Anda di halaman 1dari 27

LEMBAR TUGAS

Nomor : LT / 3 / I / 2015

MATA KULIAH : TULISAN MILITER


POKOK BAHASAN : TULISAN EFEKTIF
SUB POKOK BAHASAN : JURNAL

UPAYA MENINGKATKAN PENGAMANAN WILAYAH PERBATASAN GUNA


MENDUKUNG PELAKSANAAN OPERASI MILITER DALAM RANGKA
MEWUJUDKAN KETAHANAN NASIONAL

1. Abstrak.
Optimalisasi Pengamanan Wilayah Perbatasan Guna Mendukung Pelaksanaan
Operasi Militer Dalam Rangka Mewujudkan Ketahanan Nasional merupakan
pelaksanaan tugas TNI AD, TNI AL dan TNI AU sesuai UU RI No. 34 Tahun 2004 pasal
8, 9 dan 10. Pengamanan ditujukan untuk keamanan wilayah perbatasan darat,
penegakan hukum serta keamanan wilayah laut dan udara yurisdiksi nasional sesuai
ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Dari sisi
pertahanan dan keamanan, dalam beberapa tahun terakhir ini, pembangunan pos-pos
pengamanan perbatasan dan pulau-pulau terdepan beserta penggelaran aparat
keamanan telah mampu menurunkan intensitas pelanggaran batas wilayah negara dan
gangguan keamanan di wilayah perbatasan. Posisi geografis yang strategis, dan
dengan perbatasan darat maupun laut yang belum sepenuhnya terjaga, serta
pengawasan bandara dan pelabuhan laut yang belum seluruhnya ketat, telah
menjadikan wilayah dan penduduk Indonesia sebagai bagian mata rantai kejahatan
lintas negara, seperti narkoba, perdagangan dan penyelundupan manusia (human
trafficking), dan terorisme. Bentuk lain kejahatan lintas negara yang berdampak sangat
merugikan suatu negara adalah kejahatan lintas negara terorganisasi yang biasanya
dikendalikan oleh aktor bukan negara (non-state actors). Kejahatan terorganisasi lintas
negara secara langsung sangat mengganggu rasa aman masyarakat dan
kemanusiaan, serta secara tidak langsung sangat merongrong keamanan dalam negeri,
kedaulatan negara, pembangunan ekonomi, dan penegakan hukum. Kondisi tersebut
sangat terkait dengan tugas TNI, wilayah perbatasan merupakan dominasi medan
2

operasi militer baik operasi militer untuk perang maupun operasi militer selain perang,
sehingga pengamanan wilayah perbatasan harus dioptimalkan sejalan dengan
pembangunan dibidang lainnya agar Ketahanan Nasional dapat diwujudkan.

Kata Kunci : Pengamanan wilayah perbatasan, pelaksanaan operasi militer, wujudkan


Ketahanan Nasional.

2. Pendahuluan. Ketahanan Nasional merupakan kondisi dinamik suatu bangsa,


berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman,
hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun dari luar, yang langsung
maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup
bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan perjuangan nasionalnya.1 Sistem
kehidupan nasional merupakan segenap aspek kehidupan bangsa yang saling
berinteraksi. Dalam proses interaksi tersebut dapat timbul berbagai dampak, baik yang
bersifat positif maupun negatif. Untuk itu, diperlukan sikap mawas ke dalam maupun ke
luar. Namun demikian, interaksi dengan pihak lain diutamakan dalam bentuk kerja
sama yang saling menguntungkan dan untuk menjamin kepentingan nasional,
kehidupan nasional harus mampu mengembangkan kekuatan nasional agar
memberikan dampak ke luar dalam bentuk daya tangkal dan daya tawar.
Dengan berorientasi pada konstelasi geografi, kegiatan interaksi langsung
dengan pihak luar lebih dominan di wilayah perbatasan negara sehingga keberadaan
wilayah tersebut selain memiliki daya tawar tinggi juga memiliki kerawanan yang tinggi
dimana membutuhkan pengamanan yang tinggi dalam penanganan, penindakan dan
pemulihan. Saat ini di wilayah perbatasan darat, laut dan udara di Indonesia terindikasi
adanya pelanggaran wilayah/pergeseran patok batas wilayah, pencurian sumber
kekayaan alam, penyelundupan senjata/manusia, perompakan/pembajakan,
perdagangan dan kegiatan Ilegal lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengamanan di
wilayah perbatasan masih belum optimal. Permasalahannya institusi pengamanan
wilayah perbatasan kurang terintegrasi, kebijakan pengamanan wilayah perbatasan
belum komprehensif, infrastruktur pengamanan wilayah perbatasan kurang mendukung
serta kondisi sosial masyarakat perbatasan pada umumnya miskin dan terbelakang.
Kapasitas fungsi TNI sebagai penangkalan, penindak dan pemulihan berdasar
UU RI No. 34 Tahun 2004 tentang TNI adalah penangkalan dan penindakan terhadap
1
http://pmii-komfast.blogspot.com/2012/11/geostrategi-ketahanan-nasional-a.html
3

setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar maupun dari dalam
negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa serta
pemulihan terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan
keamanan2. Dengan demikian sesuai dengan kebijakan tersebut, TNI dalam
pengamanan wilayah perbatasan harus senantiasa memelihara dan meningkatkan
kesiapsiagaannya dalam melaksanakan operasi militer, kemudian untuk fungsi
pengamanan di luar itu, harus dikoordinasikan dengan institusi terkait lainnya. Sebagai
awal dari tindak lanjut mengatasi permasalahan tersebut di atas, langkah pertama yang
perlu dilakukan TNI adalah mewujudkan konsepsi upaya meningkatkan pengamanan
wilayah perbatasan guna mendukung pelaksanaan operasi militer dalam rangka
Ketahanan Nasional.
Pengamanan wilayah perbatasan Republik Indonesia (RI) terkait erat dengan
konsepsi dasar yang kita anut tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketika NKRI dimaknai sebagai satu entitas yang memiliki kedaulatan, penduduk, dan
wilayah, maka segala bentuk tafsir atau persepsi terhadap ancaman yang dihadapi
tidak akan lepas dari tanggungjawab negara melindungi elemen-elemen tersebut
secara tidak terpisah. Negara tidak dapat mengabaikan atau mengutamakan salah satu
dari elemen kedaulatan, penduduk dan wilayah dalam kebijakan dan aktivitas terkait
pengamanan wilayah perbatasan RI. Dengan demikian, aktivitas pengamanan wilayah
perbatasan merupakan upaya perlindungan terhadap eksistensi negara yang ditandai
dengan terlindunginya kedaulatan, penduduk dan wilayah dari pelbagai jenis ancaman. 3
Optimalisasi pengamanan wilayah perbatasan guna mendukung operasi militer dalam
rangka mewujudkan Ketahanan Nasional merupakan bagian dari satu pemahaman
totalitas mengenai konsep ‘keamanan nasional’ yang intinya adalah “kemampuan
negara melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti, sehingga landasan
pemikirannya berorientasi pada faktor kesejarahan sebagai landasan historis,
Paradigma Nasional (Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional serta perundang-undangan) sebagai landasan filosofis serta beberapa temuan
ilmiah sebagai landasan teori, sehingga penulisan ini diharapkan tidak menyimpang
dari fakta, aturan serta disiplin ilmu.
Pengamanan wilayah perbatasan merupakan upaya perlindungan eksistensi
negara yang ditandai dengan terlindunginya, kedaulatan, penduduk dan wilayah dari
2
Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
3
http://ina.propatria.or.id/download/Paper Diskusi/Keamanan Nasional, Ancaman dan Eskalasi-Rizal
Sukma.pdf, CSI Jakarta FGD Pro-Patria, 23 September 2003
4

pelbagai jenis ancaman. Konsepsi ini adalah bagian dari satu pemahaman totalitas
mengenai konsep ‘keamanan nasional’ yang intinya adalah “kemampuan negara
melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values), dimana
pencapaiannya merupakan sebuah proses terus-menerus, dengan menggunakan
segala elemen power dan resources yang ada serta melingkupi semua aspek
kehidupan".4 Bagi TNI pengamanan wilayah perbatasan merupakan salah satu tugas
operasi militer selain perang, namun tidak menutup kemungkinan dapat menjadi tugas
operasi militer untuk perang. Masalah wilayah perbatasan negara merupakan salah satu
persoalan keamanan yang krusial bagi setiap negara berdaulat karena ancaman
keamanan dapat datang dari luar dan melalui wilayah perbatasan. Ancaman ini dapat
berupa agresi, aktivitas intelijen, blokade, pencurian aset dan sumber daya alam,
penyebaran penyakit dan sebagainya. Signifikasi tersebut menuntut negara untuk
memiliki strategi penanganan wilayah perbatasan negara yang komprehensif untuk
mencegah dan mengatasi berbagai isu keamanan yang berasal dari wilayah
perbatasan negara. Karena konteksnya keamanan nasional bagi pencapaian tujuan
nasional tentunya melibatkan berbagai institusi. Disisi lain permasalahan perbatasan
yang terkait dengan pelaksanaan operasi militer TNI adalah keberadaan kebijakan,
ketersediaan infrastruktur dan kondisi sosial masyarakat.

3. Isu Keamanan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia berbatasan darat dan


atau laut yang didasarkan pada 185 titik dasar dengan 10 (sepuluh) negara tetangga,
yaitu Australia, India, Kepulauan Palau, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Singapura,
Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Penegasan garis batas darat antara Indonesia dan
Malaysia di Pulau Kalimantan sepanjang 2.004 km sebenarnya telah selesai pada
tahun 2000, namun saat ini masih menyisakan 10 (sepuluh) daerah bermasalah.
Demikian juga dengan perbatasan darat antara Indonesia dan Papua Nugini sepanjang
780 km yang terdiri atas batas darat kurang lebih 663 km dan Sungai Fly sepanjang
107 km. Saat ini masih terdapat permasalahan di daerah Wara Smoll. Untuk
perbatasan darat Indonesia dengan Timor Leste sepanjang kurang lebih 269 km masih
menyisakan 3 (tiga) daerah yang dipermasalahkan. Selain masalah perbatasan darat,
perbatasan laut dengan beberapa negara tetangga juga masih belum dapat disepakati
sepenuhnya. Secara empiris, konflik antar negara di dunia seringkali disebabkan oleh
sengketa perbatasan.5
4
Rizal Sukma, Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi, FGD Pro Patria, 23 September 2003
5
RJPMN 2010-2014, Pertahanan dan Keamannan Negara, Buku II- bab VI, hal 7
5

Posisi geografis yang strategis, dan dengan perbatasan darat maupun laut yang
belum sepenuhnya terjaga, serta pengawasan bandara dan pelabuhan laut yang belum
seluruhnya ketat telah menjadikan wilayah dan penduduk Indonesia sebagai bagian
mata rantai kejahatan lintas negara, seperti narkoba, perdagangan dan penyelundupan
manusia (human trafficking), dan terorisme. Bentuk lain kejahatan lintas negara yang
berdampak sangat merugikan suatu negara adalah kejahatan lintas negara
terorganisasi yang biasanya dikendalikan oleh aktor bukan negara (non-state actors).
Kejahatan terorganisasi lintas negara secara langsung sangat mengganggu rasa aman
masyarakat dan kemanusiaan, serta secara tidak langsung sangat merongrong
keamanan dalam negeri, kedaulatan negara, pembangunan ekonomi, dan penegakan
hukum. Terdapat berbagai bukti hubungan kuat antara pendanaan kelompok teroris
dan separatis dengan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan narkoba. Jenis
kejahatan ini oleh panel Perserikatan Bangsa Bangsa dianggap sebagai 1 (satu) dari 10
(sepuluh) ancaman berbahaya bagi umat manusia. Meskipun masih dalam skala
medium dan relatif belum masif, tidak dapat dipungkiri bahwa wilayah dan penduduk
Indonesia merupakan salah satu simpul kejahatan narkoba, perdagangan perempuan
dan anak, serta penyelundupan manusia, terorisme, dan berbagai bentuk kejahatan
lintas negara terorganisasi. Ancaman-ancaman tersebut tidak hanya dapat diatasi
melalui operasi militer selain perang, namun juga dapat mengarah pada ancaman
terhadap kedaulatan dan keutuhan NKRI sehingga harus dihadapi dengan operasi
militer untuk perang. Permasalahannya antara lain :
a. Kesepakatan Batas Wilayah. Masalah wilayah perbatasan negara
merupakan salah satu persoalan keamanan yang krusial bagi setiap negara
berdaulat karena ancaman keamanan dapat datang dari luar dan melalui wilayah
perbatasan. Ancaman ini dapat berupa agresi, aktivitas intelijen, blokade,
pencurian aset dan sumber daya alam, penyebaran penyakit dan sebagainya.
Signifikasi tersebut menuntut negara untuk memiliki strategi penanganan wilayah
perbatasan negara yang komprehensif untuk mencegah dan mengatasi berbagai
ancaman yang berasal dari wilayah perbatasan negara. Sebagai negara
berdaulat, Indonesia tentunya juga memiliki strategi perbatasan untuk
mengantisipasi berbagai potensi ancaman yang mungkin terjadi. Namun masih
adanya kasus dan ancaman keamanan yang terjadi di wilayah perbatasan
negara, menunjukkan bahwa kebijakan seperti :
6

1) Perbatasan Indonesia-Malaysia. Penentuan batas maritim


Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka
masih belum disepakati kedua negara. Demikian pula dengan perbatasan
darat di Kalimantan, beberapa titik batas belum tuntas disepakati oleh
kedua belah pihak. Garis batas darat antara Indonesia dan Malaysia di
Kalimantan sepanjang 2.000 kilometer hingga saat ini belum tuntas dan
masih menyisakan 10 permasalahan utama yang belum diselesaikan
yaitu: Tanjung Datu; Gunung Raya; Gunung Jagoi/S. Buan; Batu Aum;
Titik D 400; P. Sebatik, tugu di sebelah barat P. Sebatik; S. Sinapad; S.
Semantipal, Titik C 500 - C 600; Titik B 2700 - B 3100.6 Kemudian
Malaysia mengklaim Blok Ambalat di laut Sulawesi dan tidak konsisten
dengan UNCLOS 1982 meskipun ZEE belum ditetapkan, sedangkan
Indonesia berpendapat Blok Ambalat adalah sah secara hukum milik
Indonesia.
2) Perbatasan Indonesia-Filipina. Belum adanya kesepakatan tentang
batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan
selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus dicermati.
3) Perbatasan Indonesia-Australia. Perjanjian perbatasan RI-Australia
yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI-Australia yang ditandatangani
pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru RI-Australia, di
sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral bersama
Timor Leste.
4) Perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Indonesia dan PNG telah
menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim. Namun ada
beberapa kendala budaya yang dapat menyebabkan timbulnya salah
pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk
yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap
hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di
kemudian hari, seperti di daerah Wara Smoll yang merupakan wilayah
NKRI tetapi telah dihuni, diolah, dan dimanfaatkan secara ekonomis,

6
Aditya Batara G., “Manajemen Garis Perbatasan Indonesia: Sebuah Usaha Menjamin Keamanan
Warganegara”, 2007.... www.dcaf.ch/content/.../ bm_bordermanagement_ reform_bahasa
7

administrative, serta sosial oleh warga PNG yang sejak dahulu dilayani
oleh pemerintah PNG.
5) Perbatasan Indonesia-Vietnam. Wilayah perbatasan antara Pulau
Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang
berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontinen tanpa
batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di antara ke
dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan
perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan
tersebut.
6) Perbatasan Indonesia-India Perbatasan kedua negara terletak
antara pulau Rondo di Aceh dan pulau Nicobar di India. Batas maritim
dengan landas kontinen yang terletak pada titik-titik koordinat tertentu di
kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah disepakati
oleh kedua negara. Namun permasalahan di antara kedua negara masih
timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak,
terutama yang dilakukan para nelayan.
7) Perbatasan Indonesia-Republik Palau. Sejauh ini kedua negara
belum sepakat mengenal batas perairan ZEE Palau dengan ZEE
Indonesia yang terletak di utara Papua sehingga sering timbul perbedaan
pendapat tentang pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh para nelayan
kedua belah pihak.7
b. Pelanggaran Wilayah. Dari sejumlah permasalahan perbatasan dengan
negara-negara tetangga tersebut, permasalahan dengan Malaysia merupakan
yang paling sering terjadi. Hal ini terungkap dari paparan yang disampaikan oleh
Menkopolhukam di dalam rapat kerja Komisi I tanggal 2 Maret 2009. Sepanjang
tahun 2008, Kementerian Polhukam mencatat terjadi 21 kali pelanggaran
kedaulatan oleh kapal perang Malaysia dan 6 kali oleh kapal polisi maritim
Malaysia di sekitar perairan Kalimantan Timur dan Laut Sulawesi. Sementara di
perairan lainnya terjadi pelanggaran sebanyak 3 kali. Selama tahun 2008 pula
terjadi 16 kali pelanggaran wilayah udara di wilayah Kalimantan Timur, 3 kali di
wilayah Papua, 2 kali di wilayah Selat Malaka dan 7 kali di wilayah-wilayah
Indonesia lainnya.8 Pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh pihak asing bukan
7
http://zhagitoloh.blogspot.com/2010/04/masalah-masalah-sengketa-perjanjian.html
8
http://www.kodam-jaya.mil.id “Malaysia Pelanggar Perbatasan Terbanyak”, Kodam Jaya Online, 3
Maret 2009.
8

kali ini saja terjadi, namun telah berulang-ulang kali. Di tahun 1993 sebuah F-18
Hornet AS dipergoki melintas di atas Perairan Biak oleh F-16 Indonesia.
Sepanjang 1999 hingga 2001 ketegangan antara Indonesia dan Australia
seringkali terjadi karena seringnya terjadi penerbangan gelap (black flight) dan
penerbangan tanpa izin. Selanjutnya di tahun 2003, 5 pesawat F-18 Hornet AS
dipergoki oleh F-16 TNI AU sedang melakukan manuver di barat laut Pulau
Bawean. Guna mengatasi hal ini TNI terkendala dengan keterbatasan Alutsista,
baik Alutsista TNI AD, TNI AL maupun TNI AU
c. Pengamanan Pulau-pulau Terdepan. Peraturan Presiden Nomor
78/2005 menyebutkan bahwa pulau-pulau kecil terdepan di Indonesia mencapai
jumlah 92 Pulau dan berbatasan dengan beberapa Negara, yakni Malaysia (22
pulau), Vietnam (2 pulau), Filipina (11 pulau), Singapura (4 pulau), Australia (23
Pulau), Timor Leste (10 pulau) dan India (12 pulau). 9 Pulau-pulau ini rawan bagi
terjadinya sengketa perbatasan karena posisi pulau-pulau tersebut sebagai titik
dasar pengukuran wilayah batas Indonesia dengan negara lain. Hal tersebut
dikemukakan, karena masih ada beberapa pulau kecil terpencil yang secara
posisi geografis kedudukannya lebih dekat dengan negara tetangga yang
diindikasikan memiliki keinginan memperluas wilayah. Pulau-pulau tersebut
antara lain, P. Nipah dan beberapa pulau Karang tidak berpenduduk yang
berbatasan dengan Singapura. P. Rondo berbatasan dengan Kepulauan
Andaman (India), P. Miangas berbatasan dengan Philipina, P. Pasir Putih
berbatasan dengan Australia dan ada satu pulau kosong di Kalimantan Barat
yang dihuni nelayan Thailand. Negara-negara tetangga memiliki kesempatan
terbuka untuk menguasai pulau-pulau tersebut dengan menggunakan
pendekatan pembinaan Continuous Presence dan Effective Occupation.
Selama ini penghidupan penduduk perbatasan dan pulau-pulau terdepan banyak
bergantung kepada negara tetangga terutama segi-ekonomi. Mereka juga lebih
banyak menonton televisi dari siaran TV Negara tetangga. Hal ini tentu akan
berpengaruh terhadap kebudayaan dan komitmen, hak dan kewajiban mereka
selaku warga negara RI. Kondisi tersebut mengancam keberlanjutan pulau-pulau
terdepan, antara lain :

9
http://www.academia.edu/8996575/PENGAMANAN_PERBATASAN_NEGARA_DAN_UPAYA
_PENINGKATANNYA_DI_INDONESIA_Strategi_Pengelolaan_Kawasan_Perbatasan_
9

1) Hilang Secara Fisik. Biasanya terjadi sebagai dampak dari proses


alam/geologis, yaitu proses abrasi secara terus menerus yang dapat
menenggelamkan sebuah pulau.
2) Hilang Secara Kepemilikan. Sebuah pulau dapat hilang karena
perubahan status kepemilikan. Hal ini dimungkinkan sebagai akibat dari
adanya pemaksaan kepemilikan dengan kekuatan militer maupun proses
hukum.
3) Hilang Secara Pengawasan. Bila dikaitkan dengan banyaknya
jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia, lepasnya kontrol/ pengawasan
pemerintah terhadap pulau-pulau tersebut bisa saja terjadi. Kelalaian yang
tentunya bukan suatu kesengajaan tersebut terjadi ketika “posisi
geografis” pulau-pulau tersebut lebih dekat kepada negara lain
dibandingkan negara sendiri.
4) Hilang Secara Sosial Ekonomi. Kriteria ini masih terkait dengan
kriteria ketiga, yang didasari oleh adanya faktor pemenuhan kebutuhan
dasar hidup masyarakat pulau-pulau terluar, serta adanya fenomena
sosial kemasyarakatan yang turun-temurun melalui proses perkawinan
penduduk antar pulau, sehingga terjadilah perubahan struktur sosial
ekonomi masyarakat di pulau tersebut. Sebagai contoh, Pulau Marore,
Pulau Miangas dan Pulau Marampit di wilayah propinsi Sulawesi Utara.
Kompleksitasnya ancaman terhadap wilayah perbatasan, membutuhkan
suatu kesiapan pengamanan yang andal yang tidak terlepas dari dukungan
infrastruktur guna memfasilitasi kebutuhan latihan dan operasi militer tidak
sekedar pos-pos pengamanan, namun juga sarana transportasi, penerangan,
sarana komunikasi, sarana deteksi, survaillance, intelijen, komando dan kendali.
Disamping untuk kepentingan operasi militer, infrastruktur juga dibutuhkan bagi
kehidupan masyarakat, terutama bagi kepentingan aksesibilitas. Saat ini
kondisinya sangat memprihatinkan. Infrastruktur negara tetangga lebih
memadai, sehingga ketimpangan sangat curam, sehingga berdampak pada
kehidupan sosial masyarakat perbatasan.

4. Institusi Pengamanan Wilayah Perbatasan.


10

a. Keberadaan Institusi Pengamanan Wilayah Perbatasan. Walaupun


Pada Tanggal 28 Januari 2010 Presiden menetapkan Peraturan Presiden RI
Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan
(BNPP), namun hal ini belum ditindaklanjuti pada pembentukan organisasi yang
sesuai dengan kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan. Artinya BPNN belum
operasional. Secara kelembagaan, penanganan perbatasan Indonesia dengan
negara-negara tetangga masih dilakukan secara parsial dan bersifat ad hoc,
berdasarkan kesepakatan dua negara melalui komite yang telah dibentuk, yaitu
General Border Committee (GBC) RI-Malaysia, Joint Border Committee(JBC) RI-
Papua Nugini, JBC RI-RDTL dan Joint Commission Meeting RI-Malaysia serta
kerja dibidang sosial ekonomi lainnya seperti Malindo dan KAPET (Kawasan
Pertumbuhan Ekonomi Terpadu). Keberadaan komite-komite tersebut pada
awalnya tidak mewadahi aspek keamanan perbatasan, namun atas koordinasi
Panglima TNI selaku ketua GBC Indonesia dengan Sosek Malindo juga
melibatkan Menlu masing-masing pada tahun 2000 melakukan penambahan
cakupan komite GBC, yang diantaranya sub komite keamanan. Walaupun
aspek keamanan telah dicantumkan dalam agenda komite GBC, namun institusi
pengamanan wilayah perbatasan keberadaannya tidak memiliki landasan
hukum yang kuat sehingga masing-masing mengacu pada kebijakan masing-
masing institusi yang dinilai lebih memiliki legitimasi.
b. Sinergitas Kinerja Institusi Pengamanan Wilayah Perbatasan.
1) Sinergitas TNI dengan Institusi lainnya. Kerawanan di wilayah
perbatasan dan pulau terdepan (terluar) sangat terkait dengan belum
efektifnya keterpaduan pengelolaan wilayah perbatasan dan pulau
terdepan (terluar). Sinergi antara pemerintah daerah perbatasan dan
pulau terdepan (terluar) dengan instansi vertikal terkesan berjalan sendiri-
sendiri, partial dan tidak utuh. Padahal ketiga ruang merupakan satu
kesatuan wilayah yang harus diamankan dan dipertahankan secara
sinergis baik antar matra TNI maupun antara TNI dengan institusi lainnya.
Berbicara masalah pengamanan wilayah perbatasan bagi TNI sudah jelas
sesuai dengan tugasnya dalam melaksanakan operasi militer selain
perang10. Namun hal ini oleh sebagian pihak bisa diterima sebagai tugas

10
Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara nasional Indonesia, Pasal 7 ayat 2 huruf b point 4
dan 14, hal 9
11

TNI dan oleh sebagian pihak dinilai sebagai tugas Kepolisian dan institusi
lainnya seperti Bea Cukai, Dinas Kelautan Perikanan dan lain-lain,
sehingga muncul suatu anggapan bahwa TNI merebut kewenangan
institusi lain. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja dan pengaturan
pengamannya belum terintegrasi dan transparan.
2) Sinergitas antar Matra. Institusi TNI yang terdiri dari tiga matra
(darat, laut dan udara), dimana keberadaan ketiga matra walaupun telah
ditegaskan dan UU RI No 34 2004 tentang TNI pasal 7b point 4 tentang
pengamanan wilayah perbatasan, namun jika mengacu pada pasal 8, 9
dan 10 tentang tugas masing-masing matra, seolah-olah untuk
pengamanan wilayah perbatasan darat hanya dilakukan oleh TNI-AD,
pengamanan wilayah perbatasan laut oleh TNI AL dan pengamanan
wilayah perbatasan udara oleh TNI AU sehingga :
a) Belum adanya deteksi dini terhadap potensi ancaman dan
permasalahan perbatasan baik darat, laut maupun udara sesuai
kondisi alamiah maupun pengaruh perubahan lingkungan strategis
terhadap negara kepulauan Indonesia.
b) Belum terwujudnya strategi operasi yang terintegrasi untuk
berbagai pengamanan wilayah perbatasan RI.
c) Terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk
kegiatan pengamanan wilayah perbatasan yang terintegrasi antar
ketiga matra (darat, laut dan udara) sehingga segala bentuk
keamanan dan kegiatan illegal yang mengancam keutuhan dan
kedaulatan NKRI terkesan lamban dalam penanganannya.

5. Kebijakan Pengamanan Wilayah Perbatasan. Sejumlah landasan hukum


kebijakan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pengamanan wilayah perbatasan
darat, laut dan udara masih bersifat umum dan cenderung sangat berorientasi pada
penanganan wilayah darat dan laut, antara lain :
a. Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dalam pasal 25 A hanya menyatakan
bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan
yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya
ditetapkan dengan undang-undang. Tidak ada penjelasan lebih lanjut terhadap
pasal ini.
12

b. Dalam UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, penjabaran


akan kepentingan perlindungan wilayah perbatasan belum dijelaskan.
Pengertian konsep pertahanan sebagaimana disebut dalam pasal 1 ayat 1 dan 2
masih sangat umum, yaitu, “(1). Pertahanan negara adalah segala usaha untuk
mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan
gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. (2). Sistem pertahanan
negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan
seluruh warganegara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta
dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total,
terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.” Selebihnya
UU ini menjabarkan teknis operasionalisasi pertahanan negara yang bersifat
strategis dan general.
c. UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hanya mengatur
secara umum fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
dan daerah, namun tidak menyentuh point-point yang eksplisit untuk
kewenangan dan mekanisme pengelolaan perbatasan negara, baik darat, laut,
maupun udara.
d. UU No 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) hanya
mengatur peran-peran operasional TNI sebagai kekuatan pertahanan, bukan
pada aspek policy kebijakan pertahanan, apalagi penanganan wilayah
perbatasan.
e. Demikian pula UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan UU
No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
yang mengatur rancangan kerja dan pengembangan yang masih berorientasi
pada wilayah non perbatasan dan terfokus pada daratan.
f. Rumusan yang agak terang muncul dalam UU no 17 Tahun 2007 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 yang
menegaskan orientasi pengembangan wilayah perbatasan dari inward looking
menjadi outward looking sebagai pintu gerbang ekonomi dan perdagangan.
Termasuk pendekatan kesejahteraan untuk pulau-pulau di wilayah perbatasan.
Selanjutnya disebutkan bahwa pengamanan kedaulatan negara kedepan
meliputi peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah
13

perbatasan; pengembangan sistem MCS (Monitoring, Control and Survaillance);


optimalisasi pengamanan perbatasan dan pulau-pulau terdepan; serta koordinasi
penanganan pelanggaran laut. Gambaran untuk penanganan wilayah
perbatasan udara tetap belum jelas.
g. Pengelolaan perbatasan yang tidak integratif juga tampak dari Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Di dalam UU tersebut
dinyatakan bahwa pemerintah akan membentuk sebuah badan khusus pengelola
perbatasan yang bertugas melaksanakan wewenang Menetapkan kebijakan
program pembangunan perbatasan; Menetapkan rencana kebutuhan anggaran;
Mengoordinasikan pelaksanaan dan Melaksanakan evaluasi dan pengawasan.
Sejumlah tugas yang dibebankan kepada Badan ini tampak tumpang-tindih
dengan instansi-instansi pemerintah lainnya. Disamping itu pada pasal 14 dijelaskan
bahwa : (1) Untuk mengelola Batas Wilayah Negara dan mengelola Kawasan
Perbatasan pada tingkat pusat dan daerah, Pemerintah dan pemerintah daerah
membentuk Badan Pengelola nasional dan Badan Pengelola daerah; (2) Badan
Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang kepala badan
yang bertanggung jawab kepada Presiden atau kepala daerah sesuai dengan
kewenangannya; (3) Keanggotaan Badan Pengelola berasal dari unsur Pemerintah dan
pemerintah daerah yang terkait dengan perbatasan Wilayah Negara. Dari kolaborasi
tugas dan kelembagaan, pengamanan wilayah perbatasan masih perlu penjabaran
yang komprehensif. Namun sampai dengan saat ini kelembagaan tersebut belum
operasional.

6. Kondisi Sosial Masyarakat. Perlunya meninjau kondisi sosial masyarakat


adalah keterkaitannya dengan pengelolaan pembangunan nasional dimana saat ini
dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Kondisi sosial masyarakat
juga akan menentukan kualitas wawasan kebangsaan yang berkaitan dengan
kesadaran bela negara. Adapun beberapa kondisi sosial yang berhubungan dengan
wawasan kebangsaan adalah :
a. Kesenjangan Pembangunan. Dari sisi peningkatan kesejahteraan
masyarakat, telah dilakukan berbagai upaya dalam penyediaan sarana prasarana
wilayah, pengembangan perekonomian setempat, serta peningkatan kualitas
sumberdaya manusia. Dalam aspek infrastruktur, misalnya telah dilakukan
pembangunan jalan di kawasan perbatasan sepanjang 670,2 km, pembangunan
14

jalan di pulau terdepan (terluar) sepanjang 571,8 km, pengoperasian kapal


penyeberangan perintis, penyediaan listrik di kecamatan perbatasan,
pengembangan bandar udara, pembangunan pemancar TVRI, prasarana
perdagangan dan berbagai jenis infrastruktur lainnya untuk menunjang
kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan. Meskipun demikian, secara
umum hingga saat ini kondisi pembangunan di sebagian besar wilayah
kabupaten/kota di kawasan perbatasan masih sangat jauh tertinggal bila
dibandingkan dengan pembangunan wilayah lain ataupun dibandingkan dengan
kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah negara tetangga yang berbatasan,
khususnya di perbatasan Kalimantan. Jika ditinjau status ketertinggalan wilayah,
27 kabupaten di kawasan perbatasan masih dapat dikategorikan sebagai daerah
tertinggal. Kondisi ini merupakan tantangan utama bagi upaya pengembangan
kawasan perbatasan.11 Hal ini telah mengakibatkan masyarakat perbatasan
berkiblat kepada negara tetangga dan tidak menutup kemungkinan berkeinginan
untuk memisahkan diri dari NKRI karena merasa dimarginalkan.
b. Kemiskinan dan Ketertinggalan. Kemiskinan dan ketertinggalan
masyarakat perbatasan merupakan masalah utama di kawasan perbatasan. Hal
ini disebabkan sentralisasi pembangunan di masa lalu dan kecenderungan
penggunaan pendekatan keamanan dalam pengelolaan kawasan yang
menyebabkan minimnya sarana dan prasarana wilayah, terbatasnya fasilitas
umum dan sosial serta rendahnya kesejahteraan masyarakat. Hal ini akan
mempersulit upaya pengamanan praktek pelanggaran hukum.
c. Prasarana sosial. Prasarana sosial di perbatasan juga masih sangatlah
minim. Sarana kesehatan, pendidikan, air bersih, irigasi dan lain sebagainya
dapat dikatakan masih dalam taraf seadanya, bahkan di wilayah-wilayah tertentu
di perbatasan, sarana tersebut dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Berbagai
kekurangan sarana dan prasarana tersebut tentunya akan menjadi alasan yang
logis bila masyarakat kita di perbatasan menjadi lebih erat keterkaitan dan
kedekatannya secara kehidupan dengan masyarakat di seberang perbatasan.
Ditambah lagi negara tetangga sedikit banyak memfasilitasi kehidupan
masyarakat perbatasan kita. Segala permasalahan tersebut tidak terlepas dari
pendekatan keamanan yang selama ini digunakan di dalam menangani masalah
perbatasan. Pendekatan keamanan menyebabkan terisolasinya kawasan
11
RJPMN 2010-2014, Buku II Bab IX, hal 29
15

perbatasan dari pembangunan yang seharusnya menyentuh segala aspek


kehidupan masyarakat perbatasan. Pendekatan keamanan ternyata berdampak
pula pada lepasnya perhatian negara selama ini terhadap perbatasan yang
seharusnya menjadi beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Pelayanan Publik. Keterbatasan pelayanan publik di kawasan
perbatasan menyebabkan orientasi aktivitas sosial ekonomi masyarakat ke
wilayah negara tetangga, mengurus kewarganegaraan, akte kelahiran dan
sertifikasi pendidikan. Hal ini juga telah mengakibatkan masyarakat perbatasan
berkiblat kepada negara tetangga.
e. Hak Ulayat. Hak ulayat baik hak masyarakat Indonesia maupun
masyarakat negara tetangga sering menjadi permasalahan. Seperti di
perbatasan Papua. Barang siapa menggunakan tanah adat harus berhubungan
dengan masyarakat adat dan diselesaikan secara adat. Hal ini yang sering
menimbulkan konflik antara pemerintah dan rakyat dalam pemanfaatan lahan
untuk pembangunan.
Dari aspek wawasan kebangsaan, karakter manusia maupun pemenuhan
kebutuhan hidup, kehidupan sosial yang senantiasa dihadapkan pada hal-hal yang
tidak seharus terjadi di negeri yang kaya dan beradab. Kondisi seperti ini sangat
memprihatinkan, tidak boleh ditunda berlarut-larut, karena masyarakat perbatasan akan
semakin merasa dimarginalkan, dan hal ini akan menghambat pelaksanaan operasi
militer karena sulitnya mendapatkan dukungan dari masyarakat sehingga sangat rawan
bagi Ketahanan Nasional.

7. Infrastruktur.
a. Pos Pengaman. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pembangunan pos-
pos pengamanan perbatasan dan pulau-pulau terdepan (terluar) beserta
penggelaran aparat keamanan telah mampu menurunkan intensitas pelanggaran
batas wilayah negara dan gangguan keamanan di wilayah perbatasan. Namun
dengan jarak antar pos perbatasan yang rata-rata masih 50 km dan
pembangunan pos pulau terdepan (terluar) yang baru difokuskan di 12 pulau,
tingkat kerawanan di wilayah perbatasan dan pulau terdepan (terluar) lainnya
masih relatif tinggi. Gangguan keamanan yang masih terjadi di wilayah
16

perbatasan dan pulau terdepan (terluar) terutama dalam bentuk aktivitas ilegal
berupa pencurian sumber daya alam dan pemindahan patok-patok perbatasan.12
b. Fasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina dan Keamanan. Wilayah
perbatasan sebagai gerbang yang mengatur arus keluar masuk barang dan
orang. Kurangnya fasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina dan keamanan
mengakibatkan kegiatan pelanggaran hukum sulit diawasi dan diatasi. Adapun
pelanggaran hukum yang kerap terjadi diwilayah perbatasan adalah : mobilitas
barang secara ilegal, kawasan perbatasan Indonesia juga subur dengan
mobilitas manusia secara ilegal. Mudahnya mobilitas ilegal ini menyebabkan
kawasan perbatasan Indonesia rentan digunakan oleh para teroris untuk masuk
ke wilayah Indonesia, pencurian SDA seperti illegal logging dan illegal fishing.
Selanjutnya adalah perompakan, khususnya perompakan di Selat Malaka.
Perompakan ini dikategorikan sebagai masalah perbatasan karena aktivitasnya
dilakukan di perbatasan Indonesia, Malaysia dan Singapura di Selat Malaka.
c. Infrastruktur Transportasi, Informasi dan Penerangan. Seperti yang
telah diketahui bersama bahwa faktor-faktor penghambat pengembangan
perbatasan diantaranya adalah terbatasnya prasarana dan sarana penunjang
ekonomi baik dari sisi transportasi, telekomunikasi, ketenagalistrikan dan
informasi. Sarana transportasi ke pelosok perbatasan sangatlah minim, sebagai
contoh di perbatasan darat Indonesia Malaysia di Kalimantan Barat, dimana
akses jalan hanyalah berupa jalan logging yang tentunya sangat sulit dilalui
sarana transportasi yang memadai baik untuk mencapai pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi ataupun sebaliknya. Untuk wilayah perbatasan laut, saat
sekarang ini sangatlah minim transportasi laut publik yang mencapai pulau-pulau
kecil di perbatasan, seperti di Pulau Miangas. Sarana transportasi yang minim ini
juga berdampak kepada tingginya nilai biaya produksi di perbatasan. Keadaan
tersebut di atas semakin diperparah dengan minimnya akses informasi dari
Indonesia yang dapat diterima masyarakat perbatasan. Hal ini tentunya akan
semakin mengucilkan masyarakat perbatasan dari lingkungan kebangsaan
Indonesia. Akses informasi yang diterima masyarakat perbatasan lebih banyak
diterima dari negara tetangga yang notabene lebih dekat dari mereka dan
mengelola sangat baik sarana dan prasarana kawasan perbatasannya.

12
RJPMN 2010-2014, Buku II Bab IX, hal 25
17

8. Kesimpulan
a. Optimalisasi pengamanan wilayah perbatasan sesuai dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dan
pendekatan Ketahanan Nasional, yaitu dengan menggunakan pendekatan
kesejahteraan dan keamanan. Selain itu optimalisasi pengamanan wilayah
perbatasan juga memiliki legitimasi dari beberapa Peraturan Perundang-
undangan, terlebih dengan telah dibentuknya Badan Nasional Pengelolaan
Perbatasan yang diharapkan dapat berimplikasi pada sistem pengamananannya.
b. Sesuai dengan ruang lingkup pembahasan, bahwa optimalisasi
pengamanan wilayah perbatasan, walaupun dalam kontek mendukung operasi
militer bukan berarti hanya ditinjau dari kepentingan untuk perang, tetapi justru
lebih ditekankan pada operasi militer selain perang, khususnya dalam
merealisasikan peberdayaan wilayah pertahanan dan tugas masing-masing
matra yang termuat dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang memuat
tentang permasalahan isu keamanan wilayah perbatasan, keberadaan dan
sinergitas antar Institusi, dukungan kebijakan serta konsisi sosial masyarakat
terkait dengan wawasan kebangsaan masyarakat perbatasan. Atas dasar
kebijakan tersebut pengamanan wilayah perbatasan guna menunjang operasi
militer dalam rangka Ketahanan Nasional maka pokok-pokok pikiran tentang
upaya yang perlu dilaksanakan adalah sebagai berikut :
1) Dalam mengatasi isu keamanan wilayah perbatasan perlu
dilakukan penataan ruang penyusunan zoning regulation, mekanisme
perizinan, insentif dan disinsentif, serta penerapan sanksi bagi
pelanggaran RTRW sesuai dengan kebijakan yang berlaku sebagai bukti
kepemilikan dan pemliharaan wilayah perbatasan termasuk pulau-pulau
terdepan, dimana TNI membantu pemerintah seoptimal mungkin sesuai
dengan kewenangannya. Selain itu juga perlu dilakukan perwujudan
kelengkapan data dan informasi spasial, percepatan penanganan
penentuan dan kesepakatan batas wilayah serta melakukan peningkatan
pengamanan terhadap pelanggaran wilayah maritim serta pulau-pulau
terdepan baik secara fisik, kepemilikan, pengawasan maupun keamanan
secara sosial ekonomi.
2) Dalam mewujudkan pemberdayaan institusi pengamanan wilayah
perbatasan dengan telah dibentuknya BNPP maka seluruh kegiatan
18

Unified Action dalam Unified Command yang selama ini dilakukan oleh
masing-masing institusi dipadukan dan dikoordinir oleh BNPP.
3) Dalam mewujudkan kebijakan pengamanan wilayah perbatasan,
BNPP perlu menyediakan blueprint dan sistem operasionalisasinya,
kebijakan anggaran serta mekanisme pengawasan dan pelibatan publik.
BNPP juga perlu merealisasi kebijakan proses pembangunan yang
berpedoman pada prinsip Equity, Efisiensi, Efektifitas, dan Keberlanjutan.
Kemudian untuk mencegah bergesernya frontiers border, negara harus
membentengi perbatasan tidak hanya cukup dengan metode militerisasi
perbatasan, tetapi dikembangkan dengan pendekatan keamanan untuk
mendukung pembangunan kesejahteraan. Disini TNI perlu melaksanakan
pemberdayaan wilayah pertahanan sebagai pengamanan pertahanan
terdepan, baik dalam bentuk fisik (gatra ekonomi, gatra sosial budaya)
dan dalam bentuk non-fisik (gatra ideologi, gatra politik) berkaitan dengan
kedaulatan wilayah dan melindungi segenap warga negara beserta
seluruh sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk
mengkaji pengembangan kebijakan teknologi pertahanan.
4) Dalam mewujudkan daya dukung infrastruktur pengamanan
wilayah perbatasan, TNI berperan aktif untuk memberikan saran masukan
agar pembangunan infrastruktur dapat dimanfaatkan juga bagi
kepentingan pertahanan seperti sarana transportasi, komunikasi,
kesehatan, bandara, dermaga, sarana pengawasan dan lain-lain.
5) Dalam meningkatkan kondisi sosial masyarakat seperti
membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, kawasan agropolitan,
Kawasan transito, merealisasikan kerja sama bidang sosial dan ekonomi
antara Indonesia, mengentaskan kemiskinan, masalah hak adat/ulayat
masyarakat, meningkatkan kualitas SDM dan wawasan kebangsaan, TNI
secara terintegrasi dapat mengembangkan program-program
pemberdayaan wilayah pertahanan sebagai realisasi pelaksanaan operasi
militer, khususnya operasi militer selain perang.
c. Berdasarkan upaya-upaya tersebut pelaksanaan pengamanan perbatasan
yang selama ini dinilai didominasi oleh militer dan terbukti tidak membawa
perubahan yang berarti bagi kemajuan wilayah dan kesejahteraan masyarakat
perbatasan dapat dieliminasi dengan lebih memperhatikan human security dan
19

mengacu pada pendekatan kesejahteraan dan keamanan, sehingga wilayah


perbatasan benar-benar menjadi beranda depan negara yang memiliki efect
diteren dan nilai strategis, nilai politis dan nilai ekonomis, nilai sosial dan nilai
budaya serta pertahanan keamanan yang pada akhirnya memberi kontribusi
besar terhadap Ketahanan Nasional.
Demikian penulisan karya tulis militer ilmiah yang saya buat, dengan judul
Upaya peningkatan pengamanan wilayah perbatasan guna mendukung pelaksanaan
operasi militer dalam rangka mewujudkan ketahanan nasional. Kami menyadari bahwa
tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian kami berharap tulisan ini dapat
bermanfaat dan dapat dijadikan bahan masukan bagi pemimpin dalam menentukan
kebijakan lebih lanjut

7. Rekomendasi dan implikasi


a. Rekomendasi.
1) Kawasan perbatasan memiliki posisi strategis sebagai pintu
gerbang untuk berinteraksi langsung dengan negara tetangga serta
memiliki nilai strategis terhadap kedaulatan negara. Oleh sebab itu untuk
mengatasi permasalahan keamanan bagi wilayah perbatasan seperti
belum selesainya permasalahan batas wilayah dan kekhawatiran kasus
Sipadan dan Ligitan terulang sehingga membahayakan bagi kedaulatan
NKRI, maka selain harus diselesaikan melalui diplomasi bilateral atau
trilateral dengan negara berbatasan, juga harus dengan pendekatan
kesejahteraan sehingga menuntut adanya kemampuan TNI untuk
memadukan kepentingan keamanan dan kesejahteraan tersebut.
Pendekatan kesejahteraan wilayah perbatasan yang sejalan dengan
pendekatan keamanan diantaranya masalah penataan ruang dan
ketersediaan data dan informasi spacial. Penyelenggaraan penataan
ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah perbatasan yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional. Untuk pelaksanaan penataan ruang sebenarnya
telah ditetapkan dengan UU No. 26 Tahun 2007, tentang Kelembagaan
Penataan Ruang dengan Kepmendagri No. 50 Tahun 2009 tentang
Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Dalam rangka
meningkatkan pemahaman seluruh pemangku kepentingan, maka telah
20

dilakukan sosialisasi dan advokasi terhadap peraturan perundang-


undangan pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan dengan
penyusunan zoning regulation, mekanisme perizinan, insentif dan
disinsentif, serta penerapan sanksi bagi pelanggaran RTRW. Dalam
rangka pengendalian tersebut, telah diadakan program peningkatan
manajemen pengendalian pemanfaatan ruang di 32 provinsi sejak tahun
2006 terutama dalam aspek pemantauan evaluasi penataan ruang
daerah. Namun, kenyataannya belum sesuai dengan yang diharapkan,
untuk itu upaya yang perlu dilakukan adalah TNI yang bertugas di wilayah
perbatasan secara terintegrasi melaksanakan tugas operasi militer selain
perang untuk memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan
pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta dan
untuk membantu tugas pemerintah di daerah sesuai amanat UU No.
34/2004 tentang TNI pasal 7b angka 8 dan 9 dengan :
a) Mendorong Pemerintah Daerah untuk mempercepat
penyusunan dan pengesahan rencana tata ruang wilayah
perbatasan dan peraturan perundangan pelaksanaan sebagai
amanat UU No. 26 Tahun 2007.
b) Memberikan masukan tentang cara mewujudkan
sinkronisasi program pembangunan sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah perbatasan yang seimbang antara kepentingan
kesejahteraan dengan keamanan.
c) Membantu Pemerintah Daerah meningkatkan sosialisasi dan
advokasi peraturan perundangan tata ruang wilayah perbatasan
kepada stakeholders terkait baik di tingkat pusat dan daerah.
d) Mendorong Pemerintah Daerah mempercepat penyelesaian
sistem informasi penataan ruang terpadu, peta dasar dan tematik
serta memanfaatkan pendekatan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup
Strategis) sebagai salah satu acuan dalam penyusunan rencana
tata ruang dalam rangka peningkatan kualitas penyelenggaraan
penataan ruang.
e) Menyarankan kepada Pemerintah Daerah Perbatasan agar
meningkatkan kapasitas kelembagaan penataan ruang wilayah
perbatasan dengan meningkatkan kualitas SDM, koordinasi antar
21

sektor dan wilayah, serta membangun kerjasama dan kesepakatan


antar wilayah/daerah perbatasan.
f) Membantu Pemerintah Daerah perbatasan meningkatkan
pengendalian pemanfaatan ruang serta mengoptimalkan
pengawasan penyelenggaraan penataan ruang wilayah
perbatasan.
g) Mensinergikan program pembangunan wilayah pertahanan
perbatasan dengan rencana tata ruang wilayah perbatasan.
h) Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah
Perbatasan agar dalam menata ruang juga harus berbasis mitigasi
bencana sebagai upaya dalam meningkatkan keselamatan dan
kenyamanan hidup dengan pengaturan zonasi yang baik.
2) Perencanaan pembangunan harus didasarkan pada data dan
informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan yang mencakup
pengertian gambar visual (images) yang diperoleh baik melalui observasi
langsung maupun dari yang sudah terkumpul, yang salah satu komponen
terpenting di dalamnya adalah data dan informasi spasial. Hal inilah
yang menjadi salah satu penghambat besar bagi percepatan
pembangunan di wilayah perbatasan terutama di pulau-pulau terdepan.
Upaya untuk menanggulangi berbagai permasalahan data dan informasi
spasial, serta untuk mencapai sasaran dan arah kebijakan pengamanan
wilayah perbatasan ke depan antara lain :
a) TNI memberdayakan Badan Surta TNI untuk membantu
Pemerintah Daerah perbatasan dan BNPP dalam meningkatkan
koordinasi kegiatan survei dan pemetaan, membangun
kelembagaan, menyusun standar, prosedur, dan manual bidang
survei dan pemetaan di wilayah perbatasan.
b) TNI mendorong BNPP untuk memberdayakan Bakorsurtanal
dalam merealisasikan strategi meningkatkan kuantitas dan kualitas
data dan informasi spasial baik di darat maupun di laut terutama
wilayah perbatasan yang memiliki nilai strategis keamanan dan
pertahanan tinggi, wilayah yang terkena bencana nasional, wilayah
perbatasan yang belum tercakup kegiatan survei dan pemetaan,
serta wilayah dengan potensi kegiatan ekonomi tinggi dengan titik
22

berat pada pemetaan wilayah NKRI dan yurisdiksinya, survei


demarkasi batas, pemetaan wilayah perbatasan berbagai skala,
pemetaan tataruang wilayah perbatasan, pemeliharaan garis batas
dan patok batas, pembuatan atlas wilayah perbatasan, pemetaan
pulau-pulau kecil terluar, survei titik dasar garis pangkal kepulauan,
survei zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen Indonesia.
Wilayah perbatatan NKRI akan dapat dikelola dan dibangun
dengan baik apabila tersedia data geospasial yang andal, sehingga
dapat diketahui dengan pasti dimana, ada apa, berapa banyak dan
bagaimana hubungan fungsi pembangunan antar daerah dan antar
sektor terpetakan dengan baik, maka bagaimana mungkin kita
dapat membangun wilayah perbatasan dengan baik apabila kita
belum memiliki data geospasial wilayah itu secara lengkap dan
andal. Dengan demikian ketersediaan infrastruktur data spasial
menjadi penting dalam membangun wilayah perbatasan baik untuk
kepentingan penata ruang maupun untuk diplomasi penyelesaian
masalah batas negara dan pelanggaran hukum di wilayah
perbatasan Indonesia.
3) Upaya peningkatan keamanan nasional tidak dapat lepas dari
perubahan politik, sistem pemerintahan, ekonomi, sosial budaya, hukum
dan partisipasi masyarakat serta tergantung kepada bagaimana membina
hubungan yang baik dengan negara tetangga. Peningkatan keamanan
laut sangat penting, khususnya perairan Selat Malaka. Upaya yang perlu
dilaksanakan :
a) BNPP mengorganisir peningkatan kegiatan Ocean peace
keeping: yaitu mengintensifkan kerjasama keamanan kolektif di
laut, menyelenggarakan patroli di perairan perbatasan secara
terpadu dan berkesinambungan seperti yang dilakukan TNI AL dan
TLDM khususnya menanggulangi bajak laut/perampokan di laut,
penyelundupan senjata dan manusia.
b) BNPP mengorganisir kegiatan menjaga keselamatan dan
keamanan pelayaran kapal dengan mengoptimalkan Patkor
Malindo dan Malindo Incsea dengan mengutamakan daerah rawan
selektif.
23

