Sewa Beli Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen
Sewa Beli Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen
OLEH :
SAKINA
Dengan mengucap puji syukur kepada allah swt yang telah memberikan nikmat terutama nikmat
kesehatan dan kesempatan serta hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah
ini dengan judul “SEWA BELI DALAM PERPESKTIF HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN”
Kemudian shalawat serta salam tak lupa kita sampaikan kepada nabi besar kita muhammad SAW
yang telah memberikan pedoman hidup yang sempurnah yang telah membawa kita dari zaman
jahiliah menuju zaman islamiah yang dimana semua manusia sama dimata agama dan hukum.
Selanjutnya saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada segenap pengurus KIP
kuliah STAIN MAJENE yang telah memberikan saya kesempatan untuk menerima bantuan biaya
pendidikan ( KIP ) kuliah sekolah tinggi agama islam negeri majene ( STAIN ).
Majene 19:01:2024
sakina
DAFTAR ISI
i
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Maraknya pengguna Internet dan sosial media di Indonesia ini membuat bisnis e-commerce
transaksi (online) semakin berkembang.Meningkatnya angka jual beli secara online ini secara tidak
langsung juga berdampak terhadap perkembangan aturan hukum.Dalam menjalankan bisnis online
atau melakukan transaksi online, ada beberapa aspek hukum e-commerce dan jual beli secara
online atau elektronik yang harus di ketahui.Transaksi online biasanya diartikan sebagai kontrak
elektronik yaitu ikatan atau hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik yang
menggabungkan jaringan dari sistem informasi berbasis komputer dengan sistem.Jual beli online
lahir karena adanya kontrak jual beli yang terjadi secara elektronik antara penjual dan
pembeli.Namun, sampai sekarang aturan jual beli elektronik masih belum tertulis dengan jelas di
dalam hukum yang berlaku di wilayah Indonesia.Hal ini dikarenakan syarat-syarat sah perjanjian
secara elektronik belum diatur secara khusus.Pada prinsipnya, aturan yang ada dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang merupakan acuan dalam pembuatan kontrak transaksi jual
beli online.Selama kontrak ini dibuat telah memenuhi 4 syarat sah perjanjian yang dimaksud pada
KUHPerdata, maka kontrak transaksi online tersebut dapat dianggap sah dan mengikat para penjual
dan pembeli.
Pada prinsipnya, jual beli secara online adalah salah satu cara yang digunakan dalam
melakukan transaksi jual beli. Namun, sifat dari transaksi tersebut adalah jual beli sehingga tetap
merujuk pada aturan mengenai jual beli yang diatur dalam KUHPerdata. Dalam kontrak elektronik
atas transaksi jual-beli online atau bisnis e-commerce, penjual memiliki hak dan tanggung jawab
masing-masing serta mengacu pada kewajiban penjual dalam transaksi jual beli antara lain:
o Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan.
o Menanggung kenikmatan serta menanggung cacat tersembunyi.
o Memberi informasi tentang barang dan atau jasa yang dijual secara benar, jujur, jelas, dan
sebagainya. Dalam transaksi online, juga perlu memperhatikan sisi pembeli dimana seorang penjual
sebagai pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi kepada pembeli atau konsumen apabila barang
yang diterima tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini dilakukan agar pembeli dapat
menuntut haknya apabila terjadi penipuan atas produk yang dilakukan oleh penjual. Tentunya
penjual juga mempunyai hak Menentukan dan menerima harga pembayaran atas penjualan barang
sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli, Mendapatkan perlindungan hukum dari
tindakan pembeli yang beriktikad tidak baik, Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya
dalam penyelesaian sengketa, Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
merugikan konsumen yang tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
Umumnya, setiap kegiatan jual beli online terdapat dokumen elektronik yang dibuat oleh pihak
penjual berisi aturan serta kondisi yang harus dipatuhi seperti jangka waktu pembayaran, jangka
waktu dan metode pengiriman.Walau seringkali saat prakteknya penjual dan pembeli tanpa
menseseorangtangani suatu perjanjian, tetapi jika pembeli telah memasukkan pesanan atas barang
yang diinginkan dan penjual bersedia untuk menyerahkan barang tersebut, maka telah terjadi
kesepakatan antara para pihak untuk melakukan transaksi jual beli.Kondisi serta aturan ini yang
dapat digunakan sebagai perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Dalam Kesepakatan, penjual
berhak memperoleh pembayaran dari pembeli atas produk yang dibeli oleh pembeli. Jika pembeli
1
2
tidak melakukan pembayaran dalam waktu yang ditentukan, maka penjual dapat membatalkan
pembelian barangtersebut dan menjualnya kepada calon pembeli lain. Dengan adanya aturan jelas
mengenai jangka waktu pembayaran, maka akan memberikan perlindungan bagi penjual dimana
penjual tidak dapat disalahkan jika penjual memberikan barang tersebut kepada calon pembeli lain
dalam hal pembeli tidak melakukan pembayaran hingga batas waktu yang ditentukan.
B.RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja syarat yang diperlukan dalam melakukan perjanjian sewa beli ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui apa saja syarat dalam melakukan perjanjian sewa beli
PEMBAHASAN
Kontrak sebagian merupakan kontrak jenis baru sebagai kontrak yang tidak diatur dalam
KUH Perdata. Hingga saat ini, belum ada satu pun syarat baku yang menjadi syarat
baku sistem kontrak angsuran Meski saat itu belum ada ketentuan untuk namun kontrak angsuran
(Huurkoop) tetap berlaku.Hal ini disebabkan karena hukum kontrak KUH Perdata mengikuti asas
kebebasan berkontrak, yang terlihat jelas dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata
yang berbunyi:”Semua kontrak yang ditandatangani secara sah haruslah pinjaman kepada orang
yang membuatnya".Selain itu, tidak ada jenis kontrak baru, seperti penjualan bagian, tujuan dan
niat yang bertentangan dengan Perdata Pasal 1337”, yang menyatakan bahwa: "Suatu sebab
dilarang jika dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan adat istiadat yang baik
atau kebijakan publik. Oleh karena itu, apabila isi dan tujuan perjanjia bertentangan dengan
undang-undang,kesusilaan dan/atau ketertiban umum,perjanjian tersebut tidak diterima.Kontrak
parsial asalkan isinya tidak bertentangan dengan undang-undang, baikadat istiadat maupun
kebijakan umum, maka kontrak diperbolehkan karena memenuhi standar hukum perdata Namun
karena era berkembang seiring dengan lahirnya konsumen undang-undang
perlindunga,kontrak jenis ini harus dipertimbangkan kembali, karena hak-hak konsumen seringkali
diabaikan. 4.444 perjanjian pengalihan dibuat karena adat dan 4.444 diakui
sah secara yurisprudensi. Part awalnya dibuat secara praktis sebagai jawaban dari permasalahan
bagaimana memberikan solusi ketika penjual mempunyai banyak keinginan atau keinginan
untuk membeli barang namun calon pembeli tidak mampu membayar harga
dari barang tersebut. langsung Penjual siap menerima harga barang
sebagian atau sebagian. Ditemukan kesepakatan sebagai jalan keluarnya, dimana sampai harga
belum dibayar lunas, pembeli menjadi lessor pertama atas barang yang dibeli.1
Dalam praktek, perjanjian sewa beli ini ternyata memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga
dengan demikian hal tersebut sering dipergunakan. Akan tetapi oleh karena perjanjian sewa itu
merupakan suatu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata timbul persoalan apakah
peraturan tentang sewa beli atau tentang sewa menyewa dalam KUH Perdata tersebut harus
dipergunakan atau tidak.
Seperti diketahui bahwa sampai sekarang belum ada suatu peraturan perundang-undangan
yang mengatur masalah lembaga sewa beli, sehingga mengakibatkan definisi yuridis untuk
pengertian ini belum ada. Namun, di negara-negara tetangga yang menganut sistem hukum Anglo-
Saxon, lembaga sewa beli atau Hire Purchase sudah diatur secara khusus dalam undang-undang
tersendiri misalnya, di Malaysia diatur dalam Hire Purchase Act 1967, dan di Singapura diatur
dalam Hire Purchase Act 1969. Dengan demikian, lembaga Hire Purchase yang antara lain
1
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, Bandung : Mandar Maju, 1977, hlm. 191.
3
4
merupakan Purchasing with Payment on Instalment, pada hakekatnya tidak lain dari pada
"koop en verkoop op afbetaling" (sewa beli dengan pembayaran secara angsuran) yang merupakan
variasi daripada perjanjian sewa beli secara biasa. Perjanjian sewa beli tidak diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang, oleh sebab ini disebut
dengan perjanjian tak bernama. 2Dalam kenyataannya, ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam
perjanjian sewa beli diserahkan kepada kesepakatan para pihak berdasarkan asas kebebasan
berkontrak. Kebebasan berkontrak dapat mendatangkan Ketidak adilan karena prinsip ini hanya
dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak
memiliki bargaining power yang seimbang.
Dalam kenyataannya hal tersebut sering tidak terjadi sehingga pihak yang lemah selalu
dirugikan. Pasal 1319 KUH Perdata menyebutkan dua kelompok perjanjian, yaitu perjanjian yang
oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus disebut dengan perjanjian bernama (benoemde
atau nominaatcontracten) dan perjanjian yang dalam undang-undang tidak dikenal dengan suatu
nama tertentu yang disebut perjanjian tak bernama (onbenoemde atau innominaat contracten).
Nama-nama yang dimaksud yakni yang diberikan oleh Undang-undang, seperti sewa beli, sewa
menyewa, perjanjian pemborongan, perjanjian wesel, perjanjian asuransi. Di samping undang-
undang memberikan nama sendiri, 3 undang-undang juga memberikan peraturan secara khusus atas
perjanjian-perjanjian bernama. Perjanjian bernama tidak hanya terdapat dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, tetapi juga di dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang, bahkan
dalam Undang-undang tersendiri.
2
J. Satrio, Hukum Perjanjian. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 115.
3
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian. Sumur, Bandung, 1996, hlm. 10.
5
Pemahaman Burgerlijk Wetboek tentang hukum komitmen mengikuti prinsip bahwa hanya suatu
perjanjian saja sudah cukup untuk menyimpulkan suatu kontrak. Pernyataan niat dapat
diungkapkan secara lisan, tertulis atau surat, dan lain-lain.
Asas persetujuan yang terkandung dalam undang-undang itu sendiri tentunya tidak hanya
sekedar untuk syarat moral dan etika saja, melainkan lebih pada kepastian hukum.Asas persetujuan
dalam sistem hukum Indonesia, yaitu hukum perdata, merupakan asas universal yang ditemukan
dan diturunkan sejak tahun 1320. bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah mengikat para
pihak yang membuat kontrak. Artinya kontrak mengikat para pihak. Namun demikian, dapat
disimpulkan dari Pasal 1338 (1) bahwa ada asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak ini
dibatasi oleh hukum imperatif yaitu (TsK § 1320. Burgerliik Wetboek-BW). Kebebasan
berkontrak didasarkan pada sama kuatnya posisi kedua belah pihak. Meski kenyataannya tidak
seperti itu. Dengan demikian, subjek berpendapat bahwa UU Persatuan Bangsa ke depan
seharusnya memberikan perlindungan hukum kepada partai politik yang lemah (memiliki ekonomi
lemah). Selain pada bagian umum, hukum juga harus dilindungi dalam berbagai akad yaitu
pembayaran pembelian kembali yang sah, angsuran, akad kerja, pembayaran transfer, pinjaman
uang, dan lain-lain.4
Pakar hukum yang berpendapat bahwa asas kebebasan berkontraktetap harus dipertahankan
sebagai asas utama kontrak adalah Badrulzaman. Padahal, gagasan asas kebebasan
berkontrakadalah setiap orang dapat dengan leluasa membuat kontrakapa pun, baik itu kontrak
KUH Perdata, KUHD, maupun kontrak yang tidak diatur. Kebebasan tersebut harus dipenuhi
dengan beberapa syarat, yaitu tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Namun dalam praktiknyatidak demikian..
4
R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Alumni Bandung, 1976, hlm. 18.
6
yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak, kedua belah pihak harus mengadakan perjanjian
bersama-sama. Namun hal ini tidak terjadi pada kontrak Formatau kontrak baku ketika kreditur
mengirimkan kontrak kosong Formatau formulir dengan syarat selain harga, jenis, jumlah dan
jenis barang. tidak terpenuhi. Dalam sistem pembayaran, yang menjadi pertanyaan adalah apakah
benar ada kontrak yang mengikat seluruh pokok-pokok kontrak yang dibuat oleh kreditur dan itu
hanya harus disampaikan kepada debitur dalam bentuk kontrak baku, dan apakah kontrak tersebut
dapat diakhiri. . . dianggap sah? Kontrak standar tersebut telah banyak digunakan dalam kehidupan
perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, terdapat beberapa permasalahan hukum pada, antara
lain “sifat wajib” dan “ketidakadilan” yang diberikankepada debitur. Namun ternyatamasih kurang
mendapat perhatian di kalangan ahli hukum. Dalam kontrak, kedudukan dasar kreditur dan debitur
tidak sama. Untuk menjelaskanlebih tepat tentang kontrak baku, perlu diketahui terlebih dahulu
pengertian hukumdan fungsinya. Misinya melayani masyarakat, karena kepentingan
masyarakatberubah maka hukum harus merespon berbagai permasalahan yang dihadapinya,
mengetahui bahwa “hukum melayani”..
Hukum tidak boleh menghalangi terwujudnya kepentingan keadilan sosial. Oleh karena itu
pertumbuhan kontrak standar didasarkan pada keadilan sosial dan ekonomi, perusahaan besar,
perusahaan semi negara atau perusahaan negara bekerja sama
untuk kepentingannya,syaratnya ditentukan secara sepihak.
5
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan (KDT) Hukum Bisnis. sebagai definisi yuridis formal
ditemukan pada UU No. 8/1999 tentang UUPK
7
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan barang dan/atau jasa.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyesuaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
8. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perun dangan lainnya. Di pihak lain konsumen
juga dibebani dengan kewajiban atau tanggung jawab terhadap pihak pennjual atau pelaku usaha,
dimana kewajiban konsumen meliputi sebagai berikut:
1. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan (KDT) Hukum Bisnis. sebagai definisi yuridis formal
ditemukan pada UU No. 8/1999 tentang UUPK
8
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau ditukarsesuai dengan baku mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku.
5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji,dan/atau mencoba suatu barang
dan/atau jasa tertentu danmemberikan jaminan dan/atau garansi terhadap barang yang diproduksi
dan/atau dijual.
6. Ganti rugi, ganti rugi dan/atau ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat penggunaan,
penggunaan dan/atau penggunaan barang dan/atau jasa yang dibeli.
7. Menawarkan ganti rugi, ganti rugi dan/atau penukaran apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau digunakan tidak sesuai dengan kontrak (Pasal 7).
7
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan (KDT) Hukum Bisnis. sebagai definisi yuridis formal
ditemukan pada UU No. 8/1999 tentang UUPK
9
Peranan dunia usaha dalam pemberantasan korupsi di Indonesia menurut undang-undang yang
berlaku di Indonesia antara lain menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik,
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat,
mencegah praktik monopoli dan hal lain yang merugikan negara dan mematuhi semua ketentuan
peraturanperundang-undangan. Selain itu dalam pemberantasan korupsi dunia usaha dapat
berperan untuk menghentikan sisi penawaran korupsi berupa suap. Dengan aksi bersama
diharapkan upaya perusahaan untuk menolak permintaan suap menjadi lebih kuat, dan apabila
upaya bersama tersebut disinergikan dengan pemerintah yang berupaya melakukan reformasi
birokrasi dan masyarakat sipil yang melakukan pengawasan dalam gerakan anti korupsi, maka
niscaya aksi bersama tersebut akan lebih efektif. Cara menerapkan collective action dapat dimulai
dengan melakukan analisa pemangku kepentingan terlebih dahulu kemudian dipilih jenis
collective action mana yang cocok untuk dilaksanakan bersama pemangku kepentingan yang ada
sesuai dengan kondisi lingkungan bisnis dimana perusahaan berada.
Penerapan Collective Action oleh dunia usaha tidaklah cepat dan mudah, masih terdapat
banyak kendala di dalam penerapan Good Corporate Governance yang merupakan landasan dalam
Collective Action terutama kesadaran tentang prioritas perusahaan antara keuntungan dengan tata
kelola perusahaan yang baik. Dibutuhkan kesabaran, kerja keras dan ketekunan dalam aksi
bersama tersebut seperti sosialisasi Good Corporate Governance sehingga tercipta level playing
field di dalam dunia usaha, sehingga Collective Action tersebut dapat berjalan. Hal positif yang
penulis amati adalah di Indonesia sudah banyak elemen-elemen untuk melakukan aksi bersama
tersebut seperti Pakta Integritas di dalam pengadaan pemerintah, Pakta Integritas oleh 3 Pilar
Kemitraan, Pakta Anti Suap oleh Kelompok Pengusaha Anti Suap (KUPAS), Penghargaan di
bidang Good Corporate Governance oleh IICD, IICG, KNKG. Yang diperlukan adalah upaya
untuk meningkatkan efektifitas dari aksi bersama tersebut. Selain itu aturan dalam pengadaan
pemerintah masih berupa Peraturan Presiden dimana pelanggaran dalam pengadaan pemerintah
merupakan pelanggaran administratif. Namun sanksi yang diberikan masih kurang jelas atau masih
berupa sanksi moral apabila terjadi pelanggaran Pakta Integritas tersebut.
2. SARAN
Supaya aksi bersama ini berjalan dengan efektif diperlukan kerjasama dari ketiga pilar
pemangku kepentingan yaitu: Pemerintah, Masyarakat dan Bisnis. Saat ini sudah terdapat upaya
dari masing-masing pilar seperti reformasi birokrasi di pemerintah, gerakan anti korupsi oleh
lembaga swadaya masyarakat dan aksi bersama oleh pengusaha. Upaya tersebut tidak dapat
berjalan sendiri-sendiri. Oleh karena itu diperlukan suatu koordinasi antara ketiga pilar kemitraan
tersebut supaya aksi bersama tersebut lebih efektif. Evaluasi secara bersama-sama dan
terkoordinasi perlu dilakukan.
11
DAFTAR PUSTAKA
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/8984/8538
https://repository.upstegal.ac.id/2912/1/Hukum%20Bisnis_100320.pdf
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan (KDT) Hukum Bisnis. sebagai definisi yuridis formal
12