Anda di halaman 1dari 27

POKOK B AHASAN 4

PELAKSANAAN WICARA PUBLIK

1. RASIONAL

Pengetahuan dan pemahaman tentang pelaksanaan wicara publik


merupakan modal dasar yang harus dimiliki oleh mahasiswa sebelum mereka
melakukan praktik presentasi di depan kelas. Hal ini disebabkan bahwa
pemahaman tentang pelaksanaan wicara publik, karena pelaksanaan wicara
publik merupakan tindak lanjut dari rencana yang telah disusun.

2. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sajian tentang topik pelaksanaan wicara publik ini


diharapkan mahasiswa dapat: (1) menjelaskan cara-cara untuk menanggulangi
kecemasan komunikasi; (2) menjelaskan prinsip-prinsip wicara publik; dan (3)
menjelaskan dengan contoh-contoh olah vokal dalam kegiatan wicara publik.

3. BAHAN AJAR
Penyampaian Wicara publik
Setiap orang pasti memiliki rasa cemas atau takut sebelum mereka
tampil berbicara di depan umum. Rasa cemas ini sering disebut demam
panggung atau aprehensi komunikasi. Penelitian tentang aprehensi komunikasi
(adanya rasa takut, cemas, khawatir, malu, atau gemetar sebelum orang tampil
berkomunikasi) telah banyak dilakukan oleh pakar komunikasi. Beberapa
peneliti dan jenis penelitiannya antara lain sebagai berikut ini: Merril (1974),
Burgoon (1975), Wheelles (1975), Knutson-Lashbrook (1976), Hurt,
Preiss,Davis (1976), McCroskey dkk.(1976), McCroskey-Anderson (1976),
McCroskey (1977), Zimbardo (1977), dan Powers (1977), Daly-Friedrich (1978).
Dalam kaitanya dengan penelitian aprehensi komunikasi, McCroskey (1977b)
mengemukan bahwa 15--20 % mahasiswa perguruan tinggi di Amerika memiliki
aprehensi komunikasi tinggi dalam hal berkomunikasi lisan. Zimbardo (1977)
dalam makalahnya mengemukakan bahwa para siswa pemalu (siswa yang
aprehensi komunikasinya tinggi) adalah siswa yang: enggan berbicara, enggan
pada situasi terstruktur, sedikit berbicara, lebih banyak menggunakan "gesture"

1
dalam berbicara, kurang suka menonjolkan diri dan banyak duduk, selalu
menaati peratur-an sehingga jarang mendapatkan kesulitan, memilih tugas
khusus daripada berbicara di depan kelas, dan sedikit melakukan perlawanan.
Powers (1977) dalam penelitiannya menemukan bahwa para siswa yang
aprehensi komunikasinya tinggi lebih banyak menggunakan pertanaan-
pertanyaan retoris di dalam berkomunikasi, sehingga lebih sedikit ide-ide
orisinal yang disumbangkan pada siswa lain. McCroskey & Anderson (1976)
dalam penelitiannya menemukan bahwa para siswa yang aprehensi
komunikasinya tinggi (pemalu) memiliki penampilan yang lebih jelek daripada
para siswa yang aprehensi komunikasinya rendah.Selain itu, McCroskey, Daly,
& Sorensen (1976) dalam penelitiannya menemukan bahwa tidak ada korelasi
antara aprehensi komunikasi para siswa dengan intelegensinya. Hurt, Preiss, &
Davis (1976) dalam makalahnya mengemukakan bahwa para siswa yang
aprehensi komunikasinya tinggi memiliki sebuah sikap yang lebih negatif
terhadap pelajar-an daripada para siswa yang aprehensi komunikasinya
rendah. Burgoon (1975) mengemukakan bahwa para siswa yang ketakutan
lebih suka kegiatan-kegiatan yang sedikit memerlukan komunikasi. Mereka
lebih suka pada penilaian tulis-an, menyukai ceramah (kuliah), dan suka
penilaian berdasarkan karya tulis daripada penampilan lisan. Begitu pula,
Zimbardo (1977) dalam makalahnya melaporkan bahwa ada korelasi yang
tinggi dan konsisten antara kepercayaan diri dengan aprehensi komunikasi
siswa yang usianya lebih muda dari teman-temannya. Sehubungan dengan
pergaulan di lingkungan sosial, McCroskey (1977) menemukan bahwa orang
yang aprehensi komunikasinya tinggi dipersepsikan sebagai orang yang kurang
positif di lingkungannya daripada orang yang aprehensi komunikasinya rendah.
Knutson & Lashbrook (1976) dalam penelitiannya menemukan bahwa orang
yang aprehensi komunikasinya tinggi merupakan orang yang tak tegas dan
orang yang kurang responsif. Hal ini berkaitan dengan penelitian awal yang
dilakukan Merril (1974). Merril menandai orang yang tak tegas adalah orang
yang menghindari resiko, tak suka memerintah, dan tenang dalam bertindak.
Orang yang kurang responsif adalah orang yang dingin, tak komunikatif, dan
berorientasi pada tugas. Adapun kajian McCroskey (1977a) menunjukkan
bahwa orang yang aprehensi komunikasinya tinggi dipersepsikan sebagai

2
orang yang kurang menarik secara sosial, kurang menarik dalam tugas, kurang
lengkap, kurang menarik secara seksual, kurang menarik sebagai partner
komunikasi, kurang dapat bergaul, kurang bisa mengarang, kurang terbuka,
tetapi watak rendah dirinya lebih tinggi.
Pokok bahasan ini akan membicarakan teknik-teknik mengatasi
kecemasan berkomunikasi (membangus kepercayaan diri) dan meningkatkan
kredibilitas. Akan tetapi, untuk penyampaian wicara publik yang efektif, kita
memerlukan lebih dari itu. Seorang penulis besar pernah diundang memberikan
ceramah di depan mahasiswa. Di depan mimbar, dengan tenang ia memasang
kacamata dan membuka makalahnya. Sesudah itu, ia terus menerus membaca
makalah. Ketika ia mengangkat kepalanya, sebagian besar hadirin sudah
meninggalkan ruangan. Tanpa sepengetahuan dia.

Megawati Soekarno Putri


(Sekarang lebih Percaya Diri)

Penulis itu mempunyai kepercayaan diri dan kredibilitas; tetapi tidak


memiliki keterampilan menyampaikan. Ketika Demosthenes, jago wicara publik
zaman dulu, ditanya tentang unsur terpenting dalam wicara publik ia menjawa,
”Penyampaian” (elocutio). Ketika ia ditanya kedua dan ketiga kalinya, ia tetap
berkata elocutio. Selain itu ada tiga kiat penyampaian wicara publik: kontak,
penggunaan suara (paralanguage), dan penggunaan isyarat dan gerak tubuh
(lambang-lambang nonverbal visual). Dengan begitu, kita dapat membangun
kepercayaan diri dan kredibilitas.

3
Membangun Kepercayaan Diri dan Kredibilitas
Banyak istilah digunakan untuk menamai gejala ini; demam panggung
(stage fright), kecemasan bicara (speech anxiety), atau yang lebih umum stres
penampilan (performance stress). Kita mengalami gejala ini bila kita harus
bekerja di bawah pengawasan orang lain. Stres inilah yang dirasakan para
atlet sebelum bertanding, pemusik sebelum naik panggung, guru sebelum
masuk kelas, pelamar kerja sebelum diwawancarai.
Inilah daftar gejala yang dirasakan mereka:
Detak jantung yang cepat
Telapak tangan atau punggung berkeringat
Nafas terangah-engah
Mulut kering dan sukar menelan
Ketegangan otot dada, tangan, leher dan kaki
Tangan atau kaki bergetar
Suara bergetar dan parau
Berbicara cepat dan tidak jelas
Tidak sanggup mendengar atau konsentrasi
Lupa atau ingatan hilang.