c) BNPP mengorganisir penetapan batas ZEE di Selat Malaka


dengan upaya konkrit untuk menyelenggarakan pertemuan
konsultasi informal tingkat pejabat tehnis untuk menetapkan batas
ZEE di selat Malaka dan daerah maritim lainnya.
d) BNPP mengorganisir meningkatkan patroli bersama di
perairan yang dilakukan komite perbatasan.
e) BNPP mengorganisir institusi yang menangani para pelaku
pelanggar perbatasan supaya diselesaikan secara hukum yang
berlaku dan diselesaikan melalui komisi bersama, terutama dalam
menangani masalah terorisme, imigran gelap, perdagangan gelap
manusia.
4) Untuk mewujudkan Kebijakan Pengamanan Wilayah Perbatasan
secara komprehensif, upaya yang dilakukan BNPP pada tingkat
operasionalisasi, pengelolaan dan pertahanan perbatasan harus memiliki
Ketersediaan blueprint dan sistem operasionalisasinya yang terintegrasi
antar sektor dan institusi pemerintah untuk menangani seluruh wilayah
perbatasan mulai dari batas terluar di perairan Sabang hingga perairan
Merauke. Kebijakan anggaran dan alokasi sumberdaya yang sustainable
dan memenuhi kebutuhan secara menyeluruh. Mekanisme pengawasan
demokratis, akuntabilitas publik dan pelibatan publik (investor atau LSM
misalnya) untuk turut serta memastikan akuntabilitas dan kredibilitas
pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan. BNPP merealisasi
kebijakan proses pembangunan yang berpedoman pada prinsip Equity,
Efisiensi, Efektifitas dan Keberlanjutan. Dalam bahasan pembangunan
wilayah perbatasan, jelas prinsip yang sangat berisiko tidak dapat atau
sulit dipenuhi adalah prinsip pemerataan (equity) karena langsung terkait
pada obyek dan subyek pembangunan yaitu wilayah, kelompok
masyarakat dan individu-individu. Di sisi lain, prinsip efisiensi, efektifitas
dan keberlanjutan lebih banyak berkaitan dengan proses pelaksanaan
program dan proyek pembangunan. Karenanya kebijakan dan strategi
pembangunan wilayah perbatasan harus berfokus pada prinsip pertama
yaitu pemerataan dimana seperti halnya wilayah non-perbatasan,
pembangunan yang lebih merata diberbagai aspek kehidupan juga
merupakan hak bagi wilayah perbatasan yang harus dibarengi dengan
24

pemenuhan kewajiban-kewajibannya oleh wilayah perbatasan sebagai


komitmennya dalam NKRI.
5) Untuk meningkatkan kondisi sosial masyarakat, upaya yang perlu
dilaksanakan adalah :
a) Secara konseptual, pendekatan kesejahteraan mengacu
pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan primer,
sekunder, dan tersier. Masyarakat diasumsikan akan patuh dan
taat terhadap hukum serta tidak akan melakukan berbagai
perbuatan yang melanggar aturan apabila terpenuhi kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok,
seperti pangan, sandang, dan papan merupakan prioritas untuk
dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka menjaga stabilitas
keamanan masyarakat. Logikanya, stabilitas keamanan
masyarakat tidak akan tercipta apabila masyarakat masih
mengalami kelaparan, keterbatasan dalam berpakaian, dan
ketiadaan rumah untuk beristirahat. Pemerintah juga harus
memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier masyarakat seperti
pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja.
b) Human security menjadi faktor penting dalam pembangunan
kawasan perbatasan. Upaya perlindungan terhadap human
security membuka peluang bagi kawasan perbatasan untuk
mempercepat proses pembangunan, dan karena keterkaitan yang
erat dengan pembangunan ekonomi dan sosial, human security
juga menjadi investasi yang penting bagi pembangunan wilayah
perbatasan. Dengan demikian, tantangan bagi pemerintah (pusat
dan daerah) serta berbagai stakeholders lain di wilayah perbatasan
adalah bagaimana mengintegrasikan human security sebagai inti
dari proses perencanaan dan implementasi pembangunan wilayah
perbatasan yang berbasis pada pembangunan manusia. Dalam
perspektif ini, konsep human security mencakup dimensi yang luas,
mulai dari keamanan, ancaman penyakit menular, rawan pangan,
kekurangan gizi, ancaman kehidupan sehari-hari (jaminan
pekerjaan, akses pendidikan, dll) sampai keamanan dari tindak
kejahatan dan terorisme.
25

6) Untuk mewujudkan daya dukung infrastruktur pengamanan wilayah


perbatasan secara optimal, upaya yang perlu dilakukan Pemerintah
melalui BNPP adalah merencanakan, menggalakan dan mengkoordinir
kegiatan kerja sama dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam
mengembangkan kawasan ini seperti lembaga penelitian, lembaga
pengembangan masyarakat, lembaga pengembangan wilayah maupun
lembaga-lembaga lainnya baik instansi pemerintah maupun swasta (baik
dalam maupun luar negeri) untuk membuka keterisolasian dan
keterbelakangan antara lain, Membangun sarana jalan dan jembatan.
Ketersediaan jalan dan jembatan di perbatasan sangat diperlukan, karena
sangat mendukung usaha pengembangan dan peningkatan sarana
perhubungan angkutan darat dari desa ke desa, Mengembangkan sarana
penerangan (listrik) yang jelas akan membatu segala aktivitas dan sarana
untuk mendukung peralatan informasi dan peralatan lainnya seperti
industri dan lain-lain serta Mengembangkan sarana air bersih.
Mengembangkan sarana telekomunikasi dan membangun dan
mengembangkan sarana pendidikan. Pendidikan merupakan investasi
manusia yang mempunyai manfaat ekonomi dan sosial, karena
pendidikan merupakan salah satu indikator kesejahteraan rakyat. Melalui
pendidikan manusia dipersiapkan untuk menjadi sumberdaya yang
produktif dan memiliki harkat dan martabat serta integritas yang tinggi
terutama dalam menopang pembangunan. Berdasarkan analisis
kebutuhan pengembangan pendidikan di kawasan perbatasan dan pulau
kecil terdepan yang berpenduduk diiupayakan operasionalnya bisa
terjangkau penduduk utamanya masalah biaya bahkan kalau bisa gratis.
Sedangkan penyediaan tenaga pengajar harus yang benar-benar memiliki
jiwa pengabdian dan kredibilitas yang unggul, tentunya disesuaikan
dengan kekhususan sistem kompensasinya serta penghargaan atas
pengabdiannya sehingga profesi tersebut benar-benar ditempatkan
sebagai kehormatan.

b. Implikasi.
a. Adanya keberpihakan, perhatian dan tindakan nyata agar
pembangunan wilayah perbatasan yang dilakukan secara tepat, cepat,
26

menyeluruh, aman dan lancar dapat menimbulkan implikasi terdukungnya


usaha pertahanan Negara yang optimal dan mantap terhadap wilayah
perbatasan, sehingga beragam ancaman baik militer maupun non milter
dapat terhindari serta terjaganya wilayah kedaulatan NKRI.
b. Pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan negara
khususnya bagi wilayah perbatasan secara ideal yang didukung Inpres
pembagian kewenangan masing-masing instansi dan mekanisme
koordinasi pada tataran strategis maupun operasional di lapangan, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan Buku petunjuk dan Protap
pelaksanaan di lapangan dapat berimplikasi pada kesiapan satuan TNI
dalam mengamankan wilayah perbatasan darat dapat semakin
meningkat serta dilakukan secara terintegrasi, terpadu dan terkoordinasi
dengan institusi lain di daerah sehingga dapat memperbesar keyakinan
akan teramankannya wilayah kedaulatan NKRI.

8. Daftar Pustaka
a. Aditya Batara G., “Manajemen Garis Perbatasan Indonesia: Sebuah

Usaha Menjamin Keamanan Warganegara”, 2007.... www.dcaf.ch/content/.../


bm_bordermanagement_ reform_bahasa
b. http://ina.propatria.or.id/download/Paper Diskusi/Keamanan Nasional,
Ancaman dan Eskalasi-Rizal Sukma.pdf, CSI Jakarta FGD Pro-Patria, 23
September 2003
c. http://pmii-komfast.blogspot.com/2012/11/geostrategi-ketahanan-nasional-
a.html
d. http://www.academia.edu/8996575/pengamanan_perbatasan_
negara_dan_upaya_peningkatannya_di_indonesia_strategi_pengelolaan_kawas
an_perbatasan_
e. http://www.kodam-jaya.mil.id “Malaysia Pelanggar Perbatasan
Terbanyak”, Kodam Jaya Online, 3 Maret 2009.
f. http://zhagitoloh.blogspot.com/2010/04/masalah-masalah-sengketa-
perjanjian.html
g. Rizal Sukma, Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi, FGD Pro
Patria, 23 September 2003
27

h. RJPMN 2010-2014
i. Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai