Anda di halaman 1dari 144

TRADISI MARAPI DAN HUBUNGANNYA DENGAN

KESEHATAN IBU DAN BAYI (STUDI


FENOMENOLOGI DI DESA
MANUNGGANG JAE)

TESIS

Oleh

ROSMALA DEWI
NIM. 177032039

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020

Universitas Sumatera Utara


MARAPI TRADITION AND ITS RELATIONSHIP WITH
MATERNAL AND INFANT HEALTH
(A PHENOMENOGICAL STUDY IN
MANUNGGANG JAE VILLAGE)

THESIS

By

ROSMALA DEWI
NIM. 177032039

MASTER IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM


FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA
2020

Universitas Sumatera Utara


TRADISI MARAPI DAN HUBUNGANNYA DENGAN
KESEHATAN IBU DAN BAYI (STUDI
FENOMENOLOGI DI DESA
MANUNGGANG JAE)

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat
dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Peminatan Kesehatan Reproduksi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

ROSMALA DEWI
NIM. 177032039

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : Tradisi Marapi dan Hubungannya dengan
Kesehatan Ibu dan Bayi (Studi Fenomenologi di
Desa Manunggang Jae)
Nama Mahasiswa : Rosmala Dewi
Nomor Induk Mahasiswa : 177032039
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Peminatan : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui
Komisi Pembimbing:

Ketua Anggota

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si.) (Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D.)
NIP. 196803201993082001 NIP. 196509011991032003

Ketua Program Studi Dekan

(Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D.) (Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si.)
NIP. 196509011991032003 NIP. 196803201993082001

Tanggal Lulus: 16 Agustus 2019

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji dan dipertahankan

Pada tanggal: 16 Agustus 2019

TIM PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si.


Anggota : 1. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D.
2. Dra. Nurmaini, M.K.M., Ph.D.
3. Dr. Drs. Fikarwin Zuska

Universitas Sumatera Utara


Pernyataan Keaslian Tesis

Saya menyatakan dengan ini bahwa tesis saya yang berjudul “Tradisi

Marapi dan Hubungannya dengan Kesehatan Ibu dan Bayi (Studi

Fenomenologi di Desa Manunggang Jae)” beserta seluruh isinya adalah benar

karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan

cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat

keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam

daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang

dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap

etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian

karya saya ini.

Medan, Agustus 2019

Rosmala Dewi

Universitas Sumatera Utara


Abstrak

Tradisi marapi adalah tradisi mengasapkan atau memanaskan ibu yang baru
melahirkan bersama bayinya selama 40 hari yang dilakukan oleh ibu nifas di Kota
Padangsidimpuan Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi praktik tradisi marapi dan hubungannya dengan kesehatan ibu
dan bayi di Desa Manunggang Jae Kota Padangsidimpuan. Penelitian ini adalah
penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologi. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini adalah
tujuh orang ibu yang pernah melakukan tradisi marapi dan satu orang ibu yang
sedang melakukan tradisi tersebut. Penelitian ini dilakukan di Desa Manunggang
Jae Kota Padangsidimpuan pada bulan Oktober 2018 sampai dengan bulan
Agustus 2019. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik tradisi marapi masih
banyak dilakukan oleh masyarakat. Jenis perawatan dalam tradisi ini meliputi
pengasapan (marapi) dan manjonjongi api (berdiri di atas perapian). Tradisi
marapi tetap ada dan masih bertahan di kalangan masyarakat Desa Manunggang
Jae Kota Padangsidimpuan karena tradisi ini merupakan tradisi turun-temurun dan
praktiknya masih dianjurkan oleh tetua kampung maupun orang tua. Tradisi
marapi sekalipun dilakukan dengan maksud mengupayakan kesehatan ibu nifas
dan bayinya, namun tradisi ini berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan
seperti gangguan sistem pernapasan, luka bakar, infeksi luka perineum, dehidrasi,
vasodilatasi, penurunan tekanan darah dan iritasi kulit. Penelitian ini menguatkan
bahwa perilaku masyarakat dalam memelihara kesehatan dipengaruhi oleh
determinan sosial yaitu budaya (tradisi). Disarankan kepada masyarakat agar
melakukan perawatan masa nifas dengan cara yang lebih sehat, kepada tenaga
kesehatan untuk mengembangkan upaya promosi dan edukasi kesehatan tentang
perawatan ibu nifas dan bayi baru lahir.

Kata kunci: Tradisi marapi, perawatan nifas

Universitas Sumatera Utara


Abstract

Marapi tradition is a tradition of fumigating or heating a mother who has just


given birth and her baby for 40 days by a postpartum mother in Padangsidimpuan
City, Sumatera Utara Province. This study aims to explore the practices of marapi
tradition and its relationship with maternal and infant health in Manunggang Jae
Village, Padangsidimpuan City. This research is qualitative research with a
phenomenological design. Data collection was carried out by in-depth interviews.
The informants in this study were seven mothers who had practiced the marapi
tradition and one mother who was doing the tradition. This research was
conducted in Manunggang Jae Village, Padangsidimpuan City in October 2018
until August 2019. The results showed that the marapi tradition was still widely
practiced by the community. Types of treatments in this tradition include
fumigation (marapi) and manjonjongi api (standing on a fireplace). The marapi
tradition still exists and still survives in the community of Manunggang Jae
Village, Padangsidimpuan City because this tradition is a hereditary tradition
and its practice is still recommended by village elders and parents. Even the
marapi tradition is done to strive for the health of the puerperal mother and her
baby, but this tradition has the potential to cause health problems such as
respiratory system disorders, burns, perineal wound infections, dehydration,
vasodilation, decreased blood pressure and skin irritation. This study reinforces
that people's behavior in maintaining health is influenced by social determinants,
namely culture (tradition). It is recommended to the public to carry out postnatal
care in a healthier way, to health workers to develop health promotion and
education efforts about caring for postpartum mothers and newborns.

Keywords : Marapi tradition, postpartum care

Universitas Sumatera Utara


Kata Pengantar

Alhamdulillahirrabbil’aalamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan

ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Tradisi Marapi dan

Hubungannya dengan Kesehatan Ibu dan Bayi (Studi Fenomenologi di Desa

Manunggang Jae)”. Tesis ini adalah salah satu syarat yang ditetapkan untuk

memperoleh gelar Magister Kesehatan Masyarakat dalam Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini tidak dapat terlaksana

dengan baik tanpa adanya bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I yang

selama ini dengan penuh perhatian, kesabaran, dan ketelitian memberikan

bimbingan, arahan, dan petunjuk sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

3. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D. selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan

arahan kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


4. Destanul Aulia, S.K.M., M.B.A., M.Ec., Ph.D. selaku Sekretaris Program

Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

5. Dra. Nurmaini, M.K.M., Ph.D. dan Dr. Drs. Fikarwin Zuska selaku Dosen

Penguji yang telah memberikan masukan dan saran atas penyempurnaan tesis

ini.

6. Seluruh Dosen serta Staf Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan ilmu pengetahuan dan informasi yang sangat bermanfaat serta

menyediakan fasilitas selama penulis mengikuti pendidikan.

7. dr. H. Aminuddin selaku Direktur RSUD Kota Padangsidimpuan beserta

jajaran yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program

tugas belajar serta teman-teman RSUD Kota Padangsidimpuan yang turut

memberi motivasi selama penulis menjalani pendidikan

8. Teristimewa untuk orang tua (Alm. Firman Siregar dan Duma Sari Lubis)

yang telah mendidik dan senantiasa mendo’akan sehingga penulis sampai

ketahap ini serta bapak dan ibu mertua yang senantiasa memberikan do’a dan

dukungan kepada penulis.

9. Suami Irwan Syafriady, S.Sos. yang terus memberikan dukungan dan

perhatian, anak-anak tercinta Muhammad Hafiz Azhar dan Queena Azkadyna

yang selalu pengertian dan menjadi penyemangat penulis untuk

menyelesaikan pendidikan

Universitas Sumatera Utara


10. Adik-adik Sri Sartika Sari Dewi, Musliana Fitri, dan seluruh keluarga yang

telah membantu dan memberikan dukungan pada saat penelitian sehingga

penulis dapat menyelesaikan tesis ini

11. Teman-teman di S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara, teman-teman Peminatan Kesehatan

Reproduksi, teman-teman kelas B angkatan 2017, dan teman-teman kelas

kualitatif yang telah memberi masukan dan saran untuk kesempurnaan tesis

ini.

12. Masyarakat Desa Manunggang Jae yang telah menerima dan bekerjasama

dengan baik selama proses penelitian.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu

penulis dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan.

Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun

dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan tesis ini. Akhir kata, penulis

berharap tesis ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan bermanfaat bagi

pembaca.

Medan, Agustus 2019

Rosmala Dewi

Universitas Sumatera Utara


Daftar Isi

Halaman

Halaman Persetujuan i
Halaman Penetapan Tim Penguji ii
Halaman Pernyataan Keaslian Tesis iii
Abstrak iv
Abstract v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi ix
Daftar Tabel xi
Daftar Gambar xii
Daftar Lampiran xiii
Daftar Istilah xiv
Riwayat Hidup xvi

Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 8
Tujuan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 8

Tinjauan Pustaka 10
Tradisi 10
Definisi tradisi 10
Lahirnya tradisi dalam masyarakat 12
Fungsi tradisi 13
Hubungan budaya dengan kesehatan 14
Pembakaran Biomassa 16
Senyawa kimia hasil pembakaran biomassa 17
Dampak senyawa kimia terhadap kesehatan 18
Kesehatan Ibu dan Bayi 20
Kesehatan ibu 20
Kesehatan bayi 25
Determinan Kesehatan Ditinjau dari Aspek Sosial Budaya 29
Studi Fenomenologi 31
Definisi fenomenologi 31
Jenis fenomenologi 31
Landasan Teori 33
Kerangka Pikir 40

Universitas Sumatera Utara


Metode Penelitian 42
Jenis Penelitian 42
Lokasi dan Waktu Penelitian 42
Informan Penelitian 42
Definisi Konsep 43
Metode Pengumpulan Data 43
Metode Analisis Data 43

Hasil dan Pembahasan 46


Gambaran Umum Lokasi Penelitian 46
Karakteristik Informan 48
Mempersiapkan Bahan-bahan Marapi 50
Bahan marapi 50
Bahan manjonjongi api 57
Bahan untuk mengusir roh halus 63
Alasan Mempertahankan Tradisi Marapi 70
Tradisi turun-temurun 71
Anjuran keluarga 72
Pengalaman Ibu selama Melakukan Tradisi Marapi 77
Merasa sehat 78
Badan lebih segar 80
Badan terasa ringan 82
Berkeringat 83
Tidak mudah kedinginan 86
Badan tidak pegal-pegal 88
Kesehatan Ibu dan Bayi selama Melakukan Marapi 97
Kesehatan ibu 96
Kesehatan bayi 103
Implikasi Penelitian 107
Keterbatasan Penelitian 109

Kesimpulan dan Saran 111


Kesimpulan 111
Saran 112

Daftar Pustaka 113


Lampiran 119

Universitas Sumatera Utara


Daftar Tabel

No Judul Halaman

1 Karakteristik Informan 48

2 Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan 49

Universitas Sumatera Utara


Daftar Gambar

No Judul Halaman

1 Landasan teori 39

2 Kerangka pikir penelitian 41

3 Peta Kota Padangsidimpuan 46

4 Mempersiapkan bahan-bahan marapi 50

5 Arang dari kayu bakar (sebelah kiri) dan arang dari tempurung
kelapa (sebelah kanan) 54

6 Daun cengkeh/syzygium aromaticum, syn. eugenia aromaticum


(kiri atas), daun kayu manis/cinnamomum verum, sin. c. zeylanicum
(tengah atas), daun nilam/pogostemon cablin (kanan atas), daun
tindo tasik/clerodendrum serratum (kiri bawah) dan daun
jeruk/citrus hystrix (kanan bawah) 59

7 Perapian untuk marapi (kiri), perapian untuk manjonjongi api


(kanan) 63

8 Salimbatuk/acorus calamus l. acoraceae (kiri), unik bulle/zingiber


montanum (tengah), dan bawang putih/allium sativum (kanan) 66

9 Salimbatuk (jeringau), unik bulle (bangle), dan bawang putih yang


disematkan pada topi bayi 66

10 Damuan 67

11 Alasan mempertahankan tradisi marapi 68

12 Wawancara dengan informan 73

13 Wawancara dengan informan dan ibu mertua 75

14 Pengalaman ibu selama melakukan tradisi marapi 76

15 Ibu dan bayi sedang melakukan marapi 77

16 Wawancara dengan salah satu informan 81

17 Salai 92

Universitas Sumatera Utara


18 Kesehatan ibu dan bayi selama melakukan marapi 95

19 Informan sedang melakukan manjonjongi api 99

20 Perapian yang digunakan untuk manjonjongi api 99

21 Rumah informan 100

22 Kamar tempat informan melakukan marapi 101

23 Kondisi langit-langit kamar tempat melakukan marapi 101

24 Kondisi fisik rumah informan 101

25 Ibu mengikutsertakan bayi dalam merapi 104

26 Skema hasil penelitian 110

Universitas Sumatera Utara


Daftar Lampiran

Lampiran Judul Halaman

1 Surat Permohonan Izin Penelitian 119

2 Surat Telah Selesai Melakukan Penelitian 120

3 Surat Persetujuan Komisi Etik 121

4 Lembar Penjelasan kepada Informan 122

5 Lembar Persetujuan Informan 123

6 Pedoman Wawancara 124

Universitas Sumatera Utara


Daftar Istilah

AKB Angka Kematian Bayi


AKI Angka Kematian Ibu
Biomassa Bahan biologis yang hidup atau baru mati yang dapat
digunakan sebagai sumber bahan bakar
Damuan Kain yang dijalin dan digunakan untuk mengusir roh halus
saat ibu melakukan marapi
Dehidrasi Kondisi ketika tubuh kehilangan lebih banyak cairan
daripada yang didapatkan, sehingga keseimbangan zat gula
dan garam menjadi terganggu, akibatnya tubuh tidak dapat
berfungsi secara normal
Madeung/sale Tradisi masa nifas di Kabupaten Aceh Utara yang dilakukan
dengan meletakkan arang panas dibawah tempat tidur ibu
Manjonjongi api Berdiri di atas perapian dengan kedua kaki terbuka
Mararang Tradisi mengasapkan ibu dan bayi yang baru lahir di
Kabupaten Toba Samosir
NMVOCs Non-Metana Volatile Organic Compounds
NO Nitrogen Monoksida
NO2 Nitrogen Dioksida
NOx Nitrogen Oksida
O3 Ozon
PAH Polyaromatik Hidrokarbon
PAN Peroxy Acetyl Nitrates
Pirarai Panggang
PM Particulate Matter
Posoropu Tradisi masa nifas di Kabupaten Buton Utara yang terdiri
dari mandi air panas, sauna, ikat perut dan meminum
ramuan, yang dilakukan selama 40 hari
Ruam kulit Perubahan pada kulit berupa noda kemerahan, bintil, atau
luka lepuh akibat iritasi atau peradangan
Salimbatuk Jeringau
SO2 Sulfur Dioksida
SOx Sulfur Oksida
Tatobi Kompres Panas
Tradisi marapi Tradisi mengasapkan atau memanaskan ibu yang baru
melahirkan bersama bayinya selama 40 hari di Kota
Padangsidimpuan
Tradisi Se’i Tradisi mengasapkan atau memanaskan ibu yang baru
melahirkan bersama bayinya selama 40 hari di Nusa
Tenggara Timur
Unik bulle Bangle
WHO World Health Organization

Universitas Sumatera Utara


Riwayat Hidup

Penulis bernama Rosmala Dewi berumur 35 tahun dilahirkan di Sidangkal

pada tanggal 26 Agustus 1984 beragama Islam. Penulis merupakan anak ketiga

dari pasangan alm. Firman Siregar dan Duma Sari Lubis. Penulis menikah dengan

Irwan Syafriady dan memiliki dua orang anak bernama Muhammad Hafiz Azhar

dan Queena Azkadyna.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di SD Negeri 142443

Sidangkal dan lulus pada Tahun 1996, SMP Negeri 2 Padangsidimpuan dan lulus

pada Tahun 1999, SMA Negeri 2 Padangsidimpuan dan lulus pada Tahun 2002.

Penulis melanjutkan kuliah di Akademi Kebidanan Politeknik Kesehatan Medan

dan lulus pada Tahun 2005, dan melanjutkan kuliah di Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan dan lulus pada Tahun 2013. Pada

Tahun 2017, penulis melanjutkan kuliah di Peminatan Kesehatan Reproduksi

Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

Penulis mulai bekerja pada Tahun 2006 sebagai bidan di RSUD Kota

Padangsidimpuan, kemudian pada Tahun 2013 penulis bekerja sebagai pelaksana

perencanaan di RSUD Kota Padangsidimpuan sampai sekarang.

Medan, Agustus 2019

Rosmala Dewi

Universitas Sumatera Utara


Pendahuluan

Latar Belakang

Angka kematian ibu (AKI) di dunia masih tinggi. Tahun 2017, sekitar

295.000 wanita meninggal selama masa kehamilan, persalinan dan nifas. Setiap

hari, diperkirakan sekitar 810 wanita meninggal karena penyebab yang dapat

dicegah yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan dan nifas. Sembilan

puluh empat persen dari total kematian ibu terjadi di negara berkembang. Target

Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 untuk mengurangi angka

kematian ibu hingga tiga perempat dari tahun 1990 hingga tahun 2015 belum

tercapai. Setelah 2015, WHO berkomitmen untuk mendukung percepatan

penurunan kematian ibu pada tahun 2030, sebagai bagian dari agenda Sustainable

Development Goals (SDGs) (WHO, 2019).

Angka kematian ibu di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran

hidup, angka kematian bayi (AKB) sebesar 24 per 1000 kelahiran hidup dan

angka kematian neonatal (AKN) 15 per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2017).

Target dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang diadopsi dari target SDG’s,

pada tahun 2030 AKI Indonesia mencapai 70 per 100.000 kelahiran hidup. AKB

menjadi 25 per 1000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Neonatus (AKN)

menjadi 12 per 1000 kelahiran hidup. Diproyeksikan jika tidak ada terobosan baru

pada tahun 2030 AKI Indonesia masih mencapai 212 per 100.000 kelahiran hidup,

dan AKN masih 18 per 1000 kelahiran hidup (Akademi Ilmu Pengetahuan

Indonesia, 2018).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan laporan profil kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2017,

AKI di Provinsi Sumatera Utara sebesar 205 per 100.000 kelahiran hidup dan

AKB sebesar 13,4 per 1000 kelahiran hidup. AKI di Kota Padangsidimpuan pada

tahun 2017 sebesar 214 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 18 per

1000 kelahiran hidup. Jumlah kematian ibu hamil sebanyak satu orang, kematian

ibu bersalin sebanyak empat orang dan kematian ibu nifas sebanyak tiga orang.

Data Puskesmas Labuhan Rasoki pada tahun 2017 menunjukkan jumlah ibu hamil

sebanyak 139 orang, jumlah ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan

sebanyak 75 orang dan ibu yang mendapat pelayanan nifas sebanyak 68 orang.

Tingginya angka kematian ibu di Indonesia berkaitan erat dengan faktor

sosial budaya masyarakat seperti tingkat pendidikan penduduk, khususnya wanita

dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum memadai, tingkat

kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan

yang masih rendah dan jauhnya lokasi tempat pelayanan kesehatan dari rumah-

rumah penduduk, serta kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat dan perilaku

masyarakat yang kurang menunjang dan sebagainya. Latar belakang budaya

memengaruhi keyakinan, nilai, kebiasaan individu, dan cara pelaksanaan

kesehatan pribadi (Noorkasiani et al., 2012).

Kekayaan budaya dari berbagai suku bangsa yang tersebar diseluruh

Indonesia telah mewarnai berbagai upaya di bidang kesehatan. Disadari atau

tidak, faktor-faktor kepercayaan dan konsepsi-konsepsi budaya termasuk di

dalamnya pengetahuan tradisional mendasari sikap dan perilaku masyarakat

kaitannya dengan perawatan kehamilan, persalinan dan nifas serta perawatan bayi

Universitas Sumatera Utara


baru lahir. Pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai

pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit,

kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun

negatif terhadap kesehatan ibu dan anak (Manalu et al., 2012).

Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Setiap daerah atau

kelompok masyarakat mempunyai corak dan budaya masing-masing yang

memperlihatkan ciri khasnya. Tradisi maupun adat istiadat dari suatu daerah,

termasuk dalam bidang kesehatan sampai saat ini masih banyak yang diterapkan

dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah tradisi yang berhubungan

dengan kehamilan, persalinan, masa nifas dan perawatan bayi baru lahir.

Kelompok masyarakat yang masih mempertahankan budaya lokal dalam praktik

perawatan kehamilan, persalinan dan nifas masih terdapat di beberapa wilayah di

Indonesia, diantaranya tradisi posoropu yang dilakukan oleh ibu nifas di Buton

Utara, tradisi madeung/sale yang dilakukan di Aceh Utara, dan tradisi se’i di Nusa

Tenggara Timur.

Tradisi se’i adalah salah satu contoh tradisi yang telah dilakukan secara

turun temurun dan masih dilestarikan sampai sekarang. Tradisi se’i adalah tradisi

mengasapkan ibu yang baru melahirkan bersama bayinya selama 40 hari.

Perawatan nifas dengan cara menghangatkan tubuh ini memiliki dampak bagi ibu

dan bayi karena ibu dan bayi terpapar dengan asap yang dihasilkan dari

pembakaran arang tersebut. Penelitian tentang budaya se’i di Nusa Tenggara

Timur menunjukkan bahwa terdapat 37,4 persen ibu dan 43,3 persen bayi

yang mengalami gangguan pernafasan yang disebabkan oleh kelembaban

Universitas Sumatera Utara


udara, laju ventilasi, pencahayaan, kandungan debu yang telah melampaui

batas kadar yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan (Anwar &

Soerachman, 2014).

Tradisi serupa juga terdapat di daerah lain yaitu di Kabupaten Toba

Samosir yang lebih dikenal dengan istilah mararang. Mararang dilakukan setelah

ibu dan bayi dibersihkan dari darah sehabis bersalin. Tradisi ini biasanya

dilakukan selama 40 hari. Tradisi mararang yaitu membakar kayu atau arang

sampai menjadi bara kemudian diletakkan di samping atau dibawah tempat tidur

ibu dan bayinya. Tradisi ini dilakukan untuk memberikan rasa hangat pada ibu dan

bayi serta membantu proses pembersihan darah kotor ibu nifas dan juga

mempercepat pemulihan kesehatan ibu. Pada saat melakukan tradisi mararang,

ibu sering berkeringat begitu juga dengan bayinya. Sebagian bayi ada yang

mengalami ruam di kulit akibat dari suhu ruangan yang terlalu panas (Sitorus,

2017).

Kota Padangsidimpuan juga memiliki tradisi pasca melahirkan yang

disebut dengan “marapi”. Tradisi marapi adalah tradisi mengasapkan atau

memanaskan ibu yang baru melahirkan bersama bayinya selama 40 hari. Tradisi

marapi sudah dilakukan oleh masyarakat di Kota Padangsidimpuan secara turun-

temurun dan masih dipertahankan sampai sekarang. Seiring dengan perkembangan

zaman, masyarakat di Kota Padangsidimpuan sudah banyak yang meninggalkan

tradisi tersebut, hanya beberapa desa saja yang masih mempertahankan tradisi

marapi, salah satunya adalah masyarakat di Desa Manunggang Jae.

Peneliti melakukan penelitian pendahuluan pada sembilan orang ibu di

Desa Manunggang Jae, diketahui bahwa mayoritas ibu nifas di Desa Manunggang

Universitas Sumatera Utara


Jae selalu melakukan marapi setelah proses persalinan selesai. Ibu meyakini

bahwa dengan melakukan marapi dapat mempercepat penyembuhan luka yang

terjadi pada saat persalinan, membuat ibu menjadi lebih kuat, agar ibu tidak sering

merasa kedinginan setelah selesai masa nifas, serta dapat memberikan rasa hangat

kepada ibu dan bayi. Beberapa ibu mengatakan bahwa mereka melakukan marapi

karena marapi sudah dilakukan sejak dulu dan mereka ingin mengikuti kebiasaan

dari para orang tua. Seorang ibu yang sedang hamil anak pertama juga

mengatakan akan melakukan marapi setelah selesai melahirkan. Hasil wawancara

dengan tenaga kesehatan didapatkan bahwa jumlah ibu bersalin pada tahun 2018

sebanyak 17 orang. Lima belas orang melakukan tradisi marapi, dua orang tidak

melakukan marapi dengan alasan proses persalinannya dilakukan dengan sectio

cesarea.

Selama melakukan marapi, ibu dan bayi akan menghirup udara yang

tercemar karena bahan bakar yang digunakan untuk marapi adalah bahan bakar

biomassa (arang, kayu bakar, daun jeruk dan daun cengkeh). Hasil pembakaran

tidak sempurna bahan bakar biomassa menghasilkan berbagai macam zat perusak

kesehatan seperti: partikel halus (PM2.5) atau partikel kecil (PM10), ozon (O3),

oksida nitrogen (NOx), karbon monoksida (CO), hidrokarbon polyaromatik

(PAH), senyawa organik non-metana yang mudah menguap (NMVOCs) dan

sulfur dioksida (SO2). Pajanan bahan-bahan pencemar hasil pembakaran

biomassa tersebut dapat berdampak buruk terhadap kesehatan. Dampak yang

ditimbulkan cukup beragam mulai dari yang bersifat alergi, iritan, sampai

karsinogenik dan mutagenik. Paparan polusi udara dalam ruangan dapat

Universitas Sumatera Utara


menyebabkan dampak kesehatan yang merugikan pada anak-anak dan orang

dewasa, dari penyakit pernafasan sampai kanker (WHO, 2018).

Penelitian yang dilakukan oleh Sitorus (2017) menyebutkan bahwa tradisi

mararang dipercaya sebagai perawatan pasca melahirkan yang memberikan

manfaat bagi kesehatan, ibu nifas merasa cepat pulih dari sakit pasca melahirkan,

tulang punggung kembali kuat, badan hangat dan berkeringat dan memperlancar

pengeluaran darah nifas. Informan mengetahui asap dari mararang berbahaya

untuk pernafasan ibu dan bayi. Menurut para orangtua tradisi mararang ini harus

dilakukan oleh ibu nifas sehingga membuat ibu nifas semakin yakin melakukan

tradisi mararang. Tradisi mararang masih sulit ditinggalkan, masyarakat belum

memahami tradisi mararang dapat menggangu kesehatan ibu dan bayi. Tenaga

kesehatan belum melakukan upaya maksimal dalam memberikan informasi

tentang risiko dan dampak tradisi mararang bagi kesehatan ibu dan bayi.

Tradisi mararang yang diyakini dapat membantu memulihkan kesehatan

ibu dan bayi ternyata dapat menimbulkan malapetaka, seperti kejadian yang

terjadi di daerah Dolok Sanggul. Seorang ibu bernama Rosida boru Ambarita dan

bayi perempuannya Butet boru Manullang yang baru berusia dua hari diduga

meninggal karena keracunan asap arang dari perapian. Berdasarkan informasi dari

salah seorang warga, asap arang biasa digunakan dalam adat mereka untuk

menghangatkan tubuh ibu yang baru melahirkan beserta bayinya. Namun diduga

ibu dan bayinya tersebut meninggal karena keracunan asap arang, karena asap dari

pembakaran arang yang tidak sempurna dapat menyebabkan kurangnya oksigen.

Keadaan ini diperparah dengan kurangnya ventilasi di dalam rumah, diduga

kamar dalam keadaan tertutup sehingga mereka tidur lemas dan akhirnya

Universitas Sumatera Utara


meninggal karena kekurangan oksigen. Bagi warga di Tapanuli, Samosir dan

Karo, tradisi membuat perapian buat ibu bersalin adalah hal biasa, namun jarang

ada yang sampai merenggut jiwa (Turnip, 2017).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Neno (2016) di Kabupaten Timor

Tengah Selatan ditemukan delapan tema, yaitu ibu-ibu postpartum merasa bahwa

tradisi yang dilakukan sangat membantu dalam proses pemulihan, ibu-ibu post

partum merasa berkewajiban melakukan tradisi se’i dan tatobi, orang tua sebagai

key person dalam pengambilan keputusan, tenaga kesehatan menyetujui sebagian

tradisi yang tidak membahayakan kesehatan, sebagian besar tenaga kesehatan

yang sudah menikah pernah melakukan tradisi se’i dan tatobi. Sebagian besar

program puskesmas yang berjalan efektif berupa penyuluhan dan sosialisasi,

hambatan terbesar tenaga kesehatan adalah tradisi dan pemikiran masyarakat yang

sulit diubah, tenaga kesehatan berusaha mengubah pemikiran masyarakat terhadap

tradisi secara perlahan.

Sebagian masyarakat sudah mengetahui bahwa tradisi marapi dapat

menimbulkan risiko kesehatan terhadap ibu dan bayi. Ibu nifas tetap melakukan

tradisi marapi atas anjuran keluarga maupun atas keinginannya sendiri karena

mereka meyakini tradisi marapi dapat membantu proses pemulihan mereka

setelah melahirkan. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk

mengeksplorasi praktik tradisi marapi dan mengaitkannya dengan risiko

kesehatan yang terjadi pada ibu dan bayi. Penelitian terhadap tradisi marapi dan

hubungannya dengan kesehatan ibu dan bayi perlu dilakukan kerena belum ada

penelitian yang sama sebelumnya. Selain itu melalui desain kualitatif akan

memperoleh berbagai informasi baru yang lebih banyak dan mendalam terkait

Universitas Sumatera Utara


fenomena tradisi marapi dan hubungannya dengan kesehatan ibu dan bayi yang

belum tentu dapat diperoleh melalui desain kuantitatif.

Perumusan Masalah

Masalah kesehatan ibu dan anak tidak terlepas dari faktor budaya yang ada

di masyarakat. Salah satu contoh budaya yang berhubungan dengan kesehatan ibu

dan anak adalah tradisi marapi. Tradisi marapi adalah tradisi mengasapkan atau

memanaskan ibu yang baru melahirkan bersama bayinya selama 40 hari. Tradisi

marapi dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan ibu maupun bayinya. Ibu

nifas tetap melakukan tradisi marapi atas anjuran keluarga maupun atas

keinginannya sendiri karena mereka meyakini tradisi marapi dapat membantu

mempercepat proses pemulihan mereka setelah melahirkan. Berdasarkan uraian di

atas maka perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana praktik tradisi

marapi dilakukan dan hubungannya dengan kesehatan ibu dan bayi di Desa

Manunggang Jae.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi praktik tradisi marapi

dan hubungannya dengan kesehatan ibu dan bayi di Desa Manunggang Jae.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak

yang membutuhkan, baik secara teoritis maupun praktis, diantaranya:

Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan

informasi dan pemahaman bahwa derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh

determinan sosial di antaranya adalah tradisi. Perilaku masyarakat dalam

Universitas Sumatera Utara


memelihara dan menjaga kesehatan sangat dipengaruhi oleh tradisi dan kebiasaan

yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satu upaya untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat adalah dengan mengenali dan memahami tradisi.

Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

bahan masukan untuk Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan dalam

merumuskan rencana intervensi untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian

ibu dan bayi akibat tradisi marapi. Memberikan informasi bagi tenaga kesehatan

di puskesmas maupun di desa dalam melakukan pendekatan untuk mengedukasi

masyarakat khususnya ibu nifas tentang risiko kesehatan yang terjadi pada ibu dan

bayi yang melakukan tradisi marapi.

Universitas Sumatera Utara


Tinjauan Pustaka

Tradisi

Definisi tradisi. Tradisi dalam kamus antropologi sama dengan adat

istiadat yakni kebiasaan-kebiasaan yang bersifat magis-religius dari kehidupan

suatu penduduk asli yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan

aturan-aturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem atau

peraturan yang sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari

suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan sosial. Tradisi dalam kamus sosiologi,

diartikan sebagai adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun dapat

dipelihara. Tradisi adalah segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari

masa lalu kemasa kini. Tradisi dalam pengertian yang lebih sempit hanya berarti

bagian-bagian warisan sosial khusus yang memenuhi syarat saja yakni yang tetap

bertahan hidup di masa kini (Sztompka, 2017).

Tradisi adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia secara turun

temurun dari setiap aspek kehidupannya yang merupakan upaya untuk

meringankan hidup manusia. Secara khusus tradisi oleh C.A. van Peursen

diterjemahkan sebagai proses pewarisan atau penerusan norma-norma, adat

istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tradisi dapat diubah, diangkat, ditolak dan

dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia (Peursen, 1988).

Tradisi adalah suatu warisan berwujud budaya dari nenek moyang, yang

telah menjalani waktu ratusan tahun dan tetap dituruti oleh mereka-mereka yang

lahir belakangan. Tradisi diikuti karena dianggap akan memberikan semacam

pedoman hidup bagi mereka, tradisi itu dinilai sangat baik oleh mereka yang

Universitas Sumatera Utara


memilikinya, bahkan dianggap tidak dapat diubah atau ditinggalkan oleh mereka

(Simanjuntak, 2016).

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka tradisi merupakan adat

istiadat atau kebiasaan yang dianggap memberikan pedoman hidup dan dinilai

memberikan dampak positif yang masih dijalankan dan diwariskan kepada

generasi selanjutnya secara turun-temurun serta dijaga dan dilestarikan

keberadaannya. Tradisi dapat diubah, diangkat, ditolak dan dipadukan dengan

aneka ragam perbuatan manusia.

Masyarakat merupakan sekelompok orang yang memiliki kesamaan

budaya, wilayah identitas, dan berinteraksi dalam suatu hubungan sosial yang

terstruktur. Masyarakat mewariskan masa lalunya melalui; 1) tradisi dan adat

istiadat (nilai, norma yang mengatur perilaku dan hubungan antar individu dalam

kelompok). Adat istiadat yang berkembang di suatu masyarakat harus dipatuhi

oleh anggota masyarakat di daerah tersebut. Adat istiadat sebagai sarana

mewariskan masa lalu terkadang yang disampaikan tidak sama persis dengan yang

terjadi di masa lalu tetapi mengalami berbagai perubahan sesuai perkembangan

zaman. Masa lalu sebagai dasar untuk terus dikembangkan dan diperbaharui; 2)

nasehat dari para leluhur, dilestarikan dengan cara menjaga nasehat tersebut

melalui ingatan kolektif anggota masyarakat dan kemudian disampaikan secara

lisan turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya; 3) peranan orang

yang dituakan (pemimpin kelompok yang memiliki kemampuan lebih dalam

menaklukkan alam) dalam masyarakat. Sebagai contoh adanya keyakinan bahwa

roh-roh harus dijaga, disembah, dan diberikan apa yang disukainya dalam bentuk

Universitas Sumatera Utara


sesaji. Pemimpin kelompok menyampaikan secara lisan sebuah ajaran yang harus

ditaati oleh anggota kelompoknya; 4) membuat suatu peringatan kepada semua

anggota kelompok masyarakat berupa lukisan serta perkakas sebagai alat bantu

hidup serta bangunan tugu atau makam. Semuanya itu dapat diwariskan kepada

generasi selanjutnya hanya dengan melihatnya. Contohnya benda-benda (kapak

lonjong) dan berbagai peninggalan manusia purba dapat menggambarkan keadaan

zaman masyarakat penggunanya; 5) kepercayaan terhadap roh-roh serta arwah

nenek moyang dapat termasuk sejarah lisan sebab meninggalkan bukti sejarah

berupa benda-benda dan bangunan yang mereka buat. Menurut arti yang lebih

lengkap bahwa tradisi mencakup kelangsungan masa lalu dimasa kini ketimbang

sekedar menunjukan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu (Sztompka,

2017).

Lahirnya tradisi dalam masyarakat. Tradisi lahir disaat tertentu ketika

orang menetapkan fragmen tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi. Tradisi

berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu

dan mengabaikan fragmen yang lain. Tradisi bertahan dalam jangka waktu

tertentu dan mungkin lenyap bila benda material dibuang dan gagasan ditolak atau

dilupakan. Tradisi mungkin pula hidup dan muncul kembali setelah lama

terpendam.

Tradisi lahir melalui dua cara, yaitu: pertama, muncul dari bawah melalui

mekanisme kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan

rakyat banyak. Karena sesuatu alasan, individu tertentu menemukan warisan

historis yang menarik perhatian, kecintaan dan kekaguman yang kemudian

Universitas Sumatera Utara


disebarkan melalui berbagai cara memengaruhi rakyat banyak. Sikap-sikap

tersebut berubah menjadi perilaku dalam bentuk upacara, penelitian dan

pemugaran peninggalan purbakala serta menafsir ulang keyakinan lama. Kedua,

muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang dianggap tradisi

dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan oleh individu yang

berpengaruh atau berkuasa. Dua jalan kelahiran tradisi tersebut tidak membedakan

kadarnya. Perbedaannya terdapat antara “tradisi asli”, yakni yang sudah ada di

masa lalu. Tradisi buatan mungkin lahir ketika orang memahami impian masa lalu

dan mampu menularkan impian itu kepada orang banyak. Lebih sering tradisi

buatan ini dipaksakan dari atas oleh penguasa untuk mencapai tujuan politik

mereka. Begitu terbentuk, tradisi mengalami berbagai perubahan. Perubahan

kuantitatifnya terlihat dalam jumlah penganut atau pendukungnya. Arah

perubahan lain adalah arahan perubahan kualitatif yakni perubahan kadar tradisi.

Gagasan, simbol dan nilai tertentu ditambahkan dan yang lainnya dibuang.

Perubahan tradisi juga disebabkan banyaknya tradisi dan bentrokan antara tradisi

yang satu dengan saingannya (Shils, 1981).

Fungsi tradisi. Menurut Shils (1981) bahwa manusia tak mampu hidup

tanpa tradisi meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka. Suatu

tradisi itu memiliki fungsi bagi masyarakat antara lain; 1) dalam bahasa klise

dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun-temurun. Tempatnya di dalam

kesadaran, keyakinan norma dan nilai yang kita anut kini serta di dalam benda

yang diciptakan di masa lalu. Tradisi pun menyediakan fragmen warisan historis

yang kita pandang bermanfaat. Tradisi seperti onggokan dan material yang dapat

digunakan orang dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan; 2)

Universitas Sumatera Utara


memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata dan aturan

yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan pembenaran agar dapat mengikat

anggotanya. Salah satu sumber legitimasi terdapat dalam tradisi. Biasa dikatakan:

“selalu seperti itu” atau “orang selalu mempunyai keyakinan demikian” meski

dengan resiko yang paradoksal yakni bahwa tindakan tertentu hanya akan

dilakukan karena orang lain melakukan hal yang sama di masa lalu atau

keyakinan tertentu diterima semata-mata karena mereka telah menerima

sebelumnya; 3) menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan,

memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok.

Tradisi daerah, kota dan komunitas lokal sama perannya yakni mengikat warga

atau anggotanya dalam bidang tertentu; 4) membantu menyediakan tempat

pelarian dari keluhan, kekecewaan dan ketidakpuasan kehidupan modern. Tradisi

yang mengesankan masa lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti

kebanggaan bila masyarakat berada dalam krisis.

Hubungan budaya dengan kesehatan. Kebudayaan sangat erat

hubungannya dengan masyarakat. Kebudayaan akan memengaruhi tingkat

pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran

manusia sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh

manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang

bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi

sosial, religi, seni dan lain-lain yang kesemuanya ditujukan untuk membantu

manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Universitas Sumatera Utara


Mengacu pada esensi budaya, nilai budaya sehat merupakan bagian yang

tak terpisahkan akan keberadaannya sebagai upaya mewujudkan hidup sehat dan

merupakan bagian budaya yang ditemukan secara universal. Melalui budaya pula,

hidup sehat dapat ditelusuri, yaitu melalui komponen pemahaman tentang sehat,

sakit, derita akibat penyakit, cacat dan kematian, nilai yang dilaksanakan dan

diyakini di masyarakat serta kebudayaan dan teknologi yang berkembang di

masyarakat.

Pemahaman terhadap keadaan sehat dan keadaan sakit tentunya berbeda di

setiap masyarakat tergantung dari kebudayaan yang mereka miliki. Pada masa

lalu, ketika pengetahuan tentang kesehatan masih belum berkembang, kebudayaan

memaksa masyarakat untuk menempuh cara ‘trial and error’ guna

menyembuhkan segala jenis penyakit, meskipun risiko untuk mati masih terlalu

besar untuk pasien. Kemudian perpaduan antara pengalaman empiris dengan

konsep kesehatan ditambah juga dengan konsep budaya dalam hal kepercayaan

merupakan konsep sehat tradisional secara kuratif. Sebagai contoh pengaruh

kebudayaan terhadap masalah kesehatan adalah penggunaan kunyit sebagai obat

untuk menyembuhkan penyakit kuning (hepatitis) di kalangan masyarakat

Indonesia. Masyarakat menganggap bahwa warna penyakit pasti akan sesuai

dengan warna obat yang telah disediakan oleh alam. Hal itu menunjukkan bahwa

kebudayaan dan pengetahuan serta teknologi sangat berpengaruh terhadap

kesehatan (Jimung, 2017).

Etiologi penyakit. Menurut Foster dan Anderson (1986), penyebab

penyakit dibagi menjadi dua, yaitu: 1) sistem-sistem medis personalistik. Sistem

personalistik adalah suatu sistem dimana penyakit (illness) disebabkan oleh

Universitas Sumatera Utara


intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat berupa makhluk supranatural

(makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan manusia (seperti hantu, roh

leluhur, atau roh jahat) maupun makhluk manusia (tukang sihir atau tukang

tenung). Orang yang sakit adalah korbannya, objek dari agresi atau hukuman yang

ditujukan khusus kepadanya untuk alasan-alasan yang khusus menyangkut dirinya

saja; 2) sistem-sistem medis naturalistik. Penyakit (illness), dalam sistem

naturalistik dijelaskan dengan istilah-istilah sistemik yang bukan pribadi. Sistem-

sistem naturalistik, diatas segalanya mengakui adanya suatu model keseimbangan,

sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh, seperti panas, dingin,

cairan tubuh (humor atau dosha), yin dan yang, berada dalam keadaan seimbang

menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan

sosialnya. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka hasilnya adalah timbulnya

penyakit.

Pembakaran Biomassa

Pembakaran merupakan suatu reaksi kimia cepat antara oksigen dan bahan

bakar pada suhu tertentu, yang disertai pelepasan kalor. Berdasarkan kondisinya,

pembakaran dibagi menjadi tiga, yaitu: pembakaran spontan, pembakaran

sempurna dan pembakaran parsial. Sebelum proses pembakaran berlangsung,

bahan bakar terlebih dahulu dinaikkan suhunya hingga titik bakarnya tercapai

(flash point). Pembakaran biomassa pada umumnya melepaskan sekitar 80%

energi dalam bentuk gas dan kemudian sisanya dalam bentuk karbon. Sehingga

pada proses pembakaran kebutuhan oksigen perlu dijaga agar menghasilkan

pembakaran secara cepat dan mendekati sempurna (Wardhana, 2014).

Universitas Sumatera Utara


Senyawa kimia hasil pembakaran biomassa. Senyawa kimia yang

dihasilkan dari pembakaran biomassa yaitu: partikel halus (PM2.5) atau partikel

kecil (PM10), ozon (O3), oksida nitrogen (NOx), karbon monoksida (CO),

hidrokarbon polyaromatik (PAH), senyawa organik non-metana volatile organic

compounds (NMVOCs) yang mudah menguap dan sulfur dioksida (SO2) (WHO,

2018).

Asap yang berasal dari pembakaran kayu dan bahan organik lain

mengandung campuran gas, partikel, dan bahan kimia akibat pembakaran yang

tidak sempurna. Komposisi asap dari pembakaran tersebut terdiri dari gas seperti

karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen oksida, ozon, sulfur dioksida dan

lainnya. Partikel yang timbul akibat pembakaran ini biasa disebut sebagai

particulate matter (PM). PM ada yang berukuran kurang dari 10µm dan ada juga

yang berukuran lebih dari 10 µm (Kementerian Kesehatan RI, 2015).

Bahan partikulat adalah bahan padat atau tetesan cairan dari asap, debu,

abu terbang atau uap yang dapat menyebabkan terbentuknya suspensi di udara

dalam waktu relatif lama. Secara kimia, bahan partikulat mempunyai ukuran

partikel antara 0,005 µm sampai ukuran kasar 50 sampai 100 µm. Bahan

partikulat berasal dari semua hasil pembakaran khususnya pembakaran tidak

sempurna seperti pembakaran kayu di tungku rumah tangga. Bahan partikulat

dapat juga menghasilkan senyawa kimia SO2 dan NO2 (Suharto, 2011).

Dampak senyawa kimia terhadap kesehatan. Asap dari pembakaran

kayu, arang dan bahan organik lain mengandung berbagai zat kimia yang bisa

mengganggu kesehatan, yakni partikel halus (particulate matter/PM) dan gas. Gas

karbon monoksida, sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan ozon merupakan gas

Universitas Sumatera Utara


yang paling dominan yang terdapat dalam kandungan asap. Secara umum bahan

pencemar senyawa kimia nitrogen oksida, sulfur dioksida, karbon

monoksida,ozon dan partikulat di udara menyebabkan gangguan kesehatan pada

manusia seperti luka mata dan luka saluran pernapasan.

Senyawa kimia NOx. Senyawa kimia NOx adalah senyawa kimia gas

hasil reaksi kimia antara nitrogen dan oksigen. Senyawa kimia gas NOx terdiri

atas NO, NO2, dan N2O yang mempunyai dampak negatif yang dapat

menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia seperti penyakit asma, bronchitis

kronis dan gangguan pernapasan. Sifat racun pada NO2 lebih berbahaya

dibandingkan senyawa NO. Organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran

NO2 adalah paru-paru. Paru-paru yang terkontaminasi gas NO2 akan membengkak

sehingga penderita sulit bernafas yang dapat mengakibatkan kematiannya.

Konsentrasi gas NO yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem syaraf

yang dapat mengakibatkan kejang-kejang. Bila keracunan ini terus berlanjut maka

akan menyebabkan kelumpuhan. Pencemaran udara oleh gas NOx juga dapat

menyebabkan timbulnya Peroxy Acetyl Nitrates yang biasanya disebut dengan

PAN. PAN ini menyebabkan iritasi pada mata yang menyebabkan mata terasa

pedih dan berair.

Senyawa kimia SOx. Udara yang tercemar SOx menyebabkan manusia

akan mengalami gangguan pada sistem pernafasannya. Hal ini karena gas SOx

yang mudah menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung,

tenggorokan, dan saluran pernafasan yang lain sampai ke paru-paru. Serangan gas

SOx tersebut menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena. Senyawa

Universitas Sumatera Utara


kimia sulfur dioksida atau SO2 dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan

bronchitis. Anak-anak dan manusia lanjut usia sangat sensitif terhadap SO2.

Senyawa kimia CO. Senyawa kimia gas CO dapat menyebabkan

gangguan kesehatan pada manusia seperti menurunnya transportasi oksigen dalam

darah manusia, pusing kepala, kelelahan yang berkepanjangan dan mundurnya

mental manusia serta dapat mematikan manusia. Gas CO apabila terhirup oleh

paru-paru akan ikut peredaran darah dan akan menghalangi masuknya oksigen

yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini terjadi karena gas CO bersifat racun

metabolis, ikut bereaksi secara metabolis dengan darah.

Senyawa kimia O3. Senyawa kimia O3 dapat menyebabkan gangguan

kesehatan pada manusia seperti batuk-batuk, sakit kepala, luka mata, luka saluran

pernapasan, asma dan bronchitis kronis (Wardhana, 2014).

Bahan partikulat. Bahan partikulat menyebabkan gangguan pernapasan,

gejala flu, asma dan penyakit jantung (Suharto, 2011). Partikel halus (PM2.5)

merupakan indikator kuat penyebab risiko kesehatan, karena mereka dapat

menembus jauh ke dalam paru-paru, memasuki aliran darah, dan melakukan

perjalanan ke organ (WHO, 2018).

Kesehatan Ibu dan Bayi

Kesehatan ibu dan bayi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

yang menjadi prioritas yang memerlukan penanganan yang lebih optimal.

Berbagai upaya kesehatan telah dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan

ibu maupun bayi. Upaya kesehatan ibu dan bayi adalah upaya di bidang kesehatan

yang menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas

dan bayi baru lahir.

Universitas Sumatera Utara


Kesehatan ibu. Kesehatan ibu mengacu pada kesehatan wanita selama

kehamilan, persalinan dan periode postpartum. Menjadi ibu seringkali merupakan

pengalaman yang positif dan memuaskan, tetapi untuk sebagian besar wanita hal

tersebut berhubungan dengan penderitaan, kesehatan yang buruk dan bahkan

kematian. Penyebab utama kematian ibu adalah penyebab langsung seperti

perdarahan, hipertensi, infeksi dan persalinan macet, sedangkan penyebab tidak

langsung seperti pendidikan dan sosial budaya. Hampir semua kematian ini terjadi

dalam lingkungan dengan sumber daya yang rendah, dan sebagian besar penyebab

tersebut bisa dicegah. Risiko seorang wanita di negara berkembang meninggal

karena sebab terkait ibu selama masa hidupnya adalah sekitar 33 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan seorang wanita yang tinggal di negara maju. Angka

kematian ibu adalah indikator kesehatan yang menunjukkan kesenjangan yang

sangat luas antara daerah perkotaan dan pedesaan, kaya dan miskin, baik antar

daerah di dalam suatu negara (WHO, 2018).

Masa nifas. Masa nifas (postpartum/puerperium) berasal dari bahasa

Latin yaitu dari kata “Puer” yang artinya bayi dan “Parous” yang berarti

melahirkan. Masa nifas dimulai setelah dua jam postpartum dan berakhir ketika

alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, biasanya berlangsung

selama enam minggu atau 42 hari, namun secara keseluruhan baik secara

fisiologis maupun psikologis akan pulih dalam waktu tiga bulan. Jika secara

fisiologis sudah terjadi perubahan pada bentuk semula (sebelum hamil), tetapi

secara psikologis masih terganggu maka dikatakan masa nifas tersebut belum

berjalan dengan normal atau sempurna (Nurjanah et al., 2013).

Universitas Sumatera Utara


Tujuan perawatan masa nifas. Perawatan masa nifas diperlukan karena

periode ini merupakan masa kritis bagi ibu maupun bayinya. Diperkirakan 60

persen kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan dan 50 persen

kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Masa neonatus merupakan

masa kritis bagi kehidupan bayi,dua per tiga kematian bayi terjadi dalam empat

minggu setelah persalinan dan 60 persen kematian bayi baru lahir terjadi dalam

waktu tujuh hari setelah lahir. Pemantauan melekat dan pemberian asuhan yang

tepat bagi ibu dan bayi pada masa nifas dapat mencegah kematian ibu dan bayi.

Tujuan umum perawatan masa nifas adalah membantu ibu dan

pasangannya selama masa transisi awal mengasuh anak. Sedangkan tujuan

khususnya adalah; 1) menjaga kesehatan ibu dan bayi baik fisik maupun

psikologisnya; 2) mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi

komplikasi pada ibu dan bayinya; 3) memberikan pendidikan kesehatan tentang

perawatan kesehatan diri, nutrisi, menyusui, keluarga berencana, perawatan bayi

sehat dan pemberian imunisasi; 4) memberikan pelayanan keluarga berencana

(Walyani & Purwoastuti, 2015).

Kebutuhan masa nifas. Kebutuhan ibu pada masa nifas meliputi

kebutuhan fisik, kebutuhan psikologis dan kebutuhan sosial. Kebutuhan fisik ibu

selama hamil umumnya menurun walaupun ibu tidak mengalami sakit. Untuk

memenuhi kebutuhan fisik (istirahat, makanan bergizi dan lingkungan bersih)

dilakukan pengawasan dan perawatan yang sempurna serta pengertian dari

keluarga. Kebutuhan psikologis merupakan kebutuhan ibu untuk dihargai dan

diperhatikan oleh keluarga, dan keluarga harus bersikap dan bertindak bijaksana

dan menunjukkan rasa simpati dan menghormati. Kebutuhan sosial ibu dipenuhi

Universitas Sumatera Utara


dengan memfasilitasi pasangan atau keluarga, mendampingi ibu bila murung,

menunjukkan rasa sayang pada bayi, memberi bantuan dan pelajaran yang

dibutuhkan untuk mengembalikan kesehatannya (Mubarak et al., 2013).

Aspek sosial budaya pada masa nifas. Kebudayaan maupun adat istiadat

dalam masyarakat Indonesia ada yang menguntungkan dan ada pula yang

merugikan bagi status kesehatan ibu hamil, ibu bersalin maupun ibu nifas.

Pengaruh sosial budaya pada ibu hamil, melahirkan dan nifas terlihat dengan

adanya upacara-upacara kehamilan tiga bulan, tujuh bulan, masa melahirkan dan

masa nifas. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan

dibeberapa wilayah juga masih rendah. Masyarakat masih percaya kepada dukun

karena kharismatik dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga masyarakat

lebih senang berobat dan meminta tolong kepada dukun. Mayoritas ibu hamil

yang tinggal di daerah pedesaan masih mempercayai dukun beranak untuk

menolong persalinan danpersalinan biasanya dilakukan di rumah.

Contoh aspek sosial budaya pada masa nifas yang ada di masyarakat dapat

dilihat pada masyarakat Bajo di Saloso Kabupaten Kendari, untuk keselamatan

perempuan nifas dan bayinya dilakukan upacara adat salussu. Upacara salussu ini

dilaksanakan dengan menyediakan daun pisang panjang sebanyak dua lembar,

yang masing-masing diisi dengan ketan putih dan hitam, tumpi-tumpi, yakni

sejenis ikan yang ditumbuk kemudian dibentuk bulat kecil sebanyak 40 buah.

Kemenyan, kelapa, dan bedak kuning senantiasa disajikan sebagai pelengkap

upacara. Upacara juga dilakukan dengan menambahkan dua buah cincin emas.

Apabila bayi yang lahir laki-laki, sajian ditambah lagi dengan dua ekor ayam

jantan, sedangkan jika bayi seorang perempuan disediakan dua ekor ayam betina.

Universitas Sumatera Utara


Hidangan yang dibuat dalam dua bagian tersebut dibagi dua, sebuah diberikan

kepada sandro (dukun yang bertugas sebagai pemimpin acara), sedangkan yang

lainnya ditujukan bagi keluarga sang bayi.

Contoh lain dapat dilihat pada masyarakat Aceh yang memiliki budaya

berbeda dalam melakukan perawatan masa nifas, selama masa nifas perempuan

pada masyarakat Aceh disuruh berbaring pada suatu pembaringan yang

ditinggikan yang dasarnya diberi batu bata panas. Kakinya terlentang dan

dirapatkan. Lengannya tidak boleh diangkat di atas kepala. Ibunya menjaganya,

seraya mengawasi supaya perempuan nifas tersebut tetap mengikuti petunjuk

mengenai posisi kaki dan cara berbaring. Posisi berbaring sesekali harus dirubah

supaya seluruh badan wanita dihangatkan. Penghangatan badan dimulai pada hari

sesudah melahirkan dan berlangsung sekurang-kurangnya 20 hari dan paling lama

44 hari. Ibu yang baru melahirkan mandinya dibatasi agar berkeringat, karena bila

ibu postpartum berkeringat dianggap baik untuk proses pengeringan luka-luka

jalan lahir. Perempuan nifas memiliki pantangan tidak diperbolehkan

meninggalkan rumah selama 44 hari pasca melahirkan (Syafrudin & Mariam,

2010).