Menurut para psikolog, semua gejala itu adalah reaksi alamiah kepada
ancaman. Begitu makhluk menghadapi ancaman, ia bergiasa untuk fight
(melawan) atau flight (melarikan diri). Sistem saraf simpatetisnya berguncang.
Adrenalin dan kadar gula dalam pembuluh darah meningkat. Tiba-tiba dalam
tubuh ada tumpukan energi. Semuanya adalah upaya tubuh untuk
menyesuaikan diri dengan ancaman. Perilaku yang didaftar di atas itu disebut
sebagai general adaptation syndrome (GAS). Tidak mungkin kita
menghilangkan GAS, tetapi kita dapat mengendalikannya. Tumpukan energi
dapat disalurkan ke dalam pembicaraan kita, sehingga suara kita menjadi
bagus dan berwibawa, dan gerakan kita menjadi dinamis dan hidup.

Sebab-sebab Kecemasan Komunikasi


Orang mengalami kecemasan komunikasi (untuk selanjutnya disebut KK)
karena beberapa hal. Pertama, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak
tahu bagaimana memulai pembicaraan. Ia tidak dapat memperkirakan apa yang
diharapkan pendengar. Ia menghadapi sejumlah ketidakpastian. Untuk
mengobati KK karena sebab pertama, latihan dan pengalaman sangat
menentukan. Pengetahuan tentang wicara akan memberikan kepastian

4
kepadanya untuk memulai, melanjutkan dan mengakhiri pembicaraan. Latihan-
latihan akan memberikan pengalaman. Ia dapat memastikan, atau paling tidak
menduga, reaksi pendengarnya. Atau bisa karena biasa. Dale Carnegie
memberikan nasehat yang singkat, ”Lakukan apa yang kita takut
melakukannya“. Bila kita takut berbicara di depan khalayak, cobalah berbicara
di depan mereka.
Seorang dosen sekali, orang yang takut berwicara publik justru selalu
menghindari kesempatan untuk itu. Makin sering ia menghindari bicara, makin
sulit ia untuk melakukannya. Bila satu saat ia ”terjebak” untuk berbicara, ia tentu
akan mengalami peristiwa yang sangat traumatis. Terjadilah lingkaran setan. Ia
makin membenci wicara publik. Karena kebencian, ia akan gagal terus.
Akhirnya terbentulah citra diri (self image): seorang dosen tidak
mempunyai bakat untuk berwicara publik. Seorang dosen tidak mampu
berwicara publik. Seorang dosen memang tidak dilahirkan untuk berwicara
publik, tetapi untuk berpikir. Dengan citra diri seperti itu, ia tidak akan memiliki
kepercayaan diri. Tanpa kepercayaan diri, ia gagal. Kegagalan akan
memperburuk lagi citra dirinya. Dan seterusnya.
Kedua, orang menderita KK karena ia tahu ia akan dinilai. Berhadapan
dengan penilaian membuat orang nervous. Penilaian dapat mengangkat dan
menjatuhkan harga dirinya. Akan tetapi, pada umumnya kita memperhatikan
yang kedua. Bagaimana bila kita dipermalukan orang? Alangkah malunya kalau
humor yang kita buat tidak membuat orang tertawa, tetapi membuat mereka
menertawakan? Bagaimana kalau kita kelihatan tolol dan bodoh di hadapan
orang banyak? Semua yang ditakutkan itu sebenarnya lebih banyak terdapat
dalam persepsi kita daripada dalam kenyataan. Seandainya wicara publik kita
gagal, harga diri kita tidaklah akan jatuh serendah itu. Apalagi, berdasarkan
pengalaman, kegagalan itu hanya terjadi pada percobaan-percobaan yang
pertama saja. Dan khalayak maklum. Bukankah dahulu kita jatuh berkali-kali
sebelum dapat berjalan dengan tegap!
Ketiga, KK dapat menimpa bukan pemula, bahkan mungkin orang-orang
yang terkenal sebagai pembicara yang baik. Ini terjadi bila pembicara
berhadapan dengan situasi yang asing dan ia tidak siap. Misalnya, ia dimintai
berbicara di hadapan khalayak yang tidak ia kenal dan mereka tidak

5
mengenalnya; atau ia harus berbicara tentang persoalan yang sama sekali
tidak dikuasainya; atau ia tidak mempunyai cukup waktu untuk membuat
persiapan.

Metode Mengendalikan KK
Walaupun efek virus KK itu mengerikan, ia tidak seganas AIDS. KK
mudah dijinakkan, tetapi tidak dapat dan memang tidak perlu dihilangkan.
Sebab-sebab KK dapat dilacak pada tiga hal: kurangnya pengetahuan tentang
wicara, tidak ada pengalaman dalam berwicara publik, dan sedikit atau tidak
ada persiapan. Oleh karena itu, menghilangkan sebab-sebab itu berarti
mengendalikan KK. Tentu saja, pada praktiknya kita tidak dapat melakukan
semudah kita mengucapkannya. Kita memerlukan waktu.
Ada dua metode mengendalikan KK. Pertama, metode jangka panjang;
yakni, ketika kita secara berangsur-angsur mengembangkan keterampilan,
mengendalikan KK dengan tiga sebab di atas. Kedua, metode jangka pendek;
yakni ketika kita harus segera mengendalikan. KK pada waktu (atau sebelum)
menyampaikan wicara publik. Yang pertama adalah proses belajar yang
panjang, yang kedua adalah pintu darurat (emergency door) ketika pesawat
berada dalam keadaan bahaya.
Dengan metode pertama, yang pertama-tama kita lakukan adalah
meningkatkan pengetahuan kita tentang wicara: persiapan, penyusunan, dan
penyampaian wicara publik. Pengetahuan wicara memberikan kepada kita
kepastian tentang apa yang harus dilakukan dan apa kira-kira reaksi pendengar
pada apa yang akan kita bicarakan. Seluruh pokok bahasan ini akan membantu
kita untuk memperoleh pengetahuan yang memadai tentang ihwal wicara
publik. Akan tetapi wicara publik, seperti halnya mengemudi mobil, mudah
untuk diketahui dan sukar untuk dilakukan. Dalam tempo beberapa menit, kita
dapat mengetahui langkah-langkah untuk menjalankan mobil kita. Sekarang,
kita memasukkan kunci dan menghidupkan mesin. Bila mesin hidup, kita
mungkin panik untuk mengendalikan mobil kita. Untungnya, karena pertolongan
Allah, pada percobaan-percobaan pertama mesin kita selalu mati dengan
cepat. Kita mengulang kembali, berkali-kali, dan akhirnya mobil itu menjadi jinak
di tangan kita.

6
Sebelum berlatih menyampaikan wicara publik, berlatihlah menulis
naskah wicara publik. Jadilah Isocrates dahulu sebelum menjadi Demosthenes.
Kembangkan kreativitas kita dalam memilih topik yang baik, merumuskan judul,
menentukan tujuan, dan mengembangkan bahasan. Kemudian kita berlatih
membuat garis-garis besar wicara publik, menyusunya secara sistematis,
memeriksa kembali susunan wicara publik kita dengan prinsip-prinsip
komposisi, dan menyunting kata-kata dan kalimat-kalimat yang kita
pergunakan.
Seandainya kita tidak berhasil menjadi ahli wicara publik, melalui latihan
yang pertama ini, paling tidak kita akan menjadi penulis yang baik. Menulis
bukan pekerjaan yang sia-sia. Karena dalam menulis kita harus memperhatikan
bukan pekerjaan yang sia-sia. Karena dalam menulis kita harus memperhatikan
struktur dan sistematika pesan. Kebiasaan menulis akan membiasakan kita
berbicara secara logis dan sistematis. Menulis meluruskan cara berpikir kita;
dan akhirnya meningkatkan kualitas pembicaraan kita.
Langkah berikutnya ialah menjadi Demosthenes. Carilah tempat yang
sunyi. Di dalam gua di bawah tanah, di pinggir laut, seperti Demisthenes. Akan
tetapi, sekarang tidak ada gua yang aman (dari gigitan ular atau gangguan
setan). Juga, pinggir laut sudah ramai dengan wisatawan (baik domestik
maupun luar negeri). Pilihlah kamar pribadi saja. Kita berdiri di depan cermin.
Masukkan dalam benak kita gambaran hadirin yang kita hadapi. Latihkan
wicara publik kita dalam berbagai gaya penyampaian. Ubah suara kita dalam
berbagai cara datar, menaik, menurun, berbisik, membentak, mengeluh,
tenang, hidup, bergelora. Para aktor menyebut latihan ini olah vokal. Lakukan
juga olah gerak (sejenis olah raga) ini.
Selain pengetahuan kita bertambah, latihan-latihan akan menambah
kepercayaan diri kita. Kita memusatkan perhatian kita pada pesan dan cara
menyampaikan pesan itu. kita berusaha berkomunikasi dengan jelas, jernih,
dan menarik. Dengan begitu, kita lupa pada ketakutan dan kecemasan kita.
Bahkan, kita mulai menikmati presentasi kita. Dengan demikian, pengalaman
tampil yang menakutkan, pada akhirnya wicara publik menjadi kenikmatan.
Wicara publik yang baik ”bless twice”, yaitu memberikan kenikmatan kepada
pendengar dan tujuan kepada pembicara.

7
Tahap ini tentu saja dicapai secara berangsur-angsur. Bagaimana bila
kita harus mengatasi masalah KK sekarang juga? Hari ini, kita harus berbicara
dalam pesta pernikahan kawan kita. Kita telah melihat bayangan KK
menghantui pikiran kita. Rudolp E. Busby dan Rkitall E. Majors, dalam Basic
Speech Communication, memberikan ”resep”, yang disebutnya metode jangka
pendek.
Pertama-tama, hadapilah gejalanya. Gunakan teknik-teknik relaksasi
untuk mengundurkan otot-otot kita. Bila nafas terasa sesak atau mulut kering,
ini biasanya terjadi karena kita kurang menarik napas. Tariklah napas dalam-
dalam. Ingatlah untuk bernafas seperti itu selama kita berbicara. Bila
diperlukan, ambillah segelas air ke podium, dan teguklah sekali-kali untuk
”membasahi tenggorokan”. Jantung yang berdegup, kaki yang bergetar, dan
keringat seringkali merupakan reaksi pada tarikan napas yang dalam relaksasi.
Tangan yang bergetar dapat ditenangkan dengan menggoyangkan secara
perlahan-lahan dan mengendurkannya atau meletakkannya di atas mimbar.
Ketika semua gejala yang tampak mengerikan ini terjadi di dalam diri
kita, hadirin boleh jadi sama sekali tidak memperhatikannya. Tanyalah orang-
orang yang pernah berwicara publik apakah mereka mengira setiap orang
memperhatikan betapa nervous mereka. Semua merasa begitu, tetapi jarang
sekali hadirin melihat gejala-gejala stres yang kecil. Karena itu, tanamkan
keberanian senyuman pada hadirin, tarik napas panjang sebelum berbicara,
berhentilah sekali-kali selama berbicara, untuk tersenyum atau menyusun
kembali pemikiran Kita.
Teknik terbaik untuk mengatasi gejala KK secara cepat adalah
memancing respon dari hadirin pada permulaan bicara. Dengan menceritakan
lelucon, dengan mengajukan pertanyaan yang memancing reaksi khalayak,
atau dengan melibatkan hadirin dalam kegiatan, kita dapat memusatkan
perhatikan pada khalayak dan melepaskan kecemasan kita. Dengan
memusatkan perhatian pada hadirin, yaitu: pemahan, pendengaran, dan reaksi
mereka, pembicara segera bertindak untuk membuat para pendengarnya
senang. Fokus para hadirin ini juga yang menjadi cara terbaik bagi pembicara
untuk menikmati peristiwa wicara publik yang diciptakannya.

8
Tidak seorang pun berharap bahwa setiap pembicara, apalagi pemula,
untuk bicara dengan sempurna. Akan tetapi, dengan mengetahui keterampilan
berbicara dan dengan pelaksanaanyang baik, para pemula pun dapat
menyampaikan presentasi yang efektif dan menarik. Sebagian gejala
kecemasan akan tetap ada, tetapi teknik-teknik relaksasi, perhatian kepada
khalayak, dan pelaksanaanyang baik akan mengurangi tingkat kecemasan
sampai tingkat minimal. Hasilnya adalah semangat yang tinggi dan harapan
akan keberhasilan, unsur-unsur yang akan direspon oleh pendengar dengan
penuh antusiasme dan kesenangan.

Komponen-Komponen Kredibilitas
Kredibilitas adalah identik dengan istilah ethos. Apa yang disebut ethos
oleh Aristoteles, dinamakan kredibilitas oleh pakar komuntnikasi sekarang.
Pernahkan kita menyampaikan lelucon yang kita persiapkan dengan serius?
Kita tertawa sendiri. Beberapa di antara hadirin ikut tertawa dengan agak malas
(mungkin karena kasihan saja kepada kita). Kita pernah mendengar seorang
pejabat membuat lelucon. Tidak lucu, tetapi kita mendengar gemuruh tertawa
dari orang-orang di sekitarnya. Bisa jadi lelucon itu betul-betul tidak lucu, tetapi
orang tertawa juga. Mengapa? Karena pejabat itu memiliki kredibilitas. Kita
tidak memilki i kredibilitas awal (initial credibility). SeKetika ia mulai mengalain
itu, pembicara juga memiliki derived credibility; yakni kredibilitas yang timbul
selama pembicara berwicara publik. Begitu pula, terdapat kedibilitas akhir
(terminal credibility), yaitu pada waktu pembicara selesai melakukan wicara
publik.
Kredibilitas tidak melekat pada diri pembicara. Kredibilitas terletak pada
persepsi khalayak tentang pembicara. Karena itu, seorang profesor senior
sangat dihormati di fakultasnya, tetapi tidak dikenal di lingkungan pedagang di
pasar. Seorang mubalig dielu-elukan para pengagumnya, tetapi dibenci oleh
orang-orang yang memusuhinya.

9
B.J . Habibi
Memiliki Kredibilitas dalam IPTEK

Karena kredibilitas itu sama dengan persepsi khalayak tentang


komunikator, kredibilitas dapat dibentuk atau dibangun. Dari mana kita
membangun kredibilitas komunikator? Dari informasi orang lain tentang dia, dari
sahabat, media massa, atau sumber-sumber yang dapat dipercaya. Juga, dari
pengamatan langsung terhadap komunikator. Seorang komunikator dapat
membangun kredibilitasnya dengan meminta bantuan orang lain, atau
merekayasa perilaku, termasuk cara penyampaian wicara publiknya sesuai citra
yang ia inginkan.
Sekarang, periksalah lebih dahulu kredibilitas kita dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini .
1. Sejauh ini apa yang diketahui khalayak tentang diri kita? Apakah citra
mereka itu positif, negatif, atau netrall? (Kredibilitas awal).
2. Mengapa kita memilih topik tersebut? Apakah kita berminat, berkepentingan,
atau secara pribadi merasa terlibat di dalamnya (Good character)
3. Apakah kita memiliki otoritas untuk berbicara tentang topik itu? Atau adakah
dukungan dari pemilik otoritas pada informasi yang kita berikan? (Authority).
4. Bagaimana sikap kita pada para hadirin? Apakah kita ingin membahagiakan
mereka? Apakah kita ingin membantu mereka? (good will).
5. Apakah kita telah menyusun pengantar atau pendahuluan yang
meningkatkan kredibilitas kita. Teknik-teknik apa yang kita gunakan?
(derived credibility).

10
6. Apakah penyajian kita adil dan objektif? Apakah kita juga memperhatikan
pandangan pihak lain dalam persoalan ini? (Good sense).
7. Apakah telah kita masukkan cara-cara menarik perhatian seperti alat-alat
visual, video-auditif; isyarat dan gerak? (dinamisme).
Kita dapat menyimpulkan kredibilitas kita positif atau negatif. Tetapi apa
pun kesimpulan kita, kredibilitas harus ditingkatkan (atau paling tidak dipelihara,
bila teryata baik).

Membangun Kredibilitas
Salah satu komponen penting kredibilitas adalah otoritas. Memiliki
otoritas artinya memiliki keahlian yang diakui. Dokter memiliki otoritas untuk
berbicara berkenaan dengan masalah kesehatan. W.S. Rendra tentu saja
mempunyai otoritas dalam bidang seni dan budaya. Kristianto Wibisono
mempunyai otoritas dalam bidang data bisnis dan ekonomi. Apa yang
menyebabkankan mereka memiliki otoritas?
Pertama, otoritas dibentuk karena orang melihat latar belakang
pendidikan dan pengalaman. Cendekiawan Islam, yang dididik di Amerika,
dianggap tidak memiliki otoritas untuk memberikan ceramah keislaman,
dibandingkan dengan sarjana yang dididik di Mesir. Setiap orang pasti
mempunyai orotitas untuk bidang yang sesuai dengan pendidikan dan
pengalamannya. Bila kita dengan mudah membahas tema yang sesuai dengan
curriculum vitae (riwayat hidup) kita, kita memiliki otoritas. Kita dapat
meningkatkannya, dengan meminta bantuan pembawa acara untuk
menguraikannya sebelum kita berbicara. Bila kita pernah memperoleh
penghargaan, titel, publikasi, atau pengakuan nasional (internasional),
masukkanlah itu dalam riwayat hidup kita (minta orang lain membacakannya).
Selain menyebutkan orang, sebutkan juga seminar-seminar, diskusi-
diskusi atau polemik yang kita ikuti dan ada hubungannya dengan topik yang
kita bahas. Atau dalam pembicaraan kutiplah sumber-sumber yang memiliki
otoritas. Sebelum kita membahas topik itu, lakukanlah penelitian tentang para
ahli yang memiliki otoritas pada bidang yang relevan dengan topik kita. Kutiplah
Einstein, Heidegger, Max Planck, ketika kita sedang berbicara tentang sesuatu

11
yang ada kaitannya dengan fisika.. Dengan cara seperti ini orang yang tidak
memiliki otoritas pun akan dipandang memilikinya.
Komponen kedua dalam kredibilitas adalah good sense. Pendengar
menyukai (dan akhirnya menerima) gagasan yang dikemukakan oleh
pembicara yang dipandang objektif. Kita dapat membangun citra objektif ini
dengan (1) menggunakan pendekatan rasional dan argumentasi yang logis, (2)
menghindari penjulukan (labelling), (3) menghindari sikap tidak jujur dalam
menyajikan informasi, seperti dengan sengaja menutup informasi yang sudah
sangat dikenal khalayak; (4) tidak menggurui, dan menunjukkan penghargaan
kepada pendapat yang berbeda. Lebih penting dari itu ialah memperlakukan
pendengar sebagai rekan, saudara, atau mitra dalam mencari kebenaran.
Paling penting dari semuanya ialah memperlakukan mereka sebagai manusia,
bukan sebagai objek yang kita manipulasikan.
Erat kaitannya dengan good sense adalah good character (akhlak yang
baik), komponen kredibilitas yang ketiga. Termasuk akhlak yang baik adalah
kejujuran, integritas, ketulusan. Hadirin akan tertarik pada tokoh-tokoh yang
terkenal jujur yang tidak mudah dibeli, yang telah berbuat banyak untuk
masyarakatnya. Ketika kita berbicara, kita bukan hanya menyampaikan apa
yang kita ketahui (what you know), tetapi juga seluruh kepribadian kita (what
you are). Karena itu, good character dibangun melalui sejarah yang panjang.
Tidak ada resep yang baik untuk memperoleh good character selain upaya
untuk selalu meningkatkan kualitas diri.
Bila good character sulit dipertahankan paling tidak peliharalah dia ketika
kita berbicara. Sajikan informasi dengan cermat dan jelas. Gunakan kata-kata
yang sopan. Hindari omongan yang kasar, vulgar, atau menyinggung perasaan.
Tunjukkan juga hubungan kita dengan orang-orang yang memiliki akhlak yang
baik. Tampakkan ketidaksenangan kita kepada orang-orang yang berperilaku
jelek, supaya kita tidak tercemar karena hubungan.
Komponen kredibilitas yang keempat adalah good will. Para pendengar
akan tertarik kepada kita, bila mereka tahu bahwa kita berbicara untuk
kepentingan mereka, bahwa kita sedang berjuang untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan mereka. Kita bukan berbicara kepada (speak to) mereka, tetapi
berbicara bersama (speak with) mereka.

12
Kita dapat membangun good will, melalui proses ko-orientasi. Kita
mencari kesamaan antara kita dengan khalayak dalam perbuatan, sikap, dan
nilai. Ciptakan kesan bahwa keperluan mereka adalah keperluan kita, kerugian
mereka adalah kerugian kita, dan kecemasan mereka adalah kecemasan kita
juga. Satukan kita secara psikologis dengan seluruh khalayak Kita.
Teknik lain untuk membangun good will adalah menunjukkan keterlibatan
pribadi (komitmen) Kita kepada topik dan kebutuhan khalayak. Kita tegaskan
bahwa misi Kita terletak dalam keberhasilan kita menyampaikan topik itu. Kita
tidak main-main. Kita serius. Komitmen dapat ditunjukkan dengan kesediaan
untuk memberikan informasi tambahan, bila khalayak memerlukan. Kita siap
menjawab pertanyaan, memasok informasi, dan memperjelas uraian.
Komponen terakhir kredibilitas adalah dinamisme. Dinamisme adalah
ekspresi fisikal dari komitmen psikologis kita terhadap topik. Bila kita
memandang serius pembicaraan kita, suara dan gerak kita juga kelihatan
serius. Semangat, begitu juga kelesuan, mudah menular. Bila mendengarkan
dengan semangat semangat pula. Bila ia lesu dan kelihatan capai,
pendengarpun akan dilanda kebosanan.
Seorang dosen teringat kepada seorang guru honorer yang harus
mengajar sore hari, setelah mengajar sepanjang pagi. Ia masuk kelas dalam
keadaan lesu. Para siswa pun umumnya kecapaian dan mengamuk. Begitu ia
masuk, ia melemparkan tasnya dengan keras. Kelas tersentak. Ia memulai
pelajarannya dengan suara yang keras. Ia pura-pura bersemangat. Para siswa
pun bersemangat juga. Ketika ia melihat para siswanya bergairah, ia pun
bergaira. Seperti guru itu, kita dapat membangun dinamisme dengan suara
yang kuat, penyampaian yang bersemangat, dan kontak mata yang bersahabat.
Secara singkat, dalam membangun kredibilitas, kita perlu mengetahui
bagaimana orang lain menilai kita. Sekali lagi, kredibilitas tidak secara inheren
berada dalam diri kita. Kredibilitas adalah hasil penilaian orang lain tentang diri
kita, setelah mereka menerima informasi tentang kita langsung atau tidak
langsung. Glenn R. Capp dan G. Richard Capp, Jr., dalam Basic Oral
Communication, menjelaskan lima cara bagaimana kita dinilai orang lain.
1. Kita dinilai antara lain dari reputasi yang mendahului kita

