengan nilai RP sebesar 4,1 yang
artinya balita yang tidak mendapat ASI eksklusif 4,1 kali lebih mudah untuk terkena
kejadian ISPA dan sebanyak 45,2% responden yang tidak mendapat imunisasi tidak
lengkap mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai
p= 0,054 hal ini berarti nilai p> 0,05 sehingga Ho diterima. Hal ini berarti tidak ada
52
tidak memenuhi syarat mengalami kejadian ISPA dan sebanyak 82,1% responden
dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat tidak mengalami kejadian ISPA.
Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh nilai p= 0,0001 hal ini berarti nilai p<0,05
sehingga Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian
ISPA pada balita dengan nilai RP sebesar 4,8 yang artinya kepadatan hunian
tidak memenuhi syarat mengalami kejadian ISPA dan sebanyak 54,7% responden
dengan ventilasi memenuhi syarat tidak mengalami kejadian ISPA. Berdasarkan hasil
uji Chi square diperoleh nilai p= 0,002 hal ini berarti nilai p< 0,05 sehingga Ho
ditolak. Hal ini berarti ada hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita.
Dengan nilai RP sebesar 1,9 yang artinya ventilisasi memengaruhi 1,9 kali kejadian
ISPA.
53
yang paling dominan berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita yaitu dengan
melakukan pemilihan variabel yang potensial dimasukkan dalam model yaitu variabel
Berdasarkan hasil uji statistik terhadap variabel, kelima variabel masuk dalam
analisis multivariat yaitu variabel Status Gizi, pemberian ASI Eksklusif, ,Imunisasi,
dimana pada setiap tahapan seleksi, variabel yang tidak signifikan dengan nilai p >
0,05 akan dikeluarkan satu persatu mulai dari variabel yang memiliki nilai p terbesar.
Setiap tahap selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama hingga seleksi terakhir
54
Tabel 4.12 terlihat ada beberapa variabel yang tidak berhubungan dengan
kejadian ISPA dengan nilai (p Value > 0,05). Dengan demikian perlu dilakukan
pengeluaran variabel dengan nilai p terbesar yaitu variabel ASI eksklusif, dan
kepadatan hunian.
Tabel 4.12. Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Berganda Kejadian ISPA
di Wilayah Kerja Puskesmas Ambarita Kecamatan Simanindo
Kabupaten Samosir
95% C.I.for EXP(B)
B Sig. RP
Lower Upper
Step 3c ASI
4.789 0.000 120.218 9.002 1605.538
ekslusif
Imunisasi -1.910 0.045 .148 .023 .956
Kepadatan
4.188 0.000 65.916 6.605 657.796
Hunian
Ventilasi 1.840 0.044 6.298 1.054 37.613
Constant -4.150 0.001 .016
Step 2b ASI
4.262 0.000 70.961 7.349 685.233
ekslusif
Kepadatan
4.160 0.000 64.070 7.200 570.123
Hunian
Ventilasi 1.819 0.030 6.163 1.190 31.925
Constant -4.978 0.000 .007
Step 1a ASI
3.913 0.000 50.064 5.993 418.234
ekslusif
Kepadatan
4.223 0.000 68.265 8.171 570.329
Hunian
Constant -3.916 0.000 .020
55
dengan kejadian ISPA pada balita adalah ASI eksklusif dan Kepadatan hunian.
Variabel yang paling dominan dengan kejadian ISPA adalah kepadatan hunian
dengan nilai Exp(B) 68.2, hal ini berarti kepadatan hunian berpengaruh 68.2 kali
X1 : ASI eksklusif
X2 : Kepadatan hunian
Bila hubungan ASI Eksklusif dan kepadatan hunian baik maka probabilitas
Y = -3,916+4,223(1)+3,913(1) = 4,22
1
P= = 0,98
1+ 2,71828−(4,22)
probabilitas balita yang mendapat ASI Eksklusif dan Kepadatan Hunian yang
memenuhi syarat akan tidak terkena ISPA 98 kali dibandingkan balita yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif dan Kepadatan Hunian yang tidak memenuhi syarat.
56
PEMBAHASAN
Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara laki-laki secara biologis sejak
seseorang lahir, seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-
laki memproduksi sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara
biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan
fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya
dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada dimuka
yang signifikan antara jenis kelamin balita baik jenis kelamin perempuan maupun
Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian Pratama (2010), yang
menyatakan bahwa anak laki-laki lebih suka bermain ditempat yang kotor, berdebu,
dan banyak bermain di luar rumah sehingga kontak dengan penderita ISPA lain yang
mudah penularan dan anak terkena ISPA. Anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA
dibandingkan dengan anak perempuan, dan penelitian ini juga tidak selaras dengan
perempuan mengalami kejadian ISPA sekitar 55% (73 orang), sedangkan jenis
57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat
gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologi akibat dari
tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh (Supariasi, 2011), sedangkan menurut
Soekirman (2013), status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau
sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-
Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tumbuh dan berkembang
dengan baik, berat dan tinggi badannya akan selalu bertambah, sedangkan keadaan
gizi yang buruk akan muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya
ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi
buruk dan infeksi, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia. Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap
orang tua, perlu perhatian lebih dalam tumbuh kembang diusia balita didasarkan fakta
bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini akan berpengaruh pada kualitas
Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Maryunani (2011), yang
meyatakan bahwa balita yang mengalami gizi kurang akan lebih mudah terserang
ISPA dibandingkan dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh
58
yang kurang dimana nilai p value=0.042 (p<0,05). Dalam keadaan gizi yang baik,
Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang
menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu
makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih
Hasil penelitian ini juga tidak selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan
di Puskesmas Pajang Surakarta, kejadian ISPA pada balita sebanyak 104 jiwa, yang
memiliki status gizi baik dengan kejadian ISPA sebanyak 45 jiwa (43,27%) dan yang
mempunyai status gizi kurang dengan kejadian ISPA sebanyak 59 jiwa (56,73%)
(Hardiana, 2013).
BBLR ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang kurang 2.500 gram. Berat
bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada
masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai risiko kematian yang
lebih besar dibandingkan dengan berat bayi lahir normal, terutama pada bulan-
bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna
sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit
lahir pada kehamilan kurang dari 37 minggu pada umumnya disebabkan oleh tidak
mempunyai uterus yang dapat menahan janin, gangguan selama kehamilan dan
59
lepasnya plasenta yang lebih cepat dari waktunya. Bayi prematur mempunyai
organ dan alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar
(PONED, 2010).
Hasil analisis statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara BBLR dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ambarita dimana
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di
Puskesmas Tunikamaseang bahwa dari 6 balita BBLR yang berusia 12-23 bulan
terdapat 5 balita (83,5%) balita yang menderita ISPA dan 1 balita (16,7%) tidak
sempurna, paru-paru masih kurang berfungsi, otot pernapasan dan tulang iga
lemah. Bayi BBLR mengalami infeksi paru-paru dan gagal pernapasan (Ibrahim,
2011).
mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, dan protein (antibodi) yang
melawan agen penyebab penyakit seperti bakteri dan virus. Manfaat kolostrum juga
dapat digunakan dalam diare rotavirus pada anak-anak, untuk membakar lemak, untuk
merangsang kekebalan tubuh dalam penderita ISPA dan untuk pelatihan atletik
tubuh.kolostrum dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan
60
Balita ketika bayi baru lahir terdapat 24 Balita yang tidak mendapat kolostrum. Balita
mengalami ISPA sebanyak 15 orang (62,5%). Dari hasil analisis statistik diketahui
bahwa ada tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian kolostrum dengan
Hasil analisis ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan Roesli (2010), bahwa
pada waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk
terhadap infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu
sendiri. Dengan adanya zat anti infeksi pada kolostrum maka bayi dapat terlindungi
dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau
parasit.
Pemberian kolostrum dapat dimulai sejak satu jam pertama bayi dilahirkan
dengan melakukan praktik inisiasi menyusu dini (IMD). Pendekatan IMD yang
payudara) dimana setelah bayi lahir segera diletakkan di perut ibu dan dibiarkan
merangkak untuk mencari sendiri puting ibunya dan akhirnya menghisapnya tanpa
bantuan.
tahun 2016, jumlah pasien melahirkan sebanyak 1.159 orang, dan rata-rata ibu nifas
tiap bulan di Ruang Alamanda III Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul
sebanyak 114 orang. Hasil survei yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit
61
Panembahan Senopati Bantul, didapatkan data bahwa 69 orang ibu tidak memberikan
kolostrum kepada bayinya dikarenakan pasca operasi ibu butuh istirahat penuh.
5.5 Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan
sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi kebutuhan
gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan. ASI eksklusif
adalah pemberian ASI eksklusif kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa mamberikan
ASI adalah makanan ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI
merupakan makanan pertama, utama, dan terbaik bagi bayi yang bersifat alamiah.
ASI mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan bayi baru lahir yang akhirnya bertujuan untuk menurunkan angka
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa pemberian ASI pada Balita
dengan kejadian ISPA bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI
dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ambarita dengan nilai p=0.0001
(p<0,05).
Ada hubungan Bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA
pada balita dengan nilai p=0,0001. Pemberian ASI eksklusif memiliki nilai Exp (B)
=3.913 (95%CI=5.993 - 418.234) artinya bayi yang tidak mendapatkan ASI memiliki
resiko mengalami ISPA sebesar 3,9 kali dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI.
ASI eksklusif adalah pemberian ASI selama 6 bulan tanpa tambahan cairan
lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, dan air putih, serta tanpa tambahan
62
makanan padat, seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan nasi tim, kecuali
vitamin dan mineral dan obat. Pemberian ASI pada satu jam pertama setelah
rnelahirkan dapat mempercepat pergantian produksi susu dari payudara yang penuh
dan matang. Sentuhan kulit antara ibu dan bayi, serta isapan bayi akan membantu
Hasil analisis ini sesuai dengan yang dikemukakan Roesli (2010), bahwa pada
waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk kekebalan
sendiri secara sempurna. ASI mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi dan
alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu sendiri. Dengan
adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI eksklusif akan terlindungi dari
berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau parasit.
Hasil penelitian ini juga selaras dengan pendapat Weni (2011), bahwa air
Susu Ibu adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktose dan garam organik
yang disekresi oleh kedua belah kelenjer payudara ibu sebagai makanan utama pada
bayi. ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan komposisinya disesuaikan
dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu
formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula
sangat susah diserap usus bayi sehingga dapat menyebabkan susah buang air besar
pada bayi. Selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan di RSU dr. Soekardjo
Tasikmalaya, menunjukkan bahwa balita yang diberikan ASI dengan kejadian ISPA
sebanyak 7 jiwa (33,3%) dibandingkan dengan balita yang tidak mendapatkan ASI
63
diperlukan baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Imunisasi dilakukan untuk
menjaga kekebalan tubuh supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit
yang disebabkan oleh virus/ bakteri. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah berbagai
jenis penyakit infeksi seperti Polio, TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan
Berdasarkan analis data ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara imunisasi dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ambarita dengan
Hasil penelitian ini tidak sesuai sesuai dengan hasil penelitian Lisdianti
(2015), terdapat hubungan antara status imunisasi balita dengan kejadian ISPA di
mana status Imunisasi balita di Puskesmas Pasir Putih sebagian besar lengkap
sebanyak 53 balita (72,6%) kejadian ISPA pada anak balita di Puskesmas Pasir Putih
sebagian besar tidak ISPA sebanyak 44 balita (60,3%) di mana balita yang
mendapatkan imunisasi lengkap lebih rendah mengalami kejadian ISPA dari pada
kesehatan penghuninya, salah satu syarat rumah sehat adalah memenuhi kebutuhan
64
fisiologis. Secara fisik kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan suhu yang optimal,
memadai, dan tersedianya ruang sesuai dengan peruntukannya seperti ruang tamu,
kamar tidur, dapur, ruang bermain anak, gudang, kamar mandi dan kakus (Mukono,
2012).
Hasil analisis data berdasarkan Kepadatan Hunian dengan kejadian ISPA pada
Balita terdapat 41 rumah responden yang tidak sesuai dengan syarat. Dari hasil
analisis statistik diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepadatan
hunian dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Ambarita dengan nilai
p=0.0001 (p<0,05).
0.0001. kepadatan hunian memiliki nilai Exp (B) = 4.223 (95%CI= 8.171- 570.329)
artinya bangunan yang tidak memenuhi syarat 4.2 kali beresiko mengalami ISPA
1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur lebih dari
atau sama dengan 8m2 dikategorikan sebagai tidak padat dan tidak dianjurkan
digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu kamar tidur. Bangunan yang sempit
dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya
cepat timbulnya penyakit saluran pernapasan seperti ISPA (Kemenkes RI, 2015).
65
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan
standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas
badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut.
Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin
cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya
penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan
CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara
menunjukkan bahwa kepadatan hunian yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA
pada balita sebesar 43,4% (53 jiwa) dibandingkan dengan kepadatan hunian yang
tidak memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita sebesar 56,5% (69 jiwa),
hal ini menunjukkan semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat
udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri yang dapat menggangu
Ventilasi adalah proses udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor
dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Ventilasi adalah suatu
usaha untuk menyediakan udara segar, mencegah akumulasi gas beracun dan
dalam ruangan. Lubang hawa atau ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai
ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup), yaitu
66
jendela minimal 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya adalah 10% dari luas
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga
agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga,
menjadi racun. Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam
Hasil analisis data ventilasi dengan kejadian ISPA pada Balita terdapat 36
rumah responden yang tidak sesuai dengan syarat.Dari hasil analisis statistik
diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan kejadian ISPA
Sungai Pinang menunjukkan bahwa ventilasi yang tidak memenuhi syarat dengan
kejadian ISPA pada balita sebesar 51,6% (63 jiwa) dibandingkan dengan ventilasi
dengan kejadian ISPA pada balita yang memenuhi syarat sebesar 48,3% (59 jiwa),
hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara luas ventilasi dengan
kejadian ispa (Nigrum, 2015). Penelitian ini tidak selaras dengan pendapat Mukono,
salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA (Mukono, 2008).
berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang terjadi secara alamiah
67
melalui jendela, pintu dan lubang angin. Selain itu ventilasi alamiah juga
menggerakkan udara sebagai hasil poros dinding ruangan, atap dan ventilasi buatan
tersebut di antaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC. Menurut Kemenkes No.
secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara melihat indikator
penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari
sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah.
Implikasi penelitian adalah suatu kesimpulan atau hasil akhir temuan atas
suatu penelitian. Menurunkan angka kejadian ISPA tidak hanya dilakukan dengan
pengobatan (kuratif), tetapi dengan adanya kerjasama antar lintas sektoral (Dinas
Kesehatan, Puskesmas, bidan desa, kepala desa, PKK dan KB) dengan upaya
mencegah (preventif) terjadinya ISPA pada balita maka diberikan penyuluhan kepada
ibu-ibu hamil tentang manfaat pemberian ASI eksklusif agar daya tahan tubuh bayi
lebih tinggi dan meningkatkan pemenuhan nutrisi pada bayi sebagai proteksi tubuh
dalam berbagai penyakit serta memberikan pemahaman pada suami agar mendukung
dan memotivasi istri dalam memberikan ASI agar bayi tidak rentan terkena ISPA.
dimana luas lantai rumah sesuai dengan penghuni, jendela minimal 10 % dari luas
68
dilengkapi dengan MCK yang layak pakai dan selalu membuka jendela sehingga
sirkulasi udara didalam rumah berganti yang dapat mempengaruhi kesehatan balita.
ISPA
69
Penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita
70
6.1 Kesimpulan
1. Ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA
pada Balita.
2. Ada hubungan yang signifikan antara Asi eksklusif dengan kejadian ISPA pada
Balita.
3. Ada hubungan yang signifikan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA
pada Balita.
4. Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin balita baik jenis
5. Tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA
pada Balita
6. Tidak ada hubungan yang signifikan antara BBLR dengan kejadian ISPA pada
Balita.
71
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
6.2 Saran
sebagai kebutuhan utama pada bayi dan mengarahkan tata ruang sesuai standar
dan balita agar menyiapkan ruang yang sesuai dengan standar kesehatan.
membangun rumah dengan jumlah penghuni dan ventilasi yang memenuhi syarat
standar kesehatan.
pembahasan dan telah yang lebih mendalam untuk mengungkap faktor risiko
72
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Prabowo. (2012). Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir. (2016). Laporan SP2TP. Dinas Kesehatan
Kabupaten Samosir.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.
Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan. (2014). Diakses April, 2015, dari
https://www.slideshare.net/.../profil-pengendalian-penyakit-dan-penyehatan-
lingkungan.
73
Marimbi, Hanum. (2010). Tumbuh Kembang, Status Gizi dan Imunisasi Dasar pada
Balita. Yogyakarta : Nusa Medika.
Misnadiarly. (2008). Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia Pada Anak Balita,
Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta : Pustaka Obor Populer.
Ningrum. (2015). Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Kepadatan Hunian dengan
Kejadian ISPA non Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Sungut Pinang. Jurnal Kesehatan : Universitas Lambung Mangkurat.
Shinta Septi Sunaryati., (2014). 14 Penyakit Paling Sering Menyerang dan Sangat
Mematikan Pada Balita. Jogjakarta : Banguntapan Yogjakarta.
Tim Paket Pelatihan Klinik Poned. (2010). Buku Acuan Dasar Pelayanan Obstetri
dan Neonatal Emergency Dasar (Poned). Jakarta : EGC.
Usman. (2012). Analisis faktor yang memepengaruhi kejadian ISPA Pada Balita.
http://www.jiasociety.org/index.php/jias/article/view/18588.
74
Utomo. (2012). Determinan yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Anak.
Jogjakarta : Banguntapan Yogjakarta.
World Health Organisation. (2015). Global Health Risks : Mortality and Burden of
Disease Atributable to Selected Major Risk. Switzerland.
Wiji Tri Lestari. (2016). Kesehatan Reproduksi Berbasis Kompetensi. Jakarta : EGC.
75
Hormat saya
76
Nama :
Umur :
Alamat :
Peneliti Responden
Vina ( )
77
78
79
80
81
82
83
Status
No Pekerjaan Pendidikan Nama Jenis BBLR Pemberian Pemberian Imunisasi Kepadatan Ventilasi Hasil
Umuribu Gizi
Ibu Bayi Kelamin Kolestrum ASI Hunian Pemeriksaan
1 34 wiraswasta SMA T 1 2 1 1 2 2 2 2 2
2 25 IRT SMA E 1 2 2 1 1 2 1 2 1
3 31 IRT 1 W 1 2 1 2 1 2 1 1 1
4 33 IRT SMA R 2 1 1 2 2 1 2 1 2
5 35 IRT SMA T 2 1 1 2 1 1 1 1 1
6 32 PNS SARJANA H 2 2 1 2 2 2 2 2 2
7 30 IRT SMA A 1 1 1 2 2 1 2 1 2
8 30 IRT SMA C 2 2 2 1 2 2 1 2 1
9 30 PETANI SMA B 1 2 1 2 1 2 1 1 1
10 30 PETANI SMA N 1 1 2 2 2 1 1 1 2
11 33 PETANI SMP E 1 1 1 2 2 1 2 2 2
12 28 PETANI SMA I 2 2 1 2 1 2 1 1 1
13 26 wiraswasta SMA H 2 2 1 1 1 2 1 1 1
14 26 wiraswasta SMA J 2 2 1 2 2 2 2 1 2
15 26 wiraswasta SMA T 1 1 1 1 2 1 2 1 2
16 32 PNS SARJANA D 2 1 1 2 2 1 2 2 2
17 34 IRT SMP S 2 1 2 2 1 1 1 1 1
18 34 IRT SMA W 2 1 2 2 1 1 1 1 1
19 34 IRT SMA A 2 1 2 2 1 1 1 1 1
20 35 IRT SMA A 1 1 2 2 1 1 2 2 2
21 33 IRT SD E 2 2 1 1 1 2 1 2 1
84
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
22 32 IRT SMP T 1 2 2 1 1 2 2 1 1
23 30 IRT SMA L 1 2 1 2 2 2 2 2 2
24 33 IRT SMA I 2 1 2 2 1 1 1 1 1
25 29 IRT SMA I 2 1 2 2 1 1 1 1 1
26 28 IRT SMA T 2 1 1 2 1 1 2 2 2
27 29 PETANI SD A 1 2 2 1 2 2 2 1 2
28 29 PETANI SMP S 2 2 2 2 1 2 2 2 2
29 26 BIDAN SARJANA H 2 1 2 2 1 1 2 2 1
30 27 PETANI SMP P 1 1 2 2 2 1 2 1 2
31 30 PETANI SD F 2 2 2 1 2 2 2 1 2
32 30 PETANI SMA C 1 1 2 2 1 1 1 1 1
33 34 PETANI SMA M 2 1 1 1 1 2 1 2 1
34 34 PETANI SMA S 1 2 2 2 2 1 2 2 2
35 34 PETANI SMA E 2 2 2 2 1 2 1 1 1
36 33 wiraswasta SMA R 2 2 1 2 2 1 2 1 2
37 27 PETANI SMA G 1 2 1 2 1 2 1 1 1
38 28 PETANI SMA F 1 1 1 2 2 1 2 1 2
39 30 wiraswasta SARJANA N 1 1 1 2 1 1 1 1 1
40 31 wiraswasta SARJANA K 1 2 1 2 1 2 1 2 1
41 31 wiraswasta SARJANA P 2 2 1 2 2 2 1 1 1
42 30 wiraswasta SMA I 1 1 1 1 2 1 1 2 2
43 33 wiraswasta SMA I 2 1 2 1 2 1 1 1 2
44 31 wiraswasta SMA F 1 2 1 1 1 2 1 1 1
45 31 wiraswasta SMA E 2 2 1 2 1 2 1 1 1
46 30 wiraswasta SMA R 2 1 2 2 2 1 1 2 2
47 30 IRT SMA B 2 2 2 2 1 2 2 1 1
85
48 29 IRT SD N 2 1 2 2 1 1 1 2 1
49 25 IRT SMA D 2 1 2 1 1 1 1 1 1
50 25 wiraswasta SMA E 2 2 2 2 2 2 2 2 2
51 26 IRT SMA A 2 1 1 2 2 1 1 1 1
52 27 wiraswasta SARJANA F 2 2 1 2 1 2 1 2 1
53 25 wiraswasta SARJANA H 2 2 1 2 1 2 1 1 1
54 26 wiraswasta SMA J 1 1 1 1 2 1 2 2 2
55 27 wiraswasta SMA U 1 1 1 2 1 1 2 2 2
56 28 IRT SMA R 1 1 2 2 1 1 1 1 1
57 26 IRT SD G 1 2 1 2 2 2 2 2 2
58 27 IRT SMA S 1 2 2 2 1 2 1 1 1
59 29 IRT SMA A 1 2 1 1 2 2 1 2 1
60 29 IRT SMA P 2 1 2 2 1 1 1 1 1
61 27 IRT SMA I 2 1 2 1 1 1 2 2 2
62 28 IRT SMA A 2 1 1 2 1 1 2 1 2
63 29 IRT SMA J 1 1 2 2 1 1 1 1 1
64 29 IRT SMA V 2 2 1 2 1 2 1 2 1
65 29 IRT SMA C 2 1 1 2 1 1 2 1 1
66 29 PETANI SMA A 2 2 2 1 2 2 2 1 2
67 29 wiraswasta SARJANA E 1 2 1 2 2 2 2 1 2
68 29 wiraswasta SMA I 2 1 2 2 1 1 2 2 1
69 31 PETANI SMA H 1 2 1 2 2 2 1 2 2
70 30 PNS SARJANA P 1 2 1 1 1 2 2 1 1
71 27 wiraswasta SARJANA L 1 1 1 1 1 1 1 1 1
72 28 wiraswasta SMA N 1 2 1 2 1 2 1 2 1
73 29 IRT SMA M 2 2 1 2 1 2 1 1 1
86
74 30 IRT SMA S 1 2 1 2 2 2 2 2 2
75 32 PETANI SMA A 2 1 1 2 1 1 2 2 2
76 33 PETANI SMA R 2 1 1 2 2 1 2 1 2
77 33 PETANI SMA A 2 2 1 2 2 2 1 1 2
78 31 PETANI SMA P 1 2 1 1 2 2 2 1 1
79 28 wiraswasta SARJANA A 1 2 1 2 2 2 1 1 1
80 24 wiraswasta SMA I 1 1 1 2 2 1 2 2 2
81 26 wiraswasta SMP B 2 2 1 2 2 2 2 2 2
82 25 wiraswasta SMA C 2 2 1 1 1 2 1 1 1
83 26 wiraswasta SARJANA E 2 1 1 1 2 1 1 1 1
84 27 IRT SD A 1 1 2 2 2 1 2 2 2
85 27 IRT SMA C 1 2 1 1 1 2 1 1 1
86 30 IRT SARJANA E 1 2 2 2 2 2 1 1 1
87
90
91
92
Output univariat
Frequency Table
jenis kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
status gizi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
BBLR
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
93
pemberian kolostrum
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
ASI Eksklusif
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Imunisasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
94
kepadatan hunian
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Ventilasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
hasil pemeriksaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
95
Output Bivariat
Crosstabs
Notes
Comments
Filter <none>
Weight <none>
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated
as missing.
96
Syntax CROSSTABS
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
Dimensions Requested 2
Cases
97
Crosstab
hasil pemeriksaan
laki-laki Count 28 18 46
Total Count 48 38 86
98
Chi-Square Tests
N of Valid Cases 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.67.
Risk Estimate
N of Valid Cases 86
99
Crosstab
hasil pemeriksaan
baik Count 28 17 45
Total Count 48 38 86
Chi-Square Tests
100
N of Valid Cases 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.12.
Risk Estimate
N of Valid Cases 86
Crosstab
hasil pemeriksaan
101
Total Count 48 38 86
Chi-Square Tests
N of Valid Cases 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.58.
Risk Estimate
102
N of Valid Cases 86
103
Crosstab
hasil pemeriksaan
mendapat Count 33 29 62
kolostrum
Expected Count 34.6 27.4 62.0
Total Count 48 38 86
Chi-Square Tests
104
N of Valid Cases 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.60.
Risk Estimate
N of Valid Cases 86
Crosstab
hasil pemeriksaan
105
Total Count 48 38 86
Chi-Square Tests
N of Valid Cases 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.23.
106
Risk Estimate
N of Valid Cases 86
Crosstab
hasil pemeriksaan
lengkap Count 29 15 44
Total Count 48 38 86
107
Chi-Square Tests
N of Valid Cases 86
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.56.
Risk Estimate
N of Valid Cases 86
108
109
Crosstab
hasil pemeriksaan
Total Count 48 38 86
Chi-Square Tests
110
N of Valid Cases 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.23.
Risk Estimate
N of Valid Cases 86
Crosstab
hasil pemeriksaan
111
Total Count 48 38 86
Chi-Square Tests
N of Valid Cases 86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.02.
112
Risk Estimate
N of Valid Cases 86
113
114
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA