Anda di halaman 1dari 80

HUBUNGAN KUALITAS INTERAKSI DAN ISOLASI SOSIAL

KELUARGA DENGAN KETIDAKPATUHAN PENDERITA


TUBERKULOSIS PARU DALAM BEROBAT
DI PUSKESMAS JOHAN PAHLAWAN
KABUPATEN ACEH BARAT
TAHUN 2015

SKRIPSI

IRMA LISDA
11C10104034

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH, ACEH BARAT
TAHUN 2016

1
2

HUBUNGAN KUALITAS INTERAKSI DAN ISOLASI SOSIAL


KELUARGA DENGAN KETIDAKPATUHAN PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU DALAM BEROBAT
DI PUSKESMAS JOHAN PAHLAWAN
KABUPATEN ACEH BARAT
TAHUN 2015

IRMA LISDA
11C10104034

SKRIPSI

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Teuku Umar Meulaboh

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH, ACEH BARAT
TAHUN 2016
3

PERNYATAAN

Hubungan Kualitas Interaksi Dan Isolasi Sosial Keluarga Dengan Ketidakpatuhan

Penderita Tuberkulosis Paru Dalam Berobat Di Puskesmas Johan Pahlawan

Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015.

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan

tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya dan tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis

diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.

Meulaboh, Januari 2016

IRMA LISDA
4

ABSTRAK

IRMA LISDA. 2015. Hubungan Kualitas Interaksi Dan Isolasi Sosial Keluarga
Dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Dalam Berobat Di
Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat tahun 2015. Dibawah
bimbingan Sufyan Anwar, SKM, MARS dan Nasri Risma, SKM, M.Kes.

Tuberkulosa adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium


Tuberculosis, berdasarkan wawancara dengan petugas di ruang TB paru peneliti
mengetahui masih adanya pasien yang masih terkesan segan saat berinteraksi
dengan petugas kesehatan dalam berobat, ketidak terbukaan terhadap penyakit
yang dideritanya, pasien merasa bahwa petugas kesehatan tidak berminat dalam
melayani saat pengobatan. Kegagalan lainnya dalam pengobatan TB paru yaitu
kurang atau bahkan tidak adanya kepedulian keluarga terhadap pasien. Dengan
jumlah seluruh kasus TB 55 kasus dan terdapat TB paru BTA+ sebanyak 48 kasus.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Kualitas Interaksi Dan
Isolasi Sosial Keluarga Dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru
Dalam Berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. Penelitian
ini bersifat analitik dengan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di
Puskesmas Johan Pahlawan pada tanggal 09-27 November 2015 dengan populasi
dan sampel dalam penelitian ini adalah tekhnik total sampling berjumlah 48 orang
pasien yang didiagnosis TB paru BTA+, dianalisis dengan univariat dan bivariat
menggunakan uji chi-square. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
adanya hubungan antara faktor Kualitas Interaksi dan Isolasi Sosial Keluarga
Dengan Ketidakpatuhan, dimana hasil (Pvalue Kualitas Interaksi = 0,002 < α =
0,05), (Pvalue Isolasi Sosial Keluarga = 0,004 < α = 0,05). Disimpulkan bahwa
adanya hubungan antara faktor Kualitas Interaksi dan Isolasi Sosial Keluarga
Dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Dalam Berobat Di
Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. Disarankan kepada penderita
TB paru dapat lebih baik dalam berinteraksi untuk pengobatan yang efektif, serta
keluarga lebih memahami mengenai penyakit TB paru dan memberi dukungan
terhadap pasien.

Kata Kunci : Kualitas Interaksi, Isolasi Sosial Keluarga dan


Ketidakpatuhan.
5

ABSTRACK

IRMA LISDA.2015. The relationship quality of interaction and family social


isolation with non-compliance of tuberculosis pulmonary at public health center
Johan Pahlawan district of Aceh Barat years 2015. Under the guidance of Sufyan
Anwar, SKM, MARS and Nasri Risma, SKM, M.Kes.

Tuberculosis is infectious disease caused by Mycobacterium Tuberculosis, based


on interviews with officials in the pulmonary TB researchers know there are still
patients who still seem reluctant when interacting with health care in treatment,
lack of openness against the disease, patients feel that healthcare workers are not
interested in serving the time of treatment. Other failures in the treatment of
pulmonary tuberculosis is less or even not their concern to the patient's family.
The total number of tuberculosis cases and there were 55 cases of pulmonary TB
AFB+ as much 48 cases. The purpose of this research was to find out the
relationship quality of interaction and family social isolation with non-compliance
of tuberculosis pulmonary at public health center Johan Pahlawan district of Aceh
Barat. This research is analytical design with Cross Sectional, approach which
was conducted at public health center Johan Pahlwan on November 09-27 2015.
The population and respondent in this research is total sampling of 48 patients
diagnosed pulmonary tuberculosis AFB+, which is analyzed by using univariat
and bivariat by applying chi-square test. According to the result of the research it
show that there was a relationship between quality of interaction and family social
isolation wih non-compliance, in which Quality of interaction (Pvalue = 0,002 < α
= 0,05 ), and Family social isolation (Pvalue = 0,004 < α = 0,05 ). Based on the
data above, it can be concluded that there was a relationship between quality of
interaction and family social isolation with non-compliance of tuberculosis
pulmonary at public health center Johan Pahlawan district of Aceh Barat. Was
recommended to pulmonary tuberculosis patients can better interact to effective
treatment and their families better informed about diseases Tb lungs and providing
support to the patient.

Keywords: Quality of Interaction, Family Social Isolation and Non-


Compliace.
6

LEMBARAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Hubungan Kualitas Interaksi Dan Isolasi Sosial Keluarga


Dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Dalam
Berobat Di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
Barat Tahun 2015.

Nama : IRMA LISDA


NIM : 11C10104034
Program Studi : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
Minat Studi : EPIDEMIOLOGI

Menyetujui,
Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

(Sufyan Anwar, SKM, MARS) (Nasri Risma, SKM, M.Kes)


NIDN. 0121067602 NIDN. 9901005889

Ketua Program Studi Dekan


Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

(Teungku Nih Farisni, SKM, M. Kes) (Ir. Yuliatul Muslimah, MP)


NIDN. 0119128601 NIP. 196407271992032002

Tanggal Lulus: 01 Februari 2016


7

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

Judul Skripsi : Hubungan Kualitas Interaksi Dan Isolasi Sosial Keluarga


Dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Dalam
Berobat Di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
Barat Tahun 2015.

Nama : IRMA LISDA


NIM : 11C10104034
Program Studi : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
Minat Studi : EPIDEMIOLOGI

Telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 01 Februari 2016 dan
dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Ketua : Sufyan Anwar, SKM, MARS …….....………………..........

Anggota : 1. Nasri Risma, SKM, M.Kes …………………………...

….

2. Hasrah Junaidi, SKM, M.Kes

…………………………........

3. M. Iqbal Fahlevi, SKM, M.Kes

……………………………....

Alue Peunyareng, 01 Februari 2016


Ketua Program Studi
Fakultas Kesehatan Masyarakat
8

(Teungku Nih Farisni, SKM,M.Kes)


NIDN. 0119128601

RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi
Nama : IRMA LISDA
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Ujung Tanah/ 01 Mei 1994
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Anak Ke : 1 dari 2 bersaudara
Alamat Rumah : Dusun Bahagia Desa Ujung Tanah Kecamatan
Setia Kabupaten Aceh Barat Daya

Orang Tua/Wali
Ayah : M. Yunan
Ibu : Razuan

B. Pendidikan Formal
1999-2005 : SD Negeri 1 Ujung Tanah
2005-2008 : SMP Negeri 2 Blang Pidie
2008-2011 : SMA Negeri 1 Blang pidie
2011 : Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)
Peminatan Epidemiologi Universitas Teuku Umar
Meulaboh

PERSEMBAHAN

Bismilahirrahmannirrahim
9

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka


apabila kamu
telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
(Terjemahan Surat Al Insyirah ayat 6-8).

Yang Utama Dari Segalanya..


Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT, taburan cinta dan
kasih sayang-Mu telah memberikanku kekuatan, membekali ku
dengan ilmu serta memperkenalkan ku dengan cinta. Atas
karunia serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi
yang sederhana ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam
selalu terlimpahkan keharibaan
Rasulullah Muhammad SAW.

Teruntuk Ibunda (RAZUAN) dan Ayahanda (M.YUNAN)


yang mencintaiku
Hari ini disepanjang perjalanan ini yang kutapaki dengan kerikil
tajam
melewati setiap terpaian badai tuk sebuah
karya mungil ini kuserahkan untukmu Ibunda dan Ayahanda
tercinta…
Ibunda Tercinta..
Engkau adalah cahaya pelita saat diri ini terjatuh, dalam
keheningan malam,
dalam kesehatan mu yang memburuk dikala itu, dengan
kesabaran setegar karang kau tetap berjuang untuk perjalanan
ku menapaki dunia, mendo’akan ku dengan cinta,
tak ada kata selain terima kasih untuk semua pengorbanan mu
ibu..
peluk cinta ku untuk mu ibu..
Ayahanda Tersayang..
Dalam getir pahit kehidupan, meski tanpa banyak kata mu ayah,
semua yang kau lakukan untukku adalah hal yang tak pernah
bisa ku balas dengan apapun didunia ini,
dengan cucur keringat diterik panasnya matahari dalam
hantaman gelombang laut,
semua ayahanda lakukan untuk kutapaki cita-cita ku..
10

terima kasih Ayah, jasa mu akan tetap abadi diraga ini..

Teruntuk Keluarga besar ku..


Terima kasih setiap bait do’anya untukku di masa-masa sulitku,
untuk semua dukungan meski terkadang mengantarku dengan
air mata..
Dan Untuk adik ku ANA SURIKA
kau pelita dik kau menjadi tempat ku bangkit saat raga ini
terjatuh, banggakan aku dan orang tua kita di masa depan..

Teruntuk Dosen ku..


Terima kasih yang tak terhingga kepada dosen pembimbingku
Bapak Sufyan Anwar, SKM, MARS dan Bapak Nasri Risma, SKM,
M.Kes,
yang tak pernah mengenal lelah dan sabar memberikan arahan
kepadaku
untuk terselesaikan skripsi ini.
Dan terimakasih juga kepada dosen pengujiku
Bapak Hasrah Junaidi SKM, M,Kes dan Bapak M. Iqbal Fahlevi
SKM, M,Kes,
yang telah menyediakan waktu untuk menguji serta
membimbing semoga Allah membalas semua bantuan dan
bimbingan dengan pahala yang setimpal..

Teruntuk yang melewati hari bersama ku..


Terima kasih untuk engkau sebagai seseorang yang lebih dari
sahabat dalam kehidupanku..
Terima kasih tak terkira atas dukungan tulusnya meski dalam
keadaan mendesak
engkau selalu hadir menemani hari-hari ku dari semenjak awal
kutapaki tempat impian ini..
Untuk semua rasa yang kau berikan padaku sehingga begitu
banyak
kenangan sampai akhir karya mungil ku ini selesai..
(SAFII)

Teruntuk sahabat-sahabat ku..


Terima Kasih yang selalu mendukung ku Nanda, Allia, Iwik, Nopi,
Rahel, Bunda Ida, Dek Momon, Dek Lin, Dek Nyakti, Uli, Bang
Hendri, mewarnai hari setiap perjalanan persahabatan kita
11

dengan canda tawa dan cerita indah yang selalu jadi kenangan
dalam hidup ku, tanpa kalian semua takkan berarti apa-apa..
Dan Terima kasih untuk semua teman-teman angkatan 2011 (Bg
Mula, Melli, Lita, Lena, Oyi, Icut, Mukhlis, Wulan, Asma, Narlin,
Kak Lia, Riza, Dini, Sibrani dll), teman-teman PBL di Dinkes Aceh
Barat, KKN Lawet, serta teman-teman paling kocak
Obade Fakultas & Universitas Teuku Umar..
Kalian Is The Best Friend !

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat serta kasih-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul : “Hubungan
Kualitas Interaksi Dan Isolasi Sosial Keluarga Dengan Ketidakpatuhan
Penderita Tuberkulosis Paru Dalam Berobat Di Puskemas Johan Pahlawan
Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015”. Skripsi ini adalah untuk memenuhi salah
satu syarat kelulusan dalam meraih derajat Sarjana Kesehatan Masyarakat
Universitas Teuku Umar.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak,

sehingga pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa

hormat penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi semua


12

pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini hingga

selesai, terutama kepada yang saya hormati :

1. Bapak Prof. Dr. Jasman J. Ma’ruf, SE, MBA selaku Rektor Universitas Teuku

Umar Meulaboh.
2. Ibu Ir. Yuliatul Muslimah, MP selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Teuku Umar Meulaboh.


3. Ibu Teungku Nih Farisni, SKM, M.Kes selaku Ketua Program Studi Ilmu

Kesehatan Masyarakat Universitas Teuku Umar Meulaboh.


4. Bapak Sufyan Anwar, SKM, MARS selaku pembimbing I dan Bapak Nasri

Risma, SKM, M.Kes selaku pembimbing II.


5. Bapak Hasrah Junaidi SKM, M.Kes selaku penguji I dan Bapak M. Iqbal

Fahlevi SKM, M.Kes selaku penguji II.


6. Ibunda Razuan dan Ayahanda M. Yunan tercinta.
7. Seluruh dosen dan staf pengajar serta civitas akademik Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Teuku Umar Meulaboh yang telah memberikan

dorongan serta saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat

kekurangan dan kejanggalan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran

dan kritikan yang bersifat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skipsi

ini di masa mendatang.

Penulis,

IRMA LISDA
13

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
PERNYATAAN............................................................................................... ii
ABSTRAK....................................................................................................... iii
ABSTRACT..................................................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ v
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI......................................................... vi
RIWAYAT HIDUP.......................................................................................... vii
PERSEMBAHAN........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR...................................................................................... x
DAFTAR ISI.................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................ 8
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................... 8
1.3.1 Tujuan Umum..................................................................... 8
1.3.2 Tujuan Khusus.................................................................... 8
1.4 Hipotesis Penelitian........................................................................ 8
1.5 Manfaat Penelitian.......................................................................... 9
1.5.1 Manfaat Praktis................................................................... 9
1.5.2 Manfaat Teoritis.................................................................. 9
14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 10


2.1. Ketidakpatuhan............................................................................ 10
2.1.1Definisi Ketidakpatuhan...................................................... 10
2.1.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Ketidakpatuhan.................................................................. 11
2.2 Tuberkulosis (TBC)..................................................................... 14
2.2.1 Definisi Tuberkulosis (TBC).............................................. 14
2.2.2 Etiologi............................................................................... 15
2.2.3 Klasifikasi........................................................................... 16
2.2.4 Cara Penularan.................................................................... 17
2.2.5 Perjalanan Penyakit TB Paru............................................. 18
2.2.6 Gejala dan Diagnosis.......................................................... 20
2.2.7 Pencegahan......................................................................... 22
2.2.8 Pengobatan TB Paru........................................................... 23
2.2.9 Komplikasi......................................................................... 28
2.3 Kerangka Teori ............................................................................ 31
2.4 Kerangka Konsep ....................................................................... 32
BAB III METODE PENELITIAN................................................................ 33
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................... 33
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................... 33
3.3 Populasi dan Sampel..................................................................... 33
3.3.1 Populasi Penelitian............................................................... 33
3.3.2 Sampel Penelitian................................................................. 33
3.3.3 Kriteria Inklusi Sampel........................................................ 34
3.4 Metode Pengumpulan Data........................................................... 34
3.4.1 Data Primer.......................................................................... 34
3.4.2 Data Sekunder...................................................................... 35
3.5 Definisi Operasional ..................................................................... 35
3.6 Aspek Pengukuran......................................................................... 36
3.7 Pengolahan Data............................................................................ 36
3.7.1 Editing Data.......................................................................... 37
3.7.2 Coding Data.......................................................................... 37
3.7.3 Tabulating............................................................................. 37
3.8 Teknik Analisa Data...................................................................... 37
3.8.1 Analisis Univariat ................................................................ 37
3.8.2 Analisis Bivariat................................................................... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................... 41


4.1 Gambaran Umum......................................................................... 41
4.2 Hasil Penelitian............................................................................ 42
4.2.1 Analisis Univariat.............................................................. 42
4.2.2 Analisis Bivariat................................................................. 46
4.3 Pembahasan................................................................................. 48
4.3.1 Hubungan Kualitas Interaksi dengan Ketidakpatuhan...... 48
4.3.2 Hubungan Isolasi Sosial Keluarga dengan
15

Ketidakpatuhan.................................................................. 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 53


5.1 Kesimpulan.................................................................................. 53
5.2 Saran ........................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 54
LAMPIRAN.................................................................................................... 57

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

Tabel 2.1 : Pengelompokan OAT..................................................................... 23

Tabel 2.2 : Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama........................................ 24

Tabel 2.3 : Efek samping ringan OAT............................................................. 26

Tabel 2.4. : Efek samping berat OAT................................................................ 26

Tabel 3.1. : Daftar Sampel Penelitian............................................................... 34

Tabel 3.2. : Definisi Operasional Variabel Penelitian....................................... 35

Tabel 4.1 : Cakupan Desa Wilayah Kerja Dan Jumlah Penduduk


UPTD Puskesmas Johan Pahlawan Tahun 2014...............
...........................................................................................
.......................................................................................41

Tabel 4.2 : Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin


Responden dengan Ketidakpatuhan Penderita
Tuberkulosis Paru dalam Berobat di Puskesmas Johan
16

Pahlawan Kabupaten Aceh Barat tahun 2015...................


.......................................................................................42

Tabel 4.3 : Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Responden


dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru
dalam Berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten
Aceh Barat tahun 2015......................................................
.......................................................................................43

Tabel 4.4 : Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden


dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru
dalam Berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten
Aceh Barat tahun 2015......................................................
.......................................................................................43

Tabel 4.5 : Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Kualitas


Interaksi Responden dengan Ketidakpatuhan Penderita
Tuberkulosis Paru dalam Berobat di Puskesmas Johan
Pahlawan Kabupaten Aceh Barat tahun 2015...................
.......................................................................................44

Tabel 4.6 : Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Isolasi Sosial


Keluarga Responden dengan Ketidakpatuhan Penderita
Tuberkulosis Paru dalam Berobat di Puskesmas Johan
Pahlawan Kabupaten Aceh Barat tahun 2015...................
.......................................................................................44

Tabel 4.7 : Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Ketidakpatuhan


Responden dengan Ketidakpatuhan Penderita
Tuberkulosis Paru dalam Berobat di Puskesmas Johan
Pahlawan Kabupaten Aceh Barat tahun 2015...................
.......................................................................................45

Tabel 4.8 : Faktor Kualitas Interaksi yang berhubungan dengan


Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru dalam
Berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
Barat tahun 2015...............................................................
.......................................................................................46

Tabel 4.9 : Faktor Isolasi Sosial Keluarga yang berhubungan dengan


Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru dalam
Berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
17

Barat tahun 2015...............................................................


.......................................................................................47

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman
Gambar 2.1 : Kerangka Teori........................................................................ 31
Gambar 2.2 : Kerangka Konsep.................................................................... 32
18

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian............................................................... 57

Lampiran 2 : Tabel Skor............................................................................... 60

Lampiran 3 : Master Tabel............................................................................ 61

Lampiran 4 : Hasil SPSS.............................................................................. 63

Lampiran 5 : Surat Permohonan Izin Pengambilan Data Awal Dari


Fakultas Kesehatan Masyarakat UTU Meulaboh
Untuk Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
Barat
19

66

Lampiran 6 : Surat Permohonan Izin Penelitian Dari Fakultas


Kesehatan Masyarakat UTU Meulaboh untuk
Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat

67

Lampiran 7 : Surat Telah Melakukan Penelitian Dari Puskesmas


Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Fakultas
Kesehatan Masyarakat UTU Meulaboh

68

Lampiran 8 : Peta Puskesmas Johan Pahlawan............................................. 69

Lampiran 9 : Dokumentasi Penelitian........................................................... 70

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


20

Penyakit Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit yang masih

menjadi masalah utama kesehatan masyarakat terutama di Negara berkembang.

Saat ini penyakit TB paru masih sebagai salah satu prioritas pemberantasan

penyakit menular. Perhitungan World Health Organization (WHO) menunjukkan

bahwa saat ini ditemukan 8 sampai 10 juta kasus baru diseluruh dunia dan dari

jumlah kasus tersebut 3 juta mengalami kematian pertahunnya, ini disebabkan

banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada penderita

menular. (Erawatyningsih, dkk. 2009).


Penyakit tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat

dunia. Penyakit TB paru banyak menyerang kelompok usia kerja produktif,

kebanyakan dari kelompok sosial ekonomi rendah dan berpendidikan rendah.

Sejak tahun 2000 strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shorcourse

chemotherapy) dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK (Unit Pelayanan

Kesehatan) terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan

dasar. Diharapkan dengan srategi DOTS dapat memberikan kesembuhan 85%.

Namun pelaksanaan dilapangan keberhasilan pengobatan dengan strategi DOTS

ini mengalami beberapa hambatan. Salah satu penyebab utama ketidakberhasilan

pengobatan adalah karena ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi obat. (Ulfi,

2011).
Menurut Muttaqin dalam penelitian Safri (2013), Penyakit TB paru adalah

penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

Tuberculosis. Penularan utama penyakit TB paru adalah oleh bakteri yang terdapat

dalam droplet yang dikeluarkan penderita sewaktu bersin bahkan bicara.


Menurut Tabrani dalam penelitian Safri (2013), Bakteri ini juga mempunyai

kandungan lemak yang tinggi pada membran selnya sehingga menyebabkan


21

bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan dari bakterinya

berlangsung dengan lambat.


Penyakit ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat

terutama di negara yang sedang berkembang. Sekitar delapan puluh persen pasien

TB paru adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-59

tahun), sehingga dampak kerugian ekonomi bagi kesehatan masyarakat cukup

besar karena menurunnya produktivitas sumber daya manusia. Salah satu

indikator penting dalam strategi pengobatan kasus TB paru dengan strategi

Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) yaitu penemuan kasus baru

TB paru, karena penemuan kasus TB paru merupakan awal untuk menentukan

langkah pengobatan dan pengendalian TB paru selanjutnya. (Susilayanti, dkk.

2014).
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), sepertiga dari populasi dunia

diperkirakan terinfeksi dengan Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 2009,

ada 9,4 juta kasus baru dengan 1,7 juta kematian secara global. Sebagian besar

kematian terdapat pada negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumber

daya (Belay et al, 2011 dalam Simak, dkk. 2013).

Jumlah penderita penyakit Mycobacterium Tuberculosis di Indonesia kini

menempati peringkat ketiga di dunia setelah Cina dan India. Setiap harinya 4.400

orang di dunia meninggal karena penyakit ini, sedangkan di Indonesia setiap

tahunnya mencapai 140.000 jiwa. Insiden TB paru di Indonesia berkisar 583 ribu

kasus baru dan kematian sebanyak 140 ribu orang per-tahun, dengan demikian

secara kasar diperkirakan setiap 100 ribu penduduk indonesia tercatat 130

penderita TB parupositif. (Erawatyningsih, dkk. 2009).


22

Pengobatan TB paru membutuhkan waktu panjang (sampai 6-8 bulan) untuk

mencapai penyembuhan dan dengan paduan (kombinasi) beberapa macam obat,

sehingga tidak jarang pasien berhenti minum obat sebelum masa pengobatan

selesai yang berakibat pada kegagalan dalam pengobatan TB paru. WHO

menerapkan strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short course) dalam

manajemen penderita TB paru untuk menjamin pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO). Dengan

strategi DOTS angka kesembuhan pasien TB paru menjadi > 85%. Obat yang

diberikan juga dalam bentuk kombinasi dosis tetap karena lebih menguntungkan

dan sangat dianjurkan. Walaupun demikian angka penderita mangkir untuk

meneruskan minum obat tetap cukup tinggi. (Bagiada, dkk. 2010).

Masih banyak penderita TB paru yang berhenti di tengah jalan karena

interpretasi yang salah mengenai penyakitnya, menganggap penyakitnya sudah

sembuh. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan yang masih kurang

dan persepsi atau cara memandang penyakit TB paru masih negatif. Persepsi pada

hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu.

(Pasek & Setyawan, 2013).

Menurut Safri (2013) Waktu pengobatan yang lama menyebabkan penderita

sering terancam putus berobat selama masa penyembuhan dengan berbagai alasan,

antara lain merasa sudah sehat atau faktor ekonomi. Akibatnya adalah pola

pengobatan harus dimulai dari awal dengan biaya yang bahkan menjadi lebih

besar serta menghabiskan waktu berobat yang lebih lama.


23

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan dan

penyembuhan penyakit tuberkulosis, diantaranya adalah : faktor sarana, faktor

penderita, serta faktor keluarga dan lingkungan masyarakat (Permatasari, 2005

dalam Octaria, 2013). Dukungan sosial menjadi faktor penting yang

mempengaruhi kepatuhan seperti dokter, petugas kesehatan, dalam hal ini peran

motivator sangat mendukung sekali dalam keberhasilan penanggulangan TB

Paru (Salim, 2002 dalam Octaria, 2013).

Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya

angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak

ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan

standar. Hal ini akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di

Indonesia serta memperberat beban pemerintah (DepKes). Dari berbagai faktor

penyebab ketidakpatuhan minum obat penderita TB Paru, dapat disimpulkan

bahwa faktor manusia, dalam hal ini penderita TB paru sebagai penyebab

utama dari ketidakpatuhan minum obat. (Hutapea, 2004).

Angka ketidakteraturan atau kepatuhan berobat akan menimbulkan efek

tidak tercapainya angka konversi dan angka kesembuhan, sehingga upaya

meningkatkan kepatuhan berobat merupakan prioritas dalam program P2TB Paru

karena gagalnya penyembuhan penyakit tuberkulosis paru salah satunya

disebabkan oleh ketidakpatuhan penderita (Avianty, 2005 dalam Budiman, dkk.

2010).

Ketidakpatuhan penderita TB paru dalam minum obat menyebabkan

angka kesembuhan penderita rendah, angka kematian tinggi dan kekambuhan


24

meningkat serta yang lebih fatal adalah terjadinya resisten bakteri terhadap

beberapa obat anti tuberkulosis atau multi drug resistence, sehingga penyakit

TB paru sangat sulit disembuhkan (Depkes RI, 2007 dalam Budiman, dkk. 2010).

Kepatuhan pasien dalam menyelesaikan program pengobatan pada kasus

TBC aktif merupakan prioritas paling penting untuk mengendalikan program.

Peningkatan persentase pasien yang berobat teratur (patuh) akan memberikan

dampak positif, yaitu mengurangi angka penularan, mengurangi kekambuhan,

menghambat pertumbuhan kuman, mengurangi resistensi kuman terhadap obat,

dan mengurangi kecacatan pasien. Pada akhirnya jumlah pasien TBC akan

menurun. (Murtiwi, 2006).

Menurut Dunbar dan Stunkard (1979) dalam Niven (2002) mengemukakan

bahwa saat ini ketidakpatuhan pasien telah menjadi masalah serius yang dihadapi

tenaga kesehatan profesional. Oleh karena itu penting untuk diketahui tentang

tingkat ketidakpatuhan, faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dan

cara-cara untuk mengurangi ketidakpatuhan.

Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan

tahun 2007 dan 2013 tidak berbeda (0,4%). Lima provinsi dengan TB tertinggi

adalah Jawa Barat, Papua, DKI Jakarta, Gorontalo, Banten, dan Papua Barat.

Penduduk yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan, 44,4 persen diobati dengan

obat program. (Riskesdas, 2013).

Tahun 2014 ditemukan jumlah seluruh kasus TB paru di Indonesia sebesar

285,254 kasus, dengan prevalensi TB paru nasional untuk BTA positif sebesar
25

167,677 (70,08%), dengan jumlah laki-laki sebanyak 106,451 kasus dan

perempuan sebanyak 70,226 kasus. (Kemenkes, 2015).

Berdasarkan data profil Kesehatan Provinsi Aceh, Jumlah seluruh kasus TB

paru di Provinsi Aceh tahun 2014 berjumlah 5.200 kasus. Sedangkan jumlah TB

paru BTA+ berjumlah 4.070 kasus dengan jumlah laki-laki sebanyak 2.641 kasus

dan perempuan sebanyak 1.429 kasus. (Dinkes Aceh, 2014).

Pengambilan data awal yang telah dilakukan oleh peneliti dari data profil

Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat tahun 2014 jumlah seluruh kasus TB Paru

sebesar 250 kasus, dan jumlah kasus TB paru BTA+ 119 kasus dengan jumlah

laki-laki sebanyak 68 kasus dan perempuan sebanyak 51 kasus. Dengan

persebaran kasus TB Paru BTA+ di setiap puskesmas sebagai berikut : Johan

Pahlawan 32 kasus, Suak Ribee 10 kasus, Cot Seumeureng 12 kasus, Layung 8

kasus, Drien Rampak 1 kasus, Kuala Bhee 10 kasus, Pasie Mali 5 kasus, Tangkeh

4 kasus, Peureumeu 4 kasus, Meureubo 27 kasus, Pante Ceureumen 5 kasus,

Meutulang 1 kasus, Kajeng 0 kasus. (Dinkes Aceh Barat, 2014).


Berdasarkan data sekunder yang peneliti dapatkan dari Puskesmas Johan

Pahlawan dengan jumlah penduduk di Kecamatan Johan Pahlawan sebesar 44.129

jiwa tahun 2014, jumlah seluruh kasus TB Paru pada tahun 2014 sebanyak 55

kasus dan terdapat TB paru BTA+ dari tahun 2014-2015 sebesar 48 kasus.
Berdasarkan wawancara dengan petugas di ruang TB paru peneliti

mengetahui kegagalan penyembuhan pada pasien umumnya disebabkan oleh

kesulitan pengobatan atau karena penderitanya kurang teratur berobat. Setelah itu

masih ada pasien yang tidak sembuh dan tidak pernah kembali berobat ke

puskesmas dikarenakan pengobatan yang lama serta malas minum obat sesuai
26

anjuran petugas dengan alasan bosan, biasanya pasien hanya rutin minum obat

pada bulan-bulan pertama.


Masih adanya pasien yang masih terkesan segan saat berinteraksi dengan

petugas kesehatan dalam berobat, ketidakterbukaan terhadap penyakit yang

dideritanya, pasien merasa bahwa petugas kesehatan tidak berminat dalam

melayani saat pengobatan. Kegagalan lainnya dalam pengobatan TB paru yaitu

kurang atau bahkan tidak adanya kepedulian keluarga terhadap pasien,

menggangap pasien terkena penyakit kutukan yang harus dihindari, penyakit berat

yang tidak bisa disembuhkan sehingga pasien merasa terisolasi dari lingkungan

sosial keluarga.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dalam bentuk skripsi yang diberi judul “Hubungan Kualitas Interaksi Dan Isolasi

Sosial Keluarga Dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Dalam

Berobat Di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015”


1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui “Apakah

ada hubungan kualitas interaksi dan isolasi sosial keluarga dengan ketidakpatuhan

penderita tuberkulosis paru dalam berobat di puskesmas Johan Pahlawan

Kabupaten Aceh Barat tahun 2015?”.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui “Hubungan

Kualitas Interaksi Dan Isolasi Sosial Keluarga Dengan Ketidakpatuhan Penderita

Tuberkulosis Paru Dalam Berobat Di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten

Aceh Barat Tahun 2015”.

1.3.2 Tujuan Khusus


27

1. Untuk mengetahui hubungan kualitas interaksi dengan ketidakpatuhan

penderita tuberkulosis paru dalam berobat di Puskesmas Johan Pahlawan

Kabupaten Aceh Barat tahun 2015.


2. Untuk mengetahui hubungan isolasi sosial keluarga dengan

ketidakpatuhan penderita tuberkulosis paru dalam berobat di Puskesmas

Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat tahun 2015.

1.4 Hipotesis Penelitian (Ha)


Ada hubungan Kualitas Interaksi, Isolasi Sosial Keluarga dengan

ketidakpatuhan penderita tuberkulosis paru dalam berobat di Puskesmas Johan

Pahlawan Kabupaten Aceh Barat tahun 2015.


1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Praktis
1. Manfaat Bagi Puskesmas
Meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat khususnya penderita TB

paru, sehingga akan meningkatkan kualitas hidup penderita serta

memberi masukan kepada petugas tentang pentingnya penyuluhan

penyakit TB paru kepada masyarakat.


2. Bagi Pasien
Mendapat pengetahuan tentang TB paru dalam mengurangi

ketidakpatuhan berobat pasien di Puskesmas.


3. Bagi Mahasiswa
Dapat digunakan sebagai bahan bacaan, sebagai masukan data dan

pemikiran perkembangan pengetahuan untuk peneliti selanjutnya.


1.5.2 Manfaat Toeritis
1. Bagi Fakultas
Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan berupa data otentik yang

juga sebagai bahan informasi untuk kelengkapan literatur.


2. Bagi Peneliti
Untuk mengaplikasikan dan memperdalam ilmu pegetahuan yang telah

dipelajari dan mencoba menerapkan dalam bentuk karya ilmiah.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketidakpatuhan
2.1.1 Definisi Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan adalah kegagalan atau penolakan untuk mengikuti dan

menyesuaikan tindakan seseorang untuk aturan atau keharusan. Kepatuhan pasien

menurut (Sacket, 1976 dalam Niven, 2002) adalah sejauhmana perilaku pasien

sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.


Kepatuhan adalah suatu sikap yang merupakan respon yang hanya

muncul apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu stimulus yang

menghendaki adanya reaksi individual. Jika individu tidak mematuhi apa yang

telah menjadi ketetapan dapat dikatakan tidak patuh. (Avianty, 2005 dalam

Budiman, dkk 2010).


Kegagalan penyembuhan adalah terjadinya kemunduran selama masa

penyembuhan (saat penderita masih menerima pengobatan tuberkulostatika),

terutama kemunduran bakteriologik. Misalnya, semula BTA positif, lalu sudah

menjadi negatif, tetapi sebentar lagi menjadi positif kembali, bahkan kadang-

kadang dapat lebih positif lagi atau BTA tetap positif terus selama masa

penyembuhan. Hal ini biasanya terjadi bila TB pada penderita tersebut disebabkan

oleh basil dengan resistensi primer terhadap satu atau lebih tuberkulostika yang

dipakai. (Danusantoso, 2000).


Kepatuhan berobat bukan semata kesalahan pasien, tetapi juga gambaran

kesalahan petugas kesehatan yang menyakinkan pasien untuk berobat dengan

teratur sampai tuntas. Peran motivator mempunyai dampak yang positif terhadap

28
29

kepatuhan, walaupun dalam pengamatan yang dilakukan dilapangan belum semua

motivator yang berperan dengan baik. (Aditama, 2000 dalam Octaria, 2013).
2.1.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Ketidakpatuhan
Menurut (Niven, 2000) faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan

dapat digolongkan menjadi empat kegiatan yaitu :


1. Pemahaman Tingkat Instruksi
Seseorang tidak dapat memenuhi instruksi jika dia salah memahami tentang

instruksi yang diberikan kepadanya. Hal ini disebabkan oleh kegagalan

professional kesehatan dalam memeberikan informasi yang lengkap, penggunaan

istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh

pasien. (Niven, 2002)


Penderita TB paru mendapatkan informasi tentang penyakitnya hanya dari

petugas kesehatan, selain dari petugas kesehatan penderita tidak mempunyai

sumber informasi yang lain, baik dari media cetak maupun media elektronik.

Selain itu informasi yang diterima oleh penderita sangat sedikit dan akan

berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan mereka tentang penyakit ini. Jika

pengetahuan penderita tentang penyakit TB paru sangat sedikit maka potensi

penularan kepada orang lain akan semakin besar karena tindak pencegahan

penularan penyakit juga tidak ada. (Syam, dkk. 2013).


Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan

oleh Di Nicola dan Di Matteo (Niven, 2002), yaitu :


a. Buat instruksi yang jelas dan mudah diinterpretasikan.
b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal yang

harus diingat.
c. Jika seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat,

maka akan ada “efek keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal

yang pertama kali ditulis.


30

d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal

penting perlu ditekankan.


2. Kualitas Interaksi
Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berpengaruh dengan

produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi

harapan. Kualitasi interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan

bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Terdapat beberapa

keluhan spesifik dari pasien dimana terdapat kurang minat yang diperlihatkan oleh

tim medis, kurangnya empati, dan pasien hampir tidak memperoleh kejelasan

tentang penyakitnya.
Meningkatnya interaksi profesional kesehatan dengan pasien adalah suatu

hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh

informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya

saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi

seperti ini. (Niven, 2002).


3. Isolasi Sosial dan Keluarga
Isolasi adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau

merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan

orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak. (Carpenito, 1998).
Isolasi sosial adalah kesendirian yang dialami seseorang secara individual

akibat persepsi individu terhadap lingkungan yang dirasakan mengancam

keamanan dirinya secara fisik dan psikologis. Terjadi penurunan atau bahkan

sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien

mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina

hubungan yang berarti dengan orang lain. (Depkes, 2006).


Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan mengenai peran atau

pengaruh serta bantuan yang diberikan oleh orang yang berarti seperti
31

anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. (Syam, dkk. 2013).

Keluarga dapat menjadi faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan

keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang

program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan

dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

(Niven, 2002).
Dukungan instrumental merupakan dukungan yang diberikan kepada

penderita dalam bentuk dana, pengawasan ketat, pemberian pertolongan dan lain-

lain. Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit,

diantaranya kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat,

terhindarnya penderita dari kelelahan, dan kebutuhan minum obat penderita.

(Syam, dkk. 2013).


Isolasi tuberkulosis (ABF Isolation) untuk penderita TBC paru-paru yang

positif terhadap ulasan sputum atau x-ray dada yang menunjukkan adanya TBC

sangat aktif. Spesifikasinya termasuk menggunakan ruangan khusus dengan

ventilasi khusus dan pintu yang tertutup. Sebagai tambahan untuk syarat-syarat

pokok, masker digunakan hanya untuk penderita yang batuk, serta tidak dapat

diandalkan untuk terus-menerus menutup mulutnya. Baju pelindung untuk

mencegah kontaminasi yang besar pada pakaian. (Noor, 2009).


4. Keyakinan, Sikap dan Kepribadian
Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-

pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data

kepribadian secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang

gagal. Orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi,
32

ansietas, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan kehidupan sosialnya lebih

memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. (Niven, 2002).


Blumenthal et al (Niven, 2002) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian

yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh

(drop out) dari program pengobatan.

2.2 Tuberkulosis (TBC)


2.2.1 Definisi Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosa adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

Tuberculosis. Sering dijumpai pada paru-paru, juga dapat terjadi pada organ

diseluruh tubuh antara lain : usus, kelenjar limfa (kelenjar getah bening, tulang,

kulit, otak, ginjal, dan lain-lain). (Utomo, 2005).

Definisi lain Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang

disebabkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai

organ, terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya

tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian.

(Kemenkes, 2015).

TB paru sangat berbahaya karena bisa menyebabkan seseorang meninggal

dan sangat mudah ditularkan kepada siapa saja dimana 1 orang pasien TB

dengan Baksil Tahan Asam (BTA). Positif bisa menularkan kepada 10 – 15

orang di sekitarnya setiap tahun (PPTI, 2010).

2.2.2 Etiologi
Sebagaimana telah diketahui, TB paru disebabkan oleh basil TB

(Mycobacterium tuberculosis humanis). Mycobacterium Tuberculosis termasuk

familie Mycobacteriaceae yang mempunyai berbagai genus, satu di antaranya

adalah Mycobacterium, yang satu spesiesnya adalah Mycobacterium Tuberculosis.


33

Basil TB paru mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam, sifat ini

dimanfaatkan oleh Robert Koch untuk mewarnainya secara khusus. Oleh karena

itu, kuman ini disebut pula Basil Tahan Asam. Untuk bakteri-bakteri lain hanya

diperlukan beberapa menit sampai 20 menit untuk mitosis, basil TB memerlukan

waktu 12 sampai 24 jam. Hal ini memungkinkan pemberian obat secara

intermiten (dua-tiga hari sekali).


Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa

menit saja akan mati. Ternyata kerentanan ini terutama terhadap gelombang

cahaya ultra violet. Basil TB juga rentan terhadap panas-basah, sehingga dalam

dua menit saja basil TB yang berada dalam lingkungan basah sudah akan mati bila

terkena air bersuhu 100° C. Basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit

bila terkena alkohol 70%, atau lison 5%. (Danusantoso, 2000).


2.2.3 Klasifikasi
Berdasarkan pemeriksaan, TBC dapat diklasifikasikan menjadi :
a. TBC paru BTA positif
Disebut sebagai TBC paru BTA positif apabila sekurang-kurangnya dua dari

tiga spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1

spesimen dahak SPS positif disertai pemeriksaan radiologi paru menunjukkan

gambaran TBC aktif.


b. TBC paru BTA negatif
Apabila dalam pemeriksaan tiga spesimen dahak SPS BTA negatif dan foto

radiologi dada menunjukkan gambaran TBC aktif. TBC paru dengan BTA

negatif dan gambaran radiologi positif dibagi berdasar tingkat keparahan, bila

menunjukkan keparahan yakni kerusakan luas dianggap berat.


c. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh di luar paru, termasuk pleura yakni

yang menyelimuti paru, serta organ lain seperti selaput otak, selaput jantung
34

perikarditis, kelenjar limpa, kulit, persendian, ginjal, saluran kencing, dan lain-

lain. (Achmadi, 2008).


2.2.4 Cara Penularan

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau

bersin, pasien menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan dahak

(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam

waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar

matahari langsung dapat membunuh bakteri. Percikan dapat bertahan selama

beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya bakteri yang

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan

dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang

terpajan bakteri TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan

lamanya menghirup udara tersebut. (Kemenkes, 2011).

Risiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan kualitas paparan dengan

sumber infeksi dan tidak berhubungan dengan faktor genetik atau faktor penjamu

lainnya. Risiko tertinggi berkembangnya penyakit yaitu pada anak berusia

dibawah 3 (tiga) tahun, risiko rendah pada masa kanak-kanak, dan meningkat lagi

pada masa remaja, dewasa muda, dan usia lanjut. Bakteri masuk ke dalam tubuh

manusia melalui saluran pernapasan dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain

melalui peredaran darah, pembuluh limfe, atau langsung ke organ terdekatnya.

Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya,

sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular TBC adalah 17%. Hasil studi
35

lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua

kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah).

Seorang penderita dengan BTA (+) yang derajat positifnya tinggi berpotensi

menularkan penyakit ini. Sebaliknya, penderita dengan BTA (-) dianggap tidak

menularkan. Angka risiko penularan infeksi TBC di Amerika Serikat adalah

sekitar 10/100.000 populasi. Di Indonesia angka ini sebesar 1-3% yang berarti

diantara 100 penduduk terdapat 1-3 warga yang akan terinfeksi TBC. Setengah

dari mereka BTA-nya akan positif (0,5%). (Widoyono, 2011).

2.2.5 Perjalanan penyakit TB


a. TB Primer
Pada seseorang yang belum pernah kemasukan basil TB, tes tuberculin akan

negatif karena sistem imunitas seluler belum mengenal basil TB. Bila orang ini

mengalami infeksi oleh basil TB, walaupun segera difagositosis oleh makrofag,

basil TB tidak akan mati, bahkan makrofagnya dapat mati. Dengan demikian,

basil TB ini lalu dapat berkembang biak secara leluasa dalam 2 (dua) minggu

pertama di alveolus paru, dengan kecepatan 1 basil menjadi dua basil setiap 20

jam, sehingga pada infeksi oleh 1 basil saja, setelah 2 (dua) minggu akan

bertambah menjadi 100.000 basil. (HOLM, 1970 dalam Danusantoso, 2000).


Selama 2 (dua) minggu ini, sel-sel limfosit T akan mulai berkenalan dengan

basil TB untuk pertama kalinya akan menjadi limfosit T yang tersensitisasi. Dalam

waktu kurang 1 (satu) jam setelah berhasil masuk dalam alveoli, basil-basil Tb

sebagian akan terangkut aliran limfa ke dalam kelenjar-kelenjar limfa regional dan

sebagian malah dapat ikut masuk ke dalam aliran darah dan tersebar ke organ lain.

(Danusantoso, 2000).
b. TB Sekunder
36

Yang dimaksud dengan TB sekunder ialah penyakit TB yang baru timbul

setelah lewat 5 (lima) tahun sejak terjadinya infeksi primer. Dengan demikian,

mulai sekarang apa yang disebut TB post primer, secara internasional diberi nama

baru TB sekunder (STYBLO, 1978 dalam Danusantoso, 2000).


Kemungkinan suatu TB primer yang telah sembuh akan berkelanjutan

menjadi TB sekunder tidaklah besar diperkirakan hanya sekitar 10% (ROUILLON

et al, 1976 dalam Danusantoso, 2000). Sebaliknya juga suatu reinfeksi endogen

atau eksogen, walaupun semula berhasil menyebabkan seseorang menderita

penyakit TB sekunder, tidak selalu penyakitnya akan berkelanjutan terus secara

progresif dan berakhir kematian. Hal ini terutama ditentukan oleh efektivitas

sistem imunitas seluler disatu pihak dan jumlah serta virulensi basil TB dipihak

lain.
Walaupun sudah sampai timbul TB, selama masih minimal, masih ada

kemungkinan bagi tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri, bila sistem

imunitas seluler masih berfungsi dengan baik, dengan meninggalkan bekas-bekas

berupa jaringan parut (proses fibrotik) dan bintik-bintik / bercak-bercak kapur.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa TB pada anak-anak pada umumnya

adalah TB primer, sedang TB pada orang dewasa adalah TB sekunder karena

reinfeksi endogen (Danusantoso, 2000).

2.2.6 Gejala dan Diagnosis


a. Gejala Tuberkulosis
1. Kehilangan nafsu makan, lidah kering, bibir kering, dan malas bicara.
Seringkali batuk-batuk yang berkepanjangan disertai dahak berwarna kuning,

kadang-kadang bercampur darah.


2. Suhu badan menaik sampai 39° - 41°C.
3. Malam hari sering kali mengeluarkan banyak keringat.
4. Muka kelihatan pucat kebiru-biruan.
5. Nafas terasa sesak dan sakit.
37

6. Nyeri tulang, berat badan menurun.


7. Kelenjar getah bening regional di daerah hilus membengkak dan mengalami

perkejuan, mungkin disertai dengan erythema nodosum (radang kulit akut,

ditandai dengan benjol-benjol merah, biasanya di tungkai, di leher dengan

disertai rasa gatal dan panas) dileher yang sakit bila di raba. (Utomo, 2005).
Sedangkan menurut Kemenkes (2011), Gejala utama pasien TB paru adalah

batuk berdahak selama dua-tiga minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan

gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan

lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam

hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain

TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.

Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang

yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang

yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang

tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung.
b. Diagnosis Tuberkulosis
Adapun diagnosis pastinya adalah melalui pemeriksaan kultur atau biakan

dahak. Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lama, hanya dilakukan bila

diperlukan atas indikasi tertentu, dan tidak semua unit-unit pelayanan

memilikinya. Pemerintah melalui gerakan terpadu nasional, memiliki upaya untuk

meningkatkan kemampuan puskesmas untuk melakukan diagnosis TBC

berdasarkan pemeriksaan BTA ini.


Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya tiga kali, yaitu pengambilan dahak

sewaktu penderita datang ketempat pengobatan dan dicurigai menderita TBC,


38

Kemudian pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya. Yang diambil adalah

dahak pagi. Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita

memeriksakan dirinya sambil membawa dahak pagi. Oleh sebab itu, disebut

pemeriksaan SPS-sewaktu-pagi-sewaktu. (Achmadi, 2008).


Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya

bakteri TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan

dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto

toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis

sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya

berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

(Kemenkes, 2011).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut,

yaitu rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam

pemeriksaan radiologi, dada menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah

kepada TBC maka yang bersangkutan dianggap positif menderita TBC. Kalau

hasil radiologi tidak menunjukkan adanya tanda-tanda TBC, maka pemeriksaan

dahak SPS harus diulang. Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau bakteriTBC,

hanya dilakukan apabila sarana mendukung untuk itu. (Achmadi, 2008).


2.2.7 Pencegahan
Perlindungan terbaik melawan tuberkulosis adalah diagnosis dan pengobatan

yang efisien untuk orang dengan infeksi aktif. Tuberkulosis dalam segala bentuk

merupakan penyakit yang harus dilaporkan di Inggris. Orang yang berkontak erat

dengan pasien penyakit paru harus mendapatkan peninjauan status klinis dan
39

status BCGnya, menjalani tes kulit tuberculin (biasanya heaf), dan memerlukan

penilaian secara radiologis. (Mandal, dkk. 2008).


Menurut (Utomo, 2005) Pencegahan TBC yaitu :
1. Memberi imunisasi pada bayi-bayi yang baru lahir dengan BCG, dan diulang

pada umur 12 atau 16 bulan kemudian bila diperlukan.


2. Memberikan imunisasi keluarga yang terdekat, bila pemeriksaan tes tuberculin

negatif.
3. Jangan minum susu sapi yang mentah, harus dimasak dahulu.
4. Memberikan penerangan pada penderita untuk menutup mulut dengan sapu

tangan bila batuk serta tidak meludah/mengeluarkan dahak di sembarang

tempat dan menyediakan tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang

dianjurkan dan untuk mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran.


2.2.8 Pengobatan TB
a. Tujuan Pengobatan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan terjadinya

resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Tabel 2.1 Pengelompokan OAT


Golongan dan Obat
Golongan-1 Obat ■ Isoniazid (H) ■ Pyrazinamide
Lini ■ Ethambutol (E) (Z)
Pertama ■ Rifampicin (R)
■ Streptomycin (S)
Golongan-2 / Obat ■ Kanamycin (Km) ■ Amikacin (Am)
suntik/ Suntikan lini ■ Capreomycin (Cm)
kedua
Golongan-3 / ■ Ofloxacin (Ofx) ■ Moxifloxacin
Golongan ■ Levofloxacin (Lfx) (Mfx)
Floroquinolone
Golongan-4 / Obat ■ Ethionamide(Eto) ■ Para amino salisilat
bakteriostatik lini ■ Prothionamide (Pto) (PAS)
kedua ■ Cycloserine (Cs) ■ Terizidone (Trd)
40

Golongan-5 / Obat ■ Clofazimine (Cfz) ■ Thioacetazone


yang belum terbukti ■ Linezolid(Lzd) (Thz)
efikasinya dan tidak ■ Amoxilin- ■ Clarithromycin
direkomendasikan Clavulanate (Amx- (Clr)
oleh WHO Clv) ■ Imipenem(Ipm).

Tabel 2.2 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama

Dosis yang
direkomendasikan(mg/kg)
Jenis OAT Sifat 3xseminggu
Harian
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)

Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)

Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)

Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut :

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT

tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien

menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed

Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan.

1. Tahap awal (intensif)


41

a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.


b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya

pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 (dua) minggu.


c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)

dalam 2 (dua) bulan.


2. Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama.


b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persister sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan.


b. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian

Tuberkulosis di Indonesia:
1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan

(HRZE).
3. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,

Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu

pirazinamid and etambutol. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan

dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet

OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.

Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam

satu paket untuk satu pasien.

4. Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,

Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT
42

ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang

mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan

pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan

sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa

pengobatan.
c. Efek Samping Obat
Tabel 2.3 Efek Samping Ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Tidak ada nafsu makan, mual, Semua OAT diminum
sakit perut Rifampisin malam sebelum tidur
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa terbakar di Beri vitamin B6 (piridoxin)
INH 100mg
Kaki per hari
Warna kemerahan pada air seni Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
(urine) Rifampisin perlu penjelasan kepada pasien.

Tabel 2.4 Efek samping berat OAT


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Ikuti petunjuk
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT penatalaksanaan
dibawah *).
Tuli Streptomisin dihentikan, ganti
Streptomisin Etambutol.
Streptomisin dihentikan, ganti
Gangguan keseimbangan Streptomisin Etambutol.
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua Hentikan semua OAT
OAT sampai ikterus
menghilang.
Bingung dan muntah-muntah Hampir semua Hentikan semua OAT,
(permulaan ikterus karena OAT segera lakukan tes fungsi
hati.
obat)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin.
43

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”:

Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal

singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil

meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian

pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan

kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan

kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu

dirujuk. (Kemenkes, 2011).


d. TB Resintensi Obat
TB resintensi obat adalah dimana keadaan kuman Mycobacterium

Tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB (OAT). Terdapat

5 kategori resistansi terhadap OAT yaitu :


1. Monoresistance : resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid

(H).
2. Polyresistance : resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi

isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan etambutol

(HE), rifampisim etambutol (RE), isoniazid etambutol dan streptomisin (HES),

rifampisin etambutol dan streptomisin (RES).


3. Multi Drug Resistance (MDR) : resistan terhadap isoniazid dan rifampisin,

dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE,

HRES.
4. Extensively Drug Resistance (XDR) : TB MDR disertai resistansi terhadap

salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini

kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).


5. TB Resistan Rifampisin (TB RR) : resistan terhadap rifampisin (monoresistan,

poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi menggunakan metode

fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan OAT lainya. (Kemenkes, 2014)
44

2.2.9 Komplikasi
a. Batuk Darah
Karena pada dasarnya proses TB adalah proses nekrosis, kalau diantara

jaringan yang mengalami nekrosis terdapat pembuluh darah, besar

kemungkinan penderita akan mengalami batuk darah, yang dapat bervariasi

dari jarang sekali sampai sering atau hampir setiap hari. Variasi lainnya adalah

jumlah darah yang dibatukkan keluar mulai dari sangat sedikit (garis darah

pada sputum) sampai banyak sekali (profus), tergantung pada pembuluh darah

yang terkena.
Batuk darah baru akan membahayakan jiwa penderita bila profus, karena

dapat menyebabkan kematian oleh syok dan anemia akut. Di samping itu,

darah yang akan dibatukkan keluar dapat menyangkut di trakea/larings dan

akan menyebabkan asfiksia akut yang dapat berakibat fatal. (Danusantoso,

2000).
b. Limfadinitis
Lokasi tersering penyakit ektraparu, penyakit dapat timbul dari infeksi primer,

penyebaran dari lokasi jauh, atau reaktivasi infeksi. Kelenjar getah bening

biasanya tidak nyeri dan pada awalnya dapat digerakkan (mobile) namun

menjadi terfiksasi sejalan dengan waktu. Saat terjadi perkijuan dan pencairan

(liquefaction), pembengkakan menjadi berfluktuasi dan dapat mengeluarkan

sekret melalui kulit dengan pembentukan abses collarstud dan pembentukan

sinus.
c. Penyakit Gastrointestinal
Tuberkulosis dapat mengenai semua bagian usus dan pasien dapat mengalami

berbagai variasi gejala dan tanda. Penyakit ileosekal menyebabkan separuh

kasus tuberkulosis abdominal, demam, keringat malam, anoreksia, dan


45

penurunan berat badan biasanya jelas terjadi dan massa fosa iliaka kanan

dapat teraba, hingga 30% kasus mengalami abdomen akut.


d. Penyakit Perikadial
Penyakit terjadi dalam dua bentuk utama : efusi pericardial Perikarditis

konstriktif. Demam dan keringat malam jarang terjadi dan manifestasinya

bersifat perlahan dengan sesak nafas dan pembengkakan abdomen. Diagnosis

ditegakkan secara klinis, radiologis, dan ekokardiografik. Efusi perikardial

bercampur darah 85% kasus.


e. Penyakit Sistem Saraf Pusat
Hingga saat ini bentuk paling penting dari tuberkulosis sistem saraf pusat

adalah penyakit meningeal. Penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi pada

tuberkulosis primer atau postprimer. Penyakit ini dapat mengancam nyawa

dan menjadi fatal dengan cepat bila tidak didiagnosis sejak awal.
f. Penyakit Tulang dan Sendi
Semua tulang dan sendi dapat terinfeksi namun yang paling sering adalah

tulang belakang dan panggul. Tuberkulosis tulang belakang dengan gejala

nyeri punggung kronik dan biasanya mengenai tulang belakang torakal bagian

bawah dan lumbai. Keterlibatan diskus merupakan manifestasi pertama yang

diikuti oleh penyebaran sepanjang ligamen spinal untuk mengenai korpus

vertebra anterior didekatnya sehingga menyebabkan angulasi vertebra dan

kifosis.
g. Penyakit Saluran Kemih dan Kelamin
Penyakit ginjal jarang terjadi dan seringkali sangat perlahan dengan gejala

konstitusional minimal. Pada pria, tuberkulosis saluran kemih dan kelamin

dapat timbul sebagai epididimis atau prostatitis. Pada wanita, infertilitas

akibat endometritis atau nyeri dan pembengkakan pelvis akibat salpingitis atau

abses tuboovarium dapat terjadi namun jarang. (Mandal, dkk. 2008).


46

2.3 Kerangka Teori


Kerangka teori ini dapat disimpulkan berdasarkan teori (Niven, 2002)

yaitu :

Pemahaman Tingkat Intruksi

Kualitas Interaksi
Isolasi Sosial Keluarga
Ketidakpatuhan
Keyakinan, Sikap dan Kepribadian

Gambar 2.1 Kerangka Teori

2.4 Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependen

Kualitas Interaksi
Isolasi Sosial Keluarga
Ketidakpatuhan
47

Gambar 2.2 Kerangka Konsep


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional,

yaitu untuk mengetahui Hubungan Kualitas Interaksi Dan Isolasi Sosial Keluarga

dengan ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru dalam berobat di Puskesmas

Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015. (Notoatmodjo, 2010).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Tanggal 09-27 Bulan November Tahun

2015 di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosis TB

Paru BTA+ di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat yaitu 48 orang.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah yang didiagnosis TB Paru BTA+ di

Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat dengan pengambilan sampel

penelitian dilakukan dengan metode Total sampling.

48
49

Tabel 3.1 Daftar Sampel Penelitian

No. Nama Desa Jumlah pasien BTA+


1 Panggong 2
2 Padang Seurahet 10
3 Ujong Baroh 6
4 Rundeng 2
5 Drien Rampak 3
6 Kp. Darat 0
7 Seuneubok 8
8 Gampa 4
9 Lapang 4
10 Leuhan 6
11 Blang Beurandang 3
Jumlah 48

3.3.3 Kriteria Inklusi Sampel

1. Penderita TB paru BTA positif

2. Pernah menderita TB paru BTA positif

3. Pasien yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Johan Pahlawan

4. Berusia Produktif 15-59 tahun secara ekonomi

5. Bersedia diwawancarai.

3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner melalui wawancara

untuk melihat variabel Kualitas Interaksi, Isolasi Sosial Keluarga dan

Ketidakpatuhan.
50

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat dan

dari Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat serta literatur-literatur

lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.5 Definisi Operasional

Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian

N Variabel Defenisi Cara ukur Alat ukur Hasil Skala


o Independen ukur
1 Kualitas Kondisi Wawancara Kuesioner 1. Baik Ordinal
Interaksi dinamis yang 2. Kurang
berpengaruh Baik
dengan produk,
Jasa, Manusia,
Proses dan
lingkungan
yang
memenuhi
atau melebihi
harapan.

2 Isolasi Kesendirian Wawancara Kuesioner 1. Ada Ordinal


Sosial yang dialami 2. Tidak
keluarga seseorang Ada
secara
individual
akibat persepsi
individu
terhadap
lingkungan
yang dirasakan
mengancam
keamanan
dirinya secara
fisik dan
psikologis
51

Variabel
Dependen
3 Ketidakpatu Kegagalan atau Wawancara Kuesioner 1. Patuh Ordinal
han penolakan 2. Tidak
untuk Patuh
mengikuti dan
menyesuaikan
tindakan
seseorang
untuk aturan
atau keharusan

3.6 Aspek Pengukuran

Aspek pengukuran yang digunakan dalam pengukuran variabel dalam

penelitian ini adalah skala Guttman yaitu memberi skor dari nilai tertinggi ke nilai

terendah berdasarkan jawaban responden. (Sugiyono, 2013).

1. Kualitas Interaksi

a. Baik : Jika skor nilai responden > 5

b. Kurang Baik : Jika skor nilai responden ≤ 5

2. Isolasi Sosial Keluarga

a. Ada : Jika skor nilai responden > 5

b. Tidak ada :Jika skor nilai responden ≤ 5

3. Ketidakpatuhan

a. Patuh : Jika skor nilai responden > 5

b. Tidak Patuh : Jika skor nilai responden ≤ 5

3.7 Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan penelitian

setelah kegiatan pengumpulan data. Data mentah (raw data) yang telah

dikumpulkan selanjutnya diolah sehingga menjadi sumber yang dapat digunakan


52

untuk menjawab tujuan penelitian. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan program komputer.

Tahapan pengolahan data melalui beberapa proses yakni sebagai berikut :

3.7.1 Editing Data

Tahap ini merupakan kegiatan penyuntingan data yang telah terkumpul

dengan cara memeriksa kelengkapan data dan kesalahan pengisian kuesioner

untuk memastikan data yang diperoleh telah lengkap dapat dibaca dengan baik,

relevan, dan konsisten.

3.7.2 Coding Data

Setelah melakukan proses editing kemudian dilakukan pengkodean pada

jawaban dari setiap pertanyaan terhadap setiap variabel sebelum diolah dengan

computer, dengan tujuan untuk memudahkan dalam melakukan analisa data.

3.7.3 Tabulating

Data yang dikumpulkan ditabulasi dalam bentuk table distribusi frekuensi.

3.8 Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara bertahap sebagai berikut :

3.8.1 Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. (Notoatmodjo, 2010).

P=f x 100

n
53

Keterangan :

f = frekuensi

n = total sampel

3.8.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hipotesis dengan menentukan

hubungan antara variabel independen (variabel bebas) dengan variabel dependen

(variabel terikat) dengan menggunakan uji statistik Chi-square (X ²). (Budiarto,

2003).

(O-E) E = total baris x total kolom

=∑ grand total

E
Keterangan :
x ² : Chi-square
O : Nilai pengamatan
E : Nilai yang diharapkan
Dasar dari uji kai kuadrat (Chi-Square) adalah membandingkan frekuensi

yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan, jika perbedaan antara

pengamatan dengan yang diharapkan (O-E), apakah perbedaan itu cukup berarti

(bermakna) atau hanya karena faktor variasi sampel.

Kesimpulan dari uji statistik ini adalah :

1. Apabila hasil uji didapat P value > α = 0,05 berarti tidak ada hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen.


2. Apabila hasil uji tersebut didapat P value < α = 0,05 bearti ada hubungan

antara variabel independen dengan variabel dependen.


Dalam melakukan uji Chi-square adapun ketentuan yang harus di pakai

adalah :
54

1. Bila 2 x 2 dijumpai nilai expected (harapan) kurang dari 5, maka yang

digunakan adalah Fisher’s test,


2. Bila 2 x 2 dan nilai E > 5, maka uji yang dipakai sebaliknya Contuinty

Correction,
3. Bila tabel lebih dari 2 x 2 misalnya 2 x 3, 3 x 3 dan seterusnya, maka

digunakan uji Pearson Chi-square.


4. Uji “Likelihood”, biasanya digunakan untuk keperluan lebih spesifik,

misalnya analisis stratifikasi pada bidang epidemiologi dan juga untuk

mengetahui hubungan linier dua variabel kategorik, sehingga kedua jenis ini

jarang digunakan.

Menurut (Sastroasmoro dan Ismael, 2011) peluang terjadi suatu kejadian

risiko bisa dilihat dengan menggunakan Rasio Pravelensi (RP), yaitu dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

RP = a/(a+b) : c/(c+d)

Langkah- langkah uji hipotesis dan memperoleh nilai RP dengan

menggunakan komputerisasi yaitu sebagai berikut :

a. Buka file data rasioodds

b. Klik analyze

c. Klik descriptives statistics

d. Klik crosstabs

e. Masukan setiap variabel dependen kedalam column

f. Masukan setiap variabel independen kedalam row (s)

g. Klik kotak statistic, pilih chi square disebelah kiri atas dan risk dikanan bawah

h. Klik kotak cell, pilih column pada percentages

i. Klik continue dan OK


55

Interfensi hasil RP adalah sebagai berikut (Sastroasmoro dan Ismael, 2011) :

1. Bila nilai rasio pravalens = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko

tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya efek, atau dengan kata lain ia bersifat

netral.

2. Bila risiko pravalens > 1 dan rentang interval kepercayaan mencakup angka 1,

berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko untuk timbulnya penyakit.

3. Bila nilai rasio pravalens < 1 dan rentang interval kepercayaan tidak

mencakup angka 1, berarti faktor yang diteliti merupakan faktor protektif,

bukan faktor risiko.

4. Bila nilai interval kepercayaan rasio pravalens mencakup angka 1, maka

berarti pada populasi yang diwakili oleh sampel tersebut masih mungkin nilai

rasio pravalensnya = 1. Ini berarti bahwa dari data yang ada belum dapat

disimpulkan bahwa faktor yang dikaji benar-benar merupakan faktor risiko

atau faktor protektif.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum

UPTD puskesmas Johan Pahlawan merupakan salah satu puskesmas induk

dari 2 puskesmas yang berada dalam wilayah kecamatan Johan Pahlawan yang

mencakup 11 desa yang menjadi wilayah kerjanya dan membawahi 2 Puskesmas

Pembantu (Pustu) dan 3 buah Poskesdes yang menjadi jaringan kerjanya.

Tabel 4.1 Cakupan Desa Wilayah Kerja Dan Jumlah Penduduk UPTD Puskesmas Johan
Pahlawan Tahun 2014
Jumlah Penduduk
No Desa Jumlah RT
Lk Pr Total
1 Panggong 684 628 1,312 329
2 Padang Seurahet 23 18 41 14
3 Ujong Baroh 3,374 3,366 6,740 1,569
4 Rundeng 1,738 1,720 3,458 805
5 Drien Rampak 3,474 3,715 7,189 1,615
6 Kp. Darat 356 323 679 165
7 Seunebok 2,708 2,771 5,479 1,194
8 Gampa 1,460 1,487 2,947 754
9 Lapang 2,611 2,461 5,072 1,190
10 Leuhan 2,432 2,361 4,793 1,144
11 Blang Beurandang 3,253 2,990 6,243 1,495
Jumlah 22,113 21,840 43,953 10,265
Sumber : BPS, Proyeksi Antar Sensus Desember 2013
(Kecamatan Johan Pahlawan Dalam Angka, 2014)

Adapun batas wilayah kerja UPTD Puskesmas Johan Pahlawan adalah

sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Meurebo

Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Suak Ribe


Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia

56
57

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kaway XVI


Secara administrasi pemerintahan luas wilayah kerja puskesmas Johan

Pahlawan 193,6 Km². Puskesmas Johan Pahlawan berdiri tahun 1992 dengan luas

bangunan 520 m² dan luas tanah 1500 m². Dengan status Puskesmas Rawat Jalan.

Lokasi Puskesmas Johan Pahlawan berada di Jalan Tgk. Dirundeng No.36

Gampong Ujong Baroh, Kecamatan Johan Pahlawan, dengan akses ke Jalan

Nasional ± 200 meter.

4.2 Hasil Penelitian


4.2.1 Analisis Univariat

Sebelum dilakukannya analisis bivariat untuk melihat hubungan antara

variabel maka terlebih dahulu dibuat analisis univariat dengan tabel distribusi

frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti :

1. Jenis Kelamin

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase berdasarkan jenis kelamin

responden dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut dibawah ini :

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden


dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Dalam
Berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat
tahun 2015.
No Jenis Kelamin f %
1 Laki-laki 24 50,0
2 Perempuan 24 50,0
Total 48 100
Sumber : data primer 2015

Berdasarkan tabel 4.2 di ketahui bahwa responden berjenis kelamin antara

laki-laki dan perempuan mempunyai frekuensi yang seimbang yaitu sebanyak 24

responden (50,0%). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam

penilaian diri individu antara laki-laki dan perempuan.


58

2. Pekerjaan

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase berdasarkan pekerjaan responden

dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut dibawah ini :

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Responden dengan


Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Dalam Berobat di
Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat tahun 2015.
No Pekerjaan f %
1 Swasta 11 22,9
2 Wiraswasta 21 43,8
3 PNS/POLRI/TNI 16 33,3
Total 48 100
Sumber : data primer 2015

Berdasarkan tabel 4.3 di ketahui bahwa responden tertinggi yang bekerja

wiraswasta adalah sebanyak 21 responden (43,8%), sedangkan responden

terendah yang bekerja swasta adalah sebanyak 11 responden (22,9%).

3. Umur

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase berdasarkan umur responden

dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut dibawah ini :

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden dengan


Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Dalam Berobat di
Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat tahun 2015.
No Umur Responden f %
1 Remaja Awal : 12-16 Tahun 1 2,1
2 Remaja Akhir : 17-25 Tahun 7 14,6
3 Dewasa Awal : 26-35 Tahun 12 25,0
4 Dewasa Akhir : 36-45 Tahun 14 29,2
5 Lansia Awal : 46-55 Tahun 11 22,9
6 Lansia Akhir :56-65 Tahun 3 6,2
Total 48 100
Sumber : data primer 2015

Berdasarkan tabel 4.4 di ketahui bahwa responden tertinggi yang berumur

dewasa akhir : 36-45 Tahun adalah sebanyak 14 responden (29,2%), sedangkan


59

responden terendah yang berumur remaja awal : 12-16 Tahun adalah sebanyak 1

responden (2,1%).

4. Kualitas Interaksi

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel kualitas interaksi

responden dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut dibawah ini :

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Kualitas Interaksi


Responden dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru
Dalam Berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
Barat tahun 2015.
No Kualitas Interaksi f %
1 Baik 12 25,0
2 Kurang Baik 36 75,0
Total 48 100
Sumber : data primer 2015

Berdasarkan tabel 4.5 di ketahui bahwa responden yang faktor kualitas

interaksi baik adalah sebanyak 12 responden (25,0%), sedangkan responden yang

faktor kualitas interaksi kurang baik adalah sebanyak 36 responden (75,0%).

5. Isolasi Sosial Keluarga

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel isolasi sosial

keluarga responden dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut dibawah ini :

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Isolasi Sosial Keluarga


Responden dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru
Dalam Berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
Barat tahun 2015.
No Isolasi Sosial Keluarga f %
1 Ada 33 68,8
2 Tidak Ada 15 31,2
Total 48 100
Sumber : data primer 2015
60

Berdasarkan tabel 4.6 di ketahui bahwa responden yang faktor isolasi sosial

keluarga ada adalah sebanyak 33 responden (68,8%), sedangkan responden yang

faktor isolasi sosial keluarga tidak ada adalah sebanyak 15 responden (31,2%).

6. Ketidakpatuhan

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel ketidakpatuhan

responden dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut dibawah ini :

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Ketidakpatuhan


Responden dengan Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru
Dalam Berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
Barat tahun 2015.
No Ketidakpatuhan f %
1 Patuh 14 29,2
2 Tidak Patuh 34 70,8
Total 48 100
Sumber : data primer 2015

Berdasarkan tabel 4.7 di ketahui bahwa responden yang faktor

ketidakpatuhan Patuh adalah sebanyak 14 responden (29,2%), sedangkan

responden yang faktor ketidakpatuhan tidak patuh adalah sebanyak 34 responden

(70,8%).

4.2.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan

dependen. Pengujian ini menggunakan Uji Chi-Square, ada hubungan bermakna

secara statistik jika diperoleh nilai p < 0,05.

a. Hubungan Faktor Kualitas Interaksi dengan Ketidakpatuhan

Tabel 4.8 Faktor Kualitas Interaksi yang berhubungan dengan


Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Dalam Berobat di
Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat tahun 2015.
61

Kualitas Ketidakpatuhan Total


Interaksi Patuh Tidak Patuh Pvalue RP
f % f % f % CI 95%
Baik 8 66,7 4 33,3 12 100 0,002 4,0
Kurang Baik 6 16,7 30 83,3 36 100 (1,7-9,1)
Jumlah 14 29,2 34 70,8 48 100
Sumber : data primer 2015

Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa dari 12 responden yang faktor

kualitas interaksi baik, sebanyak 8 responden (66,7%) yang penderita berobat

tuberkulosis paru ketidakpatuhannya patuh dan sebanyak 4 responden (33,3%)

yang penderita berobat tuberkulosis paru ketidakpatuhannya tidak patuh.

Sedangkan dari 36 responden yang faktor kualitas interaksi kurang baik, sebanyak

6 responden (16,7%) yang penderita berobat tuberkulosis paru ketidakpatuhannya

patuh dan sebanyak 30 responden (83,3%) yang penderita berobat tuberkulosis

paru ketidakpatuhannya tidak patuh.

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,002 dan ini lebih

kecil dari α = 0,05 (P value = 0,002 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat

hubungan antara faktor kualitas interaksi dengan ketidakpatuhan penderita

tuberkulosis paru dalam berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh

Barat.

Berdasarkan hasil RP 4 CI (Confidence Interval) (1,7-9,1) dapat

disimpulkan bahwa responden yang merasa memiliki ketidakpatuhannya patuh

dalam berobat akan berpeluang 4 kali kualitas interaksinya baik.

b. Hubungan Faktor Isolasi Sosial Keluarga dengan Ketidakpatuhan


62

Tabel 4.9 Faktor Isolasi Sosial Keluarga yang berhubungan dengan


Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Dalam Berobat di
Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat tahun 2015.
Isolasi Ketidakpatuhan Total
Sosial Patuh Tidak Patuh Pvalue RP
Keluarga f % f % f % CI 95%
Ada 5 15,2 28 84,8 33 100 0,004 0,25
Tidak Ada 9 60,0 6 40,0 15 100 (0,10-0,65)
Jumlah 14 29,2 34 70,8 48 100
Sumber : data primer 2015

Berdasarkan tabel 4.9 diketahui bahwa dari 33 responden yang faktor isolasi

sosial keluarga ada, sebanyak 5 responden (15,2%) yang penderita berobat

tuberkulosis paru ketidakpatuhannya patuh dan sebanyak 28 responden (84,8%)

yang penderita berobat tuberkulosis paru ketidakpatuhannya tidak patuh.

Sedangkan dari 15 responden yang faktor isolasi sosial keluarga tidak ada,

sebanyak 9 responden (60,0%) yang penderita berobat tuberkulosis paru

ketidakpatuhannya patuh dan sebanyak 6 responden (40,0%) yang penderita

berobat tuberkulosis paru ketidakpatuhannya tidak patuh.

Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,004 dan ini lebih

kecil dari α = 0,05 (P value = 0,004 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat

hubungan antara faktor isolasi sosial keluarga dengan ketidakpatuhan penderita

tuberkulosis paru dalam berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh

Barat.

Berdasarkan hasil RP 0,25 CI (Confidence Interval) (0,10-0,65) dapat

disimpulkan bahwa responden yang merasa memiliki ketidakpatuhannya patuh

dalam berobat akan berpeluang 0,25 kali isolasi sosial keluarganya tidak ada, dan

ini merupakan faktor protektif dikarenakan Rasio Pravalensnya < 1.

4.3 Pembahasan
63

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui Hubungan Kualitas

Interaksi Dan Isolasi Sosial Keluarga Dengan Ketidakpatuhan Penderita

Tuberkulosis Paru Dalam Berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh

Barat. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah variabel independen yaitu

kualitas interaksi dan isolasi sosial keluarga dengan variabel dependen yaitu

dengan ketidakpatuhan.

4.3.1 Hubungan Faktor Kualitas Interaksi dengan Ketidakpatuhan

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan

antara kualitas interaksi dengan ketidakpatuhan penderita tuberkulosis paru dalam

berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. Hal ini

membuktikan bahwa kualitas interaksi dapat berdampak pada ketidakpatuhan

penderita tuberkulosis paru dalam berobat.

Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan bahwa responden yang

berkualitas interaksi baik dan ketidakpatuhannya patuh karena responden

mengetahui untuk pengobatan yang efektif responden harus menyampaikan

seluruh riwayat penyakitnya kepada petugas kesehatan serta pasien tau apa yang

harus dilakukan dalam tahap pengobatan yang dijalaninya. Sedangkan responden

yang berkualitas interaksi baik dan ketidakpatuhannya tidak patuh dikarenakan

pasien Tb Paru kurang mengerti saat petugas kesehatan menyampaikan informasi

mengenai pengobatan Tb paru pasien hanya sekedar mendengar tanpa

menjalankan sesuai apa yang disarankan petugas.

Selanjutnya responden yang kualitas interaksinya kurang baik dan

ketidakpatuhannya patuh dikarenakan pasien tersebut terkesan segan dengan


64

petugas kesehatan dimana terdapat kurang minat yang diperlihatkan petugas akan

keluhan yang disampaikan jadi pasien menjalani pengobatan karena ingin

kesembuhan saja. Sedangkan responden yang berkualitas interaksi kurang baik

dan ketidakpatuhannya tidak patuh dikarenakan pasien merasa kurang perlu

menyampaikan tentang penyakitnya dan terkadang lupa teratur minum obat

seperti anjuran petugas karena bagi pasien menggangap penyakit Tb Paru mudah

disembuhkan.

International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) juga telah mengatur

mengenai hal ini, seperti yng tertuang pada standar 9 dari standar internasional ini.

Untuk membina dan menilai kepatuhan berobat, pendekatan pemberian obat yang

berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan pasien dan rasa saling

menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya

dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan dilakukan sensitif

terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai usia. Pemanfaatan berbagai

intervensi yang direkomendasikan serta layanan pendukung yang tersedia,

termasuk konseling dan penyuluhan pasien juga mutlak diperlukan. (Bagiada,

dkk. 2010).

Hal ini bisa terjadi seperti pada penelitian Anderson (1986) di Hongkong

seperti dikutip Niven (2002), yang menyatakan bahwa hanya rata-rata 31% saja

dari informasi yang diterima pasien pada awal pengobatan yang diingat sampai

selesai pengobatan penyakitnya. Juga dapat terjadi karena lamanya waktu yang

dibutuhkan harus memenuhi nasihat untuk patuh minum obat seperti yang

dinyatakan Sackett dan Snow (1979) dikutip oleh Abraham (1997) yang
65

menyatakan: derajat ketidak-patuhan rata-rata 50% dan derajat tersebut bertambah

buruk sesuai waktu. (Hutapea, 2004).

Hasil penelitian Kafle, dkk (2005) bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara kualitas interaksi dengan komunikasi didapat nilai P-value ≤ 0,2 yaitu

Komunikasi yang lebih baik antara profesional kesehatan, terutama pengawas

minum obat, dan pasien sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan

pengobatan pada pengobatan TB, bahkan di bawah DOTS (Directly Observed

Treatment, Shorcourse chemotherapy).

4.3.2 Hubungan Faktor Isolasi Sosial Keluarga dengan Ketidakpatuhan

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan

antara isolasi sosial keluarga dengan ketidakpatuhan penderita tuberkulosis paru

dalam berobat di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. Hal ini

membuktikan bahwa isolasi sosial keluarga dapat berdampak pada ketidakpatuhan

penderita tuberkulosis paru dalam berobat.

Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan bahwa responden yang isolasi

sosial keluarganya ada dan ketidakpatuhannya tidak patuh karena responden

merasa dikucilkan oleh keluarga karena penyakit yang dideritanya merupakan

penyakit menular sehingga pasien mempunyai persepsi tidak bisa sembuh dan

tidak perlu mengkonsumsi obat secara teratur. Sedangkan responden yang isolasi

sosial keluarga ada dan ketidakpatuhannya patuh dikarenakan pasien yang tidak

mendapat dukungan dari keluarga atau orang-orang terdekatnya terhadap

penyakitnya tetapi pasien tersebut mempunyai keyakinan untuk sembuh meski

tanpa perhatian keluarga.


66

Selanjutnya responden yang isolasi sosial keluarga tidak ada dan

ketidakpatuhannya tidak patuh dikarenakan pasien tersebut merasa meski keluarga

memberi perhatian terhadap penyakitnya tetapi dalam menjalani pengobatan

pasien tidak perlu sesuai anjuran petugas dan cenderung lupa serta bosan dengan

obat yang dikonsumsinya. Sedangkan responden yang isolasi sosial keluarga tidak

ada dan ketidakpatuhannya patuh dikarenakan pasien yang mendapat perhatian

dan dukungan yang baik dari keluarga membuat pasien mempunyai keinginan

menjalani pengobatan secara efektif sampai tahap pengobatan selesai.

Menurut Niven (2012) dalam penelitian Safri (2013), keluarga dapat

menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai

kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan

yang dapat mereka terima. Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional

dari anggota keluarga yang lain, teman, waktu dan uang merupakan faktor penting

dalam kepatuhan terhadap program-program medis.

Menurut Niven (2002) dalam penelitian Dewi (2008), salah satu faktor

ketidakpatuhan dalam pengobatan adalah isolasi sosial dan keluarga. Baekeland

dan Lundwall(1975) dalam Niven (2002) pun menegaskan bahwa derajat dimana

seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial, secara negatif

berhubungandengan kepatuhan. Berdasarkan teori tersebut maka sebesar apapun

dukungan yang diberikan kepada pasien, peluang ketidakpatuhan pasien dalam

pengobatan akan tetap terjadi apabila pasien merasa terisolasi.

Hasil penelitian Volmink, dkk (2005) menyatakan Dukungan keluarga,

termasuk bantuan keuangan, mengumpulkan obat-obatan, dan dukungan


67

emosional, tampaknya pengaruh yang kuat pada kepatuhan pasien terhadap

pengobatan. Pasien TB dapat menyembunyikan diagnosis mereka dan merasa

bersalah dan malu karena penyakinya.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Adanya hubungan antara faktor kualitas interaksi dengan ketidakpatuhan.

2. Adanya hubungan antara faktor isolasi sosial keluarga dengan

ketidakpatuhan.

5.2 Saran

1. Kepada Penderita TB paru diharapkan dapat lebih baik dalam berinteraksi

dengan petugas kesehatan untuk terwujudnya pengobatan yang efektif

sehingga tidak terjadinya lagi ketidakpatuhan dalam berobat.

2. Kepada keluarga pasien harus memahami tentang penyakit TB paru untuk

kelangsungan pengobatan yang aman bagi penderita tanpa ada rasa

terisolasi dari keluarga.

3. Kepada pihak puskesmas lebih menerapkan kualitas interaksi yang

bermutu dalam melayani pasien, memberi dukungan kepada pasien dan

keluarga, serta memberi penyuluhan kesehatan yang berkaitan dengan

informasi mengenai penyakit TB paru.

4. Kepada peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian

ini dengan menggunakan variabel yang sebelumnya atau variabel lain

yang dapat di ukur serta dalam proses pengumpulan data, hendaknya

menggunakan teknik yang diperkirakan dapat lebih optimal dalam

mendapatkan data yang diperlukan.

68
69

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. 2008. “Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah”. Jakarta :


Universitas Indonesia.
Budiarto, E. 2003. “Metodologi Penelitian Kedokteran.” Jakarta : EGC
Budiman. Dkk. 2010. “Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan
Minum Obat Pasien Tb Paru Pada Fase Intensif Di Rumah Sakit Umum
Cibabat Cimahi”. STIKES A. yani Cimahi.
Bagiada, I Made dan Ni Luh Putri Primasari. 2010. “Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Tingkat Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis Dalam
Berobat Di Poliklinik Dots Rsup Sanglah Denpasar”. Jurnal Penyakit
Dalam, Volume 11.

Dahlan S. 2012. “Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan”. Jakarta: Salemba


Medika.
Danusantoso, H. 2000. “Buku Saku Ilmu Penyakit Paru”. Jakarta : Hipokrates.
Depkes. 2006. “Standar Pelayanan Keperawatan Jiwa”. Jakarta : Direktorat Bina
Pelayanan Keperawatan Direktorat Bina Jenderal Pelayanan Medik.
Dewi, M. Dkk. 2008. “Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan
Pasien TBC Dalam Menjalani Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis Di
Tiga Puskesmas, Kabupaten Sumedang”. Volume 10.
Dinas Kesehatan Aceh. 2014. “Profil Kesehatan Provinsi Aceh”. Aceh.
Dinas Kesehatan Aceh Barat. 2014. “Profil Kesehatan Aceh Barat”. Aceh Barat.
Erawatyningsih, E. dkk. 2009. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Paru”. Jurnal
Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 25.
Hutapea, T. 2004. “Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum
Obat Anti Tuberkulosis”. Surabaya : RSUD Dr. saiful Anwar Malang.
Kafle, K. Dkk. 2005. “Adherence is associated with the quality of professional–
patient interaction in Directly Observed Treatment Short-course,
DOTS”. Journal patien education & counseling, Volume 63.
Kemenkes. 2011. “Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis”. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

.2014. “Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis”. Jakarta :


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
70

.2015. “Data dan Informasi Tahun 2014 (Profil Kesehatan


Indonesia)”. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

.2015. “InfoDATIN (Pusat Data Dan Informasi Kementerian


Kesehatan RI)“. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

Mandal, B.K, dkk. 2008. “Lecture Notes : Penyakit Infeksi”. Jakarta : Erlangga

Maulidia, D. 2014. “Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dan Kepatuhan


Minum Obat Pada Penderita Tuberkulosis Di Wilayah Ciputat” Skripsi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Murtiwi. 2006. “Keberadaan Pengawas Minum Obat (PMO) Pasien Tuberkulosis


Paru Di Indonesia”. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 10.

Niven, N. 2002. “Psikologi Kesehatan Pengantar Untuk Perawat dan Profesional


Kesehatan Lain”. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Noor, N. 2009. “Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular”. Jakarta : Rineka


Cipta.

Notoatmodjo, S. 2010. “Metodologi Penelitian Kesehatan”. Jakarta : Rineka


Cipta.

Octaria, Yeni dan sahib S. 2013. “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Terhadap


Kepatuhan Ibu/Bapak Dalam Pengobatan Tuberkulosis Anak Di Poli
Anak Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung Desember 2012-
Januari 2013”. Medical Journal of Lampung University, Volume 2.

Pasek, I Suadnyani dan Made S. 2013. “Hubungan Persepsi Dan Tingkat


Pengetahuan Penderita TB Dengan Kepatuhan Pengobatan Di
Kecamatan Buleleng”. Jurnal Pendidikan Indonesia, Volume 2.

PPTI, 2010. “Buku Saku PPTI”. Jakarta : Perkumpulan Pemberantasan


Tuberkulosis Indonesia.

Safri, F. 2013. “Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Minum


Obat Pasien Tb Paru Berdasarkan Health Belief Model Di Wilayah
Kerja Puskesmas Umbulsari, Kabupaten Jember”. Skripsi Universitas
Airlangga.

Sastroasmoro dan Ismael. 2013. “Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis”.


Jakarta. Sagung Seto.
71

Simak, V. Dkk. 2013. “Hubungan Antarapengetahuan Dan Sikap Dengan


Tindakan Hidup Sehat Pasien Tb Paru Di Poliklinik Paru Rsup prof dr.
R. D Kandou Manado”. Ejournal Keperawatan (e-Kp), Volume 1.
Sugiyono. 2013. Metode penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung :
alfabeta.
Susilayanti, E. Dkk. 2014. “Profil Penderita Penyakit Tuberkulosis Paru BTA
Positif yang Ditemukan Di BP4 Lubuk Alung Periode Januari 2012-
Desember 2012”. Jurnal Kesehatan Andalas, Volume 3.

Syam, M. Dkk. 2013. “Dukungan Sosial Penderita Tuberculosis Paru Di Wilayah


Kerja Puskesmas Ajangale Kabupaten Bone Tahun 2013”. Universitas
Hasanuddin Makassar.

Ulfi, M. 2011. “Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kepatuhan Pasien


Pengobatan Tb-Paru Di Rumah Sakit Dr. Soebandi Jember”. Skripsi
Universitas Jember.
Utomo, P. 2005. “Apresiasi Penyakit Pengobatan Secara Tradisional Dan
Modern”. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Volmink, J. Dkk. 2005. “Patient Adherence to Tuberculosis Treatment: A
Systematic Review of Qualitative Research”. journal.pmed.0040238
Widoyono. 2011. “Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, &
Pemberantasanya Edisi Kedua”. Jakarta : Erlangga.
72

Lampiran

KUESIONER

HUBUNGAN KUALITAS INTERAKSI DAN ISOLASI SOSIAL


KELUARGA DENGAN KETIDAKPATUHAN PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU DALAM BEROBAT
DI PUSKESMAS JOHAN PAHLAWAN
KABUPATEN ACEH BARAT
TAHUN 2015

NAMA : IRMA LISDA

NIM : 11C10104034

FAKULTAS : KESEHATAN MASYARAKAT

Nomor Responden : …………………..

Tanggal Wawancara : …………….2015

A. KARAKTERISTIK INDIVIDU

1. Jenis Kelamin : a. Perempuan b. Laki-laki ( )

2. Umur : ……………

3. Pekerjaan : ……………

4. Alamat : ……………

B. KUALITAS INTERAKSI

No Pertanyaan Ya Tidak Skor


1 Petugas kesehatan tidak pernah menjelaskan
tentang pengobatan TB Paru harus teratur.
2 Petugas kesehatan tidak menjelaskan tentang hal-
hal yang dapat memperburuk keadaan saya.
3 Petugas kesehatan kurang bersikap ramah dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
4 Petugas kesehatan tidak menanggapi keluhan
yang saya sampaikan.
73

5 Petugas kesehatan dalam memberikan penjelasan


mengenai penyakit saya dan cara memakan obat
tidak jelas.
6 Petugas kesehatan tidak mengingatkan saya untuk
periksa ulang dan mengambil obat.
7 Petugas kesehatan tidak pernah menanyakan
kemajuan yang saya peroleh selama berobat.
8 Obat Tb tidak selalu tersedia pada saat jadwal
pengambilan obat di puskesmas.
9 Jumlah obat Tbc yang saya peroleh tidak dalam
keadaan lengkap dan baik.
10 Saya tidak merasa nyaman kepada petugas
kesehatan saat saya berobat.

C. ISOLASI SOSIAL KELUARGA

No Pertanyaan Ya Tidak Skor


1 Keluarga tidak mau mendengarkan keluh kesah
saya.
2 Saya merasa anggota keluarga mengucilkan saya
karena penyakit Tb.
3 Keluarga tidak pernah mengambil obat bila saya
tidak bisa ambil sendiri.
4 Keluarga tidak ada saat saya merasa sendiri /
kesepian.
5 Keluarga tidak membantu saya memfasilitasi
pengobatan bila saya tidak mampu.
6 Keluarga tidak pernah menegur saya, bila saya
tidak mau, lalai atau lupa dalam minum obat.
7 Satupun keluarga tidak memperhatikan kebutuhan
saya.
8 Keluarga tidak mau mengetahui tentang
perkembangan pengobatan saya.
9 Keluarga tidak pernah menciptakan lingkungan
yang tenang untuk saya istirahat.
10 Keluarga tidak pernah memberi motivasi untuk
kesembuhan saya.

D. KETIDAKPATUHAN
74

No Pertanyaan Ya Tidak Skor


1 Saya terkadang lupa untuk minum obat.
2 Saya terkadang tidak mematuhi petunjuk petugas
kesehatan dan keluarga dalam menelan obat.
3 Saya tidak mengetahui pengobatan TBC
memerlukan pengawasan serta dilaksanakan
secara teratur dan disiplin.
4 Obat yang diberikan oleh dokter tidak habis saya
minum secara teratur sesuai dengan dosis dokter.
5 Saya pernah berhenti minum obat dan tidak
memberi tahu dokter.
6 Saat obat sudah habis saya tidak segera datang
mengambil obat karena malas.
7 Saya lupa membawa obat saat dalam perjalanan
8 Saya pernah berhenti minum obat saat tidak ada
gejala.
9 Saya merasa kesal dengan pengobatan saya yang
lama
10 Saya terkadang lupa jadwal pemeriksaan dahak
dan pengambilan obat yang telah di tetapkan.

TABEL SKOR
75

NO Variabel yang No. urut Bobot Skor Rentang


diteliti pertanyaan ya Tida
k
1 Kualitas Interaksi 1 1 0 10-0
2 1 0 =5
3 1 0 2
4 1 0 Baik :>5
5 1 0 Kurang Baik : ≤ 5
6 1 0
7 1 0
8 1 0
9 1 0
10 1 0
2 Isolasi 1 1 0 10-0
Sosial Keluarga 2 1 0 =5
3 1 0 2
4 1 0 Ada :>5
5 1 0 Tidak ada : ≤ 5
6 1 0
7 1 0
8 1 0
9 1 0
10 1 0
4 Ketidakpatuhan 1 1 0 10-0
2 1 0 =5
3 1 0 2
4 1 0 Patuh :>5
5 1 0 Tidak Patuh : ≤ 5
6 1 0
7 1 0
8 1 0
9 1 0
10 1 0

DOKUMENTASI PENELITIAN
76

Gambar 1. Pengambilan Data Awal di Puskesmas Johan Pahlawan


77

Gambar 2. Peneliti sedang membagikan kuesioner kepada responden


78

Gambar 3. Peneliti sedang membagikan kuesioner kepada responden


79

Gambar 4. Bangunan Puskesmas Johan Pahlawan


80

Anda mungkin juga menyukai