13
Seperti membangun rumah, secara perlahan-lahan Kita membangun
reputasi kita. Apa yang sudah kita lakukan karya-karya kita, kontribusi kita,
jasa-jasa kita yang memperindah atau menghancurkan reputasi kita. Orang-
orang tua umumnya memiliki reputasi lebih tinggi dari anak-anak muda.
Akan tetapi, mereka boleh jadi telah kehilangan banyak peluang untuk
membangun reputasi yang lebih baik.
2. Kita dinilai antara lain dari perkenalan tentang kita
Orang dapat menilai kita dari informasi yang diterimanya. Dihadapan
khalayak yang tidak mengetahui Kita, orang yang memperkenalkan kita
kepada khalayak sangat menentukan. Ia dapat mengukir citra (gambaran)
yang baik, atau mencermati citra yang ada. Kita sangat beruntung bila ia
menceritakan siapa kita, jabatan kita, pendidikan dan pengalaman kita,
prestasi dan orientasi kita, dan penggalan-penggalan kisah hidup kita yang
menarik perhatian mereka.
3. Kita dinilai antara lain dari apa yang kita ucapkan
Perkatan kita mencerminkan jati diri kita. Kata orang Jawa, “Ajining diri soko
ing lathi“. Bila kita berbicara tentang hal-hal yang kotor, kita seperti itu juga
kualifikasi kita. Bila kita mengungkapkan hal-hal bermutu, gagasan yang
matang, pikiran yang cemerlang, khalayak akan menilai kita sebagai
cendikiawan.
4. Kita dinilai antara lain dari cara kita berkomunikasi
Betapapun banyaknya informasi yang kita miliki, kita akan dinilai bodoh bila
kita berbicara terbata-bata dengan sistematika yang kacau, dan
penyampaian yang membosankan. Perilaku kita di mimbar akan dijadikan
bahan untuk menilai kita. Berdirilah di mimbar dengan tenang, padang
hadirin dengan penuh keyakinan, ucapkan gagasan-gagasan kita dengan
mantap, hadirin akan membentuk kesan yang baik tentang kita.
5. Kita dinilai antara lain dari pertanyaan-pertanyaan yang menciptakan ethos
Ketika kita menunjukkan kualifikasi kita secara sengaja atau tidak, kita
membentuk ethos ( kesan yang baik mengenai kita). Inilah contoh-contoh
pernyataan yang menimbulkan ethos : (1) pernyataan mengenai sumber-
sumber yang kita kutip, (2) pernyataan yang menunjukkan keterlibatan kita
dalam studi yang relevan dengan pembicaraan, (3) pernyataan yang

14
mengacu pada posisi, penghargaan, atau prestasi yang kita capai, (4)
pernyataan yang menunjuk pada peristiwa, orang atau tempat penting yang
berkaitan dengan topik kita.

Prinsip-Prinsip Penyampaian Wicara publik


Terdapat dua dimensi dalam menyikapi penyampaian wicara publik kita.
Sebagian orang melihat wicara publik sebagai sejenis percakapan yang
diperluas (anenlarged conversation); karena itu, kita tidak perlu
mempelajarinya. Asalkan kita menguasai bahan yang dipergunakan, wicara
publik akan berjalan dengan sendirinya. Sebagian lagim melihat wicara publik
bukan lagi sebagai percakapan. Wicara publik merupakan peristiwa yang khas,
yang memerlukan bakat dan keterampilan khas juga. Tidak setiap orang dapat
menyampaikan wicara publik.
Kedua pandangan ini setengah benar, dan karena itu, setengah salah.
Memang benar, wicara publik itu berbeda dengan percakapan. Tetapi
seseorang yang menjadi kawan bercakap yang baik belum tentu dapat
berwicara publik dengan baik. Tidak jarang, irama suara, dan gerak tubuh yang
muncul secara alamiah dalam percakapan justru hilang dalam berwicara publik.
Begitu tampil di mimbar, ia membeku seperti patung. Tangannya terikat di
mimbar, suaranya datar, dan pandangannya kosong. Memang benar juga
bahwa wicara publik adalah peristiwa khas. Tetapi kekhasannya sama sekali
tidak berarti bahwa hanya orang tertentu saja yang dapat menyampaikan
wicara publik. Semua orang dapat menyampaikan wicara publik dengan baik
bila mereka mengetahui dan mempraktikkan tiga prinsip penyampaian wicara
publik.
1. Peliharalah kontak visual dan kontak mental dengan khalayak (Kontak)
2. Gunakan lambang-lambang auditif; atau usahakan agar suara kita
memberikan makna yang lebih kaya pada bahasa kita (Olah Vokal)
3. Berbicaralah dengan seluruh kepribadian kita, dengan wajah, tangan dan
tubuh kita (Olah Visual).

Kontak

15
Sebagian pakar komunikasi menyebutnya rapport, yaitu hubungan erat
dengan pendengar. Wicara publik adalah komunikasi tatap muka, yang bersifat
dua arah. Walaupun pembicara lebih banyak mendominasi pembicaraan, ia
harus harus menjalin hubungan dengan pendengarnya.
Teknik pertama untuk menjalin hubungan adalah melihat langsung
kepada khalayak. Kita tidak mungkin melihat mereka satu persatu. Tetapi,
arahkan pandangan kita ke semua hadirin. Pada titik-titik tertentu kita melihat
orang-orang yang kita pilih sebagai wakil dari salah satu bagian hadirin. Bila ini
pun sukar, paling tidak pandanglah hadirin secara keseluruhan dengan
perhatian terbagi. Lakukan seperti sopir yang memandang semua hal yang
berada di depannya. Tidak terpusat, tetapi terlihat semua. Inilah kontak visual.
Di samping kontak visual, kita juga melakukan kontak mental. Perhatikan
feedback, umpan balik dari mereka, dan sesuaikan pembicaraan kita
dengannya. Kita melihat mereka mengantuk, masukkan bahan-bahan yang
menarik perhatian. Kita melihat dahi mereka mengerut, jelaskan pembicaraan
kjita lebih terinci. Bila ada di antara mereka yang memberikan komentar, ambil
komentar itu dan jadikan bahan pembicaraan. Ambil contoh-contoh atau
ilustrasi dengan menyebut nama-nama hadirin.

Karakteristik Olah Vokal


Mekanisme olah vokal mengubah bunyi menjadi kata, ungkapan, atau
kalimat. Akan tetapi, cara kita mengeluarkan suara, memberikan makna
tambahan, atau bahkan membelokkan makna kata, ungkapan, atau kalimat.
Dalamhal ini Tubbs dan Moss menyebutnya vocal cues (petunjuk suara).
Kebanyakan penulis ilmu komunikasi menyebutnya paralanguage. Kita
menyebutnya olah vokal
Wicara publik, seperti teater, sangat bergantung pada akting. Salah
satu unsur akting adalah olah vokal. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam
olah vokal: kejelasan (inttelligibility), keragaman (variety), dan ritme (rhythm).
Termasuk keragaman adalah jeda (pause). Untuk menyadari pentingnya olah
vokal, sebelum membahas tiga hal di atas, marilah kita lihat perbedaan makna
hanya karena perbedaan meletakkan jeda.
Kucing / makan tikus mati (Ada kucing yang makan tikus mati)

16
Kucing makan / tikus mati (Di sini ada kucing makan, di sana ada tikus mati)
Kucing makan tikus / mati (Setelah makan tikus, kucing itu mati)

WS Rendra
(Selalu memperhatikan Olah Vokal)

Karakteristik olah vokal dan efek komunikasinya ditunjukkan Douglas


Ehninger, Alan H. Monroe, dan Bruce E. Gronbeck dalam Principles and Types
of Speech sebagai berikut ini.
Intelligibility. Pada suatu kali kita menjawab pertanyaan dosen. Dosen
berkata, “Yang agak keras, dong!“ Seorang dosen tidak dapat mendengar kita.
Suara kita tidak begitu jelas terdengar. Suara kita kurang intelligible. Tingkat
kekerasan suara bisa diukur dari dua indikator fisiologis, yaitu artikulasi dan
kekerasan (bunyi), serta dua indikator psikologis, yaitu pelafalan dan dialek.
Artikulasi menunjukkan proses pembentukan dan pemisahan bunyi oleh
mekanisme vokal (organ-organ bunyi). Satuan bunyi (disebut fonem)
dipisahkan dengan tegas oleh bibir, lidah, dan rahang. Ketika mengucapkan
Indah, kita harus memproduksi lima bunyi, setiap bunyi memerlukan gerakan
otot yang berbeda. Bila setiap fonem diucapkan tidak jelas, kita akan
kedengaran bergumam. Artikulasi tidak baik.
Pelafalan menunjukkan cara mengucapkan setiap bunyi. Batuk dapat
diucapkan berbeda-beda. Orang Bali mengucapkan “bathuk“. Orang Jawa
sering mengucapkan Bandung menjadi Mbandung.. Pelapalan yang kurang
benar bukan saja dapat mengaburkan arti tetapi juga menjatuhkan kredibilitas

17
komunikator. Lagi pula, kesalahan pelapalan dapat mengalihkan perhatian
pendengar dari pesan ke bunyi, dari isi pembicaraan kepada pembicaraan.

Olah Vokal

Karakteristik Vokal dan Efek Komunikasinya


Karakteristi Efek Komunikasi
k Vokal Supaya Supaya Mengkomunika Mengkomunikasikan Mengkomunikasika
kedengaran dipahami sikan tujuan perasaan n latar belakang
Kejelasan

Artikulasi *** * * ***

Volume *** * **
Keragaman
Pitch * *** ** *** **
Duration ** *** **
Rate *** ** *** ***
Pause * ** *** ***
Ritma
Stress ** *** ** *** **
Tempo *** *** *** **

Keterangan:
* : penting
** : lebih penting
*** : penting sekali

Tetapi Kita melihat mukanya masam, tubuhnya kaku, dan tangannya


dilipat di atas dadanya. Ucapanya sopan (silakan duduk!), tetapi keadaannya
“buas“. Kata orang arab, kita akan lebih percaya pada lisan keadaan, dari pada
lisan ucapannya. Para sarjana komunikasi membagi lisan keadaan kepada dua

18
hal: gerakan fisik (physical action) atau tubuh (bodily action) dan alat- alat visual
(visual aids). Untuk kepentingan kita sekarang, yang kedua tidak kita bicarakan.
Diperlukan buku tersendiri untuk menjelaskan cara penggunaan alat- alat
visual.
Fugsi gerak fisik. Dalam komunikasi, gerak fisik digunakan paling tidak
untuk tiga hal: (1) menyampaikan makna, (2) menarik perhatian, dan (3)
menumbuhkan kepercayaan dari dan semangat. Gerak fisik dapat digunakan
untuk menggambarkan ukuran atau bentuk sesuatu. Misalnya, kedua tangan
kita disusun secara vertikal, telapak tangan kanan di atas dan telapak tangan
kiri di bawah. Kemudian kita berkata “tubuhnya tinggi!“, sambil menarik tangan
kanan kita ke atas lagi. Lazimnya gerakan seperti itu disebut isyarat deskriptif
(descriptive gestures). Kita juga dapat menggerakkan bagian- bagian tubuh kita
untuk menegaskan sikap dan perasaan kita. Misalnya, kita mengepalkan tinju
Kita dan membuka mata kita untuk menegaskan tekad kita untuk melawan.
Gerak seperti itu disebut dengan isyarat empatik (emphatic gestures). Atau kita
dapat menggunakan isyarat-isyarat yang lazim dalam kebudayaan kita.
Memperlihatkan ibu jari untuk menunjukkan “hebat“. Menghadapkan kedua
telapak tangan ke atas untuk memohon atau berdoa. Menggelengkan kepala
untuk menyatakan “tidak“, dan sebagainya. Isyarat seperti itu disebut isyarat
tradisional (traditional gestures).
Di samping menyampaikan makna, gerak fisik dapat memelihara dan
menarik perhatian. Gerak (motion), kata para psikolog, adalah unsur penarik
perhatian. Kita tertarik pada hal-hal yang bergerak (itulah sebabnya kita
terpaksa memperhatikan huruf-huruf yang bergerak pada iklan di jalan).pada
diri manusia ada kecenderungan untuk meniru gerak yang dilihatnya.Lihatlah
bagaimana otot-otot kita menegang ketika menyaksikan pertandingan sepak
bola. Semuanya mengikuti gerak pemain. Boleh jadi kita ikut mendorong
memasukkan bola dari jauh. Para psikolog menyebutnya respon empatik,
Jadi, gerak-gerak tubuh kita dalam berwicara publik akan melibatkan
pendengar untuk bergerak juga. Mereka akan ikut merasakan apa yang kita
rasakan. Bagi komunikator, gerak fisik dapat menyalurkan energi tambahan
dalam tubuhnya.. Dengan demikian, ia mengurangi kecemasan komunikasi dan
meningkatkan kepercayaan diri.

19
Sampai disini kita berbicara tentang gerak tubuh secara umum. Ada
macam-macam gerak tubuh : (1) gerak seluruh tubuh, misalnya kita berjalan
dari satu tempat ke tempat lain, (2) gerak sebagian tubuh kita, misalnya gerak
tangan, kaki, bahu, (3) ekspresi wajah, dan (4) posture, posisi pembicara ketika
duduk atau berdiri. Di antara semua itu, yang paling efektif untuk
mempengaruhi emosi pendengar, tetapi yang paling sulit untuk dipelajari adalah
ekspresi wajah. Nasihat kita mungkin sederhana saja : Berbicaralah langsung
dari hati kita secara wajar. Ekspresi wajah akan muncul dengan sendirinya.
Mudah diucapkan, memang. Paling tidak, biasakanlah menggunaka isyarat
yang baik.

Karakteristik isyarat yang baik.


Kita mengutip lagi tulisan Glen R. Capp dan anaknya dalam Basic Oral
Communication tentang ciri-ciri isyarat yang baik:
1. Isyarat yang baik bersifat spontan dan alamiah. Jangan membuat-buat
isyarat, kita akan kelihatan lucu. Isyarat harus lahir karena dorongan untuk
mengungkapkan gagasan atau untuk menjelaskan berbagai pengertian.
2. Isyarat yang baik mengkoordinasikan seluruh gerak tubuh. Bila kita
mengungkapkan kebencian dengan mata yang terbuka dan tangan yang
mengepal, janganlah mulut kita tersenyum. Seluruh tubuh kita harus
terkoordinasi mengungkapkan hal yang sama.
3. Isyarat yang baik dilakukan pada waktu yang tepat. Bila kita menggeleng-
gelengkan kepada terlalu cepat (atau terlalu lambat) dari ucapan kita, maka
kita bisa jadi lelucon. Gelengkan kepada tepat pada waktu menyebut tidak.
Angguklah kepala tepat pada saat mengucapkan ya. Angkat bahu Kita
sedikit tepat pada waktu. menyatakan mungkin.
4. Isyarat yang baik dilakukan penuh, tidak sepotong-potong. Isyarat yang
tidak penuh terjadi ketika pembicara ragu: Bermaksud menggunakan gerak,
tetapi menahannya. Anggaplah isyarat yang penuh melewati tiga tahap-
awal, klimaks, dan turun. Pada praktiknya, kita tidak boleh terlalu
memperhatikan tahap-tahap ini. Konsentrasi kita harus pada gagasan yang
kita sampaikan.

20
5. Kekuatan isyarat itu harus sesuai dengan gagasan yang dikemukakan. Kita
memukul meja dengan maksud menggebrak lawan. Kita gerakkan tangan
kita yang satu secara cepat dan pukulkan pada tangan yang lain untuk
menceritakan tabrakan yang keras.
6. Isyarat yang baik harus sesuai dengan besar dan jenis khalayak. Isyarat
deskriptif, misalnya lebih cepat dilakukan di hadapan khalayak yang kecil.
Gerak tubuh yang lebih hidup harus dilakukan di hadapan anak-anak muda.
Sebaliknya dalam upacara kematian sebaiknya komunikator tidak terlalu
banyak menggunakan isyarat atau gerak tubuh.
7. Isyarat yang baik bervariasi. Janganlah terlalu banyak menggunakan satu
atau dua isyarat saja. Misalnya isyarat yang sama digunakan untuk
menegaskan, menolak, menerima, atau membenci. Gunakan seluruh
reportoar isyarat dan letakkan pada tempat dan waktu yang tepat.
Kemampuan mengatur pause sama seperti kemampuan meletukkan
tanda baca. Hanya pembicara berpengalaman yang mudah melakukannya. Bila
Kita tidak cukup melakukan pause, pendengar akan kecapaian. Sebelum
mereka memahami pesan Kita, Kita sudah meloncat kepada pesan yang lain.
Sebaliknya bila kita terlalu lama berhenti dan terlalu sering, hadirin tidak akan
memahami kita. Mereka sudah melupakan gagasan sebelumnya.
Pause berarti menghentikan bunyi. Kadang-kadang pembicara memisah-
misahkan satuan gagasan dengan bunyi: eh, anu, apa, apa namanya. Yang
seperti ini tidak fungsional dan mengganggu. Para ahli komunikasi
menyebutnya intrusions. Intrusions menunjukkan orang yang tidak siap, ragu,
kurang persiapan, atau takut. Sekurang-kurangnya, takut tidak bicara.
Ritme. Ritme adalah keteraturan dalam meletakkan tekanan pada bunyi,
suku kata, tata kalimat, atau paragraf. Tekanan pada satuan ungkapan yang
kecil disebut stress atau aksen. Tekanan pada ungkapan yang panjang (seperti
paragraf) disebut tempo. Bila Kita membaca kalimat ini dengan menekankan
(mengeraskan loudness dan meninggikan pitch) pada setiap suku kata yang
awal, kita kedengaran lucu. Orang akan berkata, kita menggunakan bahasa
Indonesia, tetapi dengan aksen yang asing. Kita berbicara dengan ritme yang
salah (aritmikal). Sekarang, rasakan perbedaan makna dengan memberikan
tekanan yang berbeda pada kalimat yang sama di bawah ini :

21
Aku membeli mobil itu di sini (bukan orang lain)
Aku membeli mobil itu di sini (bukan mencuri)
Aku membeli mobil itu disini (bukan sepeda atau barang lainnya)
Aku membeli mobil itu di sini (Mobil yang Kita ketahui bukan mobil lain)
Aku membeli mobil itu di sini (Kamu kira aku membelinya di tempat lain ?)

Apa kita menggunakan ritma yang berbeda pada paragraf yang berbeda,
Kita menggunakan tempo. Jika kita mendengarkan musik klasik, Kita akan
memahami tempo. Pada bagian awal. Kita mendengar tempo tertentu. Ketika
masuk ke bagian kedua, temponya berubah (misalnya, kitante, dan kemudian
berakhir pada, misalnya allegretto. Perhatikan tari kecak Bali. Kita melihat
tempo yang berubah-ubah. Dalam wicara publik, tempo kita gunakan bukan
saja untuk menunjukkan peralihan gagasan atau situasi emosi. Tempo juga
memberikan petunjuk kepada khalayak maka yang hanya rincian saja. Kita
memperlambat tempo pada kesimpulan, tetapi mempercepatnya dalam
menjelaskan rincian.
Semua yang kita bicarakan pada bagian ini, intelligibility, variety, dan
ritme, membentuk gaya vokal kita. Gaya vokal itu tidak selalu sama dalam
berbagai situasi: informatif, persuasif; formal, informal. Untuk memperoleh gaya
vokal yang tepat, ingatlah selalu untuk memperhatikan suara kita pada awal
wicara publik kita.

Olah Visual
Ketika kita berbicara yang wajar, ketika kita bercakap-cakap, kita
menggunakan olah visual itu dengan sendirinya. Secara alamiah, anak-anak
belajar berbicara dengan tangan, wajah, dan seluruh tubuhnya. Tetapi, begitu
kita tampil di muka orang banyak, kita berbicara hanya dengan kata-kata lisan
saja. Kita menjadi mesin suara, yang mengeluarkan bunyi saja. Bila Kita
menceritakan peristiwa duka dengan wajah ceria, orang tidak akan
mempercayai kita. Kita datang ke rumah kawan kita, ia berkata, Silakan duduk!.
Akan tetapi, kita melihat mukanya masam, tubuhnya kaku, dan tangannya
dilipat di atas dadanya. Ucapannya sopan (silakan duduk!) tetapi keadaannya
buas. Maka kita akan lebih percaya pada lisan keadaan daripada lisan ucapan.

22
Para sarjana komunikasi membagi keadaan kepada dua hal: gerakan
fisik (physical action) atau gerakan tubuh (bodily action) dan alat-alat visual
(visual aids). Dalam komunikasi, gerak fisik digunakan paling tidak untuk tiga
hal: (1) menyampaikan makna, (2) menarik perhatian, dan (3) menumbuhkan
kepercayaan diri dan semangat. Gerak fisik dapat digunakan untuk
menggambarkan ukuran atau bentuk sesuatu. Misalnya kedua tangan kita
disusun secara vertikal-telapak tangan kanan di atas dan telapak tangan kiri di
bawah. Kemudian Kita berkata tubuhnya tinggi, sambil menarik tangan kanan
Kita ke atas lagi. Lazimnya gerakan seperti itu disebut isyarat deskriptif
(descriptive gestures). Kita juga dapat menggerakan bagian-bagian tubuh kita
untuk menegaskan sikap dan perasaan kita. Pada waktu kita mengepalkan tinju
kita dan membuka mata kita, berarti kita menegaskan tekad kita untuk
melawan. Gerak seperti itu disebut isyarat emfatik (emphatic gestures). Atau
kita dapat menggunakan isyarat-isyarat yang lazim dalam kebudayaan kita.
Memperlihatkan ibu jari untuk menunjukkan hebat. Menghadapkan kedua
telapak tangan ke atas untuk memohon atau berdoa. Menggelengkan kepada
untuk menyatakan tidak dan sebagainya. Isyarat seperti itu disebut isyarat
tradisional (traditional gestures).
Apa yang sisebut kebudayaan kita, ternyata isyarat isyarat itu tidak selalu
universal. Di Srilanka, orang menggelengkan kepala utuk menyatakan ya. Huruf
O yang dibentuk dengan mempertemukan ibu jari dengan telunjuk berarti okey.
Di samping menyampaikan makna, gerak fisik dapat memelihara dan menarik
perhatian. Gerak (motion), kata para psikolog, adalah unsur penarik perhatian.
Kita tertarik pada hal-hal yang bergerak (itulah sebabnya kita terpaksa
memperhatikan huruf-huruf yang bergerak pada iklan di pingir jalan). Pada diri
manusia ada kecenderungan untuk meniru gerak yang dilihatnya. Lihatlah
bagaimana otot-otot kita menegang ketika menyaksikan pertandingan sepak
bola. Semuanya mengikuti gerak pemain. Boleh jadi kita ikut mendorong
memasukkan bola dari jauh. Para psikolog menyebutnya respon empatik –
dengan P (bukan emfatik, dengan f).
Jadi, gerak-gerak tubuh kita dalam berwicara publik akan melibatkan
pendengar untuk bergerak juga. Mereka akan ikut merasakan apa yang kita
rasakan. Bagi komunikator, gerak fisik dapat menyalurkan energi tambahan

23
dalam tubuhynya. Dengan demikian, ia mengurangi kecemasan komunikator
dan meningkatkan kepercayaan diri.
Sampai disini kita berbicara tentang gerak tubuh secara umum. Ada
macam-macam gerak tubuh : (1) gerak seluruh tubuh, misalnya kita berjalan
dari satu tempat ke tempat lain, (2) gerak sebagian tubuh kita, misalnya gerak
tangan, kaki, bahu, (3) ekspresi wajah, dan (4) posture, posisi pembicara ketika
duduk atau berdiri. Di antara semua itu, yang paling efektif untuk
mempengaruhi emosi pendengar, tetapi yang paling sulit untuk dipelajari adalah
ekspresi wajah. Nasihat kita mungkin sederhana saja : Berbicaralah langsung
dari hati kita. Ekspresi wajah akan muncul dengan sendirinya. Mudah
diucapkan, memang. Paling tidak, biasakanlah menggunaka isyarat yang baik.

Karakteristik isyarat yang baik.


Kita mengutip lagi tulisan Glen R. Capp dan anaknya dalam Basic Oral
Communication tentang ciri-ciri isyarat yang baik:
1. Isyarat yang baik bersifat spontan dan alamiah. Jangan membuat-buat
isyarat, karena kita akan kelihatan lucu. Isyarat harus lahir karena dorongan
untuk mengungkapkan gagasan atau untuk menjelaskan berbagai
pengertian.
2. Isyarat yang baik mengkoordinasikan seluruh gerak tubuh. Bila kita
mengungkapkan kebencian dengan mata yang terbuka dan tangan yang
mengepal, janganlah mulut kita tersenyum. Seluruh tubuh kita harus
terkoordinasi mengungkapkan hal yang sama.
3. Isyarat yang baik dilakukan pada waktu yang tepat. Bila kita menggeleng-
gelengkan kepada terlalu cepat (atau terlalu lambat) dari ucapan tidak,
maka kita kelihatan lucu. Gelengkan kepada tepat pada waktu menyebut
tidak. Angguklah kepala tepat pada saat mengucapkan ya. Angkat bahu kita
sedikit tepat pada waktu menyatakan mungkin.
4. Isyarat yang baik dilakukan penuh, tidak sepotong-potong. Isyarat yang
tidak penuh terjadi ketika pembicara ragu. Bermaksud menggunakan gerak,
tetapi menahannya. Anggaplah isyarat yang penuh melewati tiga tahap-
awal, klimaks, dan turun. Pada praktiknya, kita tidak boleh terlalu

24
memperhatikan tahap-tahap ini. Konsentrasi kita harus pada gagasan yang
kita sampaikan.
5. Kekuatan isyarat itu harus sesuai dengan gagasan yang dikemukakan. Kita
memukul meja dengan maksud menggebrak lawan. Kita gerakkan tangan
kita yang satu secara cepat dan pukulkan pada tangan yang lain untuk
menceritakan tabrakan yang keras.
6. Isyarat yang baik harus sesuai dengan besar dan jenis khalayak. Isyarat
deskriptif, misalnya lebih cepat dilakukan di hadapan khalayak yang kecil.
Gerak tubuh yang lebih hidup harus dilakukan di hadapan anak-anak muda.
Sebaliknya dalam upacara kematian sebaiknya komunikator tidak terlalu
banyak menggunakan isyarat atau gerak tubuh.
7. Isyarat yang baik bervariasi. Janganlah terlalu banyak menggunakan satu
atau dua isyarat saja. Misalnya isyarat yang sama digunakan untuk
menegaskan, menolak, menerima, atau membenci. Gunakan seluruh
reportoar isyarat dan letakkan pada tempat dan waktu yang tepat.
Sebagai kesimpulan ada 3P untuk menyingkatkan hal ini, yaitu poise,
pause, dan pose. Poise artinya kepercayaan diri, ketenangan, dan kredibilitas.
Pause artinya jeda yang tepat, yang menunjukkan penggunaan suara (olah
vokal) yang baik. Pose, seperti dalam ucapan anak muda berpose adalah
penampilan kita di hadapan khalayak. Jadi kapan saja kita berwicara publik,
ingat 3P.

4. METODE DAN KEGIATAN BELAJAR-MENGAJAR

Metode yang dipergunakan dalam pembelajaran materi pelaksanaan


wicara publik adalah metode penugasan, presentasi kelompok. dan diskusi
kelompok. Adapun kegiatan belajar-mengajar dalam pembelajaran pelaksanaan
wicara publik ini adalah: (1) dosen memberikan tugas kepada salah satu
kelompok (yang terdiri atas 5 orang) untuk mendiskusikan dan merangkum
materi yang ada dalam bahan ajar dalam format presentasi (power point); (2)
mahasiswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas
dengan menggunakan media laptop dam LCD; (3) mahasiswa mendiskusikan
materi pembelajaran yang dipresentasikan kelompok tersebut dalam diskusi

25
kelas; (4) dosen memberikan balikan kepada mahasiswa terhadap hasil
diskusi kelas.

5. EVALUASI

1. Dengan menggunakan bahasa Anda sendiri, coba jelaskan bagaimana


cara-cara menanggulangi kecemasan komunikasi dalam wicara publik!

2. Coba Anda jelaskan dengan contoh-contoh tentang prinsip-prinsip prsentasi


lisanidentifikasi masaalah-masalah yang dapt diangkat sebagai topik
presentasi llisan!

3. Coba Anda jelaskan dengan contoh-contoh tentang olah vokal dalam


kegiatan wicara publik!

6. SUMB ER DAN MEDIA PEMBELAJARAN

6.1 Sumber Bacaan

Anderson, Martin P. dkk. 1964. The Speaker and His Audience. New York:
Harper and Row.
Baker, Virgil L. and Eubanks, Ralp T. 1978. Speech in Personal and Public
Affairs. New York: David McKay Company, Inc.
Barnhart, Claurence L. 1953. The American College Dictionary. New York:
Harper and Brothers Publishers.
Brigance, William Norwood. 1955. Speech Communication. New York:
Applenton Century-Crafts, Inc.
Bryant, Donald C. and Wallace, Karl R. 1947. Fundamental of Public Speaking.
New York: Appleton Century-Crafts, Inc.
Capp, Glenn R. 1961. How to Communicate Orally. N.J.: Prentice Hall, Inc.
Cannolly, James E. 1973. Public Speaking as Communication. Minniapolis,
Minnesota: Burgess Publishing Company.
De Vito, Joseper A. 1987. The Elemen of Public Speaking. New York: Holt,
Rinehart, and Winston Inc.
Elson, E.F. Peck Alberta. 1970. The Art of Speaking. Lexington,
Massachusettts: Ginn and Company.
Jeffrey, Robert and Owen Peterson. 1976. Speech: A Basic Text. New York:
Harper and Row Publisher.

26
Logan, Lillian M and Logan, Virgil G. 1972. Creative Communication, Teaching
The Language Art. Toronto: McGraw Hill Ryerson Limited.
Monroe, Alan H. 1955. Principles of Speech. Chicago: Scottt, Foresman and
Company.
Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Retorika Modern. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

6.2 Media Pembelajaran

Media pembelajaran yang digunakan untuk menunjang pembelajaran


pelaksanaan wicara publik ini berupa sajian bahan presentasi dalam format
power point, laptop, dan LCD yang digunakan untuk menampilkan rinkasan
teori yang berkenaan dengan pokok bahasan pelaksanaan wicara publik..

27

Anda mungkin juga menyukai