Anda di halaman 1dari 8

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bribin Pasca Implementasi Uu …

S. Agung S. Raharjo, Purwanto dan Nana Haryanti


PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRIBIN PASCA
IMPLEMENTASI UU NOMER 23 TAHUN 2014 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
Management Of Bribin Watershed Post Implementation Of Law No. 23/2014 On
Local Government
Oleh:
S. Agung S. Raharjo1, Purwanto dan Nana Haryanti,
1
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
s.agung.sr@gmail.com

Diterima 28-12-2020, direvisi 30-12-2020, disetujui 31-12-2020

ABSTRAK
Undang – Undang pemerintahan daerah telah mengalami tiga kali perubahan sejak reformasi digulirkan,
perubahan terakhir adalah Undang Undang No 23 tahun 2014. Perubahan tersebut banyak berkaitan dengan
perimbangan kewenangan pusat dan daerah, di satu masa terjadi proses desentralisasi yang ekstrim dan di masa lainnya
terjadi resentralisasi. Perubahan ini tentunya berpengaruh terhadap praktek pemerintahan di daerah. Penelitian ini
bertujuan mengetahui pengaruh perubahan undang undang pemerintahan daerah terhadap pengelolaan daerah aliran
sungai. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan UU 23
Tahun 2014 menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) Bribin. Kendala tersebut
berkaitan dengan ketersediaan sumber daya manusia di lapangan dan peran serta pemerintah daerah dalam perencanaan
pengelolaan DAS Bribin.

Kata Kunci: otonomi, daerah aliran sungai, pengelolaan, kebijakan

ABSTRACT
The local government law has undergone three changes since the reformation era, the latest is Law No. 23 of
2014. These changes were strongly related to the balance between central and local government authority, in which
there have been extreme decentralization process and then recentralization took over. This change certainly affects the
practice of governance in the regions. This study aims to investigate the effect of local government law changes on
watershed management. The study used a qualitative approach with descriptive analysis. The results showed Law 23 of
2014 became an obstacle in the management of Bribin Watershed. These constraints relate to the availability of human
resources in the field and the participation of local governments in Bribin Watershed management planning.

Keywords: autonomy, watersheds, management, policies

PENDAHULUAN sentralisasi dan desentralisasi. Tarik ulur ini


Pasca reformasi 1998 kebijakan merupakan eksperimen yang tidak pernah
otonomi daerah telah berubah sebanyak tiga berhenti (Rosadi, 2015). Undang-Undang No
kali, pertama Undang Undang No.22 tahun 22 tahun 1999 merupakan buah reformasi yang
1999, kedua UU No.32 tahun 2004 dan ketiga menghasilkan otonomi seluas-luasnya, terjadi
UU No.23 tahun 2014. Ketiga undang undang pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi.
tentang pemerintahan daerah tersebut UU No 22 tahun 1999 memiliki semangat
menunjukkan adanya tarik ulur antara untuk menjaga persatuan agar tidak terjadi

http://doi.org/10.20886/jped.2020.6.1.33-40
JURNAL Penelitian Ekosistem Dipterokarpa Vol.6 No.1 Juli 2020 33-40

disintegrasi bangsa (Putro, 2000; Rahmadi, komposisi kewenangan pemerintah pusat 36 %,


1999; Suharno, 2004). Namun kehadiran pemerintah provinsi 32 % dan kabupaten kota
kebijakan pemerintahan daerah ini tidak sebanyak 32 % (Kambey, 2015). Seiring
berjalan mulus, banyak terjadi penolakan perkembangan zaman keseimbangan inipun
berkaitan dengan peraturan pelaksanaannya dirasa kurang mencukupi, terjadi pemborosan
(Suharno, 2004), terjadi pertentangan dengan sumber daya alam akibat penerbitan berbagai
Undang Undang lain seperti misalnya UU 41 ijin eksploitasi sumberdaya alam oleh
tahun 1999 tentang Kehutanan (Rahmadi, pemerintah daerah terutama di sektor
1999; Subarudi & Dwiprabowo, 2007) dan kehutanan untuk mengejar peningkatan
dirasa tidak sesuai lagi perkembangan keadaan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Subarudi &
ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan Dwiprabowo, 2007). UU 32 tahun 2004
otonomi daerah (Triputra, 2016). Undang membatasi urusan pemerintahan di tingkat
Undang 22 Tahun 1999 menghadapi dua pusat dan provinsi melalui Peraturan
kendala utama dalam implementasinya yaitu Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dan
kendala ekonomi dan kendala politis (Putro, mengalihkan sisanya kepada kota atau
2000). Kendala ekonomi terjadi karena kabupaten melalui mekanisme pengakuan.
pergeseran paradigma pemerintah daerah dari Dalam prakteknya hal ini seolah-olah
kebijakan yang efektif dan efisien menjadi menghilangkan koordinasi dan pengawasan
kebijakan yang berorientasi ekonomi – pemerintah pusat atau provinsi terhadap
mendapatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) kabupaten kota (Said, 2015; Yusdianto, 2015).
sebesar-besarnya. Kendala politik terjadi Oleh karena itu dirasa perlu untuk mengatur
karena meningkatnya kewenangan/kekuasaan keseimbangan baru antara pemerintah pusat,
legislatif tanpa diimbangi oleh kualitas provinsi dan kabupaten kota, maka pada tahun
individu legislator, terjadi abuse of power 2014 ditetapkan UU 23 tahun 2014 tentang
legislatif terhadap eksekutif di daerah maka Pemerintahan Daerah.
kebijakan ini kemudian diperbarui dengan UU Undang-Undang No 23 Tahun 2014
No 32 Tahun 2004. Di sektor kehutanan merinci lebih jelas pembagian urusan dan
kewenangan kabupaten atau kota sangat besar kewenangan antara pemerintah pusat dan
terutama berkaitan dengan pengelolaan hutan daerah. Perubahan paling menonjol berkaitan
yang masuk di wilayah kabupaten atau kota dengan pengelolaan sumber daya alam, salah
bersangkutan (Rahmadi, 1999). satunya urusan bidang kehutanan. Semua
Undang-Undang No 32 tahun 2004 urusan kehutanan menjadi kewenangan
menjanjikan keseimbangan baru antara pemerintah pusat kecuali taman hutan raya
legislatif dan eksekutif di daerah, antara (TAHURA) yang menjadi kewenangan
DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) pemerintah kabupaten kota. Komposisi
dan bupati atau walikota. Dalam sektor pembagian kewenangan sektor kehutanan
kehutanan, melalui Peraturan Pemerintah No dalam UU No 23 Tahun 2014 adalah sebagai
38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan berikut Pemerintah Pusat sebanyak 51 %,
Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintah Daerah Provinsi sebanyak 46 %
Pemerintahan Daerah Provinsi Dan dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebanyak 3 %
Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota, (Kambey, 2015). Komposisi ini
kewenangan pengurusan hutan dibagi memperlihatkan proses sentralisasi
seimbang antara pemerintah pusat, provinsi pengelolaan hutan. Undang Undang 23 Tahun
dan kabupaten/kota. Pembagian urusan 2014 memperlihatkan pergeseran
kehutanan antara pemerintah pusar provinsi desentralisasi dengan balutan otonomi daerah
dan kabupaten kota cukup seimbang dengan menjadi sentralisasi dengan balutan
34
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bribin Pasca Implementasi Uu …
S. Agung S. Raharjo, Purwanto dan Nana Haryanti
dekonsentrasi (Yusdianto, 2015). Perubahan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan
ini tentunya mempengaruhi praktek cara wawancara mendalam, observasi dan
pengelolaan hutan di daerah salah satunya studi pustaka. Data yang diperoleh dianalisis
pengelolaan daerah aliran sungai. Apakah secara deskriptif (Arnita, 2013) untuk
“sentralisasi” pengelolaan hutan, dalam hal ini mendapatkan gambaran secara detail tentang
pengelolaan daerah aliran sungai, memberikan pengelolaan DAS Bribin pasca implementasi
dampak positif di lapangan? Atau justru kontra Undang Undang Nomer 23 tahun 2014 tentang
produktif. Penelitian ini bertujuan untuk Pemerintahan Daerah. Informan kunci dalam
melihat pengaruh UU No 23 Tahun 2014 penelitian ini antara lain Kepala Seksi
tentang Pemerintahan daerah terhadap Kelembagaan Balai Pengelolaan Daerah Aliran
pengelolaan daerah aliran sungai dengan kasus Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS HL)
DAS Bribin. Serayu Opak Progo, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Provinsi DIY, Balai Kesatuan
METODE PENELITIAN Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi DIY.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. DAS Bribin di Kabupaten Gunungkidul.


Figure 1. Bribin Watershed in Gunungkidul Regency

HASIL DAN PEMBAHASAN Basin Wonosari. Karakteristik perbukitan karst


Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Bribin tinggi dan curam, sementara bagian basin
mencapai 31.015,91 Ha, mencakup areal hulu merupakan hasil pelapukan batuan yang landai
di Panggung Massive Oyo dan hilir di Pantai dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
Baron, secara administratif sebagian besar untuk bercocok tanam. Kondisi ini
areal DAS Bribin terletak di Kabupaten menyebabkan hidrogeologi yang khas. Pada
Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa perbukitan karst Gunung Sewu tidak dijumpai
Yogyakarta (96,27 %) dan sisanya terletak di aliran sungai permukaan, namun banyak
Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah dijumpai luweng, gua dan sungai bawah tanah,
(3,73%). Geomorfologi DAS Bribin terdiri sementara itu untuk daerah basin aliran air
dari Pegunungan Karst Gunung Sewu dan mengikuti kemiringan topografi ke arah
35
JURNAL Penelitian Ekosistem Dipterokarpa Vol.6 No.1 Juli 2020 33-40

selatan menuju sungai-sungai bawah tanah di Hutan Lindung). DAS Bribin sudah memiliki
pegunungan karst Gunung Sewu. Kondisi ni rencana pengelolaan terpadu yang di tetapkan
menyebabkan kawasan karst merupakan oleh Bupati Kabupaten Gunungkidul pada
kawasan sangat rentan. Kawasan karst tahun 2013.
merupakan kawasan yang gersang berbatu Kebijakan sentralisasi dalam UU 23/2014
dengan permasalahan utama degradasi lahan, menjadi salah satu kendala dalam
erosi, penurunan kualitas air dan kerusakan implementasi RPDAST Bribin. Pengelolaan
bentuk lahan (Chen et al., 2012). DAS merupakan salah satu tugas dari bidang
Berdasarkan kondisi di atas maka kawasan kehutanan. Berdasarkan UU 32 tahun 2004
karst Gunung Sewu ditetapkan sebagai bidang kehutanan menjadi kewenangan
kawasan lindung nasional. Pemerintah melalui pemerintah kabupaten, namun berdasarkan UU
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya 23 tahun 2014 kewenangan bidang kehutanan
Alam Nomor 3045/K/40/MEM/2014 ditarik ketingkat provinsi, tidak lagi menjadi
menetapkan kawasan bentang alam karst kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Hal
Gunung Sewu sebagai kawasan lindung ini menghilangkan peran kabupaten dalam
geologi. Selain itu kawasan karst Gunung pengelolaan DAS Bribin sesuai RPDAST
Sewu juga merupakan bentukan alam warisan Bribin. Berdasarkan RPDAST Bribin peran
dunia (World Natural Heritage) (Cahyadi, Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul
2010). Kondisi khusus DAS Bribin ini dalam pengelolaan DAS Bribin adalah:
menuntut pengelolaan yang spesifik. “Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota
Pengelolaan DAS meliputi kegiatan mempunyai tugas untuk melaksanakan
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan program RHL hingga tingkat desa. Berkaitan
evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan. dengan itu Dinas Kehutanan mengadakan
Perencanaan pengelolaan DAS merupakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan
tanggung jawab Pemerintah Daerah mensinergikan penyelenggaraan pelaksnaan
Kabupaten/Kota ketika DAS tersebut berada program-program RHL bersama-sama dengan
dalam satu wilayah Kabupaten/Kota. Jika DAS Bappeda Kabupaten/Kota kepada dinas/
tersebut berada lintas Kabupaten/Kota maka embaga yang ada di Provinsi terkait dan
perencanaan pengelolaannya menjadi dengan dinas lembaga yang ada di Kabupaten/
kewajiban Pemerintah Provinsi. Sementara itu Kota terkait dengan pelaksanaan RHL di
untuk DAS lintas Negara ataupun DAS lintas wilayah kerjanya. Dinas Kehutanan
provinsi perencanaan pengelolaan DAS Kabupaten/Kota juga mengadakan pembinaan,
disusun oleh Menteri . bimbingan dan peningkatan pengembangan
lembaga-lembaga masyarakat di setiap desa
Mekanisme pengelolaan di atas merupakan yang menjadi sasaran kegiatan RHL
mandat Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun bersama-sama dengan badan penyuluh dan
2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Lembaga Swadaya Masyarakat serta lembaga
Sungai. Permasalahan muncul ketika Undang lain yang berkepentingan di wilayah kerja
Undang 23 tahun 2014 ditetapkan, sehingga Kabupaten/Kota yang bersangkutan”. Peran
pengelolaan DAS dalam satu wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul
Kabupaten/Kota menjadi kewenangan provinsi. secara dejure harus dijalankan oleh Dinas
Pada tingkat provinsi ini terdapat dua lembaga Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY.
Kehutanan yang menangani DAS yaitu Dinas Ketika kebijakan bidang kehutanan ditarik
Kehutanan Provinsi dan UPT Kementerian ke tingkat provinsi, Provinsi DIY menyusun
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BPDAS Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2016
HL (Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai dan tentang Pengelolaan DAS. Berdasarkan
38
36
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bribin Pasca Implementasi Uu …
S. Agung S. Raharjo, Purwanto dan Nana Haryanti
peraturan ini perencanaan pengelolaan DAS budaya, sehingga dikembangkanlah
ditetapkan oleh Gubernur, dalam hal ini wana wisata budaya mataram”
Gubernur DIY, maka secara otomatis
RPDAST Bribin menjadi tidak berlaku karena Fokus Dinas Kehutanan dan Perkebunan
ditetapkan oleh Bupati Gunungkidul. Implikasi Provinsi DIY ini diperkuat dengan adanya
hukum dari UU 23/2014 tentang pemerintahan Peraturan Gubernur DIY No 5 Tahun 2018
daerah dan Perda Prov. DIY 11/2016 adalah tentang Kerja Sama Pemanfaatan Hutan
review RPDAST Bribin dan penetapan Produksi Dan Hutan Lindung Serta Kerja
kembali RPDAST Bribin oleh Gubernur DIY. Sama Dan Perizinan Pemanfaatan Taman
Lembaga yang berkewajiban memfasilitasi Hutan Raya. Perda ini mendorong
proses tersebut adalah Dinas Kehutanan dan pengembangan pariwisata di dalam kawasan
Perkebunan Provinsi DIY, sebagai perangkat hutan negara yang menjadi tanggung jawab
daerah yang membidangi DAS, dan atau Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi
BPDAS HL Serayu Opak Progo, sebagai unit DIY.
pelaksana teknis Kementerian Kehutanan dan DAS Bribin sebagian besar merupakan
Perkebunan yang membidangi DAS. Menurut kawasan karst. Pengelolaan DAS yang
Kepala Seksi Program BPDASHL Serayu memiliki kawasan karst diatur khusus dalam
Opak Progo, kegiatan review belum pengelolaan DAS Kawasan Khusus Karst .
dilaksanakan karena keterbatasan dana, Pengelolaan DAS Kawasan Karst meliputi
selanjutnya dijelaskan bahwa seluruh DAS yag pengamanan dan penjagaan kelestarian fungsi
ada di Provinsi DIY telah memiliki RPDAST karst, pelestarian keanekaragaman flora dan
namun sampai saat ini belum di review sesuai fauna khususnya jenis-jenis spesifik ekosistem
dengan kebijakan UU 23/2014 dan Perda DIY karst, pengembangan pemanfaatan yang
11/2016. Sementara itu Dinas Kehutanan dan bersifat rekreasi/ekowisata, pendidikan dan
Perkebunan DIY berfokus mendukung penelitian, pengendalian eksploitasi ekosistem
program unggulan Gubernur di bidang karst dan pelaksanaan prosedur dan ketentuan
pariwisata dan budaya sehingga perhatian peraturan perundang-undangan.
terhadap DAS kurang maksimal. Seperti yang Kegiatan–kegiatan pengelolaan DAS ini
disampaikan oleh Dinas Kehutanan dan dimonitor minimal sekali dalam setahun dan
Perkebunan Provinsi DIY, berikut: dievaluasi minimal sekali dalam 2 tahun.
Monitoring dan evaluasi kinerja DAS
“ketika ada DAK dari pusat tentang dilaksanakan oleh perangkat daerah yang
DAS prioritas, Dinas Kehutanan dan membidangi DAS . Perangkat daerah yang
Perkebunan tidak memperoleh alokasi membidangi DAS di Provinsi DIY adalah
anggaran, karena Dinas Kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi
dan Perkebunan bekerja berdasarkan DIY.
peta satuan unit manajemen hutan Pengelolaan DAS tidak hanya
bukan DAS” memerlukan dukungan kebijakan namun juga
Sumber Daya Manusia (SDM) dan
“sampai dengan tahun 2025 nanti pembiayaan yang cukup. Pergeseran
prioritas Provinsi DIY adalah kewenangan pengelolaan DAS dari kabupaten
pendidikan, pariwisata dan ke provinsi menyebabkan berkurangnya SDM
kebudayaan. Kegiatan yang pelaksana pengelolaan DAS di tingkat
dilaksanakan Dinas Kehutanan dan kabupaten/kota, salah satunya terjadi di DAS
Perkebunan diarahkan untuk Bribin Kabupaten Gunungkidul. Hal ini seperti
mendukung sektor pariwisata dan yang disampaikan oleh Sigit, Kepala Seksi
37
39
JURNAL Penelitian Ekosistem Dipterokarpa Vol.6 No.1 Juli 2020 33-40

Kelembagaan BPDAS HL Serayu Opak Progo 23/2014 mengedepankan efektivitas dan


sebagai responden dalam penelitian ini, efisiensi dalam pemerintahan namun
sebagai berikut: mengurangi otonomi daerah yang luas, nyata
dan bertanggung jawab. Selanjutnya dijelaskan
“Sekarang kita kesulitan untuk bahwa dalam implementasinya UU 23/2014
melaksanakan kegiatan di kabupaten, mengurangi peran serta masyarakat,
karena tidak ada lagi orang kehutanan pemerataan dan keadilan, potensi dan
yang mengerti kondisi di lapangan. keanekaragaman daerah.
Teman-teman di Dinas Provinsi tidak Sentralisasi pengelolaan DAS ke tingkat
semuanya mengerti kondisi di tingkat provinsi memperlebar rentang manejemen
tapak, hal ini sangat menyulitkan antar pengendali program pemerintah dengan
kami untuk melaksanakan kegiatan.” ujung tombak pelaksana pengelolaan DAS di
lapangan. Pelaksana pengelolaan DAS di
Berkurangnya SDM di lapangan membuat lapangan adalah para pengelola lahan. Baik
beberapa program pengelolaan DAS sedikit buruknya pengelolaan lahan di suatu DAS
terhambat, misalnya penanganan lahan kritis, sangat mempengaruhi kualitas DAS.
pembuatan kebun bibit rakyat dan lain-lain. Pengelolaan lahan yang buruk menyebabkan
Selain keterbatasan SDM, pergeseran erosi tanah dan run off yang tinggi sehingga
kewenangan pengelolaan DAS ini juga kondisi DAS memburuk. Peraturan tentang
mengakibatkan menurunnya perhatian penerapan teknik konservasi tanah telah
terhadap pengelolaan DAS Bribin. Hal ini dicantumkan dalam UU No 5 tahun 1960
terjadi karena tidak ada usulan kegiatan untuk tentang Agraria yakni di Pasal 15 yang
DAS Bribin yang biasanya disampaikan oleh menyatakan:
Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul Memelihara tanah, termasuk menambah
kepada BPDAS HL Opak Progo. DAS Bribin kesuburannya serta mencegah kerusakannya
tidak lagi menjadi fokus atau prioritas adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan
pengelolaan oleh BPDAH HL Opak Progo. hukum atau instansi yang mempunyai
Hal ini berimplikasi pada alokasi kegiatan dan hubungan hukum dengan tanah itu, dengan
anggaran untuk DAS Bribin yang menurun memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
drastis. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Disamping itu pengelolaan DAS juga harus
Sigit Kepala Seksi Kelembagaan BPDAS HL mengikutsertakan partisipasi masyarakat (UU
Serayu Opak Progo sebagai responden dalam No. 37 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air
penelitian ini, sebagai berikut: dan PP. No. 37 Tahun 2012 tentang
pengelolaan DAS).
“tahun ini (2019) tidak ada kegiatan
di DAS Bribin, fokus kita ke DAS KESIMPULAN
Serayu” Implementasi UU 23 tahun 2014
merupakan bentuk sentralisasi pengelolaan
Implementasi UU 23/2014 memberikan hutan, termasuk di dalamnya pengelolaan DAS.
pengaruh yang buruk terhadap pengelolaan Sentralisasi pengelolaan DAS ini mengurangi
DAS khususnya DAS Bribin. Ketiadaan Dinas peran serta pemangku kepentingan di
Kehutanan Kabupaten Gunungkidul Kabupaten Gungungkidul sebagai akibat
mengurangi peran serta kabupaten dalam hilangnya Dinas Kehutanan di Kabupaten
perencanaan pengelolaan DAS yang ada di Gunungkidul. Selain itu hilangnya Dinas
wilayahnya. Hal ini sejalan dengan temuan Kehutanan di Gunungkidul mempengaruhi
Yusdianto (2015) yang menyatakan bahwa UU kelancaran pengelolaan DAS Bribin karena
38
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bribin Pasca Implementasi Uu …
S. Agung S. Raharjo, Purwanto dan Nana Haryanti
kekurangan sumber daya manusia pengelola dukungan-dukungannya dalam pelaksanaan
DAS di tingkat tapak. kegiatan penelitian ini, khususnya kepada
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul (Badan
UCAPAN TERIMA KASIH
Perencanaan Pembangunan Daerah-Bappeda
Artikel ini merupakan bagian dari
dan Dinas Pariwisata), pemerintah kecamatan,
diseminasi hasil penelitian kerjasama Center
pemerintah desa, Kelompok Sadar Wisata
for International Forestry Research (CIFOR)
(Pokdarwis) di Desa Kenteng (Kecamatan
dan Balai Penelitian dan Pengembangan
Ponjong) dan Desa Pacarejo (Kecamatan
Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai –
Semanu), dan anggota masyarakat lainnya
Kementerian Lingkungan Hidup dan
yang terlibat dalam pengelolaan di Daerah
Kehutanan (BP2TPDAS – KLHK), di bawah
Aliran Sungai (DAS) Bribin, Kabupaten
projek penelitian Kanoppi (Kayu dan
Gunungkidul. Kerjasama pemerintah
Non-kayu dalam Sistem Produksi dan
kecamatan dan pemerintah desa juga sangat
Pemasaran yang Terintegrasi) yang didanai
kami hargai, khususnya Desa Kenteng dan
oleh Pemerintah Australia melalui Australian
Desa Ponjong (Kecamatan Ponjong), Desa
Center for International Agricultural Research
Dadapayu, Desa Candirejo, Desa Pacarejo
(ACIAR). Penulis mengucapkan terima kasih
(Kecamatan Semanu), Desa Mulo (Kecamatan
kepada tim peneliti CIFOR dan BP2TPDAS –
Wonosari), dan Desa Planjan (Kecamatan
KLHK yang terlibat baik dalam diskusi, studi
Saptosari).
pustaka, dan survei lapangan. Penulis juga
mengucapkan terima kasih atas

DAFTAR PUSTAKA Rahmadi, T. (1999). PENGELOLAAN


SUMBERDAYA HUTAN : PEMBAGIAN
Arnita. (2013). Pengelolaan Hutan Dalam Rangka KEWENANGAN ANTARA The allocation of
Otonomi Daerah oleh Pemerintah Aceh authoriry on forestry between central alld
Utara. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 15(59), local government of Indonesia has several
81–97. times shifted in a pendulum-like movement
https://doi.org/10.24815/kanun.v15i1.6161 due to the enaCiment of three regulations .
Cahyadi, A. (2010). Pengelolaan Kawasan Karst Firsr , (Vol. 3, Issue XXXII, pp. 271–294).
Dan Peranannya Dalam Siklus Karbon Di Said, A. R. A. (2015). Fiat Justisia Jurnal Ilmu
Indonesia. 1–14. Hukum Volume 9 No. 4, Oktober-Desember
https://doi.org/10.31227/osf.io/8gh6d 2015.Pembagian Kewenangan Pemerintah
Chen, R., Ye, C., Cai, Y., & Xing, X. (2012). Pusat - Pemerintah Daerah Dalam Otonomi
Integrated restoration of small watershed in Seluas - luasnya Menurut UUD 1945. Fiat
karst regions of southwest China. Ambio, Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 9(4), 505–530.
41(8), 907–912. http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/arti
https://doi.org/10.1007/s13280-012-0296-z cle/viewFile/613/552
Kambey, S. Y. (2015). Pembagian Urusan Subarudi, & Dwiprabowo, H. (2007). Otonomi
Pemerintahan Di Bidang Kehutanan (Antara daerah bidang kehutanan: implementasi dan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah tantangan kebijakan perimbangan keuangan
Provinsi, Dan Pemerintah Daerah (Issue 12).
Kabupaten/Kota). Katalogis, 3(1), 10–20. Suharno. (2004). Telaah Kritis Terhadap Undang
Putro, A. A. (2000). Telaah Kritis Otonomi Undang No 32 Tahun 2004 Tentang
Daerah di Indonesia. In JKAP (Jurnal Pemerintahan Daerah. Jurnal Civics, 1(2),
Kebijakan dan Administrasi Publik) (Vol. 4, 168–180.
Issue 2, pp. 1–16). Triputra, Y. A. (2016). Harmonisasi Peraturan
https://doi.org/10.22146/jkap.8453 Daerah Terhadap Peraturan

39
JURNAL Penelitian Ekosistem Dipterokarpa Vol.6 No.1 Juli 2020 33-40

PErundang-Undangan dalam Bingkai Yusdianto, Y. (2015). Hubungan Kewenangan


Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lex Pusat dan Daerah Menurut Undang-Undang
Librum, Jurnal Ilmu Hukum, 3(1), 417–428. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
https://doi.org/http://doi.org/10.5281/zenodo. Daerah. PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum
1257756 (Journal of Law), 2(3), 483–504.
https://doi.org/10.22304/pjih.v2n3.a4

40

Anda mungkin juga menyukai