Anda di halaman 1dari 18

USHUL FIQIH

Disampaikan Oleh:
Gatot Pujo Nugroho

Definisi Ushul Fiqih


Secara Bahasa Secara Istilah
Definisi Ushul Fiqih secara bahasa Mengetahui dalil-dalil Fiqih secara
adalah ilmu yang membahas tentang global; tata cara menggalinya: dan
dalil-dalil Fiqih keadaan (prasyarat) orang
yang menggalinya.

Tujuan Mempelajari Ushul Fiqih


1. Tujuan Historis
Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqih, kita dapat mengetahui sumber-sumber hukum,
metode-metode istinbath (penggalian hukum) dan konklusi hukum syariat yang
diperoleh fuqaha' yang berijtihad dengan pengetahuan yang mendalam.
2. Manfaat Teoretis dan Praktis
Bagi mujtahid, mempelajari Ushul Fiqih dapat menghasilkan kemampuan untuk
beristinbath hukum dari dalil-dalil; sedangkan bagi muqallid, mempelajari Ushul
Fiqih bermanfaat untuk mengetahui sumber pijakan para mujtahid terkait suatu
hukum, sehingga membuat muqallid tersebut merasa tenang. Ketenangan hati inilah
yang memotivasinya untuk beramal dan mentaati hukum-hukum syariat yang
merupakan kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Manfaat dalam Konteks Ijtihad
Ilmu Ushul Fiqih membantu mujtahid dalam penggalian hukum. Belajar ilmu Ushul
Fiqih berarti membekali para peneliti dengan alat-alat untuk melakukan tarjih dan
takhrij terhadap pendapat-pendapat fuqaha' masa lampau; atau menghasilkan
hukum-hukum syariat yang dibutuhkan umat muslim secara individu maupun
kolektif; karena nash-nash al-Qur'an dan al-Sunnah terbatas, sedangkan peristiwa-
peristiwa baru tidak terbatas. Oleh karena itu, hanya ijtihad yang dapat menjadi solusi
atas hal tersebut. Sedangkan ijtihad tidak mungkin tanpa pengetahuan kaidah-kaidah
Ushul fiqih.

1
4. Tujuan dalam Kontes Komparasi Mazhab
Perbandingan mazhab sangat penting pada masa sekarang ini. Melalui Ushul Fiqih,
seseorang dapat melakukan komparasi antara dalil-dalil mazhab yang dianut dengan
mazhab lainnya. Dengan demikian, dapat diketahui alasan-alasan perbedaan mazhab;
dapat melakukan pentarjiban mazhab; dan sebagainya.
5. Tujuan Religius
Ilmu Ushul Fiqih merupakan jalan untuk mengikat hukum-hukum syariat dan dalil-
dalilnya, sehingga memotivasi orang mukallaf untuk melaksanakan kewajiban
(taklif) dan perintah agama. Oleh sebab itu, Ushuliyyun (ulama Ushul Fiqih) berkata:
"Manfaat Ushul Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum Allah SWT yang
merupakan sebab kebahagiaan religius (ukhrawi) dan duniawi".
Sesungguhnya Ushul Fiqih merupakan ilmu yang bersifat niscaya atau sangat penting
(ُ‫وريَّة‬ ْ bagi setiap mujtahid, mufti dan setiap pencari ilmu yang ingin
ِ ‫)العُلُو ُم الض َُّر‬
mengetahui tata cara beristinbath hukum. Sedangkan yang tidak membutuhkan ilmu
Ushul Fiqih adalah orang-orang awam yang cukup menerima fatwa-fatwa Fiqih,
tanpa perlu mencari tahu dalil-dalilnya. Hanya saja, tidak semua orang rela
menempati posisi sebagai orang awam tersebut.
Orang yang berilmu adalah orang yang tidak cukup hanya menerima hukum dari
imam-imam dan menerima begitu saja, melainkan dia akan berusaha untuk mencari
dalil-dalil setiap hukum. Kemudian dia berusaha untuk melakukan ijtihad agar dapat
mengetahui hukum-hukum terkait peristiwa-peristiwa aktual yang
terjadi di sekitarnya.

Tingkatan Pengetahuan Manusia


َّ‫ك فُب َهاُال ْ َم ْطلوبُُا ِنْك َشافًاُتَامُا‬َ َْ ٌَ ْ ْ
ِ‫صفةُين ش‬ ِ ُ ُ‫العِلم‬
Pertama Yakin
ِ ِ :
(al i’lm)
Ilmu adalah memahami suatu materi secara sempurna.
َّ ْ ْ َ َ ْ َ ْ
Kedua Tidak tahu ْ‫الّش‬
ُ ِ ‫اْلهلُ ُعدمُالعِل ِمُب‬
:
(al-jahl)
Jahl adalah tidak memiliki pengetahuan
terkait suatu materi.
ْ َ َْْ ََ َّ َ ْ ُ:ُ‫الظن‬
َّ
Ketiga Dugaan
‫ن‬
ُِ ‫ُِلحدُِاِلمري‬
ِ ‫جح‬
ِ ‫اإلدراكُالرا‬
ِ
(al zhan)
Zhan adalah persepsi yang lebih kuat (cukup yakin) terkait
suatu materi.

2
ْ َ َْْ ََ ْ َ ْ َْ َ ْ
Keempat Salah
sangka
‫ن‬
ُِ ‫ُِلحدُِاِلمري‬
ِ ‫ُاإلدراكُالمرجوح‬
ِ ‫الوهم‬
(al-wahm) Wahm adalah persepsi yang lebih lemah (kurang yakin)
terkait suatu materi.
ْ َ َْْ ََ َ ْ ْ َْ َّ
Kelima Ragu-ragu
(al-syak)
‫ن‬
ُِ ‫يُِلحدُِاِلمري‬
ِ ِ‫اإلدراكُالمستو‬
ِ ُ : ‫ك‬
ُ ‫الش‬
Syak adalah persepsi yang seimbang (ragu-ragu)
terkait suatu materi.

Hukum Taklifi
Wajib Yaitu hukum yang dituntut secara tegas oleh Syariat Islam agar
dikerjakan oleh seorang mukallaf. Oleh sebab itu, orang yang
mengerjakannya dipuji (diberi pahala), sedangkan orang yang
meninggalkannya dicela (disiksa).
Contoh: Perintah puasa Ramadhan dalam Surat al-Baqarah [2]: 183
َ ْ ََ َ َ َ َّ َ ُّ َ َ
‫ام‬
ُ ‫ُالصي‬
ِ ‫ياُأيهاُاَّلِينُآمنواُكتِبُعليكم‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa (Q.S.
al-Baqarah (2): 183)
Sunnah Yaitu hukum yang dituntut secara tidak tegas oleh Syariat Islam agar
dikerjakan oleh seorang mukallaf. Oleh sebab itu, orang yang
mengerjakannya dipuji (diberi pahala), sedangkan orang yang
meninggalkannya tidak dicela (tidak disiksa/tidak berdosa).
Misalnya: Perintah bersiwak dalam Hadis Bukhari
َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ َّ َّ َ َّ َ َ َّ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ
َ ْ َ
ُ ‫عنُأ ِِبُهريرةُر ِِضُاهللُعنهُأنُرسولُاهللُِصَّلُاهللُعليهُِوسلمُق‬
ُ:‫ال‬
َ ‫ُص ََل ٍة‬
َ‫ُرو ُاه‬ َ ‫ُم َعُك‬ َّ ‫ُلَعُأ َّمِت َُِلَ َم ْرته ْمُب‬
َ ِ‫الس َواك‬ َ َ َّ َ ْ َ ْ َ
‫لوالُأنُأشق‬
ِ ِ ِ
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Seandainya aku tidak memberatkan kepada umatku, niscaya aku akan
memerintahkan mereka untuk bersiwak dalam setiap
shalat". (H.R. Bukhari)
Mubah Yaitu hukum yang diperkenankan memilih oleh Syariat Islam agar
dikerjakan atau ditinggalkan oleh seorang mukallaf. Oleh sebab itu,
orang yang melakukan maupun yang meninggalkan, sama-sama tidak
mendapatkan pujian (pahala) maupun celaan (siksa).
Misalnya: Kebolehan mengonsumsi makanan yang thayyib (baik) dalam
Surat al- Ma'idah [5]: 4

3
َ َّ َ َّ ْ ْ َ َّ َ َ َ َ َ ْ َ
ُ‫يسألونكُماذاُأحِلُلهمُقلُأحِلُلكمُالطيِبات‬
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad): "Apakah yang
dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang
baik-baik". (Q.S. al-Ma'idah [5]: 4).
Makruh Yaitu hukum yang dituntut secara tidak tegas oleh Syariat Islam agar
ditinggalkan oleh seorang mukallaf. Oleh sebab itu, orang yang
meninggalkannya dipuji (diberi pahala), sedangkan orang yang
melakukannya tidak dicela (tidak disiksa).
Misalnya: Larangan banyak omong dalam Hadis Bukhari
َّ َ ْ َ َ َّ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ َّ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ ‫بُم َعاويَةُإ ََلُالْم ِغ‬
ْ ‫رية ُِب‬ َ ‫َك َت‬
ُ.‫ُِو َسل َُم‬ ‫ُصَّلُاهللُع ُليه‬ ‫ب‬
ِِ ‫ُانل‬ ‫ِن‬ ‫م‬ ُ ‫ه‬ ‫ت‬ ‫ع‬ ‫م‬
ِ ‫ُس‬ ‫ء‬
ٍ ‫ّش‬ ِ ‫ُب‬ ‫َل‬ ِ ‫إ‬ ُ ‫ب‬ ‫ت‬ ‫ُاك‬ ‫ن‬ِ ‫ُأ‬‫ة‬ ‫ب‬ ‫ع‬ ‫ُش‬ ‫ن‬
ِ ِ ِ
ََ َ َ َ َ َ ً َ َ ْ َ َ َ َ َّ َّ َّ َ َ ْ َ َ َّ َّ َ َّ َّ َ ‫بُإ ََلْه‬َ ََ َ
ُ‫اع ُة‬
ُ ‫الُُِإَوض‬ ُ ‫ُإِنُاهللُك ِرهُلكمُثَلثاُقِيلُوق‬:ُ‫ُِس ِم ْعتُانل ِبُصَّلُاهللُعليهُِوسلمُيقول‬
َ َ
ِ ‫فك ت‬
َ ْ َ ‫ُالس َؤال‬
ُّ َ‫ُثة‬ َ ‫)ال ْ َما ُلُُ َو َك‬.
ُُّ ِ‫ُر َواهُاْلخار‬
‫ي‬ ِ ِ
Mu'awiyyah mengirim surat kepada al-Mughirah ibn Syu'bah,
'Tulislah kepadaku sesuatu yang pernah engkau dengar dari Nabi
SAW. Lalu al-Mughirah menulis kepada Mu'awiyyah, 'Saya mendengar
Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah membenci tiga hal atas
kalian: "Banyak omong, menyia-nyiakan harta, dan banyak
bertanya. (H.R. Bukhari).
Haram Yaitu hukum yang dituntut secara tegas oleh Syariat Islam agar
ditinggalkan oleh seorang mukallaf. Oleh sebab itu, orang yang
meninggalkannya dipuji (diberi pahala), sedangkan orang yang
melakukannya dicela (disiksa).
Misalnya: Larangan riba
َ َ َّ َ َ َ ْ َ ْ َّ َّ َ َ َ
)٢٧٥ُ:‫ُالرياُ(اْلقرة‬
ِ ‫وأحلُاهللُاْليعُوحرم‬.
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
(Q.S. al-Baqarah [2]: 275).

Materi Ushul Fiqih


Tema ke-1
AMAR (PERINTAH)
Definisi Amar (Perintah)
َ َْْ َ َْ َْ َ ْ ْ َ َ َ َ َْْ
ُ‫ُوهوُطلبُالفِع ِلُمِنُاِللَعُإَِلُاِلدن‬:ُ‫اِلمر‬
Amar (perintah) adalah permintaan untuk melakukan suatu perbuatan dari atasan
kepada bawahan.
4
Kaidah-Kaidah dalam Amar

Kaidah ke-1
َ ََ َّ َّ َ َ َّ ْ َْ ْ َ
ِ‫وبُإِالُماُدلُادل َِللُلَعُخَِلفِه‬
ُِ ‫ُِفُاِلم ِرُل ِلوج‬
ِ ‫اِلصل‬
Pada dasarnya (menurut makna ashal), perintah itu menunjukkan makna wajib,
kecuali ada dalil yang menunjukkan makna lainnya.
Contoh: Kewajiban shalat lima waktu dan zakat berdasarkan firman Allah SWT
dalam Surat al-Nisa’ [4]: 77
َّ ‫ُو َأت‬
َُ‫واُالز ََكة‬ َ َ‫واُالص ََلة‬
َّ ََ
‫وأقِيم‬
Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (QS al-Nisa’ [4]: 77).

Kaidah ke-2
َ ََ َّ َّ َ َ َّ َ َ َ َْ َ َْ ْ َ
ِ‫ارُُُإِالُماُدلُادل َِللُلَعُخَِلفِه‬
ُ ‫كر‬
ُ ِ‫ل‬
ُ ‫ُالُيقت ِِضُا‬
ُ ‫اِلصلُِفُاِلم ِر‬
Pada dasarnya, perintah itu tidak menuntut pengulangan, kecuali ada dalil yang
menunjukkan keharusan mengulang.
Contoh: Kewajiban haji dan umrah berlaku satu kali dalam seumur hidup,
berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat al-Baqarah [2]: 196
َّ َ َ ْ ْ َ َّ َ ْ ََ
ُِ‫ُهلل‬
ِ ‫وأت ِمواُاْلجُوالعمرة‬
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah (QS al-Baqarah: 196).

Kaidah ke-3
َ ْ َْ ْ ْ ْ َ ْ ْ َ َ َ ْ َّ َ َ ْ َ ْ َ َْ َ َْ ْ َ
ُ‫اص‬
ِ ‫ريُاختِص‬
ِ ‫ُِلُنُالغرضُمِنهُإِْيادُالفِع ِلُمِنُغ‬ ِ ‫ُالُيقت ِِضُالفور‬
ُ ‫اِلم ِر‬
ُ ُ‫ِف‬
ُِ ُُ‫صل‬
ُ ‫اِل‬ُ
َّ َ َّ َ َّ َْ َ َّ
ُ‫ان‬
ِ ‫انُاثل‬
ِ ‫انُاِلو ِلُدونُالزم‬ِ ‫بِالزم‬
Pada dasarnya, perintah tidak menuntut untuk segera dikerjakan. Karena tujuan
perintah adalah terlaksananya suatu perintah, tanpa menentukan waktu
pengerjaannya, entah dilakukan pada waktu pertama maupun waktu kedua.
Contoh: Shalat Isya’ bisa dikerjakan di awal waktu, tengah waktu, maupun di akhir
waktu.

Kaidah ke-4
َ ْ َ َّ ْ َ
َ ٌ ْ ِ ‫اِلمرُب‬
.ِ‫الّشُأمرُبِوسائِل ِ ُه‬
Perintah terhadap sesuatu berarti perintah terhadap media- media perantaranya.
Contoh: Perintah shalat berarti menunjukkan perintah bersuci yang menjadi
perantaranya (wudhu, tayammum maupun mandi besar).

5
Kaidah ke-5
ْ َ ٌ ْ َ ْ َّ ْ َ َ
ِ ُ‫ُض ُِده‬
ِ ‫هُعن‬ ُ ‫ئُن‬ِ ‫ِل ُمرُبِالشي‬
ُ ‫ُا‬
Perintah terhadap sesuatu, berarti larangan terhadap sesuatu yang berlawanan
dengannya.
Contoh: Perintah bertutur kata yang baik kepada manusia, berarti larangan bertutur
kata yang buruk kepada mereka, sebagaimana firman Allah SWT dalam
Surat al-Baqarah [2]: 83
‫اسُح ْس ًنا‬ َّ ‫َوقولواُل‬
ِ ‫ِلن‬
Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia (QS al-Baqarah [2]: 83).

Kaidah ke-6
ُْ‫ُِاِلَمر‬
ْ َْ ْ َ ْ ْ َْ ْ ََ ْ ْ َ َ
‫ة‬‫د‬ ‫ه‬ ‫ُع‬ ‫ن‬‫ُع‬‫ور‬ ‫م‬ ‫أ‬ َ
‫م‬ ‫ُال‬‫ج‬ ‫ر‬ ‫َي‬ ُُِ ُ
‫ه‬ ‫ه‬ ‫ج‬ َ
‫ُو‬‫ُِلَع‬ ‫ه‬ ‫ب‬ُ‫ور‬ ‫م‬ ‫أ‬ َ ‫إذاُف ِعلُال‬
‫م‬
ِ ِ ِ ِ
Jika sesuatu yang diperintahkan sudah dikerjakan sebagaimana mestinya, maka
orang yang diperintah sudah bebas dari tuntutan perintah.
Contoh: Apabila seseorang tidak menemukan air, kemudian dia bertayammum dan
mendirikan shalat; maka orang itu sudah terbebas dari tuntutan perintah.
Jadi, tiada kewajiban qadha’ shalat baginya, ketika dia menemukan air.

Tema ke-2
NAHY (LARANGAN)
Definisi Nahy (Larangan)
َ َْْ َ َْ َْ َ ْ َّ َ َ َ َ ْ َّ
ُ ‫ُوهوُطلبُالَّتكِ ُمِنُاِللَعُإَِلُاِلد‬:‫ه‬
‫ن‬ ُ ‫انل‬
Nahy adalah permintaan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari atasan kepada
bawahan.

Kaidah-Kaidah dalam Nahy:

Kaidah ke-1
َ ََ َّ َّ َ َ َّ ْ ْ َّ ْ َّ ْ َ
ِ‫الُماُدلُادل َِللُلَعُخَِلفِه‬
ُ ِ ‫هُل ِلتح ِر ُي ِمُُُُإ‬
ُِ ‫ِفُانل‬
ُِ ُُ‫صل‬
ُ ‫اِل‬ُ
Pada dasarnya (menurut makna ashal), larangan itu menunjukkan hukum haram,
kecuali ada dalil yang menunjukkan makna lainnya.
Contoh: Larangan berbuat kerusakan di muka bumi berdasarkan Surat al-A’raf: 56
َ َ ْ ََْ َْْ ْ ََ
ُ‫واُِفُاِلر ِضُبعدُإِصَلحِها‬
ِ ‫ِد‬
‫س‬ ‫ف‬ ‫والُت‬

6
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya (QS al-A’raf [7]: 56).

Kaidah ke-2
ْ َ ْ َّ َ ‫انلَّ ْه‬
ِ ُ‫ض ِده‬
ِ ِ ‫ب‬ُ‫ر‬ٌ ‫م‬ ‫أ‬ُ‫ئ‬ ‫ي‬ ‫ُالش‬ ‫ن‬ ‫ُع‬
ِ
Larangan terhadap suatu bal, berarti perintah untuk melakukan sesuatu yang menjadi
kebalikannya.
Contoh: Larangan memakan harta secara batil (haram), berarti perintah memakan
harta secara haq (halal); berdasarkan Firman Allah SWT dalam Surat al-
Baqarah [2]: 188
ْ ْ ََْ ْ َ َ َْ َْ َ
ُ‫َوالُتأكلواُأموالكمُبينكمُبِاْلاط ِِل‬
َ
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil (QS al-Baqarah [2]: 188).

Kaidah ke-3
َِ َ ْ َْ ْ َ ْ َ َ َ َ ُّ َ ْ َّ ْ َْ
ُُ‫ُِفُال ِعبادة‬
ِ ‫هُعنه‬
ُِ ِ ‫هُيدلُلَعُفسادُِالمن‬
ُِ ‫ُِفُانل‬
ِ ‫اِلصل‬
Pada dasarnya, larangan itu menunjukkan rusaknya (batalnya) sesuatu yang dilarang
dalam konteks ibadah.
Contoh: Batalnya atau tidak sahnya shalat dan puasa yang dilakukan wanita yang
haid.

Kaidah ke-4
ْ ْ َْ َ ْ َ ‫تُإ ْن‬ َ َ َ ْ َْ ْ َ ْ َ َ َ َ ُّ َ ْ َّ
ُ‫ُر َج َعُانلَّهُإَِلُنف ِسُال َعق ِد‬ ِ ِ ُ
‫َل‬ ‫ام‬ ‫ع‬‫م‬‫ُال‬ ‫ُِف‬
ِ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫ع‬ُُ
‫ه‬ِ ِ ‫انلهُيدلُلَعُفسادُِالمن‬
Larangan itu menunjukkan rusaknya (batalnya) sesuatu yang dilarang dalam konteks
muamalah; jika larangan tersebut mengacu pada akad itu sendiri (faktor internal).
Contoh: Larangan jual beli yang memiliki unsur perjudian, seperti jual beli dengan
cara melemparkan kerikil. Barang dagangan apapun yang terkena kerikil
yang dilempar pembeli, wajib dibeli. Larangan ini berdasarkan Hadis Nabi
SAW:
َ َ ْ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ َ َّ َّ َ َ َ
ُِ ‫نهُصَّلُاهللُعليهُِوسلمُعنُبيعِ ُاْلصاة‬
Nabi SAW telah melarang jual beli (spekulasi dengan cara melemparkan) kerikil
(H.R. Muslim).
ََ ََ َْ َْْ َ َ َْ َ َ َ َ ْ
ُ‫ريُِلزِ ٍمُفَل‬
ِ ‫ِإَونُرجعُإَِلُأم ٍرُخارِ ِجُع ِنُالعقدُِغ‬

7
Jika larangan tersebut mengacu pada faktor di luar akad (eksternal) yang tidak melekat
(lazim), maka akadnya tidak batal.
Contoh: Jual beli pada saat adzan Jum’at sudah berkumandang. Firman Allah SWT
dalam QS al-Jumu’ah [62]: 9
ْ
َُ‫واُاْلَيْع‬ َ َ َّ ْ َ ْ َ ْ َ َ ْ ْ َ ْ َ َّ َ َ
‫إِذاُنودِيُل ِلصَلة ُِمِنُيو ِمُاْلمعةُِفاسعواُإَِلُذِك ِرُاهللُِوذر‬
Apabila diseru (adzan) untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian
menuju zikir kepada Allah dan tinggalkanlah jual beli
(QS al-Jumu’ah [62]: 9).

Larangan berjual beli saat adzan Jum’at berkumandang, karena menunda kewajiban
bergegas menuju tempat pelaksanaan shalat Jum’at. Sedangkan penundaan, bisa terjadi
karena kegiatan jual beli maupun kegiatan lain seperti makan.

Tema ke-3
‘AMM (UMUM)
Definisi ‘Amm (Umum)
ْ َ ْ َ ْ ً َ َ ْ َ ْ َ َّ َ َ َ َ َ ْ
.ُ ‫ص‬
ٍُ ‫ريُح‬
ِ ‫ْيُفصاعِداُمِنُغ‬
ِ ‫ُوهوُماُعمُشيئ‬:ُ‫العام‬
Umum adalah lafal yang mencakup (makna) dua hal atau lebih, tanpa ada batasan
(jumlah).

Lafal yang menunjukkan makna Umum itu ada 4 (empat):

Lafal ke-1
َّ ْ ْ
.‫اإل ْسمُال َواحِدُالم َع َّرفُبِالَلُ ُِم‬
ِ
Kata tunggal (isim mufrad) yang dima’rifatkan dengan al (‫)أل‬

Contoh: Kata al-insan ‫ن‬


ُ ‫ اإلنسا‬yang berarti manusia secara umum, dalam Surat al-
‘Ashr [103]: 2-3
َ َ َّ َّ ْ َ َ َ ْ ْ َّ
ُ...ُ‫ْسُُُإِالُاَّلِينُآمنوا‬
ٍ ‫ُاإلنسانُل ِِفُخ‬
ِ ‫إِن‬
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman (QS al-‘Ashr [103]: 2-3).

Lafal ke-2
َّ َّ َ ْ ْ َْ ْ
.‫الَل ُِم‬
ُ ِ ‫ُا ِسمُاْلمعِ ُالمعرفُب‬

8
Kata plural (isim jama’) yang dima’rifatkan dengan al (‫)أل‬

Contoh: Kata al-muhsinin ‫ْي‬


ُ ‫ المحسن‬yang berarti orang-orang yang berbuat ihsan,
dalam Surat al-Baqarah [2]: 195
َ ‫سن‬
ُ‫ِْي‬ ْ ‫ِبُالْم‬
‫ح‬ َ َّ ‫إ َّن‬
ُّ ‫ُاهللُُي‬
ِ ِ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan (QS al-Baqarah [2]:
195).

Lafal ke-3
ُِ ‫الُِفُانلَّك َِر‬
.‫ات‬
Huruf la (‫ )ال‬yang masuk pada isim-isim nakirah.
Contoh: Huruf la (‫ )ال‬yang bertemu dengan kata nafsun ‫ نفس‬dalam Surat al-Baqarah
[2]: 48
َ
ًُ‫ُشيْئا‬ َْ ْ َ ٌ َْ َْ َ
‫الَُت ِزيُنفسُعنُنف ٍس‬
(Pada hari kiamat) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun (QS
al-Baqarah [2]: 48).

Lafal ke-4
َ َ ْ َ ْ َ
.‫اِلسماءُُالم ُب ُهمُة‬
Isim-isim mubham (kata benda yang belum jelas maksudnya).
Pertama, lafal man (‫ ) َم ْن‬yang berarti ‘barang siapa’ atau ‘seseorang’; yang
digunakan dalam konteks makhluk atau orang yang berakal.
Contoh: Kata man (‫ ) َم ْن‬dalam surat al-Zalzalah [99]: 7
َ َّ َ َ َ ْ ْ َ ْ َ ْ َ َ
ً ْ ‫ُخ‬
ُ‫رياُيَ َره‬ ‫فمنُيعملُمِثقالُذر ٍة‬
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya (QS al-Zalzalah [99]: 7).

Kedua, lafal ma (‫ )ما‬yang berarti ‘apa pun’ atau sesuatu’; yang digunakan dalam
konteks sesuatu yang tidak berakal.
Contoh: Kata ma (‫ )ما‬dalam Surat al-Hujurat [49]: 18
َ َ َّ َ
ُ‫ريُب ِ َماُت ْع َملون‬
ٌ ‫اهللُبَ ِص‬‫و‬
Dan Allah Maha Mengetahui apa pun yang kalian kerjakan (QS al-Hujurat [49]: 18).

9
Ketiga, lafal ayyun (‫ )أي‬yang berarti ‘mana pun’; yang digunakan dalam konteks
pilihan.
Contoh: Kata ayyan (‫ )آيًّا‬dalam Surat al-Isra’ [17]: 110
َ ْ ْ َ ْ َْ ََ ْ َ َ َ
ُ‫أيُُاُماُتدعواُفلهُاِلسماءُاْلسَن‬
Dengan nama yang mana pun kamu seru, Dia mempunyai al-asma al-husna atau
nama-nama yang indah (QS al-Isra’ [17]: 110).

Keempat, lafal ayna (‫ )أين‬yang berarti ‘di mana pun’; yang digunakan dalam konteks
tempat.
Contoh: Kata aynama (‫ )أ ْينَ َما‬dalam Surat al- Nisa’ [4]: 78
ْ َ ْ ْ َ َََْ
ُ‫أينماُتكونواُيدرِككمُالموت‬
Di manapun kamu berada, kematian akan menyusulmu (QS al-Nisa [4]: 78).

Kelima, lafal mata (‫ )متى‬yang berarti ‘kapan pun’; yang digunakan dalam konteks
waktu.
Contoh: Kata mata (‫ )متى‬dalam penyataan seorang suami kepada istrinya

ََْ ْ َ َ َ َ
berikut:
ٌُ‫ُطال ِق‬
َ ‫ت‬ِ ‫تُُفأن‬
ُِ ‫مِتُسفر‬
“Kapanpun engkau berpergian, berarti engkau sudah saya ceraikan”.

Tema ke-4
KHASH & TAKHSHISH (KHUSUS & PENGKHUSUSAN)
Definisi Khas (Khusus)
ْ َ ْ َ ْ ً َ َ َْ ْ َ َ َََ َ َ َ ْ
.‫ص‬
ٍُ ‫ريُح‬
ِ ‫ْيُفصاعِداُمِنُغ‬
ِ ‫ُماُالُيتناولُشيئ‬:ُ‫اْلاص‬
Khusus adalah lafal yang tidak mencakup (makna) dua hal atau lebih, tanpa ada
batasan (jumlah).

Definisi Takhshish (Pengkhususan)


ْ ْ ْ َ ْ ْ
ُِ ‫ُإِخ َراج َُب ْع ِضُُمدلو ِلُالع‬:ُ‫الَّخ ِص ُيْص‬
.‫ام‬ َ
Pengkhususan adalah mengeluarkan sebagian dari cakupan makna kata umum.

Pembagian Pengkhususan
ِ َّ ‫ ) ُمت‬Kedua, Tidak
Pengkhususan terbagi menjadi dua kategori. Pertama, Langsung (‫صل‬
ِ ‫) ُم ْنف‬
langsung atau terpisah (‫َصل‬

10
Pengkhususan secara Langsung (Muttashil)

Pertama, Pengecualian (‫ )اإل ْستِثْنَاء‬Contoh: Kata illa (‫ )إال‬dalam Surat al-‘Ashr [103]: 3
berikut
َ َّ َ َ َ َ َّ َّ ْ َ َ َ ْ ْ َّ ْ ‫َوالْ َع‬
ُ‫ات‬
ِ ‫اْل‬ِ ‫ْسُإِالُاَّلِينُآمنواُوع ِملواُالص‬
ٍ ‫ُخ‬ ‫ِف‬
ِ ‫ُل‬ ‫ان‬ ‫س‬ ‫ن‬‫ُاإل‬‫ن‬‫إ‬
ِ ِ ِ ُ. ُ ‫ص‬
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih (QS al-‘Ashr: 1-3).

ِ ‫ )الت َّ ْق ِي ْيدُ ِب‬Contoh: Kata mu’minah


Kedua, Pembatasan dengan sifat atau atribut (‫الصفَ ِة‬
(yang menjadi sifat bagi budak yang harus dimerdekakan dalam konteks
kifarat pembunuhan terhadap orang muslim tanpa sengaja, sebagaimana
dalam Surat al-Nisa’ [4]: 92
ْ َ ْ ‫َف َت‬
ُ‫ح ِريرُ َرق َب ٍةُمؤم َِن ٍة‬
(Hendaklah) dia memerdekakan seorang budak yang beriman (QS al-Nisa’: 92).

Ketiga, Pengkhususan dengan tercapainya sesuatu atau ghayah (‫ْص ِب ْالغَايَ ِة‬ ِ ‫)الت َّ ْخ‬
ُ ‫صي‬
Contoh: Kata hatta (‫ )حتى‬yang menandai berakhirnya masa haid, dalam
Surat al-Baqarah [2]: 222
َ َ ‫َو َال َُت ْق َربوه َّن‬
ُ‫ُح َِّت َُي ْطه ْرن‬
Dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu yang haid), sampai mereka suci
atau darah haidnya terhenti (QS al-Baqarah (2): 222).

Keempat, Pengkhususan dengan penjelasan (‫ْص ِب ْالبَدَ ِل‬ ِ ‫ )الت َّ ْخ‬Contoh: Kata man (‫)من‬
ُ ‫صي‬
yang menjadi penjelas (badal) terkait kriteria orang yang wajib
menunaikan haji, dalam Surat Ali ‘Imran [3]: 97
َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ ُّ َّ َ َ َّ َ
ُ‫تُم ِنُاستطاعُإَِلهُِسبِيَل‬
ِ ‫اسُحِجُاْلي‬
ِ ‫و ِهللُِلَعُانل‬
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS Ali Imran (3): 97).

Pengkhususan secara Tidak Langsung (Munfashil)


Pengkhususan secara tidak langsung, ada beberapa jenis:

Pertama, Pengkhususan al-Qur’an dengan al-Qur’an.


ْ
ُِ ‫ابُبِالك َِت‬
.‫اب‬ َ ‫ََتْصيْصُالْك‬
‫ِت‬
ِ ِ
Contoh: Allah SWT melarang laki-laki muslim menikahi wanita non-muslim
(musyrik) dalam Surat al-Baqarah [2]: 221,

11
َ ْ ْ َْ ََ
ُ‫ت‬ ‫َك‬
ِ ِ ‫ْش‬‫م‬ ‫واُال‬ ‫ِح‬
‫ك‬ ‫والُتن‬
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik (QS al-Baqarah [2]: 221).
Kemudian ayat tersebut ditakhshish oleh Surat al-Ma’idah [5]: 5 yang membolehkan
laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani),
َ ْ َ َ ْ
ُْ‫ُقبْل ِكم‬ َ َّ َ َ َ ْ ْ َ
‫والمحصناتُمِنُاَّلِينُأوتواُالكِتابُمِن‬
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara Ahli
Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebelum kalian (QS al-Ma’idah [5]: 5).
Maksudnya: Para wanita ahli kitab itu halal bagi kalian.

Kedua, Pengkhususan al-Qur’an dengan al-Sunnah.


ُّ ‫ََتْ ِصيْصُالْك َِتابُب‬
.ِ‫الس َّنة‬ِ ِ
Contoh: Allah SWT mengatur bagian warisan laki-laki adalah dua kali lipat
dibandingkan bagian wanita, sebagaimana Surat al-Nisa’ [4]: 11.
ْ َ َ ْ ْ َ ْ َ َّ ْ ََْ َّ
ُ‫ْي‬
ِ ‫ي‬ ‫ث‬ ‫ن‬ ‫ُاِل‬‫ظ‬ِ ‫ُح‬‫ل‬‫ِث‬
‫م‬ ُ‫ر‬
ِ ‫ك‬ ‫ِذل‬ ‫ل‬ُ‫م‬ ‫ِك‬
‫د‬ ‫ال‬ ‫و‬ ‫ُأ‬‫ُِف‬
ِ ‫ُاهلل‬‫وصيكم‬
ِ ‫ي‬
Allah mensyariatkan kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak
kalian, (yaitu) bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan
(QS al-Nisa [4]: 11).
Ayat tersebut memuat anak yang berstatus kafir (non-muslim), lalu ayat ini ditakhshish
oleh Hadis Shahih Bukhari-Muslim yang melarang orang muslim saling mewarisi
dengan orang kafir (non-muslim),
َْ َْ ْ
‫الُيَ ِرثُالم ْسل ِمُالَكف َِرُُُ َوالُالَكف ِرُالم ْسل ِم‬
Orang muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak boleh
mewarisi dari orang muslim (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Ketiga, Pengkhususan al-Sunnah dengan al-Qur’an.


ْ ُّ ‫ََتْ ِصيْص‬
ُِ ‫ُالس َّنةُِبِالك َِت‬
.‫اب‬
Contoh: Hadis Shahih Bukhari-Muslim yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak
menerima shalat orang yang tidak wudhu,
َُ‫ُح َِّت َُي َت َو َّضاء‬
َ ‫ث‬َ َ ْ َ َ ْ َ َ ََ َ َْ
ُ ‫الُيق َبلُاهللُص‬
‫َلةُأحدِكمُإِذاُأحد‬
Allah tidak akan menerima shalat salah seorang di antara kalian, jika dia berhadas,
hingga dia berwudhu terlebih dulu (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

12
Hadis tersebut ditakhshish oleh Surat al-Nisa’ [4]: 43 terkait kebolehan bertayammum
sebagai ganti wudhu,
ُْ‫اءُأَ َح ٌدُمِنْك ْمُم َِنُالْ َغائ ِطُأَو‬ َ ‫ُج‬ َ ‫ُس َفرُأَ ْو‬ ََ َْ َ ْ َ ْ ْ ْ
َ ‫ُلَع‬ ‫ِإَونُكنتمُمرِضُأو‬
ِ ٍ
َ ً َ َ ََْ َ َ َ
ُ‫اءُف َت َي َّمموا‬ ‫َُتدواُم‬
ِ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ُف‬ ‫اء‬ ‫س‬ِ ‫ُالن‬‫م‬‫ت‬ ْ ‫الُ َم‬
‫س‬ ُ
Dan jika kalian sakit, sedang dalam perjalanan, datang dari tempat buang air atau
telah menyentuh wanita, lalu kalian tidak menemukan air, maka bertayamumlah
(QS al-Nisa’ [4]: 43).

Keempat, Pengkhususan al-Sunnah dengan al-Sunnah.


.ِ‫الس َّنة‬ ُّ ‫ََتْ ِص ُيْص‬
ُّ ‫ُالس َّنةُِب‬
ِ
Contoh: Hadis Shahih Bukhari-Muslim tentang zakat pertanian yang diairi oleh air
hujan (secara gratis) sebesar sepersepuluh,
ْ ْ َّ ‫ت‬ َ َ َْ
ُ‫ُالس َماءُالعْش‬ ِ ‫اُسق‬ ‫فِيم‬
(Zakat) pertanian yang diairi oleh air hujan adalah sepersepuluh (H.R. al-Bukhari
dan Muslim).
Hadis tersebut ditakhshish oleh Hadis Shahih Bukhari-Muslim yang mensyaratkan
hasil panen pertanian tidak kurang dari 5 ausaq,
ٌَ َ َ ْ َ َ َْ َ َ ْ َ ْ َ
ُ‫ليسُفِيماُدونَُخسةُِأوس ٍقُصدقة‬
Tiada kewajiban zakat (mal) terhadap pertanian yang (hasil panennya) kurang dari
lima ausaq (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam kitab al-Taqrirat al-Sadidah dinyatakan bahwa lima ausaq setara dengan 300
sha’. Jika 1 sha’ setara dengan 2,75 kg, maka lima ausaq setara dengan 300 sha’ x
2,75 kg = 825 kg.

Kelima, Pengkhususan al-Qur’an dengan Qiyas.


ْ
ُ ِ ‫ابُبِالقِ َي‬
.‫اس‬ َ ‫ََتْصيْصُالْك‬
‫ِت‬
ِ ِ
Contoh: Pezina wanita maupun lelaki, sama-sama didera sebanyak 100 kali,
sebagaimana ketentuan dalam Surat al-Nur [24]: 2
َ ْ َ ََ َ ْ َ َّ ْ َ‫الزانُف‬
َّ َ َ َّ
ٍُ‫اج ِِلواُكُواح ٍِدُمِنهماُمِئةُجِلة‬ ِ ‫الزانِيةُو‬
Pezina wanita dan pezina lelaki, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus dali dera (QS al-Nur [24]: 2).

13
Ayat tersebut ditakhshish oleh Surat al-Nisa’ [4]: 25 yang menyatakan bahwa dera
bagi budak wanita adalah setengah dari dera bagi wanita merdeka, yaitu 50 kali dera,
َ َْ َ َ َ ْ ْ ََ َ ْ َّ ْ َ َ َ َ َ َََْ ْ َ
ُ‫اب‬
ِ ‫اتُمِنُالعذ‬
ِ ‫فإِنُأتْيُبِفاحِش ٍةُفعلي ِهنُن ِصفُماُلَعُالمحصن‬
Lalu jika mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka (berlaku)
setengah hukuman dari (jumlah) bukuman bagi wanita-wanita merdeka yang
bersuami (QS al-Nisa’ (4): 25).
Selanjutnya, budak lelaki diqiyaskan dengan budak wanita, sehingga hukuman bagi
budak lelaki yang berzina juga sebanyak 50 kali dera.

Keenam, Pengkhususan al-Sunnah dengan Qiyas.


َ ْ َّ ُّ ْ َْ
.‫اس‬
ُ ِ ‫َت ِصيصُالسنةُِبِالقِي‬
Contoh: Rasulullah SAW memperbolehkan pemiutang untuk merendahkan harga diri
dan menghukum penghutang yang mampu, namun menunda-nunda
pembayaran hutang, melalui sabda beliau:
َ ‫َلُال ْ َواجدُُِي ُِّلُع ِْر َضه‬
‫ُوعقوبَ َت ُه‬ ُّ
ُ
َ
ِ
Penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu, membolehkan (pemiutang
merendahkan) harga diri penghutang dan menghukumnya
(H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).
Hadis tersebut berlaku pada kasus utang-piutang selain antar orang tua dan anaknya.
Sedangkan terkait kasus utang-piutang antar orang tua dan anak, tidak membolehkan
anak untuk merendahkan harga diri orang tuanya maupun menghukum orang tuanya.
Ketentuan hukum ini diqiyaskan dengan larangan berkata ‘uf (ah) kepada kedua orang
tua yang ditegaskan dalam Surat al-Isra’ [17]: 23,
َ ْ َ ََ
ُ ٍ ‫فَلُتقلُله َماُأ‬
ُ‫ف‬
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah
(QS al-Isra’ [17]: 23).
Dalam konteks ini, Qiyas yang berlaku adalah Qiyas Aulawi. Artinya, jika bertutur
kata ‘ah!’ saja dilarang, apalagi sampai merendahkan harga diri dan menghukung
orangtua, tentu saja lebih terlarang lagi.
Di sisi lain, menurut keterangan kitab-kitab tafsir al-Qur’an, kata uff dalam ayat
tersebut pada mulanya bermakna ‘kotoran di bawah kuku’. Makna dasar kata uff ini
mengisyaratkan bahwa tutur kata yang menyakitkan hati orang tua, sekalipun hanya
sekecil kotoran di bawah kuku, tetap terlarang atau haram dilakukan.

14
Tema ke-5
NASAKH (PENGHAPUSAN)
Definisi Nasakh (Penghapusan)

Definisi Nasakh menurut bahasa adalah al-izalatu (‫ )اإلزالة‬yang berarti


‘menghilangkan’ atau ‘menghapus’. Definisi ini semakna dengan pernyataan,
َ َ ْ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َّ ْ َّ َ ََ
.‫ُالظلُإِذاُأزالهُورفعتهُبِإِنبِساطِهُا‬
ُِ ‫تُالشمس‬ِ ‫نس خ‬
“Matahari itu telah menasakh bayang-bayang”, ketika matahari telah menghilangkan
bayang-bayang dengan sinarnya yang membentang-luas.

Menurut pendapat lain, definisi Nasakh secara bahasa adalah al-naql (‫ )النقل‬yang
berarti ‘memindah’ atau ‘menukil’. Definisi ini semakna dengan pernyataan:
َ َ ْ َ ْ ََ َ
.‫ُآخ َُر‬ َ ْ َ َ َ ْ ََ
‫ابُُإِذاُنقلتُماُفِيهُِإَِل‬
ُِ ‫اُِفُهذاُالكِت‬
ِ ‫نسختُم‬
“Saya menasakh isi buku ini”, ketika saya memindah atau menukil isi buku tersebut ke
media tulis yang lain.

Definisi Nasakh menurut istilah syariat adalah:


ََ ْ َ ‫عُب َد َِلْل‬ ْ َ ُُ‫كم‬ْ َْ
ُ.‫خ ٍُر‬ ٍُ ِ ‫َُش‬
ُِ ‫عُمتأ‬ ِ ِ ٍ ُ ِ ‫َش‬ ٍ ‫ُح‬‫ع‬‫ف‬ ‫ر‬
Menghapus hukum syariat dengan dalil syariat yang datang lebih akhir.

Menurut sebagian ulama, Nasakh terbagi menjadi beberapa bagian:

Pertama, Menghapus teks dan menetapkan hukum.


ْ ْ َ َ َ ْ َّ ْ َ
‫نسخُالرس ِمُوبقاءُاْلك ُِم‬
Contoh: Ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa hukuman pezina laki-laki dan
wanita yang berstatus muhshan (bersuami atau beristri) adalah rajam,
َ ْ َ َ ْ ْ َ َ َ َ َ َ ْ َّ َ ْ َّ
ُ‫اُاْلَ َّتة‬
ُ ‫الشيخُوالشيخةُإِذاُزنياُفارُج ُوهم‬
Laki-laki dan wanita yang memiliki pasangan (muhshan), jika keduanya melakukan
perzinahan, maka rajamlah keduanya secara mutlak.
Umar ibn al-Khaththab RA berkata: “Kami pernah membaca ayat tersebut” (H.R. al-
Syafi’i dan perawi lainnya). Sedangkan Rasulullah SAW telah merajam dua orang
muhshan yang berzina,
15
ْ َ َ ْ ْ َ َّ َ َ ْ َ َ َّ َّ َ َ َ َ ْ َ َ
ُ‫ْي‬
ِ ‫وقدُرجمُصَّلُاهللُعليهُِوسلمُالمحصن‬
Sungguh Rasulullah SAW telah merajam dua orang muhshan yang berzina
(H.R. Muttafaq ‘Alaih)
Dua orang muhshan itulah yang dimaksud oleh redaksi ‘al-syaikh wa al-syaikhah’
pada ayat di atas.
Ternyata, ayat ‘al-syaikh wa al-syaikhah’ di atas, sudah tidak ada dalam mushaf al-
Qur’an; padahal Sayyidina ‘Umar RA menyatakan pernah membaca ayat tersebut.
Jadi, teks (tulisan) ayat tersebut telah dihapus, namun hukumnya tetap berlaku sampai
sekarang.

Kedua, Menghapus hukum dan menetapkan teks.


ْ َّ َََ ْ ْ ْ َ
ُ‫س ِم‬
ُ ‫نسخُاْلك ِمُوبقاءُالر‬
Contoh: Hukum ‘iddah bagi istri yang ditinggal wafat suaminya semula berdurasi
setahun, berdasarkan Surat al-Baqarah [2]: 240,
ْ ْ َ ً ََ ْ َ ْ َ ً َّ َ ً َ ْ َ َ َ َ َ ْ ْ َ ْ َّ َ َ َّ َ
َ
ُ‫َلُاْلو ِل‬
ُ ِ ‫ج ِهمُمتاًعُإ‬
ِ ‫ُِلزوا‬ِ ‫صية‬ِ ‫واَّلِينُيت َوفونُمِنكمُويذرونُأزواجاُو‬
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri,
hendaklah berwasiat untuk istri- istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya (QS al-Baqarah [2]: 240).
Lalu dinasakh menjadi hanya berdurasi 4 bulan 10 hari, berdasarkan Surat al-Baqarah
[2]: 234,
َ ‫سه َّنُأَ ْربَ َع َةُأَ ْشهر‬
ًُ‫ُو َع ْْشا‬ ْ َ َ ْ َّ َ َ َ
ٍ ِ ِ ‫يَّتبصنُبِأنف‬
(Hendaklah para istri yang ditinggal wafat suaminya itu) menangguhkan dirinya
(‘iddah) selama 4 bulan 10 hari (QS al-Baqarah [2]: 234).

Ketiga, Menghapus hukum dan teks sekaligus.


ً‫الر ْس ُم)ُ َمعا‬ َ ْ ْ ْ ْ َْ َْ
َّ َ
ِ ‫نسخُاِلمري ِنُ(اْلك ِمُو‬
Contoh: Hadis Muslim dari riwayat Sayyidah ‘Aisyah RA:
َ ْ َ ْ َ َ ْ َّ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ َ َ
ُ‫ات‬
ٍ ‫ُِبم ٍسُمعلوم‬ ِ ‫ن ُثمُنسِخن‬ . ُ ‫اتُُي ِرم‬ ٍ ‫اتُمعلوم‬ ٍ ‫آنُعْشُرضع‬ ِ ‫َكنُفِيماُأن ِزلُمِنُالقر‬
ُ‫آن‬ ْ ‫ُوه َّنُفِيْ َماُي ْق َرأُم َِنُالْق‬
‫ر‬ َ ‫ُِو َسلَّ َم‬
َ ‫ُعلَيْه‬ َّ َّ َ َّ
َ ‫ُاهلل‬ ‫َّل‬‫ُِص‬ ‫ُاهلل‬‫ول‬ ‫س‬َ ُ‫ف‬
‫ر‬ َ
ُ
َ َ َ
‫فت و‬
ِ

16
Termasuk ayat al-Qur’an yang pernah diturunkan adalah ‘sepuluh kali persusuan
yang diketahui, dapat mengakibatkan hubungan mahram’. Kemudian dinasakh
menjadi ‘lima kali persusuan yang diketahui. Lalu Rasulullah SAW wafat dan ayat
tersebut pernah menjadi bagian dari al-Qur’an (H.R. Muslim).

Ternyata, ayat terkait ‘sepuluh kali persusuan’ tersebut tidak dijumpai dalam mushaf
al-Qur’an dan hukumnya pun sudah dinasakh menjadi lima kali persusuan. Jadi, teks
maupun hukum dalam ayar tersebut, sama-sama dihapus (dinasakh).
Sebenarnya nasakh al-Qur’an dan al-Qur’an itu diperbolehkan dalam syariat Islam,
sebagaimana dua ayat tentang ‘iddah di atas. Yaitu Surat al-Baqarah [2]: 240 dinasakh
oleh Surat al-Baqarah [2]: 234.

Keempat, Menghapus al-Sunnah dengan al-Qur’an.


َ ْ َّ ُّ ْ َ‫ن‬
ُ‫اب‬
ِ ‫ِت‬‫ك‬ ‫ال‬ِ ‫ب‬ُِ ‫ة‬‫ن‬ ‫ُالس‬‫خ‬ ‫س‬
Contoh: Shalat menghadap kiblat ke Baitul Maqdis (Palestina). Ditetapkan melalui al-
Sunnah Filiyyah (Hadis perbuatan Nabi SAW) dalam Shahih Bukhari-
Muslim, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW mendirikan shalat dengan
menghadap kiblat ke Baitul Maqdis selama 16 bulan. Lalu isi Hadis tersebut
dinasakh oleh al-Qur’an, tepatnya Surat al-Baqarah [2]: 144,
َ ْ ‫جد‬
ُ‫ُِاْل َر ِام‬ ِ
ْ ‫ُش ْط َرُال ْ َم‬
‫س‬
َ َ َْ َ ََ
‫فو ُِلُوجهك‬
Maka hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (QS al-Baqarah [2]: 144).

Kelima, Menghapus al-Sunnah dengan al-Sunnah.


ُِ‫الس َّنة‬ ُّ ‫ن َ ْسخ‬
ُّ ‫ُالس َّنةُِب‬
ِ
Contoh: Hadis tentang ziarah kubur, yang semula dilarang, kemudian diperbolehkan,
َ َ ْ َْ َ َ ْ َ ْ ْ‫كنْت َُن َهي‬
‫ْبُفزورها‬
ِ ‫ق‬ ‫ُِال‬ ‫ة‬‫ار‬ ‫ي‬ِ ‫ُز‬ ‫ن‬‫ُع‬‫م‬‫ك‬ ‫ت‬
Saya pernah melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah ke
kubur (H.R. Muslim).
Sebagian ulama berpendapat: al-Qur’an dapat dinasakh oleh al- Sunnah.
ُّ ‫ن َ ْسخُالْك َِتابُب‬
َُِّ‫السنة‬
ِ ِ

17
Contoh: Al-Qur’an memerintahkan umat muslim memberi harta wasiat (yaitu harta
tinggalan mayit di luar warisan), berdasarkan Surat Al-Baqarah [2]: 180,
ْ َ ْ َّ َ ْ ً ْ َ َ َ َ ْ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ ْ َْ َ َ
َ
ُ‫صيةُل ِلو ِادلي ِن‬
ِ ‫َضُأحدكمُالموتُإِنُتركُخرياُالو‬ َ ‫كتِبُعليكمُإِذاُح‬
َُ‫َو ْاِلَقْ َربْي‬
ِ
Diwajibkan atas kamu, ketika seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
kematian, jika dia meninggalkan harta, (wajib) berwasiat untuk kedua orang tua dan
karib kerabat (QS al-Baqarah [2]: 180)
Ayat di atas dinasakh oleh al-Sunnah yang melarang pemberian harta wasiat bagi ahli
waris. Rasulullah SAW bersabda:
َ َ
ِ ِ‫ص َّيةُل َِوار‬
ُ‫ث‬ ِ ‫الُو‬
Tiada wasiat bagi ahli waris (H.R. al-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Pada praktiknya, harta wasiat dapat diberikan kepada orang-orang yang tidak berhak
mendapatkan warisan. Misalnya, orang tua atau anak yang berstatus non-muslim; anak
angkat (adopsi); sahabat karib; dan sebagainya.

18

Anda mungkin juga menyukai