Anda di halaman 1dari 3

Menyerap Pelajaran Penting Tahun Baru Hijriah

Waktu mengalir terus. Dan “tanpa terasa” kita sampai kepada pergantian tahun hijriah untuk
kesekian kalinya. Detik menuju menit, jam, hari, bulan, hingga tahun senantiasa bergerak maju yang
berarti semakin bertambah pula usia manusia. Yang perlu menjadi catatan adalah: apakah
bertambah pula keberkahan usia kita? Ini pertanyaan singkat dan hanya bisa dijawab dengan
merefleksikan secara panjang-lebar jejak perjalan hidup kita yang sudah lewat.

Tahun baru hijriah yang kita peringati setiap tahun terkandung sejarah dan nilai-nilai yang
terus relevan hingga kini. Nabi sendiri tak pernah menetapkan kapan tahun baru Islam dimulai.
Begitu pula tidak dilakukan oleh khalifah pertama, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq. Awal
penanggalan itu resmi diputuskan pada era khalifah kedua, Sayyidina Umar bin Khathab, sahabat
Nabi yang terkenal membuat banyak gebrakan selama memimpin umat Islam.

Keputusan itu diambil melalui jalan musyawarah. Semula muncul beberapa usulan, di
antaranya bahwa tahun Islam dihitung mulai dari masa kelahiran Nabi Muhammad. Ini adalah usulan
yang cukup rasional. Rasulullah adalah manusia luar biasa yang melakukan revolusi ke arah
peradaban yang lebih baik masyarakat Arab waktu itu. Karena itu kelahiran beliau adalah monumen
bagi kelahiran perdaban itu sendiri. Tahun baru Masehi pun dimulai dari masa kelahiran figur yang
diyakini membawa perubahan besar, yakni Isa al-Masih.

Yang menarik, Umar bin Khatab menolak usulan ini. Singkat cerita, forum musyawarah
menyepakati momen hijrah Nabi dari Makkah menuju Madinah sebagai awal penghitungan kalender
Islam atau kalender qamariyah yang merujuk pada perputaran bulan (bukan matahari). Karenanya
kelak dikenal dengan tahun hijriah yang berasal dari kata hijrah (migrasi, pindah).

Jamaah shalat Jum’at hafidhakumullah,

Memilih momen hijrah daripada momen kelahiran Nabi yang dilakukan Umar dan para
sahabat lainnya mengandung makna yang sangat dalam. Kelahiran yang dialami manusia adalah
peristiwa alamiah yang tak bisa ditolaknya. Nabi Muhammad pun saat lahir tak serta merta diangkat
menjadi nabi kecuali setelah berusia 40 tahun. Beliau kala itu hanyalah bayi putra Abdullah bin Abdul
Muthalib. Hal ini berbeda dari hijrah yang mengandung tekad, semangat perjuangan, perencanaan,
dan kerja keras ke arah tujuan yang jelas: terealisasinya nilai-nilai kemanusiaan universal yang
berlandaskan asas ketuhanan dalam Islam (rahmatan lil ‘alamin).

Nabi memutuskan hijrah setelah melalui proses panjang selama 13 tahun di Makkah dengan
berbagai tantangan dan jerih payahnya. Mula-mula beliau berdakwah secara tersembunyi, dimulai
dari keluarga, orang-orang terdekat, dan pelan-pelan lalu kepada masyarakat luas secara terbuka.
Selama itu, Rasulullah mendapat cukup banyak rintangan, mulai dari dicaci-maki, dilempar kotoran
unta, kekerasan fisik, hingga percobaan pembunuhan. Semua dilalui dengan penuh kesabaran dan
kebijaksanaan. Modal utama hingga hingga beliau berhasil menyadarkan sejumlah orang adalah
akhlak mulia.
Rasulullah tampil sebagai agen perubahan di tengah masyarakat Arab yang begitu bejat. Asas
tauhid melenceng jauh karena menganggap berhala sebagai Tuhan. Nilai-nilai kemanusiaan juga
nyaris tak ada lantaran masih maraknya perbudakan, fanatisme suku, harta riba, penguburan hidup-
hidup bayi perempuan, dan lain-lain. Rasulullah yang hendak mengubah cara pandang dan perilaku
masyarakat jahiliyah mesti berhadapan para pembesar suku yang iri dan tamak kekuasaan,
termasuk dari paman beliau sendiri, Abu Jahal dan Abu Lahab. Pengikut Islam bertambah, dan
secara bersamaan bertambah pula tekanan dari musyrikin Quraisy. Hingga akhirnya atas perintah
Allah, Nabi Muhammad bersama para sahabatnya berhijrah dari Makkah ke kota Yatsrib yang kelak
dikenal dengan sebutan Madinah.

Perjalanan hijrah dilakukan di malam hari dengan cara sembunyi-sembunyi dan penuh
kecemasan, menghindari kejaran kaum musyrikin Quraisy. Beruntung kala di kota Yatsrib, Rasulllah
bersama sahabat-sahabatnya disambut positif penduduk setempat. Sebagian dari mereka mengenal
Islam dan bahkan sudah berbaiat kepada Nabi saat di Makkah. Di sinilah Nabi membangun
peradaban Islam yang kokoh. Jumlah penganut semakin banyak, semangat persaudaraan antara
Muhajirin dan Ansor dipupuk, dan kesepakatan-kesepakatan dengan kelompok di luar Islam
diciptakan, demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang damai.

Mula-mula yang dilakukan Nabi setelah hijrah adalah mengubah nama dari Yatsrib menjadi
Madinah. Mengapa Madinah (yang sekarang dimaknai sebagai “kota”)? Secara bahasa madînah
berarti tempat peradaban. Perubahan nama ini memberi pesan tentang pergeseran pola perjuangan
Nabi yang semula di Makkah banyak dipusatkan pada penyadaran pribadi-pribadi, menuju dakwah
dalam konteks sosial yang terorganisisasi dalam negara Madinah. Di sini konstitusi (mitsaq al-
madinah atau Piagam Madinah) dibangun, struktur pemerintahan disusun, dan aturan-aturan Islam
seputar muamalah (hubungan antarsesama) banyak dikeluarkan di sana. Tentang Piagam Madinah,
Nabi menjadikannya sebagai titik temu dari masyarakat Madinah yang plural saat itu, yang meliputi
orang Muslim, orang Yahudi, suku-suku di Madinah, dan lain-lain. Demikianlah hijrah Nabi yang
monumental itu seperti mendapatkan momentum puncaknya, yakni terwujudnya masyarakat yang
beradab.

Jamaah shalat Jum’at hafidhakumullah,

Setidaknya ada dua poin yang perlu digarisbawahi dari ulasan tersebut. Pertama, tahun baru
hijriah harus dimaknai dalam kerangka perjuangan Nabi dalam merealisasikan nilai-nilai
kemanusiaan universal yang berlandaskan asas ketuhanan dalam Islam (rahmatan lil ‘alamin). Nabi
sebagai sosok—termasuk momen kelahirannya—memang layak dihormati, tapi ada yang lebih
penting lagi yakni spirit dan prestasi beliau sepanjang periode risalah. Dalam perjuangan itu ada
ikhtiar, pengorbanan, keteguhan prinsip, keseriusan, kesabaran, dan keikhlasan. Yang terakhir ini
menjadi sangat penting karena Rasulullah bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan
dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan
keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa
yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”

Nabi dan para sahabatnya menunjukkan ketulusan yang luar biasa semata hanya untuk jalan Allah.
Namun justru karena niat seperti inilah mereka mendapatkan banyak hal, termasuk persaudaraan,
keluarga baru, hingga kekayaan dan kesejahteraan selama di Madinah. Keikhlasan dan kerja kerasa
dalam membangun masyarakat berketuhanan sekaligus berkeadaban berbuah manis meskipun
tantangan akan selalu ada. Inilah teladan yang berikan Nabi dari hasil berhijrah.
Poin kedua adalah kenyataan bahwa Nabi tidak membangun negara berdasarkan fanatisme
kelompok atau suku. Rasulullah menginisasi terciptanya kesepakatan bersama kepada seluruh
penduduk Yatsrib untuk kepentingan jaminan kebasan beragama, keamanan, penegakan akhlak
mulia, dan persaudaraan antaranggota masyarakat. Tujuan dari kesepakatan tersebut masih relevan
kita terapkan hingga sekarang. Inilah hijrah yang tak hanya bermakna secara harfiah “pindah
tempat”, melainkan juga pindah orientasi: dari yang buruk menjadi yang baik, dari yang baik menjadi
lebih baik. Dan Rasulullah meneladankan, perubahan tersebut tak hanya untuk dirinya sendiri tapi
juga untuk masyarakat secara kolektif.
Semoga pergantian tahun hijriah membawa keberkahan bagi umur kita dengan belajar dari peristiwa
hijrah Rasulullah yang monumental lengkap dengan nilai-nilai positif di dalamnya. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai