Anda di halaman 1dari 51

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Manajemen Sumberdaya Manusia

1. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

Menurut Afandi (2018:154), manajemen adalah suatu proses

perencanaan, penginstansian, kepemimpinan, dan pengendalian

upaya anggota instansi dan menggunakan semua sumber daya

instansi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen

menurut Stoner adalah suatu keadaan terdiri dari proses yang

ditunjukkan oleh garis (line) mengarah kepada proses

perencanaan, penginstansian, kepemimpinan, dan pengendalian,

yang mana keempat proses tersebut saling mempunyai fungsi

masing-masing untuk mencapai suatu tujuan instansi.

Pada dasarnya manajemen adalah seni untuk mengatur atau

mengelolah sumber daya yang ada dengan menerapkan fungsi –

fungsinya untuk mencapai tujuan tertentu. Pencapaian tujuan

instansi, permasalahan yang dihadapi manajemen bukan hanya

terdapat pada bahan mentah, alat kerja, mesin – mesin produksi,

uang dan lingkungan kerja tetapi juga menyangkut sumber daya

manusia. Sumber daya manausia di dalam instansi atau instansi

adalah pegawai atau pegawai. Pegawai atau sumber daya

manusia merupakan sumber daya yang paling penting dalam

sebuah instansi atau instansi. Tanpa adanya sumber daya

12
manusia instansi tidak bisa beroperasi untuk mencapai tujuan

instansi. Sumber daya manusia merupakan faktor penggerak

sumber daya yang lain sehingga tujuan instansi tercapai. Oleh

sebab itu sumber daya manusia di dalam instansi harus di kelola

dengan baik agar efektif dan efisien.

Menurut Bangun (2017:98) manajemen sumberdaya manusia

adalah proses pengelolahan manusia, melalui perencanaan,

pelatihan, pengembangan, pemberian kompensasi, karier,

keselamatan dan kesehatan serta manjaga hubungan industrial

sampai pemutusan hubungan kerja guna mencapai tujuan instansi

dan peningkatan kesejahteraan stakeholder.

Manajemen sumberdaya manusia adalah merupakan suatu

proses perencanaan, penginstansian, pengarahan dan

pengawasan kegiatan–kegiatan pengadaan, pengembangan,

pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan

pelepasan sumberdaya manuia agar tercapi berbagai individu

instansi dan masyarakat. (Effendi, 2018:85)

Manjemen sumberdaya manusia adalah manajemen yang

memfokuskan diri memaksimalkan kemampuan pegawai atau

anggotanya melalui berbgai langkah strategis dalam rangka

menaikkan kinerja pegawai menuju pengoptimalan tujuan instansi.

(Gomes, 2018:176)

Manajemen sumberdaya manusia adalah ilmu dan seni

mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan


efisien membantu terwujudnya tujuan instansi, pegawai dan

masyarkat. (Hasibuan, 2018:154)

Beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan manajemen

sumberdaya manusia adalah ilmu dan seni mengatur sumberdaya

manusia untuk dapat menunjang aktivitas instansi secara efektif

dan efisien dalam mencapai tujuan organiasasi sesuai dengan

fungsi – fungsinya.

2. Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia

Beberapa tujuan manajemen sumberdaya manusia yakni:

(Marbawi, 2020:67)

a. Tujuan organisasional ditujukan untuk dapat mengenali

keberadaan manajemen sumber daya manusia (MSDM)

dalam memberikan kontribusi pada pencapaian efektivitas

instansi. Walaupun secara formal suatu departemen sumber

daya manusia diciptakan untuk dapat membantu para

manajer, namun demikian para manajer tetap

bertanggungjawab terhadap kinerja pegawai. Departemen

sumber daya manusia membantu para manajer dalam

menangani hal-hal yang berhubungan dengan sumber daya

manusia.

b. Tujuan fungsional ditujukan untuk mempertahankan kontribusi

departemen pada tingkat yang sesuai dengan kebutuhan

instansi. Sumber daya manusia menjadi tidak berharga jika

manajemen sumber daya manusia memiliki kriteria yang lebih

rendah dari tingkat kebutuhan instansi.


c. Tujuan sosial ditujukan untuk secara etis dan sosial merespon

terhadap kebutuhan-kebutuhan dan tantangan-tantangan

masyarakat melalui tindakan meminimasi dampak negatif

terhadap instansi. Kegagalan instansi dalam menggunakan

sumber dayanya bagi keuntungan masyarakat dapat

menyebabkan hambatan-hambatan.

d. Tujuan personal ditujukan untuk membantu pegawai dalam

pencapaian tujuannya, minimal tujuan-tujuan yang dapat

mempertinggi kontribusi individual terhadap instansi. Tujuan

personal pegawai harus dipertimbangkan jika parapegawai

harus dipertahankan, dipensiunkan, atau diprofesionalitas.

Jika tujuan personal tidak dipertimbangkan, kinerja dan

kepuasan pegawai dapat menurun dan pegawai dapat

meninggalkan instansi.

3. Fungsi-Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan bagian dari

fungsi manajemen, maka sebelum mengemukakan pendapat-

pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan manajemen

sumber daya manusia, perlu dijelaskan mengenai arti manajemen

itu sendiri. Menurut Kaswan (2018:89), menjelaskan secara

singkat fungsi-fungsi manajemen sebagai berikut :

a. Perencanaan (Planning).

Merencanakan tenaga kerja secara efektif dan efisien agar

sesuai dengan kebutuhan instansi dalam mewujudkan tujuan.


b. Pengorganisasian (Organizing).

Menyusun suatu instansi dengan mendesain struktur dan

hubungan antara tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh

tenaga kerja yang dipersiapkan.

c. Pengarahan (Directing).

Kegiatan mengarahkan semua pegawai agar mau bekerjasama

dan bekerja secara efektif dan efisien dalam membantu

tercapainya tujuan instansi, pegawai, dan masyarakat.

d. Pengendalian (Controlling).

Kegiatan mengendalikan semua pegawai agar mentaati

peraturan-peraturan instansi dan bekerja sesuai dengan

rencana.

e. Pengadaan Tenaga Kerja (Procurement).

Proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi, dan induksi

untuk mendapatkan pegawai yang sesuai dengan kebutuhan

instansi.

f. Pengembangan (Development).

Proses peningkatan keterampilan teknis, teoritis, konseptual,

dan moral pegawai melalui pendidikan dan pelatihan.

g. Kompensasi (Compensation).

Pemberian balas jasa langsung (direct), dan tidak langsung

(indirect), uang atau barang kepada pegawai sebagai imbalan

jasa yang diberikan kepada instansi.


h. Pengintegrasian (Integration).

Kegiatan untuk mempersatukan kepentingan instansi dan

kebutuhan pegawai, agar tercipta kerjasama yang serasi dan

saling menguntungkan.

i. Pemeliharaan (Maintenance).

Kegiatan untuk memelihara atau menaikkan kondisi fisik,

mental, dan loyalitas pegawai agar mereka mau bekerja sama

sampai pensiun. Pemeliharaan yang baik dilakukan dengan

program kesejahteraan yang berdasarkan sebagian besar

kebutuhan pegawainya.

j. Kedisiplinan (Discipline).

Keinginan dan kesadaran untuk mentaati peraturan-peraturan

instansi dan norma-norma sosial.

k. Pemutusan Hubungan Tenaga Kerja (Separation).

Putusnya hubungan kerja seseorang dari suatu instansi.

Pemutusan hubungan kerja ini dapat disebabkan oleh

keinginan pegawai, keinginan instansi, kontrak kerja berakhir,

pensiun dan sebab-sebab lainnya.

Fungsi-fungsi sumber daya manusia diatas saling

memengaruhi satu sama lain. Apabila terdapat ketimpangan dalam

salah satu fungsi maka akan memengaruhi fungsi yang lain. Fungsi-

fungsi manajemen sumber daya manusia tersebut ditentukan oleh

profesionalisme departemen sumber daya manusia yang ada di

dalam instansi yang sepenuhnya dapat dilakukan untuk membantu

pencapaian sasaran -sasaran yang telah ditetapkan oleh instansi.


2.1.2 Pelatihan

a. Pengertian Pelatihan

Pada dasarnya tujuan pelatihan yaitu ingin

mengembangkan pegawai untuk terampil, terdidik, dan terlatih

secara professional dan siap pakai dalam bidangnya masing-

masing.

Dapat dikatakan bahwa ada tiga syarat yang harus

dipenuhi agar suatu kegiatan dapat disebut sebagai suatu

pelatihan.

Menurut Hariandja (2013:169), ketiga syarat tersebut

adalah:

1. Pelatihan harus membantu pegawai menambah

kemampuannya.

2. Pelatihan harus menghasilkan perubahan dalam

kebiasaaan bekerja dari pegawai dalam sikapnya terhadap

pekerjaan, dalam informasi, dan pengetahuan yang

diterapkan dalam pekerjaan sehari-harinya.

3. Pelatihan harus berhubungan dengan pekerjaan tertentu.

Pelatihan berhubungan dengan menambah pengetahuan

keterampilan dan kecakapan untuk menyelenggarakan

pekerjaan tertentu. Istilah pelatihan ini digunakan untuk

menjelaskan setiap proses keterampilan atau kecakapan dan

kemampuan para pegawai, sehingga mereka lebih baik

menyesuaikan dengan lingkungan kerja yang mereka geluti.

Berikut beberapa pendapat tentang pengertian pelatihan

dari para ahli :

Menurut Pramudyo (2016 : 16) sebagai :


“Proses pembelajaran yang dirancang untuk mengubah kinerja

orang dalam menyelenggarakan pekerjaannya”.

Yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya empat hal

yang harus diperhatikan. Yaitu proses pelatihan, kinerja,

peserta pelatihan, dan pekerjaan. Harus dipahami bahwa

proses pelatihan mengacu kepada suatu perubahan yang harus

terjadi pada peserta pelatihan.

Dalam proses pelatihan, kinerja yang kurang baik

dibenahi sedemikian rupa sehingga menjadi lebih baik.

Sehingga sekumpulan tugas-tugas yang telah menanti dapat

dikerjakan dengan baik oleh pekerja yang telah mengikuti

pelatihan.

Menurut Dessler (2013 : 280) mengatakan bahwa

pelatihan merupakan proses mengajar ketrampilan yang

dibutuhkan pegawai untuk menyelenggarakan pekerjaannya.

Dari beberapa pengertian mengenai pelatihan tersebut,

sekarang jelas bahwa pelatihan diadakan sebagai salah satu

upaya untuk peningkatan kinerja sumber daya manusia, yang

merupakan suatu siklus yang harus dilakukan secara terus

menerus. Karena perkembangan entitas usaha harus diimbangi

oleh kemampuan sumber daya manusianya. Seiring

perkembangan bisnis, maka kinerja pekerja dalam suatu entitas

usaha harus terus menerus pula seirama dengan kemajuan dan

perkembangan entitas usaha.

Pelatihan menurut Mangkuprawira (2013 : 135)

menjelaskan bahwa pelatihan adalah sebuah proses

mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap


agar pegawai semakin terampil dan mampu menyelenggarakan

tanggungjawab dengan semakin baik, sesuai dengan standar.

Dari uraian ini menjelaskan bahwa pelatihan membantu

pegawai dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan

penerapannya dalam dunia kerja pada entitas usaha demi

menaikkan produktivitas kerja dalam mencapai tujuan yang

diinginkan suatu birokrasi entitas usaha. Pelatihan juga

merupakan profesionalitas bagi pegawai untuk bekerja lebih

baik dan terarah.

Proses kegiatan pelatihan sering dilaksanakan oleh suatu

entitas usaha setelah terjadi penerimaan pegawai sebab latihan

hanya diberikan pada pegawai dari entitas usaha yang

bersangkutan. Latihan adakalanya diberikan setelah pegawai

tersebut ditempatkan dan ditugaskan sesuai dengan bidangnya

masing-masing. Secara garis besarnya pelatihan merupakan

suatu usaha untuk menaikkan pengetahuan dan keterampilan

serta kemampuan pegawai agar dapat menyelenggarakan

suatu tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya

secara efektif dan efisien.

b. Tujuan Pelatihan

Pelatihan adalah fungsi operasional kedua dari

manajemen personalia. Pelatihan pegawai perlu dilakukan

secara terencana dan berkesinambungan.

Agar pengembangan dapat dilaksanakan dengan baik,

harus lebih dahulu ditetapkan suatu program pelatihan

pegawai.
Program pelatihan pegawai hendaknya disusun secara

cermat dan didasarkan pada metode ilmiah serta berpedoman

pada keterampilan yang dibutuhkan entitas usaha saat ini

maupun untuk masa yang akan datang. Pelatihan harus

bertujuan untuk menaikkan kemampuan teknis, teoritis,

konseptual dan moral pegawai supaya prestasi kerjanya baik

dan mencapai hasil yang optimal.

Pimpinan entitas usaha semakin menyadari bahwa

pegawai baru pada umumnya hanya mempunyai kecakapan

teoritis saja dibangku kuliah. Jadi, pelatihan manajerial dan

technical skill perlu dikembangkan dalam kemampuan yang

nyata untuk dapat segera menyelesaikan pekerjaannya.

Pelatihan untuk pengembangan pegawai memang

membutuhkan biaya cukup besar, tetapi biaya ini merupakan

investasi jangka panjang bagi entitas usaha di bidang

personalia. Karena pegawai yang cakap dan terampil akan

dapat bekerja lebih efisien, efektif, dan hasil kerjanya lebih baik

sehingga daya saing entitas usaha akan semakin besar. Hal ini

akan memberikan peluang yang lebih baik bagi entitas usaha

untuk memperoleh laba yang semakin besar sehingga balas

jasa (gaji) pegawai dapat dinaikkan.

Tujuan pelatihan menurut Mangkunegara (2013:52)

antara lain :

1. Menaikkan penghayatan jiwa dan ideologi

2. Menaikkan produktivitas kerja

3. Menaikkan kualitas kerja

4. Menaikkan perencanaan sumber daya manusia


5. Menaikkan sikap moral dan semangat kerja

6. Menaikkan rangsangan agar pegawai mampu berprestasi

secara maksimal.

7. Menaikkan kesehatan dan keselamatan.

8. Menghindarkan keseragaman

9. Menaikkan perkembangan pribadi pegawai.

Suatu birokrasi perlu melibatkan sumber daya

manusianya pada aktivitas pelatihan hanya jika hal itu

merupakan keputusan yang terbaik dari manajer. Pelatihan

diharapkan dapat mencapai hasil lain dari memodifikasi perilaku

pegawai. Hal ini juga mendukung birokrasi dan tujuan birokrasi,

seperti keefektifan produksi distribusi barang dan pelayanan

lebih efisien, menekan biaya operasi, menaikkan kualitas, dan

menyelaraskan hubungan pribadi lebih efektif.

Pelatihan bagi seseorang dalam menyelenggarakan

sesuatu tugas tertentu untuk mencapai tujuan. Dengan

pengambangan melalui pelatihan akan terjamin tersedianya

tenaga-tenaga dalam entitas usaha yang mempunyai keahlian,

terlatih dan terdidik, menjamin mempergunakan pikirannya

dengan kritis.

Disamping hal tersebut pelatihan membantu stabilitas

pegawai dan mendorong mereka untuk memberikan jasanya

dalam waktu yang lama. Bila pegawai-pegawai dilatih untuk

merealisasikan potensi dirinya, maka hal itu akan memperbaiki

moral dan kerja pegawai.

Para pegawai akan berkembang lebih cepat dan lebih

baik serta bekerja lebih efisien dan efektif, bila mereka sebelum
bekerja menerima latihan dahulu di bawah pengawasan

seorang pengawas dan instruktur ahli. Pelatihan perlu

dilaksanakan secara sistematis demi memperoleh dan

mencapai hasil pekerjaan yang lebih baik.

Menurut Mangkuprawira mengemukakan tujuh tujuan

utama program pelatihan (2013:136) antara lain:

1. Memperbaiki kinerja

2. Menaikkan keterampilan pegawai

3. Menghindari keusangan manajerial

4. Memecahkan permasalahan

5. Orientasi pegawai baru

6. Persiapan promosi dan keberhasilan manajerial

7. Memperbaiki kepuasan untuk kebutuhan pengembangan

personel

8. Bila suatu badan usaha menyelenggarakan pelatihan bagi

pegawainya, maka perlu terlebih dahulu dijelaskan apa

yang menjadi sasaran dari pada pelatihan tersebut. Dalam

pelatihan tersebut ada beberapa sasaran utama yang ingin

dicapai.

Umar (2015:12) mengemukakan bahwa program

pelatihan bertujuan untuk memperbaiki penguasaan berbagai

keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja untuk kebutuhan

sekarang.

Pelatihan juga bertujuan agar peserta pelatihan cepat

berkembang, sebab sulit bagi seseorang untuk

mengembangkan diri hanya berdasarakan pengalaman tanpa

adanya suatu pendidikan khusus. Ini membuktikan bahwa


pengembangan diri akan lebih cepat melalui pelatihan.

Akhirnya, pelatihan ditujukan pula untuk menstabilkan pegawai

sehingga dapat mengurangi adanya pergantian terus-menerus

terhadap pegawai. Dengan pengembangan dan pelatihan maka

pekerjaan dapat dilakukan secara efektif dan efesien. Sebab

dengan pelatihan tersebut, diusahakan untuk dapat

memperbaiki dan mengembangkan tingkah laku, keterampilan

dan pengetahuan diri para pegawai sesuai dengan keinginan.

Mengingat pentingnya pelatihan, maka seorang manajer

harus dapat mengembangkan program pelatihan yang efektif.

Terdapat beberapa proses atau kegiatan yang harus dilakukan

dalam upaya mengembangkan program pelatihan yang efektif

ini menurut Hariandja (2013:174) yaitu:

1. Menganalisa kebutuhan pelatihan birokrasi

2. Menentukan sasaran dan materi program pelatihan

3. Menetukan metode pelatihan dan prinsip-prinsip belajar

yang digunakan

4. Mengevaluasi program pelatihan.

Dari uraian tersebut di atas mencerminkan manfaatnya

sangat penting dari pelaksanaan pelatihan dalam upaya

menaikkan produktivitas kayrawan yang sekaligus akan

berpengaruh terhadap produktivitas pegawai.

Dengan pelaksanaan pelatihan terdapat manfaat lain bagi

entitas usaha dalam menyelenggarakan aktivitasnya yaitu agar

lebih menjamin tersedianya tenaga-tenaga terampil dalam

entitas usaha, sehingga kesalahan-kesalahan dapat dihindari


serta mendorong pegawai untuk memberikan potensi yang

dimilikinya untuk waktu yang lama.

c. Pentingnya Pelatihan Sebagai Upaya Pengembangan

Sumber Daya Manusia

Pelatihan sumber daya manusia merupakan salah satu

topik yang sangat penting dalam rangka manajemen sumber

daya manusia. Pelatihan adalah salah satu aspek penting

dalam usaha menaikkan keunggulan bersaing birokrasi entitas

usaha. Adanya perubahan-perubahan lingkungan bisnis,

lingkungan kerja, menghendaki entitas usaha harus

menyelenggarakan pelatihan sumber daya manusianya secara

proaktif, demi mencapai produktivitas kerja yang lebih baik.

Melalui pelatihan, pegawai dapat terbantu mengerjakan

dan menyelesaikan pekerjaan yang ada, dapat menaikkan

keseluruhan karier pegawai dan dapat membantu

mengembangkan tanggungjawabnya pada saat ini maupun di

masa mendatang. Sehingga ada beberapa alasan mengapa

pelatihan harus dilakukan atau menjadi bagian yang sangat

penting dari kegiatan manajemen sumber daya manusia.

Menurut Mangkunegara (2013:55) mengemukakan

alasan dilaksanakannya pelatihan pegawai adalah:

1. Adanya pegawai baru: pegawai-pegawai baru sangat

memerlukan pelaihan orientasi. Mereka perlu tujuan,

aturan-aturan, dan pedoman kerja yang ada pada birokrasi

entitas usaha. Disamping itu, mereka perlu memahami

kewajiban, hak dan tugasnya sesuai dengan pekerjaannya.


2. Adanya penemuan-penemuan baru: Dengan kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi modern, banyak

ditemukan peralatan-peralatan baru yang lebih canggih

daripada peralatan kantor yang digunakan sebelumnya.

Maka itu para pegawai perlu mendapatkan pelatihan agar

dapat menggunakannya dengan sebaik-baiknya.

Selanjutnya alasan mengapa pelatihan harus dilakukan

dalam kegiatan manajemen sumber daya manusia yang

dilakukan Hariandja (2013:169) adalah:

1. Pegawai yang baru direkrut sering kali belum memahami

secara benar bagaimana menyelenggarakan pekerjaan.

2. Perubahan-perubahan dalam lingkungan kerja dan tenaga

kerja. Perubahan-perubahan di sini meliputi perubahan

dalam teknologi proses seperti munculnya teknologi baru

atau munculnya metode kerja baru. Perubahan dalam

tenaga kerja semakin beragamnya tenaga kerja yang

memiliki latar belakang keahlian, nilai, dan sikap yang

berbeda memerlukan pelatihan untuk menyamakan sikap

dan perilaku mereka terhadap pekerjaan.

3. Menaikkan daya saing entitas usaha dan memperbaiki

produktivitas sebagaimana dipahami pada saat ini, daya

saing entitas usaha tidak bisa lagi hanya mengandalkan

aset berupa modal yang dimiliki sebab modal bukan lagi

kekuatan daya saing yang langgeng, sumber daya manusia

merupakan elemen yang paling penting untuk menaikkan

daya saing sebab sumber daya manusia merupakan aspek

penentu utama daya saing yang langgeng.


4. Menyesuaikan dengan peraturan-peraturan yang ada,

misalnya standar pelaksanaan pekerjaan yang dikeluarkan

oleh asosiasi industri dan pemerintah untuk menjamin

kualitas produksi atau keselamatan dan kesehatan kerja.

d. Komponen Pelatihan

Untuk menyempurnakan hasil akhir suatu pelatihan,

haruslah diingat bahwa proses selama pelatihan itu

berlangsung harus jelas di mata para peserta pelatihan.

Maksudnya disini adalah job specification yang selanjutnya

akan diemban harus dijelaskan terlebih dahulu kepada pekerja.

Jadi para peserta pelatihan akan bersungguh-sungguh selama

mengikuti program pelatihan.

Hal ini dirangkum seperti yang dikatakan Mangkunegara

(2013 : 51) yakni segala bentuk pelatihan yang dibuat oleh

entitas usaha memiliki komponen-komponen sebagai berikut :

1. Tujuan dan sasaran pelatihan harus jelas dan dapat diukur.

Pelatihan merupakan cara yang digunakan oleh setiap

entitas usaha dalam mengembangkan skill and knowledge

bagi para pegawainya. Hal ini dilakukan entitas usaha agar

para pegawai dapat saling bahu-membahu dalam

mencapai tujuan entitas usaha. Sehingga pelatihan yang

entitas usaha wajibkan kepada para pekerjanya akan

efisien. Mengingat biaya yang juga tidak sedikit, maka

pelatihan tersebut juga harus diukur, kemana arah

pelatihan ini akan di bawa? Siapa saja yang wajib

mengikutinya? Dan apa tujuan akhir penelitian ini?


2. Para pelatih (trainers) harus ahlinya yang berkualifikasi

memadai. Keprofesionalan pelatih/pengajar merupakan

keharusan. Hal ini dikarenakan pekerja adalah alat entitas

usaha yang membutuhkan ketrampilan. Bagaimana

mungkin pekerja yang diberikan pelatihan mendapatkan

wawasan yang lebih, kalau pelatih/pengajarnya tidak

qualified?

3. Materi pelatihan harus diseusaikan dengan tujuan yang

hendak dicapai. Setiap pelatihan yang dilaksanakan

memiliki beragam materi yang tersaji sesuai dengan

kebutuhan. Model pelatihan yang diprioritaskan oleh entitas

usaha bagi pekerjanya, harus disesuaikan dengan tujuan

akhir dari pelatihan tersebut. Sehingga pelatihan yang

dilaksanakan akan efisien dan efektif.

4. Metode pelatihan harus sesuai dengan kemampuan

pekerja yang menjadi peserta.. Setiap pekerja memiliki

kekuatan dan kelemahan, hal ini adalah manusiawi

mengingat manusia tidak ada yang sempurna. Sehingga

entitas usaha harus pintar menyeleksi dan memonitor

mengenai metode-metode apa yang sesuai dengan tingkat

kemampuan pekerja, entitas usaha harus bisa melihat hal-

hal apa saja yang dibutuhkan pekerja agar dapat

menaikkan skill and knowledge mereka. Karena tingkatan

usia para pekerja yang menjadi peserta pelatihan pasti

berbeda. Dan hal ini adalah salah satu faktor bagaimana

mereka menangkap materi yang diberikan kepada mereka.


5. Peserta pelatihan harus memenuhi persyaratan yang

ditentukan. Ini adalah hal yang cukup penting, namun

sering diabaikan oleh tim yang mengadakan pelatihan.

Fenomena yang terjadi adalah pekerja yang tidak

berkompeten dalam materi yang disajikan, namun karena

kekurangan peserta pelatihan atau karena terlambatnya

informasi mengenai pelatihan yang akan dilangsungkan,

maka persyaratan bagi peserta pun terabaikan. Padahal

jika persyaratan dijalankan sesuai dengan yang berlaku,

maka peserta pelatihan akan mendapatkan banyak

keuntungan setelah mengikuti pelatihan. Sementara itu,

jika persyaratan bagi peserta diabaikan maka pelatihan

yang mereka ikuti tidak akan membuahkan hasil yang

maksimal. Hal ini tentu saja akan berakibat bagi kemajuan

entitas usaha.

e. Prinsip Pelatihan

Pada prinsipnya setiap kemampuan sumber daya mausia

berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor, misalnya

latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan,

pengalaman kerja, minat serta bakat, dan lain-lain. Oleh karena

itu, untuk memberi keseragaman kepada setiap pekerja, maka

ketika suatu entitas usaha menyelenggarakan suatu pelatihan,

haruslah merencanakan prinsip-prinsip seperti apa yang akan

dijalankan dan disesuaikan dengan kemampuan para pekerja

yang akan mengikuti pelatihan tersebut.

Selanjutnya Mangkunegara (2013 : 51), bahwa prinsip-

prinsip pelatihan adalah sebagai berikut :


1. Materi yang diberikan secara sistematis dan berdasarkan

tahapan-tahapan.

2. Tahapan-tahapan tesebut harus disesuaikan dengan tujuan

yang hendak dicapai.

3. Pelatih / pengajar / pemateri harus mampu

meprofesionalitas dan menyebarkan respon yang

berhubungan dengan serangkaian materi pelajaran.

4. Adanya penguat (reinforcement) guna membangkitkan

respon yang positif dari peserta.

5. Menggunakan konsep pembentukan (shaping) perilaku.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, dapat dikatakan

bahwa dalam pengadaaan pelatihan ada lima hal yang harus

dipegang teguh selama proses pelatihan itu berlangsung.

Tujuan yang hendak dicapai harus melalui tahapan-tahapan

yang berkesinambungan. Tahapan perencanaan sebelum

program pelatihan berjalan meliputi pengidentifikasian

kebutuhan program pelatihan, kemudian menetapkan tujuan

dan sasaran pelatihan, menetapkan kriteria keberhasilan

dengan alat ukurnya, selanjutnya menentukan metode

pelatihan seperti apa yang akan dijalankan, kemudian

mengimplementasikan segala perencanaan tersebut, dan

terakhir mengadakan evaluasi.

Disamping itu, harus didukung adanya profesionalitas dan

reinforcement. Maksudnya disini adalah sebagai dorongan agar

para pekerja yang mengikuti pelatihan lebih cepat menguasai

materi yang diberikan selama pelatihan. Prinsip-prinsip

pelatihan pada akhirnya memiliki tujuan agar dapat membentuk


perilaku, sikap, dan pengetahuan pekerja agar pelatihan yang

telah dijalankan dapat berguna bagi entitas usaha dan

bermanfaat bagi dirinya sendiri sebagai bekal di kemudian hari.

f. Indikator Pelatihan

Penelitian ini mengadopsi pada teori Mangkunegara

(2019), bahwa indikator pelatihan yakni:

1. Materi. Pelatihan sumber daya manusia merupakan materi

atau kurikulum yang sesuai dengan tujuan pelatihan sumber

daya manusia yang hendak dicapai oleh organisasi dan

meteri pelatihan pun harus update agar si peserta dapat

memahami masalah yang terjadi pada kondisi sekarang

2. Metode. Metode pelatihan akan lebih menjamin

berlangsungnya kegiatan pelatihan sumber daya manusia

yang efektif apabila sesuai dengan jenis materi dan

komponen peserta pelatihan

3. Tujuan. Pelatihan merupakan tujuan yang ditentukan,

khususnya terkait dengan penyusunan rencana aksi dan

penetapan sasaran, serta hasil yang diharapkan dari

pelatihan yang akan diselenggarakan, selain itu tujuan

pelatihan pula harus disosialisasikan sebelumnya pada para

peserta agar peserta dapat memahami pelatihan tersebut.

g. Metode Pelatihan

Setiap entitas usaha yang menjalankan pelatihan,

membutuhkan metode yang tepat agar isi pelatihan tersebut

dapat dengan mudah diresap oleh para pegawai yang menjadi

peserta pelatihan.
1. Metode pekerjaan (on the job training). Hampir 90 persen

dari pengetahuan pekerjaan diperoleh melalui metode ini.

Prosedur metode ini informal, observasi sederhana,

mudah, dan praktis. Pegawai mempelajari pekerjaannya

dengan mengamati pekerja lain yang sedang bekerja, dan

kemudian mengobservasi perilakunya. Aspek-aspek lain

dari on the job training adalah lebih formal dalam format.

Pegawai yang sudah lama bekerja di suatu entitas usaha

atau atasan memberikan pekerjaan kepada pekerja baru,

kemudian atasan membantu atau membimbing pekerja

tersebut. Misalnya, magang. Magang adalah salah satu

cara pelatihan yang paling efektif dan berguna, mengingat

pegawai dapat bersentuhan langsung dengan masalah-

masalah dan kegiatan yang ada.

2. Metode balai (vestibule). Metode ini adalah suatu ruangan

terpisah yang digunakan untuk tempat pelatihan bagi

pegawai baru, yang akan menduduki suatu pekerjaan.

Metode ini sangan cocok untuk banyak peserta (pegawai

baru) yang dilatih dengan jenis pekerjaan yang sama dan

dalam waktu yang sama. Pelaksanaan metode ini biasanya

dilakukan dalam beberapa hari sampai beberapa bulan

dengan pengawasan instruktur. Misalnya, metode kuliah.

Kuliah merupakan suatu caramah yang disampaikan

secara lisan untuk tujuan-tujuan pendidikan.

Keuntungannya adalah dapat digunakan untuk kelompok

besar sehingga dapat disajikan secara bersama dan relatif

singkat. Kelemahannya adalah peserta lebih bersikap pasif,


komunikasi satu arah, sehingga tidak terjadi umpan balik

dari peserta.

3. Metode demonstrasi dan contoh. Suatu demonstrasi

menjelaskan dan merencanakan bagaimana suatu

pekerjaan atau bagaimana sesuatu itu dikerjakan. Metode

ini melibatkan pemeragaan contoh-contoh. Misalnya,

metode studi kasus. Studi kasus adalah uraian tertulis atau

lisan tentang masalah yang ada. Peserta diminta untuk

mengidentifikasi masalah dan merekomendasikan

pemecahannya. Metode ini membutuhkan analisis dan

kemampuan dalam memecahkan masalah.

4. Metode apprenticeship merupakan suatu cara dalam

mengembangkan keterampilan. Metode ini memberikan

pekerja bekerja, tetapi sambil belajar. Metode ini mirip

dengan metode on the job training. Misalnya, metode

konferensi. Konferensi menekankan adanya diskusi

kelompok kecil, materi pelajaran yang terbirokrasi dan

melibatkan peserta aktif. Pada metode konferensi, belajar

didasarkan melalui partisipasi lisan dan interaksi antar

peserta. Peserta dianjurkan memberikan gagasan-gagasan

untuk didiskusikan.

5. Metode simulasi yakni suatu metode yang membuat suatu

situasi atau peristiwa menciptakan bentuk realitas atau

imitasi dari realitas. Simulasi ini merupakan pelengkap

sebagai teknik duplikat yang mendekati kondisi nyata pada

pekerjaan. Misalnya, metode bermain peran. Disini jelas

terlihat suatu bentuk perilaku yang diharapkan. Peranan


peserta disini adalah menjelaskan situasi dan masing-

masing peran mereka yang harus diperankan dalam

pemecahan suatu masalah. Dapat dikatakan ini merupakan

latihan dalam menghadapi suatu masalah. Sehingga

ketrampilan para peserta dapat dipraktekan saat metode ini

berlangsung. Dan pengembangannya akan mudah

dilakukan saat benar-benar dalam kondisi memecahkan

suatu masalah.

6. Metode ruang kelas. Metode ini dipakai untuk menambah

pengetahuan para pekerja. Metode ini lebih mudah

dipelajari dalam ruangan, karena yang dibahas biasanya

mengenai konsep-konsep, sikap, teori-teori dan

kemampuan memecahkan masalah harus dipelajari.

Misalnya, metode bimbingan berencana. Terdiri dari

serangkaian langkah yang berfungsi sebagai pedoman

dalam menyelenggarakan suatu pekerjaan.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, dapat dikatakan

bahwa dalam isi pelatihan ada lima hal yang harus dipegang

teguh selama proses pelatihan itu berlangsung. Tujuan yang

hendak dicapai harus melalui tahapan-tahapan yang

berkesinambungan. Tahapan perencanaan sebelum isi

pelatihan berjalan meliputi pengidentifikasian kebutuhan isi

pelatihan, kemudian menetapkan tujuan dan sasaran pelatihan,

menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya,

selanjutnya menentukan metode pelatihan seperti apa yang

akan dijalankan, kemudian mengimplementasikan segala

perencanaan tersebut, dan terakhir mengadakan evaluasi.


Disamping itu, harus didukung adanya profesionalitas dan

reinforcement. Maksudnya disini adalah sebagai dorongan agar

para pegawai yang mengikuti pelatihan lebih cepat menguasai

materi yang diberikan selama pelatihan. Isi pelatihan pada

akhirnya memiliki tujuan agar dapat membentuk perilaku, sikap,

dan pengetahuan pegawai agar pelatihan yang telah dijalankan

dapat berguna bagi entitas usaha dan bermanfaat bagi dirinya

sendiri sebagai bekal di kemudian hari. Selain itu, hal lainnya

yang harus diingat adalah banyaknya isi pelatihan itu sendiri

serta lamanya waktu penyampaian dalam setiap materi yang

diberikan. Dari prinsip-prinsip pelatihan tersebut diatas, dapat

dikatakan bahwa isi pelatihan harus dijalankan berdasarkan

prinsip-prinsip tersebut. Hal ini dimaksudkan agar isi pelatihan

tidak menyimpang dari tujuan awal pelatihan tersebut dibuat.

2.1.3 Kejelasan karir

1. Definisi Kejelasan karir

Menurut Rivai (2016:96) bahwa kejelasan karir

merupakan tindakan seseorang pegawai untuk mencapai

rencana karirnya secara gamblang dan jelas. Tindakan ini

biasanya disponsori oleh departemen sumber daya manusia,

manajer atau pihak lain yang berwenang dalam satu birokrasi.

Dengan demikian pengembangan dapat diartikan sebagai

sekumpulan tujuan-tujuan pribadi dan gerakan strategis yang

mengarah pada pencapaian prestasi yang tinggi dan kemajuan

pribadi sepanjang jalur karir. Tujuan kejelasan karir secara umum


adalah membantu pegawai mengikuti jalur karir yang melibatkan

proses belajar secara terus menerus.

Menurut Rivai (2016:97) konsep dasar perencanaan karir

yaitu:

a. Karir merupakan seluruh posisi kerja yang dijabat selama

siklus kehidupan pekerjaan seseorang

b. Jenjang karir yang merupakan model posisi pekerjaan

berurutan yang membentuk karir seseorang

c. Tujuan karir merupakan posisi mendatang yang diupayakan

pencapaiannya oleh seseorang sebagai tujuan karirnya.

Tujuan ini berperan sebagai benchmark sepanjang karir

seseorang.

d. Perencanaan karir merupakan proses menyeleksi tujuan karir

dan jenjang karir menuju tujuan tersebut

Pengembangan karir terdiri dari peningkatan pribadi yang

dilakukan oleh seseorang dalam mencapai rencana karir

pribadinya

Kejelasan karir adalah analisa kedudukan yang

merupakan suatu kegiatan dalam memutuskan apa pekerjaan

yang harus dilakukan dan siapa yang harus menyelenggarakan

pekerjaan tersebut. Kegiatan ini merupakan sebuah upaya untuk

menciptakan kualitas dari pekerjaan dan kualitas dari kinerja total

sebuah instansi. Instansi akan baik jika sumber daya manusia

didalamnya telah mampu menyelenggarakan kegiatan masing-

masing dengan jelas, spesifik, dan tidak memiliki peran ganda

yang bisa memperlambat proses pencapaian kinerja.


Pekerjaan atau tugas yang dilakukan maka sebelumnya,

terlebih dahulu harus dikakukan suatu Job Analysis (analisis

pekerjaan) perlu diingat bahwa analisis pekerjaan berbeda

dengan Kejelasan karir tetapi pada akhirnya analisis pekerjaan

akan berakhir pada suatu bentuk uraian tugas. Analisis

pekerjaan merupakan kegiatan atau proses menghimpun dan

menyusun berbagai informasi yang berkenan dengan setiap

pekerjaan, tugas-tugas, jenis pekerjaan, dan tanggung jawabnya

secara operasional untuk menyelenggarakan tujuan instansi atau

bisnis sebuah instansi.

Menurut Tim Penulis TSM (2015:14) menyatakan: “Task

clarity is a systematic summaries of information gaind from notes

taken and record in the job analysis process” (pembagian tugas

merupakan uraian tentang semua yang dikerjakan oleh pemilik

jabatan dalam menyelenggarakan tugas-tugas jabatan).

Deskripsi pekerjaan mendefinisikan apa yang harus

diperlukan pimpinan untuk menyelenggarakan kegiatan, tugas,

atau pekerjaannya (Doni Juni Priansa 2014:80) serta Gary

Desler (2015:82) mengemukakan: “Deskripsi pekerjaan adalah

daftar jabatan, tanggung jawab, hubungan pelaporan, kondisi

jabatan dan tanggung jawab“.

Menurut pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan

bahwa deskripsi pekerjaan adalah keterangan singkat perihal

tugas dan tanggung jawab dari suatu jabatan. Deskripsi

pekerjaan adalah pedoman, petunjuk dan arah tindakan bagi


tenaga kerja untuk menyelenggarakan pekerjaan sesuai dengan

tugas dan tanggung jawabnya. Maka dari itu, dengan adanya

deskripsi pekerjaan diharapkan pegawai dapat menjalankan

tugas dengan baik guna menciptakan hasil kerja yang

diharapkan. Dengan demikian Kejelasan karir ini penting

diperlukan karena tanpa adanya kejelasan karir, pegawai akan

bekerja sesuai keinginan sendiri-sendiri tanpa memperdulikan

tujuan instansi ataupun instansi secara menyeluruh yang

mengakibatkan pencapaian tujuan instansi akan terhambat.

Menurut Rivai (2014:37) “Jika suatu instansi mempunyai

tujuan yang luas, maka jumlah kerjanya pun akan menjadi lebih

banyak dan bermacam-macam, dengan demikian kejelasan karir

penting agar masing-masing pegawai memperoleh tugas sendiri-

sendiri untuk dipertanggung jawabkan”. Dengan adanya

Kejelasan karir yang diemban oleh para pegawai akan menjadi

lebih mudah dan memberikan kejelasan didalam

pelaksanaannya sehingga pekerjaan lebih mudah dan lancar.

Penempatan pegawai berarti mengalokasikan para pegawai

pada posisi kerja tertentu, Rivai dan sagala (2010:198).

Penempatan pegawai merupakan pencocokan kualifikasi

yang dimiliki dengan persyaratan pekerjaan, dan sekaligus

memberikan tugas, pekerjaan kepada calon pegawai tertentu

harus memiliki dukungan organisasional yang diperlukan untuk

menyelenggarakan pekerjaan untuk dikerjakan, Ardana

(2019:18). Pegawai yang akan ditempatkan pada posisi secara


efektif dan efesien. Proses penempatan pegawai yang tidak tepat

akan mengakibatkan kinerja yang kurang memadai.

2. Manfaat Kejelasan karir

Kejelasan karir merupakan kumpulan informasi tertulis

tentang suatu jabatan, tanggung jawab dan kedudukan. maka

menurut Ardana, Mujiati dan Utama (2019:39), deskripsi

pekerjaan tersebut dapat memberikan manfaat dibawah ini :

a. Dapat menghindari tumpang tindih tanggung jawab dalam

menyelenggarakan tugas.

b. Memudahkan prosedur rekrutmen, seleksi, pelatihan dan

berbagai aktivitas SDM.

c. Membantu pegawai dalam merencanakan karir, mengurangi

praktek deskriminasi dalam promosi dan pemindahan serta

memudahkan evaluasi dalam pekerjaan untuk memastikan

adanya keadilan dalam pemberian kompensasi.

d. Bermanfaat dalam program keselamatan kerja dapat

menunjang tindakan yang berbahaya dan mengadakan

perubahan kerja dalam pelaksanaan.

e. Memberi arahan tentang pengalaman yang diperlukan untuk

menyelenggarakan pekerjaan.

f. Deskripsi pekerjaan penting dalam perencanaan perubahan

instansi dan reinstansi sesuai perkembangan keadaan.


3. Indikator Kejelasan karir

Menurut Ardana, Mujiati dan Utama (2019:37), terdapat enam

kualifikasi yang harus diperhatikan dalam pembuatan uraian

jabatan, antara lain:

a. Jelas, artinya deskripsi karir atas potensi pegawai dapat

memberikan gambaran kepada pembaca isi dan maksud

yang jelas, terang, gemilang, dan tidak meragukan.

Sehingga mudah dipahami dan diterapkan oleh setiap

pemangku jabatan didalam instansi.

b. Ringkas, artinya deskripsi pekerjaan perlu menggunakan

kata dan kalimat yang singkat, pendek sehingga mudah

dipahami dan tidak memerlukan waktu lama untuk

membacanya.

c. Sistematis, artinya deskripsi pekerjaan terdiri dari komponen

yang mempunyai fungsi dan tersusun dalam tata hubungan

yang membentuk suatu sistem sehingga mudah dimengerti.

d. Tepat, artinya deskripsi pekerjaan dapat menyajikan uraian

yang cocok, tepat dan sesuai seperti apa yang dimaksud

oleh isi pekerjaan sehingga pembaca mendapat gambaran

yang sama dengan isi yang sebenarnya.

e. Taat azaz, artinya deskripsi pekerjaan berisi kata dan

kalimat yang isinya menjelaskan arah dan maksud yang

sama atau selaras serta tidak bertentangan satu sama lain.


f. Akurat, artinya deskripsi pekerjaan disusun secara akurat,

dengan memperlihatkan keadaan yang lengkap, serta tidak

luring dan tidak lebih.

2.1.4 Dukungan Organisasional

1. Pengertian Dukungan Organisasional

Menurut Robbins (2018:99), dukungan organisasional

terhadap instansi adalah sejauh mana seorang pegawai

menghargai suatu instansi tertentu dan tujuannya, serta

berkeinginan untuk tetap menjadi anggota instansi tersebut dan

instansi setia mendukungnya.

Dukungan organisasional menurut Luthans (2016: 249),

didefinisikan sebagai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi

anggota instansi tertentu, keinginan untuk berusaha keras agar

sesuai dengan keinginan entitas usaha, dan sikap yang

menjelaskan dedikasi pegawai terhadap bisnis.

Menurut Alwi (2001:49), dukungan organisasional

didefinisikan sebagai kesediaan pegawai untuk tetap tinggal di

entitas usaha dan terlibat dalam upaya mencapai misi, nilai, dan

tujuan instansi. Sunarto (2015:25) mendefinisikan dukungan

organisasional sebagai “cinta dan kesetiaan terhadap tujuan dan

nilai-nilai entitas usaha, mau bertahan dalam instansi, dan

kesediaan untuk bekerja keras atas nama instansi”.

Keberpihakan ini berasal dari tingginya tingkat keterlibatan

kerja, yang mengharuskan memilih pihak dengan entitas usaha


yang mempekerjakannya. Dukungan organisasional terhadap

instansi adalah keadaan psikologis yang ditandai dengan

keyakinan dan penerimaan pegawai terhadap tujuan dan nilai-

nilai instansi, serta keinginan mereka untuk tinggal di instansi

dan kesediaan mereka untuk bekerja keras dan mencari nafkah

untuk mencapai tujuan instansi.

Pegawai yang sangat berkomitmen untuk mencari nafkah

(turnover), menurut Dessler (2016: 58), bertahan lebih lama,

bekerja lebih banyak, dan berkinerja lebih baik. Dukungan

organisasional tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan mereka

terhadap manajemen yang unggul, terutama sikap manajemen

terhadap sumber daya manusia sebagai aset yang berharga

daripada komoditas yang dapat dieksploitasi sesuka hati.

Berhasil atau tidaknya tujuan suatu instansi atau entitas

usaha ditentukan oleh dedikasi kerja pegawai. Hal ini

menjelaskan bahwa jika setiap anggota instansi berkomitmen

penuh, keberhasilan atau kesuksesan sangat mungkin terjadi.

Keberhasilan suatu instansi ditentukan oleh faktor-faktor berikut.

2. Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan organisasional

Keterlibatan pegawai dalam instansi adalah proses yang

membutuhkan waktu dan komitmen. Dukungan organisasional

terhadap instansi dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Dukungan organisasional dipengaruhi oleh tiga faktor,

menurut Steers dalam Sunarto (2015:20).


a. Ciri-ciri pribadi pekerja, termasuk juga masa jabatannya

dalam instansi dan keinginan yang beragam dari tiap

pegawai.

b. Ciri Pekerjaan, seperti Identitas tugas dan kesempatan untuk

berkomunikasi dengan rekan kerja adalah contoh kualitas

pekerjaan.

c. Pengalaman kerja, seperti keteladanan instansinya dimasa

lampau dan bagaimana pegawai lain membicarakan dan

mengungkapkan pemikiran mereka tentang entitas usaha.

