Pengantar
Saudara yang terkasih, besok kita membuka tahun liturgi yang baru dengan suatu masa yang
disebut masa Adven. Adven merupakan masa liturgi yang indah dan menggugah keharuan
rasa karena berkaitan dengan masa menjelang natal. Natal yang biasanya berlangsung meriah,
penuh keagungan dan dihiasi oleh suasana maupun dekorasi yang gemerlap.
Masa adven dan lagu-lagu masa adven menyingkapkan kembali rahasia panggilan sekaligus
hakekat jati diri kita: Engkau adalah Kerinduan Abadi. Lagu-lagu masa adven dan seruan
kunci datanglah menggemakan kembali hakekat kerinduan jiwa kita, rindu akan yang abadi,
rindu akan Allah.
Adven adalah masa khusus di dalam lingkaran tahun liturgi Gereja yang diadakan sekitar
empat minggu menyongsong Hari Raya Natal pada tanggal 25 Desember. Data asli mengenai
awal mula Adven, tidak ditemukan namun sejak abad-abad pertama mulai ada kegiatan dari
umat untuk mengadakan persiapan sebelum hari Natal tiba.
Penghujung tahun juga selalu identik dengan Adven. Minggu ini Gereja kita akan
memasuki minggu Adven yang pertama. Sayang sekali, masa Adven sering kurang dihayati
ataupun diminati, sehingga sekadar datang dan kemudian berakhir tanpa disadari, karena
dikalahkan kesibukan menyambut kemeriahan natal. Lagu-lagu natal yang meriah, kue-kue
berhias yang memikat mata, pusat perbelanjaan dengan semua atributnya yang sangat
menarik, dan daftar barang untuk dibeli sebagai hadiah bagi keluarga dan kerabat bahkan
sudah bisa kita saksikan sendiri.
Yohanes Pembaptis tampil sebagai orang yang diutus Allah, datang untuk memberi
kesaksian tentang terang Kristus supaya semua orang percaya. “Bertobatlah” dalam arti
ubahlah caramu berpikir, mantapkan cita-cita, berilah arah baru pada hidupmu. Bertobat
menuntut perubahan moral dan mental yang total secara menyeluruh. Ini permulaan kerajaan
surga: kekuatan baru sebagai kekuatan hidup baru pada biji sawi yang mulai bertumbuh,
menembus bumi. Seruan tobat diteruskan dengan ungkapan “Persiapkan jalan untuk
Tuhan....” Hidup di padang gurun seperti pada zaman pengungsian seluruhnya dibawah
naungan Allah: makan manna, minum dari batu karang, siang dilindungi oleh mega, malam
disinari oleh tugu cahaya, dijauhkan dari musuh.
Hidup itu digambarkan sebagai cita-cita yang hilang. Maka perjalanan di padang gurun dapat
berarti kembali pada hidup erat akrab dengan Allah, kembali pada jaman keemasan: Tuhan
berdiam di tengah-tengah bangsa-Nya dan melimpahkan kurnia-Nya.
Cinta yang Tulus, cinta yang dinanti. Penantian, Harapan Allah Datang
Pada pembukaan ibadat sore Adven, kita mengumandangkan mazmur 140 pada ibadat sore I
pembukaan Adven:
Ya Tuhan, aku berseru kepadaMu, datanglah segera kepadaku, dengarkanlah suaraku, sebab
aku berseru kepadaMu.
Dan besok kita kembali memuji Allah dengan Mazmur 62 pada ibadat pagi pembukaan
Adven:
Ya Allah, Engkaulah Allahku,* aku mencari Engkau. Hatiku haus dan rindu akan Dikau,*
seperti tanah kering dan tandus merindukan air.
Kesibukan vs Kerinduan
Satu hal dapat dipastikan, kerinduan kepada yang besar itu, kepada Tuhan, masih sama
hangatnya seperti pada masa yang dulu juga. Namun kesibukan-kesibukan kita berpotensi
membuat kerinduan itu menjadi redup, karena kita tidak menjadikan Dia sebagai prioritas, di
mana hartamu berada, di situ hatimu berada! Seringkali kita mendengar bahwa orang tidak
punya waktu untuk berdoa, karena terlalu sibuk. Mungkin memang benar ia sibuk sekali.
Namun yang menjadi soal bukanlah kesibukan, melainkan siapakah Yesus itu bagi dia. Bila
Yesus sungguh berharga bagi dia, pastilah ia akan menemukan waktu bagi-Nya. Yesus sendiri
dalam hidup-Nya seringkali amat sibuk, sehingga kadang-kadang tidak sempat makan, karena
banyak sekali orang yang mencari Dia. Namun biarpun demikian Ia menyempatkan diri pada
malam hari pergi ke gunung untuk berdoa, atau kadang-kadang pagi-pagi sebelum fajar
menyingsing, Ia telah naik ke bukit untuk berdoa.
Yesus sangat sibuk, namun Ia mengambil banyak waktu untuk berdoa, karena doa justru
merupakan napas hidup-Nya. Ia menjadikan perjumpaan dengan Bapa-Nya dalam doa itu,
prioritas-Nya yang pertama. Karena itu dalam segala kesibukan-Nya, Ia telah menemukan
tempat dan waktu untuk berdoa. Kalau kita gagal untuk menemukannya, kita juga akan gagal
dalam berdoa dan itu berarti awal kegagalan dalam hidup kita.
Pendidikan kerinduan terhadap Tuhan. Terkait dengan kerinduan akan Tuhan, kita mengalami
keunikan relasi. Ada tiga tahap pengalaman rohani kita dengan Tuhan.
Tahap pemula: dalam tahap ini Tuhan dialami sebagai yang indah, menarik, maha kasih,
penolong, penghibur dan karena itu kita merasa bahagia dengan Tuhan seperti ini. Namun di
sini hendaklah kita berhati-hati, karena ada selalu gejala egoisme rohani. Tuhan dijadikan
obyek keinginan kita dan ia dinilai menurut krietria keinginan kita. Diriku menjadi sentral.
Tuhan digeser posisinya.
Tahap Padang Gurun: tahap kegelapan jiwa. Pada saat krisis, seperti Ayub, sekalipun karya
baik dan saleh, toh dalam situasi krisis, semua itu terasa hampa. Di sini Tuhan boleh jadi
menyapa kita “nak, yang manis telah lewat, sekarang bathinmu dimurnikan dari egoisme
rohani tahap I untuk bisa melangkah ke tahap berikutnya.
Tahap Tanpa Pamrih: Seorang pelayan Tuhan tidak lagi menghitung untung rugi atau tidak
bermain-main dengan motivasi-motivasi dangkal melainkan “saya berbuat baik karena Allah
telah menyelamatkan saya secara cuma-cuma” Artinya: kerinduan dimurnikan dari prinsip
kesenangan.
Pendidikan kerinduan terhadap diri sendiri: Kekudusan seorang pengikut Yesus pertama-
tama tidak terletak dalam pelbagai kegiatan dan kesibukan, melainkan dalam kesunyian doa,
suatu keheningan kudus ketika seseorang menyatu dengan Tuhan, pokok Anggur, sumber
kehidupan. Dari keheningan batin yang menyatu dengan Tuhan, akan keluar semua perbuatan
baik, tindakan kasih, dan kata-kata yang meneguhkan sesama, Tanpa keheningan batin,
seseorang bisa saja aktif dalam pelbagai kegiatan pelayanan, tetapi perlahan-lahan menjadi
nyata bahwa kesibukan itu lebih merupakan pelarian dari kekosongan rohani daripada sebuah
amal bakti yang bernilai. Terhadap orang yang selalu sibuk bekerja-bekerja, boleh jadi Yesus
menegur halus, „Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,
tetapi hanya satu saja yang perlu : Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan
diambil dari padanya." (Luk 10, 41-42). Ada bersama Yesus dan bekerja bersama Yesus mesti
menjadi esensi panggilan imam.
Dalam kaitan dengan hal tersebut ada satu aspek yang mesti dipertimbangkan yaitu godaan
mendefinisikan diri saya menurut prestasi yang telah saya raih amat membosankan. Jati diri
saya yang terdalam tidak terletak dalam apa yang kulakukan, dan juga tidak terletak dalam
apa yang dikatakan orang terhadap saya, melainkan dalam kenyataan bahwa aku dikasihiNya.
Kasih Tuhan merupakan satu-satunya konteks di mana kepribadian kita dimengerti. Nilai diri
saya terdapat pada siapa saya sesungguhnya, bukan pada apa yang bisa kulakukan atau
bagaimana orang lain melihat saya. Hidup dan pribadiku adalah anugerah, sesuatu yang
kuterima dariNya, bukan pencapaian atau hasil jerih payah saya. Oleh karena itu, adalah
benar jika dikatakan, aku dipanggil bukan untuk sukses, tetapi aku DIPANGGIL untuk setia
penuh cinta bekerja bersama Yesus sang pemilik pekerjaan. Bila saya memahami panggilan
ini dalam kategori prestasi atau sukses, aku akan mudah terperosok dalam dosa kesombongan
memuliakan diriku sendiri. Dalam hal ini aku bisa diibaratkan dengan kuas yang digunakan
sang seniman untuk melukis. Kalau lukisan itu jadinya bagus, bukan jasa kuas-nya melainkan
jasa pelukisnya. Kuas itu tidak bisa apa-apa tetapi pelukis yang memakai kuas itu yang
melukis, dialah yang sebetulnya pelaksana. Karena itulah, saya merindukan kedatanganNya,
terutama dalam hati saya. Ya Tuhan, datanglah, ***
Situasi dunia
Pada Oktober 1946, Paus Pius XII mengatakan bahwa dosa terbesar di dunia abad ini adalah
hilangnya rasa berdosa (the loss of the sense of sin). Paus Yohanes Paulus II kembali mengangkat
topik hilangnya rasa berdosa dalam Ekshortasi Apostolik Reconciliatio et Paenitentia. Ekshortasi ini
juga berangkat dari refleksi mengenai situasi dunia abad kedua puluh yang dilanda banyak persoalan.
Wajah dunia diliputi beragam unsur kehancuran, seperti, penindasan hak asasi manusia, terorisme,
distribusi hasil sumber daya alam yang tidak adil, kesenjangan ekonomi, polarisasi politik, serta
diskriminasi sosial-agama. Paus Fransiskus pernah menggemakan topik hilangnya rasa berdosa dalam
suatu kesempatan homili. Paus menegaskan bahwa manusia kehilangan rasa berdosa ketika ia
meniadakan Tuhan dan menjadi korban kesombongannya.
Rasa berdosa dapat memudar bahkan hilang akibat adanya krisis moral yang melanda dunia zaman
ini. Manusia mengalami kesulitan untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat. Krisis moral
tersebut akan memengaruhi keputusan moral terutama dalam perspektif menghargai kehidupan,
seperti hukuman mati, aborsi, bunuh diri, euthanasia, obat-obatan terlarang, dan perang. Situasi
Perang yang berkecamuk antara Rusia dan Ukraina menjadi bukti aktual. Ribuan orang meninggal
dan jutaan orang harus mengungsi. Anak manusia yang lugu ikut menjadi korban serangan. Pemimpin
negara yang berkonflik hendaknya paham bahwa masyarakat dunia memiliki nurani.
Dalam situasi krisis akibat pandemi Covid-19, banyak orang juga terjerat dalam hilangnya rasa
berdosa. Contoh konkretnya adalah korupsi bantuan sosial (bansos) di tengah suasana bencana!
Pandemi juga meningkatkan antusiasme konsumerisme digital. Berdasarkan hasil penelitian, total
belanja daring di Indonesia tahun 2017 adalah sekitar US$8 miliar dan pada tahun 2020 meningkat
menjadi US$55 miliar hingga US$65 miliar. Hal ini adalah indikasi bahwa perilaku konsumeris
masyarakat Indonesia tergolong tinggi terutama di tengah pandemi Covid-19. Manusia menjadi
korban manipulasi iklan-iklan yang menggiurkan di toko online dan media sosial. Barang-barang
dibeli hanya sebagai pemuas hasrat dan penanda identitas. Perilaku konsumerisme ini tentu dapat
membawa krisis kemanusiaan. Manusia tidak peka terhadap keberadaan orang lain yang lebih
membutuhkan di tengah bencana pandemi.
Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa sekularisme merupakan penyebab utama hilangnya rasa
berdosa. Sekularisme pada dasarnya adalah gerakan ide dan perilaku yang mendukung dan
membangun humanisme sama sekali tanpa Allah. Manusia justru berpusat dalam pengagungan
ciptaan, antusias konsumerisme, dan kenikmatan duniawi yang melupakan pencarian manusia
terhadap keselamatan jiwa. Paham sekularisme dekat dengan konsep ateisme, yakni sebagai sikap
menjauhi agama dan meninggalkan Allah. Allah disingkirkan dari kehidupan manusia. Paus
menyatakan bahwa hilangnya rasa berdosa adalah konsekuensi menolak Allah, baik dalam bentuk
ateisme maupun sekularisme. Hal ini secara signifikan mengancam kebudayaan modern yang
melumpuhkan kepekaan terhadap Allah dan agama.
Alasan lain yang membuat hilang rasa berdosa pada masyarakat kontemporer adalah kesalahan dan
kegagalan manusia dalam mengevaluasi ilmu pengetahuan tertentu. Misalnya, ada afirmasi psikologi
tertentu yang mencoba melihat rasa bersalah dan rasa berdosa dalam diri manusia sebagai suatu
bentuk kelemahan manusiawi. Rasa berdosa harus dihindari, dihilangkan, atau dianggap sebagai
musuh psikologis. Ada juga bidang antropologi sosial-budaya tertentu yang menempatkan lingkungan
dan sejarah sebagai pengaruh yang sangat mendominasi dalam diri manusia. Konsekuensinya, setiap
individu di dalam masyarakat tersebut akan merasa sama sekali tidak berdosa secara pribadi. Hal ini
juga mengurangi rasa tanggung jawab atas dosa-dosa sosial manusia.
Rasa berdosa juga bisa merosot akibat sistem etika tertentu yang mengembangkan nilai-nilai
relativisme moral. Misalnya ada sistem etika yang menyangkal bahwa ada tindakan yang dalam
dirinya jahat terlepas dari segala keadaan dan situasi. Sistem etika ini tentunya melemahkan gagasan
mengenai dosa karena mencoba menggeser dasar, makna, dan kriteria sikap moral. Faktanya, praktik-
praktik dan pandangan etis yang berbeda dalam kebudayaan dapat menimbulkan relativisme moral.
Dari segi etis, tidak semua adat dan kebudayaan sempurna. Pengalaman orang-orang Inggris ketika
pertama kali mendarat di Hudson Bay di Amerika Utara menjadi contoh bahwa relativisme moral
tidak tahan uji. Mereka terkejut bahwa orang-orang Indian di sana mempunyai kebiasaan membunuh
orangtua mereka yang sudah uzur. Pengalaman yang senada juga tampak ketika penjelajah Denmark
Knud Rasmussen (1879-1933) untuk pertama kali memasuki daerah tempat tinggal suku Eskimo
dekat kutub utara. Di sana ia menemukan kebiasaan yang mengherankan yaitu membunuh orangtua
atau bayi yang baru lahir.
Pemahaman rasa berdosa yang samar-samar juga bisa menjadi pemicu hilangnya rasa berdosa.
Perkembangan teknologi dan informasi membuat manusia kurang peka terhadap dosa. Media-media
sering memuat pesan kekerasan, kata-kata kotor, maupun pornografi sehingga cenderung
mengaburkan aspek dosa. Rasa berdosa juga kerap kali dianggap hal yang tidak wajar sehingga perlu
dihindari. Hal ini sering terjadi pada orang yang memiliki kecenderungan untuk cinta pada diri
sendiri, cinta pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, cinta akan materi, dan kemewahan
duniawi.
Pemulihan rasa berdosa secara benar adalah cara pertama untuk mengatasi besarnya krisis rohani pada
manusia saat ini. Paus Yohanes Paulus II sangat yakin bahwa memulihkan rasa berdosa dapat
dilakukan dengan mengingat prinsip dan ajaran moral Gereja. Rasa berdosa akan semakin tajam
ketika ajaran moral Gereja dihayati sebagai jalan kekudusan dan persekutuan dengan Allah. Prinsip
dasar moralitas Gereja ada pada keutamaan kristiani yang mencakup iman, harapan, kasih, keadilan,
kebijaksanaan penguasaan diri, dan keberanian. Keutamaan-keutamaan dan prinsip moral kristiani
akan membangkitkan cara hidup otentik dari setiap pengikut Kristus.
Memulihkan rasa berdosa juga bisa dicapai melalui katekese yang tepat mengenai pentingnya
pertobatan. Dibandingkan dari manusia zaman sebelumnya, manusia modern terkesan lebih sulit
mengenali dan mengakui dosa dan kesalahannya sendiri. Manusia tampaknya enggan untuk
mengatakan, “Saya bertobat” atau “Saya minta maaf”. Katekese adalah sarana pertama yang
digunakan Gereja untuk mewujudkan pertobatan. Para gembala Gereja diharapkan memberikan
katekese mengenai dosa dan pengampunan, maupun hati nurani dan pembinaannya. Hati nurani harus
dibentuk dan keputusan moral harus diterangi. Hati nurani yang dibentuk dengan baik dapat
memutuskan secara tepat dan benar. Pembentukan hati nurani harus lebih dikenalkan pada manusia
yang terjebak mendahulukan kepentingan sendiri dan menolak ajaran Gereja.
Akhirnya, umat yang sarat dengan harapan adalah mereka yang memiliki keinginan memperoleh
pertobatan dan pengampunan secara terus menerus. Orang Kristen diajak untuk menghidupkan
kembali dalamnya kasih karunia melalui Sakramen Tobat. Pengakuan sakramental atas keberdosaan
adalah elemen yang kuat dalam melestarikan rasa berdosa dalam kehidupan orang Kristen. Mereka
yang menerima Sakramen Tobat dengan penuh sesal dan khidmat akan memeroleh pendamaian dan
kegembiraan hati nurani. Sakramen pendamaian dengan Allah akan menghasilkan kebangkitan rohani
untuk hidup dalam kekayaan kehidupan anak-anak Allah.