Tradisi mararang yaitu membakar kayu atau arang sampai menjadi bara

kemudian diletakkan di samping atau dibawah tempat tidur ibu dan bayinya.

Mayoritas masyarakat melakukan tradisi mararang ini di dalam kamar dan di

bagian dapur rumah. Tradisi ini dilakukan untuk memberikan rasa hangat pada ibu

dan bayi serta membantu proses pembersihan darah kotor ibu nifas dan juga

mempercepat pemulihan kesehatan ibu. Pada saat melakukan tradisi mararang,

ibu sering berkeringat begitu juga dengan bayinya. Sebagian bayi ada yang

Universitas Sumatera Utara


mengalami ruam di kulit akibat dari suhu ruangan yang terlalu panas. (Sitorus,

2017).

Tradisi se’i dilakukan oleh masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tradisi se’i dilakukan ketika seorang ibu baru selesai melahirkan. Ibu dan bayinya

harus duduk dan tidur di atas tempat tidur dan di bawah kolong tempat tidur itu

terdapat bara api yang harus tetap menyala. Ibu postpartum akan memanaskan

bagian luar jalan lahir dengan asap dan mengkompres badan (tatobi) di dalam

rumah adat selama 40 hari. Penyediaan kayu bakar dilakukan oleh suami ibu

postpartum yang nantinya dipergunakan sebagai bara agar api tetap selalu menyala

dan mengeluarkan asap. Tradisi ini dilakukan agar badan ibu dan bayi cepat kuat

(Kinasih, 2016).

Tradisi se’i adalah tradisi mengasapkan ibu yang baru melahirkan bersama

bayinya selama 40 hari di Nusa Tenggara Timur. Selama 40 hari ibu dan bayinya

harus duduk atau tidur di atas bara api yang berasal dari pembakaran biomassa

(kayu) di dalam Rumah Bulat (Ume ‘Kbubu). Emisi dari pembakaran bahan bakar

biomassa dapat mencemari lingkungan rumah dan menimbulkan gangguan

kesehatan ibu maupun bayinya (Christiana et al., 2018).

Masyarakat setempat meyakini bahwa tradisi se’i dapat bermanfaat untuk

mempercepat pemulihan kesehatan ibu yang baru melahirkan serta dapat membuat

bayi yang baru lahir menjadi lebih kuat. Sebagian masyarakat percaya jika tidak

melakukan tradisi ini maka akan mendatangkan malapetaka, tetapi sebagian

lainnya hanya menganggap tradisi itu untuk membuat tubuh lebih kuat dan segar

(Anwar & Soerachman, 2014).

Universitas Sumatera Utara


Kesehatan bayi. Bayi yang baru lahir atau neonatus adalah anak di bawah

usia 28 hari. Selama 28 hari pertama kehidupan ini anak berisiko paling tinggi

untuk meninggal. Oleh karena itu, pemberian makan dan perawatan yang tepat

diberikan selama periode ini baik untuk meningkatkan peluang anak untuk

bertahan hidup maupun untuk meletakkan fondasi bagi kehidupan yang sehat

(WHO, 2018).

Setelah bayi dilahirkan, tubuh bayi baru lahir mengalami sejumlah

adaptasi psikologis. Bayi memerlukan pemantauan ketat untuk menentukan masa

transisi kehidupannya ke kehidupan luar uterus berlangsung baik. Penelitian

menunjukkan bahwa 50 persen kematian bayi terjadi dalam periode neonatus

yaitu dalam bulan pertama kehidupan. Kurang baiknya penanganan bayi baru

lahir yang sehat akan menyebabkan kelainan-kelainan yang mengakibatkan cacat

seumur hidup, bahkan kematian. Pencegahan merupakan hal terbaik yang harus

dilakukan dalam penanganan neonatus sehingga neonatus sebagai organisme yang

harus menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin dapat bertahan

dengan baik karena periode neonatus merupakan periode yang paling kritis dalam

fase pertumbuhan dan perkembangan bayi.

Bayi baru lahir akan beradaptasi dengan kehidupan di luar rahim terutama

dalam sistem pernafasan. Pernafasan pertama pada bayi normal terjadi dalam

waktu 30 menit pertama sesudah lahir. Usaha bayi pertama kali untuk

mempertahankan tekanan alveoli, selain adanya surfaktan yang dengan menarik

nafas dan mengeluarkan nafas dengan merintih sehingga udara tertahan di dalam.

Alveoli-alveoli pada bayi mengalami pertumbuhan hingga beberapa tahun.

Saluran nafas perifer masih membuka dan masih sempit. Membran mukosa

Universitas Sumatera Utara


mudah rusak dan sensitif terhadap trauma (mudah tersedak, tidak boleh ada asap

rokok dari orang lain) (Muslihatun, 2010).

Kebutuhan dasar bayi baru lahir. Bayi baru lahir memiliki kebutuhan

dasar sebagai berikut:

Adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan diluar uterus. Adaptasi

neonatal (bayi baru lahir) adalah proses penyesuaian fungsional neonatus dari

kehidupan di dalam uterus ke kehidupan di luar uterus. Kemampuan adaptasi

fisiologis ini disebut juga homeostatis. Bila terdapat gangguan adaptasi, maka

bayi akan sakit. Beberapa adaptasi bayi segera setelah lahir meliputi sistem

pernafasan, suhu tubuh, metabolisme, peredaran darah, keseimbangan air, fungsi

ginjal, traktus digestivus, dan lain-lain.

Pencegahan infeksi. Pencegahan infeksi merupakan penatalaksanaan awal

yang harus dilakukan pada bayi baru lahir karena bayi baru lahir sangat rentan

terhadap infeksi. Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi pada

bayi baru lahir adalah pencegahan infeksi pada tali pusat, pencegahan infeksi pada

kulit, pencegahan infeksi pada mata bayi baru lahir dan imunisasi.

Rawat gabung. Rawat gabung adalah satu cara perawatan ibu dan bayi

yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan ditempatkan dalam sebuah

ruang, kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh dalam seharinya

sehingga memungkinkan sewaktu-waktu atau setiap saat ibu tersebut dapat

menyusui bayinya. Rawat gabung memberikan manfaat fisik, psikologis, ekonomi

dan medis.

Pemberian minum. Bayi baru lahir membutuhkan lima sampai tujuh

mililiter atau satu sendok makan ASI sekali minum dan diberikan dengan jarak

Universitas Sumatera Utara


sekitar dua jam. Kebutuhan ASI memang baru sedikit, karena ukuran lambung

bayi pada usia ini hanya sebesar biji kemiri.

Kebutuhan buang air besar (BAB). Buang air besar bayi pada hari pertama

sampai hari ketiga disebut mekoneum yaitu feses berwarna kehitaman. Hari

ketiga sampai hari keenam adalah masa transisi, feses akan berwarna coklat

sampai kehijauan karena masih bercampur mekoneum, selanjutnya akan berwarna

kekuningan. Segera bersihkan bayi setiap selesai buang air besar agar tidak terjadi

iritasi di daerah genitalia.

Kebutuhan buang air kecil (BAK). Bayi baru lahir akan berkemih paling

lambat 12 sampai 24 jam pertama kelahirannya. Buang air kecil lebih dari delapan

kali sehari salah satu tanda bayi cukup nutrisi. Setiap habis buang air kecil segera

ganti popok supaya tidak terjadi iritasi di daerah genitalia.

Kebutuhan tidur. Bayi baru lahir rata-rata tidur selama 16 jam sehari

dalam dua minggu pertama kelahirannya. Umumnya bayi mulai mengenal malam

setelah usia tiga bulan. Jaga kehangatan bayi dengan suhu kamar yang hangat dan

dengan menyelimuti bayi.

Kebersihan kulit. Bayi sebaiknya dimandikan minimal enam jam setelah

kelahirannya, sebelum mandi sebaiknya lebih dahulu memeriksa suhu tubuh bayi.

Bayi yang mengalami hipotermi sebaiknya dilakukan skin to skin dan menutupi

bagian kepala bayi minimal satu jam. Mandikan bayi dua kali sehari dengan

menggunakan air hangat dan ditempat yang hangat.

Kebutuhan akan rasa aman. Bayi baru lahir sebaiknya hanya diberikan

ASI saja, hindari memberikan makanan selain ASI. Jangan meninggalkan bayi

sendirian dan jangan menggunakan alat penghangat buatan (Muslihatun, 2010).

Universitas Sumatera Utara


Aspek sosial budaya terkait bayi baru lahir. Beberapa aspek sosial

budaya yang berkaitan dengan perawatan bayi baru lahir, antara lain; 1) bayi

dibedong supaya tidak mudah terkaget-kaget (terkejut), juga dapat

menghangatkan badannya; 2) bayi harus memakai gurita supaya perutnya tidak

buncit; 3) bayi tidak boleh diajak keluar rumah sebelum berusia 40 hari; 4) bulu

mata digunting agar lentik; 5) meletakkan gunting lipat di bawah tempat tidur bayi

dan tempat tidurnya dipukul-pukul menggunakan sapu lidi agar bayi tidur

nyenyak; 6) terkait makanan pada bayi baru lahir, ibu dilarang makan pedas, nanti

feses bayi ada cabe rawit utuh, padahal maksudnya adalah mencegah bayi

mengalami sakit perut jika ibu mengonsumsi makanan pedas, makan semangka

menyebabkan perut bayi besar dan keras sebab terkena “sawan” semangka, dan

masih banyak lagi.

Diantara berbagai aspek sosial budaya yang dilakukan oleh masyarakat

tersebut, yang tidak terbukti kebenarannya dan yang benar-benar tidak masuk akal

kadang membuat masyarakat bingung. Memang ada benarnya beberapa aspek

sosial budaya yang ada, yang terkadang jika kita ikuti akan bermanfaat, misalnya

bayi tidak boleh keluar sebelum 40 hari, sebab fisik bayi belum sekuat fisik orang

dewasa jika kontak dengan udara luar akan menyebabkan sakit, dan supayabayi

tidak tertular virus dari orang sakit ketika berada di tempat ramai. Sedangkan

kerugiannya antara lain bayi pada usia sebelum 40 hari mempunyai beberapa

kebutuhan yang harus dipenuhi dan harus dibawa keluar rumah, misalnya untuk

imunisasi, berobat ke pelayanan kesehatan ketika bayi mengalami keluhan.

Pemakaian gurita pada bayi jika dikatkan dengan kesehatan dapat mengurangi

Universitas Sumatera Utara


daya pernapasan pada bayi yang pada akhirnCya bayi tersebut sesak napas, karena

bayi lebih banyak menggunakan pola pernapasan perut (Mubarak et al., 2013).

Determinan Kesehatan Ditinjau dari Aspek Sosial Budaya

Kebudayaan bukan sesuatu yang dibawa bersama kelahiran, melainkan

diperoleh dari proses belajar dari lingkungan, baik lingkungan alam maupun

lingkungan sosial. Dengan kata lain, hubungan antara manusia dengan

lingkungannya dijembatani oleh kebudayaan yang dimilikinya. Dilihat dari segi

ini, kebudayaan dapat dikatakan bersifat adaptif karena melengkapi manusia

dengan cara-cara menyesuaikan diri pada kebutuhan fisiologis dari diri mereka

sendiri, penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik geografis maupun

lingkungan sosialnya. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan bertahan malah

berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh

suatu masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari

lingkungannya. Beberapa faktor yang memengaruhi kesehatan ditinjau dari aspek

sosial budaya, antara lain:

Faktor sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi, meliputi pekerjaan,

pendapatan, kondisi perumahan. Kondisi sosial ekonomi yang rendah lebih

memungkinkan rendahnya derajat kesehatan ibu dan bayi, ini disebabkan nutrisi

yang buruk dan tempat tinggal yang kumuh dan padat.

Faktor pendidikan. Rendahnya pendidikan dan pengetahuan ibu

berpengaruh pada tingkat kesadaran dan kesehatan, pencegahan penyakit (ibu

dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan

diri dan keluarganya).

Universitas Sumatera Utara


Perilaku hidup tidak sehat. Perilaku hidup tidak sehat seperti defekasi di

saluran terbuka atau tanah, makan tanpa cuci tangan, mandi di kali, pecandu

alkohol, perokok dan sebagainya.

Sanitasi lingkungan yang jelek. Lingkungan yang padat dan kumuh serta

rumah tanpa ventilasi yang baik menjadi salah satu media penularan penyakit

yang dapat berpengaruh terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat.

Status gizi yang baik. Malnutrisi mempercepat risiko terkena penyakit.

Tingkat sosial ekonomi berpengaruh pada status gizi seseorang.

Faktor perilaku yang bersifat budaya. Tradisi yang ada di masyarakat

seperti pandangan budaya mengenai kehamilan, dan kelahiran, mengenai

kesakitan, kematian di tiap-tiap daerah berbeda-beda sesuai kepercayaan dan adat

istiadat yang berlaku (Syafrudin & Mariam, 2010).

Studi Fenomenologi

Definisi fenomenologi. Fenomenologi asal kata dari bahasa Yunani,

phaenesthai, yang berarti menunjukkan dirinya sendiri. Fenomenologi adalah

ilmu (logos) tentang sesuatu yang terlihat (phenomenon). Setiap penelitian yang

membahas penampakan dengan cara dari apa saja merupakan fenomenologi.

Fenomenologi adalah berkaitan dengan pengalaman hidup manusia dan

merupakan pendekatan untuk berpikir tentang seperti apa pengalaman hidup yang

terjadi (Polit & Beck, 2014). Edmun Husserl merilis metode fenomenologi yang

bersemboyan Zuruck zu den sachen selbst (kembali kepada hal-hal itu sendiri).

Penelitian fenomenologi bertujuan untuk menggambarkan pengalaman hidup

manusia.

Universitas Sumatera Utara


Jenis fenomenologi. Menurut Polit & Beck (2014), fenomenologi dibagi

atas dua jenis yaitu fenomenologi deskriptif dan fenomenologi interpretif.

Fenomenologi deskriptif. Pada tahun 1962 Husserl mengembangkan

penelitian fenomenologi yang menekankan pada gambaran pengalaman hidup

manusia dari suatu fenomena dalam membuat kesatuan makna dengan

mengidentifikasi inti fenomena dan menggambarkan secara rinci dalam

pengalaman hidup sehari-hari. Adapun fokus utama fenomenologi deskriptif

terdiri dari bracketing, intuiting, analyzing, dan describing.

Bracketing, merupakan proses identifikasi dan berperan dengan

menimbangkan kepercayaan nilai yang ada dalam fenomena yang diteliti. Pada

tahap ini menghindari asumsi-asumsi yang ada pada dirinya terhadap fenomena

yang diteliti untuk mendapatkan hasil penelitian yang sesungguhnya. Intuiting,

tahap kedua dalam fenomenologi deskriptif yaitu dikaitkan dengan fenomena

tersebut oleh orang-orang yang pernah mengalaminya ketika peneliti tetapterbuka

terhadap suatu makna. Analizing, mencari arti dari fenomena yang telah

didapatkan dan dieksplorasi hubungan serta keterkaitan antara data dengan

fenomena yang terjadi. Describing, mendeskripsikan fenomena yang diteliti

dengan tujuan mengkomunikasikan dalam bentuk tertulis struktur esensial dari

fenomena (Polit & Beck, 2014).

Fenomenologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif

adalah Collaizi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Ketiga

fenomenologist tersebut berpedoman pada Filosofi Husserl yang mana fokus

utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena.

Universitas Sumatera Utara


Fenomenologi interpretif (hermeneutic). Pada tahun 1962 Heidegger

mengembangkan fenomenologi interpretif dimana memberikan penekanan pada

pemahaman dari interpretasi yang tidak hanya pada gambaran pemahaman

manusia. Tujuan penelitian interpretif untuk memahami penemuan yang

merupakan bagian dari bagian-bagian yang utuh pada makna pengalaman hidup

yang masuk kedalam dunia partisipan.

Penelitian kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas

dan integritas dalam proses penelitiannya. Oleh karena itu, perlu diperiksa

bagaimana tingkat keabsahan data pada penelitian kualitatif termasuk

fenomenologi. Tingkat keabsahan data dikenal dengan istilah thusthworthiness of

data. Menurut Lincoln dan Guba (2005) bahwa untuk memperoleh hasil

penelitian yang dapat dipercaya dan mempertahankan kepadatan data (rigor)

maka data divalidasi dengan 4 kriteria yaitu derajat kepercayaan (credibilty),

keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian

(confirmability). Keabsahan data penelitian kualitatif ini dapat dicapai sejak

melakukan penelitian, pengkodingan atau analisis data, dan presentasi hasil

temuan.

Credibility adalah kepercayaan pada kebenaran data. Credibility dalam

penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan prolonged engagement, triangulasi,

dan member checking. Dependability adalah stabilitas data dan kondisi dari waktu

ke waktu. Dependability dapatdilakukan dengan cara inquiry audit. Inquiry audit

adalah audit suatu proses yang dilakukan oleh external reviewer (Polit & Beck,

2014). External reviewer berperan dalam melakukan pemeriksaan cara dan analisa

data yang telah dilakukan oleh peneliti.

Universitas Sumatera Utara


Confirmability, kriteria pemeriksaan yang dilakukan dengan cara/langkah

mengkonfirmasi hasil-hasil temuannya. Confirmability dalam penelitian ini

dengan inquiry audit melalui audit trial (Polit & Beck, 2014). Peneliti akan

meminta seseorang sebagai external reviewer melakukan analisis pembanding

untuk menjamin objektivitas penelitian. Transferability, dimana hasil temuan

suatu penelitian yang dilakukan pada suatu kelompok tertentu dapat diterapkan

pada kelompok lain. Pada penelitian ini transferability dilakukan melalui

penyediaan laporan penelitian sebagai thick description (Polit & Beck, 2014).

Thick description proses penelitian berarti peneliti mendokumentasikan semua

arsip dan materi selama proses penelitian.

Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini adalah teori tindakan sosial

dikembangkan oleh Max Weber. Tindakan sosial adalah tindakan individu yang

dapat mempengaruhi orang lain. Tindakan dan tindakan sosial memiliki

pengertian yang berbeda. Tindakan mencakup semua perilaku yang dilakukan

oleh manusia, sedangkan tindakan sosial merupakan suatu tindakan individu yang

diarahkan kepada orang lain dan memiliki arti baik bagi diri sendiri maupun bagi

orang lain. Jika tindakan tersebut tidak diarahkan pada orang lain dan tidak

memiliki arti maka bukan termasuk tindakan sosial tetapi hanya disebut sebuah

“tindakan” saja, sehingga tindakan sosial akan memberikan pengaruh bagi orang

lain, karena tindakan sosial mengandung tiga konsep yaitu tindakan, tujuan dan

pemahaman.

Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata-

nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat

Universitas Sumatera Utara


membatin atau ditunjukan untuk orang lain yang mungkin terjadi karena pengaruh

dari situasi tertentu atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai

akibat dari pengaruh situasi yang serupa, atau berupa persetujuan secara pasif

dalam situasi tertentu. Max Weber mengklasifikasikan empat jenis tindakan sosial

yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat yaitu:

Rasionalitas instrumental (Zwerk Rational). Jenis tindakan sosial

rasional instrumental ini merupakan tindakan yang memiliki rasionalitas paling

tinggi, yang meliputi pilihan yang sadar (masuk akal) yang berhubungan dengan

tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu

dilihat sebagai seseorang yang memiliki macam-macam tujuan yang mungkin

diinginkannya, dan atas dasar suatu kriteria menentukan satu pilihan di antara

tujuan-tujuan yang saling bersaingan, lalu individu menilai alat yang mungkin

dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan. Manusia melakukan suatu tindakan

sosial setelah mereka melalui pertimbangan matang mengenai tujuan dan cara

yang akan ditempuh untuk meraih tujuan itu. Maksudnya tindakan atau perilaku

yang dilakukan memang jelas untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan sosial itu

sudah dipertimbangkan masak-masak, tujuan dan cara yang digunakan untuk

mencapai tujuan tertentu. Manusia dalam melakukan tindakan atau perilaku itu

sadar akan apa yang dilakukannya dan sadar akan tujuan tindakannya.

Rasionalitas yang berorientasi nilai (Werk Rational). Tindakan

rasionalitas yang berorientasi nilai merupakan tindakan sosial yang hampir sama

dengan tindakan rasional instrumental, yaitu tindakan yang dilakukan telah

melalui pertimabangan yang matang dan mempunyai tujuan yang jelas, yang

membedakannya terletak pada nilai-nilai yang menjadi dasar dalam tindakan ini.

Universitas Sumatera Utara


Tindakan sosial ini memperhitungkan mafaat, sedangkan tujuan yang ingin

dicapai tidak terlalu dipertimbangkan, kriteria baik dan benar merupakan menurut

penilaian dari masyarakat Bagi tindakan sosial ini yang penting adalah kesesuaian

tindakan dengan nilai-nilai dasar yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Nilai-nilai tersebut dapat berupa nilai budaya dan agama bisa juga nilai-nilai lain

yang menjadi keyakinan disetiap individu masyarakat. Setiap individu atau

kelompok masyarakat mempunyai keyakinan terhadap nilai-nilai yang berbeda

jadi tindakan yang dilakukan oleh setiap individu menurut jenis tindakan ini

mempunyai makna yang berbeda-beda.

Tindakan afektif/tindakan yang dipengaruhi emosi (Affectual Action).

Tindakan ini berbeda dengan tindakan rasional instrumental dan tindakan

rasionalitas berorientasi nilai, karena tindakan afektif tidak melalui pertimbangan

yang sadar tindakan ini tercipta dengan spontan karena pengaruh emosi dan

perasaan seseorang. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan

merupakan ekspresi emosional dari individu. Tindakan ini dipengaruhi oleh emosi

dan perasaan seseorang.

Tindakan tradisional/tindakan karena kebiasaan (Traditional action).

Tindakan sosial ini dilakukan oleh seseorang karena mengikuti tradisi atau

kebiasaan yang sudah diajarkan secara turun temurun dan telah baku dan tidak

dapat diubah. Jadi tindakan ini tidak melalui perencanaan yang sadar terlebih

dahulu, baik dari caranya maupun tujuannya. Karena mereka hanya

mengulangnya dari kebiasaan yang sudah dilakukan secara turun temurun.

Apabila dalam kelompok masyarakat ada yang di dominasi oleh orientasi tindakan

sosial ini maka kebiasaan dan pemahaman mereka akan di dukung oleh kebiasaan

Universitas Sumatera Utara


atau tradisi yang sudah lama ada di daerah tersebut sebagai kerangka acuannya

yang diterima begitu saja tanpa persoalan (Johnson, 1994).

Teori tindakan sosial dan orientasi subjektif Talcott Parsons.

Pengaruh pemikiran Weber berpengaruh terhadap teori Parsons, dalam analisisnya

Parsons menggunakan kerangka alat tujuan (means ends framework) yang intinya,

yaitu; 1) tindakan itu diarahkan pada tujuannya atau memiliki suatu tujuan; 2)

tindakan terjadi pada suatu situasi, dimana beberapa elemennya sudah pasti,

sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak sebagai alat

untuk mencapai tujuan tersebut; 3) secara normatif tindakan itu diatur sehubungan

dengan penentuan alat dan tujuan. Hal tersebut memiliki arti bahwa tindakan itu

dilihat sebagai satuan kenyataan sosial yang paling kecil dan paling fundamental.

Elemen-elemen dasar dari suatu tindakan adalah tujuan, alat, kondisi dan norma.

Hal tersebut memiliki arti bahwa tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan

sosial yang paling kecil dan paling fundamental. Elemen-elemen dasar dari suatu

tindakan adalah tujuan, alat, kondisi dan norma. Teori ini membagi orientasi

menjadi dua elemen dasar, yaitu:

Orientasi motivasional. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan

individu yang bertindak untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi

kekecewaan. Satu segi dari permasalahan ini adalah ikhtiar untuk

menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan langsung yang memberikan kepuasan

dengan tujuan-tujuan jangka panjang. Orientasi motivasional terbagi menjadi tiga

dimensi, yaitu:

Dimensi kognitif. Dimensi kognitif, dalam orientasi motivasional pada

dasarnya menunjuk pada pengetahuan orang yang bertindak berdasarkan

Universitas Sumatera Utara


situasinya, khususnya apabila dihubungkan dengan kebutuhan dan tujuan-tujuan

pribadi. Dimensi ini mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk

membedakan antara rangsangan-rangsangan yang berbeda dan membuat

generalisasi dari satu rangsangan terhadap rangsangan lainnya.

Dimensi katektik. Dimensi katektik dalam orientasi motivasional

menunjuk pada reaksi afektif atau emosional dari orang yang bertindak terhadap

situasi atau berbagai aspek didalamnya. Hal ini juga mencerminkan kebutuhan

dan tujuan individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif

terhadap elemen-elemen dalam suatu lingkungan yang memberikan kepuasan atau

dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan dan reaksi yang negatif

terhadap aspek-aspek dalam suatu lingkungan yang mengecewakan.

Dimensi evaluatif. Dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional

menunjuk pada dasar pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau kalektik

secara alternatif. Orang selalu memiliki banyak kebutuhan dan tujuan, dan untuk

kebanyakan atau kalau bukan semua situasi, ada kemungkinan banyak interpretasi

kognitif dan reaksi katektik.

Orientasi nilai. Orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif

yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas

sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda.

Orientasi nilai terdiri dari tiga dimensi, yaitu:

Dimensi kognitif. Dimensi kognitif (berhubungan dengan sistem

kepercayaan budaya), dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar yang

digunakan dalam menerima atau menolak berbagai interpretasi kognitif mengenai

situasi.

Universitas Sumatera Utara


Dimensi apresiatif. Dimensi apresiatif (berhubungan dengan simbolisme

ekspresif), dalam orientasi nilai menunjuk pada standar yang tercakup dalam

pengungkapan perasaan atau keterlibatan afektif.

Dimensi moral. Dimensi moral (berhubungan dengan sistem budaya),

dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar abstrak yang digunakan

untuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif menurut implikasinya terhadap sistem

itu secara keseluruhan (baik individual maupun sosial) dimana tindakan itu

berakar.

Keenam dimensi tersebut memiliki kesamaan, tetapi Parsons

mempertahankan pembedaan itu dengan mengatakan bahwa meskipun ada saling

ketergantungan, dimensi-dimensi itu bisa berdiri sendiri. Perbedaan prinsipnya

adalah, orientasi nilai menunjuk pada standar normatif umum, sedangkan orientasi

motivasional menunjuk kepada keputusan-keputusan dengan orientasi tertentu

(Johnson, 1994).

Tindakan manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan

tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi,

dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma. Prinsip-prinsip

pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan

pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya

sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai

tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan

penentuan alat dan tujuan atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan

itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-

unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan norma.

Universitas Sumatera Utara


Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu

individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan

berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat

membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan

ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan

individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa

orientasi motivasional dan orientasi nilai.

Perawatan masa nifas yang dilakukan oleh masyarakat di desa

Manunggang Jae sudah dilakukan secara turun-temurun dan merupakan tradisi

yang masih dilakukan sampai sekarang. Tradisi tersebut masih dijalankan karena

alat ataupun bahan yang digunakan masih tersedia dan mudah didapatkan. Tradisi

tersebut juga mempunyai tujuan tertentu, dilakukan pada kondisi tertentu dan

dijalankan sesuai norma yang ada di masyarakat. Secara ringkas keterkaitan antara

tindakan sosial dan orientasi subjektif dapat dilihat pada gambar berikut:

Orientasi
subjektif:
- Tujuan
- Alat
- Kondisi
- Norma

Gambar 1. Landasan teori

Universitas Sumatera Utara


Kerangka Pikir

Masyarakat memiliki bermacam-macam tradisi yang sudah ada sejak

dahulu dan masih dijalankan sampai sekarang, salah satunya adalah tradisi yang

dilakukan pada masa nifas yang disebut dengan tradisi marapi. Tradisi marapi

sudah dilakukan sejak dahulu dan diwariskan secara turun-temurun kepada

generasi selanjutnya. Nilai-nilai yang mendasari dilakukannya tradisi marapi

adalah terutama untuk kesehatan ibu yang baru melahirkan agar kesehatannya

cepat pulih dan ibu cepat kuat. Tradisi marapi juga dimaksudkan untuk

menghangatkan ibu dan bayi sehingga ibu dan bayi tidak cepat sakit karena

kedinginan.

