Anda di halaman 1dari 17

PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

Keterlibatan hepar pada preeklampsia-eklampsia adalah hal yang serius dan sering
disertai oleh tanda-tanda keterlibatan organ lain, terutama ginjal dan otak, bersama dengan
hemolisis dan trombositopenia (De Boer dkk., 1991; Pritchard dkk., 1954; Weinstein, 1985).
Keadaan ini sering disebut sebagai sindrom HELLP-Hemolisis, peningkatan enzim hati
(Elevated liver enzymes), dan penurunan trombosit (Low Platelet). Kelompok Memphis
mengidentifikasi kumpulan gejala ini pada hampir 20 persen wanita dengan preeklampsia
berat atau eklampsia (Sibai dkk., 1993). Lima di antara 437 wanita meninggal. Pada 13 di
antara 33 (40 persen) wanita dengan bukti laboratoris sindrom HELLP dan nyeri kuadran atas
kanan yang parah, mereka mendapatkan tanda-tanda hematom subkapsular dengan
pemeriksaan pencitraan (Barton dan Sibai, 1996). Dari kelompok yang sama, Audibert dkk.
(1996) menyebut penyulit lain, termasuk solusio plasenta (7%), gagal ginjal akut (2%),
edema paru (6%), dan hematom hepar subkapsularis (1%). Isler dkk. (1999) mengidentifikasi
faktor-faktor yang berperan dalam kematian 54 wanita dengan sindrom HELLP, dan faktor-
faktor tersebut diperlihatkan di Gambar 1.

Gambar 1. Faktor yang berperan dalam kematian 54 wanita dengan sindrom HELLP (ARDS
= sindrom distres pernapasan akut; DIC = koagulopati intravaskular diseminata)

Pada wanita dengan sindrom HELLP, prognosis untuk kehamilan berikutnya kurang
baik. Sibai dkk. (1995) mengamati, dari 192 kehamilan, adanya insiden kekambuhan sindrom
HELLP sebesar 3 persen, sementara Sullivan dkk. (1994) mendapatkan insiden sebesar 27
persen. Kedua kelompok mengkonfirmasi tingginya insiden preeklampsia rekuren, persalinan
prematur, hambatan pertumbuhan janin, solusio plasenta, dan seksio sesarea.
PREEKLAMPSIA

Preeklampsia dapat dibagi kedalam bentuk ringan dan berat. Perbedaan antara keduanya
adalah berdasarkan derajat hipertensi dan proteinuria, dan keterlibatan sistem organ lainnya.
Diperlukan pengawasan ketat terhadap pasien dengan preeklampsia ringan maupun berat,
karena keduanya dapat berkembang menjadi sebuah penyakit yang fulminan. Sebuah bentuk
khusus dari preeklampsia berat adalah sindrom HELLP, yang merupakan akronim dari
hemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet count. Sindrom ini memiliki manifestasi
dalam bentuk temuan klinis yang konsisten dengan hemolisis, peningkatan kadar fungsi hati,
dan trombositopenia. Seorang pasien yang didiagnosa dengan sindrom HELLP secara
otomatis diklasifikasikan dalam preeklampsia berat.

EKLAMPSIA
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut
dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului
oleh tanda-tanda lain. Sekarang kita ketahui bahwa eklampsia pada umumnya timbul pada
wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda pre-eklampsia. Pada wanita yang
menderita eklampsia timbul serangan kejangan yang diikuti oleh koma. Tergantung dari saat
timbulnya eklampsia dibedakan eklampsia gravidarum, eklampsia parturientum, dan
eklampsia puerperale. Perlu dikemukakan bahwa pada eklampsia gravidarum sering kali
persalinan mulai tidak lama kemudian. Dengan pengetahuan bahwa biasanya eklampsia
didahului oleh pre-eklampsia, tampak pentingnya pengawasan antenatal yang teliti dan
teratur, sebagai usaha untuk mencegah timbulnya penyakit itu.

Frekuensi
Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dan yang lain. Frekuensi rendah
pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya pengawasan antenatal yang baik,
penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup, dan penanganan pre-eklampsia yang
sempurna.
Di negara-negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3%-
0,7%, sedang di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaitu 0,05%-0,1%.
Gejala dan tanda
Pada umumnya kejangan didahului oleh makin memburuknya pre-eklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras,
nyeri di epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera
diobati, akan timbul kejangan; terutama pada persalinan bahaya ini besar. Konvulsi
eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni:
1. Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita
terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya, dan kepala
diputar ke kanan atau ke kiri.
2. Kemudian timbul tingkat kejangan tonik yang berlangsung kurang lebih 30 detik.
Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan kaku, tangan
menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka mulai
menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.
3. Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik yang berlangsung antara 1
—2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang
dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi.
Bola mata menonjol. Dari mulut ke luar ludah yang berbusa, muka menunjukkan
kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tak sadar. Kejangan klonik ini dapat
demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Akhimya,
kejangan terhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.
4. Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama.
Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula
bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan yang berulang, sehingga ia tetap dalam
koma.

Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai 40
derajat Celcius. Sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti (1) lidah
tergigit; perlukaan dan fraktura; (2) gangguan pernapasan; (3) solusio plasenta; dan (4)
perdarahan otak.

Diagnosis
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda dan
gejala pre-eklampsia yang disusul oleh serangan kejangan seperti telah diuraikan, maka
diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian, eklampsia harus dibedakan
dari (1) epilepsi; dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil atau pada hamil-
muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada; (2) kejangan karena obat anestesia; apabila obat
anestesia lokal tersuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejangan; (3) koma karena sebab
lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis, dan Iain-lain.

Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan
bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi yang tersebut
di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan eklampsia.
1. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi
akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. Di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo 15,5% solusio plasenta disertai pre-eklampsia.
2. Hipofibrinogenemia. Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%
hipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar
fibrinogen secara berkala.
3. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini
merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal
hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan
ikterus tersebut.
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini
merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus
eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.
7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan
akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi
ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui
dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP. yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
9. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembeng-kakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain
yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejang-kejang
pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation).
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.

Prognosis
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta
korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui kematian ibu berkisar
antara 9,8% — 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2% — 48,9%.
Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di negara maju lebih kecil. Tingginya kematian ibu dan
anak di negara-negara yang kurang maju disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan
antenatal dan natal; penderita-penderita eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan
yang tepat. Kematian ibu biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensasio kordis
dengan edema paru-paru, payah-ginjal, dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernapasan
waktu kejangan.
Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterin dan prematuritas.
Berlawanan dengan yang sering diduga, pre-eklampsia dan eklampsia tidak
menyebabkan hipertensi menahun. Oleh penulis-penulis tersebut ditemukan bahwa pada
penderita yang mengalami eklampsia pada kehamilan pertama, frekuensi hipertensi 15 tahun
kemudian atau lebih tidak lebih tinggi daripada mereka yang hamil tanpa eklampsia.

Pencegahan
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi.
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas:
1) meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua
wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil-muda;
2) mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya segera
apabila ditemukan;
3) mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas
apabila setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat dihilangkan.
SINDROM HELLP

Diagnosis sindrom HELLP

Istilah sindrom HELLP digunakan untuk menjelaskan preeklampsia yang berhubungan


dengan hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung platelet yang rendah. Sindrom
ini dapat ditemukan pada 10% kehamilan dengan komplikasi preeklampsia berat.
Diagnosisnya tidak selalu jelas dan sindrom ini dapat disalah artikan sebagai keadaan medis
lainnya. Tiap pasien yang didiagnosa dengan sindrom HELLP harus dipertimbangkan
memiliki preeklampsia berat juga.
Pada beberapa kasus terjadi komplikasi yang lebih berat disertai mikroangiopatik
destruksi sel darah merah dan trombosit mikroangiopatik (platelet) dan disebutkan sindrom
HELLP yang terdiri dari:
1. Hemolisis eritrosit sehingga menimbulkan sisa hasilnya:
a. Meningkatnya retikulosit
b. Hemoglonemia
c. Hemoglobinuria
d. Schizositosis
e. Spherositosis
2. EL-elevated enzyme liver diantaranya:
a. Aspartate amniotransferase dalam serum darah.
3. LP-low platelet menurunnya sel platelet sehingga terjadi:
a. Makin meningkatnya tromboksan A2 yang menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah.
b. Terdapat makin meningkatnya kemungkinan perdarahan.

Sindrom ini dikemukakan oleh Weinstein 1982, untuk pertama kalinya dan sindrom
ini dinamakan menurut namanya.
Di masa lalu, kriteria diagnostik untuk sindrom HELLP bervariasi dan mengarah
kepada diagnosis yang inkonsisten. Kriteria yang lebih baru digunakan untuk menegakkan
diagnosis sindrom HELLP adalah yang dilaporkan oleh Sibai dan mencakup abnormalitas
laboratoris yang spesifik yang menunjukkan adanya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati,
dan hitung platelet yang rendah.
Kriteria sindrom HELLP adalah:
1. Hemolisisnya dalam bentuk:
a. Apus darah perifer yang abnormal.
b. Bilirubin total lebih dari 1,2 mg/dl.
c. Lactic dehydrogenase (LDH) lebih dari 600 U/L
2. Elevated liver functions.
a. Serum aspartate amniotransferase lebih 70 U/L.
b. Lactic dehydrogenase (LDH) lebih dari 600 U/L.
3. Low platelets.
a. Sel trombosit kurang dari 100.000 U/L.

Tampilan klinis dari pasien dengan sindrom HELLP adalah sangat bervariasi. Tetapi,
secara umum, pasien dengan HELLP adalah wanita multipara berkulit putih yang didiagnosa
pada usia kehamilan kurang dari 35 minggu. Gejala tipikal dari pasien ini terdiri dari keluhan
yang kurang jelas, yang lebih merancukan diagnosis. Sejumlah besar pasien akan memiliki
riwayat malaise beberapa hari sebelumnya. Keluhan lain termasuk nyeri epigastrum atau
kuadran kanan atas (67%), nausea atau vomitus (30%), dan keluhan mirip-sindrom viral
nonspesifik. Oleh karena itu, tiap wanita hamil dengan kecurigaan preeklampsia yang
memberikan keluhan seperti ini harus menjalani pemeriksaan, minimal hitung jenis darah
dengan hitung platelet dan kadar enzim hati.
Sibai menemukan bahwa mungkin hipertensi tidak ditemukan (20%), ringan (30%),
atau berat (50%) pada wanita yang didiagnosa dengan sindrom HELLP. Oleh karena itu,
diagnosis sindrom HELLP tidak harus disingkirkan pada pasien normotensif yang memiliki
tanda dan gejala lain yang konsisten dengan preeklampsia.

Diagnosis Diferensial Sindrom HELLP


Sindrom HELLP dapat dengan mudah disalah artikan dengan keadaan medis lain,
terutama pada pasien yang normotensif. Adalah penting untuk mewaspadai diagnosis
diferensial dari sindrom HELLP dan mampu membedakan keadaan ini dari yang lainnya.
Sejumlah diagnosis diferensial dapat ditemukan pada tabel dibawah.
Sindrom HELLP dapat dengan mudah disalah artikan dengan dua keadaan medis
secara spesifik, yaitu keadaan perlemakan hati akut pada kehamilan (acute fatty liver of
pregnancy) dan purpura trombositopenik trombotik-sindrom uremia hemolitik (thrombotic
thrombocytopenic purpura–hemolytic uremic syndrome) (TTP/HUS). Diferensiasi antara
ketiga entitas ini dilakukan terutama berdasarkan temuan laboratoris spesifik.
Menghadapi sindrom HELLP selalu harus waspada karena terdapat sejumlah penyakit
yang gejalanya mirip sebagai berikut.
1. Sering pada multipara.
2. Umur lebih dari 25-30 tahun.
3. Umur kehamilan kurang dari 36 minggu.
4. Keluhan yang menonjol adalah:
a. Nyeri epigastrium terutama sebelah kanan/daerah liver.
b. Terdapat mual dan muntah.
c. Seperti infeksi virus yang kurang khas, cepat lelah.
d. Berat badan bertambah dengan cepat.
e. Terdapat edema umum atau anasarka.
f. Tekanan diastole dapat kurang dari 90 mmHg.

Munculnya gejala yang tidak khas sering menimbulkan kesalahan diagnosis sehingga harus
dilakukan diferensial diagnosis dengan penyakit seperti yang tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyakit atau kelainan bedah yang mirip dengan sindrom HELLP.
Acute fatty liver
Apendisitis
Diabetes insipidus
Penyakit kandung empedu
Gastroenteritis
Glumerulonefritis
Ensefalopatihepatik
Hiperemesis gravidarum
Idiophatik trombositopenia
Batu ginjal
Ulkus peptikum
Pielonefritis
sistemik lupus eritromatosis
trombotik trombositopenia purpura
Hepatitis virus
HELLP = hemolysis, elevated liver enzymes, low platelets

Penatalaksanaan dan Komplikasi Sindrom HELLP

Pada sebuah studi tindak lanjut tidak teracak dari Memphis, Abramovici dkk. (1999)
membandingkan hasil akhir bayi yang dilahirkan antara usia 24 dan 36 minggu pada 133
wanita yang menderita sindrom HELLP dengan 136 wanita yang menderita preeklampsia
berat. Wanita dengan sindrom HELLP dibagi lagi menjadi mereka yang mengalami hemolisis
plus peningkatan enzim hati plus trombosit rendah dan mereka yang menderita sindrom
HELLP parsial yang didefinisikan sebagai adanya satu atau dua, namun bukan ketiga, temuan
laboratorium tersebut. Disimpulkan bahwa wanita dengan sindrom HELLP parsial, serta
mereka yang menderita preeklampsia berat, dapat ditangani dengan penatalaksanaan
menunggu. Mereka juga menyimpulkan bahwa hasil akhir pada bayi lebih berkaitan dengan
usia gestasi daripada hipertensinya sendiri. Seperti diperlihatkan pada Tabel 2, para wanita ini
memang mengalami hipertensi berat dan memperli-hatkan rerata tekanan darah diastolik 110
mmHg. Ciri pembeda pada mereka yang mengidap sindrom HELLP adalah hitung trombosit:
nilai rerata adalah 52.000/μl pada wanita dengan sindrom HELLP lengkap dibandingkan
dengan 113.000/μl pada mereka dengan sindrom HELLP parsial. Usia gestasi adalah sekitar 2
minggu lebih tua pada wanita dengan preeklampsia berat dibandingkan dengan mereka yang
menderita sindrom HELLP. Karena itu, hasil akhir pada neonatus, dari segi perlu tidaknya
ventilasi mekanis dan kematian neonatus, lebih baik pada wanita dengan preeklampsia berat.
Hambatan pertumbuhan janin tidak berkaitan dengan keparahan penyakit ibu dan sering
dijumpai di ketiga kelompok ini. Morbiditas ibu tidak dijelaskan. Namun, Witlin dkk. (2000)
kemudian melaporkan bahwa di Memphis hambatan pertumbuhan pada para bayi seperti itu
merugikan kelangsungan hidup bayi. Yang terpenting, median waktu antara pasien masuk
dan lahirnya bayi adalah 0,1, dan 2 hari masing-masing untuk wanita dengan sindrom
HELLP, sindrom HELLP parsial, atau preeklampsia berat.
Secara keseluruhan, ketiga penelitian di atas membutuhkan komentar mengenai klaim
berulang bahwa penatalaksanaan menunggu pada preeklampsia berat dan sindrom HELLP
parsial tersebut bermanfaat. Pertama, pada penatalaksanaan menunggu, interval dari rawat
inap sampai melahirkan di rumah sakit mereka sangat singkat, terutama pada kehamilan yang
diklaim menunjukkan efektivitas dan keamanan penatalaksanaan menunggu. Kedua,
mungkin, atau bahkan sangat mungkin, bahwa perbedaan usia gestasi antara preeklampsia
berat dan sindrom HELLP berkaitan dengan waktu awitan penyakit itu sendiri. Yaitu,
sindrom HELLP mungkin timbul lebih awal pada kehamilan daripada preeklampsia berat.
Ketiga, hambatan pertumbuhan janin banyak dijumpai pada wanita dengan penyakit yang
berat dan merugikan kelangsungan hidup bayi, yang tidak membaik oleh keparahan penyakit
ibu. Yang terakhir, dan terpenting, para penulis tersebut mengabaikan bahwa alasan
terpenting untuk menghentikan kehamilan dengan preeklampsia berat adalah keselamatan
ibu. Hasil-hasil di Tabel 2 jelas memastikan bahwa preeklampsia berat membahayakan

prognosis janin. Sebaliknya, data-data di Tabel 2 tidak membuktikan bahwa penatalaksanaan


menunggu bermanfaat bagi ibu.
Visser dan Wallenburg (1995) membandingkan hasil akhir penatalaksanaan
menunggu pada 256 wanita dengan preeklampsia berat sebelum 34 minggu. Separuh wanita
ini mengidap sindrom HELLP dan separuh lainnya menderita preeklampsia berat. Mereka
berhasil memperpanjang masa kehamilan pada kedua kelompok selama 10 sampai 14 hari,
tetapi 5 persen kasus mengalami solusio plasenta dan tiga wanita terserang eklampsia.
Hall dkk. (2000) menangani 360 kasus preeklampsia berat dengan preeklampsia
awitan dini— sebelum 34 minggu—dengan pengamatan cermat dan pengendalian tekanan
darah. Walaupun para wanita ini memperoleh perpanjangan masa kehamilan rerata 11 hari,
seperempat menderita penyulit besar—20 persen mengalami solusio plasentae, 2 persen
edema paru, dan 1,2 persen eklampsia. Laporan-laporan seperti yang baru dikutip ini
berfungsi menekankan bahwa dokter perlu memperhatikan keselamatan ibu pada kasus
hipertensi berat akibat kehamilan sebelum aterm. Kami enggan menganjurkan
penatalaksanaan menunggu bagi wanita dengan hipertensi berat yang menetap atau kelainan
hematologis, otak, atau hati yang signifikan akibat preeklampsia. Di Parkland Hospital, para
wanita ini tidak ditangani dengan penatalaksanaan menunggu.
Tabel 2. Hasil Penatalaksanaan Menunggu pada Preeklampsia Berat atau Sindrom HELLP
sebelum aterm.
Sindro Sindrom HELLP Preeklamsia
m
HELLP Parsial* Berat
Hasll Akhir (n = 68) (n = 65) (n = 136)
TD Diastolik, mmHg (rerata± SD) 109 + 16 110 + 15 110 + 15
Hitung trombosit (set/μl + SD) 52 + 21 113 + 56 199 + 61
Usia gestasi saat pelahiran (minggu, rerata ± SD) 31+3,2 31 ± 3,3 33 + 3
Ventiiasi mekanis pada bayi 50% 40% 28%
Kematian neonatus 7% 8% 4%
Pertumbuhan janin terhambat 28% 31% 22%
Diagnosis-sampai-melahirkan (median hari) 0 1 2

Evaluasi awal terhadap wanita yang didiagnosa dengan sindrom HELLP harus
dilakukan seperti pada preeklampsia berat. Pasien harus dirawat di pusat perawatan tersier.
Penatalaksanaan awal harus mencakup penilaian maternal dan fetal, pengendalian hipertensi
berat, jika ada, inisiasi infus MgSO 4, koreksi koagulopati, jika ada, dan stabilisasi maternal.
Komplikasi sindrom HELLP yang berpotensi mengancam jiwa adalah sebuah hematoma
hepar subkapsuler. Jika terdapat kecurigaan yang tinggi terhadap keberadaan hematoma
hepar subkapsuler yang tinggi, maka sebaiknya dilanjutkan dengan melakukan computed
tomography scan.
Terapi dari sindrom HELLP bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kondisi umum penderita minimal stabil.
2. Menghindari lebih jauh gangguan koagulasi darah.
3. Meningkatkan kesejahteraan janin dalam uterus.
4. Persalinan sebaiknya segera dilaksanakan:
a. Bergantung pada umur kehamilan.
b. Lakukan induksi persalinan.
c. Bila serviks tidak matang atau terdapat pertimbangan lainnya dapat
dilakukan seksio sesarea.
Persalinan dengan segera harus dilakukan jika usia kehamilan pasien > 34 minggu.
Pada pasien kurang dari 34 minggu dan tanpa adanya bukti maturitas paru-paru janin, maka
sebaiknya diberikan glukokortikoid untuk kepentingan janin dan persalinan direncanakan
dalam waktu 48 jam, jika tidak ada perburukan dalam status maternal dan fetal. Berbagai
penelitian telah dilakukan terhadap penggunaan steroid, volume expander, plasmaferesis, dan
agen antitrombotik terhadap pasien dengan HELLP untuk mencoba memperpanjang usia
gestasi. Penelitian-penelitian tersebut hanya menunjukkan hasil yang marjinal. Terdapat
beberapa bukti manfaat terapi steroid untuk perbaikan kondisi maternal. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dkk., penggunaan glukokortikoid antepartum
menunjukkan adanya perpanjangan latensi yang tergantung-dosis, reduksi abnormalitas
enzim hati, dan perbaikan dalam hitung platelet pada pasien dengan sindromn HELLP.
Penatalaksanaan konservatif sindrom HELLP memiliki resiko yang signifikan, termasuk
abruptio plasenta, edema pulmoner, adult respiratory distress syndrome (ARDS), ruptur
hematoma hepar, gagal ginjal akut, disseminated intravascular coagulation (DIC),
eklampsia, hemoragia intraserebral, dan kematian ibu. Maka tidak diperlukan
penatalaksanaan lebih dari 48 jam setelah pemberian glukokortikoid untuk kemungkinan
manfaat bagi janin yang minimal ketika dibandingkan dengan resiko maternal yang berat.
Dalam upaya meningkatkan kematangan paru janin, glukokortikoid diberikan kepada
wanita hamil yang jauh dari aterm dengan hipertensi berat. Terapi ini tampaknya tidak
memperparah hipertensi ibu, dan diklaim dapat menurunkan insiden gawat napas dan
memperbaiki kelangsungan hidup janin. Thiagarajah dkk. (1984) merupakan orang-orang
pertama yang menyatakan bahwa glukokortikoid juga mungkin berperan dalam pengobatan
kelainan laboratorium pada sindrom HELLP. Tompkins dan Thiagarajah (1999) baru-baru ini
melaporkan bahwa glukokortikoid menimbulkan perbaikan yang signifikan namun transien
pada kelainan hematologis pada sindrom HELLP yang didiagnosis pada 52 wanita dengan
usia kehamilan antara 24 dan 34 minggu. Walaupun hitung trombosit meningkat dengan rata-
rata 23.000/ul, efek ini berlangsung singkat dan hitung trombosit menurun dengan rata-rata
sebesar 46.000/ul dalam 48 jam setelah selesainya pemberian regimen glukokortikoid. Yang
utama, hanya sebagian kecil wanita yang diteliti ini yang memperlihatkan hitung trombosit
kurang dari 100.000/ul sebelum terapi glukokortikoid sehingga efektivitas terapi ini belum
diuji secara luas pada wanita dengan kelainan hematologis yang lebih parah.
Salah satu interpretasi laporan-laporan ini ada-lah bahwa pemberian glukokortikoid
secara spesifik untuk kelainan hematologis akibat preeklampsia berat tidak akan secara
bermakna menunda keharusan untuk melahirkan janin. Hampir dapat dipastikan bahwa dari
laporan-laporan ini tidak dapat disimpulkan bahwa pemberian glukokortikoid dapat secara
bermakna menunda persalinan pada wanita dengan kelainan laboratorium yang berat.
Pasien dengan serviks yang baik dan memiliki diagnosis sindrom HELLP sebaiknya
menjalani persalinan percobaan (trial of labor), terutama jika mereka tiba dalam keadaan
inpartu. Sindrom HELLP tidak secara otomatis mengharuskan dilakukannya seksio sesarea.
Sebuah persalinan operatif dalam beberapa keadaan bahkan dapat berbahaya. Semua pasien
dengan serviks yang baik, tanpa memandang usia gestasi, sebaiknya menjalani induksi
persalinan baik dengan oksitosin atau prostaglandin. Seksio sesarea elektif harus
dipertimbangkan pada pasien dengan usia gestasi sangat rendah dan memiliki serviks yang
tidak baik. Paradigma penatalaksanaan akan disajikan pada tabel dibawah untuk pasien yang
menjalani seksio sesarea.
Penatalaksanaan nyeri pada pasien dengan sindrom HELLP selama persalinan harus
didiskusikan antara ahli obstetri dan ahli anestesi. Ahli anestesi harus mengetahui keadaan
pasien karena adanya kemungkinan edema laringeal dan kesulitan melakukan intubasi atau
ekstubasi. Biasanya keputusan untuk menggunakan anestesia epidural atau tidak adalah hak
ahli anestesi. Anestesia regional sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
hitung platelet yang cukup rendah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dkk.
mendukung penggunaan glukokortikoid untuk memperbaiki hitung platelet dan agar dapat
lebih leluasa menggunakan anestesia regional pada pasien dengan sindrom HELLP. Ahli
anestesi harus selalu diberi kabar mengenai tren hitung platelet pada pasien dengan HELLP.
Narkotika intravena dapat diberikan agar dapat mencapai analgesia. Infiltrasi lokal dapat
digunakan tanpa pertimbangan selama persalinan per vaginam dan perbaikan perineum. Blok
pudendal harus dihindari karena adanya potensi perdarahan yang tidak diketahui di daerah
ini.
Jika pasien dengan sindrom HELLP memerlukan persalinan per abdominam, harus
dilakukan dengan hati-hati untuk meminimalisir efek samping yang mungkin terjadi.
Transfusi platelet setidaknya 5 hingga 10 unit harus dilakukan dalam perjalanan menuju
ruang operasi pada pasien dnegan trombositopenia. Konsumsi platelet adalah cepat pada
transfusi platelet, dan efeknya sementara atau temporer. Pertimbangan intraoperatif harus
mencakup penempatan drain, baik subfasial, subkutaneus, atau keduanya, karena
kemungkinan terjadinya oozing. Pemilihan insisi kulit harus dilakukan sepenuhnya
berdasarkan penilaian klinis terbaik dokter yang melakukan pembedahan. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Briggs dkk., pasien dengan sindrom HELLP yang menjalani
seksio sesarea dievaluasi terhadap adanya komplikasi luka. Tidak ditemukan adanya
perbedaan secara statistik antara insisi midline versus Pfannenstiel, baik dengan penutupan
primer atau tertunda.
Dalam melakukan persiapan tindakan operasi persalinan pada sindrom HELLP harus
memperhatikan bahwa tendensi perdarahan selalu mengancam sehingga pemeriksaan tentang
profil darah khususnya trombosit:
1. Persiapan sebelum operasi.
a. Lakukan transfusi trombosit sebelum dan sesudah operasi bila trombosit
kurang dari 10.000/mm.
b. Transfusi 6-10 unit trombosit bila jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm.
2. Untuk menghindari hematoma-rembesan perdarahan.
a. Pemasangan drainase sehingga darah dapat keluar melalui drain.
b. Perawatan luka terbuka, untuk menghindari hematoma.
3. Pengawasan pasca operasi.
a. Intensif unit care, untuk melakukan evaluasi organ dan gejala vital.
b. Sekitar 30 % sindrom HELLP terjadi post partum operasi.
c. Umumnya gejala akan berkurang setelah 72 jam sehingga pengobatan masih
perlu dalam waktu 24 jam pascapartum.
4. Komplikasi yang sering terjadi:
a. Edema pulmonum.
b. Dekompensasio kordis.
c. Kegagalan ginjal.

Dengan demikian observasi yang ketat perlu dilakukan sehingga gejala utama yang
makin memburuk segera dapat diketahui, untuk persiapan tindakan lebih lanjut.

Tabel 3. Penatalaksanaan perioperatif pasien dengan sindrom HELLP yang memerlukan


seksio sesarea
1. Pengendalian hipertensi berat
2. Inisiasi infus magnesium sulfat intravena
3. Glukokortikoid untuk 24 – 48 jam untuk manfaat
janin jika usia kehamilan <34 minggu
4. Anestesia umum untuk hitung platelet < 75.000/mm3
5. Platelet 5 – 10 unit sebelum pembedahan jika hitung
platelet < 50.000/mm3
6. Membiarkan peritoneum vesikouterina terbuka
7. Drainase subfasia
8. Penutupan sekunder terhadap insisi kulit atau
drainase subkutaneus
9. Transfusi postoperatif sesuai keperluan
10. Pengawasan intensif selama setidaknya 48 jam
postpartum

Komplikasi sindrom HELLP lainnya yang berpotensi mengancam nyawa adalah


hematoma hepar subkapsuler. Temuan klinis konsisten dengan hematoma subkapsuler
termasuk pemeriksaan fisik dengan iritasi peritoneal dan hepatomegali dan nyeri alih dari
nervus frenikus. Nyeri pada perikardium, peritoneum, pleura, bahu, kandung empedu,
esofagus merupakan konsisten dengan nyeri alih dari nervus frenikus. Konfirmasi diagnosis
dapat dilakukan dengan menggunakan computed tomography, ultrasonografi, atau magnetic
resonance imaging. Penatalaksanaan konservatif pada pasien yang stabil secara hemodinamis
dengan hematoma subkapsuler yang tidak ruptur merupakan rencana yang tepat, dengan
syarat dilakukan pengawasan hemodinamik yang ketat, evaluasi serial profil koagulasi, dan
evaluasi serial status hematoma dengan cara pemeriksaan radiologis. Jika pada pasien terjadi
dekompensasi hemodinamis, harus dipertimbangkan diagnosis ruptur hematoma subkapsuler.
Jenis komplikasi sindrom HELLP antara lain:
1. Solusio plasentae
2. Gagal ginjal
3. Asites
4. Kemungkinan ruptura dari liver

Komplikasi yang terlambat didiagnosis dan terlambat mencapai tingkat pelayanan


lanjut dapat menimbulkan kematian. Kematian perinatal dapat disebabkan oleh :
1. Solusio plasentae.
2. Asfiksia intrauterine yang berat.
3. Intrauterine growth retardation.
4. Persalinan prematuritas.

Jika dicurigai adanya ruptur dari hematoma hepar subkapsuler, diperlukan intervensi
dengan segera. Ruptur hematoma hepar dengan syok hemodinamik merupakan kegawat
daruratan bedah yang mengancam nyawa. Perawatan dari titik ini adalah pendekatan
multidisipliner dan harus melibatkan ahli bedah umum dan ahli bedah vaskuler untuk
melakukan laparotomi. Terlebih lagi, koreksi koagulopati dan transfusi produk darah secara
masif adalah esensial. Ruptur tersebut biasanya melibatkan lobus kanan hepar. Mortalitas
maternal dan fetal adalah lebih dari 50% dengan intervensi yang segera. Rekomendasi yang
terdapat dalam literatur untuk hematoma hepar subkapsuler dalam kehamilan adalah packing
dan drainase. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Smith dkk., tingkat keselamatan secara
keseluruhan adalah 82% dengan menggunakan metode ini.
Penatalaksanaan postpartum terhadap pasien dengan HELLP sebaiknya mencakup
pengawasan hemodinamik yang ketat selama setidaknya 48 jam. Evaluasi laboratoris serial
harus dilakukan untuk memonitor perburukan abnormalitas. Kebanyakan pasien akan
menunjukkan pembalikan yang lebih cepat dalam abnormalitas laboratoris dengan melakukan
pertukaran plasma dan steroid postpartum

Tabel 4. Penunjukkan tatalaksana sindrom HELLP antepartum.


TENTUKAN DAN STABILKAN KONDISI ANTEPARTUM
• Bila terjadi DIC koreksi kelainan koagulasinya
• Berikan serangan mendadak dengan memberikan MgSO4
• obati hipertensinya yang berat
• Lakukan referral ketempat yang dapat mengatasinya
• Lakukan USG atau CT scan bila dicurigai hematoma liver
EVALUASI KESEJAHTERAAN JANINNYA
• Lakukan NST (Nonstress Test)
• Lakukan profil biofisiknya
• USG biometri
EVALUASI KEMATANGAN PARU BILA UMUR HAMIL< 35 MINGGU
• Bila mature terminasi hamilnya
• Bila belum berikan steroid diikuti persalinan
MgSO4 = magnesium sulfat
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Williams
Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw-Hill, 2007
Goodnight SH, Hathaway WE. Disorders of Hemostasis and Thrombosis: A Clinical Guide.
2nd ed. New York: McGraw-Hill, 2001: 234
Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC,
2007: 417-419
Scott JR, Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF. Danforth’s Obstetrics and Gynecology. 9th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007: 22
Wibowo B, Rachimhadhi T. Pre-eklampsia dan Eklampsia. Dalam: Wiknjosastro H,
Saifuddin AB, Rachimhadhi T, ed. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2002: 295-298

Anda mungkin juga menyukai