Loyalitas pegawai terhadap entitas usaha dipengaruhi oleh

empat faktor, menurut Minner dalam Sopiah (2018: 165).

a. Faktor Personal meliputi usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, pengalaman kerja, dan kepribadian.

b. Karakteristik pekerjaan meliputi lingkup pekerjaan, masalah

pekerjaan, konflik peran, dan kesulitan kerja.

c. Ukuran, bentuk, dan bentuk instansi, serta keberadaan

serikat pekerja dan tingkat kendali instansi terhadap

personelnya, semuanya merupakan karakteristik struktural.

d. Pengalaman kerja itu penting. Tingkat dukungan

organisasional terhadap bisnis sangat dipengaruhi oleh

pengalaman kerja orang tersebut. Individu yang telah

bekerja untuk entitas usaha selama beberapa tahun dan

pegawai yang telah bekerja untuk entitas usaha selama

beberapa dekade memiliki tingkat dedikasi yang berbeda-

beda.
3. Dimensi Dukungan organisasional Pada Instansi

Dukungan organisasional digambarkan oleh Robbins

(2018:101) memiliki tiga dimensi:

a. Komitmen afektif (Affective Commitment)

Sejauh mana seorang pegawai secara emosional terkait,

mengetahui, dan terlibat dalam instansi disebut sebagai

Komitmen Afektif. Pegawai dengan kecerdasan afektif yang

tinggi tinggal dengan entitas usaha karena mereka ingin

terikat untuk tinggal dengan entitas usaha dan membantu

mencapai tujuannya.

b. Komitmen berkelanjutan (Continuance Commitment)

Komitmen Berkelanjutan adalah perhitungan biaya keluar

dari entitas usaha. Mereka yang memiliki tingkat

Continuance Commitment yang tinggi tetap tinggal dalam

instansi karena mereka butuh instansi tersebut.

c. Komitmen Normatif (Normative Commitment)

Komitmen Berkelanjutan adalah merujuk kepada tingkat

seberapa jauh seseorang secara fsycological terikat untuk

menjadi pegawai dari sebuah instansi yang didasarkan pada

perasaan sperti kiesetiaan, afeksi, kehangatan, kepemilikan,

kebanggaan, kesenangan, kebahagiaan dan lain-lain.

4. Manfaat Penggunaan Dukungan organisasional Pegawai

Sutrisno (2019:227) menyatakan bahwa saat ini konsep dukungan

organisasional sudah mulai diterapkan dalam berbagai aspek dari

manajemen sumber daya manusia walaupun yang paling banyak


adalah pada bidang pelatihan dan pengembangan, rekrutmen dan

seleksi, dan sistem remunerasi, dan berikut manfaat penggunaan

dukungan organisasional yaitu:

1) Memperjelas standar kerja dan harapan yang ingin dicapai.

Dalam hal ini, model dukungan organisasional akan mampu

menjawab dua pertanyaan mendasar: keterampilan,

pengetahuan, dan karakteristik apa saja yang dibutuhkan

dalam pekerjaan, dan perilaku apa saja yang berpengaruh

langsung dengan prestasi kerja. Kedua hal tersebut akan

banyak membantu dalam mengurangi pengambilan keputusan

secara subyektif dalam bidang SDM.

2) Alat seleksi pegawai. Penggunaan dukungan organisasional

standar sebagai alat seleksi dapat membantu instansi memilih

calon pegawai yang terbaik. Dengan kejelasan terhadap

perilaku efektif yang diharapkan dari pegawai, kita dapat

mengarahkan pada sasaran yang selektif serta mengurangi

biaya rekruitmen yang tidak perlu. Caranya dengan

mengembangkan suatu perilaku yang dibutuhkan untuk setiap

fungsi jabatan serta memfokuskan wawancara seleksi pada

perilaku yang dicari.

3) Memaksimalkan produktivitas. Tuntutan untuk menjadikan

suatu instansi ramping” mengharuskan kita untuk mencari

pegawai yang dapat dikembangkan secara terarah untuk

menutupi kesenjangan dalam keterampilannya sehingga


maupun untuk dimobilisasikan secara vertikal maupun

horisontal.

4) Dasar untuk pengembangan sistem remunerasi. Model

dukungan organisasional dapat digunakan untuk

mengembangkan sistem remunerasi (imbalan) yang akan

dianggap lebih adil. Kebijakan remunerasi akan lebih terarah

dan transparan dengan mengaitkan sebanyak mungkin

keputusan dengan suatu set perilaku yang diharapkan yang

ditampilkan seorang pegawai.

5) Memudahkan adaptasi terhadap perubahan. Dalam era

perubahan yang sangat cepat, sifat dari suatu pekerjaan

sangat cepat berubah dan kebutuhan akan kemampuan baru

terus meningkat. Model dukungan organisasional memberikan

sarana untuk menetapkan keterampilan apa saja yang akan

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan yang selalu berubah

ini.

6) Menyelaraskan perilaku kerja dengan nilai-nilai instansi.

Model dukungan organisasional merupakan cara yang paling

mudah untuk mengomunikasikan nilai dan hal apa saja yang

harus menjadi fokus dalam unjuk kerja pegawai.

2.1.5 Profesionalitas

1. Pengertian Profesionalitas

Profesionalitas dapat diartikan sebagai bentuk sense of

belonging yang dimiliki pegawai terhadap tempat ia bekerja.

Adanya rasa memiliki terhadap apa yang dijalani saat ini


termasuk pada tempat kerja dapat ditunjukkan dengan

beberapa sikap seperti rasa antusias, inisiatif yang tinggi,

berusaha sungguh-sungguh, serta gigih dalam

menyelenggarakan suatu pekerjaan dimana pegawai tidak

hanya berorientasi pada gaji melainkan mereka turut untuk

membantu entitas usaha mencapai tujuan atau misi entitas

usaha (Hali, 2019).

Schaufeli dan Bakker (Cendani & Tjahjaningsih, 2016)

menggambarkan bahwa jika pegawai memiliki tingkat

profesionalitas atau keterikatan emosi yang tinggi terhadap

entitas usaha dapat membuat pegawai memiliki semangat yang

lebih tinggi dalam menyelesaikan tugasnya dan cenderung

memiliki kualitas kerja yang baik. Welbourne (Chandra, 2018)

berpendapat bahwa profesionalitas bukanlah hanya sekedar

sikap melainkan sebuah perilaku yang dapat menaikkan kinerja

pegawai.

Gallup (Trilolita, dkk., 2017) menjelaskan bahwa

profesionalitas adalah adanya keterikatan penuh antara

pegawai dengan suatu instansi baik secara kognitif maupun

secara emosi yang menunjukan adanya hubungan yang penuh

arti.

Lebih lanjut Khan (Siswono, dkk., 2016)

mengonsepsikan profesionalitas sebagai kondisi dimana

pegawai mengerahkan seluruh unsur yang ada pada dirinya

seperti secara fisik melalui energi yang dikeluarkan, kognitif


melalui kepemimpinan yang dimiliki, dan emosional melalui

perasaan-perasaan yang ditunjukkan dalam bekerja.

Berkontribusi dalam suatu pekerjaan tidak cukup hanya

melibatkan fisik dan logika saja sebab Thesiasari (2019)

menjelaskan bahwa profesionalitas merupakan unsur psikologi

dimana pegawai merasa memiliki kepentingan dalam mencapai

keberhasilan entitas usaha atau instansi melalui kinerja terbaik

yang mereka hasilkan. Sedangkan, Sandhya dan Sulphey

(2021) mengungkapkan bahwa “Profesionalitas is an

employee’s positive or negative emotional attachment to their

job, colleagues and organization that profoundly influences their

willingness to learn and perform at work”. Pendapat Sandhya

dan Sulphey tersebut menjelaskan bahwa profesionalitas

adalah keterikatan emosional positif atau negatif pegawai

terhadap pekerjaan, kolega, dan instansi mereka yang sangat

memengaruhi kesediaan mereka untuk mau belajar dan bekerja

di tempat kerja.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat dikatakan

bahwa profesionalitas adalah sebuah keterikatan yang dimiliki

oleh seorang pegawai dengan entitas usaha yang direfleksikan

melalui kesadaran penuh untuk mau terlibat dalam halhal yang

berkaitan dengan entitas usaha serta berusaha untuk turut

berkontribusi mencapai tujuan atau misi entitas usaha.


2. Kategori Profesionalitas

Terdapat tiga perbedaan tipe dalam kategori

profesionalitas yang menjelaskan telah sampai mana level

profesionalitas yang dimiliki seorang pegawai dengan entitas

usaha. Gallup (Tesavrita, dkk., 2019) menjelaskan tipe

kategorinya sebagai berikut:

1) Engaged

Pegawai yang telah engaged secara penuh dengan entitas

usaha akan lebih totalitas dalam bekerja. Secara natural

mereka telah mengetahui apa yang dapat dihasilkan dari

peran mereka di entitas usaha. Pada tipe ini rasa

keingintahuan terhadap entitas usaha atau tempat kerja

mereka sangatlah tinggi. Sehingga ciri-ciri yang ditunjukkan

yaitu adanya antusiasme, semangat, inisiatif, dan adanya

profesionalitas yang tinggi dalam bekerja.

2) Not engaged

Pada tipe not engaged para pegawai cenderung hanya fokus

pada menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya

dan tidak tertarik untuk terlibat lebih jauh dari aktivitas entitas

usaha. Para pegawai tidak memiliki hubungan psikologis dan

emosional yang tinggi dengan entitas usaha. Sehingga apa

yang dikerjakan hanya sebatas menggugurkan kewajiban

sebagai seorang pegawai.


3) Actively disengaged

Pada tipe ini pegawai sama sekali tidak memiliki semangat

dalam bekerja bahkan tak jarang dengan sengaja

menjelaskan ketidak bahagiannya dengan pekerjaan atau

entitas usaha. Para pegawai seperti ini secara fisik nyata

ada di tempat kerjanya namun pikiran dan hati nya seolah-

olah ingin segera keluar dari entitas usaha, hanya saja ada

hal-hal yang memaksa mereka untuk tetap bertahan.

3. Dimensi Profesionalitas

Schaufeli (Siswono, dkk., 2016) membagi profesionalitas

ke dalam tiga dimensi, yaitu:

1) Vigor

Vigor berkaitan dengan energi atau semangat dan

ketahanan mental mereka saat bekerja. Hal ini dapat

dicirikan dengan adanya kemauan untuk berusaha dengan

sungguh-sungguh dalam menyelenggarakan pekerjaan dan

kegigihan dalam menghadapi kesulitan.

2) Dedication

Dedication berkaitan dengan keterlibatan pegawai dalam

pekerjaan atau aktivitas entitas usaha lainnya. Hal ini dapat

dicirikan dengan antusiasme, merasa apa yang dikerjakan

itu penuh makna, dan merasa bangga atas apa yang telah

dikerjakan.
3) Absorption

Absorption berkaitan dengan konsentrasi dan kesungguhan

dalam bekerja. Hal ini dapat dicirikan dengan adanya rasa

jika waktu berlalu begitu cepat ketika sedang bekerja dan

merasa sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan serta

merasa bahagia jika dapat terus terlibat dalam setiap

pekerjaan.

4. Indikator Profesionalitas

Indikator profesionalitas aparatur sipil negara menurut

Tesavrita, dkk., (2019) antara lain:

a. Potensial

Tenaga kerja memiliki potensi yang dinamis untuk terus

tumbuh dan berkembang. Seperti ingatan, pemikiran,

kemauan keras, kekuatan emosional, bakat, minat, dan

motivasi.

b. Fungsional

Tenaga kerja melakukan pekerjaannya dengan tepat sesuai

dengan tugas dan fungsi dalam bidang yang sesuai.

c. Operasional

Tenaga kerja mampu mendayagunakan kemampuan dan

keterampilannya dalam proses dan prosedur pelaksanaan

kegiatan yang sedang ditekuninya.

d. Personal

Setiap tenaga kerja harus memiliki sifat kepribadian yang

menunjang pekerjaannya.
e. Produktivitas

Tenaga kerja harus memiliki semangat berprestasi,

mempunyai upaya untuk berhasil dan memberikan hasil dari

pekerjaannya, dari segi kuantitas dan kualitas.

2.1.6 Kinerja Pegawai

1. Pengertian Kinerja Pegawai

Salah satu tolak ukur nilai suatu instansi berhasil dalam

hal menjalankan aktivitasnya dapat diukur melalui aspek kinerja

para pegawainya. Kinerja berasal dari pengertiaan

performance. Ada pula yang memberikan pengertian

performance sebagai hasil kerja atau prestasi. Menurut Rivai

(dalam Sinambela) kinerja adalah hasil atau tingkat

keberhasilan seseorang atau keseluruhan selama periode

tertentu di dalam menyelenggarakan tugas dibandingkan

dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja,

target ata sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih

dahulu dan telah disepakati bersama. Kinerja merupakan

tanggung jawab setiap individu terhadap pekerjaan, membantu

mendefinisikan harapan kinerja, mengusahakan kerangka kerja

supervisor dan pekerja saling berkomunikasi. (Sinambel (2017).

Tujuan kinerja adalah menyesuaikan harapan kinerja

individual dengan tujuan instansi. Kesesuaian antara upaya

pencapaian tujuan individu dengan tujuan instansi akan mampu

mewujudkan kinerja baik. (Sutrisno, 2019). Kinerja merupakan

perwujudan kerja yang dilakukan oleh pegawai yang biasanya


dipakai sebagai dasar penilaian terhadap pegawai atau

instansi. Kinerja yang baik merupakan langkah guna

tercapainya tujuan instansi. Sehingga perlu diupayakan usaha

guna memaksimalkan kinerja. Tetapi hal ini tidak mudah sebab

banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja

seseorang pegawai dalam menyelenggarakan tugasnya sesuai

dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja

yang baik merupakan langkah guna tercapainya tujuan instansi.

Sehingga perlu diupayakan usaha guna memaksimalkan

kinerja. Tetapi hal ini tidak mudah sebab banyak faktor yang

mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja seseorang.

(Mangkunegara, 2018).

Dari pendapat-pendapat diatas maka dapat disimpulkan

bahwa kinerja adalah sebagai dasar penilaian hasil kerja atau

prestasi yang dicapai oleh pegawai menurut ukuran yang

berlaku sesuai dengan perannya di dalam instansi.

Peningkatan kinerja perorangan mendorong kinerja SDM

secara keseluruhan, yang direfeleksikan dalam kenaikan

produktivitas.

2. Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja (performance appraisal) pada dasarnya

merupakan salah satu faktor kunci guna mengembangkan

suatu organisai secara efektif dan efisien, karena adanya

kebijakan atau program penilaian prestasi kerja, berarti instansi

telah memanfaatkan secara baik atas SDM yang ada dalam

instansi. Guna keperluan penilaian kinerja pegawai publik,


diperlukan adanya informasi yang relevan dan realibel tentang

prestasi kerja masing-masing individu. Disamping informasi

yang lengkap, informasi juga diharapkan berkualitas dan valid,

artinya mampu menggambarkan kinerja pegawai secara baik,

guna guna perencanaan karir bagi mereka masing-masing.

Penilaian kinerja individual sangat bermanfaat bagi

dinamika pertumbuhan instansi secara keseluruhan. Dari hasil

penilaian kinerja diperoleh informasi tentang kondisi SDM yang

dimiliki instansi. Pengertian penilaian kinerja atau performance

appraisal adalah proses dengan mana kinerja individual diukur

dan dievaluasi. Penilaian kinerja manjawab pertanyaan,

seberapa baik pekerja berkinerja selama periode waktu

tertentu.

Penilaian kinerja adalah suatu metode formal guna

mengukur seberapa baik pekerja individual menyelenggarakan

pekerjaan dalam hubungan dengan tujuan yang diberikan.

Maksud utama penilaian kinerja adalah mengkomunikasikan

tujuan personal, meprofesionalitas kinerja baik, memberikan

umpan balik konstruktif, dan menetapkan tahapan guna

rencana pengembangan yang efektif (Dharma dan Irawan,

2017)

Bagi pihak manajemen instansi adabanyak manfaat

dengan dilakukannya penilaian kinerja. Menurut Fahmi

penilaian kinerja dimanfaatkan oleh pihak manajemen guna:

a. Mengelola operasi instansi secara efektif dan efisien

melalui peprofesionalitasan pegawai secara maksimum.


b. Membantu pengambilan keputusan yang bersngkutan

dengan pegawai, seperti: promosi, transfer dan

pemberhentian.

c. Mengidentifikasikan kebutuhan pelatihan dan

pengembangan pegawai dan utnuk menyediakan kriteria

seleksi dan evaluasi program pelatihan.

d. Menyediakan umpan balik bagi pegawai mengenai

bagaimanan atasan mereka menilai kinerja mereka.

e. Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.

(Fahmi, 2017)

Berdasarkan pandangan tersebut bahwa performance

appraisal lebih diarahkan pada penilian individual pekerja.

Dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja adalah suatu proses

penilaian tentang seberapa baik pekerja telah

menyelenggarakan tugasnya selama periode waktu tertentu.

Dan manfaat yang diperoleh dari penilaian kinerja ini terutama

manjadi pedoman dalam menyelenggarakan tindakan evaluasi

bagi pembentukan instansi sesuai dengan pengharapan dari

berbagai pihak.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai

Menurut Zainun beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja

pegawai adalah sebagai berikut:

a. Hubungan yang harmonis antara pimpinan dan bawahan

terutama antara pimpinan kerja yang sehari-hari langsung

berhubungan dan berhadapan dengan para pegawai yang

dibawahnya.
b. Kepuasan pegawai terhadap yang disukai sepenuhnya.

c. Terdapat suatu suasana dan iklim kerja yang bersahabat

d. Rasa kemanfaatan bagi tercapainya tujuan instansi yang

merupakan tujuan bersama mereka harus diwujudkan

secara bersama-sama pula.

d. Adanya tingkat kepuasan ekonomi yang memadai sebagai

imbalan yang dirasakan adil terhadap jerih payah yang

telah diberikan kepada instansi.

e. Adanya ketenangan jiwa, jaminan kepastian serta

perlindungan terhadap segala sesuatu yang dapat

membahayakan diri pribadi dan karir dalam kepegawaian.

(Buchari, 2018)

4. Indikator Kinerja Pegawai

Bernadin dalam Anshari, dkk (2018) menyatakan ada enam

dimensi yang digunakan guna mengukur kinerja pegawai

secara individu, antara lain sebagai berikut :

a. Kualitas

Tingkat dimana hasil akivitas yang dilakukan mendekati

sempurna dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal

dari penampilan aktivitas ataupun memenuhi tujuan yang

diharapkan dari suatu aktivitas dalam instansi.

b. Kuantitas

Jumlah yang dihasilkan oleh pegawai dalam pelaksanaan

kerja dinyatakan dalam istilah sejumlah unit, jumlah siklus

aktivitas yang diselesaikan


c. Ketepatan Waktu

Tingkat suatu aktivitas diselesaikan pada waktu awal yang

diinginkan dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output

serta memaksimalkan waktu yang tesedia guna aktivitas

yang lain.

d. Efektivitas.

Tingkat pengguna sumberdaya instansi dengan maksud

menaikkan keuntungan atau mengurangi kerugian dari

setiap unit dalam pengguna sumberdaya.

e. Kemandirian.

Tingkat dimana seorang pegawai dapat menyelenggarakan

fungsi kerjanya tanpa meminta bantuan, bimbingan dari

pengawas atau meminta turut campurnya pengawas guna

menghindari hasil yang merugikan.

f. Komitmen Kerja

Tingkat dimana pegawai mempunyai komitmen kerja

dengan instansi dan tanggung jawab kerja dengan instansi.

Kinerja merupakan bentuk penampilan suatu proses kerja

dalam instansi yang meliputi perilaku para pelakunya (atasan

dan bawahan, pegawai atau pekerja), proses pekerjaan serta

hasil pekerjaan yang dicapai. Beberapa faktor yang dinilai

sebagai tingkat kinerja anggota meliputi kualitas kerja, kuantitas

kerja dan pemahaman anggota terhadap pekerjaan itu sendiri.


2.2 Penelitian Terdahulu

1. Musa Djamaluddin, 2019, Pengaruh Pelatihan, Dukungan

Organisasional dan Kejelasan Karir Terhadap Profesionalitas dan

Kinerja Pegawai Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur. Dari hasil

model penelitian ini diketahui bahwa pelatihan, dukungan

organisasional dan kejelasan karir kerja cukup efektif bila digunakan

sebagai pendorong profesionalitas dan kinerja pegawai. Dengan kata

lain, profesionalitas dan kinerja pegawai dapat ditingkatkan melalui

pelatihan, dukungan organisasional dan kejelasan karir. Di antara

pelatihan, pengembangan karir dan kejelasan karir dalam

pembentukan profesionalitas dan kinerja pegawai, kejelasan karir

memberikan kontribusi paling rendah. Hal tersebut menunjukkan

bahwa kejelasan karir merupakan faktor yang perlu mendapat

perhatian yang lebih baik guna menunjang prestasi kerja pegawai.

https://scholar.google.co.id/scholar_url?url=https://jurnal.untag-

sby.ac.id/index.php/die/article/view/42/160&hl=en&sa=X&ei=RX6GZKP

WJYWEywTGmJCYBg&scisig=AGlGAw_sA7c2LV3S_I6lPDD_qsdd&oi

=scholarr

2. Hasibuan, Siti Maisarah dan Syaiful Bahri (2018), Pengaruh

Kepemimpinan, Lingkungan Kerja dan Profesionalitas Terhadap

Kinerja. Tujuan penelitian ini adalah guna mengetahui pengaruh

kepemimpinan, lingkungan kerja dan profesionalitas terhadap kinerja.

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksploratif, dimana

variabel diukur dengan skala likert. Metode pengumpulan data

dilakukan dengan wawancara (interview), dengan daftar pertanyaan

(questionnaire) dan studi dokumentasi. Jumlah populasi sebanyak 107

orang. Guna menentukan jumlah sampel digunakan rumus Slovin.


Maka jumlah responden dalam penelitian ini 85 responden.

Pengolahan data menggunakan perangkat lunak SPSS versi 17,

dengan analisis deskriptif dan pengujian hipotesis analisis regresi

berganda. Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada pengaruh positif

dan signifikan kepemimpinan terhadap kinerja. Lingkungan Kerja

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Profesionalitas

pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Kepemimpinan,

lingkungan kerja dan profesionalitas berpengaruh positif dan signifikan

terhadap kinerja.

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/30573/18911012%

20Agus%20Manto.pdf?sequence=1

3. Ruslan (2019), Pengaruh Lingkungan Kerja, Profesionalitas dan

Kepemimpinan Terhadap Kinerja Pegawai di Kabupaten Musi

Banyuasin. Penelitian ini bertujuan guna mengetahui pengaruh

lingkungan kerja (X1), profesionalitas (X2) dan Kepemimpinan (X3)

terhadap Kinerja Pegawai Badan Keluarga Berencana dan

Pemberdayaan Perempuan Musi Banyuasin, baik secara bersama-

sama maupun parsial. Secara bersama-sama diperoleh hasil uji

Fhitung F sebesar 42,178 lebih besar dari F tabel 2,883, nilai signifikan

F 0,000 yang lebih kecil dari Profesionalitas (X2) dan Kepemimpinan

(X3) berpengaruh signifikan terhadap Kinerja (Y). Pada uji-t dengan

variabel profesionalitas (X2) diperoleh hasil thitung sebesar 1,957 yang

lebih kecil dari ttabel 2,032, nilai signifikansi 0,060 t lebih besar tidak

berpengaruh terhadap Kinerja (Y). Pada variabel Lingkungan Kerja

(X1) dan Kepemimpinan (X3) diperoleh hasil thitung yang diperoleh

sebesar 2,118 dan 4,545 lebih besar dari ttabel 2,032, nilai signifikansi

0,043 dan t 0,041 lebih kecil dari (X1) dan Kepemimpinan (X3) secara
parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja (Y ). Melalui uji

determinasi dalam penelitian ditemukan bahwa kinerja (Y) dapat

dijelaskan oleh lingkungan kerja (X1), profesionalitas (X2), dan

kepemimpinan (X3) sebesar 80,8%, sedangkan sisanya 19,2%

dijelaskan oleh faktor lain. faktor yang tidak termasuk dalam penelitian

ini.

https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/60298/1/BE

LLA%20-FEB.pdf

4. Mahajaya, Gede Restu dan Made Subudi (2016), Pengaruh

Profesionalitas, Kepemimpinan dan Lingkungan Kerja Terhadap

Kinerja Pegawai Inspektorat Kabupaten Badung. Tujuan penelitian ini

adalah guna menguji pengaruh profesionalitas, kepemimpinan dan

lingkungan kerja terhadap kinerja pegawai inspektorat. Penelitian ini

dilakukan di Inspektorat Kabupaten Badung di Pusat Pemerintahan

Kabupaten Badung Mangupraja Mandala Jalan Raya Sempidi Mengwi

Badung. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis statistik

regresi linier berganda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

disimpulkan bahwa profesionalitas, kepemimpinan dan lingkungan

kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai

inspektorat. Inspektorat Kabupaten Badung disarankan guna selalu

memberikan dorongan kepada pegawai berupa peningkatan gaji,

memberikan informasi yang lengkap tentang pelaksanaan kerja yang

benar, dan memperhatikan lingkungan kerja berupa peningkatan

kualitas lingkungan kerja, serta memaksimalkan kinerja terutama

dalam hal peningkatan keterampilan serta kemampuan guna

menyelesaikan pekerjaan kelompok maupun individu dengan baik

guna mencapai tujuan instansi. Variabel yang mempunyai pengaruh


paling dominan terhadap kinerja pegawai adalah lingkungan kerja

dengan nilai koefisien beta sebesar 0,339 atau 33,9%, diikuti oleh

variabel profesionalitas sebesar 0,287 atau 28,7% dan variabel

kepemimpinan sebesar 0,283 atau 28,3%.

https://media.neliti.com/media/publications/191017-ID-pengaruh-

pelatihan-pengembangan-kar-dan-kejelasan-kar.pdf

5. Ardiyani, Nurul Ana (2017). Analisis Pengaruh Lingkungan Kerja,

Kualitas Kepemimpinan dan Profesionalitas Terhadap Kinerja Pegawai

(Studi Pada PT. PLN Kantor Distribusi Jateng dan DIY Yogyakarta).

Penelitian ini bertujuan guna mengetahui pengaruh lingkungan kerja,

kualitas kepemimpinan dan profesionalitas terhadap kinerja pegawai

pada PT. PLN (Persero) Kantor Distribusi Jateng dan DIY. Sampel

dalam penelitian ini merupakan pegawai PT. PLN (Persero) Kantor

Distribusi Jateng dan DIY berjumlah 74 orang, dengan menggunakan

teknik pengambilan sampel probability yaitu random sampling.

Pengelolaan data dalam penelitian ini meliputi uji validitas, uji

reabilitas, uji asumsi klasik, analisis regresi linier berganda, uji T, Uji F

dan uji koefisien determinasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa

variabel lingkungan keja, kualitas kepemimpinan dan profesionalitas

memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap kinerja pegawai.

http://repository.umsu.ac.id/bitstream/123456789/5283/1/TESIS%2017

20030067.pdf

6. Maryam Dunggio Dan Saeful Basri (2019). Metode yang digunakan

penelitian ini merupakan metode kuantitatif. Berdasarkan hasil analisis

data dan pembahasan maka simpulan dalam penelitian ini adalah:

sistem kerja kontrak yang dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan

yang telah ditanda tangani bersama akan menaikkan kinerja pegawai


dengan memperhatikan dan menyelenggarakan dengan baik

perjanjian kerja, ketentuan mengenai masa kerja serta pemberian

upah pegawai sesuai dengan ketentuan.

http://repository.umsu.ac.id/bitstream/123456789/5283/1/TESIS%2019

201981187.pdf

Anda mungkin juga menyukai