Tradisi marapi merupakan sebuah tindakan sosial yang dilakukan oleh

masyarakat dengan tujuan memberikan kehangatan kepada ibu dan bayi agar ibu

dan bayi tidak kedinginan dan tidak sakit. Tradisi marapi sudah dilakukan sejak

dahulu dan tradisi tersebut sudah diturunkan secara turun temurun. Tidak ada

kepastian kapan tradisi ini mulai dilakukan, masyarakat melakukan tradisi tersebut

karena mengikuti kebiasaan orang tua jaman dahulu. Tradisi marapi masih

dilakukan karena alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan tradisi ini masih

tersedia dan masih mudah didapatkan, seperti arang, kayu bakar dan beberapa

jenis daun-daunan tertentu.

Marapi dilakukan segera setelah ibu dan bayi selesai dibersihkan. Tradisi

marapi dilakukan selama 40 hari, tradisi ini dilakukan dengan tujuan untuk

memanaskan atau menghangatkan ibu nifas dan bayi baru lahir. Praktik tradisi

marapi yang dilakukan meliputi marapi yaitu ibu dan bayi harus tidur di atas

Universitas Sumatera Utara


tempat tidur yang dibawahnya sudah diletakkan perapian. Ibu dan bayi harus tidur

di atas tempat tidur yang dialasi dengan tikar yang tipis, ini dimaksudkan agar

panas dari api bisa dirasakan oleh ibu dan bayi. Selain marapi, ibu nifas juga

melakukan manjonjongi api yaitu berdiri di atas perapian.

Manjonjongi api dilakukan setelah ibu nifas selesai mandi. Saat

manjonjongi api, ibu dianjurkan tidak memakai pakaian dan hanya menggunakan

kain sarung. Seluruh tubuh ditutup dengan kain sarung kecuali bagian kepala, hal

ini dimaksudkan agar asap dari perapian akan mengenai seluruh tubuh ibu.

Dengan melakukan marapi dan manjonjongi api yang keduanya memberikan efek

panas kepada ibu dan bayi dikhawatirkan dapat memengaruhi kesehatan ibu dan

bayi. Alur kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada gambar berikut:

Tindakan Sosial

Tindakan Tindakan Tindakan Tindakan


rasionalitas tradisional afektif rasional
instrumental berorientasi
nilai
Orientasi subjektif:
- Tujuan
- Alat
- Kondisi
- Norma

Tradisi marapi

Kesehatan ibu Kesehatan


bayi
Gambar 2. Kerangka pikir penelitian

Universitas Sumatera Utara


Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode

fenomenologi (phenomenological research) bertujuan untuk mengeksplorasi

fenomena praktik tradisi marapi dan hubungannya dengan kesehatan ibu dan bayi

di Desa Manunggang Jae.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Manunggang Jae Kota Padang-

sidimpuan. Lokasi ini dipilih menjadi tempat penelitian karena berdasarkan

pengamatan peneliti, lokasi ini adalah salah satu lokasi dimana mayoritas ibu nifas

masih melakukan tradisi marapi.

Waktu penelitian berlangsung sejak bulan Oktober 2018 sampai dengan

Agustus 2019 dengan tahapan mulai dari survei pendahuluan, pengajuan judul,

penentuan dosen pembimbing, konsultasi proposal penelitian, seminar proposal

penelitian, pelaksanaan penelitian, pengolahan data, seminar hasil penelitian dan

sidang komprehensif.

Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini sebanyak delapan orang, yang terdiri dari

satu orang ibu nifas yang sedang melakukan tradisi marapi dan tujuh orang ibu

yang mempunyai pengalaman melakukan tradisi marapi. Informan dipilih

menggunakan metode purposive sampling, yaitu pemilihan informan dengan

kriteria tertentu. Kriteria informan antara lain: ibu yang masih atau pernah

melakukan perawatan masa nifas dengan tradisi marapi, bertempat tinggal di

Universitas Sumatera Utara


lokasi penelitian, dapat menceritakan pengalaman dan pemikirannya dengan

lancar, dan menyatakan bersedia untuk ikut dalam penelitian ini.

Definisi Konsep

Definisi konsep dari tradisi marapi dan hubungannya dengan kesehatan

ibu dan bayi adalah praktik tradisi marapi yang dilakukan oleh ibu dan bayi serta

hubungannya dengan kesehatan ibu dan bayi selama ibu melakukan tradisi

marapi.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ; 1)

wawancara mendalam. Wawancara mendalam merupakan metode pengumpulan

data yang digunakan untuk mengumpulkan data primer; 2) observasi. Observasi

dilakukan dengan mengamati lingkungan tempat tinggal informan, seperti

keadaan fisik (kondisi rumah tempat tinggal informan, tempat tidur yang

digunakan, serta tempat meletakkan perapian sewaktu melakukan marapi); 3)

telaah dokumen, surat, dan literature untuk mengumpulkan data sekunder.

Uji keabsahan data. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan

menguji validitas data kualitatif yang menggunakan; 1) triangulasi sumber, yaitu

dengan melakukan cross check data dari informan yang berbeda; 2) triangulasi

metode, yaitu dengan melakukan cross check data menggunakan metode yang

berbeda (wawancara dan observasi).

Metode Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara analisis isi

(content analysis). Colaizzi (1978 dalam Streubert & Carpenter, 2011)

menyebutkan tahapan analisis data kualitatif sebagai berikut; 1) membaca seluruh

Universitas Sumatera Utara


deskripsi wawancara yang telah diungkapkan oleh informan. Pernyataan informan

ditranskrip dari audio rekaman wawancara dari masing-masing informan; 2)

melakukan ekstraksi terhadap pernyataan signifikan (pernyataan yang secara

langsung berhubungan dengan fenomena yang diteliti). Setiap pernyataan dalam

transkrip informan yang berhubungan langsung dengan fenomena yang diteliti

dianggap signifikan; 3) menguraikan makna yang terkandung dalam pernyataan

signifikan. Peneliti berupaya untuk memformulasikan kembali pernyataan

signifikan umum diekstraksi dari transkrip informan; 4) menggabungkan makna

yang dirumuskan ke dalam kelompok tema. Peneliti menetapkan atau mengatur

makna yang telah dirumuskan kedalam kelompok sejenis. Dengan kata lain,

makna yang dirumuskan dikelompokkan kedalam kelompok tema. Artinya,

beberapa pernyataan mungkin berhubungan; 5) mengembangkan sebuah deskripsi

tema dengan lengkap yaitu, deskripsi yang komprehensif dari pengalaman yang

diungkapkan informan; 6) mengidentifikasi landasan struktur dari fenomena

tersebut. Struktur dasar mengacu kepada esensi dari fenomena pengalaman yang

diungkapkan dengan analisis ketat dari setiap deskripsi lengkap dari fenomena

tersebut; 7) kembali ke informan untuk melakukan validasi. Pertemuan untuk

tindak lanjut dibuat antara peneliti dengan masing-masing informan untuk tujuan

memvalidasi esensi dari fenomena dengan informan. Setiap perubahan yang

dibuat disesuaikan dengan umpan balik informan untuk memastikan makna yang

dimaksudkan informan tersampaikan dalam struktur dasar dari fenomena tersebut.

Pertimbangan etik. Etika penelitian yang harus dipenuhi oleh peneliti

meliputi informed consent, right to privacy and dignity dan nonmaleficence.

Sebelum melakukan penelitian, peneliti memberikan lembaran informed consent

Universitas Sumatera Utara


kepada informan yang bila disetujui akan ditandatangani dan bila tidak, informan

bebas atas tindakannya. Informan memiliki kebebasan untuk memilih tanpa

kontrol eksternal, ia dapat menentukan apakah akan berperan serta dalam

penelitian ini atau tidak, ia dapat saja menarik diri dari penelitian tanpa ada

konsekuensi (Creswell, 2003).

Hak privasi dan martabat (right to privacy and dignity) dilakukan peneliti

dengan menyapa atau memperlakukan informan sesuai dengan keinginan mereka

untuk diperlakukan. Memberikan lingkungan yang dapat menjamin kenyamanan

informan untuk mendapatkan privasi saat pengambilan data atau wawancara.

Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek (nonmaleficence).

Peneliti meminimalisir ketidaknyamanan yang mungkin terjadi selama proses

wawancara seperti kelelahan, bosan, dengan memberitahukan hak informan

terkait dengan kebebasan memilih waktu dan tempat, bebas untuk berhenti

sewaktu-waktu apabila ada urusan, untuk kemudian dilanjutkan lagi wawancara

sesuai kesepakatan.

Universitas Sumatera Utara


Hasil dan Pembahasan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Padangsidimpuan adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara,

Indonesia yang terdiri dari 6 kecamatan, 37 kelurahan, dan 42 desa dengan luas

wilayah mencapai 114,66 km² dan mempunyai jumlah penduduk sekitar 228.429

jiwa dengan kepadatan penduduk 1.992 jiwa/km². Desa Manunggang Jae

merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara

dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : berbatasan dengan Desa Perkebunan PK

SebelahSelatan : berbatasan dengan Desa Huta Padang

Sebelah Barat : berbatasan dengan Desa Perkebunan PK

Sebelah Timur : berbatasan dengan Perkebunan PK

lokasi
peneitian

Gambar 3. Peta Kota Padangsidimpuan

Universitas Sumatera Utara


Desa Manunggang Jae dikelilingi oleh area persawahan dan perkebunan

karet dan berada sekitar satu km dari jalan utama dengan luas wilayah 193 Ha

dengan jumlah KK sebanyak 540 dan jumlah penduduk sebanyak 2141 jiwa.

Tenaga kesehatan terdekat yang dapat dijangkau oleh masyarakat adalah satu

orang bidan desa yang ditugaskan oleh pemerintah dan bertempat tinggal di desa,

dan satu orang bidan yang merupakan penduduk asli Desa Manunggang Jae.

Puskesmas terdekat adalah Puskesmas Labuhan Rasoki yang berjarak sekitar 3,6

km dari desa.

Penduduk di Desa Manunggang Jae terdiri dari berbagai suku dengan suku

mayoritas adalah suku mandailing dan suku jawa. Desa Manunggang Jae terbagi

menjadi empat dusun, dusun satu dan empat dihuni oleh mayoritas suku jawa

sedangkan dusun dua dan tiga dihuni oleh mayoritas suku mandailing. Suku

mandailing memiliki bermacam-macam tradisi yang sudah ada sejak zaman

dahulu dan telah dilakukan turun-temurun oleh masyarakat dan masih dilestarikan

sampai sekarang.

Beberapa tradisi yang masih dijalankan diantaranya adalah tradisi dalam

upacara pernikahan yaitu tradisi patuaekkon dan mangambat boru tulang, tradisi

lubuk larangan, tradisi dalam kehamilan seperti mangalehen mangan yaitu

memberi makan pada usia kehamilan tujuh bulan, tradisi pada masa persalinan

seperti minum air rendaman rumput patimah, tradisi pada masa nifas dan

perawatan bayi baru lahir dan masih banyak tradisi lainnya. Tradisi marapi adalah

tradisi dalam melakukan perawatan pada ibu nifas dan bayinya dan tradisi ini

masih dilakukan oleh masyarakat di Desa Manunggang Jae khususnya warga

dusun dua dan tiga.

Universitas Sumatera Utara


Karakteristik Informan

Informan dalam penelitian ini berjumlah delapan orang, yang terdiri dari

satu orang ibu yang sedang melakukan tradisi marapi dan tujuh orang ibu yang

pernah melakukan tradisi marapi. Karakteristik informan dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

Tabel 1

Karakteristik Informan

Informan Umur (Thn) Pendidikan Pekerjaan Paritas


S 23 SMP IRT 2
TI 37 SMA Buruh 4
P 21 SMA IRT 1
JT 32 S1 Guru 2
K 33 SD Petani 4
AP 41 SMP Petani 5
KO 40 SMA Petani 4
M 44 SD Petani 5

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa usia informan berkisar antara

21-44 tahun, masuk dalam kategori usia reproduktif yang artinya wanita dengan

rentang usia tersebut memiliki organ reproduksi yang masih berfungsi dengan

baik. Seluruh informan masih mempunyai peluang untuk memiliki anak lagi,

sedangkan mayoritas informan sudah memiliki empat sampai lima orang anak.

Latar belakang pendidikan informan bervariasi, mayoritas informan

berpendidikan rendah dan menengah, dan bekerja sebagai petani. Tingkat

pendidikan dan tingkat pengetahuan sangat berpengaruh terhadap kehidupan

masyarakat seperti halnya perilaku hidup sehat. Latar belakang pendidikan dapat

memengaruhi pengetahuan informan tentang kesehatan terutama dalam

pelaksanaan perawatan ibu selama masa kehamilan, persalinan dan nifas serta

perawatan bayi baru lahir.

Universitas Sumatera Utara


Pemanfaatan fasilitas kesehatan yang dilakukan oleh seluruh informan

selama masa kehamilan dan dalam proses persalinan dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 2

Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan

Informan Periksa hamil Tempat bersalin Penolong persalinan


S Klinik bidan Klinik bidan Nakes
TI Posyandu Puskesmas Nakes
P Klinik bidan Klinik bidan Nakes
JT Puskesmas Puskesmas Nakes
K Tidak periksa Rumah Dukun
AP Posyandu Puskesmas Nakes
KO Tidak periksa Rumah Dukun
M Posyandu Rumah dan klinik Nakes
bidan

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas informan telah

memeriksakan kehamilannya di fasilitas kesehatan, begitu juga pada saat

persalinan. Mayoritas informan memilih bersalin di fasilitas kesehatan dan

ditolong oleh tenaga kesehatan. Hanya dua orang informan yang masih ditolong

oleh dukun. Informan M melahirkan anaknya di rumah, kemudian dibawa ke

klinik karena plasentanya susah dikeluarkan.

Hasil wawancara berupa transkrip tertulis dilakukan content analysis

dengan cara manual. Proses analisis tematik menghasilkan empat tema, yaitu; 1)

mempersiapkan bahan-bahan marapi; 2) alasan mempertahankan tradisi marapi ;

3) pengalaman ibu selama melakukan tradisi marapi; 4) kesehatan ibu dan bayi

selama melakukan tradisi marapi. Tema-tema ini akan dibahas secara terperinci

untuk memaknai praktik tradisi marapi dan hubungannya dengan kesehatan ibu

dan bayi.

Universitas Sumatera Utara


Tema I. Mempersiapkan Bahan-bahan Marapi

Kategori Sub-tema Tema

arang
bahan marapi

kayu bakar

bahan
manjonjongi api
daun-daunan
mempersiapkan
bahan-bahan
jeringau marapi

bahan untuk
bangle mengusir roh
halus

bawang putih

Gambar 4. Mempersiapkan bahan-bahan marapi

Mempersiapkan Bahan-bahan Marapi

Tradisi marapi adalah tradisi mengasapkan atau memanaskan ibu yang

baru melahirkan bersama bayinya selama 40 hari. Marapi dilakukan dengan

meletakkan perapian di bawah tempat tidur ibu. Marapi ditujukan terutama untuk

kesehatan ibu yang baru melahirkan agar kesehatannya cepat pulih dan ibu cepat

kuat. Selain itu dengan melakukan marapi diharapkan ibu tidak sering merasa

kedinginan, membantu proses pembersihan darah kotor serta dapat mempercepat

penyembuhan luka. Tradisi tersebut juga dimaksudkan agar menghangatkan ibu

dan bayi agar tidak sakit karena kedinginan.

Bahan marapi. Marapi dilakukan menggunakan beberapa bahan seperti

arang dari tempurung kelapa atau arang dari kayu bakar yang digunakan untuk

Universitas Sumatera Utara


memanaskan ibu dan bayinya dengan cara arang tersebut dibakar dan diletakkan

di bawah tempat tidur ibu. Selain arang beberapa jenis daun-daunan khusus

seperti daun cengkeh ( syzygium aromaticum, syn. eugenia aromaticum), daun

jeruk (citrus hystrix), daun tindo tasik atau yang dikenal dengan nama timba tasik

(clerodendrum serratum), daun kulit manis (cinnamomum verum, sin. c.

zeylanicum), dan daun nilam (pogostemon cablin) juga diperlukan dalam

melakukan marapi. Daun tersebut diperlukan saat ibu melakukan manjonjongi

api, daun akan dibakar di tempat perapian. Kayu bakar diperlukan pada saat

menyalakan perapian di bawah tempat tidur maupun perapian untuk manjonjongi

api.

Sebelum memasuki masa persalinan arang sudah dipersiapkan oleh ibu

maupun keluarga, arang yang digunakan adalah arang dari tempurung kelapa atau

arang dari kayu. Arang tersebut diperoleh dengan cara membakar tempurung

kelapa hingga menjadi arang, setelah seluruh tempurung kelapa terbakar dan telah

berubah warna menjadi hitam, maka arang akan disiram dengan air agar apinya

mati. Kemudian arang tersebut dijemur hingga kering, lama penjemuran

tergantung kondisi cuaca. Jika cuaca panas penjemuran arang akan berlangsung

selama dua atau tiga hari. Hal tersebut dimaksudkan agar arang tahan lama dan

lebih mudah digunakan pada saat marapi. Ibu hamil telah mempersiapkan arang

menjelang bulan kelahiran mereka. Hal tersebut sesuai dengan kutipan narasi

berikut:

“..arangnya sudah saya persiapkan, mendekati bulan kelahiran


saya arang tersebut sudah saya persiapkan, saya membakar arang
sedikit demi sedikit di halaman rumah, jika cuaca panas saya
menjemur arang yang sudah dibakar tersebut, saya menyediakan

Universitas Sumatera Utara


arang sebanyak dua kardus, saya tidak punya uang untuk
membeli....” (P5L56-61)

Tidak semua ibu hamil mempersiapkan arang menjelang bulan

kelahirannya, ada juga ibu hamil yang tidak mempersiapkan arang, sehingga ibu

menggunakan arang dari kayu yang biasa dijual di kedai. Disamping itu ada juga

yang menggunakan arang dari sisa pembakaran kayu bakar saat saudara mereka

mengadakan sebuah acara pesta. Setelah acara pesta selesai, keluarga akan

mengumpulkan arang dari sisa kayu bakar dan menjemurnya hingga kering.

Arang inilah yang digunakan sewaktu ibu marapi. Hal ini dibuktikan dengan

pernyataan:

“...arangnya diambil dari bekas pesta, kemaren ada yang pesta sisa
arangnya diambil, dikumpulin dan dijemur. Itulah yang dipakai
untuk marapi ini...” (P1L17-19)

Seorang ibu mengatakan bahwa pada kehamilannya yang terakhir, ibu

tidak merasakan gejala hamil seperti mual dan muntah sehingga tidak tahu bahwa

dirinya sedang hamil. Ibu juga tidak mengetahui pasti berapa usia kehamilannya

saat itu. Saat memeriksakan diri ke posyandu, ibu diberi tahu bahwa usia

kehamilannya sudah enam bulan. Ibu belum mempersiapkan arang untuk marapi

karena menurut ibu dan suami belum saatnya dia untuk melahirkan. Saat ibu

melahirkan barulah suaminya mempersiapkan arang dan membakarnya di

belakang rumah, sebagaimana diungkapkan dalam kutipan narasi berikut ini:

“...waktu melahirkan yang paling kecil kemaren belum ada


disiapkan apapun, disitu melahirkan disitulah baru disiapkan. Saya
pikir belum waktunya saya melahirkan karena saat itu saya tidak
tau kalau saya sedang hamil. Maksudnya waktu saya periksakan
kata bidan sudah enam bulan. Saya tidak ada keluhan seperti
muntah-muntah, tidak terasa seperti orang yang sedang hamil.
Makanya tidak ada dipersiapkan apapun, disitu melahirkan baru

Universitas Sumatera Utara


disitu disiapkan. Biasanyakan arangnya sudah disiapkan, suami
yang membakar arangnya di belakang rumah.....”(P32L35-45)

Marapi dilakukan segera setelah ibu dan bayi selesai dibersihkan oleh

penolong persalinan. Suami maupun ibu mertua akan segera menyalakan api dan

meletakkannya di bawah tempat tidur ibu, walaupun ibu melahirkan pada siang

hari suami akan segera menyiapkan perapian. Marapi biasanya dilakukan selama

30-60 hari. Minggu pertama setelah melahirkan api akan dinyalakan selama 24

jam. Jika baranya sudah mulai redup dan panasnya juga sudah berkurang maka

suami atau anggota keluarga lain akan menambahkan arang dan menjaga api tetap

menyala. Setelah satu minggu api akan dinyalakan pada sore hari sekitar pukul

tiga sampai keesokan harinya. Ada juga yang melakukan marapi selama 24 jam

hanya pada hari pertama setelah melahirkan, selanjutnya api dinyalakan pada

pukul enam sore sampai menjelang pagi yaitu sekitar jam lima pagi.

Beberapa ibu tidak melakukan marapi pada siang hari karena cuaca cukup

panas dan mereka tidak tahan jika harus marapi. Api mulai dinyalakan pada sore

hari sampai malam sekitar jam sepuluh. Kemudian api dinyalakan kembali saat

menjelang subuh saat cuaca sudah mulai dingin dan dibiarkan menyala sampai

pagi saat ibu hendak manjonjongi api. Setelah selesai manjonjongi api, api akan

dimatikan dan dinyalakan kembali pada sore harinya dan begitulah seterusnya

sampai ibu selesai marapi.

Lamanya waktu marapi dalam satu hari juga disesuaikan dengan keadaan

cuaca dan kebutuhan ibu dan bayi. Jika cuaca panas api tidak dinyalakan dan

panasnya api juga disesuaikan dengan kondisi ibu dan bayi, jika api terasa kurang

panas arangnya akan ditambah dan jika terlalu panas maka arangnya akan

Universitas Sumatera Utara


dikurangi. Bayi juga tidak tahan jika apinya terlalu panas. Jika cuaca mendung api

akan dinyalakan agar ibu dan bayi tetap merasa hangat.

Gambar 5. Arang dari kayu bakar (sebelah kiri) dan arang dari tempurung kelapa
(sebelah kanan)

Saat ibu melakukan tradisi marapi semua anggota keluarga dan

masyarakat sangat berperan. Peran anggota keluarga terutama suami dan orangtua

sangat membantu dan menentukan kesehatan dan keselamatan ibu. Setelah selesai

persalinan, suami atau anggota keluarga lain akan menyiapkan perapian yang

digunakan untuk memanaskan ibu dan bayi. Wadah perapian menggunakan kuali

atau baskom yang sudah tidak terpakai lagi. Kuali atau baskom diisi dengan tanah

hingga hampir setengah bagian kuali, kemudian di atas tanah diletakkan abu dari

sisa memasak menggunakan kayu bakar. Setelah diisi dengan abu kemudian kayu

bakar diletakkan untuk menyalakan api, setelah api menyala dan kayu bakar telah

menghasilkan bara, kayu bakar akan diambil dan hanya bara yang tinggal di

perapian. Setelah itu baru arang akan dimasukkan, hal ini sesuai dengan

pernyataan:

“...tempurung kelapa yang dibakar, pakai kayu bakar sedikit saat


hendak menyalakan api...” (P28L21-22)

Dahulu masyarakat menyalakan api tepat di bawah tempat tidur ibu, tanpa

menggunakan tempat atau alas untuk perapian. Masyarakat langsung menyalakan

Universitas Sumatera Utara


api karena rumah penduduk masih berlantai tanah jadi tidak perlu menggunakan

baskom atau kuali sebagai wadah untuk perapian. Mereka menggunakan pohon

pisang sebagai pembatas api agar api tidak menyebar. Masyarakat belum

menggunakan arang dari kayu maupun arang dari tempurung kelapa, mereka

hanya menggunakan kayu bakar. Seiring berjalannya waktu masyarakat mulai

menggunakan arang dari tempurung kelapa dengan alasan lebih praktis dan

menghasilkan panas yang lebih lama dibandingkan dengan arang kayu bakar.

Masyarakat juga menggunakan arang kelapa karena tempurung kelapa lebih

mudah didapat dan kelapa juga tumbuh subur di Desa Manunggang Jae dan

sekitarnya.

Perlahan-lahan mulai terjadi perubahan dalam melaksanakan tradisi

marapi. Perubahan kondisi lingkungan, misalnya perubahan kondisi fisik

bangunan rumah serta perubahan cara berpikir masyarakat membuat pelaksanaan

tradisi marapi juga ikut berubah. Sekarang masyarakat sudah menggunakan

baskom atau kuali sebagai wadah perapian karena lebih praktis dan bisa

dipindahkan serta agar abunya tidak menyebar kemana-mana dan membuat lantai

rumah lebih bersih. Hal ini sesuai dengan ungkapan Peursen (1988) bahwa tradisi

dapat diubah, diangkat, ditolak dan dipadukan dengan aneka ragam perbuatan

manusia.

Tempurung kelapa memiliki banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari,

salah satunya bisa dimanfaatkan untuk pembuatan arang tanpa asap. Arang lebih

menguntungkan dibanding kayu bakar. Arang memberikan panas yang lebih

tinggi dan asap yang lebih sedikit. Banyak orang berpendapat, penggunaan arang

sebagai bahan bakar sudah tidak jamannya lagi. Namun, kebutuhan akan arang

Universitas Sumatera Utara


tetap tinggi, karena keberadaannya sebagai bahan baku proses pembakaran belum

dapat tergantikan, misalnya untuk pembakaran sate, ayam bakar, ikan bakar, dan

sebagainya.

Menggunakan kayu bakar dalam membuat perapian untuk menghangatkan

ibu dan bayi juga dilakukan oleh masyarakat di Amunaban Barat. Penelitian

Handayani dan Prasodjo (2018) menyatakan bahwa ibu nifas melakukan tradisi

panggang (se’i) selama 40 hari di Ume Kbubu (rumah bulat). Posisi ibu berada

diatas tempat tidur dan bara api terletak dibawah tempat tidur ibu, jarak bara api

dengan posisi ibu sekitar 40-50 cm. Agar bara yang menyala bagus panasnya,

maka mereka menggunakan kayu cemara yang mereka sebut sebagai kayu

kasuari. Dipan atau bale-bale tempat si ibu berbaring pun terbuat dari kayu

kasuari yang terkenal kuat. Beberapa rumah bulat atau rumah lopo dan yang

mereka tempati juga menggunakan kayu kasuari sebagai tiang penegak berdirinya

rumah.

Penggunaan arang untuk menghangatkan ibu nifas juga dilakukan oleh

masyarakat di Aceh. Penelitian Rahayu, Mudatsir dan Hasballah (2017) yang

berjudul “Faktor budaya dalam masa nifas” menyatakan bahwa sale dilakukan

dengan memakai arang panas yang di taruh pada sebuah tungku, kemudian

menggunakan tempat tidur atau dipan (balai-balai) yang dibuat dari kayu atau

batang bambu yang bercelah-celah, sehingga uap dan panas bisa masuk. Sepuluh

partisipan dalam penelitian ini mengungkapkan hal yang sama yaitu semua

partisipan melakukan sale.

Asap yang dihasilkan dari pembakaran arang dan kayu bakar saat

melakukan tradisi marapi dapat menimbulkan gangguan kesehatan kepada ibu

Universitas Sumatera Utara


maupun bayinya karena selama melakukan tradisi marapi, ibu dan bayi akan

menghirup udara yang tercemar akibat pembakaran arang dan kayu bakar.

Pembakaran arang dan kayu bakar menghasilkan partikel halus (particulate

matter/PM) dan gas. Gas karbon monoksida, sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan

ozon merupakan gas yang paling dominan yang terdapat dalam kandungan asap.

Secara umum bahan pencemar senyawa kimia nitrogen oksida, sulfur dioksida,

karbon monoksida, ozon dan partikulat di udara menyebabkan gangguan

kesehatan pada manusia seperti luka mata dan luka saluran pernapasan

(Wardhana, 2014).

Bahan manjonjongi api. Selain marapi, ibu nifas juga melakukan

manjonjongi api (berdiri di atas perapian). Manjonjongi api dilakukan setelah ibu

nifas selesai mandi. Ibu nifas melakukan manjonjongi api dengan cara berdiri dan

kedua kaki ibu direnggangkan. Perapian diletakkan diantara kedua kaki ibu. Saat

manjonjongi api, ibu dianjurkan tidak memakai pakaian dan hanya menggunakan

kain sarung. Seluruh tubuh ibu ditutup dengan kain sarung kecuali bagian kepala.

Kain akan dijulurkan sampai menutupi perapian dan kaki ibu, hal ini dimaksudkan

agar asap dari perapian mengenai seluruh tubuh ibu. Manjonjongi api dilakukan

keesokan hari setelah selesai melahirkan. Manjonjongi api dilakukan selama satu

minggu sampai satu bulan berturut-turut setelah ibu melahirkan.

Bahan-bahan yang diperlukan untuk manjonjongi api adalah kayu bakar

dan daun-daunan tertentu. Perapian yang diletakkan di bawah tempat tidur ibu

hanya menggunakan arang tanpa menambahkan daun-daunan, sementara untuk

melakukan majonjongi api diperlukan daun-daunan. Beberapa jenis daun-daunan

Universitas Sumatera Utara


yang paling sering digunakan untuk manjonjongi api adalah daun cengkeh, daun

jeruk, daun tindo tasik, daun kayu manis, dan daun nilam.

Ibu menggunakan daun yang berbeda-beda saat melakukan manjonjongi

api, ada yang menggunakan daun jeruk, daun cengkeh, dan ada juga ibu yang

menggunakan dua jenis daun seperti daun cengkeh dan daun nilam, sesuai dengan

ungkapan berikut ini:

“...pakai arang, kayu bakar juga. Setelah kayunya dibakar barulah


ditambahkan arang agar apinya tahan lama. Arangnya dari
tempurung kelapa yang dibakar, dibakar oleh suami. Kalau untuk
manjonjongi api pakai sabut kelapa terus ditambah dengan daun-
daunan, daun apa ya namanya. Pakai daun cengkeh, pakai sabut
kelapa lalu ditambah daun cengkeh ada satu lagi daun yang
daunnya lebar, daun nilam namanya kan bou (sambil bertanya
kepada ibu mertua)...” (P18L36-44)

Pertimbangan lain saat memilih daun yang digunakan untuk manjonjongi

api adalah karena daun tersebut mudah didapat. Seperti ibu yang menggunakan

daun tindo tasik karena daun ini sangat banyak ditemukan di sekitar rumah orang

tuanya. Ada juga yang menggunakan daun kayu manis karena daun tersebut

mudah didapat. Hal ini sesuai dengan pernyataan:

“...kalau daun-daunannya saya pakai daun kulit manis, agar saya


tidak bau anyir, hanya daun kulit manis karena sekarang daun
cengkeh sudah susah mencarinya. Seharusnya pakai daun cengkeh
tapi sekarang sudah susah untuk mendapatkannya. Daun kulit
manis lebih mudah mencarinya, suami mencarinya di kebun-kebun
tetangga, karena mereka tahu saya sedang marapi maka mereka
memberikannya...”(P6L69-76)

Penggunaan daun-daunan saat manjonjongi api merupakan suatu hal yang

harus dilakukan, karena penggunaan daun-daunan memiliki tujuan tertentu.

Meskipun informan menggunakan jenis daun yang berbeda, tetapi dengan tujuan

yang sama, yaitu untuk menghilangkan bau anyir dan membuat tubuh ibu

Universitas Sumatera Utara


menjadi wangi. Pernyataan tersebut diperkuat oleh dukun yang menyatakan

bahwa pemakaian daun-daunan bertujuan agar ibu nifas tidak bau anyir dan untuk

menghilangkan bau darah putih.

Gambar 6. Daun cengkeh/syzygium aromaticum, syn. eugenia aromaticum (kiri


atas), daun kayu manis/cinnamomum verum, sin. c. zeylanicum (tengah atas),
daun nilam/pogostemon cablin (kanan atas), daun tindo tasik/clerodendrum
serratum (kiri bawah) dan daun jeruk/citrus hystrix (kanan bawah)

Menurut dukun, daun yang paling bagus untuk manjonjongi api adalah

daun nilam, sesuai dengan kutipan narasi berikut ini:

“...pakai daun nilam agar tidak bau anyir, agar darah putihnya
juga tidak bau. Kalau pakai daun nilam jadi wangi, kalau tidak ada
daun nilam bisa juga pakai daun kayu manis atau daun jeruk juga
bisa. Sekarang daun nilam sudah tidak ada, seharusnya itu yang
lebih bagus. Terkadang kan banyak ibu-ibu yang bau anyir. Hanya
itu saja kegunaan daun-daunnya tidak ada lagi yang lain...”( SB,
72 tahun, dukun beranak)

Penggunaan daun-daunan sebagai salah satu bahan dalam melaksanakan

perawatan masa nifas dilakukan juga di beberapa daerah. Penelitian Rahayu,

Mudatsir dan Hasballah (2017) menyatakan bahwa masyarakat di Aceh meminum

Universitas Sumatera Utara


ramuan/jamu sebagai salah satu perawatan dalam masa nifas. Semua partisipan

mengkonsumsi jamu. Jamu tersebut di olah sendiri, yang ramuannya berasal dari

kunyit. Kunyit ditumbuk, disaring, kemudian air kunyit tersebut di minum setiap

pagi juga dibantu dengan makan tape. Partisipan juga menggunakan ramuan jenis

lainnya dalam perawatan masa nifas. Ramuan tersebut ada yang menggunakan

daun nilam, daun kates, bahkan ada ramuan yang mereka beli di toko tanpa harus

mengolahnya.

Kayu manis memiliki efek farmakologis yang dibutuhkan dalam obat-

obatan. Kulit batang, daun, dan akarnya dapat dimanfaatkan sebagai obat

antirematik, peluruh keringat (diaphoretik), peluruh kentut (carminative),

meningkatkan nafsu makan (istomachica), dan menghilangkan sakit

(Rismunandar & Paimin 2009).

Daun jeruk nipis bisa dimanfaatkan sebagai obat untuk menyembuhkan

luka pada kulit karena daun jeruk nipis mengandung senyawa antiseptik yang

dapat membunuh bakteri dan mempercepat pengeringan luka. Senyawa dalam

daun jeruk nipis bisa membunuh semua bakteri yang mengenai luka dan

mempercepat pengeringan luka. Daun jeruk nipis dikenal sebagai daun yang bisa

mengeluarkan aroma yang sangat kuat. Ternyata dalam setiap helai daun jeruk

nipis mengandung ekstrak aroma yang terdiri dari berbagai jenis minyak esensial.

Beberapa jenis aroma yang khas itu antara lain adalah seperti aroma citrus dan

sitroneal (Dalimartha, 2009).

Daun cengkeh memiliki kandungan euganol, antiseptik, flavonoid,

antioksidan, zat espektoran dan masih banyak lagi. Beberapa manfaat daun

Universitas Sumatera Utara


cengkeh antara lain dapat membunuh kuman yang ada di tubuh, hal ini bisa terjadi

karena dalam daun cengkeh mengandung sifat antiseptik yakni zat euganol.

Manfaat lain daun cengkeh adalah menyembuhkan bengkak, mengobati batuk,

menyembuhkan sinusitis, meningkatkan imun tubuh, dan lain-lain. Daun cengkeh

juga memiliki keharuman alami yang bisa digunakan untuk mengharumkan

pakaian (Towaha, 2012).

Selain menggunakan kayu bakar dan daun-daunan, masih ada bahan lain

yang digunakan yaitu sabut kelapa. Kegunaan sabut kelapa adalah agar

menghasilkan asap yang banyak. Ibu meyakini semakin banyak asap yang

dihasilkan akan semakin bagus dan ibu akan lebih cepat berkeringat. Setelah sabut

kelapa dibakar dan mengeluarkan asap, ibu akan melakukan manjonjongi api

dengan cara berdiri di atas perapian dan merenggangkan kedua kaki agar asap

tersebut mengenai tubuh ibu.

Manjonjongi api dipercaya dapat menghilangkan pegal-pegal dan

membuat tubuh ibu menjadi lebih segar. Manfaat lainnya adalah mempercepat

pengeluaran darah nifas dari rahim ibu. Selain itu, manjonjongi api juga

bermanfaat untuk mempercepat keringnya luka yang terjadi pada saat proses

persalinan. Ibu nifas dianjurkan melakukan manjonjongi api selama ibu tersebut

melakukan marapi yaitu kurang lebih 40 hari. Sekarang ini ibu nifas sudah jarang

yang melakukan manjonjongi api sesuai dengan waktu yang dianjurkan.

Mayoritas ibu nifas melakukan manjonjongi api selama satu minggu. Hal tersebut

bisa terjadi karena adanya rasa tidak puas yang dirasakan oleh ibu dengan tradisi

yang dijalaninya. Misalnya ibu merasa bosan dan merasa terlalu lama dalam

Universitas Sumatera Utara


melakukan manjonjongi api. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan narasi

berikut:

“...kalau marapi itu badan jadi segar, tapi kalau terlalu lama
saya jadi bosan. Baiknya kalau marapi itu sekitar satu minggu
saja, setelah satu minggu saya bilang sama suami kalau saya
tidak usah marapi lagi, terkadang saya jadi terganggu juga kalau
terlalu lama. Kalau menurut saya baiknya satu minggu saja,
kadang saya sampai satu bulan...” (P31,L5-10).

Menurut Shils (1981) bahwa manusia tak mampu hidup tanpa tradisi

meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka. Masyarakat tetap

melakukan tradisi marapi walaupun mereka merasa tidak puas dengan tradisinya

sehingga mendorong ibu nifas maupun masyarakat untuk melakukan perubahan

namun tetap menjalankan tradisi tersebut. Manjonjongi api juga merupakan

warisan dari budaya setempat yang diperoleh dari orang tua mereka dan masih

dilaksanakan sampai sekarang. Tujuan dari manjonjongi api ini hampir sama

dengan tujuan dari mengukus vagina yang dilakukan di Malaysia.

Penelitian yang dilakukan oleh Yusoff et al. (2018) tentang “Postnatal

care practices among the Malays, Chinese and Indians” menyatakan bahwa

mengukus vagina atau tangas dalam bahasa Melayu adalah metode tradisional

yang menggunakan uap yang berasal dari campuran herbal. Perawatan tangas ini

diberikan dengan posisi wanita duduk di kursi kayu yang memiliki bukaan di

tengah area perineum sehingga terkena uap atau uap yang berasal dari seember air

panas dengan rempah-rempah di dalamnya. Perawatan tangas ini dimaksudkan

untuk mengangkat rahim kembali ke posisi semula dan juga untuk mengecilkan

rahim yang telah mengembang selama kehamilan. Tangas juga akan membuat

tubuh terasa lebih ringan dan nyaman.

Universitas Sumatera Utara


Daun-daunan seperti daun jeruk, daun cengkeh dan daun kayu manis dapat

memberikan manfaat positif bagi tubuh jika dipergunakan dengan cara yang tepat.

Pembakaran daun-daunan yang dianggap dapat memberikan efek positif yaitu

untuk membuat tubuh ibu lebih wangi dikhawatirkan dapat menimbulkan efek

negatif. Pembakaran daun-daunan kemudian ditambah lagi dengan membakar

sabut kelapa akan menghasilkan asap yang dapat menimbulkan gangguan pada

sistem pernapasan ibu. Untuk mendapatkan efek dari daun-daunan dapat

dilakukan dengan cara yang lebih sehat seperti yang dilakukan di Malaysia, yaitu

dengan merebus daun-daunan dan memanfaatkan uap dari perebusan daun

tersebut, atau dengan cara menggunakan daun-daunan sebagai campuran untuk air

mandi ibu.

Gambar 7. Perapian untuk marapi (kiri), perapian untuk manjonjongi api (kanan)

Bahan untuk mengusir roh halus. Manfaat lain dari tradisi marapi

adalah mengusir roh halus yang dapat mengganggu ibu dan bayinya. Masyarakat

Desa Manunggang Jae percaya bahwa roh halus sangat menyukai ibu yang baru

melahirkan dan bayinya karena mereka memiliki bau yang khas. Agar ibu dan

bayi terhindar dari gangguan roh halus maka ada beberapa bahan yang harus

disediakan, antara lain: salimbatuk/jeringau (acorus calamus l. acoraceae), unik

bulle/bangle (zingiber montanum), bawang putih (allium sativum) dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara


Penggunaan jeringau, bangle dan bawang putih sebagai pengusir roh halus juga

diperkuat dengan pernyataan ibu mertua, sesuai dengan kutipan narasi berikut:

“...pakai jeringau, bawang putih, bangle. Katanya sih untuk itu


penangkal yang diatas, setan-setan biasanya disebut dengan bau-
bau. Kalau orang tanya apakah bau-baunya sudah dibuat ya
inilah dia. Kadang ada yang terkena penyakit burung, kata orang
itu karena bau-baunya tidak dibuat. Inilah yang disebut bau-
bau...” (M, 56 tahun)

Gambar 8. Salimbatuk/acorus calamus l. acoraceae (kiri), unik bulle/zingiber


montanum (tengah), dan bawang putih/allium sativum (kanan)

Masyarakat Desa Manunggang Jae menggunakan jeringau dan unik bulle

dengan cara disemburkan ke tubuh ibu mulai dari ubun-ubun, ke kedua ujung jari

tangan dan kaki. Suami, ibu mertua atau ibu yang paling sering menyemburkan

jeringau ke tubuh ibu dan ibu sendiri juga bisa melakukannya. Caranya adalah

dengan mengunyah jeringau dan bangle sampai setengah lumat, kemudian baru

disemburkan ke tubuh ibu. Selain ke tubuh ibu jeringau juga disemburkan ke

sudut-sudut kamar maupun sudut-sudut rumah. Jeringau dan bangle akan

disemburkan satu kali sehari yaitu sore hari menjelang magrib, karena masyarakat

percaya pada waktu tersebut roh halus akan datang dan mengganggu ibu dan bayi.

Apabila cuaca mendung, jeringau juga dibakar ke perapian.

Tanaman jeringau merupakan tumbuhan air, banyak dijumpai tumbuh liar

di pinggiran sungai, rawa-rawa maupun lahan yang tergenang air sepanjang tahun,

Universitas Sumatera Utara


baik di Jawa maupun di luar Jawa. Oleh masyarakat, tanaman jeringau di

budidayakan dengan menanamnya di comberan di halaman samping rumah.

Sepintas tanaman ini mirip dengan pandan, tetapi daunnya lebih kecil dantumbuh

lurus seperti pedang. Warna daun hijau tua dan permukaannya licin. Batang

tanaman berada dalam lumpur berupa rimpang dengan akar serabut yang besar

(Pakasi & Christina, 2013).

Rimpang jeringau dilaporkan dapat mengurangi penyakit perut seperti

disentri dan asma dan juga digunakan sebagai insektisida, racun dan stimulan.

Ekstrak alkohol dari rimpang jeringau digunakan sebagai anti bakteri. Pada

masyarakat Batak Toba dan Karo, jeringau umumnya digunakan untuk obat

tradisional dan dipercaya dapat mengusir roh jahat.Studi etnobotani terhadap

tumbuhan obat Indonesia, jeringau termasuk jenis tumbuhan obat yang

dimanfaatkan oleh dukun beranak dan dukun kampung Suku Melayu, serta

digunakan oleh orang Banjar sebagai penghalau kuyang dan pengusir roh-roh

jahat.

Selain jeringau, bangle juga dipercaya dapat mengusir roh jahat yang

dapat mengganggu ibu dan bayi. Bangle sekilas bentuknya menyerupai jahe,

bangle dianggap memiliki aroma yang tidak disukai oleh hantu dan mereka yang

memiliki ilmu hitam. Jika ampas bangle dan ampas jeringau yang sudah dikunyah

dilumuri ke tubuh seseorang, maka bisa mengusir roh jahat yang berada di sekitar

orang tersebut. Ampas bangle dan ampas jeringau juga disemburkan ke sudut-

sudut ruangan kamar maupun sudut rumah, ampas dari tanaman ini bisa bikin

hantu-hantu tidak mau masuk ke ruangan tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Masyarakat juga percaya bahwa roh jahat bisa mengganggu bayi.

Penggunaan jeringau dan bangle berbeda antara ibu dan bayi. Ampas jeringau dan

bangle disemburkan ke tubuh ibu yang berguna untuk mengusir roh halus,

sedangkan untuk bayi penggunaan jeringau bangle dan bawang putih dengan cara

disematkan pada baju maupun topi bayi.

Gambar 9. Salimbatuk (jeringau), unik bulle (bangle), dan bawang putih yang
disematkan pada topi bayi

Selain menggunakan jeringau, bangle dan bawang putih, ibu atau keluarga

lain juga menyiapkan damuan (kain yang dijalin). Kain yang digunakan adalah

kain yang mudah terbakar seperti kain katun, kain berbahan kaus yang agak tebal,

dan lain-lain. Masyarakat lebih sering menggunakan bekas kain panjang anak

yang sudah tidak terpakai. Menurut mereka kain tersebut adalah kain yang paling

cocok digunakan karena kain tersebut mudah terbakar. Kain yang tidak dianjurkan

adalah kain yang berbahan siffon, kain yang licin dan berkaret, dan lain-lain.

Tidak ada ketentuan khusus tentang panjang kain yang harus disiapkan, panjang

Universitas Sumatera Utara


damuan yang disiapkan tergantung panjang kain yang ada. Damuan biasanya

disiapkan jika cuaca mendung. Damuan akan dibakar di perapian jika turun hujan

ataupun jika ada petir. Masyarakat Desa Manunggang Jae percaya bau khas yang

dihasilkan dari kain yang dibakar dapat mengusir roh halus.

Gambar 10. Damuan

Kepercayaan dalam menggunakan benda dan tumbuhan tertentu untuk

menjaga diri selama masa nifas dan hamil dari gangguan roh halus, juga

diterapkan oleh masyarakat suku Sasak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Sahidu et al. (2013) mengatakan bahwa perawatan yang diberikan oleh belian

kepada ibu yang sedang hamil selain air yang dimantrai adalah jeringo (sejenis

akar tanaman), memakaikan peniti ke pakaian ibu dan memberikan jimat dari

benang yang diikatkan di pergelangan tangan ibu dan bayi. Masyarakat juga

percaya dengan menggunakan ramuan tertentu ditubuh dapat menghindarkan

mereka dari gangguan roh halus.

Penelitian Mariyati dan Tumansery (2018) yang berjudul “Perawatan diri

berbasis budaya selama masa nifas pada ibu postpartum” menyatakan bahwa lima

dari sepuluh partisipan yang terlibat dalam penelitian mengatakan, mereka

Universitas Sumatera Utara


menggunakan tanaman tertentu untuk menjaga diri dari gangguan roh halus.

Selain tanaman, beberapa partisipan juga mempercayai bahwa membawa gunting,

mengikatkan benang dengan warna tertentu di tubuh dapat menjaga ibu dari

gangguan yang bersifat gaib. Kepercayaan ini mulai diterapkan ibu sejak masa

hamil hingga masa nifas.

Tema 2. Alasan Mempertahankan Tradisi Marapi

Kategori Sub-tema Tema

kebiasaan dari
zaman dahulu
tradisi turun
temurun
anjuran tetua
kampung alasan
mempertahankan
anjuran ibu tradisi marapi
mertua
anjuran
keluarga
anjuran orang
tua/ibu

Gambar 11. Alasan mempertahankan tradisi marapi

Alasan Mempertahankan Tradisi Marapi

Perawatan nifas yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu di Desa Manunggang

Jae merupakan serangkaian kegiatan yang merupakan ketentuan yang diperoleh

secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Nilai-nilai yang mendasari

dilakukannya marapi adalah untuk kesehatan ibu. Semua informan mendapatkan

pengetahuan tentang tradisi marapi berdasarkan pengalaman dan ajaran dari para

orang tua terdahulu, sehingga tradisi marapi untuk ibu nifas masih dilakukan

hingga sekarang. Seluruh informan menganggap bahwa tradisi marapi yang telah

Universitas Sumatera Utara


dilakukan secara turun temurun terbukti memberikan hasil yang positif, sehingga

saat ini mereka tetap mempertahankan tradisi tersebut.

Tradisi turun-temurun. Masyarakat di Desa Manunggang Jae

menganggap tradisi marapi sebagai sebuah tradisi turun-temurun yang diwariskan

oleh orang tua dari jaman dahulu. Mereka tetap melaksanakan tradisi tersebut

karena orang-orang tua/tetua kampung masih menganjurkan agar ibu nifas tetap

melaksanakan tradisi ini. Para orang tua mengatakan bahwa marapi adalah obat

yang dapat membantu ibu untuk cepat pulih kembali. Tradisi ini tetap dilakukan

karena masyarakat merasakan ada manfaat yang diperoleh dari tradisi ini, tidak

diketahui sejak kapan tradisi ini mulai dilakukan tetapi sampai sekarang tradisi ini

tetap rutin dilakukan oleh ibu yang baru selesai melahirkan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan:

“...karena mulai dari dulu sudah marapi, dari dulu marapi itu kan
obat apalagi untuk orang seperti saya yang bekerja sebagai petani
harus melakukan marapi agar tahan jika terkena hujan. Saya kan
seorang petani jadi saya harus marapi, seumpamanya kita
melahirkan ke bidan tapi tidak melakukan marapi, apabila terkena
hujan maka akan mudah kedinginan tidak tahan jika terkena
hujan....” (P6L81-87)

Setelah bayi lahir ibu harus melakukan beberapa perawatan pasca

persalinan untuk memulihkan kesehatannya. Tradisi perawatan tersebut sudah

dilakukan sejak dari nenek moyang dan sampai saat ini masih dipercaya dapat

membantu memulihkan kondisi pasca bersalin. Adapun perawatan yang dilakukan

pada masa nifas tersebut adalah marapi dan manjonjongi api. Rangkaian kegiatan

ini juga sudah direncanakan oleh ibu-ibu yang sedang hamil, meskipun nantinya

mereka akan melahirkan di tenaga kesehatan. Kegiatan ini tidak di tinggalkan

karena kegiatan tersebut sudah menjadi kebiasaan dari zaman dahulu yang harus

Universitas Sumatera Utara


dilakukan.

Praktik tradisi marapi sudah dilakukan sejak dahulu dan tidak diketahui

sejak kapan tradisi ini mulai dilakukan. Tradisi ini dianggap memberikan

pedoman hidup dan dinilai memberikan dampak positif dan masih dijalankan dan

diwariskan kepada generasi selanjutnya secara turun-temurun serta dijaga dan

dilestarikan keberadaannya hingga saat ini. Kuatnya masyarakat mempertahankan

tradisi ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo bahwa seseorang menerima

kepercayaan dari orangtua, kakek dan nenek berdasarkan keyakinan dan tanpa

adanya pembuktian terlebih dahulu (Notoatmodjo, 2008).

Tradisi marapi merupakan sebuah tradisi yang lahir dari kebiasaan

masyarakat dengan kata lain tradisi ini lahir dari bawah yaitu dari kalangan

masyarakat itu sendiri dan tradisi ini dilakukan dengan sukarela dan bukan

merupakan paksaan dari pihak manapun.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, Herskovits

dalam Jimung (2017) memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-

temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kepercayaan dan keyakinan

budaya terhadap perawatan ibu nifas, masih banyak dijumpai di lingkungan

masyarakat. Mereka meyakini budaya perawatan ibu setelah melahirkan dapat

memberikan dampak yang positif dan menguntungkan bagi mereka. Praktek

budaya dan kuatnya kepercayaan pada tradisi adalah hal yang biasa bagi etnik

hampir di dunia ini, termasuk Indonesia. Dari 1.331 etnik yang ada di Indonesia,

sekitar 370 etnik masih melakukan tradisi budaya dalam kehidupannya (Prasodjo

et al., 2015).

Universitas Sumatera Utara


Salah satu perawatan masa nifas yang masih dilakukan oleh masyarakat

adalah perawatan yang dilakukan oleh masyarakat di Bandanaera Kabupaten

Maluku Tengah, perawatan masa nifas dilakukan salah satunya dengan segera

memberi minuman pada wanita yang baru melahirkan, minuman tersebut terdiri

dari campuran jeruk asam (jeruk nipis), halia (jahe) yang diparut, gula merah dan

lada, yang kesemuanya dimasak hingga menjadi cairan kental. Kemudian setelah

kurang lebih tiga jam pasca persalinan ibu nifas diberi makan rujak, dengan tujuan

agar darah nifasnya keluar, dan dinding peranakan menjadi bersih dari gumpalan

darah, yang disebut kotor banta (Syafrudin & Mariam, 2010)

Masyarakat di Buton Utara juga memiliki tradisi turun temurun yang

masih dilakukan sampai sekarang. Tradisi dan nilai kebudayaan Buton Utara yang

disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini masih berlaku di dalam

masyarakat yang membentuk perilaku anak cucu mereka, seperti ibu-ibu yang

menjalani tradisi masa nifas tetap dilakukan sesuai dengan yang diturunkan dari

generasi ke generasi sekarang yang dikenal dengan tradisi posoropu. Aspek

budaya tradisi perawatan masa nifas yang harus dilakukan, yaitu pidaho wee

musodo (mandi air panas), pirarai (panggang), kabongkoi (ikat pinggul/perut),

dan meminum ramuan tradisional. Tradisi ini dilakukan selama kurun waktu 40

hari dengan bantuan bisa (dukun beranak) (Usman & Sapril, 2018).

Penelitian yang dilakukan oleh Mander dan Miller (2015) yang berjudul

“Perceived safety, quality and cultural competency of maternity care for

culturally and linguistically diverse women in Queensland“, menggunakan sampel

655 wanita yang beraneka ragam budaya dan bahasa yang berbeda di Queensland

Universitas Sumatera Utara


Australia. Hasil yang didapatkan 50% wanita tidak memiliki pilihan untuk sarana

dan penyedia layanan selama persalinan dan kelahiran. Hal ini diakui bahwa

beberapa wanita dengan berbagai budaya dan bahasa lebih memilih untuk dirawat

dengan menggunakan keyakinan budaya atau agama yang ada di daerahnya.

Kepercayaan dan adat istiadat dari budaya mereka memengaruhi perawatan

persalinan yang sudah menjadi tradisi di Queensland. Keyakinan budaya atau

suku juga dapat memengaruhi kebutuhan dalam perawatan persalinan, di

antaranya kebutuhan akan asupan gizi, mandi selama periode melahirkan, serta

perawatan lainnya yang menjadi tradisi dari turun temurun di daerahnya.

Anjuran keluarga. Tradisi marapi yang dilakukan oleh ibu nifas bukan

hanya karena alasan tradisi tersebut sudah dilakukan turun temurun, tetapi ada

juga karena sebab lain. Salah satu sebab ibu nifas masih melakukan tradisi marapi

adalah karena anjuran keluarga (ibu maupun ibu mertua). Beberapa informan

menyatakan melakukan tradisi marapi karena anjuran ibu mertua. Informan yang

berasal dari luar Desa Manunggang Jae dulunya tidak mengetahui tentang tradisi

marapi, setelah melahirkan anak pertama, ibu mertua akan memberitahu tentang

tradisi marapi dan membantu ibu melakukan marapi. Sesuai dengan ungkapan

informan berikut:

“...dulunya disuruh ibu mertua karena disini kan dari dulu sudah
seperti itu. Semua orang di desa ini selalu melakukan
marapi...”(P29L61-63)

Salah seorang ibu mengatakan bahwa ia melakukan marapi atas anjuran

ibu mertuanya. Hari pertama setelah melahirkan ibu belum melakukan

Universitas Sumatera Utara


manjonjongi api dan ibu mertuanya menyarankan agar melakukan hal tersebut

untuk membantu kesehatannya.

Gambar 12. Wawancara dengan informan

Hari kedua ibu mulai manjonjongi api tetapi sempat berhenti karena tidak

tahan dengan panasnya api. Kemudian ibu mertuanya mengatakan jika ibu tidak

marapi memang tidak akan mendapatkan dampaknya sekarang, tetapi nanti saat

usianya setengah baya baru akan terasa efeknya bagi tubuh. Hal ini sesuai dengan

pernyataan berikut:

“...waktu itu saya juga sebenarnya tidak mau marapi. Saya tidak
mau lagi karena saya tidak tahan dengan panasnya, mertua saya
mengatakan bahwa mungkin sekarang kamu tidak merasakan tapi
nanti jika sudah setengah baya kamu akan merasakan badan pegal-
pegal karena kamu tidak marapi...” (P15L173-178)

Ibu mertua menganjurkan agar melakukan marapi karena takut nanti ibu

akan merasakan efeknya jika sudah setengah baya. Hal tersebut juga terjadi di

negara lain seperti yang dijelaskan oleh Yusoff et al. (2018) dalam penelitiannya

yang berjudul “Postnatal care practices among the Malays, Chinese and Indians”,

dijelaskan bahwa masih banyak budaya atau etnis di seluruh dunia yang

Universitas Sumatera Utara


mempraktikkan ritual atau perawatan khusus pascanatal. Mereka mengatakan hal

tersebut dilakukan untuk menghindari kesehatan yang buruk di tahun-tahun

berikutnya walaupun pada saat itu efek langsungnya tidak terasa.

Beberapa etnis yang masih mempraktikkan ritual perawatan pasca natal

antara lain, masyarakat di Provinsi Fujian, China menunjukkan bahwa tradisi

zuoyue zi biasa dilakukan keluarga yang tinggal di perkotaan dan pedesaan untuk

membantu ibu mendapatkan kembali kekuatan dan melindungi kesehatan masa

depannya (Raven et al., 2007). Lundberg and Associate (2011) menyatakan

bahwa tradisi perawatan nifas di Vietnam yaitu roasting the mother untuk

menghangatkan tubuh berguna sebagai pemulihan ibu melalui proses kontraksi

pada perut dan uterus selama tiga bulan.

Penelitian yang dilakukan terhadap imigran wanita Meksiko di Amerika

Serikat menunjukkan bahwa tradisi budaya lacuarentena yaitu menutup tubuh

sebagai tujuan utama pemulihan pasca melahirkan (Hom et al., 2015). Hasil

penelitian lain pada wanita yang tinggal dipedesaan Yordania menunjukkan

bahwa untuk melakukan praktek perawatan postnatal tergantung terhadap

keyakinan budaya dan pengetahuan seperti swddling dan penggaraman bayi

(Hussein & Fortney, 2004).

Alasan lain yang menguatkan ibu untuk melakukan marapi adalah karena

melihat anggota keluarga lain melakukan marapi. Salah seorang ibu mangatakan

ia melakukan marapi karena ia melihat ibu dan kakak perempuannya juga

melakukan hal tersebut setelah selesai bersalin. Ia pun berkeinginan jika suatu saat

ia melahirkan ia pun akan melakukan marapi seperti yang dilakukan oleh ibu dan

kakaknya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan berikut:

Universitas Sumatera Utara


“...kakak-kakak saya dulunya juga marapi, saya juga mau
marapi...” (P20L116-117)

Gambar 13. Wawancara dengan informan dan ibu mertua

Ibu-ibu di Desa Manunggang Jae sangat mematuhi perintah ibu mertua

terutama yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan bayi, seperti pelaksanaan

tradisi dalam kehamilan, persalinan maupun tradisi dalam masa nifas. Ibu mertua

adalah orang yang paling berperan dalam pengambilan keputusan untuk

melakukan marapi karena dianggap paling berpengalaman dan mengetahui

tentang tradisi tersebut. Informan juga mengatakan jika tidak melakukan marapi

maka ibu mertua akan marah. Ibu akan dianggap sebagai menantu yang tidak

menurut. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan berikut:

“...kalau tidak marapi ibu mertua akan marah. Dulu orang selalu
marapi dan semuanya sehat, ibu mertua berkata seperti itu. Kita
dikatakan tidak menurut kalau kita tidak marapi...” (P27L69-72)

Faktor budaya terkadang membatasi perempuan untuk mengambil

keputusan bagi kesehatannya. Peran keluarga sangat penting karena keluarga

merupakan orang pertama yang berhubungan dengan ibu nifas, peran keluarga

Universitas Sumatera Utara


menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat kegiatan yang

berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Secara tradisional,

pembuatan keputusan keluarga dilakukan oleh suami, namun keluarga besar

terutama ibu atau ibu mertua juga akan memengaruhi pengambilan keputusan

khususnya tentang praktik tradisi marapi yang dilakukan oleh ibu nifas karena ibu

atau ibu mertua dianggap lebih tahu tentang apa saja yang harus dilakukan saat

masa nifas (Effendi, 1999).

Tema 3. Pengalaman Ibu selama Melakukan Tradisi Marapi.

Kategori Tema

merasa sehat

badan lebih segar

badan terasa ringan


pengalaman ibu selama
melakukan tradisi marapi
berkeringat

tidak mudah
kedinginan

badan tidak pegal-


pegal

Gambar 14. Pengalaman ibu selama melakukan tradisi marapi

Beberapa alasan yang mendorong ibu nifas tetap melaksanakan marapi

antara lain atas anjuran keluarga misalnya atas anjuran ibu kandung ataupun ibu

mertua. Beberapa ibu melakukan marapi atas keinginan sendiri karena ibu merasa

Universitas Sumatera Utara


mendapatkan manfaat dari marapi berdasarkan pengalamannya terdahulu.

Disamping itu ibu juga ingin mengikuti dan meneruskan tradisi yang sudah

dilakukan sejak dahulu walaupun ibu tidak mengetahui tentang nilai-nilai yang

terkandung dalam tradisi marapi.

Pengalaman Ibu selama Melakukan Tradisi Marapi

Tradisi marapi masih dilakukan sampai saat ini karena masyarakat

menganggap bahwa tradisi marapi memberikan dampak positif terhadap

kesehatan ibu nifas dan bayinya. Menurut sebagian besar informan, orangtua

mereka memberitahu bahwa marapi dilakukan dengan maksud agar ibu yang baru

melahirkan kuat dan cepat sembuh. Manfaat yang dirasakan oleh ibu bermacam-

macam antara lain, badan lebih segar, badan tidak pegal-pegal, badan terasa

ringan, tidak mudah kedinginan, selain itu ibu menjadi berkeringat dan membuat

ibu merasa sehat. Manfaat lain yang dirasakan adalah membantu pengeluaran

darah kotor serta mempercepat penyembuhan luka perineum.

Gambar 15. Ibu dan bayi sedang melakukan marapi

Universitas Sumatera Utara


Merasa sehat. Hasil wawancara menyatakan bahwa salah satu alasan

mereka masih melakukan tradisi marapi adalah karena mereka mendapatkan

dampak positif dari tradisi tersebut. Semua informan memiliki pendapat yang

positif terhadap tradisi marapi. Seluruh informan mengatakan bahwa marapi itu

bagus dan memiliki pengaruh yang baik untuk kesehatan mereka. Hal ini sesuai

dengan pernyataan informan berikut ini:

“...ya begitulah, mungkin kalau tidak ada api itu saya tidak akan
merasa sehat, badan pegal-pegal semua, ya harus ada api. Kalau
tidak ada api badan saya pegal semua. Kalau marapi itu badan
terasa lebih sehat dan ditambah juga dengan suntik. Saya kan tidak
pernah ditolong oleh bidan selama melahirkan. Keempat anak saya
semuanya ditolong oleh dukun baru kemudian saya disuntik untuk
menambah tenaga. Saya juga cepat sehat, dalam dua atau tiga hari
saya sudah bisa berjalan, saya sudah bisa ke kamar mandi tanpa
dibantu...” (P22L49-58)

Selama ini ibu nifas yang melaksanakan tradisi marapi memperoleh

informasi tentang manfaat marapi dari orangtua, mertua dan dukun dengan

keyakinan bahwa marapi akan bermanfaat bagi kesehatannya. Tradisi marapi

bertujuan untuk menjadikan badan ibu cepat kuat, agar tidak mudah kedinginan,

agar tidak mudah sakit dan mempercepat penyembuhan luka. Informasi mengenai

manfaat marapi ini, juga diperkuat dengan jawaban yang diberikan oleh dukun:

“...tidak sampai satu minggu saya sudah sehat. Manfaat yang lain
agar tahan jika terkena hujan, agar tidak kedinginan jika terkena
hujan. Agar tidak sering pilek, agar lukanya cepat sembuh...” (SB,
72 tahun, dukun beranak)

Tradisi marapi yang dilakukan oleh ibu nifas secara subjektif dapat

membuat mereka merasa sehat, hal ini karena mereka mempercayai hal tersebut.

Tenaga kesehatan desa menyatakan bahwa ibu-ibu merasa sehat karena mereka

memiliki keyakinan demikian, berdasarkan teori bahwa memberikan panas

Universitas Sumatera Utara


terhadap tubuh dapat memperlebar pembuluh darah dan melancarkan sirkulasi

darah ibu, tetapi hal tersebut tidak boleh dilakukan terlalu lama. Pemberian panas

boleh dilakukan sekitar 30 menit setelah melebihi jangka waktu tersebut

dikhawatirkan ibu dan bayi dapat mengalami luka bakar. Sedangkan pemberian

panas pada tradisi marapi dilakukan selama beberapa jam dan tidak ada ketentuan

tentang pengaturan suhu panas yang harus diberikan untuk ibu dan bayi.

Masyarakat melakukan marapi dengan tujuan agar ibu cepat sehat dan

cepat pulih ke kondisi semula. Hal tersebut sesuai dengan tujuan masyarakat

Aceh. Penelitian Rahayu, Mudatsir dan Hasballah (2017) menyatakan bahwa

perawatan masa nifas, yaitu madeung dan toet batee merupakan perawatan budaya

nifas yang dilakukan oleh masyarakat Aceh khususnya di Kecamatan Tanah

Jambo Aye Kabupaten Aceh Utara. Perawatan ini dapat memberikan manfaat bagi

ibu nifas yang meyakini bahwa dengan melakukan madeung dan toet batee dapat

mempercepat pemulihan masa pasca persalinan, membersihkan darah kotor,

mengembalikan otot dan merampingkan tubuh.

Penelitian yang dilakukan Handayani dan Prasodjo (2018) menyatakan

bahwa nilai-nilai yang mendasari dilakukannya se’i adalah terutama untuk

kesehatan ibu yang baru melahirkan agar kesehatannya cepat pulih dan cepat kuat.

Tradisi se’i masih dilakukan karena menurut sebagian besar informan, orangtua

mereka memberitahu bahwa se’i dilakukan dengan maksud agar ibu yang baru

melahirkan kuat dan cepat sembuh. Selain itu tradisi tersebut dimaksudkan agar

menghangatkan bayi sehingga bayi tidak cepat sakit karena kedinginan.

Melakukan perawatan nifas dengan pemanasan dikhawatirkan dapat

menimbulkan gangguan kesehatan kepada ibu postpartum. Endjun (2002)

Universitas Sumatera Utara


menyatakan bahwa mandi tradisional yang dilakukan dengan pemanasan atau

menduduki sesuatu yang panas, sehingga menimbulkan efek yang dapat

membahayakan kesehatan ibu, seperti duduk di atas bara yang panas atau

melakukan pemanasan dapat menyebabkan vasodilatasi, menurunkan tekanan

darah, bahkan bisa merangsang perdarahan, serta dapat menyebabkan dehidrasi

pada ibu postpartum. Duduk diatas bara yang panas dapat menyebabkan

vasodilatasi, menurunkan tekanan darah ibu dan menambah perdarahan juga dapat

menyebabkan dehidrasi (Prawirohardjo, 2006).

Pelaksanaan tradisi marapi yang diyakini dapat membuat ibu merasa sehat

ternyata dapat menimbulkan risiko kesehatan seperti terjadinya luka bakar akibat

suhu panas yang terlalu tinggi dan lamanya tubuh ibu dan bayi terpapar oleh

panas yang dihasilkan dari arang yang dibakar. Ibu dan bayi juga bisa mengalami

dehidrasi akibat suhu panas dan pengeluaran keringat yang berlebihan selama

melakukan tradisi marapi. Risiko kesehatan lain yang terjadi seperti penurunan

tekanan darah. Suhu yang panas menyebabkan pembuluh darah melebar atau

membesar, sementara tubuh mencoba menurunkan suhu internalnya. Hal tersebut

menyebabkan tersisanya banyak ruang kosong di arteri dan vena, sehingga

tekanan darah menurun.

Badan lebih segar. Selain merasa sehat, manfaat lain yang dirasakan ibu

setelah melakukan marapi adalah badan terasa lebih segar, sesuai dengan

pernyataan informan:

“...kalau marapi itu badan jadi segar, tapi kalau terlalu lama saya
jadi bosan. Baiknya kalau marapi itu sekitar satu minggu saja,
setelah satu minggu saya bilang sama suami kalau saya tidak usah
marapi lagi, terkadang saya jadi terganggu juga kalau terlalu

Universitas Sumatera Utara


lama. Kalau menurut saya baiknya satu minggu saja, kadang saya
sampai satu bulan. Walaupun begitu kalau terkena hujan tetap
tidak tahan, apalagi kalau sekarang saya sudah semakin tua....”
(P31L5-12)

Gambar 16. Wawancara dengan salah satu informan

Melakukan marapi membuat tubuh ibu menjadi lebih segar, hal ini sesuai

dengan manfaat yang dirasakan oleh ibu nifas yang melakukan tatobi (kompres

panas) di Amunaban Barat. Penelitian Handayani dan Prasodjo (2018)

menyatakan bahwa kegiatan tatobi (kompres panas) dimaksudkan untuk membuat

tubuh menjadi segar dan memulihkan kondisi ibu nifas, membuat hangat,

membersihkan badan, mencegah “darah putih naik ke kepala” (menurut istilah

mereka agar tidak sakit, tidak gila dan bahkan agar tidak mati), dan merangsang

keluarnya air susu ibu.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu, Mudatsir dan Hasballah (2017),

menyatakan bahwa manfaat dari perawatan masa nifas dengan sale/toet batee

adalah mengatur jarak kehamilan. Selain mengatur jarak kehamilan, di temukan

pula manfaat lainnya seperti tubuh menjadi seperti semula, badan terasa enak,

kurus, kulit menjadi lebih bersih, lebih kuat dan bertambah cantik.

Universitas Sumatera Utara


Tradisi marapi yang dilakukan dengan pemberian panas kepada ibu dan

bayi diyakini membuat tubuh ibu menjadi segar. Tenaga kesehatan menyatakan

bahwa ibu merasa segar karena pada saat melakukan marapi ibu mengeluarkan

keringat yang berfungsi untuk mendinginkan tubuh dan melancarkan sirkulasi.

Keringat juga berfungsi untuk mengeluarkan toksin yang ada di dalam tubuh dan

mampu melawan bakteri. Pada saat berkeringat, kelenjar keringat akan

memproduksi banyak keringat yang keluar dari pori-pori kulit. Dengan begitu,

kotoran yang terkunci di dalam pori-pori kulit akan terdorong keluar oleh

keringat, sehingga pori-pori akan kembali bersih dan segar.

Badan terasa ringan. Beberapa informan mengatakan bahwa mereka

merasakan badan terasa ringan setelah melakukan marapi. Hal ini lebih

dikhususkan pada saat ibu manjonjongi api. Mereka mengatakan badan terasa

ringan karena pada saat melakukan manjonjongi api asap mengenai seluruh tubuh

ibu sehingga tubuh ibu berkeringat dan membuat badan ibu terasa lebih ringan.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan informan:

“...kalau marapi badan terasa ringan dan semua pegal-pegalnya


hilang...” (P33L71-72)

Perawatan nifas tradisional memiliki bermacam-macam manfaat, seperti

yang diungkapkan oleh Mariyati dan Tumansery (2018) dalam penelitiannya yang

berjudul “Perawatan diri berbasis budaya selama masa nifas pada ibu

postpartum”. Manfaat yang dirasakan antara lain, membantu memulihkan tenaga

lebih cepat, menghangatkan tubuh, mempercepat penyembuhan luka pada jalan

lahir, mengurangi rasa nyeri akibat kontraksi uterus, membantu memulihkan

kebugaran dan kesehatan tubuh, melancarkan peredaran darah, membantu

Universitas Sumatera Utara


melancarkan pengeluaran lochea serta mengembalikan elastisitas kulit perut

sehabis melahirkan.

Berkeringat. Melakukan marapi dan manjonjongi api membuat tubuh ibu

menjadi berkeringat. Beberapa informan mengatakan jika tubuh berkeringat akan

membuat mereka lebih sehat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan:

“...saya merasa lebih sehat, badan saya terasa ringan, seperti


itulah manfaat yang saya rasakan, seperti itulah bila kita
melakukan marapi. Saya sehat, badan saya terasa bugar, saya
cepat berjalan-jalan, saya tidak merasakan sakit apapun lagi.
Orang sampai menegur saya karena saya cepat beraktivitas.
Keringat saya sangat banyak, baju saya basah sampai bisa
diperas...” (P6L89-95)

Fungsi keringat, antara lain;1) mendinginkan tubuh. Berkeringat

merupakan mekanisme alami tubuh untuk mengatur temperatur yang meningkat

saat kita beraktivitas atau kepanasan; 2) menyehatkan sirkulasi. Ketika kita

berkeringat, detak jantung akan menjadi cepat dan sirkulasi meningkat, terutama

di sekitar kulit. Dasar kelenjar keringat terletak di lapisan bawah kulit yang

lokasinya sangat dekat dengan pembuluh darah kecil, ketika kelenjar keringat

melebar aliran darah ke kulit akan meningkat sehingga memacu sistem sirkulasi;

3) melawan infeksi. Berkeringat ternyata sangat efektif melawan bakteri

staphylococcus aureus yang resisten pada antibiotik. Selain itu berkeringat juga

akan akan mengurangi bakteri dan jamur berbahaya di kulit. Cairan keringat

mengandung nitrit, yang akan diubah menjadi asam nitrit saat mencapai

permukaan kulit, gas yang mengandung antibakteri dan anti jamur; 4) membuang

racun. Berkeringat sering disebut juga sebagai detoksikan. Kelenjar keringat

memiliki jumlah sampai lima juta di kulit manusia, tak heran jika berkeringat

merupakan mekanisme pembuangan racun dari tubuh.Toksin yang dibuang lewat

Universitas Sumatera Utara


keringat biasanya adalah toksin yang berada jauh di bawah kulit. Mereka keluar

melalui pori bersama dengan debu dan minyak yang terperangkap. Proses

pembersihan ini akan meningkatkan sistem imun dan membantu tubuh melawan

flu; 5) menyembuhkan. Berkeringat merupakan cara tubuh untuk membangunkan

sistem imun agar melawan patogen yang membuat kita sakit. Pengeluaran

keringat merupakan cara tubuh menyembuhkan dirinya sendiri. Mekanisme yang

sama terjadi saat kita berolahraga atau berada di tempat panas. Selain merangsang

metabolisme untuk menjaga berat badan, karena tubuh akan membakar kalori

lebih banyak tapi juga hal ini akan merangsang sistem imun.

Manfaat berkeringat hanya bisa didapatkan jika seseorang berkeringat

dengan tidak berlebihan. Jika keringat keluar secara berlebihan atau disebut

sebagai hiperhidrosis, kondisi ini justru dapat memicu tumbuhnya jamur dan

munculnya eksim. Keringat, khususnya yang didapatkan setelah melakukan

olahraga ternyata akan membuat tubuh terasa jauh lebih segar sehingga kita pun

akan merasa jauh lebih baik. Pengeluaran keringat berlebihan dapat menimbulkan

dehidrasi.

Suhu panas yang dihasilkan dari pembakaran arang dan kayu bakar dapat

membuat ibu dan bayi mengeluarkan keringat secara berlebihan dan dapat

menyebabkan ibu dan bayi mengalami dehidrasi. Udara yang panas akan

membuat kelembaban tubuh menjadi rendah. Cairan dalam tubuh pun menguap

dan mengeluarkan panas. Sementara itu, suhu ruangan yang panas akan membuat

kelembaban udara menjadi tinggi. Kelembaban yang tinggi membuat udara

menjadi penuh air dan menyebabkan cairan yang ada di dalam tubuh tidak

menguap melainkan menees menjadi keringat. Banyak pengeluaran cairan dalam

Universitas Sumatera Utara


tubuh membuat tubuh jadi dehidrasi. Semakin panas suhu maka semakin banyak

keringat yang keluar dari tubuh.

Perawatan masa nifas dengan menghangatkan tubuh ibu juga memiliki

tujuan agar ibu mengeluarkan keringat. Pengeluaran keringat dianggap

memberikan dampak positif yang dapat membuat ibu menjadi lebih sehat. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Swasono (2005) yang mengungkapkan bahwa

penghangatan badan dimulai pada hari sesudah melahirkan dan berlangsung

sekurang-kurangnya 20 hari dan paling lama 44 hari. Ibu yang baru melahirkan

mandinya dibatasi agar berkeringat, karena bila ibu postpartum berkeringat

dianggap baik untuk proses pengeringan luka-luka jalan lahir.

Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Utami (2017) yang

menyatakan bahwa mengompres perineum memengaruhi kesembuhan luka

perineum, pengunaan air hangat saat membersihkan vagina sama saja dengan

memfaasilitasi mikroorganisme karena sebagian bakteri dan jamur menyukai

daerah yang hangat. Selain itu air hangat dapat melunakkan benang jahit yang

mengikat luka jahitan di daerah perineum karena benang tersebut terbuat dari

protein yang akan menyatu dengan jaringan tubuh. Semakin sering menggunakan

air hangat memungkinkan benang untuk melunak dan putus sebelum menyatu

dengan kulit.

Terjadinya infeksi pada luka perineum dan dampak lain seperti benang

jahitan dapat terbuka diperkuat oleh pernyataan berikut:

“...melakukan manjonjongi api sebenarnya dapat membuat luka


jahitan perineum terbuka karena terkena tetesan keringat ibu. Luka
perineum juga bisa infeksi dikarenakan asap yang langsung
mengenai luka tersebut. Tetapi sampai saat ini belum pernah ada

Universitas Sumatera Utara


ibu nifas yang berkunjung dan mengeluh tentang terjadinya infeksi
luka perineum yang dialami oleh ibu...”(tenaga kesehatan)

Tidak mudah kedinginan. Marapi dilakukan agar memberikan

kehangatan kepada ibu dan bayi. Jika ibu tidak melakukan marapi dikhawatirkan

ibu akan mudah merasa kedinginan dan gampang sakit jika terkena hujan. Jika

apinya terlambat dinyalakan ibu merasa kedinginan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan:

“...kalau suami saya sedang banyak pekerjaan dan terlambat


menyalakan api saya akan merasa kedinginan, saya senang marapi
karena banyak mengeluarkan keringat, karena banyak
mengeluarkan keringat saya terus-terusan merasa haus jadi saya
banyak minum dan badan cepat menjadi ringan dan makan juga
jadi lebih berselera. Kalau tidak marapi ya badan akan mudah
kedinginan dan akan terasa lemas. Kalau marapi ya saya banyak
minum dan semua makanan rasanya enak...”(P17L4-13)

Ibu melahirkan mengeluarkan banyak darah, berkurangnya darah dalam

tubuh ibu membuat ibu lemah dan mudah merasa kedinginan. Menyalakan api dan

meletakkannya dibawah tempat tidur ibu diharapkan dapat memberikan

kehangatan kepada ibu dan bayi sehingga ibu merasa lebih sehat. Hal ini sesuai

dengan hasil pendapat Foster dan Anderson (1986), yang mengatakan bahwa

wanita yang baru melahirkan dianggap berada dalam kondisi dingin, berbeda

halnya dengan saat ketika ia sedang hamil, yang dianggap berada dalam kondisi

panas. Maka dalam kondisi dingin setelah melahirkan sang ibu dan juga bayinya

dianggap memerlukan pemanasan.

Pada kenyataannya perawatan nifas dengan memberikan rasa hagat kepada

ibu dan bayi juga dapat ditemui di berbagai daerah, hal ini sesuai dengan pendapat

Swasono (1998), bahwa dilingkungan masyarakat yang menganut keyakinan

mengenai dikotomi panas-dingin, kondisi wanita pasca persalinan dianggap

Universitas Sumatera Utara


mempunyai kualitas dingin, karena itu dalam beberapa kebudayaan wanita pasca

persalinan diharuskan menjalani masa berdiang dekat tungku atau bara yang terus

menerus menyala selama berberapa hari agar ibu dan bayinya berada dalam

keadaan hangat.

Yusoff et al. (2018) menyatakan bahwa masyarakat China juga

mempunyai tradisi perawatan ibu nifas yang berprinsip untuk menghindari ibu

melahirkan dan bayi baru lahir dari dingin. Selama ibu nifas dalam masa

kurungan, ibu nifas tidak akan mandi selama beberapa hari atau minggu

(tergantung ketahanan ibu nifas yakni kenyamanan). Setelah beberapa minggu ibu

boleh mandi dengan air hangat yang didinginkan tanpa mencampurkan air panas

dengan air dingin. Dilarang keras mencuci kepala karena takut dia akan sakit

akibat kedinginan. Ramuan juga ditambahkan dengan keyakinan bahwa ramuan

tersebut baik dalam mencegah tubuh ibu nifas dari angin, dengan demikian akan

terhindar dari sakit.

Masyarakat Desa Manungang Jae menganjurkan ibu nifas untuk

melakukan marapi dengan tujuan agar ibu nifas tidak mudah kedinginan.

Pandangan masyarakat bahwa jika ibu mudah kedinginan maka ibu akan mudah

terserang sakit sehingga ibu perlu melakukan marapi dengan waktu yang cukup.

Apabila ibu sering kedinginan, masyarakat menyebutnya dengan istilah “kurang

api”. Selain melakukan marapi, ibu juga dimandikan dengan air hangat dua kali

sehari agar tubuh ibu tetap hangat dan tidak kedinginan. Pandangan tersebut dapat

dirasionalkan dari sudut pandang kesehatan, bahwa suhu yang hangat bermanfaat

untuk ibu dan bayi.

Universitas Sumatera Utara


Suhu hangat dapat mencegah terjadinya hipotermi pada bayi yang sering

menjadi penyebab kematian pada bayi baru lahir. Bagi ibu nifas, kehangatan

membuat pembuluh darah berdilatasi sehingga sirkulasi darah lancar dan

pengangkutan oksigen dalam organ-organ tubuh baik dan sangat membantu dalam

penyembuhan luka. Akan tetapi di sisi lain, proses pemanggangan ibu nifas

bersama bayinya juga dapat merugikan kesehatan ibu dan bayi tersebut karena

menggunakan bahan bakar kayu (biomassa). Hasil pembakaran tidak sempurna

bahan bakar biomassa menghasilkan berbagai macam zat perusak kesehatan

seperti: partikel halus (PM2.5) atau partikel kecil (PM10), ozon (O3), oksida

nitrogen (NOx), karbon monoksida (CO), hidrokarbon polyaromatik (PAH),

senyawa organik non-metana yang mudah menguap (NMVOCs) dan sulfur

dioksida (SO2). Pajanan bahan-bahan pencemar tersebut dapat berdampak buruk

terhadap kesehatan. Dampak yang ditimbulkan cukup beragam mulai dari yang

bersifat alergi, iritan, sampai karsinogenik dan mutagenik. Paparan polusi udara

dalam ruangan dapat menyebabkan dampak kesehatan yang merugikan pada anak-

anak dan orang dewasa, dari penyakit pernafasan sampai kanker (WHO, 2018).

Badan tidak pegal-pegal. Informan memiliki pandangan yang positif

tentang marapi, mereka mengatakan bahwa marapi itu bagus. Jika ibu tidak

marapi maka badan terasa pegal-pegal. Ibu akan melakukan marapi segera setelah

ibu selesai dibersihkan dan melakukan manjonjongi api keesokan harinya setelah

ibu melahirkan. Ibu dianjurkan agar secepatnya melakukan marapi agar badan

tidak pegal-pegal. Sesuai dengan kutipan narasi berikut:

“...saya rasa marapi itu bagus, kalau tidak marapi badan saya
pegal-pegal semua. Satu hari setelah pulang dari klinik saya belum

Universitas Sumatera Utara


manjonjongi api, besoknya baru saya manjonjongi api selama
belum manjonjongi api badan rasanya tidak enak rasanya pegal
semua, setelah manjonjongi api badan terasa ringan keringat saya
keluar darah kotor juga keluar...” (P12L35-41)

Efek pemberian terapi panas terhadap tubuh antara lain meningkatkan

aliran darah ke bagian tubuh yang mengalami cedera, meningkatkan pengiriman

leukosit dan antibiotik ke daerah luka, meningkatkan relaksasi otot dan

mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan, meningkatkan aliran darah dan

meningkatkan pergerakan zat sisa dan nutrisi. Menurut Riyadi (2012), kompres

hangat adalah tindakan yang dilakukan untuk melancarkan sirkulasi darah juga

untuk menghilangkan rasa sakit. Pemberian kompres dilakukan pada radang

persendian. Kompres hangat bertujuan agar meningkatkan sirkulasi aliran darah

ke bagian yang nyeri, menurunkan ketegangan otot dimana dapat meningkatkan

relaksasi otot dan mengurangi nyeri akibat dari spasma atau kekakuan, dan juga

memberikan rasa nyaman.

Kompres hangat dengan menggunakan buli-buli panas yang mana secara

konduksi dimana terjadi pemindahan panas dari buli-buli ke dalam tubuh sehingga

akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah sirkulasi menjadi lancar dan akan

menjadi ketegangan otot, sesudah otot miometriumrilek, rasa nyeri yang dirasakan

berangsur-angsur berkurang bahkan hilang (Anugraheni & Wahyuningsih, 2013).

Menurut Kusyanti (2004), kompres panas merupakan tindakan untuk

memberikan rasa hangat pada klien dengan menggunakan cairan atau alat yang

menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukannya untuk tujuan

terapeutik. Menurut Brunner dan Suddarth (2001), kompres panas digunakan

untuk mengurangi nyeri, serta pemberian kompres panas juga berperan untuk

Universitas Sumatera Utara


pelunakan jaringan fibrosa, membuat otot tubuh lebih rileks, memberikan

ketenangan pada klien, dan memperlancar pasokan aliran darah dengan

meningkatkan vasodilatasi.

Menurut Kozier dan Gleniora (2009), penggunaan kompres hangat

membuat sirkulasi dan vaskularisasi darah lancer sehingga terjadi relaksasi pada

otot mengakibatkan kontraksi otot menurun dan nyeri berkurang. Penurunan

intensitas nyeri dipengaruhi oleh kompres hangat pada simphisis pubis yang

dilakukan dengan buli-buli panas yang memberikan efek pelebaran pembuluh

darah sehingga dengan efek tersebut aliran darah menjadi lancar. Sehingga

aktifitas yang terganggu sebelumnya akibat nyeri haid dapat kembali dilanjutkan.

Tujuan dari kompres hangat ini untuk menurunkan intensitas nyeri dengan

manfaat pemberian kompres hangat secara biologis yang menyebabkan dilatasi

pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah. Pemberian

kompres hangat memakai prinsip pengantaran panas melalui cara konduksi

dimana panas ditempelkan pada daerah yang sakit untuk melancarkan sirkulasi

darah dan menurunkan ketegangan otot sehingga akan menurunkan nyeri pada

wanita dengan dismenore primer, karena pada wanita dengan dismenore ini

mengalami kontraksi uterus dan kontraksi otot polos (Anugraheni &

Wahyuningsih, 2013).

Hal ini dapat dijelaskan dengan teori yang dikemukakan oleh Potter dan

Perry (2006) pengompresan yang dilakukan dengan mempergunakan buli-buli

panas yang di bungkus kain yaitu secara konduksi dimana terjadi pemindahan

panas dari buli-buli ke dalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran

Universitas Sumatera Utara


pembuluh darah dan akan terjadi penurunan ketegangan otot sehingga nyeri haid

yang dirasakan akanberkurang atau hilang, panas dapat menyebabkan dilatasi

pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah. Secara

fisiologis respon tubuh terhadap panas yaitu menyebabkan pembuluh darah,

menurunkan kekentalan darah, menurunkan ketegangan otot, meningkatkan

metabolisme jaringan dan meningkatkan permeabilitas kapiler.

Respons dari panas inilah yang digunakan untuk keperluan terapi pada

berbagai kondisi dan keadaan yang terjadi dalam tubuh. Panas menyebabkan

vasodilatasi maksimum dalam waktu 20-30 menit, melakukan kompres lebih dari

30 menit akan mengakibatkan kongesti jaringan dan klien akan beresiko

mengalami luka bakar karena pembuluh darah yang berkontriksi tidak mampu

membuang panas secara adekuat melalui sirkulasi darah (Kozier dan Gleniora,

2009).

Tradisi masa nifas juga dilakukan di daerah lain seperti tradisi pirarai

yang dilakukan oleh ibu nifas di Buton Utara. Penelitian yang dilakukan oleh

Usman dan Sapril (2018) yang berjudul “Pemanfaatan Budaya Posoropu dalam

Perawatan Masa Nifas oleh Perempuan Buton Utara”menyatakan bahwa setiap

harinya seorang ibu nifas melakoni tradisi pirarai. Terlebih dahulu anggota

keluarga menyalakan api ditungku yang sudah didesain didalam kamar ibu.

Tradisi ini dilakukan sampai masa nifas berakhir. Suhu atau panas tergantung dari

keinginan atau kebutuhan dari informan itusendiri yang diyakini bermanfaat bagi

bayi yangdilahirkan agar memiliki fisik yang kuat, tidak masuk angin, dan tidak

mudah terjangkit hepatitis. Manfaat yang bisa dirasakan oleh ibu yaitu mencegah

Universitas Sumatera Utara


darah putih naik ke kepala, karena jika darah putih naik ke kepala maka dapat

menyebabkan sakit kepala yang menetap, serta manfaat lainnya adalah meredam

hingga menghilangkan nyeri pada bagian pinggul.

Tradisi seperti ini tidak hanya dilakukan di Indonesia, penelitian yang

dilakukan oleh Zamani (2001) yang berjudul “Traditional Practices in Postnatal

Care: The Malay Community in Malaysia” menunjukkan bahwa ada beberapa

elemen yang dilakukan dalam perawatan ibu nifas di Malaysia yaitu tungku,

tangas, barut, salai dan pantang, dari semua praktik tradisional tersebut salai

adalah yang paling tidak umum karena untuk melakukan salai harus membuat

tempat tidur di dalam rumah. Salai adalah menempatkan wanita diatas tempat

tidur kayu. Wanita tersebut dianjurkan untuk berbaring di sore hari, di bawah

tempat tidur diletakkan arang atau kayu yang sudah dibakar dan diletakkan di

dalam baskom logam. Panas dari arang atau kayu menenangkan dan melemaskan

tubuh.

Gambar 17. Salai

Universitas Sumatera Utara


Penelitian Fadzil, Shamsuddin dan Ezat (2015) yang berjudul “Traditional

Postpartum Practices Among Malaysian Mothers: A Review” menjelaskan tentang

perawatan pasca persalinan ibu-ibu Melayu. Pijat tradisional Melayu adalah

bagian dari rejimen perawatan sepanjang masa kurungan 44 hari. Elemen lain dari

rejimen ini adalah tungku (kompres batu panas/besi), tangas (mandi uap vagina),

barut/korset tradisional, seperti yang dibahas sebelumnya, juga dikenal sebagai

bengkung di bagian lain Malaysia), salai (sauna tradisional), dan pantang

(pengecualian diet ketat, kriteria inklusi, persiapan, dan porsi), serta pantang

berhubungan seksual.

Selain di Desa Manunggang Jae, tradisi perawatan ibu nifas pasca

melahirkan juga dilaksanakan oleh masyarakat di Aceh, seperti yang diteliti oleh

Rahayu, Mudatsir dan Hasballah (2017) bahwa semua partisipan melakukan

madeung dan toet batee. Cara ini bukan suatu hal yang asing dalam kehidupan

masyarakat Aceh yang baru selesai melahirkan, khususnya di daerah Tanah

Jambo Aye. Cara pengobatan madeung dan sale, diyakini bisa mengeringkan

peranakan, tubuh menjadi kurus atau singset, dapat mengecilkan perut, dapat

mengatur jarak kelahiran dan membuat ibu menjadi cantik serta membuat tubuh

menjadi harum. Sejak hari pertama di peumadeung (disale) dan diletakkan batu

panas di perut. Ibu tidur di atas bale yang terbuat dari bambu atau kayu yang di

bawahnya dihidupkan api. Hal ini bertujuan untuk membersihkan darah kotor,

mengembalikan otot dan merampingkan tubuh.

Praktik tradisi marapi yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun dan

dipercaya dapat memberikan manfaat untuk ibu dan bayi bukanlah tanpa risiko,

dari kaca mata kesehatan dapat dilihat bahwa kemungkinan dampak negatif bisa

Universitas Sumatera Utara


terjadi, misalnya pada saat melakukan marapi dikhawatirkan jika bara api terlalu

panas maka kulit ibu bisa terbakar, hawa yang panas juga dapat membuat iritasi

pada kulit bayi (Sitorus, 2017).

Meletakkan perapian di dalam kamar bisa berdampak negatif karena asap

dari api tersebut dapat menganggu sistem pernafasan pada ibu dan bayi yang

berada dalam satu ruangan. Asap dari pembakaran kayu, arang dan bahan organik

lain mengandung berbagai zat kimia yang bisa mengganggu kesehatan, yakni

partikel halus (particulate matter/PM) dan gas. Gas karbon monoksida, sulfur

dioksida, nitrogen oksida, dan ozon merupakan gas yang paling dominan yang

terdapat dalam kandungan asap. Secara umum bahan pencemar senyawa kimia

nitrogen oksida, sulfur dioksida, karbon monoksida,ozon dan partikulat di udara

menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia seperti luka mata dan luka

saluran pernapasan (Wardhana, 2014)

Jika pada saat proses persalinan terjadi robekan jalan lahir dan dilakukan

penghektingan seharusnya luka tersebut tidak boleh terkena air karena

dikhawatirkan benang jahitan akan putus, hal ini lebih sering terjadi pada saat ibu

manjonjongi api. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan:

“...luka saya cepat kering, benang jahitan saya terbuka setelah


saya manjonjongi api saya kasih tau bidan kata bidannya gak apa-
apa karena lukanya sudah sembuh jadi tidak perlu dijahit lagi,
saya kan takut kenapa-napa makanya saya kasih tau bidan tapi
bidannya bilang tidak apa-apa lukanya sudah kering dan sudah
menyatu...” (P12L55-60)

Tradisi mararang yang diyakini dapat membantu memulihkan kesehatan

ibu dan bayi ternyata dapat menimbulkan malapetaka, seperti kejadian yang

terjadi di daerah Dolok Sanggul. Seorang ibu bernama Rosida boru Ambarita dan

Universitas Sumatera Utara


bayi perempuannya Butet boru Manullang yang baru berusia dua hari diduga

meninggal karena keracunan asap arang dari perapian. Berdasarkan informasi dari

salah seorang warga, asap arang biasa digunakan dalam adat mereka untuk

menghangatkan tubuh ibu yang baru melahirkan beserta bayinya. Namun diduga

ibu dan bayinya tersebut meninggal karena keracunan asap arang, karena asap dari

pembakaran arang yang tidak sempurna dapat menyebabkan kurangnya oksigen.

Keadaan ini diperparah dengan kurangnya ventilasi di dalam rumah, diduga

kamar dalam keadaan tertutup sehingga mereka tidur lemas dan akhirnya

meninggal karena kekurangan oksigen. Bagi warga di Tapanuli, Samosir dan

Karo, tradisi membuat perapian buat ibu bersalin adalah hal biasa, namun jarang

ada yang sampai merenggut jiwa (Turnip, 2017).

Tema 4. Kesehatan Ibu dan Bayi selama Melakukan Marapi

Kategori Tema

kesehatan ibu

kesehatan ibu dan bayi


selama melakukan marapi

kesehatan
bayi

Gambar 18. Kesehatan ibu dan bayi selama melakukan marapi

Kesehatan Ibu dan Bayi selama Melakukan Marapi

Upaya perawatan masa nifas telah lama dilakukan dengan berdasar kepada

warisan leluhur dan hal tersebut bervariasi sesuai adat dan kebiasaan pada masing-

masing suku, namun tidak semua perawatan yang dilakukan oleh masyarakat

tersebut dapat diterima bila ditinjau dari aspek medis. Oleh sebab itu, informasi

Universitas Sumatera Utara


tentang perawatan masa nifas merupakan salah satu aspek penting yang perlu

diketahui oleh tenaga kesehatan untuk memberikan pendekatan dalam pelayanan

kesehatan.

Hasil wawancara menunjukkan gambaran kesehatan ibu dan bayi selama

melakukan tradisi marapi. Hal tersebut tergambar dari kategori berikut ini; 1)

kesehatan ibu; 2) kesehatan bayi. Masing-masing kategori dijelaskan sebagai

berikut:

Kesehatan ibu. Hasil wawancara menunjukkan bahwa beberapa ibu tidak

memiliki keluhan selama marapi. Mereka mengatakan bahwa mereka sehat dan

tidak memiliki keluhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan informan berikut:

“...saya merasa sehat. Saya memang jarang sakit, sewaktu marapi


juga saya selalu merasa sehat...” (P29L67-68)

Dua orang informan mengatakan mereka pernah mengalami keluhan saat

melakukan marapi seperti kedinginan, demam dan batuk. Hal ini sesuai dengan

kutipan narasi berikut ini:

“...pernah, saya pernah sakit dan disuntik oleh bidan. Saya demam
setelah satu bulan melahirkan. Waktu itu tidak ada orang di
rumah, anak-anak juga tidak ada. Tiba-tiba gerimis turun dan kain
jemuran kami sangat banyak di luar, saya keluar mengangkat
jemuran tapi saya memakai tapu-tapu (kain diletakkan di atas
kepala) semenjak itu saya demam dan batuk....” (P7L33-39)

Walaupun beberapa informan mengatakan tidak ada keluhan selama

melakukan marapi tetapi risiko gangguan kesehatan pasti ada seperti gangguan

pernapasan yang bisa timbul karena menghirup asap dari pembakaran biomassa

yang tidak sempurna (arang). Selama melakukan pengumpulan data di lapangan

peneliti menemukan satu orang ibu yang sedang melakukan marapi. Peneliti

Universitas Sumatera Utara


mengamati perapian yang diletakkan di bawah tempat tidur, peneliti melihat tidak

terlihat banyak asap yang dihasilkan oleh perapian tersebut bahkan bisa dikatakan

tanpa asap, tetapi walaupun terlihat tanpa asap bukan berarti tidak berbahaya bagi

kesehatan. Emisi dari pembakaran bahan bakar biomassa dapat mencemari

lingkungan rumah dan menimbulkan gangguan kesehatan ibu maupun bayinya

(Christiana et al., 2018).

Kayu bakar atau arang yang dibakar akan menghasilkan asap yang

mengandung bermacam-macam senyawa kimia. Senyawa kimia yang dihasilkan

dari pembakaran tersebut yaitu: partikel halus (PM2.5) atau partikel kecil (PM10),

ozon (O3), oksida nitrogen (NOx), karbon monoksida (CO), hidrokarbon

polyaromatik (PAH), senyawa organik non-metana volatile organic compounds

(NMVOCs) yang mudah menguap dan sulfur dioksida (SO2) (WHO, 2018).

Asap dari pembakaran kayu, arang dan bahan organik lain mengandung

berbagai zat kimia, yakni partikel halus (particulate matter/PM) dan gas. Gas

karbon monoksida, sulfur dioksida, nitrogen oksida dan ozon merupakan gas yang

paling dominan yang terdapat dalam kandungan asap.Secara umum bahan

pencemar senyawa kimia nitrogen oksida, sulfur dioksida, karbon monoksida,

ozon dan partikulat di udara dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada

manusia seperti gangguan pernapasan, penyakit asma dan bronchitis, luka mata,

mata terasa pedih dan berair, pusing kepala, kelelahan, batuk-batuk serta dapat

menimbulkan gangguan pada sistem syaraf (Wardhana, 2014).

Asap terlihat pada saat pertama kali menyalakan perapian, untuk

menyalakan perapian diperlukan kayu bakar yang kering bukan arang. Kayu bakar

Universitas Sumatera Utara


yang dibakar inilah yang mengeluarkan asap, tetapi setelah api menyala kayu

bakar akan diambil kembali dan yang tinggal hanya bara api, kemudian baru

ditambahkan dengan arang. Saat kayu bakar diambil dari perapian, asapnya juga

ikut pergi bersama kayu bakar tersebut. bara api dan arang tersebutlah yang

menjadi bahan perapian yang diletakkan di bawah tempat tidur ibu. saat perapian

diletakkan di bawah tempat tidur, asapnya sudah tidak ada dan yang terasa hanya

panasnya saja.

Hal yang berbahaya dari perawatan marapi ini adalah resiko kemungkinan

terjadinya luka bakar karna tidak ada ketetapan pasti tentang ukuran panas yang

dihasilkan oleh arang yang dibakar dan berapa lama ibu harus berbaring di atas

perapian. Luka bakar adalah respon kulit dan jaringansubkutan terhadap trauma

suhu/termal. Lukabakar dengan ketebalan parsial merupakan luka bakar yang

tidak merusak epitel kulit atauhanya merusak sebagian epitel kulit (Grace &

Borley, 2006).

Seorang ibu mertua menyiapkan perapian yang digunakan untuk

manjonjongi api. Untuk menyalakan perapian diperlukan kayu bakar yang

berfungsi untuk menyalakan api, selain kayu bakar ibu juga menggunakan sabut

kelapa. Sabut kelapa digunakan karena sabut kelapa yang dibakar akan

menghasilkan asap yang banyak. Ibu juga menggunakan daun tindo tasik yang

diyakini bermanfaat untuk membuat tubuh ibu menjadi wangi. Ibu menggunakan

daun tindo tasik karena daun ini mudah didapat.

Manjonjongi api memerlukan asap yang banyak, asap langsung mengenai

tubuh ibu dan membuat ibu berkeringat. Saat api baru dinyalakan asap yang

Universitas Sumatera Utara


dihasilkan tidak terlalu banyak. Ketika sabut kelapa sudah dimasukkan ke

perapian dan sabut tersebut sudah mulai terbakar, asapnya memang sangat

banyak. Peneliti sempat bertanya kepada ibu apakah ibu terganggu dengan asap

tersebut dan ibu menjawab kalau dia tidak terganggu dan dia merasa baik-baik

saja. Ibu juga mengatakan semakin banyak asap akan semakin baik.

Gambar 19. Informan sedang melakukan manjonjongi api

Gambar 20. Perapian yang digunakan untuk manjonjongi api

Setelah sabut kelapa mulai terbakar dan mengeluarkan asap barulah daun

tindo tasik ditambahkan ke perapian, kemudian ibu akan berdiri di atas perapian

dengan kedua kaki direnggangkan agar seluruh asap mengenai tubuh ibu. Ibu akan

menutup seluruh tubuhnya dengan kain sarung dan yang kelihatan hanya

Universitas Sumatera Utara


kepalanya saja. Ibu melakukan manjonjongi api sekitar sepuluh menit, ketika ibu

peneliti melihat sabut kelapa dan daun tindo tasik sudah mulai habis terbakar.

Potensi gangguan kesehatan yang mungkin terjadi selama manjonjongi api seperti

jika luka ibu dijahit maka benang jahitannya dapat terbuka, ibu bisa mengalami

dehidrasi karena kondisi yang sangat panas, ibu juga bisa mengalami gangguan

pernapasan karena menghirup asap yang banyak.

Asap yang dihasilkan dari tradisi ini dapat memperburuk kesehatan ibu

dan bayinya karena dapat mengganggu proses pernafasan dan menyebabkan

infeksi saluran pernafasan. Selama melakukan marapi, ibu dan bayi akan

menghirup udara yang tercemar karena bahan bakar yang digunakan untuk marapi

adalah bahan bakar biomassa (Anwar & Soerachman, 2014).

Berbeda dengan tradisi se’i yang dilakukan di dalam rumah bulat yang

pencahayaannya sangat minim, tradisi marapi dilakukan di dalam rumah warga

dengan kondisi fisik rumah yang berbeda-beda, tetapi dari hasil pengamatan

peneliti rumah warga memiliki ventilasi yang cukup baik walaupun tidak

memenuhi persyaratan untuk rumah sehat, serta memiliki pencahayaan yang

cukup. Kondisi fisik rumah informan dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 21. Rumah informan

Universitas Sumatera Utara


Gambar 22. Kamar tempat informan melakukan marapi

Gambar 23. Kondisi langit-langit kamar tempat melakukan marapi

Gambar 24 . Kondisi fisik rumah informan

Universitas Sumatera Utara


Pencahayaan alami (matahari) berperan cukup besar terhadap kualitas

udara dalam ruang, karena dapat mengurangi kelembaban dan ultra violet dari

sinar matahari dapat mendegradasi bakteri patogen seperti bakteri penyakit TB

dan saluran pernafasan. Pencahayaan alami yang baik memberikan kualitas udara

yang baik sehingga memberi kemungkinan ibu tidak merasa mengalami gangguan

selama melakukan marapi.

Asap dari pembakaran kayu, arang dan bahan organik lain mengandung

berbagai zat kimia yang bisa mengganggu kesehatan, yakni partikel halus

(particulate matter/PM) dan gas. Gas karbon monoksida, sulfur dioksida, nitrogen

oksida, dan ozon merupakan gas yang paling dominan yang terdapat dalam

kandungan asap.Secara umum bahan pencemar senyawa kimia nitrogen oksida,

sulfur dioksida, karbon monoksida, ozon dan partikulat di udara menyebabkan

gangguan kesehatan pada manusia seperti luka mata dan luka saluran pernapasan.

Perawatan nifas dengan cara menghangatkan tubuh ini memiliki dampak

bagi ibu dan bayi karena ibu dan bayi terpapar dengan asap yang dihasilkan dari

pembakaran arang tersebut. Penelitian tentang budaya se’i di Nusa Tenggara

Timur menunjukkan bahwa terdapat 37,4 persen ibu dan 43,3 persen bayi

yang mengalami gangguan pernafasan yang disebabkan oleh kelembaban

udara, laju ventilasi, pencahayaan, kandungan debu yang telah melampaui

batas kadar yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan (Anwar &

Soerachman, 2014).

Tradisi marapi yang diyakini dapat membantu memulihkan kesehatan ibu

dan bayi ternyata dapat menimbulkan malapetaka, seperti kejadian yang terjadi di

daerah Dolok Sanggul. Seorang ibu bernama Rosida boru Ambarita dan bayi

Universitas Sumatera Utara


perempuannya Butet boru Manullang yang baru berusia dua hari diduga

meninggal karena keracunan asap arang dari perapian. Berdasarkan informasi dari

salah seorang warga, asap arang biasa digunakan dalam adat mereka untuk

menghangatkan tubuh ibu yang baru melahirkan beserta bayinya. Namun diduga

ibu dan bayinya tersebut meninggal karena keracunan asap arang, karena asap dari

pembakaran arang yang tidak sempurna dapat menyebabkan kurangnya oksigen.

Keadaan ini diperparah dengan kurangnya ventilasi di dalam rumah, diduga

kamar dalam keadaan tertutup sehingga mereka tidur lemas dan akhirnya

meninggal karena kekurangan oksigen (Turnip, 2017).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa praktik tradisi

marapi merupakan perilaku berisiko yang masih tetap dijalankan oleh masyarakat.

Tenaga kesehatan perlu memberikan perhatian khusus dan memantau pelaksanaan

tradisi marapi yang masih dilakukan oleh masyarakat.

Kesehatan bayi. Seluruh informan mengikutsertakan bayi mereka dalam

melakukan tradisi marapi. Bayi diletakkan di samping ibunya sehingga bayi juga

ikut merasakan panas dari perapian. Bayi juga berpotensi mengalami gangguan

kesehatan seperti batuk, sesak nafas, ruam di kulit, dan lain-lain. Selama 28 hari

pertama kehidupan, bayi berisiko paling tinggi untuk meninggal. Kematian bayi

terjadi dalam periode neonatus yaitu dalam bulan pertama kehidupan. Kebutuhan

bayi baru lahir salah satunya adalah adaptasi dari kehidupan intra uterin ke

kehidupan ekstra uterin. Bayi baru lahir melakukan adaptasi terhadap kehidupan

diluar uterus, diantaranya adalah sistem pernafasan, metabolisme, suhu tubuh, dan

lain-lain.

Universitas Sumatera Utara


Kurang baiknya penanganan bayi baru lahir yang sehat akan menyebabkan

kelainan-kelainan yang mengakibatkan cacat seumur hidup, bahkan kematian.

Pencegahan merupakan hal terbaik yang harus dilakukan dalam penanganan

neonatus sehingga neonatus sebagai organisme yang harus menyesuaikan diri dari

kehidupan intrauterin ke ekstrauterin dapat bertahan dengan baik karena periode

neonatus merupakan periode yang paling kritis dalam fase pertumbuhan dan

perkembangan bayi. Pemberian makan dan perawatan yang tepat diberikan selama

periode ini baik untuk meningkatkan peluang anak untuk bertahan hidup maupun

untuk meletakkan fondasi bagi kehidupan yang sehat.

Gambar 25. Ibu mengikutsertakan bayi dalam marapi

Ibu mengatakan bahwa bayi mereka tidak mengalami keluhan selama

melakukan marapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan:

“...bayi saya tidak pernah sakit, dia sehat, dia tidak pernah sakit
apapun. Setelah agak besar ini baru dia sakit, setelah dia makan
baru dia mulai sakit...” (P7L141-143)
Bayi adalah individu yang lemah dan memerlukan proses adaptasi. Bayi

harus dapat melakukan empat penyesuaian agar dapat tetap hidup yaitu

Universitas Sumatera Utara


penyesuaian perubahan suhu, menghisap dan menelan, bernafas dan pembuangan

kotoran. Kesulitan penyesuaian atau adaptasi akan menyebabkan bayi mengalami

penurunan berat badan, keterlambatan perkembangan bahkan bisa sampai

meniggal dunia (Mansur, 2009).

Ibu mengatakan telah memberi makanan pendamping ASI kepada anaknya

saat usia mereka masih satu bulan. Usia satu bulan seharusnya bayi masih

mengkonsumsi ASI saja yang sangat bermanfaat untuk tubuhnya. Pemberian

makanan pada bayi yang berusia kurang dari enam bulan dianggap sangat

merugikan karena usus bayi yang berfungsi untuk mencerna makanan masih

belum sempurna jadi memerlukan tahapan waktu sampai pencernaan lebih kuat,

sedangkan komposisi ASI masih mencukupi hingga bayi berusia enam bulan.

Kerugian lain selain pencernaan bayi belum kuat jika diberikan makanan

pendamping ASI sejak dini, maka bayi tidak berusaha kuat untuk mengisap ASI,

sehingga ASI tidak maksimal dikonsumsi bayi (Soenardi, 2014).

Setelah bayi lahir, harus diupayakan pemberian ASI secara ekslusif yaitu

pemberian ASI selama enam bulan. Setelah enam bulan anak diberikan makanan

tambahan atau makanan pendamping. Pemberian makanan tambahan ini penting

untuk melatih kebiasaan makan yang baik dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

yang mulai meningkat pada masa bayi dan masa pertumbuhan selanjutnya. Selain

pemberian nutrisi yang cukup dan seimbang perlu dilakukan perawatan kesehatan

dasar berupa imunisasi, kontrol ke Puskesmas/Posyandu secara berkala untuk

memantau kesehatan anak (Susilaningrum et al, 2013).

Neonatus adalah bayi yang baru mengalami proses kelahiran dan

harusmenyesuaikan diri dari kehidupan intra uterin ke kehidupan ekstra uterin.

Universitas Sumatera Utara


Beralih dari ketergantungan mutlak pada ibu menuju kemandirian fisiologi. Tiga

faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi dan proses vital neonatus yaitu

maturasi, adaptasi dan toleransi. Selain itu pengaruh kehamilan dan proses

persalinan mempunyai peranan penting dalam morbiditas dan mortalitas bayi.

Empat aspek transisi pada bayi,baru lahir yang paling dramatis dan cepat

berlangsung adalah pada sistem pernapasan, sirkulasi, kemampuan menghasilkan

sumber glukosa (Rukiah & Yulianti, 2010).

Tradisi marapi merupakan salah satu perawatan tradisional yang hingga

saat ini masih dilestarikan oleh sebagian masyarakat dandalam praktiknya dapat

bertentangan dengan perawatan kesehatan modern. Perawatan ini kemungkinan

dapat menimbulkan risiko kesehatan untuk ibu dan bayi. Merubah perilaku dan

pandangan masyarakat terhadap masalah kesehatan bukanlah sesuatu yang mudah.

Hal yang terlihat berbahaya dalam pandangan kesehatan modern belum tentu

menjadi hal yang berbahaya bagi masyarakat. Mengacu pada esensi budaya, nilai

budaya sehat merupakan bagian yang tak terpisahkan akan keberadaannya sebagai

upaya mewujudkan hidup sehat dan merupakan bagian budaya yang ditemukan

secara universal. Melalui budaya pula, hidup sehat dapat ditelusuri, yaitu melalui

komponen pemahaman tentang sehat, sakit, derita akibat penyakit, cacat dan

kematian, nilai yang dilaksanakan dan diyakini di masyarakat serta kebudayaan

dan teknologi yang berkembang di masyarakat (Jimung, 2017)

Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap

kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya.

Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan

Universitas Sumatera Utara


kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang proses terjadinya suatu

penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut serta

hubungannya dengan kesehatan (Iqbal, 2012).

Pandangan masyarakat desa Manunggang Jae tentang ibu nifas yang

melakukan tradisi marapi dapat diubah dengan memberikan penyuluhan sekitar

kehamilan, persalinan, masa nifas, dan perawatan bayi melalui cara-cara yang

mudah dicerna oleh daya nalar mereka. Perlu intervensi khusus oleh provider

setempat untuk memaksimalkan layanan kesehatan ibu dan bayi. Program

pendidikan tidak hanya ditujukan untuk ibu, tetapi juga suami, orang tua, mertua

dan masyarakat. Mengenali dan menghargai kepercayaan lokal setempat dapat

membantu provider untuk memanfaatkan dan atau memodifikasi marapi untuk

memberikan perawatan nifas yang kompeten secara budaya dan sesuai dengan

konsep kesehatan.

Implikasi Penelitian

Temuan dalam penelitian ini memiliki beberapa implikasi meliputi

implikasi kepada ibu, implikasi kepada keluarga dan implikasi kepada tenaga

kesehatan. Penelitian ini memberikan gambaran mendalam tentang praktik tradisi

marapi dan hubungannnya dengan kesehatan ibu dan bayi. Implikasi dari setiap

komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut:

Implikasi penelitian kepada ibu. Implikasi penelitian ini kepada ibu di

Desa Manunggang Jae adalah pentingnya pemahaman yang baik tentang potensi

gangguan kesehatan yang mungkin dialami oleh ibu dan bayi sebagai akibat yang

timbul dari tradisi marapi, dengan demikian hasil penelitian ini dapat menjadi

Universitas Sumatera Utara


acuan bagi ibu untuk mencari informasi dan peningkatan wawasan yang memadai

terkait kesehatan khususnya dalam perawatan masa nifas sehingga pemahaman

yang baik akan mendorong ibu untuk melakukan perawatan masa nifas yang tidak

bertentangan dengan kesehatan.

Implikasi penelitian kepada keluarga dan masyarakat. Orang tua atau

mertua yang dianggap lebih paham dan berpengalaman dalam memberikan

perawatan nifas secara turun-temurun selalu menganjurkan agar ibu nifas

melakukan perawatan masa nifas dengan cara marapi. Suami juga ikut terlibat dan

mendukung ibu untuk melakukan marapi serta mempersiapkan perapian untuk

ibu. Oleh karena itu, hasil penelitian ini memberikan hasil yang bermanfaat bagi

masyarakat khususnya keluarga termasuk orangtua, ibu mertua dan suami agar

ikut terlibat dan berpartisipasi dalam peningkatan wawasan kesehatan terkait

perawatan masa nifas agar dapat memberikan dukungan kepada ibu untuk

melaksanakan perawatan masa nifas yang tidak bertentangan dengan kesehatan.

Implikasi penelitian kepada tenaga kesehatan. Peran tenaga kesehatan

sangat dibutuhkan sebagai upaya untuk melindungi, meningkatkan usaha,

memberikan edukasi serta mempromosikan perawatan masa nifas sesuai dengan

kesehatan. Penelitian ini juga menemukan kurangnya dukungan tenaga kesehatan

terhadap ibu nifas. Oleh karena itu, hasil penelitian ini memberikan implikasi

yang bermanfaat bagi tenaga kesehatan beserta Dinas Kesehatan sebagai

pemangku kebijakan agar dapat dilakukan intervensi secara berkesinambungan,

mulai dari masa kehamilan, proses persalinan hingga pada masa nifas dan

pemberian perawatan pada bayi baru lahir sebagai upaya pemberian perawatan

Universitas Sumatera Utara


masa nifas yang tidak bertentangan dengan kesehatan.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini telah diusahakan dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur

ilmiah, namun demikian masih memiliki keterbatasan, yaitu:

Keterbatasan kemampuan peneliti sebagai instrumen utama. Penelitian ini

merupakan pengalaman pertama bagi peneliti dalam melakukan penelitian

kualitatif. Peneliti merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data, maka

kemampuan dan pengalaman peneliti dalam melakukan wawancara mendalam

dapat memengaruhi hasil yang didapat. Peneliti membuat catatan-catatan kecil

mengenai inti dari setiap pertanyaan agar dapat ditanyakan kembali kepada

informan sehingga dapat diperoleh gambaran fenomena secara mendalam.

Penguasaan ilmu dan pengetahuan peneliti tentang tradisi marapi serta

potensi gangguan kesehatan yang akan terjadi pada ibu dan bayi masih banyak

kekurangan, selain itu keterbatasan dana, sarana dan waktu yang dimiliki peneliti

menyebabkan masih banyaknya kekurangan dan ketidaksempurnaan atas

penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara


Alasan tradisi bertahan: Tradisi marapi:

- Tradisi turun-temurun - Pemanggangan


- Anjuran tetua kampung (marapi)
- Anjuran ibu mertua - Berdiri di atas perapian
- Anjuran orang tua (ibu) (manjonjongi api)
- Pengalaman terdahulu

Merasa sehat setelah


melakukan marapi:
Kesehatan ibu dan
- Merasa sehat bayi :
- Badan lebih segar
- Badan terasa ringan - Ibu sehat
- Berkeringat - Bayi sehat
- Tidak mudah
kedinginan
- Badan tidakpegal-
pegal
Potensi gangguan
kesehatan:

- Gangguan sistem
pernafasan
- Luka bakar
- Dehidrasi
- Infeksi luka
perineum
- Ruam di kulit

Gambar 26. Skema hasil penelitian

Universitas Sumatera Utara


Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Tradisi marapi merupakan salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh

masyarakat di Desa Manunggang Jae. Tradisi marapi dilakukan oleh ibu nifas

dengan tujuan untuk memberikan kehangatan pada ibu nifas dan bayinya agar ibu

dan bayi tidak cepat sakit karena kedinginan. Jenis perawatan yang dilakukan

berupa marapi (pengasapan) dan manjonjongi api (berdiri di atas perapian)

Masyarakat Desa Manunggang Jae tetap mempertahankan tradisi marapi

dengan berbagai alasan, diantaranya adalah bahwa tradisi ini sudah dilakukan

sejak dahulu dan merupakan warisan nenek moyang atau tradisi turun-temurun.

Tradisi ini juga dilakukan atas anjuran tetua kampung dan anjuran ibu maupun ibu

mertua. Tradisi marapi masih merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan masyarakat. Penelitian ini membuktikan bahwa determinan sosial

masih mengikat perilaku masyarakat dalam memelihara kesehatan.

Tradisi marapi sekalipun dilakukan dengan maksud mengupayakan

kesehatan ibu nifas dan bayinya tapi pada kenyataannya praktik tradisi ini

merupakan perilaku berisiko yang dapat merugikan kesehatan ibu dan bayi.

Risiko gangguan kesehatan yang dialami oleh ibu dan bayi diantaranya adalah

gangguan sistem pernapasan, luka bakar, infeksi luka perineum, dehidrasi,

vasodilatasi, penurunan tekanan darah, ruam di kulit dan bahkan akibat fatal yang

paling perlu diwaspadai adalah dapat mengakibatkan kematian.

Universitas Sumatera Utara


Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah dibuat maka

dapat diberikan saran-saran sebagai berikut:

Bagi masyarakat. Perawatan masa nifas untuk ibu dan bayi diharapkan

dapat dilakukan dengan cara yang lebih sehat. Misalnya untuk menghangatkan ibu

dan bayi bisa menggunakan selimut atau dengan alat maupun benda yang tidak

menimbulkan asap. Pelaksanaan manjonjongi api dapat dilakukan tanpa

menggunakan sabut kelapa dan daun-daunan yang dibakar. Mendapatkan manfaat

dari daun-daunan dapat dilakukan dengan direbus, kemudian airnya dapat

diminum atau digunakan sebagai campuran untuk air mandi ibu. Diharapkan

dengan cara demikian ibu dan bayi dapat terhindar dari asap saat melakukan

tradisi marapi.

Bagi tenaga kesehatan. Mengembangkan promosi kesehatan dan

memberikan edukasi tentang perawatan ibu nifas dan bayi baru lahir terhadap

masyarakat terutama kepada ibu nifas dan keluarga. Perlu intervensi khusus

terhadap ibu yang masih melakukan tradisi marapi.

Universitas Sumatera Utara


Daftar Pustaka

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2018). Evidence summit mengurangi


kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia. Diakses dari
https://aipi.or.id/report

Anugraheni, V. M. D., & Wahyuningsih, A. (2013). Efektifitas kompres hangat


dalam menurunkan intensitas nyeri dysmenorrhea pada mahasiswa
STIKES RS Baptis Kediri. Jurnal STIKES, 6(1), 12-16. Diakses dari
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=efektifitas+
kompres+hangat+dalam+menurunkan+intensitas+nyeri+&btnG=

Anwar, A., & Soerachman, R. (2014). Kesehatan ibu dan bayi yang
melakukantradisi sei dan gambaran kesehatan lingkungan rumah bulat
(ume‘kbubu) di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT). Jurnal Kesehatan Reproduksi, 5(1), 56–64. Diakses dari
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/kespro/article/view/3883/3-
728

Brunner & Suddarth. (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah (Edisi ke-8).
Jakarta: EGC.

Christiana, N.R., Budiyono, B., & Setiani, O. (2018). Hubungan kondisi


kesehatan lingkungan rumah bulat suku dawan dan tradisi se’i dengan
kejadian ispa pada bayi di Puskesmas Kuanfatu Kecamatan Kuanfatu.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(4), 496-504. Diakses
darihttps://ejournal3.undip.ac.id/ index.php/jkm

Creswell, J. W. (2003). Research design: qualitative. quantitative, and mixed


methods approaches (2nd, Edition). Thousand Oaks. CA: Sage
Publications.

Dalimartha, S. (2009). Atlas tumbuhan obat. (Jilid 6). Jakarta: PT. Pustaka Bunda

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. (2018). Profil Kesehatan Provinsi


Sumatera Utara Tahun 2017. Diakses dari https://www.kemkes.go.id/
resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2017/02_Sumut_20
17.pdf

Effendi, N. (1999). Dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat (Edisi ke-2).


Jakarta :EGC.

Endjun, J. J. ( 2002). Mempersiapkan persalinan sehat. Jakarta: Puspaswara

Fadzil, F., Shamsuddin, K., & Ezat, S.E.W.P. (2015). Traditional postpartum

Universitas Sumatera Utara


practices among Malaysian mothers: A review. Article in Journal of
alternative and complementary medicine (New York, N.Y.), (19), 1-6. DOI:
10.1089/acm.2013.0469

Foster, G. M., & Anderson, B. G. (1986). Antropologi kesehatan. Jakarta: UI


Press.

Grace, P. A. & Borley, N. R. (2006). At a glance ilmu bedah (Edisi ke-3). Jakarta:
Erlangga

Handayani, K., & Prasodjo, R.S. (2018). Tradisi perawatan ibu pasca persalinan
(se’i dan tatobi) di Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ekologi Kesehatan, 16(3),
130-139. Diakses dari http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/jek/
article /view/7353/5547

Hom, M. A., Stanley, I. H. & Joiner, T. E. (2015). Evaluating factors and


interventions that influence help-seeking and mental health service
utilization among suicidal individuals: A review of the literature. Clinical
Psychology Review, 4028-39.

Hussein, J. & Fortney, J. A. (2004). Puerperal sepsis and maternal mortality: What
role can new technologies play? International Journal of Gynecology and
Obstetrics, 85(1 SUPPL.): 52-61.

Iqbal, W. M., Nurul, C., & Iga, M. (2012). Ilmu sosial budaya dasar kebidanan.
Jakarta: EGC

Jimung, M. (2017). Antropologi kesehatan konsep dan aplikasi. Jakarta: Trans


Info Media.

Johnson, D. P. (1994). Teori sosiologi klasik dan modern. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Kementerian Kesehatan RI. (2015). Masalah Kesehatan Akibat Kabut Asap


Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2015. Diakses dari http://www.
pusdatin.kemkes.go.id/article/view/16012700003/masalah-kesehatan-akib-
at-kabut-asap-kebakaran-hutan-dan-lahan-tahun-2015.html.pdf

Kinasih, A. (2016). Survei dampak rumah bulat dan status gizi terhadap kapasitas
vital paru pada ibu post partum yang menggunakan kompres panas di
Kecamatan Mollo Tengah NTT. Dalam Binaus wajah pedesaan Timor di
abad XXI(h.55-66) (Skripsi, Universitas Kristen Satya Wacana). Diakses
dari https://lib.unnes.ac.id/26462/1/full.pdf

Universitas Sumatera Utara


Kozier, B. & Gleniora, E. (2009). Buku ajar praktik keperawatan klinis. Jakarta:
EGC.

Kusyanti, E. (2004). Keterampilan dan prosedur laboratorium keperawatan


dasar. Jakarta: EGC.

Lincoln, Y. S. & Guba, E. G. (2005). The sage handbook of quaitative research


(3rd edition). Thousand Oaks, CA: Sage.

Lundberg, P. C. & Associate, R. N. (2011). Vietnamese women’ s cultural beliefs


and practices related to the postpartum period. Midwifery, 27(5), 731-736.

Manalu, H.S.P., Ida., Pangaribuan, O., Lawolo, A.K., & Handayani, L. (2012).
Buku seri etnografi kesehatan ibu dan anak 2012 etnik Nias desa
Hilifadolo, Kecamatan Lolowa’u Kabupaten Nias Selatan Provinsi
Sumatera Utara. Jakarta : Percetakan Kanisius

Mander, S., & Miller, Y.D. (2015). Perceived safety, quality and cultural
competency of maternity care for culturally and linguistically diverse
women in Queensland. Journal of Racial and Ethnic Health Disparities,
3(1), 83-98. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26896108

Mansur, H. (2009). Psikologi ibu dan anak untuk kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika

Mariyati & Tumansery, G.S. (2018). Perawatan diri berbasis budaya selama masa
nifas pada ibu postpartum. Jurnal Ilmu Keperawatan 6(1), 47-56. Diakses
dari http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JIK/article/view/12203

Mubarak, W.I., Chayatin, N., & Mainur, I. (2013). Pengantar dan teori ilmu
sosial budaya dasar kebidanan. Jakarta: EGC

Muslihatun, W.N. (2010). Asuhan neonatus bayi dan balita. Yogyakarta:


Fitramaya

Neno, F.M.I. (2016). Persepsi ibu dan tenaga kesehatan mengenai tradisi se’i dan
tatobi di daerah binaan Puskesmas Nulle Kec. Amunaban Barat
Kabupaten TTS (Skripsi, Universitas Kristen Satya Wacana). Diakses dari
http://www.repository.uwks.edu/bitstream/123456789/14202/7/T1_46201
1006-Judul.pdf

Noorkasiani, Krisanty, P., & Sumartini, M. (2012). Sosiologi kebidanan. Jakarta:


Trans Info Media

Universitas Sumatera Utara


Notoatmodjo, S. (2008). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nurjanah, S.N., Maemunah, A.S., & Badriah, D.L. (2013). Asuhan kebidanan
postpartum dilengkapi dengan asuhan kebidanan post sectio cesarea.
Bandung: PT. Refika Aditama

Pakasi, S. E. &Christina. (2013). Budidaya tanaman yang baik karumenga


(acorus calamus l.). Manado: Sam Ratulangi Press

Peursen, C.A. van. (1988). Strategi kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius

Polit, D. F., & Beck, C. T. (2014). Essential of nursing research: Appraising


evidence for nursing practice. Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott
Williams & Wilkins

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2006). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep,
proses, dan praktik (Edisi 4), Volume 2. Jakarta: EGC.

Prasodjo, R., Musadad, D. A., Muhidin, S., Pardosi, J., & Silalahi, M. (2015).
Advocate program for healthy traditional houses, ume kbubu, in a Timor
community: Preserving traditional behavior and promoting improved
health outcomes. Journal of Health Communication, 20(1), 10–19.

Prawirohardjo, (2006). Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan


neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Rahayu, I.S., Mudatsir, & Hasballah, K. (2017). Faktor budaya dalam perawatan
ibu nifas. Jurnal Ilmu Keperawatan, 5(1), 36-49. Diakses dari http://www
.jurnal.unsyiah.ac.id/JIK/article/view/8761/7124

Raven, J. H., Chen, Q., Tolhurst, R. J. & Garner, P. (2007). Traditional beliefs and
practices in the postpartum period in Fujian Province, China: a qualitative
study. BMC Pregnancy and Childbirth, 7(8), 1-11. DOI:10.1186/1471-
2393-7-8

Rismunandar, & Paimin, F.B. (2001). Kayu manis budi daya dan pengolahan.
Jakarta: Penebar Swadaya

Riyadi, S., & Harmoko, H. (2012). Standar doperating procedure dalam praktek
klinik keperawatan dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rukiyah, A., Y. & Yulianti, L. (2010). Asuhan neonatus, bayi dan anak balita.
Jakarta: Trans Info Media.

Sahidu, A. M., Dharmawan, A. H., Satria, A., Adiwibowo, S., & Khomsan, A.
(2013). Pergeseran peranbelian dalam pemeliharaan kesehatan perempuan

Universitas Sumatera Utara


Suku Sasak di saat kehamilan. Jurnal Universitas Airlangga Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, 26 (1), 55-64. Diakses dari http://journal.unair.ac
.id/MKP@pergeseran-peran-belian-dalam-pemeliha-raan-kesehatan-
perempuan-suku-sasak-di-saat-kehamilan-article-8609-media-15-category-
8.html

Shils, E. (1981). Tradition. Chicago: The University of Chicago Press.

Simanjuntak, B.A. (2016). Tradisi, agama, dan akseptasi modernisasi pada


masyarakat pedesaan Jawa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Sitorus, M.E. (2017). Pengetahuan ibu nifas tentang tradisi mararang dan
dampaknya terhadap kesehatan ibu dan bayi di Kabupaten Toba Samosir
(Tesis, Universitas Gadjah Mada). Diakses dari http://etd.repository.ugm.
ac.id/index.php?act=view&buku_id=127936&mod=penelitian_detail&sub
=PenelitianDetail&typ=html

Soenardi, T. (2014). Makanan untuk tumbuh kembang bayi. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama

Streubert, H.J., & Carpenter, D.R. (2011). Qualitative research in nursing


advancing the humanistic imperative. Philadelphia: Wolters
Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins Health

Suharto, I. (2011). Limbah kimia dalam pencemaran udara dan air. Yogyakarta:
Andi Offset

Susilaningrum, R., Nursalam, & Utami, S. (2013). Asuhan keperawatan bayi dan
anak. Jakarta: Salemba Medika

Swasono, M. F. (1998). Kehamilan dan kelahiran dalam konteks budaya dan


implikasinya terhadap kesehatan bayi dan ibu. Jakarta: UI Press.

Swasono, M. F. (2005). Kehamilan, kelahiran, perawatan ibu dan bayi dalam


konteks budaya. Jakarta: UI Press

Syafrudin & Mariam, N. (2010). Sosial budaya dasar untuk mahasiswa


kebidanan. Jakarta: Trans Info Media

Sztompka, P. (2017). Sosiologi perubahan sosial. Jakarta: Prenada Media Grup

Towaha, J. (2012). Manfaat euganol cengkeh dalam berbagai industri di


Indonesia. Jurnal Perspektif, 11(2), 79-90. Diakses dari
http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Penerb
itan21412071209-51.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-
b-d

Universitas Sumatera Utara


Turnip, T. (2017, 18 November). Kronologi ibu dan bayinya berumur 2 hari
diduga tewas akibat asap perapian. Tribun Medan. Diakses darihttp://
medan.tribunnews.com/2017/11/18/kronologi-ibu-dan-bayinya-berumur-2-
hari-diduga-tewas-akibat-asap-perapian

Usman & Sapril (2018). Pemanfaatan budaya posoropu dalam perawatan masa
nifas oleh perempuan Buton Utara. Jurnal MKMI, 14(3), 268-277. Diakses
dari https://www.researchgate.net/publication/328764054_Pemanfaatan
_Budaya_Posoropu_dalam_Perawatan_Masa_Nifas_oleh_Perempuan_But
on_Utara/link/5be18f23299bf1124fbe9383/download

Walyani, E.S., & Purwoastuti, E. (2105). Asuhan kebidanan masa nifas &
menyusui. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Wardhana, W.A. (2014). Dampak pencemaran lingkungan dengan kata sambutan


Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala BAPEDAL (Edisi Revisi).
Yogyakarta: Andi Offset

World Health Organization. (2018). Household Air Pollution. Diakses dari


https://www.who.int/gho/phe/indoor_air_pollution/exposure/en/

World Health Organization. (2018). Infant, Newborn. Diakses dari


https://www.who.int/infant-newborn/en/

World Health Organization. (2018). Maternal Health. Diakses dari


https://www.who.int/maternal-health/en/

World Health Organization. (2019). Maternal Mortality. Diakses dari


https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/maternal-mortality

Yusoff, Z. M., Amat, A., Naim, D., & Othman, S. (2018). Postnatal care practices
among the Malays, Chinese and Indians: A Comparison. SHS Web of
Conferences, 45, 1-6. https://doi.org/10.1051/shsconf/20184505002.

Zamani, A. (2001). Traditional practices in postnatal care: The Malay community


In Malaysia. TSMJ, 2, 31-32.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2. Surat telah Selesai Melakukan Penelitian

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3. Surat Persetujuan Komisi Etik

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4. Lembar Penjelasan Kepada Informan

Lembar Penjelasan Kepada Informan

Saya bernama Rosmala Dewi adalah mahasiswi Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara. Untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat yang sedang saya jalani, saya melakukan penelitian dengan judul

“Tradisi Marapi dan Hubungannya dengan Kesehatan Ibu dan Bayi (Studi

Fenomenologi di Desa Manunggang Jae)”.

Saya melakukan pengamatan langsung dengan menggunakan pedoman

wawancara. Untuk itu dibutuhkan kerjasama yang baik antara peneliti dan

informan. Identitas informan dan semua informasi yang diberikan akan

dirahasiakan dan hanya dipergunakan untuk keperluan penelitian ini. Apabila ibu

bersedia dan menyetujui untuk menjadi informan dalam penelitian ini, agar

kiranya menandatangani formulir sebagai tanda persetujuan. Atas kerjasama yang

baik dari semua pihak saya ucapkan terima kasih.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 5. Lembar Persetujuan Informan

Lembar Persetujuan Informan

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, bersedia dan tidak merasa

keberatan menjadi informan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswi Program

Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara atas nama: Rosmala Dewi, judul penelitian: Tradisi Marapi dan

Hubungannya dengan Kesehatan Ibu dan Bayi (Studi Fenomenologi di Desa

Manunggang Jae).

Demikian persetujuan ini saya buat dengan sejujur-jujurnya tanpa ada

paksaan dari pihak manapun.

Manunggang Jae, Juni 2019

( )
Nama dan Tanda Tangan

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 6. Pedoman Wawancara

Pedoman Wawancara

TRADISI MARAPI DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEHATAN IBU


DAN BAYI (STUDI FENOMENOLOGI DI DESA MANUNGGANG JAE)

Hari/tanggal :

A. KarakteristikInforman

Informan :

Umur :

Pendidikan :

Pekerjaan :

Jumlah anak :

B. Pendahuluan

Perkenalan (dilakukan dengan pendekatan interpersonal)

1. Mengucapkan salam dan terima kasih untuk kesediaan dan waktu untuk

diwawancarai

2. Memperkenalkan diri sebagai pewawancara dan menjelaskan tujuan dari

wawancara

3. Memberikan penjelasan tentang maksud serta tujuan dan menjelaskan

adanya jaminan kerahasiaan informasi yang disampaikan oleh informan

4. Meminta kesediaan waktu kepada informan untuk diwawancarai

5. Menjelaskan bahwa informasi yang diberikan informan hanya untuk

kepentingan penelitian

6. Meminta izin untuk merekam proses wawancara

Universitas Sumatera Utara


C. PertanyaanuntukInforman:

1. Bagaimana ibu melakukan tradisi marapi?

Probing : Apa saja bahan untuk marapi?

Siapa yang menyiapkan perapian?

Kapan ibu mulai marapi?

Berapa lama ibu marapi?

Dimana ibu marapi?

2. Bagaimana ibu melakukan manjonjongi api?

Probing: Kapan ibu mulai manjojongi api?

Berapa lama ibu manjonjongi api?

Dimana ibu manjonjongi api?

3. Mengapa ibu melakukan tradisi marapi?

4. Apakah ibu atau bayi pernah mengalami keluhan/gangguan kesehatan

selama melakukan tradisi marapi?

Probing: Apakah ibu mempunyai keluhan selama ibu marapi?

Apa yang ibu lakukan jika ada larangan untuk marapi?

Apa yang ibu lakukan jika ibu atau bayi mempunyai keluhan

selama marapi?

Apakah bayi mempunyai gangguan kesehatan selama marapi?

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai